Anda di halaman 1dari 75

Bab 2

Tinjauan Pustaka

2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


2.1.1. Pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Kecelakaan dan sakit di tempat kerja membunuh dan memakan lebih banyak
korban jika dibandingkan dengan perang dunia. Riset yang dilakukan badan dunia
ILO menghasilkan kesimpulan, setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, setara
dengan satu orang setiap 15 detik, atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit atau
kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang meninggal
dua kali lebih banyak ketimbang wanita, karena mereka lebih mungkin melakukan
pekerjaan yang berbahaya. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja telah
menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang diderita dalam
pekerjaan, seperti membongkar zat kimia beracun. (Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Rudi Suardi, 2005)

Kecelakaan kerja tidak harus dilihat sebagai takdir, karena kecelakaan itu tidaklah
terjadi begitu saja. Kecelakaan pasti ada penyebabnya. Kelalaian perusahaan yang
semata-mata memusatkan diri pada keuntungan, dan kegagalan pemerintah untuk
meratifikasi konvensi keselamatan internasional atau melakukan pemeriksaan
buruh, merupakan dua penyebab besar kematian terhadap pekerja. Negara kaya
sering mengekspor pekerjaan berbahaya ke negara miskin dengan upah yang lebih
murah dan standar keselamatan pekerja yang lebih rendah. Selain itu, negara-
negara berkembang seperti Indoensia, undang-undang keselamatan kerja yang
berlaku tidak secara otomatis meningkatkan kondisi di tempat kerja, di samping
hukuman yang ringan bagi yang melanggar aturan. Padahal meningkatkan standar
keselamatan kerja yang lebih baik akan menghasilkan keuangan yang baik.
Pengeluaran biaya akibat kecelakaan dan sakit yang berkaitan dengan kerja
merugikan ekonomi dunia lebih dari seribu miliar dolar (850 miliar euro) di
seluruh dunia, atau 20 kali jumlah bantuan umum yang diberikan pada dunia
berkembang. Di AS saja, kecelakaan kerja merugikan perusahaan puluhan miliar

5
6

dolar karena meningkatnya premi asuransi, kompensasi, dan menggaji staf


pengganti. Angka K3 perusahaan di Indonesia secara umum ternyata masih
rendah. Berdasarkan data organisasi buruh internasional di bawah PBB (ILO),
Indonesia menduduki peringkat ke-26 dari 27 negara.

Sumber : Rudi Suardi, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja,


Panduan Penerapan Berdasarkan OHSAS 18001 & Permenaker
05/1996, 2005.

Gambar 2.1. Data penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan di
Indonesia tahun 2003.
7

Gambar di atas menunjukkan bahwa, kinerja penerapan K3 di perusahaan-


perusahaan Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Padahal kalau kita
menyadari secara nyata bahwa volume kecelakaan kerja juga menjadi kontribusi
untuk melihat kesiapan daya saing. Jika volume ini masih terus tinggi, Indonesia
bisa kesulitan dalam menghadapi pasar global. Jelas ini akan merugikan semua
pihak, termasuk perekonomian kita. Juga terjadi ketidakefisienan sehingga tidak
dapat bersaing.

Jadi, berdasarkan fakta-fakta sebagaimana dikemukan di depan dapat disimpulkan


bahwa, perkembangan dan pertumbuhan bangsa, baik sekarang maupun di masa
yang akan datang tentunya tidak lepas dari peranan proses industrialisasi. Maju
mundurnya suatu industri sangat ditunjang oleh peranan tenaga kerja (buruh).
Untuk dapat membangun tenaga yang produktif, sehat, dan berkualitas perlu
adanya manajemen yang baik, terutama yang terkait dengan masalah Keselamatan
dan Kesehatan kerja (K3).

K3 yang termasuk dalam suatu wadah higiene perusahaan dan kesehatan kerja
(hiperkes) terkadang terlupakan oleh para pengusaha. Padahal, K3 mempunyai
tujuan pokok dalam upaya memajukan dan mengembangkan proses
industrialisasi, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan para buruh.

Tujuan dari Sistem Manajemen K3 adalah :


1. Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-
tingginya, baik buruh, petani, nelayan, pegawai negeri, atau pekerja-pekerja
lepas.
2. Sebagai upaya untuk mencegah kecelakaan dan memberantas penyakit dan
kecelakaan-kecelakaan akibat kerja, memelihara, dan meningkatkan kesehatan
dan gizi para tenaga kerja, merawat dan meningkatkan efisiensi dan daya
produktivitas tenaga manusia, memberantas kelelahan dan melipatgandakan
gairah serta kenikmatan manusia.
8

Lebih jauh lagi sistem ini memberikan perlindungan bagi masyarakat sekitar suatu
perusahaan agar terhindar dari bahaya pengotoran bahan-bahan proses
industrialisasi yang bersangkutan, dan perlindungan masyarakat luas dari bahaya-
bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh produk-produk industri.

Dalam konteks ini, kiranya tidak berlebihan jika K3 dikatakan merupakan modal
utama kesejahteraan para buruh/tenaga kerja dalam suatu wadah industri tentunya
akan memberikan dampak lain, salah satunya adalah sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas. Di era pasar bebas tentu daya saing satu proses industrialisasi
semakin ketat dan sangat menentukan maju tidaknya pembangunan suatu bangsa.

Dalam pasar bebas tingkat ASEAN saja, yang dikenal dengan istilah AFTA
(ASEAN Free Trade Area) sangat dibutuhkan peningkatan produktivitas kerja
untukdapat bersaing dan mampu menghasilkan barang dan jasa yang bermutu
tinggi. Untuk itu, penerapan peraturan perundang-undangan dan pengawasan serta
perlindunagn para buruh/karyawan sanat memerlukan sistem manajemen industri
yang baik dengan menerapkan K3 secara optimal. Sebab, faktor Keselamatan dan
Kesehatan Kerja sangat mempengaruhi terbentuknya SDM yang terampil,
professional, dan berkualitas dari tenaga kerja itu sendiri.

2.1.2. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Kesehatan kerja merupakan suatu kondisi yang bebas dari gangguan secara fisik
dan psikis yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Resiko kesehatan dapat terjadi
karena adanya faktor-faktor dalam lingkungan kerja yang bekerja melebihi
periode waktu yang ditentukan dan lingkungan yang menimbulkan stress atau
gangguan fisik. Sedangkan keselamatan kerja merupakan kondisi yang aman atau
selamat dari penderitaan dan kerusakan atau kerugian di tempat kerja berupa
penggunaan mesin, peralatan, bahan-bahan dan proses pengolahan, lantai tempat
bekerja dan lingkungan kerja, serta metode kerja. Resiko keselamatan dapat
terjadi karena aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan
kebakaran, sengatan aliran listrik, terpotong, luka memar, keseleo, patah tulang,
9

serta kerusakan anggota tubuh, penglihatan dan pendengaran. (Megginson dalam


Mangkunegara, 2000)

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan aktivitas kerja


manusia baik pada industri manufaktur, yang melibatkan mesin, peralatan,
penanganan material, pesawat uap, bejana bertekanan, alat kerja, bahan dan proses
pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara
melakukan pekerjaan, maupun industri jasa, yang melibatkan peralatan
berteknologi canggih, seperti lift, eskalator, peralatan pembersih gedung, sarana
transportasi, dan lain-lain.

Sedangkan pengertian keselamatan kerja menurut Dr. Suma’mur P.K., M.Sc


dalam bukunya : “Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan” adalah
keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses
pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara
melakukan pekerjaan.

Tujuan program keselamatan kerja adalah sebagai berikut :


1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan
pekerjaannya untuk meningkatkan produksi serta produktivitas nasional,
sebagaimana diatur oleh undang-undang dan peraturan mengenai tenaga
kerja.
2. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja.
3. Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.

Di Indonesia, kesehatan kerja bertujuan untuk menciptakan kesehatan karyawan


agar dapat bekerja secara aktif dan produktif. Ruang lingkup kesehatan kerja
mencakup pengobatan preventif untuk menjaga kesehatan dan pengobatan atau
penyembuhan untuk meningkatkan, melindungi dari resiko akibat proses produksi
yang dapat mempengaruhi kesehatan, kesejahteraan dan produktivitas kerja, serta
penyesuaian lingkungan kerja untuk mencapai kenyamanan dan efisiensi kerja.
Sedangkan keselamatan kerja bertujuan untuk meningkatkan usaha-usaha
10

keselamatan dan pencegahan kecelakaan kerja, penyakit kerja, cacat, dan


kematian.

Penerapan program kesehatan dan keselamatan kerja juga bertujuan untuk


mengendalikan resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja untuk menciptakan
tempat kerja yang aman, efisien dan efektif. Selain itu juga untuk mengendalikan
resiko kerugian baik korban manusia, kerusakan aset, terhentinya produksi dan
rusaknya lingkungan alam. Apabila resiko-resiko yang menghambat proses
produksi, termasuk kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dikendalikan,
maka akan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan seluruh sistem
dalam mencapai kesuksesan secara menyeluruh baik dari segi kebijakan, prosedur,
proses dan peraturan-peraturan.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penerapan kesehatan kerja betujuan agar
karyawan memperoleh kesehatan yang sempurna baik fisik, psikis maupun sosial,
sedangkan keselamatan kerja bertujuan agar tenaga kerja dapat terlindungi,
selamat dan aman. Kesehatan dan keselamatan kerja yang dilindungi dengan baik
akan memungkinkan karyawan untuk bekerja secara optimal.

2.1.3. Proses Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Dalam pasar bebas yang marak dengan berbagai persaingan, penerapan
manajemen K3 sangat penting untuk dijalankan dengan baik dan terarah. Proses
industrialisasi merupakan ‘syarat mutlak’ untuk membangun negeri ini.
Pengalaman di negara-negara lain menunjukkan bahwa tren suatu pertumbuhan
dari sistem keselamatan dan kesehatan kerja adalah melalui fase-fase, yaitu fase
kesejahteraan, fase produktivitas kerja, dan fase toksikologi industri.

Sekarang ini, K3 sebagaimana halnya aspek-aspek tentang pengaturan tenaga


kerja, sedang berada pada fase ‘kesejahteraan’, terutama umumnya para buruh.
Mungkin setelah tercapainya kestabilan, politik, hukum dan ekonomi, kita bisa
memulai menginjakkan kaki ke fase produktivitas kerja. Sedangkan fase
11

toksikologi industri, cepat atau lambatnya tercapai tergantung pada kemampuan


untuk mengembangkan perinduystrian pada umumnya.

Pelaksanaan K3 di perusahaan sangat tergantung dari rasa tanggung jawab


manajemen dan tenaga kerja terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta
kerja sama dalam pelaksanaan K3. Proses manajemen K3 meliputi pelaksanaan
fungsi-fungsi manajemen di bidang K3, yaitu fungsi perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan.

Fungsi perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang perlu mendapat
perhatian, karena dari perencanaan yang baik dapat diharapkan terlaksananya
fungsi manajemen lainnya dengan baik, karena semua fungsi manajemen
berkaitan satu sama lain. Pelaksanaan kegiatan K3 menjadi kurang terarah apabila
tidak ada perencanaan yang baik. Begitu pula fungsi pengawasan akan berjalan
dengan baik kalau perencanaan sudah baik. Pengawasan yang baik sudah dimulai
pada tahap perencanaan. Demikian pula dengan suatu program K3, harus dimulai
dengan suatu perencanaan yang baik, ditujukan untuk mencapai sasaran yang
telah ditentukan terlebih dahulu.

Proses manajemen K3 seperti proses manajemen pada umumnya, yaitu penerapan


berbagai fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan). Fungsi
perencanaan meliputi perkiraan/peramalan (forecasting) dilanjutkan dengan
penetapan tujuan dan sarasan yang akan dicapai, menganalisa data, fakta dan
informasi, merumuskan masalah serta menyusun program. Fungsi berikutnya
adalah fungsi pelaksanaan yang mencangkup pengorganisasian, penempatan staf,
pendanaan serta implementasi program. Fungsi terakhir adalah fungsi pengawasan
yang meliputi pemantauan dan evaluasi hasil kegiatan serta pengendalian.
Walaupun secara teoritis perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dipisah-
pisahkan, tapi sebenarnya ketiga hal ini merupakan suatu proses yang
berkelanjutan dan saling berkaitan.
12

Sumber : Bennet Silalahi.

Gambar 2.2. Siklus manajemen.

Manajemen K3 bukanlah manajemen yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari


manajemen perusahaan secara keseluruhan. Karena itu perumusan masalah yang
dihadapi adalah untuk memecahkan hambatan di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja, dengan demikian akan mendorong sukses perusahaan. Pada
hakekatnya proses manajemen adalah proses yang berkelanjutan, dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan dilanjutkan dengan pengawasan.

Upaya peningkatan efisiensi melalui upaya K3 perlu mendapatkan perhatian


manajemen, karena kaitannya dengan produksi sangat erat. Berbagai kelemahan
dalam sistem K3 dengan cepat memberikan gambaran kelemahan dalam sistem
produksi. Perhatian terhadap K3 akan berpengaruh langsung pada sistem operasi
dan keuntungan perusahaan.

Pelaksanaan program K3 sasarannya adalah tempat kerja yang aman dan sehat.
Untuk itu semua permasalahan yang menghambat tercapainya tujuan harus
diidentifikasi, dievaluasi, dicari penyebab dasarnya untuk kemudian diupayakan
cara pemecahan yang paling baik.

Para ahli di bidang K3 sepakat bahwa permasalahan di bidang K3 adalah gejala


kurang baiknya fungsi manajemen. Terjadinya tindakan yang berbahaya, kondisi
13

berbahaya, keadaan hampir celaka dan kecelakaan atau penyakit akibat kerja
adalah gejala simptom dari kurang berfungsinya manajemen. Seperti di bidang
medik dalam upaya menyembuhkan pasien dokter tidak boleh hanya
menghilangkan gejala saja, melainkan harus sampai pada penyebab. Begitu pula
dengan permasalahan K3 harus dicari penyebab dasar masalah sehingga
ditemukan tugas dan fungsi manajemen yang tidak terlaksana dengan baik yang
berkaitan dengan masalah yang dihadapi.

Contoh klasik yang sering ditemukan adalah seorang pekerja akan mencat tembok
pabrik. Untuk itu ia perlu menggunakan tangga. Pekerja tadi menemukan sebuah
tangga tetapi ia melihat bahwa anak tangga paling bawah dalam keadaan cacat.
Namun ia gunakan juga dengan pikiran bahwa ia dapat naik dan turun tanpa
menginjak anak tangga yang cacat tadi. Dengan jalan pikiran seperti itu ia
kemudian naik tangga dan melakukan pekerjaan pengecatan beberapa saat. Pada
waktu turun ia lupa bahwa anak tangga terbawah cacat sehingga waktu
diinjaknya, ia terpeleset, jatuh dan kakinya terkilir.

Peristiwa di atas menunjukkan gejala kegagalan manajemen. Penyebab dasarnya


harus dicari dengan mengajukan pertanyaan sehubungan dengan kejadian tersebut,
seperti mengapa tangga yang cacat tersebut tidak diperbaiki ? mengapa tangga
tersebut sampai digunakan oleh pekerja ? mengapa ia bekerja sendiri tanpa ada
yang mengawasi atau ada yang membantu ? bagaimana prosedur kerja diatur di
perusahan tersebut ? apakah penyelia tidak tahu pekerja tersebut menggunakan
tangga yang rusak ? mengapa pekerja menggunakan tangga yang rusak ? apakah
ia tidak tahu bahwa semua peralatan yang rusak harus dilaporkan pada penyelia
dan tidak boleh digunakan ? bukankah seorang pekerja wajib diberikan penjelasan
mengenai bahaya kerja sebelum diterima bekerja ? sejauhmana ia telah mendapat
pelatihan dan menerima penjelasan mengenai K3 ? apakah manjemen tidak
mengadakan program pelatihan untuk tenaga kerjanya ? apakah penyelia
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang dasar-dasar K3 ?.
14

Apabila semua pertanyaan tersebut dijawab, maka akan sampai kepada penyebab
dasar, yaitu tugas dan fungsi manajemen yang tidak dilaksanakan dengan baik
sehingga terjadi kecelakaan. Dari jawaban pertanyaan tersebut kita juga
mengetahui bahwa suatu peristiwa kecelakaan yang kelihatannya sederhana
kadang-kadang disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan.

Perbuatan tidak aman, kondisi yang tidak aman, kecelakaan atau keadaan hampir
celaka hanyalah gambaran dari disfungsi manajemen. Karena ini hanya suatu
gejala, maka kalau diteliti penyebab tersebut tidak hanya akan memberi dampak
pada keselamatan kerja tetapi sering juga berkaitan dengan penunjang produksi
yang lain. Karena keterkaitan yang erat antara produksi dengan K3, maka bila
dianalisis faktor-faktor yang menghambat pencapaian sasaran K3 juga akan
sampai pada identifikasi masalah yang berkaitan dengan produksi. Kita pun
memahami kualitas produk yang baik hanya dapat dicapai kalau didukung oleh
semua jajaran manajemen dari seluruh bagian. Apabila diidentifikasi masalah
sebelum gejalanya muncul dalam bentuk gangguan produksi, akan menunjang
peningkatan mutu dan produktivitas perusahaan karena sumber daya perusahaan
dapat dimanfaatkan dengan optimal.

