Anda di halaman 1dari 40

TUGAS INDIVIDU

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)


ANALISA RESIKO KERJA PADA PEKERJA
TUKANG LAS

Oleh :

Oleh :
Kristofel RC Nahuway
NIM : 1605052

SEMESTER 3

DOSEN : Prof. DR. Santoso dr. MS. Sp.OK

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

(STIKes) HANG TUAH PEKANBARU

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi saat ini begitu pesatnya, sehingga peralatan sudah


menjadi kebutuhan pokok pada berbagai lapangan pekerjaan. Artinya peralatan dan
teknologi merupakan penunjang yang penting dalam upaya meningkatkan
produktivitas untuk berbagai jenis pekerjaan. Disamping itu, disisi lain akan terjadi
dampak negatifnya bila kita kurang waspada menghadapi bahaya potensial yang
mungkin timbul. Hal ini tidak akan terjadi jika dapat diantisipasi dan tidak akan ada
risiko yang mempengaruhi kehidupan para pekerja. Berbagai risiko tersebut adalah
kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja. Penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan dan kecelakaan akibat kerja yang dapat menyebabkan kecacatan atau
kematian. Antisipasi ini harus dilakukan oleh semua pihak dengan cara penyesuaian
antara pekerja, proses kerja, dan lingkungan kerja.

Ergonomi dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan. Keduanya mengarah kepada tujuan yang sama yakni
peningkatan kualitas kehidupan kerja (quality of working life). Aspek kualitas
kehidupan kerja merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi rasa
kepercayaan dan rasa kepemilikan pekerja kepada perusahaan yang berujung pada
produktivitas dan kualitas kerja. Artinya, pekerja akan mempunyai motivasi yang
tinggi dalam bekerja (lebih produktif dan berkualitas) ketika aspek keselamatan,
kesehatan, dan kenyamanan pekerja lebih utamakan. Pengalaman empiris
menunjukkan bahwa pencapaian kinerja manajemen K3 sangat tergantung kepada
sejauh mana faktor ergonomi telah diperhatikan di perusahaan tersebut.
Kenyataannya, kecelakaan kerja masih terjadi di berbagai perusahaan formal maupun
informal. Ada ungkapan bahwa “without ergonomics, safety management is not
enough”. Sangat disayangkan apabila ergonomi sering disalah-artikan dan hanya
dikaitkan dengan aspek kenyamanan (perancangan kursi) atau dimensi fisik tubuh
manusia. Akibatnya, aplikasi ergonomi masih belum dianggap penting, terutama di
perusahaan – perusahaan informal di Indonesia, sehingga banyak sekali rancangan
sistem kerja yang tidak ergonomi. Hal ini terlihat dari ketidaksesuaian antara pekerja
dengan cara kerja, mesin, atau alat kerja yang dipakai, lingkungan tempat kerja, atau
2
menyangkut pengaturan beban kerja yang tidak optimal. Namun demikian, semua
industri, baik formal maupun informal diharapkan dapat menerapkan SMK3 (Sitem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja) agar tidak terjadi penyakit akibat
kerja atau dengan kata lain disebut GOTRAK (Gangguan Otot Tulang Rangka Akibat
Kerja).

Gangguan otot tulang rangka akibat kerja (GOTRAK) adalah keluhan pada
bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan yang
sangat ringan sampai sangat sakit yang disbut juga Musculoskeletal Disorders
(MSDs). Apabila otot menerima beban statis secara berulang dalam jangka waktu
yang lama akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament dan
tendon (Grandjean, 1993)

GOTRAK termasuk dari pembengkakan dan dampak degenaratif kondisi otot,


tendon, ligament, sendi pembuluh perifer dan pembuluh darah. Bagian utama tubuh
yang terlibat adalah punggung, leher, bahu, lengan bawah dan tangan (extrimitas
bagian atas), meskipu demikian extrimitas bagian bawah perlu juga mendapat
perhatian lebih. Kejadian GOTRAK banyak terdapat pada banyak negara, hal ini
berdampak pada pengeluaran biaya pengobatan dan penurunan kualitas hidup dan
pada gilirannya berdampak pada tingginya tingkat ketidak hadiran bekerja. GOTRAK
ini lebih banyak terjadi pada sector industri. Resiko tinggi juga terjadi pada sector
fasilitas perawatan, transportasi udara, pertambangan, proses pembuatan makanan,
penyamakan kulit dan sector pembuatan/manufaktur seperti alat berat, kendaraan, alat
rumah tangga, elektronik, perbengkelan, pengelasan, tekstil, pakaian dan sepatu
(Susan Stock et al.2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan ILO (Organisasi
Perburuhan Dunia) menyebutkan bahwa sekitar 2,2 juta jiwa kehilangan nyawa
setiap tahun dibelahan dunia akibat kecelakaan atpun penyakit akibat kerja, atau rata-
rata 6,000 orang meninggal setiap hari yaitu setara dengan 1 orang meninggal setiap
15 detik. Hal ini disebabkan setiap tahun 270 jiwa menderita luka parah dan 160 juta
mengalami luka ringan.

Berdasarkan hasil survey Departemen Kesehatan RI dalam profil masalah


kesehatan tahun 2005 menunjukan bahwa sekitar 40,5% penyakit akibat kerja,
gangguan kesehatan yang dialami oleh pekerja yang dilakukan pada 482 pekerja di 12
kabupaten/kota di Indonesia, umumnya GOTRAK (16%), kardiovasculer (8%),

3
gangguan syaraf (6%), ganggua pernafasan (3%) dan gangguan THT 1,5%) (Depkes
RI, 2005).

Dari hasil studi laboratorium Pusat Studi Kesehatan dan Ergonomi ITB pada
tahun 2006-2007, diperoleh data bahwa sebanyak 40-80% pekerja melaporkan
keluhan GOTRAK sesudah bekerja (Dalam Mega Octarisya).

Pada pekerjaan pengelasan, banyak studi mengenai factor yang turut


berkontribusi terhadap GOTRAK, salah satunya disebabkan oleh posisi kerja yang
tidak egonomi, seperti bekerja jongkok, berlutut, miring, membungkuk, berdiri
dengan waktu lama dan overhead, berat alat yang tidak standar, posisi leher dan bahu
statis dengan mendongak keatas dan lain sebagainya. Menurut Grandjen (1993),
Fakta mengenai risiko yang ditimbulkan dari factor pekerjaan adalah sikap kerja yang
tidak alamiah pada umumnya akan menyebabkan terjadinya keluhan otot skelaletal.
Sedangkan untuk pekerja itu sendiri, berdasarkan Guo et al. (dalam Bridger, 1995)
dikatakan bahwa pada umur 35 tahun, merupakan episode pertama seseorang akan
mengalami nyeri punggung, hal tersebut dapat dikarenakan pada usia diatas 35 tahun
terjadi proses degenerasi dan kerusakan jaringan sehingga menyebabkan
berkurangnya stabilitas otot dan sendi. Semakin bertambah usia seseorang, semakin
tinggi risiko terjadinya penurunan elastisitas tulang. Humantech (2003), untuk
mengtasi masalah elastisitas persendian adalah dengan melakukan senam dan olah
raga. Bila seseorang tidak tidak pernah melakukan senam dan olah raga secara rutin
akan menyebabkan otot menjadi tidak fleksibel/kehilangan elastisitasnya, sehingga
berkibat keluhan GOTRAK. Sedangkan peningkatan keluhan GOTRAK itu sendiri
juga dipengaruhi oleh umur dan masa kerja. Ohlsson et al (1989) melaporkan bahwa
derajat keluhan GOTRAK meningkat secara signifikan siring dengan bertambahnya
umur dan masa kerja.

