Tinjauan Pustaka
Kecelakaan kerja tidak harus dilihat sebagai takdir, karena kecelakaan itu tidaklah
terjadi begitu saja. Kecelakaan pasti ada penyebabnya. Kelalaian perusahaan yang
semata-mata memusatkan diri pada keuntungan, dan kegagalan pemerintah untuk
meratifikasi konvensi keselamatan internasional atau melakukan pemeriksaan
buruh, merupakan dua penyebab besar kematian terhadap pekerja. Negara kaya
sering mengekspor pekerjaan berbahaya ke negara miskin dengan upah yang lebih
murah dan standar keselamatan pekerja yang lebih rendah. Selain itu, negara-
negara berkembang seperti Indoensia, undang-undang keselamatan kerja yang
berlaku tidak secara otomatis meningkatkan kondisi di tempat kerja, di samping
hukuman yang ringan bagi yang melanggar aturan. Padahal meningkatkan standar
keselamatan kerja yang lebih baik akan menghasilkan keuangan yang baik.
Pengeluaran biaya akibat kecelakaan dan sakit yang berkaitan dengan kerja
merugikan ekonomi dunia lebih dari seribu miliar dolar (850 miliar euro) di
seluruh dunia, atau 20 kali jumlah bantuan umum yang diberikan pada dunia
berkembang. Di AS saja, kecelakaan kerja merugikan perusahaan puluhan miliar
5
6
Gambar 2.1. Data penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan di
Indonesia tahun 2003.
7
K3 yang termasuk dalam suatu wadah higiene perusahaan dan kesehatan kerja
(hiperkes) terkadang terlupakan oleh para pengusaha. Padahal, K3 mempunyai
tujuan pokok dalam upaya memajukan dan mengembangkan proses
industrialisasi, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan para buruh.
Lebih jauh lagi sistem ini memberikan perlindungan bagi masyarakat sekitar suatu
perusahaan agar terhindar dari bahaya pengotoran bahan-bahan proses
industrialisasi yang bersangkutan, dan perlindungan masyarakat luas dari bahaya-
bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh produk-produk industri.
Dalam konteks ini, kiranya tidak berlebihan jika K3 dikatakan merupakan modal
utama kesejahteraan para buruh/tenaga kerja dalam suatu wadah industri tentunya
akan memberikan dampak lain, salah satunya adalah sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas. Di era pasar bebas tentu daya saing satu proses industrialisasi
semakin ketat dan sangat menentukan maju tidaknya pembangunan suatu bangsa.
Dalam pasar bebas tingkat ASEAN saja, yang dikenal dengan istilah AFTA
(ASEAN Free Trade Area) sangat dibutuhkan peningkatan produktivitas kerja
untukdapat bersaing dan mampu menghasilkan barang dan jasa yang bermutu
tinggi. Untuk itu, penerapan peraturan perundang-undangan dan pengawasan serta
perlindunagn para buruh/karyawan sanat memerlukan sistem manajemen industri
yang baik dengan menerapkan K3 secara optimal. Sebab, faktor Keselamatan dan
Kesehatan Kerja sangat mempengaruhi terbentuknya SDM yang terampil,
professional, dan berkualitas dari tenaga kerja itu sendiri.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penerapan kesehatan kerja betujuan agar
karyawan memperoleh kesehatan yang sempurna baik fisik, psikis maupun sosial,
sedangkan keselamatan kerja bertujuan agar tenaga kerja dapat terlindungi,
selamat dan aman. Kesehatan dan keselamatan kerja yang dilindungi dengan baik
akan memungkinkan karyawan untuk bekerja secara optimal.
Fungsi perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang perlu mendapat
perhatian, karena dari perencanaan yang baik dapat diharapkan terlaksananya
fungsi manajemen lainnya dengan baik, karena semua fungsi manajemen
berkaitan satu sama lain. Pelaksanaan kegiatan K3 menjadi kurang terarah apabila
tidak ada perencanaan yang baik. Begitu pula fungsi pengawasan akan berjalan
dengan baik kalau perencanaan sudah baik. Pengawasan yang baik sudah dimulai
pada tahap perencanaan. Demikian pula dengan suatu program K3, harus dimulai
dengan suatu perencanaan yang baik, ditujukan untuk mencapai sasaran yang
telah ditentukan terlebih dahulu.
Pelaksanaan program K3 sasarannya adalah tempat kerja yang aman dan sehat.
Untuk itu semua permasalahan yang menghambat tercapainya tujuan harus
diidentifikasi, dievaluasi, dicari penyebab dasarnya untuk kemudian diupayakan
cara pemecahan yang paling baik.
berbahaya, keadaan hampir celaka dan kecelakaan atau penyakit akibat kerja
adalah gejala simptom dari kurang berfungsinya manajemen. Seperti di bidang
medik dalam upaya menyembuhkan pasien dokter tidak boleh hanya
menghilangkan gejala saja, melainkan harus sampai pada penyebab. Begitu pula
dengan permasalahan K3 harus dicari penyebab dasar masalah sehingga
ditemukan tugas dan fungsi manajemen yang tidak terlaksana dengan baik yang
berkaitan dengan masalah yang dihadapi.
Contoh klasik yang sering ditemukan adalah seorang pekerja akan mencat tembok
pabrik. Untuk itu ia perlu menggunakan tangga. Pekerja tadi menemukan sebuah
tangga tetapi ia melihat bahwa anak tangga paling bawah dalam keadaan cacat.