Seorang manajer selalu dihadapkan kepada berbagai masalah. Dan untuk


memecahkan masalah tersebut selalu ada beberapa pilihan. Tugas manajer adalah
mengambil keputusan tentang pilihan-pilihan tersebut. Begitu juga halnya dengan
seorang manajer keselamatan dan kesehatan kerja, pilihan pemecahan masalah
yang diambil haruslah keputusan tepat, karena setiap keputusan yang diambil akan
memberi dampak tertentu terhadap perusahaan. Agar pemecahan masalah yang
diambil merupakan keputusan yang tepat perlu dilakukan analisis permasalahan.
Teknik yang digunakan terserah pada masing-masing manajer, sesuai dengan
kemampuan dan pengalaman masing-masing. Manajer yang biasa melaksanakan
pengendalian mutu terpadu dapat menggunakan Metode Analisis Ikan (Fish Bone
Analysis). Manajer yang lain mungkin menggunakan analisis dengan bantuan
Diagram Pohon Masalah (Problem Tree). Apapun alat bantu yang dipakai, proses
15

pengambilan keputusan diambil melalui beberapa langkah yang sistematis,


sebagai berikut :
1. Identifikasi/perumusan masalah.
2. Analisis penyebab timbulnya masalah.
3. Mencari penyebab yang mendasari timbulnya masalah.
4. Penyusunan alternatif pemecahan masalah serta perkiraan konsekuensi
masing-masing alternatif.
5. Perumusan program.

Untuk mengidentifikasi masalah terlebih dahulu perlu dikumpulkan data


keselamatan dan kesehatan kerja diperusahaan, antara lain angka kecelakaan,
angka sakit, angka mangkir, laporan keadaan nyaris celaka (insident near miss),
laporan monitoring Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3)
seperti pelanggaran terhadap ketentuan keselamatan kerja. Setiap kecelakaan dan
penyakit akibat kerja perlu didata dengan baik perunit kerja, faktor penyebab serta
kerugian yang ditimbulkan.

2.1.4. Pentingnya Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Pengaturan mengenai K3 sangat penting dalam rangka melindungi karyawan dari
penyakit dan bahaya kecelakaan, serta untuk menghindari kerugian bagi karyawan
sendiri, perusahaan dan masyarakat. Menurut Berham ada tiga tipe kecelakaan,
yaitu : lost-time accident berupa hilangnya waktu kerja pada waktu kecelakaan
terjadi ; non-lost-time accident ; dan damage accident berupa rusaknya fasilitas,
material atau peralatan kerja tanpa ada karyawan yang terluka. Resiko ketiga tipe
kecelakaan ini sebesar 1 : 60 : 400. Sedangkan menurut Tjondro setiap kali terjadi
kecelakaan kerja yang berakibat kematian, selalu diawali oleh beberapa kejadian
kecelakaan yang berakibat luka serius pada korban, yang diawali oleh lebih
banyak lagi kejadian yang berakibat luka ringan pada korban, yang diawali pula
dengan ribuan kali kejadian yang berakibat pada kerusakan peralatan atau aset,
dan ternyata hal tersebut diawali dengan puluhan atau ratusan ribu kondisi
lingkungan kerja dan perilaku karyawan yang tidak aman. Atau bila digambarkan
dengan rasio adalah 1 : 100 : 1000 : 3000 > 100.000. Berdasarkan kedua rasio ini
16

dapat dibayangkan berapa besar kerugian yang harus ditanggung oleh pihak
perusahaan dan semua pihak yang harus ikut menanggung kerugian ini. Kerugian
yang dimaksud antara lain dapat berupa hilangnya waktu kerja, kerusakan mesin
dan alat produksi, penurunan produksi, korban jiwa, biaya pengobatan dan
santunan, serta kerusakan atau pencemaran lingkungan sekitar tempat usaha.
Selain itu juga kerugian berupa menurunnya motivasi dan produktivitas kerja
karyawan. Melalui penerapan program K3 diharapkan dapat menekan resiko
kerugian baik berupa korban jiwa, kerusakan aset, terhentinya proses produksi
maupun rusaknya lingkungan alam.

2.1.5. Persepsi Pelaksanaan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Penilaian kualitas pelaksanaan K3 sebenarnya ada pada pekerja. Pekerjalah
mungkin yang merasakan secara langsung pelaksanaan program K3. Oleh karena
itu, merekalah yang seharusnya menentukan baik atau tidaknya kualitas
pelaksanaan program K3, bukanlah menurut pendapat penyedia jasa atau pihak
manajemen, melainkan menurut persepsi pekerja.

Menurut Nugroho (1999), kualitas pelaksanaan program K3 dapat diketahui


melalui beberapa aspek, yaitu :
1. Aspek kinerja atau pelaksanaan program K3 perusahaan.
2. Aspek kelengkapan berupa kelengkapan, kesiapan dan kondisi alat, serta
perlengkapan K3, termasuk sumber daya manusia.
3. Aspek kehandalan atau tingkat keberhasilan program K3 antara lain
manfaat dan keberhasilan untuk mengurangi resiko.
4. Aspek kesesuaian berupa kesesuaian pelaksanaan program K3 dengan
prosedur yang berlaku atau sesuai dengan standar pengamanan dan tidak
mengganggu kenyaman kerja.
5. Aspek daya tahan atau kontinyuitas pelaksanaan program K3 untuk
mewujudkan K3 dalam jangka pendek dan jangka panjang.
6. Aspek service cability atau pelayanan perusahaan pada pekerja dalam
bidang K3.
17

Menurut Suma’mur (Nugroho, 1999), kualitas program K3 yang dianggap baik


oleh pekerja akan mendukung kenyamanan dan kegairahan dalam bekerja.
Program K3 yang dilaksanakan secara baik dengan partisipasi pihak manajemen
dan pekerja akan membawa iklim keamanan dan ketenangan dalam bekerja serta
akan membentuk persepsi yang positif terhadap kualitas program K3 tersebut.
Selanjutnya akan membantu bagi hubungan pekerja dan pihak manajemen yang
merupakan landasan kuat bagi terciptanya kelancaran produksi.

2.1.6. Pengaruh Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap


Kinerja
Kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pekerja dalam melaksakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya. Ada tiga alasan yang mendukung mengapa K3 dikaitkan
dengan kinerja, yaitu :
1. Kecelakaan yang dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan,
cacat dan kematian dapat dicegah atau paling tidak dikendalikan melalui
penerapan program K3, sehingga kehilangan waktu yang produktif dapat
dihindari.
2. Penerapan program K3 yang sejalan dengan peralatan atau kondisi
kerja yang baik akan menyebabkan pekerja merasa aman dan nyaman dalam
bekerja, sehingga akan menunjukan kinerja yang baik pula, serta dapat
membantu penyesuaian diri pekerja secara efektif.
3. Penerapan program K3 dengan partisipasi penuh pekerja akan
membantu terciptanya hubungan industri pembangunan yang serasi antara
pihak manajemen dengan pekerja yang pada gilirannya akan dapat
meningkatkan kinerja pekerja.

Pengaruh persepsi K3 terhadap peningkatan kinerja dapat ditinjau dari dua hal,
yaitu pesepsi pekerja terhadap resiko yang harus dihadapinya dalam bekerja dan
persepsi pekerja terhadap pelaksanaan program K3 oleh pihak manajemen.
18

2.2. Prinsip Umum, Perundang-undangan Dalam Keselamatan Kerja,


Tugas-tugas Otoritas yang Kompeten
2.2.1. Prinsip Umum
Tingkat K3 yang memuaskan dicapai bila sejumlah prinsip yang berhubungan erat
telah diterapkan pada tingkat nasional, perusahaan dan tempat kerja. Prinsip-
prinsip ini meliputi pemenuhan hukum dan peraturan, dan suatu kebijakan yang
didefinisikan dengan jelas yang mengidentifikasi sifat dan keparahan resiko yang
terdapat dalam kegiatan produksi, sebagaimana juga pembagian tanggung jawab
bagi orang-orang yang dipekerjakan pada tingkat manajemen, penyelia dan
pengawasan.

Undang-undang Dasar 1945 mengisyaratkan hak setiap warga negara atas


pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Pekerjaan baru
memenuhi kelayakan bagi kemanusiaan, apabila keselamatan tenaga kerja sebagai
pelaksananya adalah terjamin. Kematian, cacat, cedera, penyakit dan sebagainya
sebagai akibat kecelakaan dalam melakukan pekerjaan bertentangan dengan dasar
kemanusiaan. Maka dari itu, atas dasar landasan UUD 1945 lahir undang-undang
dan ketentuan-ketentuan pelaksananya dalam keselamatan kerja.

Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Mengenai Tenaga Kerja secara jelas ditegaskan, bahwa setiap tenaga kerja
berhak mendapat perlindungan atas keselamatannya (pasal 9) dan pemerintah
membina norma-norma keselamatan kerja (pasal 10, ayat a). Sedangkan dalam
hubungan jaminan dan bantuan sosial, secara umum dinyatakan dalam Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1969 tersebut bahwa pemerintah mengatur
penyelenggaraan pertanggungan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja dan
keluarganya. Pertanggungan dan bantuan sosial ini meliputi juga kecelakaan dan
penyakit akibat kerja, sekalipun dalam penjelasan undang-undang dimaksud
hanya diperinci antara lain : sakit, meninggal dunia, dan cacat.

Melihat sasarannya, terdapat dua kelompok perundang-undangan dalam


keselamatan kerja, yaitu :
19

1. Kelompok perundang-undangan yang bersasaran pencegahan kecelakaan


akibat kerja. Kelompok ini terdiri dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja dan peraturan-peraturan lain yang diturunkan atau
dapat dikaitkan dengannya. Selain itu keselamatan dan pencegahan
kecelakaan terdapat dalam undang-undang lain, seperti misalnya Undang-
undang Kerja (1981 - 1951).
2. Kelompok perundang-undangan yang bersasaran pemberian kompensasi
terhadap kecelakaan yang telah terjadi. Kelompok ini terdiri dari Undang-
undang Kecelakaan (1947 - 1957) dan peraturan-peraturan yang
diturunkannya.

2.2.2. Perundangan-undangan Dalam Keselamatan Kerja


2.2.2.1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja diundangkan
pada tahun 1970 dan mengganti Veiligheids Reglement Stbl. No. 406 yang
berlaku sejak tahun 1910. Maka ada baiknya diketahui latar belakang penggantian
VR tersebut dengan Undang-undang Keselamatan Kerja sebagaimana
dikemukakan dalam penjelasan umum undang-undang tersebut. VR, yang berlaku
mulai 1910 dan semenjak itu mengalami perubahan mengenai soal-soal yang tidak
begitu berat, ternyata dalam banyak hal sudah terbelakang dan perlu diperbaiki
sesuai dengan perkembangan peraturan perlindungan industrialisasi di Indonesia
dewasa ini dan seterusnya. Mesin-mesin, alat-alat, pesawat-pesawat baru banyak
diolah dan dipergunakan, sedangkan mekanisasi, elektrifikasi diperluas di mana-
mana. Dengan majunya industrialisasi, elektrifikasi dan modernisasi, maka dalam
kebanyakan hal berlangsung pulalah peningkatan intensitas kerja operasional
tenaga kerja dan para pekerja. Kelelahan, kurang perhatian akan hal-hal lain,
kehilangan keseimbangan, dan sebagainya merupakan akibat dari padanya dan
menjadi sebab terjadinya kecelakaan. Bahan-bahan yang mengandung racun,
mesin-mesin, alat-alat pesawat-pesawat dan sebagainya yang serba pelik serta
cara-cara kerja yang buruk, kekeurangan keterampilan dan latihan kerja, tidak
adanya pengetahuan tentang sumber bahaya yang baru, senantiasa merupakan
sumber-sumber bahaya dan penyakit-penyakit akibat kerja. Maka dapatlah
20

dipahami bahwa perlu adanya pengetahuan K3 yang maju dan cepat. Selanjutnya,
dengan peraturan yang maju akan dicapai keamanan yang bersangkutan dan hal
ini dapat mempertinggi mutu pekerjaan, meningkatkan produksi dan produktivitas
kerja.

Selanjutnya dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-undang Keselamatan


Kerja, bahwa pengawasan berdasarkan VR seluruhnya bersifat represif. Dalam
Undang-undang Keselamatan Kerja, terjadi perubahan prinsipil dengan mengubah
sifat tersebut menjadi lebih diarahkan pada sifat preventif. Dalam praktek dan
pengalaman, pabrik-pabrik atau bengkel-bengkel didirikan, karena amatlah sukar
untuk mengubah atau merombak kembali apa yang telah dibangun dan terpasang
di dalamnya guna memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja yang bersangkutan.
Selain itu, undang-undang ini merupakan pembaharuan penting dari yang lama
mengenai isi, bentuk dan sistematikanya. Pembaharuan dan perluasannya adalah
mengenai hal-hal berikut :
1. Perluasan ruang lingkup.
2. Perubahan pengawasan represif menjadi preventif.
3. Perumusan teknis yang lebih tegas.
4. penyesuaian tata usaha sebagaimana diperlukan pelaksanaan pengawasan,
5. Tambahan pengaturan pembinaan keselamatan kerja bagi pimpinan
perusahaan dan tenaga kerja.
6. Tambahan pengaturan mendirikan Panitia Pembina Keselamatan Kerja dan
kesehatan Kerja.
7. Tambahan pengaturan pemungutan retribusi tahunan.

Materi yang diatur oleh Undang-undang Keselamatan Kerja meliputi bab-bab


peristilahan, ruang lingkup, syarat-syarat keselamatan kerja, pengawasan,
pembinaan, panitia Pembina keselamatan dan kesehatan kerja, pelaporan
kecelakaan, kewajiban dan hak tenaga kerja, kewajiban bila memasuki tempat
kerja, kewajiban pengurus, dan ketentuan-ketentuan penutup. Selanjutnya setiap
bab akan disajikan baik isi serta penjelasan seperlunya.
21

Istilah-istilah yang dipakai dalam Undang-undang Keselamatan Kerja dan


pengertiannya meliputi (pasal 1), yaitu :
1. Tempat kerja, ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap, yang menjadi tempat tenaga kerja bekerja atau yang
sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan terdapat
sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal-pasal
Undang-undang Keselamatan Kerja. Yang termasuk tempat kerja ialah semua
ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian
atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut (ayat 1).
2. Pengurus, ialah orang atau sekelompok orang yang mempunyai tugas
memimpin langsung sesuatu tempat usaha atau bagiannya yang berdiri sendiri
(ayat 2).
3. Pengusaha, ialah :
a. Orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik
sendiri dan untuk keperluan itu menggunakan tempat kerja.
b. Orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan
tempat kerja.
c. Orang atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili orang
atau badan hukum termaksud pada a dan b, jikalau yang diwakilinya
berkedudukan di luar negeri (ayat 3).
4. Direktur, ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja (sekarang
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) untuk melaksanakan Undang-
undang keselamatan Kerja (ayat 4).
5. Pegawai pengawas, ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari
Departemen Tenaga kerja (sekarang Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi) yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja (Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi) (ayat 5).
6. Ahli keselamatan kerja, ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar
Departemen Tenaga kerja (sekarang Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi) untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang Keselamatan
Kerja (ayat 6).
22

Mengenai ruang lingkup, Undang-undang Keselamatan Kerja menegaskan


sebagai berikut (pasal 2) :
1. Yang diatur oleh undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam
segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam
air, maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum
Republik Indonesia (ayat 1).
2. Ketentuan-ketentuan dalam 1 tersebut di atas berlaku dalam tempat
kerja, yang merupakan tempat-tempat :
a. Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas,
peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan
kecelakaan, kebakaran atau peledekan.
b. Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan, diperdagangkan, diangkut
atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar,
menggigit atau beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.
c. Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau
pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan
pengairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau
dilakukan pekerjaan persiapan.
d. Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan
hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan
dan lapangan kesehatan.
e. Dilakukan usaha pertambangan, dan pengolahan emas, perak, logam atau
bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik
di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan.
f. Dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan,
melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara.
g. Dikerjakan bongkar muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok,
stasiun atau gudang.
h. Dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam
air.
i. Dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau
perairan.
23

j. Dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau
rendah.
k. Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah,
kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut
atau terpelanting.
l. Dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lubang.
m. Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap,
gas, hembusan aingin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.
n. Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah.
o. Dilakukan pemancaran, penyinaran atau penerimaan radio, radar, televisi
atau telepon.
p. Dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset
(penelitian) yang menggunakan alat teknis.
q. Dibangkitkan, diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau
disalurkan listrik, gas, minyak atau air.
r. Diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi
lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik (ayat 2).
3. Dengan peraturan-perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat
kerja, ruangan-ruangan atau lapangan-lapangan lainnya yang dapat
membahayakan keselamatan yang bekerja dan atau yang berada di ruangan
atau lapangan itu dan dapat diubah perincian tersebut dalam pasal 2 (ayat 3).