Berdasarkan hasil penelitian Junaini dkk, dikaetahuai bahwa ketika melakukan


aktivitas pengelsan dengan bebas, pekerja yang sering merasakan kaku pada bahu
sebanyak 66%, sebanyak69% pekerja merasa sakit atau nyeri pada leher, 52% nafas
pekerja merasa tertekan pada saat melakukan pengelasan dan 77% merasakan nyeri
pada bagian punggung.

Dari keterangan diatas, dapat dipastikan bahwa hal tersebut terjadi pada bengkel
pengelasan Albindo, dimana bengkel ini adalah suatu perusahaan informal yang
4
bergerak disektor industri pembuatan Folding Gate, Teralis, Pagar, Pintu Pagar dan
pekerjaan lain yang dilakukan dengan cara pengelasan. Penyatuan komponen-
komponen besi yang telah dipotong sesuai dengan kebutuhannya dilakukan dengan
mengelasan.

Bahan yang digunakan untuk pembuatan peralatan diatas adalah besi yang biasa
digunakan untuk kebutuhan perabotan dan konstruksi bangunan yang banyak
dipasaran. Teknik pengelasan yaitu “tack weld”(pengelasan titik) dan “full weldn”
(pengelasan panjang) debgan posisi pengelasan yang berbeda-beda, sehingga hal
tersebut menimbulkan beberapa bahaya yang bervariasi termasuk risiko GOTRAK.
Adapun jumlah pekerja yang melakukan proses pembuatan Folding Gate, Canopy,
Pintu, Pagar dan Teralis ini adalah 3 orang dengan secara bersama-sama merakit
menjadi, manyatukan sampai pemasangan.

1.2. Tujuan Penelitian

1.2.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahuai factor-faktor


yang berhubungan deengan GOTRAK pada pekerja tukang las diindustri sektor
informal Las Richard pada tahun 2017.

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran keluahan GOTRAK pada tukang las di perusahaan las


Richard.
2. Diketahui gambaran factor pekerja (usia, masa kerja, indeks masa tubuh,
kebiasaan merokok, kesegaran jasmani) di perusahaan las Richard.
3. Diketahuinya hubungan antara risiko pekerjaan dengan keluhan GOTRAK pada
tukang las di perusahaan las Richard.
4. Diketahuinya hubungan antara usia dengan keluhan GOTRAK pada tukang las di
perusahaan las Richard.
5. Diketahuinya hubungan antara indeks masa tubuh dengan keluhan GOTRAK
pada tukang las di perusahaan las Richard.
6. Diketahuinya hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan GOTRAK
pada tukang las di perusahaan las Richard.

5
7. Diketahuinya hubungan antara kesegaran jasmani dengan keluhan GOTRAK
pada tukang las di perusahaan las Richard.

1.3. Manfaat Penelitian


1.3.1. Bagi Perusahaan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi pekerja tukang las
tentang factor yang mempengaruhi keluhan GOTRAK di perusahan informal Richard,
agar program-program K3 dapat membudaya baik di perusahaan formal maupun
informal terkait ergonomic dapat lebih dioptimalkan, sehingga keluhan serupa dimasa
mendatang tidak terjadi lagi.

1.3.2. Bagi Peneliti


1. Dapat mengaplikasikan ilmu dan pengatahuan terkait risisko ergonomic yang
telah didapat di perkuliahan pada tempt kerja yang sesungguhnya.
2. Meningkatkan kemampuan penulis khusus dalam proses identifikasi bahaya
ergonomic dilingkungan kerja.

1.3.3. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada perusahaan pengelasan Richard yang terletak
dijalan Limbungan Kecamatan Rumbai Pesisir Pekanbaru bertujuan untuk
mengetahui gambaran keluhan dan factor-faktor yang berhubungan dengan faktor
pekerjaan, dan untuk mengetahu adanya risiko berupa GOTRAK dengan
menggunakan Brief Survey.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Menurut Depnakertrans RI (2000), K3 adalah suatu pemikiran dan upaya untuk


menjamin keutuhan dan kesempurnaan jasmani maupun rohani tenaga kerja. Dari
segi keilmuan, K3 merupakan ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha
mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, untuk menjamin bahwa:
a. Setiap tenaga kerja dan orang lain ditempat kerja dalam kedaan sehat dan selamat.
b. Bahwa setiap sumber produksi digunakan secara aman dan efisien
c. Bahwa proses produksi dapat berjalan lancer.

Keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan melindungi para pekerja dan orang
lain ditempat kerja, menjamin agar sumber produksi dapat dipakai secara aman dan
efisien serta menjamin proses produksi berjalan lancar (Abdul Jabbar, 2005)

Menurut Departemen Kesehatan RI (2008), keselamatan dan kesehatan kerja


yaitu yang berkaitan dengan alat kerja, bahan dan proses pengolahan, tempat kerja
dan lingkungannya, serta cara-cara melakukan pekerjaan yang serasi antara kapasitas
kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat
tanpa membahayakan dirinya dan masyarakat disekitarnya, agar diperoleh
produktifitas kerja yang optimal.

Undang-undang No. 1 tahun 1971 menegaska :

Bahwa setiap tenaga kerja mendapatkan perlindungan atas keselamatannya,


dalam melakkan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi
serta produktivitas nasiaonal.

Bahwa setiap orang lain yang berada ditempat kerja perlu terjamin pula
keselamatannya.

Bahwa setiap sumber produksi perlu dipelihara, sehingga dapat dipakai secara
aman dan efisien.

7
Dengan demikian tujuan keselamatan dan kesehatan kerja, secara garis besar
adalah untuk melindungi tenaga kerja orang lain yang berada ditempat kerja serta
sumber produksi yang ada dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

2.2. Ergonomi

Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya


dengan pekerjaan. Sasaran penelitian ergonomic ialah manusia pada saat bekerja
dalam lingkungan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomic ialah
penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia guna untuk mengurangi
stress yang akan dihadap. Antara lain penyesuaian ukuran tempat kerja dengan
dimensi tubuh agar tidak melelahkan, pengaturan suhu, cahaya dan kelembaban yang
bertujuan agar sesuai dengan kebutuhan suhu tubuh manusia.

Beberapa definisi menyatakan bahwa ergonomic ditujukan untuk “fitting the job
to the worker”, sementara itu ILO antara lain menyatakan sebagai ilmu terapan
biologi manusia dan hubungannya denga ilmu teknik bagi pekerja dan lingkungan
kerjanya, agara mendapatkan kepuasan kerja yang maksimal selain meningkatkan
produktivitasnya.

Ruang lingkup ergonomi sangat luas, antara lain meliputi:

 Teknik
 Fisik
 Pengalaman psikis
 Anatomi, utamanya yang berhubungan dengan kekuatan dan gerakan otot dan
persendian
 Anthropometri
 Sosiologi
 Fisiologi, terutama berhubungan dengan temperature tubuh, oxygen up take,
pols, dan aktivitas otot.
 Desain, DLL

2.2.1 Metode Ergonomi

1. Diagnosis, dapat dilakukan melalui wawancara dengan pekerja, inspeksi tempat


kerja, penilaian fisik pekerja, uji pencahayaan, ergonomic checklist dan
8
pengukura lingkungan kerja lainnya. Variasinya akan sangat luas mulai dari
yang sederhana sampai kompleks.

2. Treatmen, pemecahan masalah ergonomic akan tergantung data dasar pada saat
diagnosis. Kadangakala sangat sederhana seperti merubah posisi meubel, letak
pencahayaan atau jaendela yang sesuai. Membeli furniture sesuai dengan
dimensi fisik kerja.