Namun ia gunakan juga dengan pikiran bahwa ia dapat naik dan turun tanpa
menginjak anak tangga yang cacat tadi. Dengan jalan pikiran seperti itu ia
kemudian naik tangga dan melakukan pekerjaan pengecatan beberapa saat. Pada
waktu turun ia lupa bahwa anak tangga terbawah cacat sehingga waktu
diinjaknya, ia terpeleset, jatuh dan kakinya terkilir.
Apabila semua pertanyaan tersebut dijawab, maka akan sampai kepada penyebab
dasar, yaitu tugas dan fungsi manajemen yang tidak dilaksanakan dengan baik
sehingga terjadi kecelakaan. Dari jawaban pertanyaan tersebut kita juga
mengetahui bahwa suatu peristiwa kecelakaan yang kelihatannya sederhana
kadang-kadang disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan.
Perbuatan tidak aman, kondisi yang tidak aman, kecelakaan atau keadaan hampir
celaka hanyalah gambaran dari disfungsi manajemen. Karena ini hanya suatu
gejala, maka kalau diteliti penyebab tersebut tidak hanya akan memberi dampak
pada keselamatan kerja tetapi sering juga berkaitan dengan penunjang produksi
yang lain. Karena keterkaitan yang erat antara produksi dengan K3, maka bila
dianalisis faktor-faktor yang menghambat pencapaian sasaran K3 juga akan
sampai pada identifikasi masalah yang berkaitan dengan produksi. Kita pun
memahami kualitas produk yang baik hanya dapat dicapai kalau didukung oleh
semua jajaran manajemen dari seluruh bagian. Apabila diidentifikasi masalah
sebelum gejalanya muncul dalam bentuk gangguan produksi, akan menunjang
peningkatan mutu dan produktivitas perusahaan karena sumber daya perusahaan
dapat dimanfaatkan dengan optimal.
dapat dibayangkan berapa besar kerugian yang harus ditanggung oleh pihak
perusahaan dan semua pihak yang harus ikut menanggung kerugian ini. Kerugian
yang dimaksud antara lain dapat berupa hilangnya waktu kerja, kerusakan mesin
dan alat produksi, penurunan produksi, korban jiwa, biaya pengobatan dan
santunan, serta kerusakan atau pencemaran lingkungan sekitar tempat usaha.
Selain itu juga kerugian berupa menurunnya motivasi dan produktivitas kerja
karyawan. Melalui penerapan program K3 diharapkan dapat menekan resiko
kerugian baik berupa korban jiwa, kerusakan aset, terhentinya proses produksi
maupun rusaknya lingkungan alam.
Pengaruh persepsi K3 terhadap peningkatan kinerja dapat ditinjau dari dua hal,
yaitu pesepsi pekerja terhadap resiko yang harus dihadapinya dalam bekerja dan
persepsi pekerja terhadap pelaksanaan program K3 oleh pihak manajemen.
18
dipahami bahwa perlu adanya pengetahuan K3 yang maju dan cepat. Selanjutnya,
dengan peraturan yang maju akan dicapai keamanan yang bersangkutan dan hal
ini dapat mempertinggi mutu pekerjaan, meningkatkan produksi dan produktivitas
kerja.
j. Dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau
rendah.
k. Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah,
kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut
atau terpelanting.
l. Dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lubang.
m. Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap,
gas, hembusan aingin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.
n. Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah.
o. Dilakukan pemancaran, penyinaran atau penerimaan radio, radar, televisi
atau telepon.
p. Dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset
(penelitian) yang menggunakan alat teknis.
q. Dibangkitkan, diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau
disalurkan listrik, gas, minyak atau air.
r. Diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi
lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik (ayat 2).
3. Dengan peraturan-perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat
kerja, ruangan-ruangan atau lapangan-lapangan lainnya yang dapat
membahayakan keselamatan yang bekerja dan atau yang berada di ruangan
atau lapangan itu dan dapat diubah perincian tersebut dalam pasal 2 (ayat 3).
Mengenai pembinaan, diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1970 yang isinya
sebagai berikut :
1. Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada setiap tenaga
kerja baru tentang :
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang timbul dalam tempat
kerja.
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam
tempat kerjanya.
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Pengurus hanya dapat memperkerjakan tenaga kerja yang bersangkutan
setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat
tersebut di atas.
3. Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga
kerja yang berada di bawah pimpinannya. Dalam pencegahan kecelakaan dan
pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja,
pula dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.
4. Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang
dijalankannya (pasal 9).
partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam
tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di
bidang K3 dalam rangka melancarkan usaha berproduksi (pasal 10, ayat 1).
2. Susunan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas
dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja (sekarang Menteri
tenaga Kerja dan Transmigrasi) (pasal 10, ayat 2).
Leidingen).
5. Peraturan khusus “C” Berisi syarat-syarat khusus bagi pabrik gula
(Ketentuan Direktur pasir.
BOW No. 11966/stw tgl.
19-8-1910).
6. Peraturan khusus “D” Berisi syarat-syarat khusus bagi bejana angin
(DD) Ketetapan CV No. yang dipergunakan untuk menjalankan motor.
S.60/1/8 tgl. 25-3-1931).
7. Peraturan khusus “EE” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan KJPKK No. yang membuat atau mengolah bahan-bahan
4/Bb.3/P tgl. 19-12- yang mudah menyala.