Syarat-syarat keselamatan kerja diatur dalam pasal 3 dan 4 Undang-undang


Keselamatan Kerja yang berbunyi sebagai berikut :
1. Dengan peraturan perundangan diterapkan syarat-syarat
keselamatan kerja untuk :
a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.
c. Mencegah dan mengurangi peledakan.
d. Memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya.
e. Memberi pertolongan pada kecelakaan.
24

f. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.


g. Mencegah dan mengendalikan timbul dan menyebar luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar
dan radiasi, suara dan getaran.
h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik
mapun psikis, peracunan, infeksi dan penularan.
i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
j. Menyelengarakan suhu lembab udara yang baik.
k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.
l. Memelihara kesehatan dan ketertiban.
m. Memperoleh keselarasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara
dan proses kerjanya.
n. Mengamankan dan memperlancar pengankutan orang, binatang, tanaman
atau barang.
o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
p. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar, muat, perlakuan
dan penyimpanan barang.
q. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.
r. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi (pasal 3, ayat 1).
2. Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian seperti
tersebut dalam pasal 3 ayat 1 sesuai perkembangan ilmu pengetahuan, teknik
dan teknologi serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari (pasal 3,
ayat 2).
3. Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat
keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran,
perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan
penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi yang
mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan (pasal 4, ayat 1).
4. Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah
menjadi suatu kumpulan ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan
praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan
25

perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian dan pengesyahan, pengepakan


atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas bahan, barang,
produk teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan barang-barang
itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan keselamatan
umum (pasal 4, ayat 2).
5. Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian seperti
tersebut dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 dan dengan peraturan perundangan
ditetapkan siapa yang berkewajiban memenuhi dan mentaati syrarat-syarat
keselamatan tersebut.

Pengawasan Undang-undang Keselamatan Kerja diatur dalam pasal 5, 6, 7, dan 8


sebagai berikut :
1. Direktur melakukan pengawasan umum terhadap undang-undang ini,
sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan
menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya undang-undang ini
dan membantu dengan pelaksanaannya.
2. Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli
keselamatan kerja dalam melaksanakan undang-undang ini diatur dengan
peraturan perundangan (pasal 5, ayat 2).
3. Barang siapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan
permohonan banding kepada panitia banding (pasal 6, ayat 1).
4. Tata cara permohonan banding, susunan panitia banding, tugas panitia
banding dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja (sekarang
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) (pasal 6, ayat 2).
5. Keputusan panitia banding tidak dapat dibanding lagi (pasal 6, ayat 3).
6. Untuk pengawasan berdasarkan undang-undang ini pengusaha harus
membayar retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan
peraturan perundangan (pasal 7).
7. Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan
kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan
dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya
(pasal 8, ayat 1).
26

8. Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada dibawah


pimpinannya, secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan
dibenarkan oleh direktur (pasal 8, ayat 2).
9. Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan
perundangan (pasal 8, ayat 3).

Mengenai pembinaan, diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1970 yang isinya
sebagai berikut :
1. Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada setiap tenaga
kerja baru tentang :
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang timbul dalam tempat
kerja.
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam
tempat kerjanya.
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Pengurus hanya dapat memperkerjakan tenaga kerja yang bersangkutan
setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat
tersebut di atas.
3. Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga
kerja yang berada di bawah pimpinannya. Dalam pencegahan kecelakaan dan
pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja,
pula dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.
4. Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang
dijalankannya (pasal 9).

Pasal 10 Undang-undang Keselamatan Kerja mengatur Panitia Keselamatan dan


Kesehatan kerja :
1. Menteri Tenaga Kerja (sekarang Menteri tenaga Kerja dan
Transmigrasi) berwenang membentuk Panitia Pembinaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan
27

partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam
tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di
bidang K3 dalam rangka melancarkan usaha berproduksi (pasal 10, ayat 1).
2. Susunan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas
dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja (sekarang Menteri
tenaga Kerja dan Transmigrasi) (pasal 10, ayat 2).

Menurut Undang-undang Keselamatan Kerja, kecelakaan yang terjadi harus


dilaporkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi
dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Tenaga Kerja (sekarang Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi)
(pasal 11, ayat 1).
2. Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai
termaksud dalam ayat 1 diatur dengan peraturan perundangan.
Lebih lanjut, pasal 12 Undang-undang Keselamatan Kerja mengatur kewajiban
dan hak tenaga kerja untuk :
1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pengawas dan
atau ahli keselamatan kerja.
2. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.
3. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang diwajibkan.
4. Meminta pada peraturan agar dilaksanakan semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
5. Menyatakan keberatan bekerja pada pekerjaan yang syarat
keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang
diwajibkan diragukan olehnya, kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain
oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung-
jawabkan (pasal 12).

Tentang kewajiban bila memasuki tempat kerja, pasal 13 Undang-undang


Keselamatan Kerja menyatakan, bahwa barang siapa akan memasuki sesuatu
28

tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan


memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.
Adapun kewajiban pengurus diatur dalam pasal 14 yang menyatakan, bahwa
pengurus diwajibkan :
1. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya
semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai undang-undang ini
dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang
bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
2. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar
keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya,
pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk
pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
3. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang
diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan
menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,
disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan menurut petunjuk pegawai
pengawas atau ahli keselamatan kerja.

Sebagaimana ketentuan-ketentuan penutup Undang-undang Keselamatan Kerja


terdapat pengaturan-pengaturan mengenai ancaman hukuman, tempat-tempat
kerja yang telah ada, peraturan peralatan, dan sebagainya. Pengaturan-pengaturan
demikian adalah :
1. Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih
lanjut dengan pengaturan perundangan (pasal 15, ayat 1).
2. Peraturan perundangan tersebut pada pasal 15 ayat 1 dapat
memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman
kurangan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
100.000,- (seratus ribu rupiah) (pasal 15, ayat 2).
3. Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran (pasal 15, ayat 3).
4. Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah
ada pada waktu undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan dalam
29

satu tahun sesudah undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi


ketentuan-ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini (pasal 16).
5. Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan
dalam undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang
keselamatan kerja yang ada pada waktu undang-undang ini mulai berlaku,
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini (pasal
17).

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang


Keselamatan Kerja, maka segala perundangan dalam keselamatan kerja yang telah
ada sebelumnya perlu digarap transformasinya menjadi peraturan pelaksana, di
samping perlu peraturan lain yang dikembangkan kemudian. Peraturan perundangan
yang telah ada sebelumnya, antara lain :
1. Ketetapan tambahan bagi Berisi ketentuan-ketentuan khusus sehubungan
VR Stbl. 8600 tahun dengan usaha pengamanan tercantum pada pasal
1910. 2 VR.
2. Peraturan khusus sebagai Berisi syarat-syarat khusus yang ditetapkan oleh
pelengkap VR tahun Kepala Inspeksi Keselamatan Kerja berdasarkan
1910. pasal 3 VR.
3. Peraturan khusus “A” Berisi syarat-syarat khusus bagi pasal 2 sub 18
Ketetapan KJPP No. VR tentang Pertolongan Pertama pada
1/Bb/3/P, tgl. 1-10-1966 Kecelakaan.
4. Peraturan khusus “B” Berisi syarat-syarat khusus bagi instalasi listrik
(BB.) (Ketetapan CV No. di perusahaan-perusahaan. Dalam peraturan
S.67/1/9 tgl. 12-12-1968) khusus ini, ditetapkan norma-norma “Peraturan
Umum” Instalasi listrik (PUIL) atau AVE (no.
2004). Norma-norma ini dikeluarkan tahun
1937 oleh Dewan Normalisasi di Indonesia. Di
dalam PUIL dicantumkan pula, bahwa pada
pemasangan baru atau perluasan hantaran-
hantaran luar berlaku Perluasan-perluasan
Pemasangan Hantaran Luar VAB
(Voorschriften voorden Aanleg van Buiten
30

Leidingen).
5. Peraturan khusus “C” Berisi syarat-syarat khusus bagi pabrik gula
(Ketentuan Direktur pasir.
BOW No. 11966/stw tgl.
19-8-1910).
6. Peraturan khusus “D” Berisi syarat-syarat khusus bagi bejana angin
(DD) Ketetapan CV No. yang dipergunakan untuk menjalankan motor.
S.60/1/8 tgl. 25-3-1931).
7. Peraturan khusus “EE” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan KJPKK No. yang membuat atau mengolah bahan-bahan
4/Bb.3/P tgl. 19-12- yang mudah menyala.
1960).
8. Peraturan “F” (FF) Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan CV No. yang membuat dan memompa gas.
S.60/4/23, tgl. 9-11-
1931).
9. Peaturan khusus “G” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(GG) (Ketetapan CV No. yang menyelenggarakan bioskop.
S.60/1/8, tgl. 10-12-
1962).
10. Peraturan khusus “HH” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan KJPKK No. yang mengolah atau mempergunakan putih
3/Bb.3/P/62, tgl. 10-12- timah kering.
1962).
11. Peraturan khusus “II” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan KJPKK No. yang mempunyai instalasi atau las dengan gas
7/Bb.3/P, tgl. 10-12- karbit.
1961).
12. Peraturan khusus “K” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan CV No. yang membuat, menggunakan atau mengolah
S.65/2/9, tgl. 23-1-1933). bahan yang dapat meledak.
13. Peraturan khusus “L” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
31

(Ketetapan CV No. yang mempergunakan tangki apung.


S.68/1/1, tgl. 6-8-1936).
14. Peraturan khusus “N” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
yang membuat gelas.
15. Undang-undang uap stbl. Berisi ketentuan-ketentuan tentang pesawat uap.
225 tahun 1930.
16. Peraturan uap stbl. 339 Berisi peraturan pelaksanaan Undang-undang
tahun 1930. Uap Tahun 1930 No. 225 terutama syarat-syarat
pemakaian pesawat uap.
17. Undang-undang Putih Berisi ketentuan-ketentuan bahan putih timah
Timah Kering stbl. 5 kering.
tahun 1931.
18. Penetapan pelanggaran Berisi syart-syarat pelanggaran penggunaan
terhadap penggunaan bahan fosfor putih bagi perusahaan korek api.
fosfor putih (persetujuan
di Bern) stbl. 265 tahun
1912).
19. Penetapan pelanggaran Berisi syarat-syarat tentang pelanggaran bagi
bagi pembuatan, impor, perusahaan yang membuat, mengimpor,
pemilikan, pengangkutan, mempunyai, mengangkut dan
dan penjualan korek api memperdagangkan korek api yang mengandung
yang mengandung fosfor fosfor putih.
putih stbl. 755 tahun
1916.
20. Penetapan tentang Berisi ketentuan-ketentuan tentang impor,
petasan di Indonesia stbl. pembuatan, pemilikan, menyalakan serta
143 tahun 1932. perdagangan petasan di Indonesia.
21. Syarat-syarat bagi Berisi syarat-syarat bagi perusahaan petasan
peraturan Undang-undang sehubungan dengan penetapan petasan di
Petasan stbl. 10 tahun Indonesia stbl. No.143 tahun 1932.
1933.
22. Undang-undang Berisi ketentuan-ketentuan tentang penimbunan
32

penimbunan dan dan penyimpanan.


penyimpanan minyak
tanah dan bahan-bahan
yang dapat menyala stbl.
199 tahun 1927.
23. Peraturan penimbunan Berisi tentang pengaturan dan persyaratan
minyak tanah dan bahan- penimbunan dan penyimpanan.
bahan cair stbl. 200 tahun
1927.
24. Peraturan minyak tanah Berisi pengaturan pelaksanaan syarat-syarat
stbl. 144 tahun 1928. Undang-undang Pengangkutan Minyak Tanah
stbl. 214 tahun 1927.
25. Ketetapan tentang Berisi ketentuan-ketentuan tentang syarat-
pemasangan dan syarat, pemasangan jaringan dan instalasi listrik
pemakaian jaringan untuk penerangan khusus di daerah luar Jawa
saluran listrik di dan Madura.
Indonesia stbl. 190 tahun
1890.
26. Peraturan Menteri Tenaga Berisi tentang penyelenggaraan kursus/latihan
Kerja (sekarang Menteri kader-kader keselamatan kerja.
Tenaga Kerja dan
Transmigrasi) Tahun
1969 (Lembaran Negara
No. 65).

Selain itu, banyak peraturan-peraturan tentang jalanan kereta api dan trem. Namun
pengawasan keselamatan kerja hanya terbatas pada hal-hal yang ada sangkut
pautnya dengan K3.

Demikian pula, ada hubungan di antara Undang-undang Gangguan stbl. 226


Tahun 1926 dan Undang-undang Barang Tahun 1961, Lembaran Negara No. 1
dengan Undang-undang Keselamatan Kerja.
33

2.2.2.2. Undang-undang Kecelakaan (1945 - 1951)


Undang-undang ini diundangkan pada tahun 1947 dan dinyatakan berlaku pada
tahun 1951. Undang-undang kecelakaan menentukan penggantian kerugian
kepada buruh yang mendapatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja, dari itu
Undang-undang Kecelakaan Kerja adalah kurang tepat.

Di beberapa negara digunakan penamaan Undang-undang Kompensasi Pekerja


(Workmen Compensation Law). Undang-undang kecelakaan perlu ditinjau
kembali, apabila dilihat dari sudut besarnya kompensasi yang tidak mencukupi,
dan sebagai penilaian hebat-tidaknya suatu cacat tidaklah cukup faktor-faktor
anatomis dari faal saja, melainkan harus diperhatikan pula faktor-faktor
psikologis, sosial, dan ekonomis.

Di bawah ini dikutip pasal-pasal dari undang-undang kecelakaan yang patut


diketahui :
1. Di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, majikan
berwajib membayar ganti kerugian kepada seluruh buruh yang mendapat
kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja pada perusahaan itu, menurut
yang ditetapkan dalam undang-undang ini (pasal 1, ayat 1).
2. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja dipandang sebagai
kecelakaan (pasal 1, ayat 2).
3. Jikalau buruh meninggal dunia karena akibat kecelakaan yang
demikian, maka kewajiban membayar kerugian itu berlaku terhadap keluarga
yang ditinggalkan (pasal 1, ayat 3).
4. Jikalau hak atas perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan
itu beralih kepada majikan lain, buruh dan keluarga buruh yang ditinggalkan
tetap mempunyai hak seperti yang ditetapkan undang-undang ini yang harus
dipenuhi oleh majikan (pasal 1, ayat 4).
5. Yang diwajibkan memberi tunjangan yaitu perusahaan :
a. Yang menggunakan satu atau beberapa tenaga mesin.
34

b. Yang mempergunakan zat-zat padat, cair, maupun gas yang amat tinggi
panasnya atau mudah terbakar atau menggigit, mudah meletus,
mengandung racun, menimbulkan penyakit atau dengan cara yang lain
yang berbahaya atau dapat merusak kesehatan.
c. Yang mempergunakan gas-gas yang telah dicairkan, dikempa atau yang
jadi cair karena tekanan.
d. Yang membangkitkan, mengubah, membagi-bagi, mengalirkan atau
mengumpulkan tenaga listrik.
e. Yang mencair atau mengeluarkan barang galian dari tanah.
f. Yang menjalankan pengakutan orang atau barang.
g. Yang menjalankan pekerjaan memuat dan membongkar barang-barang.
h. Yang menjalankan pekerjaan mendirikan, mengubah, membetulkan atau
membongkar bangunan-bangunan, baik dalam atau di atas tanah, maupun
dalam air, membuat saluran-saluran dalam tanah dan jalan-jalan.
i. Yang mengusahakan hutan.
j. Yang mengusahakan siaran radio.
k. Yang mengusahakan pertanian.
l. Yang mengusahakan perkebunan.
m. Yang mengusahakan perikanan (pasal 2, ayat 1).
6. Jikalau sesuatu macam perusahaan, belum termasuk dalam pasal 2,
ayat 1 ternyata berbahaya bagi buruhnya, maka dengan undang-undang ini
ialah diwajibkan memberi tunjangan (pasal 2, ayat 2).
7. Yang dimaksudkan dengan kata buruh dalam undang-undang ini
ialah tiap-tiap orang yang bekerja pada majikan di perusahaan yang
diwajibkan memberi tunjangan dengan mendapat upah, kecuali hal-hal
tersebut dalam pasal 6, ayat 3 (pasal 6, ayat 1).
8. Dalam undang-undang ini dianggap sebagai buruh :
a. Magang, murid dan sebagainya yang bekerja pada perusahaan yang
diwajibkan memberi tunjangan, juga dalam hal mereka tidak menerima
upah.
b. Mereka yang memborong pekerjaan yang biasa dikerjakan di perusahaan
yang diwajibkan memberi tunjangan, kecuali jikalau mereka yang
35

memborong itu sendiri menjalankan perusahaan yang diwajibkan


memberi tunjangan.
c. Mereka yang bekerja pada seseorang yang memborong pekerjaan yang
biasa dikerjakan di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan
mereka itu dianggap bekerja di perusahaan majikan yang membotongkan
pekerjaan itu, kecuali jikalau perusahaan majikan yang memborong itu
sendiri suatu perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan dalan mana
pekerjaan yang diborong itu dikerjakan.
d. Orang-orang hukuman yang bekerja di perusahaan yang diwajibkan
memberi tunjangan, akan tetapi mereka tidak berhak mendapat ganti
kerugian karena kecelakaan selama mereka itu menjalankan hukumannya
(pasal 6, ayat 2).
9. Bukan buruh menurut undang-undang ini adalah :
a. Pegawai-pegawai dan pekerja-pekerja atau dari badan-badan pemerintah
didirikan atas undang-undang pemerintah, yang dilindungi oleh
peraturan-peraturan pemerintah, jakalau mereka mendapat kecelakaan.
b. Buruh yang dilindungi undang-undang kecelakaan yang berlaku di luar
daerah Negara Republik Indonesia.
c. Buruh yang bekerja di rumahnya sendiri, untuk perusahaan yang
diwajibkan memberi tunjangan dan dalam menjalankan pekerjaan tidak
mempergunakan gas-gas yang dicairkan, dikempa atau gas-gas dalam
keadaan cair karena tekanan, zat-zat baik yang padat, terbakar, atau yang
cair atau yang serupa yang derajat panasnya tinggi, mudah terbakar atau
memakai barang-barang yang keras, misalnya air keras, mudah meletus,
mengandung racun, menimbulkan penyakit atau karena cara lain
berbahaya atau merusak kesehatan (pasal 6, ayat 3).
10. Yang dimaksud dengan kata upah dalam undang-undang ini ialah :
a. Tiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti
pekerjaan.
b. Perumahan, makan, bahan makanan dan pakaian dengan percuma yang
nilainya ditaksir menurut harga umum di tempat itu (pasal 7, ayat 1).
36