3. Follow-up, dengan evaluasi yang subyektif atau obyektif. Secara subyektif


misalnya dengan menanyakan kenyamanan, bagian badan yang sakit, nyeri bahu
dan siku, keletihan, sakit kepala dan lain-lain. Secara obyektif misalnya dengan
parameter produk yang ditolak, absensi sakit, angka kecelakaan dan lain-lain.

2.2.2. Aplikasi Ergonomi

1. Posisi kerja
Posisi kerja terdiri dari posisi duduk dan berdiri, posisi duduk kaki tidak
terbebani oleh berat tubuh dan stabil selama bekerja. Sedangkan posisi berdidri
dimana posisi tulang belakang vertical dan badan tertumpu secara seimbang
pada kaki.
2. Proses kerja
Para pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu
bekerja dan sesuai dengan ukuran anthropometrinya.
3. Tata letak tempat kerja
Displai harus jelas terlihat pada saat melakukan aktivitas kerja. Sedangkan
symbol yang berlaku secara international lebih banyak digunakan daripada kata-
kata.
4. Mengangkat beban
Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban yakni dengan kepala, bahu,
tangan, punggung dsb. Beban yang terlalu berat dapat menimbulkan cedera
tulang punggung, jaringan otot dan persendian akibat gerakan yang berlebihan.
a. Menjinjing beban
Beban yang diangkata tidak melebihi aturan yang ditetapkan ILO sbb:
- Laki-laki dewasa = 40 kg
- Wanita dewasa = 15-20 kg

9
- Laki-laki (16-18 thn) = 15-20 kg
- Wanita (16-18 thn) = 12-15 kg
b. Organisasi kerja
Pekerjaan harus diatur dengan berbagai cara:
- Alat bantu mekanik diperlukan kapanpun
- Frekwensi pergerakan diminimalkan
- Jarak mengangkat beban dikurangi
- Dalam membawa beban perlu diingat bidangnya tidak licin dan
mengangkat tidak terlalu tinggi
- Terapkan prinsip ergonomic yang relevan

c. Mertode mengangkat beban


Semua pekerja harus diajarkan cara mengangkat beban. Metode kinetic dari
pedoman penanganan harus dipakai yang didsarkan pada dua prinsip:
- Otot lengan lebih banyak digunakan daripada otot punggung
- Untuk memulai gerakan horizontal maka digunkan momentum berat
beban
Metoda ini termasuk 5 faktor dasar:
 Posisi kaki yang benar
 Punggung kuat dan kekar
 Posisi lengan dekat dengan tubuh
 Mengangkat dengan benar
 Menggunakan berat badan

d. Supervisor medis
Semua pekerja secara konginyu harus mendapat supervisi medis yang teratur
- Pemeriksaan sebelum bekerja untuk meyesuaikan dengan beban kerjanya
- Pemeriksaan berkala untuk memastikan pekerja sesuai dengan
pekerjaannya dn menditeksi bila ada kelainan
- Nasehat harus diberikan tentang hygiene dan kesehatan,khususnya pada
wanita muda dan yang sudah berumur.

10
2.2.3. Kelelahan / Fatique

Setelah pekerja melakukan pekerjaannya maka umumnya terjadi kelelahan,


dalam hal in kita harus waspada dan harus kita bedakan jenis kelelahannya. Para ahli
membedakan sebagai berikut:

1. Kelelahan fisik
Kelelahan fisik akibat kerja yang berlebihan, dimana masih dapat dikompensasi
dan diperbaiki performansnya sebagai seperti semula. Kalau tidak terlalu berat
kelelahan ini bisa hilang setelah istirahat dan tidur yang cukup.

2. Kelalahan yang patologis


Kelelahan ini tergabung dengan penyakit yang diderita,biasanya muncul dengan
tiba-tiba dan berat gejalanya.

3. Psikologis dan emotional fatique


Kelehan ini adalah bentuk yang umum. Kemungkinan merupakan sejenis
“mekanisme melarikan diri dari kenyataan” pada penderita psikosomatik.
Semangat yang baik dan motivasi kerja akan mengurangi angka kejadian di
tempat kerja.

4. Upaya kesehatan kerja untuk mengatasi kelelahan, meskipun seseorang


mempunyai batas ketahanan, akan tetapi beberapa hal dibawah ini akan
mengurangi kelelahan yang tidak seharusnya terjadi:
- Lingkungan harus bersih dari zat kimia. Pencahayaan dan vetilasi harus
mamadai dan tidak ada gangguan bising.
- Jam kerja sehari diberikan waktu istirahat sejenak dan istirahat yang cukup
saat makan siang.
- Kesehatan pekerja harus tetap dimonitor.
- Tempo kegiatan tidak harus terus menerus.
- Kalau memungkinkan, waktu perjalanan dari dan ketempat kerja harus
sesingkat mungkin.
- Secara aktif mengidentifikasi sejumlah pekerja dalam peningkatan
semangat kerja.
- Fasilitas rekreasi dan istirahat harus disediakan ditempat kerja.

11
- Waktu untuk liburan harus diberikan kepada semua pekerja.
- Kelompok pekerja yang rentan harus lebih diawasi, misalnya;
 Pekerja remaja
 Wanita hamil dan menyusui
 Pekerja yang telah berumur
 Pekerja shift
 Migrant
 Para pekerja yang mempunyai kebiasaan minum alcohol dan zat
stimulant atau zat additive lainnya perlu diawasi.

2.2.4. Pemiriksaan kelelahan

Tes kelelahan tidak sederhana, biasanya tes yang dilakukan seperti tes pada
kelopak mata dan kecepatan reflek jari dan mata serta kecepatan menditeksi sensual,
atau pemeriksaan pada serabut otot secara elektrik dan sebagainya. Persoalan ya ng
terpenting adalah kelelahan yang terjadi apakah ada hbungan dengan ergonomic,
karena mungkin saja masalah ergonomic akan mempercepat terjadinya kelelahan.

2.2.5. Baseline Risk Identification of Ergonomics Faktors (BRIEF)

Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF) adalah alat


penyaring awal menggunakan struktur dan bentuk system tingkatan untuk
mengidentifikasi penerimaan tiap tugas dalam suatu pekerjaan. BRIEF digunakan
untuk menentukan Sembilan bagian tubuh yang berisiko terhadap terjadinya
gangguan muskulaskeletal (GOTRAK). Bagian tubuh yang dianalisa meliputi tangan
dan pergelangan tangan kiri, siku kiri, bahu kiri, leher, punggung, tangan dan
pergelangan tangan kanan, siku kanan, bahu kanan, dan kaki. Penilaian pekerjaan
menggambarkan tinjauan ulang ergonomi secara mendalam dari ketiga penetapan
data (sederhana, mudah dipahami, dan dapat dipercaya) dan juga yang memberikan
beban paling berat (Humantech, 1989, 1995).

Survei ini mengidentifikasi risiko-risiko yang berhubungan dengan postur,


tenaga, durasi, dan frekuensi ketika mengamati kesembilan bagian tubuh tersebut.
Penilaian risiko digunakan untuk menetukan tinggi, sedang, atau rendahnya risisko
untuk setiap bagian tubuh.

12
Kelebihan BRIEF Survey antara lain:

1. Dapat mengkaji hamper seluruh bagian tubuh (9 bagian tubuh).


2. Dapat menentukan risiko terhadap terjadinya Comulative Trauma Disorders
(CTD).
3. Dapat menentukan bagian tubuh mana yang memiliki beban paling berat.
4. Dapat mengidentifakasi awal penyebab GOTRAK.
5. Telah memenuhi persyaratan sebagai sebuah system analisa bahaya GOTRAK
yang diakui OSHA.
6. Tidak membutuhkan seorang ahli ergonomi untuk melakukan penilaian
pekerjaan menggunakan BRIEF Survey.