1960).
8. Peraturan “F” (FF) Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan CV No. yang membuat dan memompa gas.
S.60/4/23, tgl. 9-11-
1931).
9. Peaturan khusus “G” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(GG) (Ketetapan CV No. yang menyelenggarakan bioskop.
S.60/1/8, tgl. 10-12-
1962).
10. Peraturan khusus “HH” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan KJPKK No. yang mengolah atau mempergunakan putih
3/Bb.3/P/62, tgl. 10-12- timah kering.
1962).
11. Peraturan khusus “II” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan KJPKK No. yang mempunyai instalasi atau las dengan gas
7/Bb.3/P, tgl. 10-12- karbit.
1961).
12. Peraturan khusus “K” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
(Ketetapan CV No. yang membuat, menggunakan atau mengolah
S.65/2/9, tgl. 23-1-1933). bahan yang dapat meledak.
13. Peraturan khusus “L” Berisi syarat-syarat khusus bagi perusahaan
31
Selain itu, banyak peraturan-peraturan tentang jalanan kereta api dan trem. Namun
pengawasan keselamatan kerja hanya terbatas pada hal-hal yang ada sangkut
pautnya dengan K3.
b. Yang mempergunakan zat-zat padat, cair, maupun gas yang amat tinggi
panasnya atau mudah terbakar atau menggigit, mudah meletus,
mengandung racun, menimbulkan penyakit atau dengan cara yang lain
yang berbahaya atau dapat merusak kesehatan.
c. Yang mempergunakan gas-gas yang telah dicairkan, dikempa atau yang
jadi cair karena tekanan.
d. Yang membangkitkan, mengubah, membagi-bagi, mengalirkan atau
mengumpulkan tenaga listrik.
e. Yang mencair atau mengeluarkan barang galian dari tanah.
f. Yang menjalankan pengakutan orang atau barang.
g. Yang menjalankan pekerjaan memuat dan membongkar barang-barang.
h. Yang menjalankan pekerjaan mendirikan, mengubah, membetulkan atau
membongkar bangunan-bangunan, baik dalam atau di atas tanah, maupun
dalam air, membuat saluran-saluran dalam tanah dan jalan-jalan.
i. Yang mengusahakan hutan.
j. Yang mengusahakan siaran radio.
k. Yang mengusahakan pertanian.
l. Yang mengusahakan perkebunan.
m. Yang mengusahakan perikanan (pasal 2, ayat 1).
6. Jikalau sesuatu macam perusahaan, belum termasuk dalam pasal 2,
ayat 1 ternyata berbahaya bagi buruhnya, maka dengan undang-undang ini
ialah diwajibkan memberi tunjangan (pasal 2, ayat 2).
7. Yang dimaksudkan dengan kata buruh dalam undang-undang ini
ialah tiap-tiap orang yang bekerja pada majikan di perusahaan yang
diwajibkan memberi tunjangan dengan mendapat upah, kecuali hal-hal
tersebut dalam pasal 6, ayat 3 (pasal 6, ayat 1).
8. Dalam undang-undang ini dianggap sebagai buruh :
a. Magang, murid dan sebagainya yang bekerja pada perusahaan yang
diwajibkan memberi tunjangan, juga dalam hal mereka tidak menerima
upah.
b. Mereka yang memborong pekerjaan yang biasa dikerjakan di perusahaan
yang diwajibkan memberi tunjangan, kecuali jikalau mereka yang
35
e. Paling banyak 30% dari upah seharian untuk mertua laki-laki dan mertua
perempuan yang nafkah hidupnya seluruhnya atau sebagian besar
dicarikan oleh buruh itu (pasal 12, ayat 1).
15. Majikan tidak diwajibkan memberi tunjangan kepada buruh atau
seorang keluarganya yang tidak ditinggalkannya dalam hal-hal seperti
berikut :
a. Jikalau kecelakaan yang menimpa buruh itu terjadinya disengaja olehnya.
b. Jikalau buruh yang ditimpa kecelakaan itu, dengan tidak ada alasan yang
sah menolak dirinya diperiksa atau diobati oleh dokter yang berhak yang
ditentukan oleh majikan.
c. Jikalau buruh sebelumnya sembuh, menolak pertolongan tersebut pada b,
dengan tidak ada alasan yang sah.
d. Jikalau buruh yang ditimpa kecelakaan pergi ke tempat lain sehingga
dokter yang berhak yang ditetapkan oelh majikan, tidak dapat memberi
pertolongan yang dianggap perlu untuk mengembalikan kesehatannya
buruh itu (pasal 15, ayat 2).
16. Sebagai alasan yang sah yang dimaksudkan dalam pasal 15, ayat
1b dan c ialah anatar lain takut akan pembedahan yang menurut dokter
penasehat termasuk pembedahan yang berbahaya (pasal 15, ayat 2).
17. Majikan atau pengurus, jikalau pengurus ditetapkan, diwajibkan
melaporkan kepada pegawai pengawas atau instansi yang ditunjuk oleh
Menteri Perburuhan (sekarang Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) tiap-
tiap kecelakaan yang menimpa seorang buruh dalam perusahaannya selekas-
lekasnya, tidak lebih dari 2 x 24 jam (pasal 19, ayat 1).