11. Dengan atau berdasarkan atas PP untuk menjalankan undang-


undang ini ditetapkan dokter-dokter penasehat pegawai-pegawai pengawas
yang daerah jabatannya ditentukan pula (pasal 9).
12. Ganti kerugian yang dimaksudkan dalam pasal 1 ialah :
a. Biaya pengangkutan buruh yang mendapat kecelakaan ke rumahnya atau
rumah sakit.
b. Biaya pengobatan dan perawatan buruh yang mendapat kecelakaan,
termasuk biaya pemberian obat dan alat-alat pembalut sejak kecelakaan
terjadi sampai berakhirnya keadaan sementara tidak mampu bekerja.
c. Biaya untuk mengubur buruh yang meninggal dunia karena kecelakaan
yang banyaknya Rp. 125,- (seratus dua puluh lima rupiah).
d. Uang tunjangan yang ditentukan dalam pasal-pasal berikut ini (pasal 10).
13. Majikan diwajibkan memberi uang tunjangan kepada buruh yang
karena kecelakaan :
a. Sementara tidak mampu bekerja
Uang tunjangan karena ini besarnya sama dengan upah sehari untuk tiap-
tiap hari, terhitung mulai pada hari buruh tersebut tidak menerima upah
lagi, baik penuh maupun sebagian dan dibayar paling lama 120 hari.
Jikalau sesudah lewat 120 hari butuh tersebut belum mampu bekerja,
maka uang tunjangan demikian dikurangi menjadi 50% dari upah sehari
untuk tiap-tiap hari dan dibayar selama buruh tersebut tidak mampu
bekerja.
b. Selama-lamanya tidak mampu bekerja sebagian
Uang tunjangan karena ini ditetapkan sekian persen dari upah sehari
untuk tiap-tiap hari, menurut daftar yang dilampirkan pada undang-
undang ini dimulai setelah pembayaran uang tunjangan yang
dimaksudkan dalam a berakhir dan dibayar selama buruh tidak mampu
bekerja sebagian.
c. Bercacat badan selama-lamanya yang tidak disebut dalam daftar yang
dilampirkan pada undang-undang ini.
37

Banyaknya persenan dari upah sehari itu ditetapkan oleh pegawai


pengawas dengan persetujuan dokter-dokter penasehat dalam daerah
kecelakaan itu.
d. Selama-lamanya tidak mampu bekerja sama sekali dan karena itu
sesekali-kali tidak dapat lagi mengerjakan seseuatu pekerjaan dengan
mendapat upah yang biasa dikerjakannya sebelum buruh itu dapat
kecelakaan. Upah tunjangan karena ini besarnya 50% dari upah sehari
untuk tiap-tiap hari dan jumlah tersebut ditambah menjadi 70%, jakalau
kecelakaan itu menyebabkan buruh terus-menerus memerlukan
pertolongan orang lain. Tunjangan yang dimaksud dalam a dari ayat ini
berkahir dan dibayar selama buruh ini tidak mampu bekerja sama sekali
(pasal 11, ayat 1).
14. Jikalau buruh meninggal dunia karena kecelakaan, maka keluarga
yang ditinggalkannya mendapat uang tunjangan sebesar :
a. 30% dari sehari untuk tiap-tiap bagi janda atau janda-janda yang nafkah
hidupnya semua atau sebagian besar dicarikan oleh buruh itu. Begitu pula
bagi janda laki-laki yang tidak mampu bekerja dan nafkah hidupnya
semua atau sebagian besar ditanggung oleh buruh tadi. Dalam hal ini
terdapat lebih dari seorang janda, maka uang tunjangan itu dibagi rata
dan sama banyaknya antara mereka.
b. 15% dari upah sehari untuk tiap-tiap hari bagi seorang anak sah atau
disahkan, yang berumur di bawah 16 tahun dan belum kawin. Jikalau
anak itu karena meningggalnya buruh menjadi yatim piatu, maka
banyaknya tunjangan tadi ditambah menjadi 20% dari upah sehari untuk
tiap-tiap hari.
c. Paling banyak 30% dari upah sehari untuk tiap-tiap hari bagi bapak dan
ibu atau jikalau buruh itu tidak punya bapak dan ibu lagi, kepada kakek
dan nenek yang nafkah hidupnya seluruhnya atau sebagian besar
dicarikan oleh buruh itu.
d. Paling banyak 20% dari upah sehari untuk cucu yang tidak berorang tua
lagi dan nafkah hidupnya seluruhnya atau sebagian besar dicarikan oleh
buruh itu.
38

e. Paling banyak 30% dari upah seharian untuk mertua laki-laki dan mertua
perempuan yang nafkah hidupnya seluruhnya atau sebagian besar
dicarikan oleh buruh itu (pasal 12, ayat 1).
15. Majikan tidak diwajibkan memberi tunjangan kepada buruh atau
seorang keluarganya yang tidak ditinggalkannya dalam hal-hal seperti
berikut :
a. Jikalau kecelakaan yang menimpa buruh itu terjadinya disengaja olehnya.
b. Jikalau buruh yang ditimpa kecelakaan itu, dengan tidak ada alasan yang
sah menolak dirinya diperiksa atau diobati oleh dokter yang berhak yang
ditentukan oleh majikan.
c. Jikalau buruh sebelumnya sembuh, menolak pertolongan tersebut pada b,
dengan tidak ada alasan yang sah.
d. Jikalau buruh yang ditimpa kecelakaan pergi ke tempat lain sehingga
dokter yang berhak yang ditetapkan oelh majikan, tidak dapat memberi
pertolongan yang dianggap perlu untuk mengembalikan kesehatannya
buruh itu (pasal 15, ayat 2).
16. Sebagai alasan yang sah yang dimaksudkan dalam pasal 15, ayat
1b dan c ialah anatar lain takut akan pembedahan yang menurut dokter
penasehat termasuk pembedahan yang berbahaya (pasal 15, ayat 2).
17. Majikan atau pengurus, jikalau pengurus ditetapkan, diwajibkan
melaporkan kepada pegawai pengawas atau instansi yang ditunjuk oleh
Menteri Perburuhan (sekarang Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) tiap-
tiap kecelakaan yang menimpa seorang buruh dalam perusahaannya selekas-
lekasnya, tidak lebih dari 2 x 24 jam (pasal 19, ayat 1).
18. Di samping kewajiban yang ditentukan dalam pasal 19, ayat 1
tersebut di atas majikan atau pengurus jikalau pengurus ditetapkan,
diwajibkan memberitahukan kecelakaan itu dengan surat tercatat kepada
pegawai pengawas dalam waktu 2 x 24 jam (pasal 19, ayat 2).
19. Buruh yang ditimpa kecelakaan, keluarganya, kawan-kawannya
sekerja atau serikat sekerjanya boleh memberitahukan kecelakaan yang
menimpa buruh itu kepada pegawai pengawas (pasal 19, ayat 3).
39

20. Majikan atau pengurus perusahaan diwajibkan mengadakan daftar


kecelakaan di perusahaan atau di bagian yang berdiri sendiri. Daftar ini harus
dibuat menurut bentuk ketetapan oleh Menteri Perburuhan (sekarang Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi) (pasal 20, ayat 1).
21. Dengan suatu peraturan perundangan, perusahaan-perusahaan yang
diwajibkan membayar ganti kerugian berdasarkan undang-undang ini,
diwajibkan dengan peraturan perundangan itu untuk membayar iuran guna
mendirikan suatu fonds. Dalam hal-hal yang ditentukan dalam peraturan
perundangan itu, ganti kerugian akan dibayar dari fonds tersebut (pasal 36,
ayat 1).
22. Daftar lampiran seperti yang dimaksudkan dalam pasal 11, ayat 1b :

Selama-lamanya tak mampu bekerja Tunjangan berapa


Sebagian, karena kehilangan : persen dari upah :
- Lengan kanan dari sendi bahu ke 40
bawah 35
- Lengan kiri dari sendi bahu ke 35
bawah 30
- Lengan kanan dari atau dari atau 30
atas siku ke bawah
- Lengan kiri dari atau dari atau atas 28
siku ke bawah
- Tangan kanan dari atau dari dari 70
atas pergelangan ke bawah 35
- Tangan kiri dari atau dari dari atas 50
pergelangan ke bawah 25
- Kedua belah kaki dari pangkal 70
paha ke bawah 30
- Sebelah kaki dari pangkal paha ke 40
bawah 10
- Kedua belah kaki dari mata kaki 15
ke bawah 12
- Sebelah kaki dari mata kaki ke 9
40

bawah 7
- Kedua belah mata 4
- Sebelah mata 3
- Pendengaran pada kedua belah 3
telinga 2
- Pendengaran pada sebelah telinga
- Ibu jari tangan kanan
- Ibu jari tangan kiri
- Telunjuk tangan kanan
- Telunjuk tangan kiri
- Salah satu jari lain dari tangan
kanan
- Salah satu jari dari tangan kiri
- Salah satu ibu jari kaki
- Salah satu jari kaki lain

Keterangan :
1. Buat orang kidal, kalau kehilangan salah satu lengan tangan atau jari, maka
keterangan kanan dan kiri tersebut dalam daftar ini dipertukarkan letaknya.
2. Dalam kehilangan beberapa anggota badan yang tersebut di atas ini, maka
besarnya tunjangan ditetapkan dengan menjumlahkan banyak persen dari
tiap-tiap anggota badan itu. Jumlah tunjangan yang didapat tidak boleh lebih
dari 70% dari upah sehari.
3. Anggota badan yang tidak dapat dipakai sama sekali karena lumpuh,
dianggap sebagai hilang.

2.2.3. Tugas-tugas Otoritas yang Kompeten


1. Otoritas yang kompeten harus :
a. Memikirkan dan memelihara suatu kebijakan nasional.
b. Mengadopsi peraturan atau hukum untuk menjamin K3 para pekerja yang
dipekerjakan dalam kegiatan usaha dan untuk melindungi orang-orang
41

pada, atau di dalam daerah sekitar, tempat kerja kehutanan dari semua
resiko yang mungkin muncul sebagai hasil kegiatan pekerjaan.
2. Kebijakan, hukum dan peraturan nasional tentang K3 harus ditetapkan dengan
berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan para pekerja yang diakui.
3. Hukum dan peraturan harus cukup fleksibel dan ditinjau ulang pada interval
yang sesuai untuk memudahkan penyesuaiannya terhadap perkembangan
teknologi, situasi dan standar-standar baru. Menetapkan tujuan perlindungan
lebih tepat daripada menyarankan upaya-upaya pencegahan khusus, adalah
satu cara dalam memperoleh fleksibilitas tersebut.
4. Peraturan atau hukum harus ditambah dalam praktek dengan standar-standar
teknis, kode praktek atau petunjuk kewenangan, yang konsisten dengan
kondisi-kondisi dan praktek nasional.
5. Otoritas yang kompeten harus menjamin bahwa semua pekerja mendapat
manfaat perlindungan dari peraturan dengan efektif seperti yang berlaku di
sektor industri lain.
6. Otoritas yang kompeten harus menjamin bahwa semua para pekerja, tanpa
memandang pada status pekerjaan mereka mendapat manfaat dan tingkat
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang sama, dan subyek
terhadap syarat-syarat yang sama untuk pencegahan.
7. Hukum dan peraturan harus menempatkan tanggung-jawab khusus pada
pengusaha, orang-orang yang mempunyai kendali terhadap tempat kerja,
pabrikan, para perancang, para pemasok bahan, para pekerja dan kontraktor.
8. Hukum atau peraturan nasional hendaknya menyatakan bahwa :
a. Pengusaha mempunyai tanggung jawab utama terhadap K3 dalam
pekerjaan.
b. Pengusaha bertanggung jawab untuk menerapkan dan memelihara sistem
dan cara kerja yang aman dan tanpa resiko bagi kesehatan.
c. Pengusaha harus memberi semua instruksi dan pelatihan yang perlu
untuk menjamin bahwa para pekerja berkompeten untuk melaksanakan
tugas yang diberikan kepada mereka dengan aman.
d. Pengusaha harus membuat suatu sistem di mana kecelakaan, kejadian
berbahaya dan penyakit akibat kerja dilaporkan, dicatat dan diselidiki,
42

dan memastikan bahwa penyesuaian yang perlu dibuat untuk mencegah


atau mengurangi timbulnya kecelakaan, kejadian berbahaya dan penyakit
akibat kerja di masa datang.
e. Orang-orang yang memegang kendali atau penanggung jawab utama
seperti pemilik perusahaan, kontraktor utama, para manajer dan penyelia
lokal harus memastikan bahwa tempat kerja tersebut adalah aman dan
tanpa resiko bagi kesehatan.
f. Manufaktur, para perancang dan pemasok peralatan dan bahan harus
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa produk mereka dirancang
dan dibuat sehingga aman dan tanpa resiko bagi kesehatan, bila
digunakan dengan tepat.
g. Para pekerja harus bekerja sama dengan pengusaha mereka untuk
memastikan pemenuhan tugas-tugas yang secara hukum dibebankan pada
pengusaha.
h. Para pekerja harus diwajibkan untuk mengambil semua langkah-langkah
yang sesuai untuk menjamin keselamatan diri mereka dan orang lain
yang mungkin mendapat resiko sebagai akibat dari tindakan atau
kelalaian mereka waktu bekerja.
i. Upaya-upaya yang diambil untuk memastikan bahwa ada kerjasama yang
erat antara pengusaha dan para pekerja dalam mempromosikan K3 dalam
pekerjaan. Upaya-upaya tersebut harus meliputi :
- Pembentukan Oanitia Oembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dengan wakil pengusaha dan para pekerja, yang mempunyai tugas-
tugas dan wewenang yang dirumuskan dengan baik.
- Penunjukan dari delegasi keselamatan pekerja yang dipilih dengan
kekuasaan dan tanggung jawab yang baik.
- Penunjukan oleh pengusaha bagi orang-orang yang berkualitas sesuai
dan berpengalaman sesuai untuk mempromosikan dan memberikan
saran tentang K3.
- Pelatihan untuk anggota delegasi keselamatan dan Panitia Pembina
K3.
43

j. Kontraktor harus diwajibkan untuk mematuhi semua paragraf di depan


yang bisa diterapkan sesuai statusnya dan ketentuan kontrak yang
berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan.
k. Pengusaha harus berperan serta dengan semua pihak-pihak terkait dalam
penetapan suatu sistem rehabilitasi bagi para pekerja yang telah terluka
dalam kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan atau yang sudah
menderita penyakit akibat kerja.
9. Peraturan atau hukum harus menetapkan tingkat ketrampilan yang diperlukan
untuk pelaksanaan yang aman dari pekerjaan untuk berbagai kategori pekerja
dan menjelaskan prosedur untuk menguji keterampilan ini dan
mensertifikasinya sebagai hal yang memadai.
10. Otoritas yang kompeten harus mendukung penetapan dan pengoperasian
suatu sistem pelatihan yang menyediakan kebutuhan sektor industri. Perhatian
khusus harus diberikan untuk mendapatkan pelatihan bagi usaha mandiri,
kontraktor, pekerja dan pemilik perusahaan yang bekerja di suatu
industri/perusahaan.
11. Hukum atau peraturan harus menjelaskan syarat-syarat hukum yang
menyangkut pemberian kontrak dan sub kontrak dari kegiatan usaha/produksi.
Hal ini bisa meliputi :
a. Peraturan yang mencakup kontraktor dan para pekerja mereka.
b. Registrasi /izin kontraktor berdasarkan kompetensi dan otonomi bisnis.
c. Kewajiban dan tugas-tugas dari semua para penandatangan kontrak itu.
12. Hukum dan peraturan harus :
a. Menyediakan cakupan tentang ganti-rugi pekerja dalam peristiwa
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, dan ganti-rugi bagi pewaris dalam
peristiwa kematian yang berhubungan dengan pekerjaan.
b. Menetapkan jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja dalam lingkup
ganti-rugi.
c. Memperluas cakupan bagi semua para pekerja, tanpa memandang pada
status pekerjaan mereka.
d. Mengidentifikasi otoritas yang bertanggung jawab untuk mengatur ganti-
rugi pekerja.
44