Kekurangan BRIEF Survey antara lain:

1. Tidak dapat mengetahui total skor secara menyeluruh dari suatu pekerjaan,
karena skor yang dihitung berdasarkan bagian tubuh yang dinilai.
2. Banyak factor yang harus dikaji.
3. Membutuhkan waktu pengamatan yang lebih lama.
4. Tidak dapat digunakan untuk manual handling.

13
BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN
Pengelasan merupakan cara yang umum digunakan untuk menyambung logam
secara permanen, dimana input panas diberikan pada logam hingga mencair dan
menyambungnya dalam suatu sambungan yang permanen. Pengelasan merupakan
aktivitas yang dilakukan di Bengkel Las Richard, dimana proses pengelasan
menggunakan las jenis SMAW (Shielded Metal Arc Welding).
Cara melakukan pekerjaan pengelasan yang tidak sesuai dengan norma-norma
keselamatan dan kesehatan kerja bertentangan dengan ergonomi. Operator sering
mengalami nyeri tubuh pada bagian tertentu yang beresiko pada kelelahan dan
Muscoloskeletal Disorder (GOTRAK). Berapa peneliti mulai mengakaji fenomena
ini, untuk menemukan solusi yang tepat untuk berbagai permasalahan yang timbul
dari cara melakukan pengelasan, karena memang fenomena ini banyak terjadi pada
berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan las.
Ergonomi memberikan keyakinan bahwa kesesuaian antara manusia, bahan,
peralatan kerja dan lingkungan kerja akan meningkatkan produktivitas kerja.

3.1. Hasil Observasi


Tempat Observasi : Bengkel Las Richard
Alamat : Jl. Limbungan Rumbai - Pekanbaru

Bengkel las Richard ini merupakan salah satu bengkel yang melayani berbagai
pekerjaan yang berhubungan dengan las. Berbagai pekerjaan diterima, mulai dari
pengerjaan las pembuatan teralis, pintu, pagar, partisen, canopy, folding gate dan
pekerjaan las lainnya.
Dari observasi yang kami lakukan, ada beberapa hal yang dapat ditarik
kesimpulan, terutama yang berkaitan dengan tinjauan ergonomis terhadap pekerja
bengkel ini. Kajian ergonomi ini dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan
bagian-bagian yang ada di dalam bengkel.

1. Tempat/Lokasi Bengkel
Ditinjau dari lokasi bengkel terhadap jalan raya, bengkel ini ergonomis. Jarak
yang cukup dengan jalan membuat pengunjung nyaman, utamanya karena kondisi
yang cukup luas, untuk parkir, dan sebagainya. Jarak yang cukup dengan jalan juga
14
memberi efek kebisingan tidak mengganggu baik pada pengunjung maupun pekerja
bengkel. Dan apalagi dengan jarak lebih jauh dari bahaya lalu lintas untuk
meminimalkan kecelakaan.

2. Ruangan Bengkel
Ruangan bengkel sudah cukup ergonomis. Ditinjau dari tingkat penerangan
ruangan, bengkel ini sudah cukup cahaya. Selain mendapat cahaya dari sinar
matahari, beberapa ruangan di bengkel ini juga dilengkapi dengan lampu.
Lantai yang dipakai juga cukup kuat, tidak licin, dan jarak antara peralatan juga
cukup. Dinding yang dipakai baik sebagai suatu bengkel, terkesan teduh dengan cat
putih kelabu. Ventilasi sudah cukup, karena memang bengkel ini tidak menggunakan
pintu atau sistem terbuka, hanaya kantor dan tempat istirahat pekerja yang dilengkapi
dengan pintu, sehingga tidak ada halangan bagi sirkulasi udara keluar masuk
bengkel.

3. Ruangan Pekerja
Ruangan untuk pekerja bengkel cukup, tempat duduk yang dipakai standar.
Kursi yang ada terawat baik, ruang ganti juga cukup memadai. Tempat barang pribadi
sangat sederhana, cukup untuk menaruh untuk 3 orang pekerja.

4. Ruangan penyimpanan alat


Ruang penyimpanan alat bisa dikatakan ergonomis. Ruang penyimpanan alat
menggunakan lemari besar yang digunakan untuk meletakkan berbagai perlatan
bengkel. Ditinjau dari posisi meja, sudah cukup ergonomis. Penempatannya juga
teratur, mudah dijangkau pekerja. Ruangan juga cukup luas.

5. Pekerjaan
Aktivitas yang disurvei adalah pekerjaan las. Cara me-las yang dilakukan
sebagian sangat tidak ergonomis. Untuk me-las pembuatan pagar, pekerja melakukan
dengan cara duduk jongkok, ini sangat tidak ergonomi. Beberapa bagian pekerjaan
me-las harus dilakukan dengan berdiri, dan adakalanya me-las harus dilakukan
diketinggian dengan posisi memanjat. Hal ini terjadi karena tidak ada scaffolding
(perancah), sehingga posisi me-las tidak mematuhi norma-norma keselamatan kerja.

15
Beberapa pekerjaan me-las juga harus dilakukan dengan berjongkok, dan obyek
las ditaruh di lantai. Hal ini terjadi karena tidak ada meja las yang disediakan. Para
pekerja tidak dilengkapi dengan perlindungan muka (welding cap), sarung tangan
(welding glove), penutup dada, sehingga tubuh pekerja terpapar bahaya sinar ultra
violet. Dan tidak dilekngkapi sepatu, baju, dan topi kerja yang standar untuk pekerja
las.

Gambar di atas dapat memberi ilustrasi pekerjaan di bengkel las Richard.


Pengelasan yang dilakukan posisi jongkok yang tidak ergonomis. Posisi ini akan
menyebabkan beberapa gangguan tulang tungkai (Muscoloskeletal disorder atau
GOTRAK). Sebaiknya, posisi benda yang akan dilas dinaikkan setinggi bisa
dilakukan dengan berdiri, agar posisi me-las dapat dilakukan dengan ideal. Atau
dilakukan dengan duduk di tempat duduk yang nyaman melakukan pekerjaan las,
agar tidak mudah lelah.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan peralatan diatas adalah besi yang biasa
digunakan untuk kebutuhan perabotan dan konstruksi baja dan bangunan yang banyak
dipasaran. Teknik pengelasan yaitu “tack weld”(pengelasan titik) dan “full weld”
(pengelasan panjang) dengan posisi pengelasan yang berbeda-beda, sehingga hal
tersebut menimbulkan beberapa bahaya yang bervariasi termasuk risiko GOTRAK.

Adapun jumlah pekerja yang terlibat proses pembuatan suatu bentuk kostruksi
untuk pemotongan bahan, pengelasan dan pengecatan/finishing adalah 3 orang. Dan
untuk pemanasangan biasanya pemilik mencari tenaga kerja tambahan 1 atau 2 orang
16
untuk satu hari pemasangan, misalnya pemasangan teralis, pagar dan canopy atau pun
partisi. Pekerjaan ini pemasangan berbeda dengan pekerjaan pengelasan, karena
aktivitas ini diperlukan tenaga yang lebih untuk mengangkat dan menahan karena
pemasangan diketinggian. Pekerjaan ini memerlukan kewaspadaan yang tinggi agar
tidak menimbilkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

3. Bahaya Tukang Las (Kesehatan Lingkungan Kerja)

Terdapat beberapa segi negatif dari pekerjaan ”Tukang Las” diantaranya adalah
berasal dari faktor zat kimia yang terdiri dari elektroda, asap, debu dan gas,
kemudian dari zat biologis yaitu bakteri, zat fisis yaitu kebisingan dan temperatur
serta dari sisi ergonomik.