18. Di samping kewajiban yang ditentukan dalam pasal 19, ayat 1
tersebut di atas majikan atau pengurus jikalau pengurus ditetapkan,
diwajibkan memberitahukan kecelakaan itu dengan surat tercatat kepada
pegawai pengawas dalam waktu 2 x 24 jam (pasal 19, ayat 2).
19. Buruh yang ditimpa kecelakaan, keluarganya, kawan-kawannya
sekerja atau serikat sekerjanya boleh memberitahukan kecelakaan yang
menimpa buruh itu kepada pegawai pengawas (pasal 19, ayat 3).
39
bawah 7
- Kedua belah mata 4
- Sebelah mata 3
- Pendengaran pada kedua belah 3
telinga 2
- Pendengaran pada sebelah telinga
- Ibu jari tangan kanan
- Ibu jari tangan kiri
- Telunjuk tangan kanan
- Telunjuk tangan kiri
- Salah satu jari lain dari tangan
kanan
- Salah satu jari dari tangan kiri
- Salah satu ibu jari kaki
- Salah satu jari kaki lain
Keterangan :
1. Buat orang kidal, kalau kehilangan salah satu lengan tangan atau jari, maka
keterangan kanan dan kiri tersebut dalam daftar ini dipertukarkan letaknya.
2. Dalam kehilangan beberapa anggota badan yang tersebut di atas ini, maka
besarnya tunjangan ditetapkan dengan menjumlahkan banyak persen dari
tiap-tiap anggota badan itu. Jumlah tunjangan yang didapat tidak boleh lebih
dari 70% dari upah sehari.
3. Anggota badan yang tidak dapat dipakai sama sekali karena lumpuh,
dianggap sebagai hilang.
pada, atau di dalam daerah sekitar, tempat kerja kehutanan dari semua
resiko yang mungkin muncul sebagai hasil kegiatan pekerjaan.
2. Kebijakan, hukum dan peraturan nasional tentang K3 harus ditetapkan dengan
berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan para pekerja yang diakui.
3. Hukum dan peraturan harus cukup fleksibel dan ditinjau ulang pada interval
yang sesuai untuk memudahkan penyesuaiannya terhadap perkembangan
teknologi, situasi dan standar-standar baru. Menetapkan tujuan perlindungan
lebih tepat daripada menyarankan upaya-upaya pencegahan khusus, adalah
satu cara dalam memperoleh fleksibilitas tersebut.
4. Peraturan atau hukum harus ditambah dalam praktek dengan standar-standar
teknis, kode praktek atau petunjuk kewenangan, yang konsisten dengan
kondisi-kondisi dan praktek nasional.
5. Otoritas yang kompeten harus menjamin bahwa semua pekerja mendapat
manfaat perlindungan dari peraturan dengan efektif seperti yang berlaku di
sektor industri lain.
6. Otoritas yang kompeten harus menjamin bahwa semua para pekerja, tanpa
memandang pada status pekerjaan mereka mendapat manfaat dan tingkat
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang sama, dan subyek
terhadap syarat-syarat yang sama untuk pencegahan.
7. Hukum dan peraturan harus menempatkan tanggung-jawab khusus pada
pengusaha, orang-orang yang mempunyai kendali terhadap tempat kerja,
pabrikan, para perancang, para pemasok bahan, para pekerja dan kontraktor.
8. Hukum atau peraturan nasional hendaknya menyatakan bahwa :
a. Pengusaha mempunyai tanggung jawab utama terhadap K3 dalam
pekerjaan.
b. Pengusaha bertanggung jawab untuk menerapkan dan memelihara sistem
dan cara kerja yang aman dan tanpa resiko bagi kesehatan.
c. Pengusaha harus memberi semua instruksi dan pelatihan yang perlu
untuk menjamin bahwa para pekerja berkompeten untuk melaksanakan
tugas yang diberikan kepada mereka dengan aman.
d. Pengusaha harus membuat suatu sistem di mana kecelakaan, kejadian
berbahaya dan penyakit akibat kerja dilaporkan, dicatat dan diselidiki,
42
14. Alat pelindung diri dan pakaian pelindung harus disediakan dan dipelihara
oleh pengusaha, tanpa biaya bagi para pekerja, seperti yang ditetapkan hukum
dan peraturan.
15. Pengusaha harus merencanakan pemeriksaan reguler pada interval yang
sesuai oleh seorang berkompeten terhadap semua peralatan, perkakas, mesin,
alat pelindung diri dan tempat kerja dibawah pengendalian pengusaha sesuai
dengan peraturan, syarat atau kode praktek terkait.
16. Pengusaha harus menyediakan supervisi yang akan memastikan bahwa para
pekerja dan kontraktor melaksanakan pekerjaan dengan memperhatikan
keselamatan dan kesehatan kerja mereka, dan memastikan bahwa personil
supervisi tersebut kompeten dan mempunyai kewenangan dan sumber daya
yang perlu untuk melaksanakan tugas-tugas mereka secara efektif.
17. Pada lokasi yang tersebar dan di mana kelompok-kelompok kecil para pekerja
beroperasi di tempat yang terisolasi, pengusaha harus membangun suatu
sistem pengecekan yang dapat memastikan bahwa semua anggota dari suatu
kelompok, termasuk operator peralatan bergerak, sudah kembali ke kemah
atau basis yang dekat dengan pekerjaan.