13. Badan-badan atau organisasi yang bertanggung jawab melakukan pembayaran


bagi para pekerja harus dikonsultasikan saat menyusun standar teknis, hukum
dan peraturan.
14. Tingkat asuransi harus dihubungkan dengan catatan ganti-rugi keselamatan
dan kesehatan kerja perusahaan di bawah sistem bonus yang menyediakan
suatu perangsang keuangan, menyiapkan sistem ini tidak digunakan untuk
mengurangi keinginan para pekerja untuk melaporkan kecelakaan dan
masalah kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan.
15. Hukum dan peraturan harus menentukan konsep dan istilah yang berkaitan
dengan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta menjelaskan kategori atau
jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja, kecelakaan selama perjalanan
pulang-pergi, peristiwa dan kejadian berbahaya yang perlu dilaporkan,
dicatat, diberitahukan, diselidiki dan dipantau; juga harus mengindikasikan
masing-masing prosedur yang harus digunakan.
16. Untuk definisi konsep-konsep dan penetapan aturan pada tingkat nasional dan
perusahaan untuk pelaporan, pencatatan, pemberitahuan dan penyelidikan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan penyimpanan dari statistik terkait,
ketentuan dari pencatatan dan pemberitahuan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja : an ILO Code of Practice, (Geneva, ILO, 1966) harus diterapkan.
17. Otoritas yang kompeten harus :
a. Menyediakan pelayanan pengawasan yang cukup dalam rangka
memberikan saran dalam mengatur dan menegakkan aplikasi ketentuan
hukum dan peraturan.
b. Menetapkan hukuman yang sesuai untuk pelanggaran hukum dan
peraturan.
c. Menjelaskan hak-hak dan tugas-tugas pengawasan dalam menegakkan
K3 di tempat kerja.
d. Menyediakan pelayanan pengawasan dengan sumber daya yang
diperlukan untuk memenuhi tugas mereka.
e. Membuat suatu sistem pemantauan untuk memastikan bahwa
pengawasan dilaksanakan secara efektif.
45

Tugas-tugas Pengawas Ketenagakerjaan


1. Pengawasan ketenagakerjaan harus memantau kepatuhan dan menegakkan
semua hukum dan peraturan terkait di tempat kerja.
2. Pengawasan ketenagakerjaan harus bertujuan mendukung upaya-upaya
pekerja dan pengusaha sendiri untuk memperbaiki tingkat K3.
3. Banyak potensi bahaya yang mungkin dihubungkan dengan lingkungan yang
tidak ramah dibanding syarat-syarat yang tidak cukup yang berkaitan dengan
perilaku lalai. Banyak praktek kerja didasarkan pada suatu pendapat tentang
apa aman itu dan apa yang tidak. Hukum dan peraturan tidak bisa diharapkan
memenuhi setiap variabel, tapi hukum harus menyediakan dasar yang kuat
untuk praktek pekerjaan yang aman dan sehat.
4. Dalam keadaan ini staf penegakan harus terbiasa dengan masalah khusus
yang dihubungkan dengan industri manufaktur dan mampu memberikan
dukungan serta nasehat yang tepat.
5. Hak-hak, prosedur dan tanggungjawab dari pengawas K3 harus
dikomunikasikan pada mereka semua yang mungkin terpengaruh. Sifat
tindakan penegakan, terutama keadaan yang bisa mendorong kearah tuntutan
di pengadilan, adalah penting sekali.
6. Pengawas ketenagakerjaan harus melaksanakan pemeriksaan tempat kerja
secara berkala, yang idealnya dihadiri wakil pekerja dan pengusaha.
7. Pengawas ketenagakerjaan harus memberi saran pada pengusaha dan para
pekerjanya mengenai pelaksanaan kegiatan yang aman, terutama sekali
tentang pemilihan dan penggunaan cara kerja yang aman serta alat pelindung
diri yang sesuai.
8. Menindak lanjuti suatu pemeriksaan, temuan-temuan harus diberitahu kepada
personil terkait sehingga tindakan perbaikan mungkin dilakukan dengan
segera. Temuan-temuan ini harus dibahas oleh panitia K3 setempat, jika
mereka ada, atau dengan wakil organisasi pekerja.
9. Pengawas ketenagakerjaan harus memantau syarat-syarat K3 perusahaan pada
sektor manufaktur dalam rangka memberikan umpan balik untuk
pengembangan dan perbaikan upaya keselamatan lebih lanjut.
46

10. Pengawas ketenagakerjaan harus berperan serta, bekerjasama dengan


organisasi pengusaha dan pekerja yang diakui, dalam perumusan dan
pembaharuan aturan keselamatan dan upaya keselamatan tambahan untuk
diadopsi pada tingkat nasional dan perusahaan.
11. Pengawasan operasi dan penilaian kepatuhan terhadap peraturan dan syarat-
syarat harus tidak dilihat sebagai hal yang eksklusif pada pengawas yang
ditunjuk secara hukum. Pengusaha dan mereka yang mempunyai status sama
harus memperkenalkan suatu prosedur perusahaan dalam rangka
mengidentifikasi dan memperbaiki ketidakpatuhan dan/atau menentukan
standar baru dalam keadaan di mana hal ini telah dilalaikan atau dilewatkan,
sehingga memastikan bahwa K3 menjadi suatu tujuan manajemen yang
dinamis dan profil yang tinggi.
12. Pemeriksaan berbasis perusahaan harus menerapkan cara yang sama terhadap
para pekerja di perusahaan itu sendiri dan kontraktor untuk mencegah
pengembangan standar rangkap. Semua personil harus sadar terhadap sanksi
yang akan dijatuhkan dalam hal malpraktek.

Tugas-tugas dan Tanggung Jawab Pengusaha


1. Pengusaha bertanggung jawab untuk K3 di perusahaan. Mereka harus
berusaha keras untuk mengurangi bahaya pada, atau di daerah sekitar tempat
kerja sampai pada tingkat serendah mungkin.
2. Pengusaha harus memastikan kepatuhan terhadap semua hukum, peraturan
dan kode praktek yang relevan dengan K3. Mereka harus mengembangkan
dan menerapkan syarat-syarat mereka sendiri, jika hukum dan peraturan
belum diberlakukan.
3. Pengusaha harus memulai dan memelihara suatu budaya keselamatan kerja di
perusahaan, mencakup sistem moral dan penghargaan serta perangsang
material untuk semua personil terlibat.
4. Bila mungkin, pengusaha harus membentuk panitia dengan wakil para pekerja
dan manajemen atau membuat susunan lain untuk partisipasi para pekerja
dalam mempromosikan kondisi kerja aman.
47

5. Pengusaha harus membentuk dan memelihara suatu kebijakan keselamatan


dan kesehatan kerja dan sistem manajemen yang terkait pada tingkat
perusahaan.
6. Pengusaha harus secara sistematik mengidentifikasi potensi bahaya dan
pengaruhnya terhadap K3 yang mungkin disebabkan atau timbul dari kegiatan
produksi perusahaan; menyertakan para manajer, para penyelia dan para
pekerja dalam prosedur identifikasi ini apabila sesuai.
7. Pengusaha harus menugaskan para pekerja hanya terhadap tugas-tugas yang
sesuai dengan umur, bentuk badan, status kesehatan dan keterampilan
mereka.
8. Pengusaha dan pihak commissioning yang memberikan pelayanan harus
mempromosikan stabilitas dan tingkat keluar masuk yang rendah dari pekerja
dan kontraktor mereka.
9. Bila memakai kontraktor, pihak commissioning harus memastikan bahwa :
a. Syarat keselamatan dan pelatihan yang sama berlaku bagi kontraktor dan
para pekerjanya sebagaimana terhadap para pekerja di perusahaan itu.
b. Jika diperlukan, hanya digunakan kontraktor seperti di atas yang telah
tercatat atau memegang lisensi.
c. Kontrak menjelaskan syarat keselamatan dan kesehatan kerja, juga
hukuman dan sanksi dalam hal kepatuhan. Kontrak harus memuat hak
para penyelia yang ditugaskan oleh pihak commissioning untuk
menghentikan pekerjaan bila suatu resiko kecelakaan serius timbul dan
melarang operasi sampai perbaikan yang perlu telah dilakukan.
d. Kontraktor yang berulang-kali melanggar kewajiban kontrak mereka
tidak diikutkan dalam penawaran yang akan datang.
10. Pengusaha harus memastikan bahwa semua pekerja, dan juga kontraktor serta
para pekerjanya dan orang berusaha mandiri adalah :
a. Cukup dididik dan dilatih dalam tugas yang diberikan pada mereka dan
memegang sertifikat ketrampilan yang sesuai.
b. Diberitahukan tentang semua resiko K3 yang diidentifikasi dalam
masing-masing kegiatan mereka.
48

c. Diinstruksikan dengan tepat tentang bahaya yang berhubungan dengan


pekerjaan dan lingkungan mereka dan juga dilatih tentang tindakan
pencegahan yang perlu untuk menghindari kecelakaan dan gangguan
kesehatan.
d. Diberikan kesadaran terhadap hukum, peraturan, syarat-syarat, kode
praktek, instruksi dan nasihat yang berkaitan dengan pencegahan
kecelakaan dan penyakit.
e. Diberitahukan tentang tanggung jawab mereka secara individu dan
bersama untuk K3.
f. Diinstruksikan dengan cukup tentang penggunaan dan efek perlindungan
dan pemeliharaan alat pelindung diri.
11. Pengusaha harus memelihara prosedur untuk menjamin dan meningkatkan
kompetensi para pekerja melalui identifikasi kebutuhan pelatihan dan
penyediaan pelatihan yang sesuai.
12. Khusus dalam operasi yang berbahaya pengusaha harus memastikan bahwa
hanya orang-orang yang ditugaskan untuk melaksanakan pekerjaan yang ada
di tempat kerja.

13. Pengusaha harus :


a. Memastikan bahwa tersedia semua peralatan, perkakas dan mesin yang
diperlukan untuk pekerjaan aman.
b. Memastikan bahwa semua peralatan, perkakas dan mesin dipelihara
dalam kondisi aman dan berfungsi baik.
c. Memastikan bahwa perkakas, suku cadang untuk mesin dan alat
pelindung diri, cukup tersedia di tempat kerja.
d. Menyediakan cara yang aman dan sesuai untuk pengangkutan personil,
perkakas, peralatan dan bahan ke dan dari tempat kerja.
e. Memastikan bahwa kemah dan tempat perlindungan bergerak adalah
cukup.
49

14. Alat pelindung diri dan pakaian pelindung harus disediakan dan dipelihara
oleh pengusaha, tanpa biaya bagi para pekerja, seperti yang ditetapkan hukum
dan peraturan.
15. Pengusaha harus merencanakan pemeriksaan reguler pada interval yang
sesuai oleh seorang berkompeten terhadap semua peralatan, perkakas, mesin,
alat pelindung diri dan tempat kerja dibawah pengendalian pengusaha sesuai
dengan peraturan, syarat atau kode praktek terkait.
16. Pengusaha harus menyediakan supervisi yang akan memastikan bahwa para
pekerja dan kontraktor melaksanakan pekerjaan dengan memperhatikan
keselamatan dan kesehatan kerja mereka, dan memastikan bahwa personil
supervisi tersebut kompeten dan mempunyai kewenangan dan sumber daya
yang perlu untuk melaksanakan tugas-tugas mereka secara efektif.
17. Pada lokasi yang tersebar dan di mana kelompok-kelompok kecil para pekerja
beroperasi di tempat yang terisolasi, pengusaha harus membangun suatu
sistem pengecekan yang dapat memastikan bahwa semua anggota dari suatu
kelompok, termasuk operator peralatan bergerak, sudah kembali ke kemah
atau basis yang dekat dengan pekerjaan.
18. Pengusaha harus menjamin bahwa semua operasi dan kegiatan produksi di
perusahaan mereka direncanakan, diorganisir dan dilaksanakan, atau sejalan
dengan praktek yang mereka tunjukkan memberikan tingkat perlindungan
yang sama.
19. Pengusaha harus membuat dan memelihara catatan tentang kecelakaan dan
penyakit akibat, dan memastikan bahwa semua catatan, dokumen dan
informasi terkait mengenai keselamatan dan kesehatan kerja yang
berhubungan dengan kegiatan mereka tetap tersedia untuk informasi para
pekerja atau wakil mereka, kontraktor, pengawas ketenagakerjaan, otoritas
ganti-rugi pekerja dan pihak lain terkait.
18. Pengusaha harus melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara teratur,
khususnya untuk pendeteksian penyakit akibat kerja dari semua pekerja.
Pengusaha harus menyediakan pengobatan pencegahan dan vaksinasi yang
direkomendasikan oleh pelayanan kesehatan yang kompeten, dimana
50

pengobatan dan vaksinasi seperti itu tidak disediakan oleh pelayanan


kesehatan masyarakat dan institusi lain.
19. Pengusaha harus memastikan bahwa bantuan pertolongan pertama dan
perawatan medis tersedia seperti yang diperlukan.
20. Di mana ada suatu bahaya yang mendadak dan serius terhadap keselamatan,
kesehatan atau lingkungan kerja, pengusaha atau wakil mereka harus
mengambil langkah-langkah segera untuk menghentikan operasi dan
mengungsikan para pekerja.
21. Bilamana para pekerja bekerja bersama pada suatu tempat kerja dibawah
pengusaha atau kontraktor yang berbeda, maka pengusaha harus bekerjasama
satu sama lain. Kerjasama harus meliputi informasi timbal balik tentang
potensi bahaya K3 yang timbul dari kegiatan mereka, koordinasi upaya-upaya
perlindungan terhadap potensi bahaya ini dan pengaturan yang jelas untuk
pengawasan.

Tugas-tugas para Manajer dan Para Penyelia


1. Para manajer dan para penyelia harus menerapkan kebijakan keselamatan dan
kesehatan kerja perusahaan, melalui pemilihan peralatan yang aman, cara
kerja dan organisasi kerja serta pemeliharaan tingkat ketrampilan yang tinggi.
Mereka harus berusaha mengurangi resiko dan potensi bahaya keselamatan
dan kesehatan kerja dalam kegiatan di mana mereka bertanggung jawab,
sampai pada tingkat serendah mungkin.
2. Para manajer dan para penyelia harus memastikan bahwa para pekerja dan
kontraktor menerima informasi yang cukup tentang peraturan, kebijakan,
prosedur dan syarat K3 dan yakin bahwa informasi ini dipahami.
3. Para manajer dan para penyelia harus memberikan tugas kepada bawahan
mereka dengan cara yang jelas dan tepat. Para manajer dan penyelia harus
yakin bahwa para pekerja itu memahami dan melaksanakan syarat-syarat K3.
4. Para manajer dan para penyelia harus memastikan bahwa pekerjaan
direncanakan, diorganisir dan dilaksanakan dengan cara sedemikian rupa
untuk memperkecil resiko kecelakaan dan terpajannya para pekerja pada
kondisi-kondisi yang mungkin merusak kesehatan mereka.
51

5. Dalam konsultasi dengan para pekerja, para manajer dan para penyelia harus
menilai kebutuhan akan instruksi tambahan, pelatihan atau pendidikan lebih
lanjut bagi para pekerja dengan memantau kepatuhan terhadap syarat-syarat
keselamatan kerja.
6. Bila para manajer atau penyelia melihat ketidak-patuhan terhadap peraturan
atau kode praktek K3 oleh seorang pekerja di bawah pengawasan mereka,
mereka harus segera mengambil tindakan yang tepat. Jika tindakan seperti itu
gagal, maka masalah harus dirujuk pada tingkat manajemen yang lebih tinggi
dengan segera.
7. Para penyelia harus membuktikan :
a. Kepatuhan terhadap peraturan keselamatan kerja.
b. Pemeliharaan dari teknik-teknik kerja aman.
c. Penggunaan dan pemeliharaan alat pelindung diri.
d. Pemeliharaan perkakas, mesin dan peralatan, khususnya setiap peralatan
yang disediakan untuk kepentingan keselamatan.
8. Para penyelia harus bertanggung jawab terhadap pemantauan kepatuhan
kontraktor dan para pekerjanya terhadap syarat-syarat K3 seperti yang
ditetapkan dalam kontrak mereka. Dalam hal ketidakpatuhan, para penyelia
harus memberikan nasihat dan instruksi yang tepat pada kontraktor dan para
pekerja mereka. Jika tindakan penyelia tidak efektif, masalah tersebut harus
dilaporkan segera pada manajemen senior.

Tugas-tugas dan Tanggung Jawab Kontraktor


1. Kontraktor yang mempekerjakan para pekerja harus dianggap seperti
pengusaha untuk maksud kode ini.
2. Kontraktor harus terdaftar atau memegang lisensi bila disyaratkan oleh
hukum atau peraturan atau bila terdapat skema sukarela yang diakui.
3. Kontraktor dan para pekerja mereka harus disyaratkan untuk memegang
sertifikat keterampilan yang sesuai.
4. Kontraktor harus mematuhi semua hukum dan peraturan mengenai pekerjaan,
ganti rugi pekerja, pengawasan tenaga kerja dan keselamatan dan kesehatan
kerja.
52

5. Kontraktor harus sadar dan beroperasi sesuai dengan kebijakan dan strategi
pihak komisioning untuk promosi K3 dan harus mematuhi dan bekerjasama
dengan upaya dan syarat-syarat terkait.