Pada pekerja las yang diamati akan dilihat mengenai dampak pneumoconiosis
adalah metode pengelasan yang digunakan adalah Arc Welding atau menggunakan
bahan Consumable Electrodes. Material ini akan dapat membuat pekerja las sering
tepapar gas-gas berbahaya dan partikulat asing. Proses-proses seperti pengelasan
dengan flux-cored arc welding dan shielded metal arc welding akan menimbulkan
asap yang mengandung partikel-partikel yang terdiri dari berbagai macam tipe-tipe
oksida. Gas-gas berbahaya ini akan dapat mengakibatkan penyakit Metal Fume Fever
bagi pekerja. Metal Fume Fever terjadi akibat terhisapnya uap atau asap (Fume) dari
Zn, Mg, atau Oksida-nya.

Kondisi dermatitis industri dapat dilihat dari segi zat fisis yaitu resiko kulit
terbakar, zat kimia yaitu terkontaminasi zat-zat kimia pada benda logam dan benda
berukuran kecil saat bekerja, tenaga mekanis bila zat kimia ini mengakibatkan alergi
pada pekerja yang memiliki efek iritasi pada kulit.

Dari hasil wawancara penulis dengan pekerja. Pada saat bekerja pertama kali,
pekerja merasakan kebisingan. Namun seiring waktu hal ini sudah menjadi hal yang
biasa bagi pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas pendengaran pekerja
berkurang seiring dengan waktu yang telah dihabiskan dalam pekerjaan ini. Efek
yang ditimbulkan oleh kebisingan di lingkungan kerja ini selain penurunan intensitas
pendengaran, yaitu efek psikologis yang terjadi seperti kehilangan konsentrasi yang
dapat mengganggu pekerjaan. Selain itu gangguan komunikasi juga dapat terjadi yang

17
dapat mengganggu kinerja dan keamanan pekerja. Pengendalian yang dapat dilakukan
adalah dengan alat pelindung diri.

Radiasi ionisasi mempunyai cukup energi untuk mengionisasi semua materi


yang dilaluinya, dan dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa tidak terdapatnya
radiasi ionisasi terhadap pekerjaan dari seorang ”Tukang Las”.

Radiasi dari non-ionisasi yaitu elektromagnet yang energinya tidak cukup untuk
mengeluarkan elektron dari orbit atomnya. Radiasi non-ionisasi terhadap pekerjaan
dari seorang ”Tukang Las” akan mengakibatkan hal-hal seperti berikut :

 Kerusakan pada retina akibat cahaya dengan intensitas tinggi.


 Kerusakan pada kornea dan katarak akibat radiasi IR.
 “Arc weld ” atau “welders flash” akibat radiasi UV.
 Mata seperti berpasir, pandangan kabur, mata berair, mata seperti terbakar
dan sakit kepala.

Temperatur pada lingkungan kerja bengkel las Richard berkisar di 27 0C yang


dapat dikategorikan normal. Dari hasil wawancara pekerja sering merasakan kondisi
panas ekstrim saat tengah hari dan sedang mengelas. Pekerjaan mengelas sendiri
dapat menghasilkan panas hingga 1500C-2500C. Hal ini dapat menimbulkan efek
stress dan stroke, luka serius pada mata akibat ampas panas, kepingan logam,
percikan dan elektroda panas. Panas yang tinggi dan percikan api dapat menyebabkan
kebakaran atau ledakan jika di sekitarnya terdapat bahan-bahan yang mudah dibakar.
Menurut wawancara pekerja tukang las Albindo, panas yang dihasilkan dari las
terkadang menimbulkan luka kecil. Efek yang paling sering dirasakan adalah ketika
suhu udara sedang panas dan di atas normal. Pekerja sering merasakan kelelahan
akibat panas yang ditimbulkan. Pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan
menangani material yang mudah terbakar dan alat pengaman diri.

Dari hasil survey, maka beberapa hal yang menimbulkan ketidakergonomisan


dalam lingkungan kerja di bengkel las Richard yaitu melakukan pekerjaan terpaksa
berjongkok, membungkuk, memiringkan badan dan sebagainya. Hal ini selain
mempengaruhi fisik pekerja juga mempengaruhi konsentrasi pekerja yang dibutuhkan
saat mengelas. Selain itu penyebab lainnya adalah cara kerja yang salah yakni
umumnya pekerja las ini hanya mengandalkan insting kenyamanan mereka dan tidak

18
mau ambil repot untuk membentuk prosedur kerja yang benar. Seringkali mereka juga
harus membolak-balikkan benda kerja sehingga beban yang mereka tanggung selain
ketidaknyamanan kerja akibat posisi kerja juga posisi membawa beban. Pengendalian
yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah tata letak ruang kerja, menambah alat
bantu serta prosedur kerja yang baik dan benar.

Terdapat beberapa metoda pengamanan umum yang dilakukan terhadap pekerjaan


dari seorang ”Tukang Las”, tetapi untuk keamanan diri secara standard adalah
penggunaan Personal Protective Equipment yang standar yang mudah dioperasikan
yang terdiri atas:

1. Helm dengan filter cahaya


2. Topi
3. Kacamata (Google)
4. Baju keselamatan
5. Celemek
6. Sarung tangan
7. Sepatu dengan cap baja
8. Proteksi pendengaran

19
BAB – IV
PEMBAHASAN

4.1. Gambaran aktivitas Pengelasan


Berdasarkan layout ruang produksi, penempatan sudah sesuai
dengan alur kerja/produksi. Selama proses, aktivitas lebih banyak
dilakukan diruang terbuka sehingga meminimalkan factor ergonomic
pencahayaan. Berdasarkan bab 3, terlihat bahwa pada semua area kerja
dibagian operasi kerja bengkel las Richard terdapat aktivitas postur tubuh
janggal yang melibatkan hampir semua anggota tubuh pekerja. Aktivitas
operasi dibengkel ini dimulai dari pengambilan material/besi yang
dibutuhkan untuk produksi yaitu: mengangkat/menurunkan, selnjutnya
pengkuran dan pemotongan material yang mengakibatkan repetitive
work dengan waktu duduk/jongkok yang lama yang merupakan static
posture. Aktivitas berikutnya penyetelan/ pengukuran material yang
akan dilas dengan waktu duduk/jongkok/berdiri yang berulang-ulang
(repetitive work). Setelah peyetelan selesai dilanjutkan dengan pekerjaan
mengelas yang dilakukan dengan duduk/jongkok dalam waktu yang lama
yang juga merupakan static posture. Berat beban, durasi, serta frekwensi
dari aktivitas pengelasan tidak selalu sama sehingga menghasilkan
tingkat risiko ergonomic yang berbeda-beda. Tingkat ergonomic yang
berbeda akan menimbulkan keluhan (GOTRAK) yang juga berbeda.
Perbedaan distribusi keluhan GOTRAK selain ditimbulkan oleh factor
pekerjaan juga dipengaruhi oleh factor individu pekerja.

4.2. Tingkat Risiko Ergonomi Perbahagian Tubuh


Berdasarkan pemantauan penulis, terlihat bahwa pada aktivitas
mengangkat yang dilakukan pekerja, terdapat risiko ergonomic disemua
bagian tubuh, namun dengan tingkat risiko yang berbeda-beda. Postur

20
janggal adalah factor risisko yang selalu ada di setiap aktivitas dan
berefek disemua bagian tubuh.