18. Pengusaha harus menjamin bahwa semua operasi dan kegiatan produksi di
perusahaan mereka direncanakan, diorganisir dan dilaksanakan, atau sejalan
dengan praktek yang mereka tunjukkan memberikan tingkat perlindungan
yang sama.
19. Pengusaha harus membuat dan memelihara catatan tentang kecelakaan dan
penyakit akibat, dan memastikan bahwa semua catatan, dokumen dan
informasi terkait mengenai keselamatan dan kesehatan kerja yang
berhubungan dengan kegiatan mereka tetap tersedia untuk informasi para
pekerja atau wakil mereka, kontraktor, pengawas ketenagakerjaan, otoritas
ganti-rugi pekerja dan pihak lain terkait.
18. Pengusaha harus melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara teratur,
khususnya untuk pendeteksian penyakit akibat kerja dari semua pekerja.
Pengusaha harus menyediakan pengobatan pencegahan dan vaksinasi yang
direkomendasikan oleh pelayanan kesehatan yang kompeten, dimana
50
5. Dalam konsultasi dengan para pekerja, para manajer dan para penyelia harus
menilai kebutuhan akan instruksi tambahan, pelatihan atau pendidikan lebih
lanjut bagi para pekerja dengan memantau kepatuhan terhadap syarat-syarat
keselamatan kerja.
6. Bila para manajer atau penyelia melihat ketidak-patuhan terhadap peraturan
atau kode praktek K3 oleh seorang pekerja di bawah pengawasan mereka,
mereka harus segera mengambil tindakan yang tepat. Jika tindakan seperti itu
gagal, maka masalah harus dirujuk pada tingkat manajemen yang lebih tinggi
dengan segera.
7. Para penyelia harus membuktikan :
a. Kepatuhan terhadap peraturan keselamatan kerja.
b. Pemeliharaan dari teknik-teknik kerja aman.
c. Penggunaan dan pemeliharaan alat pelindung diri.
d. Pemeliharaan perkakas, mesin dan peralatan, khususnya setiap peralatan
yang disediakan untuk kepentingan keselamatan.
8. Para penyelia harus bertanggung jawab terhadap pemantauan kepatuhan
kontraktor dan para pekerjanya terhadap syarat-syarat K3 seperti yang
ditetapkan dalam kontrak mereka. Dalam hal ketidakpatuhan, para penyelia
harus memberikan nasihat dan instruksi yang tepat pada kontraktor dan para
pekerja mereka. Jika tindakan penyelia tidak efektif, masalah tersebut harus
dilaporkan segera pada manajemen senior.
5. Kontraktor harus sadar dan beroperasi sesuai dengan kebijakan dan strategi
pihak komisioning untuk promosi K3 dan harus mematuhi dan bekerjasama
dengan upaya dan syarat-syarat terkait.
hidup atau kesehatan mereka harus dilindungi dari akibatnya sesuai dengan
kondisi-kondisi praktek dan nasional.
11. Para pekerja yang melaporkan situasi seperti itu kepada penyelianya tidak
harus kembali ke situasi kerja tersebut sampai masalah tersebut diperbaiki.
12. Jika para pekerja percaya bahwa upaya perlindungan K3 yang disediakan oleh
pengusaha mereka adalah tidak sesuai atau tidak cukup, atau percaya bahwa
pengusaha mereka gagal untuk memenuhi ketentuan hukum, peraturan dan
kode praktek mengenai keselamatan dan kesehatan, para pekerja dan wakil
mereka harus mempunyai hak membawa masalah ini kepada pengawas
ketenagakerjaan atau badan lain yang berkompeten tanpa prasangka atau
merugikan diri mereka.
13. Para pekerja mempunyai hak untuk pemeriksaan kesehatan yang sesuai oleh
orang praktisi medis yang disetujui, tanpa biaya sendiri, jika terdapat alasan-
alasan yang dipercaya bahwa suatu kegiatan atau suatu situasi kerja mungkin
telah menyebabkan gangguan terhadap kesehatan. Pemeriksaan kesehatan ini
harus diberikan tanpa tergantung pada pemeriksaan kesehatan untuk
mendeteksi penyakit akibat kerja, yang harus dikerjakan secara teratur dengan
partisipasi yang kooperatif dari para pekerja.
Suatu kecelakaan kerja yang terjadi di suatu lokasi kerja terlebih dahulu diawali
oleh beberapa kali kejadian nyaris kecelakaan kerja. Banyaknya kejadian nyaris
tersebut disebabkan oleh penyebab langsung (immediate causes) berupa
banyaknya kondisi kerja yang tidak aman (unsafe condition) dan banyaknya
prilaku karyawan yang tidak aman (unsafe act) di lokasi kerja tersebut. Kondisi
kerja yang tidak aman meliputi kondisi lingkungan fisik tempat kerja berupa
pengaturan sirkulasi udara, pengaturan penerangan, peralatan kerja dan pemakaian
peralatan pengaman kerja.
Kita semua tahu dan sadar mengenai pendapat “Accident don’t just happen, they
are caused” atau “Kecelakaan tidak timbul begitu saja akan tetapi ada
penyebabnya”. Mari kita telaah pendapat tersebut dimulai dengan pengertian
“Kecelakaan“ menurut :
a. Kong Hu Chu
56
Suatu kecelakaan adalah suatu statistik bila menimpa orang lain, akan tetapi
merupakan suatu tragedi/musibah yang menyedihkan bila menimpa diri
sendiri atau keluarganya.
b. H.H Bherman & H.W Mc. Crone
Suatu kecelakaan adalah suatu kejadian yang timbul tiba-tiba dan yang
menghalangi suatu kegiatan atau suatu pekerjaan.
c. Dr. L.P Alford
Suatu kecelakaan dalam industri merupakan suatu bukti adanya kesalahan
dalam pengendalian/pengawasan dari kondisi kerja dan tenaga kerja (industri
ini bisa manufaktur atau jasa).