Hak dan Tanggung Jawab para Pekerja


1. Semua pekerja harus bekerjasama erat dengan pengusaha untuk
mempromosikan K3.
2. Para pekerja atau wakil mereka harus mempunyai hak dan tugas berperan
serta dalam semua hal yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja,
khususnya dengan berperan serta dalam panitia pembina K3.
3. Para pekerja mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang tepat dan
menyeluruh dari pengusaha mereka tentang resiko K3 serta upaya yang
berkaitan dengan fungsi mereka. Informasi ini harus diberikan dalam format
dan bahasa yang dimengerti oleh para pekerja.
4. Para pekerja harus memperhatikan K3 mereka sendiri dan orang-orang lain
yang mungkin terpengaruh oleh tindakan atau kelalaian mereka di tempat
kerja.
5. Para pekerja harus mematuhi semua upaya K3 yang ditentukan.
6. Para pekerja harus menggunakan dan memelihara semua alat pelindung diri
dan pakaian pelindung.
7. Para pekerja dilarang mengoperasikan atau mengganggu perkakas, mesin dan
peralatan yang mereka tidak berwenang untuk mengoperasikan, memelihara
atau menggunakannya.
8. Para pekerja harus melaporkan setiap kecelakaan atau gangguan kesehatan
yang timbul selama atau dalam hubungan dengan pekerjaan kepada manajer
atau penyelia yang bertanggung jawab pada akhir shift.
9. Para pekerja harus melaporkan segera kepada penyelia langsung mereka tanpa
prasangka, setiap situasi yang mereka percaya menimbulkan bahaya yang
mendadak dan serius bagi hidup dan kesehatan mereka terhadap orang lain
atau lingkungan kerja.
10. Para pekerja yang sudah pindah dari suatu situasi kerja yang menurut
pertimbangan mereka menimbulkan bahaya yang mendadak dan serius bagi
53

hidup atau kesehatan mereka harus dilindungi dari akibatnya sesuai dengan
kondisi-kondisi praktek dan nasional.
11. Para pekerja yang melaporkan situasi seperti itu kepada penyelianya tidak
harus kembali ke situasi kerja tersebut sampai masalah tersebut diperbaiki.
12. Jika para pekerja percaya bahwa upaya perlindungan K3 yang disediakan oleh
pengusaha mereka adalah tidak sesuai atau tidak cukup, atau percaya bahwa
pengusaha mereka gagal untuk memenuhi ketentuan hukum, peraturan dan
kode praktek mengenai keselamatan dan kesehatan, para pekerja dan wakil
mereka harus mempunyai hak membawa masalah ini kepada pengawas
ketenagakerjaan atau badan lain yang berkompeten tanpa prasangka atau
merugikan diri mereka.
13. Para pekerja mempunyai hak untuk pemeriksaan kesehatan yang sesuai oleh
orang praktisi medis yang disetujui, tanpa biaya sendiri, jika terdapat alasan-
alasan yang dipercaya bahwa suatu kegiatan atau suatu situasi kerja mungkin
telah menyebabkan gangguan terhadap kesehatan. Pemeriksaan kesehatan ini
harus diberikan tanpa tergantung pada pemeriksaan kesehatan untuk
mendeteksi penyakit akibat kerja, yang harus dikerjakan secara teratur dengan
partisipasi yang kooperatif dari para pekerja.

Tugas-tugas para Pabrikan dan Pabrikan Bahan dan Peralatan


1. Pembuat dan penyalur perkakas, mesin, peralatan dan bahan yang dibuat dan
dijual untuk digunakan di kehutanan harus menjamin bahwa semua perkakas,
peralatan dan mesin :
a. Dalam rancangan dan konstruksi yang baik, dengan mempertimbangkan
prinsip keselamatan, kesehatan dan ergonomik.
b. Mematuhi syarat-syarat keselamatan kerja nasional dan internasional
terkait yang dimuat dalam standar internasional dan rekomendasi.
c. Diuji dan disertifikasi sesuai dengan hukum atau peraturan.
2. Pembuat dan para pemasok harus menyediakan instruksi dan informasi yang
menyeluruh dan dapat dimengerti :
54

a. Tentang bahaya keselamatan dan kesehatan kerja yang berkaitan dengan


penggunaan perkakas, mesin, peralatan dan bahan.
b. Tentang penggunaan yang aman dari perkakas, peralatan dan bahan.
c. Tentang semua aspek pemeliharaan.
d. Tentang alat pelindung diri yang diperlukan saat menggunakan perkakas
spesifik, mesin, peralatan dan bahan khusus.
e. Tentang kebutuhan akan pelatihan untuk mengoperasikan perkakas,
peralatan dan mesin serta untuk menggunakan bahan dengan aman, dan
f. Dalam bahasa yang diperlukan.
3. Pembuat harus secara terus-menerus memperbaiki dengan upaya-upaya teknis
dan organisatoris, aspek K3 dari perkakas, mesin, peralatan dan bahan-kimia
berbahaya yang dibuat untuk digunakan, dengan mempertimbangkan temuan
riset ergonomik terbaru, dalam rangka mengurangi potensi bahaya K3
menjadi serendah mungkin.
4. Pembuat harus mempertimbangkan potensi bahaya keselamatan dan
kesehatan kerja yang timbul dari penggunaan perkakas, mesin dan peralatan
saat peralatan baru sedang dirancang, perbaikan atau penyesuaian yang dibuat
terhadap peralatan yang ada.

2.3. Kecelakaan Kerja


2.3.1. Pengertian Dasar Kecelakaan
Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tak terduga dan tidak diharapkan. Tak
terduga, oleh karena dibelakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan,
lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Maka dari itu, peristiwa sabotase atau
tindakan kriminal di luar ruang lingkup kecelakaan yang sebenarnya. Tidak
diharapkan, oleh karena peristiwa kecelakaan disertai kerugian material maupun
penderitaan dari yang paling ringan sampai kepada yang paling berat. Sedangkan
kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang berhubung dengan hubungan
kerja pada perusahaan. Hubungan kerja di sini dapat berarti, bahwa kecelakaan
55

terjadi dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan.


Maka dalam hal ini terdapat dua permasalahan penting, yaitu :
1. Kecelakaan adalah akibat langsung pekerjaan.
2. Kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan.

Suatu kecelakaan kerja yang terjadi di suatu lokasi kerja terlebih dahulu diawali
oleh beberapa kali kejadian nyaris kecelakaan kerja. Banyaknya kejadian nyaris
tersebut disebabkan oleh penyebab langsung (immediate causes) berupa
banyaknya kondisi kerja yang tidak aman (unsafe condition) dan banyaknya
prilaku karyawan yang tidak aman (unsafe act) di lokasi kerja tersebut. Kondisi
kerja yang tidak aman meliputi kondisi lingkungan fisik tempat kerja berupa
pengaturan sirkulasi udara, pengaturan penerangan, peralatan kerja dan pemakaian
peralatan pengaman kerja.

Sedangkan perilaku yang tidak aman dapat terjadi karena :


1. Kondisi fisik karyawan yang kurang baik, misalnya : gangguan
atau kerusakan alat indera dan stamina tubuh yang tidak stabil.
2. Kondisi psikis karyawan berupa emosi tidak stabil, kepribadian
rapuh, cara berpikir dan kemampuan persepsi yang kurang baik, motivasi
kerja rendah, sikap yang ceroboh atau kurang cermat dan kurang pengetahuan
dalam menggunakan fasilitas kerja terutama yang membawa resiko.
3. Tidak tahu tata cara kerja yang aman atau tidak tahu perilaku
yang berbahaya.
4. Tidak mampu memenuhi persyaratan kerja yang menyebabkan
terjadinya kecelakaan atau tahu seluruh peraturan dan persyaratan kerja,
namun tidak mau memenuhi atau mematuhinya.

Kita semua tahu dan sadar mengenai pendapat “Accident don’t just happen, they
are caused” atau “Kecelakaan tidak timbul begitu saja akan tetapi ada
penyebabnya”. Mari kita telaah pendapat tersebut dimulai dengan pengertian
“Kecelakaan“ menurut :
a. Kong Hu Chu
56

Suatu kecelakaan adalah suatu statistik bila menimpa orang lain, akan tetapi
merupakan suatu tragedi/musibah yang menyedihkan bila menimpa diri
sendiri atau keluarganya.
b. H.H Bherman & H.W Mc. Crone
Suatu kecelakaan adalah suatu kejadian yang timbul tiba-tiba dan yang
menghalangi suatu kegiatan atau suatu pekerjaan.
c. Dr. L.P Alford
Suatu kecelakaan dalam industri merupakan suatu bukti adanya kesalahan
dalam pengendalian/pengawasan dari kondisi kerja dan tenaga kerja (industri
ini bisa manufaktur atau jasa).

Berlandaskan pendapat “Accident don’t just happen, they are caused”, maka cara
pencegahan kecelakaan yang terjadi baik pada industri manufaktur maupun jasa
transportasi adalah dengan mencari penyebabnya.

2.3.2. Faktor-faktor Penyebab Kecelakaan Kerja


Adapun beberapa faktor mengenai penyebab terjadinya kecelakaan secara garis
besar adalah sebagai berikut :
1. Adanya gejala (perbuatan dan kondisi tidak selamat), di mana gejala
tersebut berakar pada kebijakan manajemen. Bennet Silalahi
2. Tindakan manusia dalam bekerja yang menimbulkan bahaya-bahaya
kecelakaan, lingkungan, fasilitas dan peralatan kerja yang menimbulkan
bahaya kecelakaan dan hal-hal yang tidak terjangkau oleh manusia pada saat
itu (faktor “X”). B. Hartoro
3. Manajemen, asal mula, gejala penyebab semu, kontak dan kerugian (Teori
Domino). Frank E. Bird

Sebelum kita dapat melakukan langkah-langkah atau usaha-usaha pencegahan


terhadap kecelakaan kerja, tentu harus terlebih dahulu mengetahui apa yang
menjadi penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Upaya untuk mencari sebab-sebab
kecelakaan kerja disebut Analisi kecelakaan kerja.
57

Kasus kecelakaan kerja harus secara tepat dan jelas diketahui. Bagaimana dan
mengapa terjadi. Keterangan mengenai kecelakaan dikarenakan misalnya alat
kerja atau tertimpa benda jatuh tidaklah cukup, melainkan perlu adanya kejelasan
tentang serentetan peristiwa tersebut. Bila suatu bagian dari rentetan peristiwa
dihilangkan, maka kecelakaan tidak akan terjadi.

Setiap kecelakaan ada sebabnya, termasuk kecelakaan di industri, oleh karena itu
kecelakaan dapat dicegah. Secara umum terdapat dua hal pokok, yaitu : perilaku
kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang berbahaya (uncafe
conditions).

Dari penelitian-penelitian yang telah sering dilakukan ternyata faktor manusia


memegang peranan penting dalam hal timbulnya kecelakaan. Penelitian
menyatakan bahwa 80% - 85% kecelakaan disebabkan oleh kelalaian manusia.

Adapun jenis kecelakaan yang terjadi sangat bergantung pada macam industrinya,
misalnya bahan dan peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi
tempat kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya. Semuanya ini termasuk
hal-hal yang dapat/berpotensi membahayakan para pekerja yang lazim disebut
sebagai potensial (potential hazard). Bahaya potensial di tempat kerja/di industri
dapat berupa : bahaya-bahaya fisik, kimia, biologi, masalah ergonomi, dan
masalah psikososial. Sebagai akibat dari kecelakaan di industri terjadi lima jenis
kerugian yaitu : kerusakan, kekacauan organisasi, keluhan dan kesedihan,
kelainan dan kecacatan, serta kematian.

Klasifikasi menurut jenis kecelakaan, yaitu :


1. Terjatuh, terdiri dari dua jenis, yaitu jatuh dari ketinggian dan jatuh tanpa
beda ketinggian, misalnya: terpeleset dan tergelincir,
2. tertimpa benda jatuh,
3. tertumbuk,
4. kontak/terkena benda berbahaya, misalnya zat kimia berbahaya dengan
benda panas,
58

5. terperangkap di ruang tertutup, dan


6. terjepit dan lain-lain.

Klasifikasi menurut penyebabnya, yaitu :


1. Mesin,
2. alat angkut dan alat angkat,
3. instalasi-bejana tekan (boiler)-diagram kebakaran-peralatan lainnya : Alat
kerja dan perlengkapannya, instalasi listrik-pendingin,
4. bahan kimia/radiasi, dan
5. lingkungan kerja.

Klasifikasi menurut sifat, luka dan kelainan, yaitu :


1. Patah tulang,
2. dislokasi/keseleo,
3. memar, dan
4. dan lain-lain.

Klasifikasi menurut letak kelainan di tubuh, yaitu :


1. Kepala,
2. leher,
3. badan, dan
4. anggota badan.
2.3.3. Beberapa Pendapat Mengenai Faktor Penyebab Kecelakaan
Bennet Silalahi
Bennet Silalahi menjelaskan bahwa penyebab kecelakaan adalah adanya gejala
yaitu perbuatan dan kondisi tidak selamat, di mana gejala tersebut berakar pada
kebijakan manajemen. Jika ditelusuri, maka sebab musibah dapat ditemukan dan
kemungkinan akan adanya kerusakan atau luka-luka dapat dilakukan dengan baik.

Bambang B. Hantoro
Bambang B. Hantoro menerangkan bahwa umurnya penyebab kecelakaan kerja
dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu :
59

1. Tindakan manusia dalam bekerja yang menimbulkan bahaya-


bahayanya kecelakaan. Sifat manusia yang lalai, malas, lupa, sembrono dan
sembarangan akan mendatangkan akibat yang fatal.
2. Lingkungan, fasilitas dan peralatan yang dapat menimbulkan
bahaya kecelakaan. Kurangnya fasilitas, rusaknya peralatan, atau tidak
tersedianya peralatan yang memadai disertai lingkungan yang tidak
memenuhi syarat, standar atau tidak sadar mengundang bahaya kecelakaan.
3. Golongan ketiga adalah hal-hal yang tidak terjangkau oleh manusia
pada saat itu. Golongan ini dinamakan faktor “X” yang perlu pula
diperhitungkan.

Frank E. Bird
Frank E. Bird mengemukan teori tentang sebab-sebab kecelakaan yang dinamakan
dengan rangkaian Teori Domino, teori ini diberi nama demikian karena Bird
menggunakan kartu domino untuk menerangkan sebab-sebab terjadinya
kecelakaan. Bird melukiskan rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan
kecelakaan kerja dalam bentuk urutan permainan domino. Ada lima kartu domino
yang digunakan untuk melukiskan faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya
kecelakaan. Kelima kartu menggambarkan faktor-faktor penyebab kecelakaan
yang berkaitan dan saling mempengaruhi serta mendorong timbulnya peristiwa
kecelakaan kerja. Menurut teori ini faktor manajemen mempunyai pengaruh vital
dalam usaha mengendalikan angka kecelakaan.

Uraian mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :


1. Kartu pertama (Manajemen)
Salah satu fungsi manajemen dalam semua tingkatan organisasi perusahaan
adalah melakukan kontrol. Fungsi kontrol dalam suatu sistem manajemen
sangat penting perannya, yang berguna untuk melakukan koreksi terhadap
penyimpangan yang mungkin terjadi didalam proses pelaksaaan program
keselamatan kerja. Jika fungsi kontrol itu menjadi sistem tersendiri. Maka
antara sistem manajemen dan sistem kontrol mempunyai hubungan timbal
balik (feedback) yang tak mungkin dapat dipisahkan.
60

Bila tidak ada koreksi terhadap penyimpangan yang terjadi maka akan timbul
kejadian yang tidak diinginkan, baik itu berupa kecelakaan atau kerugian
lainya.

Ada tiga faktor yang sering menyebabkan kontrol kurang baik, yaitu :
a. Program manajemen keselamatan dan kesehatan yang kurang baik.
b. Standar program kurang tepat.
c. Pelaksanaan kurang tepat.

Program manajemen dalam keselamatan dan kesehatan kerja meliputi :


a. Kepemimpinan dan administrasinya.
b. Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terpadu.
c. Pengawasan.
d. Analisa pekerjaan dan prosedur.
e. Penelitian dan analisa tentang kecelakaan.
f. Observasi suatu pekerjaan.
g. Latihan bagi tenaga kerja.
h. Peningkatan kesadaran terhadap keselamatan kerja.
i. Sistem pemeriksaan & pendataan.
2. Kartu kedua (Asal mula)
Asal mula atau sumber penyebab yang sebenarnya dari peristiwa kecelakaan
kerja, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Faktor manusia
Faktor ini antara lain karena keadaan manusianya yang tidak tahu, tidak
terampil, kurang motivasi, atau adanya gangguan fisik maupun mental.
b. Faktor pekerjaan
Faktor ini antara lain terdiri dari standar kerja, perawatan yang kurang
tepat, atau alat yang sudah aus karena pemakaian yang tidak wajar.
61

Faktor dasar inilah yang sering kali menjadi penyebab atau melatar belakangi
seseorang bertindak ceroboh (tidak selamat dalam kondisi yang tidak
selamat).
3. Kartu ketiga (Gejala atau Penyebab semu)
Untuk menetukan suatu perbuatan atau kondisi tidak aman
(unsafe) adalah sulit. Oleh karena itu Bird menyarankan agar tindakan aman
dan kondisi tidak aman diganti dengan istilah sub-standar. Istilah ini dapat
digunakan untuk menetapkan ukuran-ukuran tertentu yang baku. Hal-hal yang
tidak memenuhi persyaratan dikatakan sebagai sub-standar.