4.2.1. Tangan Kiri


Tingkat risiko ergonomic yang tinggi pada tangan kiri terdapat
pada area pemotongan. Karena pada pekerjaan ini tangan pekerja sering
digunakan pada posisi power grip (saat mengenggam besi yang dipotong)
untuk memegang dan mendorong material yang dipotong dengan cutting
mechine dengan beban dorong < 10 lbs. Dan memiliki risiko sedang pada
tangan kiri. Namun mempunyai durasi yang cukup lama tergantung dari
jumlah matrerialnya, tapi rata-rata durasinya sampai 30 menit. Sedangkan
tingkat resiko sedang akibat postur janggal yang sering (frekuensi lebih
dari 30 kali/menit terdapat pada aktivitas pemotongan dengan lama
duduk (menggunakan kedua tangan), serta aktivitas mengampalas
dilakukan oleh helper setelah dilakukan pendompolan dan kemudian
pengecatan.

4.2.2. Tangan Kanan


Tingkat risiko ergonomic yang tinggi pada tangan kanan terdapat
pada pekerjaan pemotongan, pengelasan dan pengecatan. Pada
pekerjaan pemotongan tangan kanan siring dengan power grip saat
memegang handle mesin potong dengan berat >10 lbs dan frekuensi >30
kali/menit. Pada pemotongan ini tingkat risiko tinggi terjadi postur
janggal tubuh duduk/jongkok. Sedangkan pada pekerjaan pengelasan,
tangan kanan sering power grip saat memegang handle tang las dengan
berat <10 lbs dan frekuensi >30 kali/menit. Pada pekerjaan pengelasan
ini risiko tinggi terjadi postur janggal tubuh duduk/jongkok. Dan saat
pekerjaan pengecatan, tangan kanan sering power grip saat memegang
handle spray gun dengan berat <10 lbs dan frekuensi >30 kali/menit.

21
Pada pekerjaan mengecat ini tingkat risiko tinggi terjadi postur janggal
tangan bolak-balik dengan tubuh lama berdiri.

4.2.3. Siku kiri


Tingkat risiko ergonomic yang sedang terjadi pada siku kiri
terdapat pada pekerjaan memotong, karena pada pekerjaan ini tangan kiri
memegang besi yang dipotong fully extended (mendorong/menarik besi)
dengan berat < 10 lbs dalam frekuensi >30 kali/menit. Tingkat risiko
sedan terjadi pada siku kiri pada saat pengelasan , dimana pekerjaan
pengelasan ini tangan kiri kadangkala memegang benda yang akan di las
sehingga siku kiri memperoleh beban < 10 lbs dan frekuensi > 30
kali/menit. Tingkat risiko rendah terjadi pada saat melakukan
pengecatan, karena tangan kiri tidak tidak aktif sehingga siku kiri tidak
mempunyai postur janggal.

4.2.4. Siku kanan


Tingkat risiko ergonomic yang tinggi terjadi pada siku kanan
terdapat pada pekerjaan memotong, karena pada pekerjaan ini tangan
kanan memegang handel mesin potong, posisi tangan fully extended
(mendorong/menarik handel mesin potong) dengan berat < 10 lbs dalam
frekuensi >30 kali/menit. Tingkat risiko tinggi terjadi pada siku kanan
pada saat pengelasan , dimana pekerjaan pengelasan ini tangan kanan
megang stang las dengan gerakan maju mundur sehingga siku kanan
memperoleh beban < 10 lbs dan frekuensi > 30 kali/menit. Tingkat risiko
tinggi terjadi pada saat melakukan pengecatan, karena tangan kanan
bergerak maju mundur untuk dan siku fully extended berulang-ulang
dengan beban < 10 lbs dan frekuensi > 30 kali/ menit.

4.2.5. Bahu kiri


Tingkat risiko ergonomic yang sedang terjadi pada bahu kiri
terdapat pada pekerjaan memotong, karena pada pekerjaan ini tangan kiri
memegang besi yang dipotong fully extended (mendorong/menarik besi)
dengan berat < 10 lbs dalam frekuensi >30 kali/menit. Tingkat risiko
sedang terjadi pada bahu kiri pada saat pengelasan , dimana pekerjaan
pengelasan ini tangan kiri kadangkala memegang benda yang akan di las
sehingga bahu kiri memperoleh beban < 10 lbs dan frekuensi > 30
kali/menit. Tingkat risiko rendah terjadi pada saat melakukan

22
pengecatan, karena tangan kiri tidak tidak aktif sehingga bahu kiri tidak
mempunyai postur janggal.

4.2.6. Siku kanan


Tingkat risiko ergonomic yang tinggi terjadi pada bahu kanan
terdapat pada pekerjaan memotong, karena pada pekerjaan ini tangan
kanan memegang handel mesin potong, posisi tangan fully extended
(mendorong/menarik handel mesin potong) dengan berat < 10 lbs dalam
frekuensi >30 kali/menit. Tingkat risiko tinggi terjadi pada bahu kanan
pada saat pengelasan , dimana pekerjaan pengelasan ini tangan kanan
megang stang las dengan gerakan maju mundur sehingga bahu kanan
memperoleh beban < 10 lbs dan frekuensi > 30 kali/menit. Tingkat risiko
tinggi terjadi pada saat melakukan pengecatan, karena tangan kanan
bergerak maju mundur dan bahu fully extended berulang-ulang dengan
beban < 10 lbs dan frekuensi > 30 kali/ menit.

4.2.7. Leher
Tingkat risiko ergonomic yang tinggi pada leher terdapat pada
pekerjaan pemotongan.pengelasan dan pengecatan Karena pada
pekerjaan ini kedua tangan pekerja sering bergerak bergerak maju
mundur dengan posisi duduk/membungkuk > 10 detik dan frekwensi > 2
kali/detik, akibat posisi material yang dikerjakan tidak sejajar dengan
mata sehingga gerakan leher bolak balik (twisting).

4.2.8. Pinggang
Tingkat risiko ergonomic yang rendah pada pinggang terdapat
pada pekerjaan pemotongan.pengelasan dan pengecatan Karena pada
pekerjaan ini kedua tangan pekerja yang aktif, sehingga bebab terhadap
pinggang dapat diabaikan.

4.2.9. Kaki
Tingkat risiko ergonomic yang tinggi terjadi pada kedua kaki kiri
dan kanan terdapat pada pekerjaan memotong, mengelas, karena pada

23
pekerjaan ini lama menekuk/melipat kedua kaki duduk membungkuk
lebih dari 10 menit dengan durasi > 30 % sehari. Tingkat risiko sedang,
karena postur janggal dengan frekuensi lebih dari 2 kali/menit dengan
durasi yang lama terjadi pada pekerjaan mengecatan.

4.3. Tingkat Keluhan GOTRAK Perbahagian Tubuh


Keluhan GOTRAK dinilai dengan cara tatap muka dengan pekerja.
Secara keseluruhn, keluhan GOTRAK paling banyak dirasakan pada
bahu kanan (69%), bahu kiri (65%) leher (64%), punggung (62%),
pinggang ke belakang (57%), dan leher bagian bawah (56%).Keluhn
yang dirasakan mayoritas adalah keluhan sedang dengan gejala
sakit/nyeri, panas, kaku atau pegal. Enam bagian tubuh itulah yang paling
banyak mengalami keluhan GOTRAK disetiap kelompok berdasarkan
factor individu, namun persentasenya dapat berbeda.
Pada aktivitas pekerjaan bengkel las, terdapat keluhan GOTRAK
disemua bagian tubuh, namun dengan tingkat keluhan yang berbeda-beda
dan dalam hal keparahan dan frekuensi keluhan yang dirasakan. Selain
oleh factor pekerjaan (tingkat risiko ergonomic perbahgian tubuh) seperti
telah dibahas pada poin 4.2 diatas, tingkat keluhan GOTRAK dapat juga
dipengaruhi oleh factor individu yang ada disetiap pekerja.