Berlandaskan pendapat “Accident don’t just happen, they are caused”, maka cara
pencegahan kecelakaan yang terjadi baik pada industri manufaktur maupun jasa
transportasi adalah dengan mencari penyebabnya.
Kasus kecelakaan kerja harus secara tepat dan jelas diketahui. Bagaimana dan
mengapa terjadi. Keterangan mengenai kecelakaan dikarenakan misalnya alat
kerja atau tertimpa benda jatuh tidaklah cukup, melainkan perlu adanya kejelasan
tentang serentetan peristiwa tersebut. Bila suatu bagian dari rentetan peristiwa
dihilangkan, maka kecelakaan tidak akan terjadi.
Setiap kecelakaan ada sebabnya, termasuk kecelakaan di industri, oleh karena itu
kecelakaan dapat dicegah. Secara umum terdapat dua hal pokok, yaitu : perilaku
kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang berbahaya (uncafe
conditions).
Adapun jenis kecelakaan yang terjadi sangat bergantung pada macam industrinya,
misalnya bahan dan peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi
tempat kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya. Semuanya ini termasuk
hal-hal yang dapat/berpotensi membahayakan para pekerja yang lazim disebut
sebagai potensial (potential hazard). Bahaya potensial di tempat kerja/di industri
dapat berupa : bahaya-bahaya fisik, kimia, biologi, masalah ergonomi, dan
masalah psikososial. Sebagai akibat dari kecelakaan di industri terjadi lima jenis
kerugian yaitu : kerusakan, kekacauan organisasi, keluhan dan kesedihan,
kelainan dan kecacatan, serta kematian.
Bambang B. Hantoro
Bambang B. Hantoro menerangkan bahwa umurnya penyebab kecelakaan kerja
dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu :
59
Frank E. Bird
Frank E. Bird mengemukan teori tentang sebab-sebab kecelakaan yang dinamakan
dengan rangkaian Teori Domino, teori ini diberi nama demikian karena Bird
menggunakan kartu domino untuk menerangkan sebab-sebab terjadinya
kecelakaan. Bird melukiskan rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan
kecelakaan kerja dalam bentuk urutan permainan domino. Ada lima kartu domino
yang digunakan untuk melukiskan faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya
kecelakaan. Kelima kartu menggambarkan faktor-faktor penyebab kecelakaan
yang berkaitan dan saling mempengaruhi serta mendorong timbulnya peristiwa
kecelakaan kerja. Menurut teori ini faktor manajemen mempunyai pengaruh vital
dalam usaha mengendalikan angka kecelakaan.
Bila tidak ada koreksi terhadap penyimpangan yang terjadi maka akan timbul
kejadian yang tidak diinginkan, baik itu berupa kecelakaan atau kerugian
lainya.
Ada tiga faktor yang sering menyebabkan kontrol kurang baik, yaitu :
a. Program manajemen keselamatan dan kesehatan yang kurang baik.
b. Standar program kurang tepat.
c. Pelaksanaan kurang tepat.
Faktor dasar inilah yang sering kali menjadi penyebab atau melatar belakangi
seseorang bertindak ceroboh (tidak selamat dalam kondisi yang tidak
selamat).
3. Kartu ketiga (Gejala atau Penyebab semu)
Untuk menetukan suatu perbuatan atau kondisi tidak aman
(unsafe) adalah sulit. Oleh karena itu Bird menyarankan agar tindakan aman
dan kondisi tidak aman diganti dengan istilah sub-standar. Istilah ini dapat
digunakan untuk menetapkan ukuran-ukuran tertentu yang baku. Hal-hal yang
tidak memenuhi persyaratan dikatakan sebagai sub-standar.
Kondisi sub-standar :
a. Pengaman tidak sempurna,
b. Alat perlindungan diri yang tidak memenuhi syarat,
c. Bahan, peralatan kerja yang telah rusak,
d. Sistem tanda bahaya tidak memenuhi syarat,
e. Tingkat kebisingan tinggi,
f. Ventilasi kurang baik, dan
62
Dalam tingkah laku manusia dikenal istilah ulah atas tingkah laku sembrono
(accident behavior), tingkah laku atau sembrono ini dapat menyebabkan
kecelakaan pada diri sendiri atau orang lain atau barang.
Manusia dilahirkan dengan berbagai karakter, baik maupun buruk. Oleh sebab itu,
maka tidak ada dua manusia di dunia ini yang persis sama. Karakter manusia
seperti intelegensia, motivasi, keterampilan, pengalaman dan lain-lain. Akan
menentukan bagaimana tingkah laku seseorang dalam menghadapi situasi tertentu.
Dari serentetan tingkah laku yang mungkin terjadi dapat berupa “accident
behaviour”, hal itu yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Tubuh manusia merupakan sesuatu yang sangat peka terhadap rangsangan. Setiap.