Tindakan-tindakan sub-standar dapat berupa :


a. Melakukan sesuatu tidak menurut prosedur.
b. Tidak terampil menggunakan alat.
c. Alat kerja dan bahan tidak memenuhi syarat.
d. Lay out yang tidak memenuhi efisien kerja.

Perbuatan sub-standar akibat penyebab dasar :


a. Menjalankan peralatan bukan tugasnya.
b. Gagal memberikan peringatan.
c. Menjalanakan pesawat melebihi kecepatan.
d. Melepaskan alat pengaman atau membuat alat pengaman tidak berfungsi.
e. Tidak memakai perlindungan diri.
f. Membuat suatu berlebihan.

Kondisi sub-standar :
a. Pengaman tidak sempurna,
b. Alat perlindungan diri yang tidak memenuhi syarat,
c. Bahan, peralatan kerja yang telah rusak,
d. Sistem tanda bahaya tidak memenuhi syarat,
e. Tingkat kebisingan tinggi,
f. Ventilasi kurang baik, dan
62

g. Mesin, alat kerja tidak sesuai dengan ukuran tubuh.


4. Kartu keempat (Kontak)
Kontak antara sumber bahaya dengan satu atau lebih anggota badan dapat
menimbulkan kecelakaan yang timbul akibat kontak antara sumber bahaya
dengan anggota badan, dapat berupa terbentur pada suatu benda, tergelincir
pada permukaan licin, tersayat benda tajam, terjepit atau terlilit, jatuh
ketingkat yang lebih rendah dan lain-lain.
5. Kartu kelima (Kerugian)
Kecelakaan dapat menimbulkan kerugian, baik itu kerugian yang bersifat fisik
pada pekerja dapat berupa luka, terbakar, patah tulang, dan lain-lain
sedangkan kerugian non fisik dapat berupa gangguan mental psikologi pada
pekerja yang terlibat kecelakaan. Disamping itu kecelakaan juga dapat
menimbulkan kerugian karena adanya kerusakan pada mesin, peralatan atau
bahan.

Dari beberapa pendapat para ahli tentang faktor-faktor penyebab kecelakaan di


atas, maka dapat diseimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja
dapat digolongkan menjadi empat bagian, yaitu :
1. Faktor manusia,
2. Faktor lingkungan kerja,
3. Faktor mesin dan peralatan, dan
4. Faktor bahan.

2.3.3.1. Faktor Manusia


Tenaga kerja manusia merupakan alat produksi yang rumit serta membutuhkan
penanganan yang khusus ditinjau dari aspek tenaga, keleluasaan, ketahanan fisik,
dan mental, serta aspek psikologi dan aspek sosial, serta moral. Pada
pelaksaannya terdapat beberapa pendekatan.
63

Dalam tingkah laku manusia dikenal istilah ulah atas tingkah laku sembrono
(accident behavior), tingkah laku atau sembrono ini dapat menyebabkan
kecelakaan pada diri sendiri atau orang lain atau barang.

Ada dua kelompok penyebab manusia bertingkah laku sembrono, yaitu :


1. Penyebab dan sifatnya pribadi (individu).
2. Penyebab yang sifatnya situasional.

Manusia dilahirkan dengan berbagai karakter, baik maupun buruk. Oleh sebab itu,
maka tidak ada dua manusia di dunia ini yang persis sama. Karakter manusia
seperti intelegensia, motivasi, keterampilan, pengalaman dan lain-lain. Akan
menentukan bagaimana tingkah laku seseorang dalam menghadapi situasi tertentu.
Dari serentetan tingkah laku yang mungkin terjadi dapat berupa “accident
behaviour”, hal itu yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.

Pendekatan pertama berkaitan dengan ciri-ciri psikologis, fisik, dan kelainan-


kelainan faal perseorangan yang cenderung mempunyai pengaruh terhadap
kecelakaan. Pendekatan demikian menjurus kepada kecenderungan untuk celaka
dan menekankan perlunya seleksi dan latihan bagi tenaga kerja perlu diketahui,
bahwa penelitian-penelitian dan kemajuan upaya yang berdasarkan atas
pendekatan ini berakhir dengan kesulitan-kesulitan., metodologis dan tidak
mungkin dirumuskannya kesimpulan-kesimpulan umum. Lebih-lebih pemajuan
gagasan tanggung jawab perorangangan menyebabkan kecil sekali ruang gerak
bagi kegiatan preventif namun begitu cara pendekatan ini tetap bermanfaat dan
perlu dalam hal penilaian tenaga kerja untuk pekerjaan-pekerjaan khusus, sperti
misalnya seleksi pengemudi dan juga dari sudut pendidikan.
Pendekatan kedua berhubungan dengan faktor-faktor rasa atau emosi. Satu dari
penelitian-penelitian yang tertua dan yang paling umum dilaksanakan. Sekalipun
tidak diragukan tentang adanya pengaruh faktor-faktor manusiawi, kenyataannya
tetap sulit untuk menilai peranan faktor-faktor ini dan merumuskan tindakan-
tindakan pencegahan khusus.
64

Pendekatan ketiga dan merupakan cara pendekatan akhir-akhir ini bersangkutan


dengan faktor-faktor manusiawi yang dikaitkan dengan situasi pekerjaan.
Pertama-pertama, kita memiliki hubungan perseorangan dengan hubungan kerja
dan penyesuaian sosial. Selanjutnya, terdapat sikap-sikap terhadap pekerjaan,
proses produksi dan persyaratan keselamatan, penghargaan dan hari depan
pekerjaan. Pendektan yang belum banyak dipelajari ini nampaknya merupakan
lapangan yang baik untuk ditelaah.

Pendekatan keempat cenderung untuk menilai bagaimana tingkat keserasian


tenaga kerja terhadap proses pekerjaan. Dalam hubungan ini, terdapat hubungan
serasi manusia dengan lingkungan kerja seperti panas, penerangan dan kebisingan,
hubungan manusia dan mesin serta hubungan manusia dan organisasi kerja.

Dalam faktanya, kecelakaan merupakan suatu keadaan bertemu serangkaian


peristiwa yang menjadi sebab terjadinya kecelakaan. Sebab-sebab tersebut akan
dianalisa oleh berbagai pihak yang memiliki latar belakang kemampuan dan
pengetahuan yang berlainan.

2.3.3.2. Faktor Lingkungan Kerja


Lingkungan kerja merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
kecelakaan kerja. Suatu lingkungan kerja yang kurang nyaman dapat
menyebabkan manusia mengalami eksploitasi yang berlebihan, serta dapat
menimbulkan akses negatif, dan dapat pula menimbulkan penyakit.

Tubuh manusia merupakan sesuatu yang sangat peka terhadap rangsangan. Setiap.
Suhu, alat, warna, atau cahaya, udara, musik getaran, dapat memberikan kesan
yang mendorong sesorang untuk bekerja lebih cepat dibandingkan dengan kesan
yang memberikan oleh warna biru.

2.3.3.3. Faktor Mesin dan Peralatan


Sistem kerja mesin dan peralatan merupakan pusat perhatian dalam menghasilkan
fungsi kerja yang diinginkan. Dalam operasinya tidak jarang mesin dan peralatan
65

merupakan potensi yang dapat menimbulkan celaka. Potensinya yang besar dalam
menciptakan kecelakaan kerja mengharuskan perancangan mesin dan peralatan
mendesain suatu keadaan mesin yang aman bagi operator informasi dari prosedur
pengoprasian dan perawatan mesin dan peralatan agar kehandalannya terjamin
sangat penting diikuti dalam usaha mencegah terjadinya kecelakaan.

2.3.3.4. Faktor Bahan


Dalam suatu tempat kerja bahan merupakan benda yang menjadi pusat
pengerjaan/pengelolaan. Dalam tipe jenis industri maka bahan yang harus diolah
beraneka ragam dalam sifat fisik dan kimia. Untuk jenis bahan yang berbeda
memerlukan penanganan yang berbeda pula. Handling (penanganan material)
yang sesuai dengan sifat fisik dan kimianya disamping penanganan hal
diatas.maka kualitas bahan yang diperlukan juga harus diperhatikan. Tidak jarang
bahwa bahan yang berkualitas baik akan merangsang pekerja untuk bekerja
dengan teliti dan bersemangat. Sebaliknya yang jelek akan membutakan pekerja
menjadi jengkel dan ini dapat mengakibatkan pekerja melakukan kerjanya secara
asal-asalan. Jika pekerja melakukan pekerjaan dengan rasa tidak enak, ini
merupakan sesuatu penyebab kecelakaan yang potensial.

2.3.4. Pencegahan Kecelakaan Akibat Kerja


Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan :
1. Peraturan perundangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan mengenai
kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi, perawatan dan
pemeliharaan, pengawasan, pengujian, dan cara kerja peralatan industri,
tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi, medis, PPPK, dan
pemeriksaan kesehatan.
2. Standarisasi, yaitu penetapan standar-standar resmi, setengah resmi atau tak
resmi mengenai misalnya konstruksi yang memenuhi syarat-syarat
keselamatan jenis-jenis peralatan industri tertentu, praktek-praktek
keselamatan dan higiene umum, atau alat-alat perlidungan diri.
3. Pengawasan, yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang diwajibkan.
66

4. Penelitian bersifat teknik, yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-bahan


berbahaya, penyelidikan tentang pagar pengaman, pengujian alat-alat
perlindungan diri, penelitian tentang pencegahan peledakan gas dan debu,
atau penelaahan tentang bahan-bahan dan desain paling tepat untuk tambang-
tambang pengangkat dan peralatan pengangkat lainnya.
5. Riset medis, yang meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis
dan patologis faktor-faktor lingkungan dan teknologis, dan keadaan-keadaan
fisik yang mengakibatkan kecelakaan.
6. Penelitian psikologis, yaitu penyelidikan tentang pola-pola kejiwaan yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan.
7. Penelitian secara statistik, untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang
terjadi, banyaknya, meneganai siapa saja, dalam pekerjaan apa, dan apa
sebab-sebabnya.
8. Pendidikan, yang menyangkut pendidikan keselamatan dalam kurikulum
teknik, sekolah-sekolah perniagaan atau kursus-kursus pertukangan.
9. Latihan-latihan, yaitu latihan praktek bagi tenaga kerja, khususnya tenaga
kerja yang baru dalam keselamatan kerja.
10. Penggairahan, yaitu penggunaan anaeka cara penyuluhan atau pendekatan lain
untuk menimbulkan sikap untuk selamat.
11. Asuransi, yaitu insentif finansial untuk meningkatkan pencegahan kecelakaan
misalnya dalam bentuk pengurangan premi yang dibayar oleh perusahaan,
jika tindakan-tindakan keselamatan sangat baik.
12. Usaha keselamatan pada tingkat perusahaan, yang merupakan ukuran utama
efektif tidaknya penerapan keselamatan kerja. Pada perusahaanlah,
kecelakaan-kecelakaan terjadi, sedangkan pola-pola kecelakaan pada suatu
perusahaan sangat tergantung kepada tingkat kesadaran akan keselamatan
kerja oleh semua pihak yang bersangkutan.

Jelaslah, bahwa untuk pencegahan akibat kerja diperlukan kerja sama aneka
keahlian dan profesi seperti pembuat undang-undang, pegawai pemerintah, ahli-
ahli teknik, dokter, ahli ilmu jiwa, ahli statistik, guru-guru, dan sudah barang tentu
pengusaha dan buruh.
67

2.4. Penanganan Kecelakaan Industri


Dokter perusahaan harus dapat memperhatikan faktor penting dalam
merencanakan penanganan kecelakaan di industri. Dia itu harus dapat menentukan
kemungkinan yang biasa terjadi pada suatu industri jenis dan jumlah tenaga yang
dibutuhkan, berbagai peralatan dan bahan yang siap pakai termasuk kendaraan
untuk penanganan kecelakaan yang mungkin terjadi. Pelaksanaannya akan
menyangkut lintas program, lintas sector terkait dan juga tim K3 perusahaan
(Panitia Pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja), serta perundang-
undangan dan peraturan yang berlaku. Perencanaan ini harus jelas, singkat tetapi
lengkap serta meliputi seluruh kegiatan yang diperlukan pada saat pelaksanaan.
Tugas dan peran personil yang terlibat harus jelas, termasuk sosialisasi rutin
kepada pihak industri. Umumnya perencanaan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu
sebelum kejadian, saat kejadian dan setelah kejadian.

2.5. Inspeksi Tempat Kerja


Inspeksi/pemeriksaan tempat kerja bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-
sumber bahaya potensial yang ada ditempat kerja, mengevaluasi tingkat resiko
terhadap tenaga kerja serta mengendalikan sampai tingkat yang aman bagi
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Inspeksi tidak ditujukan untuk mencari
kesalahan orang, melainkan untuk menemukan dan menentukan lokasi bahaya
potensial yang dapat mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Kesehatan kerja meliputi segala upaya mencegah penyakit akibat kerja dan
penyakit lainnya pada tenaga kerja. Tujuannya adalah agar tenaga kerja
ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan skill, kemampuan fisik dan
kondisi mentalnya sehingga setiap tenaga kerja berada dalam keadaan sehat dan
sejahtera pada saat ia mulai bekerja sampai selesai masa baktinya. Kesehatan
kerja dilaksanakan pada komunitas tenaga kerja melalui upaya kesehatan kerja,
yang meliputi upaya promosional, upaya pencegahan penyakit umum maupun
penyakit akibat kerja, pengobatan pada tenaga kerja yang sakit serta rehabilitasi
tenaga kerja yang cacat akibat kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.
68

Melalui upaya kesehatan kerja akan terwujud tenaga kerja yang sehat dan
produktif hingga mampu meningkatkan kesejahteraan dirinya, keluarganya dan
masyarakat luas. Tenaga kerja tidak saja diharapkan sehat dan produktif selama
masa kerjanya tapi juga setelah masa kerjanya berakhir (pensiun), sehingga ia
dapat menjalani masa pensiun dan hari tuanya tanpa diganggu oleh penyakit dan
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaan maupun lingkungan kerja
semasa ia bekerja. Pengalaman negara maju menunjukkan semakin banyak
penyakit kanker dan penyakit akibat kerja lainnya baru diketahui setelah tenaga
kerja tersebut berhenti bekerja.

Umumnya, di semua tempat kerja selalu terdapat sumber bahaya yang dapat
mengancam keselamatan maupun kesehatan tenaga kerja. Hampir tak ada tempat
kerja yang sama sekali bebas dari sumber bahaya. Untuk mencegah terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja perlu dilakukan inspeksi tempat kerja untuk
mendeteksi adanya sumber bahaya, kemudian diupayakan pengendaliannya agar
tempat kerja terlindung dari bahaya potensial yang ada. Hal ini merupakan
keharusan sebagaimana digariskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja yang ditetapkan pada tanggal 12 Januari 1970.

Dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja akan


dapat dicegah timbulnya kerugian baik kerugian secara langsung maupun tak
langsung yang disebabkan oleh kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

2.6. Ruang Lingkup Kualitas Pelayanan


2.6.1. Pengertian Kualitas Pelayanan
Konsep kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk
atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain
merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu
ukuran seberapa jauh suatu produk mampu memenuhi persyaratan atau spesifikasi
kualitas yang ditetapkan. Apabila kualitas dipandang secara lebih luas, dimana
69

tidak hanya aspek hasil saja yang ditetapkan melainkan juga meliputi proses,
lingkungan dan manusia.

Hal ini jelas tampak dalam definisi yang dirumuskan Goetsh dan Davis yang
dikutip oleh Fandy Tjiptono (1996) dalam buku “Manajemen Jasa” : “Kualitas
merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa,
manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.

Menurut Garvin yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dalam bukunya yang berjudul
“Manajemen Pemasaran” (2001), ada lima macam perspektif kualitas yang
berkembang. Kelima macam perpestif inilah yang bisa menjelaskan mengapa
kualitas jasa dapat diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda
dalam situasi yang berlainan. Adapun kelima perpestif mutu/kualitas tersebut
adalah :
1. Transcedental approach
Dalam pendekatan ini kualitas dipandang sebagai innate excellence, dimana
kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit untuk dapat didefinisikan
dan dioperasionalisasikan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam dunia
seni, misalnya : seni musik, seni drama, seni tari, dan sebagainya.
2. Product-based approach
Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau
atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas
mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang
dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat
menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi individual.
3. User-based approach
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada
orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan
preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
Perpestif yang subyektif juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda
memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi
seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakan.
70

4. Manufacturing-based approach
Perpestif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktek-
praktek perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas
sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan. Dalam sektor jasa, dapat
dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-driven. Pendekatan ini
berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal,
yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan
penekanan biaya. Jadi, yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang
ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya.
5. Value-based approach
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Kualitas dalam
perpestif ini bersifat relatif, sehingga yang memliki kualitas paling tinggi
belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai
adalah barang yang paling tepat dibeli (best-buy).

Menurut Wyckof (dalam Loveock, 1998) yang dikutip oleh Fandy Tjiptono
(1998) mendefinisikan mutu pelayanan sebagai berikut : “Mutu pelayanan adalah
penilaian mengenai tingkat pelayanan yang diberikan perusahaan”. Jadi, mutu
pelayanan merupakan penilaian konsumen mengenai tingkat pelayanan yang
diberikan oleh perusahaan.