4.3.1. Tempat Pemotongan


Pemotongan dilakukan oleh satu orang pekerja sehingga
pemindahan besi yang akan dipotong diakukan sendiri. Berdasarkan hasil
BRIEFSurvey, tingkat risiko ergonomic pada 9 tubuh tergolong tinggi.
Demikian juga dengan hasil kuisioner langsung menunjukkan tingkat
keluhan GOTRAK pada 9 bagian tubuh tergolong berat, oleh sebab itu
pada pekerjaan mengelas ini perlu segera dilakukan tindakan perbaikan.
Dari 3 orang pekerja terdapat 3 orang (100%) yang merasakan keluhan

24
GOTRAK. Keduanya berjenis kelamin laki-laki, dengan masa kerja 3
tahun, perokok ringan, tidak terbiasa berolah raga, mayoritas cukup tidur
sehingga secara teori tidak terlalu berisiko GOTRAK. Tingkat keluhan
GOTRAK yang berat lebih disebabkan oleh tingkat risiko ergonomic
yang tinggi dan bukan karena factor individu pekerja. Oleh sebab itu
pekerjaan pengelasan disarankan untuk dilakukan training keselamatan
dan kesehatan kerja terutama tentang ergonomic pekerjaan pengelasan.
Pihak manajemen perlu mempertimbangkan peyediaan/penggunaan alat
pelindung diri (APD) seperti penggunaan masker dan sarung tangan dan
sepatu kerja untuk melkuakn pemotongan logam.

4.3.2. Tempat Pengelasan


Pada tempat pengelasan tingkat risiko ergonomic berdasakan hasil
Brief Suvey tergolong tinggi, kecuali pada siku tergolong sedang.
Demikian pula dengan hasil pertanyaan langsung pada pekerja, tingkat
GOTRAK pada bagian tubuh mayoritas adalah tinggi. Dari 3 orang
pekerja, terdapat 3 orang (100%) yang merasa keluhan GOTRAK,
mayoritas berkelamin laki-laki (100%), sebanyak (100%) adalah berumur
> 30 tahun, masa kerja <5 tahun (100%). Tingkat keluhan GOTRAK
yang berat lebih disebabkan oleh tingkat risiko ergonomic yang tinggi
adalah factor pekerjaan. Terdapat postur janggal desain tempat kerja
tidak sesuai dengan antropometri pekerja, dan cara kerja yang dilakukan
pekerja relatif tidk ergonomic (seringkali dilakukan dengan jongkok
dalam waktu lama) sehingga menimbulakan keluhan GOTRAK. Oleh
sebab itu pada pekerjaan pengelasan disarankan untuk training mengenai
cara melakukan pekerjaan mengelas yang benar agar
persendian/kaki/punggung tidak menahan berat badan yang lebih akibat
kerja.

25
4.3.3. Tempat Pengecatan
Pada tempat pengecatan, tingkat risiko ergonomic berdasarkan
Brief Survey pada punggung dan leher tergolong sedang sehingga perlu
dilakukan tindakan perbaikan, sedangkan pada tangan kanan bahu, dan
kaki tergolong tinggi. Tingkat keluhan GOTRAK pada tangan kanan,
bahu kanan dan kaki terolong berat karena factor pekerjan tersebut.
Selain itu kondisi proses pengecatan yang cukup lama ( mesin jalan +/- 2
jam), mengharuskan pekerja tidak bisa menghentikan pekerjaan.
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan kepada pekerja, diperoleh
keterangan dari 3 orang pekerja di temapat pengecatan, 3 orang (100%)
mengalami keluhan GOTRAK. Dari 3 orang tersebut berkelamin laki-
laki (100%) berusia > 30 tahun (100%), masa kerja <5 tahun (100%) jam
tidur cukup +/- 7 jam (100%), perokok (100%), dan tidak terbiasa
berolah raga (100%). Oleh sebab itu pada tempat pengecatan disarankan
melakukan menggunakan alat pelindung diri (APD) yang benar dan
istirahat dalam waktu 1 jam pada setiap aktivitas. Pihak manajemen perlu
mengatur jam kerja agar pekerja bisa istirahat 10 menit setiap melakukan
aktivitas pengecatan.

4.3.4. Tempat pemasangan


Tempat pemasnagan ini bervariasi tergantung daripada pemesanan
barang (canopy, pagar, pintu, folding gate, teralis), namun tinngkat risiko
ergonomic sangat tinggi, sangat dominan mengangkat canopy yang berat,
apalagi pekerjaan dilakukan pada ketinggian. Berdasarkan hasil Brief
Survey pada 9 bagian tubuh tergolong tinggi terutama pada bagian siku,
bahu dan punggung serta berat beban ditamabah berat badan bertumpu
pada kaki. Berdasarkan hasil wawancara langsung pada pekerja diperoleh
data dari 3 orang pekerja terdapat 3 orang (100%) mengalami GOTRAK.
Dari 2 orang tersebut adalah berkelamin laki-laki (1))%), berusia >30

26
tahun (100%), masa kerja <5 tahun, jam tidur > 7 jam (100%), perokok
sedang/bulan (100%), dan semuanya tidak terbiasa berolah raga. Keluhan
GOTRAK yang dirasakan pekerja lebih disebabkan factor pekerjaan,
yaitu karena beban material yang dipasang terlalu berat, dan saat harus
berulang kali naik turun tangga untuk menstel canopy diketinggian. Pada
saat pengelasan, pekerjaan hanya dilakukan oleh 1 orang pekerja dan
yang lainnya ikut membantu untuk menahan beban canopy. Oleh sebab
itu disarankan pada pekerja diketinggian disarankan untuk menggunakan
alat (scaffolding) dan menggunakan body hardness untuk menghindari
kecelakaan. Selain itu tangga yang digunakan mempunyai pijakan yang
lebih lebar.

4.4. Distribusi Keluhan GOTRAK berdasakan factor individu


4.4.1. Jenis kelamin
Distribusi keluhan GOTRAK pada pekerja perempuan (97%) lebih
besar dari laki-laki (86%). Hal ini sesuai dengan Astrand dan Rodahl
(1977) dalam Tarwaka (2004) bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar
2/3 dari kekuatan otot pria sehingga perbandingan otot antara pria dan
wanita adalah 1:3.

4.4.2. Umur Pekerja


Keluhan GOTRAK paling banyak terjadi pada kelompok pekerja
yang berusia 30-45 dibanding dengan kelompok umur yang lain. Hal ini
sesuai dengan penelitian Garg, Bigos dan Sorenson yang menunjukkan
bahwa insidensi kejadian low back pain pada pekerja terjadi pada usia
31-45 tahun karena alamiah kemampuan fisik seseorang akan mengalami
penurunan saat memasuki umur 40 tahun.

27
4.4.3. Masa Kerja
Keluhan GOTRAK paling banyak terjadi pada kelompok pekerja
yang masa kerjanya lebih dari 10 tahun disbanding dengan kelompok
kerja yang lain, Hal ini sesuai dengan penelitian pada populasi pekerja
industry tekstil India bahwa gejala low back pain lebih banyak terjadi
pada pekerja yang telah bekerja 10 tahun.

4.4.4. Jam Tidur Pekerja


Keluhan GOTRAK paling banyak terjadi pada kelompok pekerja
yang memiliki kebiasaan tidur kurang dar 7 jam/hari. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa keluhan otot jarang ditemukan pada seseorang yang
memiliki waktu istirahat yang cukup di dalam kesehariannya (minimal 7
jam sehari).