Suhu, alat, warna, atau cahaya, udara, musik getaran, dapat memberikan kesan
yang mendorong sesorang untuk bekerja lebih cepat dibandingkan dengan kesan
yang memberikan oleh warna biru.
merupakan potensi yang dapat menimbulkan celaka. Potensinya yang besar dalam
menciptakan kecelakaan kerja mengharuskan perancangan mesin dan peralatan
mendesain suatu keadaan mesin yang aman bagi operator informasi dari prosedur
pengoprasian dan perawatan mesin dan peralatan agar kehandalannya terjamin
sangat penting diikuti dalam usaha mencegah terjadinya kecelakaan.
Jelaslah, bahwa untuk pencegahan akibat kerja diperlukan kerja sama aneka
keahlian dan profesi seperti pembuat undang-undang, pegawai pemerintah, ahli-
ahli teknik, dokter, ahli ilmu jiwa, ahli statistik, guru-guru, dan sudah barang tentu
pengusaha dan buruh.
67
Kesehatan kerja meliputi segala upaya mencegah penyakit akibat kerja dan
penyakit lainnya pada tenaga kerja. Tujuannya adalah agar tenaga kerja
ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan skill, kemampuan fisik dan
kondisi mentalnya sehingga setiap tenaga kerja berada dalam keadaan sehat dan
sejahtera pada saat ia mulai bekerja sampai selesai masa baktinya. Kesehatan
kerja dilaksanakan pada komunitas tenaga kerja melalui upaya kesehatan kerja,
yang meliputi upaya promosional, upaya pencegahan penyakit umum maupun
penyakit akibat kerja, pengobatan pada tenaga kerja yang sakit serta rehabilitasi
tenaga kerja yang cacat akibat kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.
68
Melalui upaya kesehatan kerja akan terwujud tenaga kerja yang sehat dan
produktif hingga mampu meningkatkan kesejahteraan dirinya, keluarganya dan
masyarakat luas. Tenaga kerja tidak saja diharapkan sehat dan produktif selama
masa kerjanya tapi juga setelah masa kerjanya berakhir (pensiun), sehingga ia
dapat menjalani masa pensiun dan hari tuanya tanpa diganggu oleh penyakit dan
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaan maupun lingkungan kerja
semasa ia bekerja. Pengalaman negara maju menunjukkan semakin banyak
penyakit kanker dan penyakit akibat kerja lainnya baru diketahui setelah tenaga
kerja tersebut berhenti bekerja.
Umumnya, di semua tempat kerja selalu terdapat sumber bahaya yang dapat
mengancam keselamatan maupun kesehatan tenaga kerja. Hampir tak ada tempat
kerja yang sama sekali bebas dari sumber bahaya. Untuk mencegah terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja perlu dilakukan inspeksi tempat kerja untuk
mendeteksi adanya sumber bahaya, kemudian diupayakan pengendaliannya agar
tempat kerja terlindung dari bahaya potensial yang ada. Hal ini merupakan
keharusan sebagaimana digariskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja yang ditetapkan pada tanggal 12 Januari 1970.
tidak hanya aspek hasil saja yang ditetapkan melainkan juga meliputi proses,
lingkungan dan manusia.
Hal ini jelas tampak dalam definisi yang dirumuskan Goetsh dan Davis yang
dikutip oleh Fandy Tjiptono (1996) dalam buku “Manajemen Jasa” : “Kualitas
merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa,
manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Menurut Garvin yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dalam bukunya yang berjudul
“Manajemen Pemasaran” (2001), ada lima macam perspektif kualitas yang
berkembang. Kelima macam perpestif inilah yang bisa menjelaskan mengapa
kualitas jasa dapat diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda
dalam situasi yang berlainan. Adapun kelima perpestif mutu/kualitas tersebut
adalah :
1. Transcedental approach
Dalam pendekatan ini kualitas dipandang sebagai innate excellence, dimana
kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit untuk dapat didefinisikan
dan dioperasionalisasikan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam dunia
seni, misalnya : seni musik, seni drama, seni tari, dan sebagainya.
2. Product-based approach
Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau
atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas
mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang
dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat
menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi individual.
3. User-based approach
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada
orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan
preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
Perpestif yang subyektif juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda
memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi
seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakan.
70
4. Manufacturing-based approach
Perpestif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktek-
praktek perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas
sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan. Dalam sektor jasa, dapat
dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-driven. Pendekatan ini
berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal,
yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan
penekanan biaya. Jadi, yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang
ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya.
5. Value-based approach
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Kualitas dalam
perpestif ini bersifat relatif, sehingga yang memliki kualitas paling tinggi
belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai
adalah barang yang paling tepat dibeli (best-buy).
Menurut Wyckof (dalam Loveock, 1998) yang dikutip oleh Fandy Tjiptono
(1998) mendefinisikan mutu pelayanan sebagai berikut : “Mutu pelayanan adalah
penilaian mengenai tingkat pelayanan yang diberikan perusahaan”. Jadi, mutu
pelayanan merupakan penilaian konsumen mengenai tingkat pelayanan yang
diberikan oleh perusahaan.
Dengan kata lain, ada dua faktor utama yang mempengaruhi mutu pelayanan,
yaitu pelayanan yang diharapkan dan pelayanan yang dirasakan. Apabila
pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka
mutu pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika pelayanan yang diterima
melampaui harapan pelanggan, maka mutu pelayanan dipersepsikan sebagai mutu
yang ideal. Sebaliknya, jika pelayanan yang diterima lebih rendah daripada yang
diharapkan, maka mutu pelayanan dipersepsikan buruk.