Dengan kata lain, ada dua faktor utama yang mempengaruhi mutu pelayanan,
yaitu pelayanan yang diharapkan dan pelayanan yang dirasakan. Apabila
pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka
mutu pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika pelayanan yang diterima
melampaui harapan pelanggan, maka mutu pelayanan dipersepsikan sebagai mutu
yang ideal. Sebaliknya, jika pelayanan yang diterima lebih rendah daripada yang
diharapkan, maka mutu pelayanan dipersepsikan buruk.

2.6.2. Faktor-faktor yang Menentukan Penilaian Kualitas Jasa


71

Salah satu cara utama mendiferensiasikan sebuah perusahaan jasa adalah


memberikan jasa berkualitas lebih tinggi dari pesaing secara konsisten. Kuncinya
adalah memenuhi atau melebihi harapan kualitas jasa pelanggan sasaran.

Menurut Parasuraman yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dalam bukunya yang
berjudul “Strategi Pemasaran” (2000), dalam memberikan penilaian mengenai
kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan, konsumen menggunakan
beberpa criteria, yang secara garis besarnya adalah :
1. Bukti Langsung (Tangibles), yang meliputi : fasilitas fisik, perlengkapan
pegawai, dan sasaran komunikasi.
2. Keandalan (Reliability), yakni kemampuan utuk memberikan pelayanan
yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
3. Daya Tanggap (Responsiveness), yakni keinginan para pegawai untuk
membantu pelanggan dengan tanggap.
4. Jaminan (Assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan
dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para pegawainya, bebas dari bahaya
resiko dan keragu-raguan.
5. Empati (Emphaty), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan
komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para
pelanggannya.

Menurut Drs. Yazid dalam bukunya “Pemasaran Jasa” (1999) menemukakan ada
lima kesenjangan (Gap) yang menyebabkan penyajian pelayanan tidak berhasil,
yaitu :
1. Kesenjangan antara harapan konsumen dan pandangan manajemen dimana
manajemen tidak memenuhi dengan tepat apa yang diinginkan oleh konsumen
atau bagaimana penilaian konsumen terhadap pelayanan.
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen tentang harapan konsumen dan
spesifikasi kualitas jasa (manajemen tidak mengetahui harapan konsumen)
yang berakar dari tidak adanya interaksi langsung antara manajemen dengan
konsumen, dan atau ketidaksiapan manajemen dalam mengakomodasi
keduanya.
72

3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dengan yang sebenarnya


disajikan (gagal dalam memilih desain dan standar jasa yang benar),
dikarenakan permintaan konsumen itu terlalu sulit diprediksi atau cara
perusahaan dan personelnya memproses jasa tidak bisa diubah.
4. Kesenjangan antara penyampaian jasa actual dengan komunikasi eksternal
kepada konsumen (tidak menyampaikan jasa dengan standar yang berorientasi
kepada konsumen), dimana kehendak konsumen dipengaruhi janji-janji yang
dibuat perusahaan.
5. Kesenjangan antara jasa yang diharapkan dengan secara aktual diterima
(perusahaan tidak menyesuaikan unjuk kerja dengan janji-janji dengan
perusahaan kepada konsumen), dimana adanya perbedaan antara unjuk kerja
sebenarnya dengan persepsi yang dimiliki konsumen.

2.6.3. Faktor-faktor Penyebab Kualitas pelayanan Buruk


Menurut Fandy Tjiptono dalam bukunya “Manajemen Pemasaran” (2000), ada
berbagai macam faktor yang menyebabkan kualitas pelayanan menjadi buruk,
yaitu :
1. Produksi dan konsumsi yang terjadi secara simultan
Dalam memberikan pelayanan dibutuhakan kehadiran dan partisipasi
pelanggan. Akibat timbul masalah-masalah sehubungan dengan interaksi
antara produsen dengan konsumen. Beberapa kekurangan yang mungkin ada
pada karyawan dalam memberikan pelayanan dapat berpengaruh terhadap
persepsi pelanggan mengenai kualitas pelayanan, misalnya : tidak terampilnya
karyawan dalam melayani konsumen, tutur katanya kurang sopan atau
bersikap menyebalkan.

2. Intensitas tenaga kerja yang tinggi


Keterlibatan tenaga kerja yang insentif dalam melaksanakan pelayanan dapat
pula menimbulkan masalah pada kualitas, yakni tingkat variabilitas yang
tinggi. Hal-hal yang bisa mempengaruhinya adalah upah yang rendah,
73

pelatihan yang kurang memadai atau bahkan tidak sesuai, tingkat turn over
pegawai yang tinggi.
3. Dukungan terhadap pelanggan internal (pelanggan perantara) kurang
memadai
Karyawan front-line merupakan ujung tombak dari suatu pelaksanaan
pelayanan. Agar mereka dapat memberikan pelayanan yang efektif, maka
perlu mendapatkan dukungan dari fungsi-fungsi utama manajemen (operasi,
pemasaran, keuangan dan sumber daya manusia). Dukungan tersebut dapat
berupa peralatan (perkakas, material, pakaian seragam), pelatihan
keterampilan maupun informasi.
4. Kesenjangan-kesenjangan komunikasi
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa komunikasi merupakan faktor yang sangat
esensial dalam kontak dengan pelanggan. Bila terjadi kesenjangan dalam
komunikasi ini, maka timbul penilaian atau persepsi negatif dari pelanggan
terhadapa kualitas pelayanan yang diberikan.
5. Memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama
Pelanggan adalah manusia yang bersifat unik, karena mereka memiliki
perasaan dan emosi. Dalam hal ini interaksi dengan pelaksana layanan tidak
semua pelanggan bersedia menerima pelayanan yang seragam.
6. Perluasan atau pengembangan pelayanan secara berlebihan
Bila terlampau banyak menawarkan pelayanan yang baru dan tambahan
terhadap pelayanan yang sudah ada, maka hasil yang diperoleh belum tentu
optimal, bahkan tidak tertutup kemungkinan akan timbul masalah-masalah
seputar standar kualitas pelayanan.
7. Visi bisnis jangka pendek
Visi bisnis jangka pendek bisa merusak kualtias pelayanan yang dibentuk
untuk jangka panjang.

2.6.4. Strategi Meningkatkan Kualitas Pelayanan


Meningkatkan kualitas pelayanan jasa tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan atau menekan saklar lampu. Fandy Tjiptono (2001:88) dalam bukunya
74

“Manajemen Pemasaran” mengemukakan beberapa cara yang harus dilakukan


untuk meningkatkan kualitas pelayanan, yaitu :
1. Mengidentifkasi determinasi utama kualitas pelayanan
Setiap perusahaan jasa perlu berupaya memberikan kualitas yang terbaik
kepada pelanggan. Untuk itu dibutuhkan identifikasi determinan kualitas
pelayanan bagi pasar sasaran. Langkah berikutnya adalah memperkirakan
penilaian yang diberikan pasar sasaran terhadap perusahaan dan pesaing
berdasarkan determinan-determinan tersebut.
2. Mengelola harapan pelanggan
Semakin banyak janji yang diberikan oleh perusahaan, maka semakin besar
pula harapan pelanggan, yang pada gilirannya akan menambah peluang untuk
tidak dapat terpenuhinya harapan pelanggan oleh perusahaan.
3. Mengelola bukti (evidence) kualitas pelayanan
Pengelolaan bukti kualitas pelayanan bertujuan untuk memperkuat persepsi
pelanggan selama dan sesudah jasa diberikan. Oleh karena jasa merupakan
kinerja dan tidak dapat dirasakan sebagaimana halnya barang, maka pelanggan
cendrung memperhatikan fakta-fakta tangibles yang berkaitan dengan
pelayanan sebagai bukti kualitas.
4. Mendidik konsumen tentang pelayanan
Membantu pelanggan dalam memahami suatu pelayanan merupakan upaya
yang sangat positif dalam rangka penyampaian mutu pelayanan. Pelanggan
yang terdidik akan dapat mengambil suatu keputusan secara lebih baik.
5. Mengembangkan budaya kualitas
Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi,
prosedur dan harapan yang meningkatkan kualitas. Agar dapat terciptanya
budaya kualitas yang baik, dibutuhkan komitmen yang menyeluruh pada
seluruh anggota perusahaan.

6. Menciptakan automatic quality


Adanya otomasisasi dapat mengatasi variabilitas mutu pelayanan yang
disebabkan kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki. Meskipun
75

demikian, sebelum memutuskan untuk melakukan otomasisasi, perusahaan


perlu melakukan penilitian secara seksama untuk menentukan bagian yang
membutuhkan sentuhan manusia dan bagian mana yang memerlukan
otomasisasi.
7. Menindak-lanjuti pelayanan
Menindak-lanjuti pelayanan dapat membantu memisahkan aspek-aspek
pelayanan yang perlu ditingkatkan. Perusahaan perlu mengambil inisiatif
untuk menghubungi sebagian atau semua pelanggan untuk mengetahui tingkat
kepuasan dan persepsi mereka terhadap jasa yang diberikan.
8. Mengembangkan sistem informasi kualitas pelayanan
Sistem informasi kualitas pelayanan merupakan suatu sistem yang
menggunakan pendekatan secara sistematis untuk mengumpulkan dan
menyebarluaskan informasi yang dibutuhkan yang mencakup segala aspek,
yaitu data saat ini dan data masa lalu, kuantitatif dan kualitatif, eksternal dan
internal, serta informasi mengenai perusahaan dan pelanggan.

2.7. Ruang Lingkup Kepuasan Konsumen


2.7.1. Pengertian Kepuasan Konsumen
Kepuasan konsumen setelah menerima pelayanan dari suatu perusahaan
tergantung dari kinerja penawaran yang dibandingkan dengan harapan. Definisi
kepuasan konsumen menurut Philip Kotler (1997), yaitu : “Kepuasan adalah
perasaan sangat senang atau kesan seseoang yang berasal dari perbandingan
antara kesannya terhadap kinerja (atau hasilnya) suatu produk/jasa dengan
harapan-harapannya”.

Apabila kebutuhan tersebut telah dipenuhi tetapi tidak sesuai dengan harapan,
konsumen akan menimbulkan berbagai macam tindakan. Tindakan-tindakan
tersebut menurut Fandy Tjiptono (2000:154) adalah :
1. Tidak melakukan apa-apa.
2. Melakukan keluhan secara langsung.
3. Mengadu ke media massa.
76

Bila jasa yang mereka nikmati ternyata berada jauh di bawah yang mereka
harapkan, maka hal tersebut akan mengakibatkan ketidakpuasan. Makin besar
jurang antara harapan dan kenyataan makin besar pula ketidakpuasan konsumen.

2.7.2. Nilai Kepuasan Pelanggan


Untuk mencapai kepuasan, konsumen akan memilih penawaran yang akan
memberikan nilai tertinggi. Para konsumen mengharapkan nilai maksimal dengan
dibatasi oleh biaya pencarian serta pengetahuan dan penghasilan yang terbatas,
mereka membentuk suatu harapan akan nilai dan bertindak berdasarkan hal itu.
Konsumen akan membeli dari perusahaan yang mereka anggap menawarkan
customer delivered value yang tertinggi. Seperti yang dikemukakan oleh Philip
Kotler (2000) : “Customer delivered value adalah nilai yang diterima konsumen
yang merupakan selisih antara total customer value (jumlah nilai konsumen bagi
konsumen) dan total customer cost (biaya total konsumen)”. Total customer value
adalah kumpulan manfaat yang diharapkan diperoleh konsumen dari produk atau
jasa tertentu, sedangkan total customer cost adalah sekumpulan pengorbanan yang
diperkirakan pelanggan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh dan
menggunakan produk atau jasa tersebut.

Total customer value harus lebih besar dari pada total customer cost, maka nilai
yang akan diterima akan lebih tinggi dan hal ini akan memuaskan konsumen.

2.7.3. Metode dan Teknik Pengukuran Kepuasan Konsumen


Pemantauan dan pengukuran terhadap kepuasan pelanggan telah menjadi hal yang
sangat esensial bagi setiap perusahaan. Hal ini dikarenakan langkah tersebut dapat
memberikan umpan balik (feedback) dan masukan bagi keperluan pengembangan
dan implementasi strategi peningkatan kepuasan pelanggan. Pada prinsipnya,
kepuasan pelanggan itu dapat diukur dengan berbagai macam metode dan teknik.
Menurut Kotler yang dikutip oleh Fandy Tjiptono (2000), ada empat metode
identifikasi untuk mengukur kepuasan konsumen, yaitu :
1. Sistem Keluhan dan Saran
77

Organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer-oriented) perlu


memberikan kesempatan yang luas kepada para pelanggannya untuk
menyampaikan saran, pendapat dan keluhan mereka. Media yang digunakan
bisa berupa kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis (yang
mudah dijangkau atau dilewati pelanggan), kartu komentar, saluran telepon
bebas pulsa, dan sebagainya. Informasi-informasi yang diperoleh melalui
metode ini dapat memberikan ide-ide baru dan masukkan yang berharga
kepada perusahaan sehingga memungkinkannya untuk bereaksi dengan
tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul.
2. Ghost Shopping
Salah satu cara untuk memperoleh gambaran kepuasan konsumen adalah
dengan memperkerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan atau
bersikap sebagai pembeli potensial terhadap produk perusahaan dan pesaing.
Kemudian mereka melaporkan temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan
produk perusahaan dan pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam
pembelian produk atau jasa tersebut. Selain itu, ghost shopper juga dapat
mengamati cara penanganan setiap keluhan, baik oleh perusahaan yang
bersangkutan maupun pesaingnya.
3. Lost Customer Analysis
Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah berhenti
membeli atau pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi
dan agar dapat mengambil kebijakan perbaikan/penyempurnaan selanjutnya.
Bukan hanya exit interview saja yang perlu dilakukan, tetapi pemantauan
customer lost rate juga penting, dimana peningkatan customer lost rate
menunjukkan kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggannya.
4. Survei Kepuasan Pelanggan
Umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan pelanggan yang dilakukan
dengan penelitian survei, baik dengan survei melalui pos, telepon, maupun
wawancara. Melalui survei perusahaan akan memperoleh tanggapan dan
umpan balik (feedback) secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan
tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh respek terhadap
pelanggannya.
78

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa metode survei merupakan metode


yang paling banyak digunakan dalam pengukuran kepuasan pelanggan. Metode
survei kepuasan pelanggan dapat menggunakan pengukuran dengan berbagai cara
(Fandy Tjiptono-2000), antara lain :
1. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan pertanyaan seperti
ungkapan : “Seberapa puaskah saudara terhadapa pelayanan perusahaan
kami ?” dengan skala : sangat puas, puas, cukup puas, tidak puas, sangat tidak
puas.
2. Responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka mengharapkan
suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka rasakan.
3. Responden diminta untuk menuliskan masalah-masalah yang mereka hadapi
berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan juga diminta untuk
menuliskan perbaikan-perbaikan yang mereka sarankan.
4. Responden dapat diminta untuk merangking berbagai elemen dari penawaran
berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen dan seberapa baik kinerja
perusahaan dalam masing-masing elemen.

2.8. Hubungan Antara Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan konsumen


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa jasa adalah tidak nyata
(intangibles), dimana jasa tersebut tidak dapat dilihat, dirasakan, diraba, didengar
atau diperbaharui sebelum dibeli. Dengan demikian, konsumen akan mencari
tanda atau bukti dari kualitas jasa tersebut melalui orang lain, peralatan, bahkan
komunikasi dan harga yang mereka lihat.

Sepertinya sudah menjadi tugas para penyedia jasa untuk “membuktikan” atau
“menyatakan yang tidak nyata” dari sesuatu yang dapat memberikan bukti fisik
dan citra yang diberikan perusahaan untuk kemudian dievaluasi oleh konsumen,
apakah jasa tersebut sesuai yang diharapkan, melebihi harapan mereka, ataukah
berada di bawah harapan mereka.
79

Pada saat proses konsumsi jasa terjadi, konsumen akan melakukan proses evaluasi
pelayanan dalam hubungannya dengan apa yang mereka cari dan harapkan dengan
apa yang mereka terima, sehingga akhirnya mereka bersedia untuk membayarnya.

Selama proses ini berlangsung, konsumen akan mengamati kemampuan


perusahaan dalam memperhatikan dan menangani masalah-masalah mereka dan
cara-cara perusahaan memberikan pelayanan, dimana konsumen akan
memperoleh kualitas teknik dan fungsional yang dapat diterima oleh mereka. Jika
konsumen merasa puas, maka mereka akan melakukan konsumsi yang sama
dengan yang sebelumnya atau melakukan konsumsi yang baru atau pemakaian
jasa yang lebih besar lagi, sehingga hubungan dengan konsumen yang tahan lama
untuk jangka panjang akan tercapai. Akan tetapi, bila konsumen merasa tidak puas
terhadap kualias pelayanan yang ada, maka konsumen tersebut akan
meninggalkan perusahaan untuk kemudian mencari dan mencoba jasa dari
perusahaan lain dan kemudian membandingkannya atau mereka benar-benar pergi
meninggalkan perusahaan dan tidak ingin kembali lagi.

Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bila para konsumen melepaskan
diri karena tidak merasa puas, maka mereka bisa jadi akan menyebarkan image
buruk yang beredar dari mulut ke mulut tentang perusahaan., sehingga berakibat
pada kerugian ekonomi yang besar bagi perusahaan, karena perusahaan akan
mengalami tekanan biaya pemasaran yang cukup tinggi dan tidak pasti.

Anda mungkin juga menyukai