4.4.5. Kebiasaan Merokok


Keluhan GOTRAK paling banyak terjadi pada kelompok pekerja
perokok ringan lebih tinggi disbanding dengan pekerja yang tidak
merokok. Secara teori kebiasaan merokok berhubungan dengan nyeri
otot, namun keluhan GOTRAK juga dapat dipengaruhi oleh factor
individual yang lain dan tingkat risiko ergonomic yang dialami pekerja.
Pada penelitian ini kebiasaan merokok hanya dilihat dari jumlah batang
rokok yang dihisap tanapa melihat factor jenis rokok, lamanya
mempunyai kebiasaan merokok, kedalaman menghisap rokok yang dapat
mempengaruhi tingkat keluhan GOTRAK yang dihasilkan. Selain itu
seperti yang telah disampaikan oelh beberapa peneliti, rokok memberikan
waktu yang cukup panjang untuk dapat menimbulkan keluhan kronis di
punggung dan pengaruh rokok yang tidak terlalu spesifik kepada nyeri
tulang punggung bawah.

28
4.4.6. Kebiasaan Olah Raga Pekerja
Keluhan GOTRAK pada pekerja yang berolah raga lebih kurang
disbanding dengan pekerja yang tidak berolahraga. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa kesegaran jasmani dan kemampuan fisik dipengaruhi oleh
kebiasaan olah raga karena olah raga melatih kerja fungsi-fungsi otot
sehingga keluhan otot lebih terjadi jarang terjadi(Hairy, 1989 dan
Genaidy, 1996 dalam Tarwaka, 2004). Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Eriksen et al., di Norwegia yang dipublikasikan pada tahun
1999 yang menyatakan bahwa karyawan yang tidak melakukan
exercize/olah raga dengan frekuensi 1 kali atau lebih dalam seminggu
mempunyai kemungkinan terjadinya low back pain sebesar 1,55 kali
disbanding dengan karyawan yang melakukan olah raga 1 kali atau lebih
dalam seminggu. Olah raga mempunyai peranan yang penting dalam
rangka memperkuat punggung, meningkatkankapasitas aerobic dan
kesegaran jasmani secara umum. Selain itu latihan latihan teratur dapat
mengurangi stress pada punggung dan mengurangi dampak kejutan
kerena beban besar pada punggung.
Dengan meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot punggung, beban
akan terdistribusi secara merata dan mengurangi beban hanya pada tulang
belakang. Selain sebagai upaya preventif misalnya dengan peregangan,
olah raga ternyata dapat juga mengurangi gejala nyeri bila sudah terjadi
gangguan nyeri punggung bawah.
Pada penelitian ini keluhan GOTRAK yang dialami pekerja adalah
keluhan subyektif yang dirasakan saat/setelah bekerja d bengkel Albindo
dan bukan disebabkan oleh kecelakaan/olahraga atau aktivitas lain diluar
pekerjaan.
Meskipun sebagian besar keluhan yang dialami pekerja dapat
diatasi dengan istirahat/tidur atau dengan minum obat/suplemen, namun
demikian perlu dilakukan tindakan perbaikan untuk meminimalisir

29
tingkat risiko ergonomic dan keluhan GOTRAK. Selain itu, pekerjaan
dengan tingkat risiko ergonomic yang tinggi perlu diprioritaskan
penanggulangannya mengingat factor pekerjaan berhubungan dengan
timbulnya keluhan GOTRAK (berbanding lurus) meskipun keluhan yang
yang dinilai bersifat subyektif. Sedangkan factor lainnya (factor individu
dan lingkungan, misalnya suhu) perlu diteliti lebih lanjut pengaruhnya
terhadap keluhan GOTRAK dan perlu diperkuat dengan bukti klinis,
mengingat keluhan GOTRAK dipengaruhi oleh multifactor dan bersifat
kumulatif (timbul setelah waku yang lama).

FAKTOR RISIKO GOTRAK (LIHAT LAMPIRAN 1, 2, 3)

RWL NIOSH 1991

30
31
32
33
34
35
36
37
H = 20 + W/2
= 20 + 20/2
= 20 + 10
= 30 cm
V = 100 cm
D = 200 cm
A = 120o
FM = 0,55
CM = 0,9

RWL ( Kg )
= 23 x HM x VM x DM x AM x FM x CM
= 23 x (25/30) x (1 - (0.003 x (V-75)) x (0,82 + (4,5/D)) x (1- 0,0032A) x FM x CM
= 23 x (25/30) x (1 - (0,003 x (100 - 75)) x (0,82 + (4,5/200) x (1-0,0032 x 120) x
0,55 x 0,9
= 19,166 x 0,925 x 0,8425 x 0,616 x 0,495
= 4,55 Kg

38
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Terdapat aktivitas lifting di tahap akhir proses pekerjaan pengelasan


pembuatan canopy, pagar, teralis pintu dan folding gate. Terdapat postur
janggal, postur statis (duduk jongkok dalam waktu lama) dan repetitive
works. Berat beban, durasi dan frekuensi pada tiap pekerjaan tidak selalu
sama.

2. Tingkat risiko ergonomic berbeda-beda antara tiap langkah pekerjaan. Risiko


ergonomic yang tinggi terdapat pada pekerjaan pemotongan, pengelasan,
pengecatan dan pemasangan.

3. Keluhan GOTRAK yang paling banyak dirasakan pada bahu kanan, bahu
kiri, leher, punggung, pinggang belakang, dan leher bagian bawah. Tingkat
keluhan tidak selalu sama antara setiap langkah pekerjaan tergantung tingkat
risiko ergonomic pda bagian tubuh tersebut dan juga factor individu pekerjs
psds masing-masing bentuk pekerjaan. Keluhan GOTRAK yang berat
dialami oleh pekerja di pemotongan, pengelasan, pengecatan dan
pemasangan.

4. Distribusi keluhan GOTRAK berdasarkan factor individu:

 Jenis Kelamin : Laki-laki


 Usia paling tinggi : 30 – 45 tahun
 Masa kerja : < 5 tahun
 Kebiasaan tidur : > 7 tahun
 Kebiasaan merokok : perokok sedang
 Kebiasaan olah raga : tidak terbiasa berolah raga.

5.2. Saran

Untuk mengurangi tingkat risiko ergonomic di bengkel pengelasan Richard,


perlu dilakukan upaya perbaikan dan pengendalian antara lain:

39
HIRARKI PENGENDALIAN BAHAYA

a. Elimination yaitu dengan menghilangkan bentuk dari sumber bahaya, bila hal ini
tidak dapat dilakukan maka lakukan urutan berikut.
b. Substitusi yaitu dengan mengganti fasilitas atau alat yang menimbulkan bahaya
c. Engineering Control
- Penggunaan alat bantu (meja kerja) dalam pemotongan, pengelasan, dan
pemasangan (scaffolding) untuk bekerja diketinggian agar mengurangi
aktivitas duduk menjongkok dan mengangkat beban waktu pemasangan
menggunakan alat (lifting) seperti hoist yang digerakan dengan tangan oleh
karena bekerja pada tempat yang tidak bisa diangkat dengan pesawat angkat
dan angkut.
- Pemakaian alat bantu seperti meja kerja dan hoist pengangkat dan pijakan
tangga yang lebih lebar agar tidak terpeleset saat naik dan turun.

d. Administrative Control: Manajemen K3 dan semua norma-norma yang


berlaku, dimana disini berlaku reward and punishment, artinya bahaya
dikendalikan dengan menerapkan instruksi kerja atau penjadualan kerja untuk
mengurangi paparan terhadap bahaya.
e. Personal protective equipment, artinya pekerja dilindungi dari bahaya dengan
menggunakan alat pelindung diri.
f. Alat pelindung diri diklasifikasikan berdasarkan target organ tubuh yang
berpotensi terkena resiko dari bahaya.

40

Anda mungkin juga menyukai