Menurut Parasuraman yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dalam bukunya yang
berjudul “Strategi Pemasaran” (2000), dalam memberikan penilaian mengenai
kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan, konsumen menggunakan
beberpa criteria, yang secara garis besarnya adalah :
1. Bukti Langsung (Tangibles), yang meliputi : fasilitas fisik, perlengkapan
pegawai, dan sasaran komunikasi.
2. Keandalan (Reliability), yakni kemampuan utuk memberikan pelayanan
yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
3. Daya Tanggap (Responsiveness), yakni keinginan para pegawai untuk
membantu pelanggan dengan tanggap.
4. Jaminan (Assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan
dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para pegawainya, bebas dari bahaya
resiko dan keragu-raguan.
5. Empati (Emphaty), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan
komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para
pelanggannya.
Menurut Drs. Yazid dalam bukunya “Pemasaran Jasa” (1999) menemukakan ada
lima kesenjangan (Gap) yang menyebabkan penyajian pelayanan tidak berhasil,
yaitu :
1. Kesenjangan antara harapan konsumen dan pandangan manajemen dimana
manajemen tidak memenuhi dengan tepat apa yang diinginkan oleh konsumen
atau bagaimana penilaian konsumen terhadap pelayanan.
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen tentang harapan konsumen dan
spesifikasi kualitas jasa (manajemen tidak mengetahui harapan konsumen)
yang berakar dari tidak adanya interaksi langsung antara manajemen dengan
konsumen, dan atau ketidaksiapan manajemen dalam mengakomodasi
keduanya.
72
pelatihan yang kurang memadai atau bahkan tidak sesuai, tingkat turn over
pegawai yang tinggi.
3. Dukungan terhadap pelanggan internal (pelanggan perantara) kurang
memadai
Karyawan front-line merupakan ujung tombak dari suatu pelaksanaan
pelayanan. Agar mereka dapat memberikan pelayanan yang efektif, maka
perlu mendapatkan dukungan dari fungsi-fungsi utama manajemen (operasi,
pemasaran, keuangan dan sumber daya manusia). Dukungan tersebut dapat
berupa peralatan (perkakas, material, pakaian seragam), pelatihan
keterampilan maupun informasi.
4. Kesenjangan-kesenjangan komunikasi
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa komunikasi merupakan faktor yang sangat
esensial dalam kontak dengan pelanggan. Bila terjadi kesenjangan dalam
komunikasi ini, maka timbul penilaian atau persepsi negatif dari pelanggan
terhadapa kualitas pelayanan yang diberikan.
5. Memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama
Pelanggan adalah manusia yang bersifat unik, karena mereka memiliki
perasaan dan emosi. Dalam hal ini interaksi dengan pelaksana layanan tidak
semua pelanggan bersedia menerima pelayanan yang seragam.
6. Perluasan atau pengembangan pelayanan secara berlebihan
Bila terlampau banyak menawarkan pelayanan yang baru dan tambahan
terhadap pelayanan yang sudah ada, maka hasil yang diperoleh belum tentu
optimal, bahkan tidak tertutup kemungkinan akan timbul masalah-masalah
seputar standar kualitas pelayanan.
7. Visi bisnis jangka pendek
Visi bisnis jangka pendek bisa merusak kualtias pelayanan yang dibentuk
untuk jangka panjang.
Apabila kebutuhan tersebut telah dipenuhi tetapi tidak sesuai dengan harapan,
konsumen akan menimbulkan berbagai macam tindakan. Tindakan-tindakan
tersebut menurut Fandy Tjiptono (2000:154) adalah :
1. Tidak melakukan apa-apa.
2. Melakukan keluhan secara langsung.
3. Mengadu ke media massa.
76
Bila jasa yang mereka nikmati ternyata berada jauh di bawah yang mereka
harapkan, maka hal tersebut akan mengakibatkan ketidakpuasan. Makin besar
jurang antara harapan dan kenyataan makin besar pula ketidakpuasan konsumen.
Total customer value harus lebih besar dari pada total customer cost, maka nilai
yang akan diterima akan lebih tinggi dan hal ini akan memuaskan konsumen.
Sepertinya sudah menjadi tugas para penyedia jasa untuk “membuktikan” atau
“menyatakan yang tidak nyata” dari sesuatu yang dapat memberikan bukti fisik
dan citra yang diberikan perusahaan untuk kemudian dievaluasi oleh konsumen,
apakah jasa tersebut sesuai yang diharapkan, melebihi harapan mereka, ataukah
berada di bawah harapan mereka.
79
Pada saat proses konsumsi jasa terjadi, konsumen akan melakukan proses evaluasi
pelayanan dalam hubungannya dengan apa yang mereka cari dan harapkan dengan
apa yang mereka terima, sehingga akhirnya mereka bersedia untuk membayarnya.
Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bila para konsumen melepaskan
diri karena tidak merasa puas, maka mereka bisa jadi akan menyebarkan image
buruk yang beredar dari mulut ke mulut tentang perusahaan., sehingga berakibat
pada kerugian ekonomi yang besar bagi perusahaan, karena perusahaan akan
mengalami tekanan biaya pemasaran yang cukup tinggi dan tidak pasti.