Anda di halaman 1dari 74

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN

DAN KESEHATAN KERJA (SMK3)

JURUSAN TEKNIK SIPIL


POLITEKNIK NEGERI BALI
BAB I
PENDAHULUAN

Objektif :
Setelah selesai pembahasan Bab I, mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami
secara umum apa yang dimaksud dengan SMK3, mengapa perlu penerapan SMK3 dan
apa manfaat penerapan SMK3 baik bagi pekerja maupun perusahaan di bidang
konstruksi.

1.1 Latar Belakang


Perkembangan pembangunan di dunia konstruksi saat ini sedang mengalami kemajuan
dan secara berkelanjutan tengah mengacu ke era yang lebih baik berkat adanya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memacu
adanya pengembangan kreativitas setiap orang maupun perusahaaan untuk melaksanakan
pembangunan secara lebih baik. Bila ditinjau dari segi manajemen dan teknologi, konstruksi
bangunan pada umumnya dituntut menerapkan prinsip manajemen yang lengkap dan utuh, baik
dari segi peningkatan mutu, efisiensi, maupun produktivitas dari setiap kegiatan konstruksi.
Kegiatan konstruksi ini mencakup aspek keamanan, dan kesehatan lingkungan kerja yang saat ini
banyak menjadi sorotan, selain dari segi permasalahan perikemanusiaan, biaya, dan manfaat
ekonomi, serta kendalanya dalam peraturan akibat pertanggungjawaban serta citra organisasi
atau perusahaan sendiri.
Pekerjaan konstruksi merupakan sektor pekerjaan yang memiliki tingkat resiko terhadap
kecelakaan yang relatif tinggi. Salah satu indikatornya adalah angka kecelakaaan kerja di
indonesia yang masih sangat tinggi. Menurut Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4) Indonesia Anas Zaini Z Iksan mengatakan bahwa setiap
tahun terjadi 96.000 kasus kecelakaan kerja, dari jumlah ini, sebagian besar kecelakaan kerja
terjadi pada proyek jasa konstruksi dan sisanya terjadi di sektor Industri manufaktur (Suara
Karya, 2010). Menurut data dari ILO (International Labour Organization) keselamatan kerja di
Indonesia pada tahun 2010 menduduki peringkat 52 dari 53 negara di dunia (ILO,2010). Masih
menurut ILO, data dari sejumlah negara industri bahwa para pekerja konstruksi memiliki resiko
potensi kecelakaan yang mengakibatkan meninggal 3 sampai 4 kali lebih besar (ILO,2010) .
Data dari International Labour Organization (ILO) juga turut mencatat, setiap hari terjadi sekitar
6.000 kecelakaan kerja fatal di dunia. Di Indonesia sendiri, terdapat kasus kecelakaan yang setiap
harinya dialami para buruh dari setiap 100 ribu tenaga kerja dan 30% di antaranya terjadi di
sektor konstruksi. ILO juga mencatat bahwa dari periode tahun 2007 – 2011, jumlah kecelakaan
dan nilai kompensasi kecelakaan kerja di Indonesia cenderung meningkat (Jamsostek, 2011).
Sementara itu, Kasubdit Pengawasan Konstruksi Bangunan Instalasi Listrik dan Penanggulangan
Kebakaran Kemenaker Indonesia menyatakan bahwa pekerja konstruksi di Indonesia hanya 6%
dari total pekerja Indonesia, namun memberikan kontribusi angka kecelakaan kerja sebesar
31,9% (Republika, 2015). Tak hanya itu, menurut kalkulasi ILO, kerugian yang harus
ditanggung akibat kecelakaan kerja di negara-negara berkembang juga tinggi, yakni mencapai
4% dari GNP (gross national product). Oleh karena itu, seluruh pihak harus mulai melakukan
upaya dan kerja keras agar penerapan sistem manajemen K3 (SMK3) di dalam setiap jenis
kegiatan usaha konstruksi dapat menekan angka kecelakaan kerja (Wirahadikusumah, 2007).
Ada beberapa hal yang menyebabkan industri konstruksi mengandung risiko kecelakaan
dan sakit akibat kerja yang tinggi, di antaranya adalah sebagai berikut (Departemen Tenaga
Kerja, 1993; Reese & Edison, 2006) :
1. Kondisi lapangan dan pekerjaan yang selalu berubah;
2. Melibatkan berbagai bidang keterampilan (sipil, mekanikal dan elektrikal);
3. Melibatkan tenaga kerja dalam jumlah yang banyak dengan jenis dan tingkat
keterampilan yang berbeda;
4. Pekerja pada ketinggian atau di bawah tanah, bahkan terkadang di bawah
permukaan air;
5. Menggunakan berbagai peralatan yang berat, tajam baik yang dioperasikan secara
manual, mekanis, maupun elektris;
6. Menggunakan bahan bagunan yang mengandung bahan kimia yang
membahayakan bagi kesehatan pekerja.
Selain kondisi lapangan dan masalah teknis, sumber penyakit lainnya yang juga perlu
dicermati adalah masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi para pekerja. Pada umumnya
pekerja pada industri konstruksi merupakan pekerja tidak tetap. Biasanya mereka berstatus
pekerja harian atau borongan dengan tingkat ekonomi yang condong rendah sehingga tidak
jarang hal ini menimbulkan berbagai masalah ekonomi dan sosial. Kondisi ini juga dapat
menambah stress pekerja, menurunkan konsentrasi kerja dan pada akhirnya dapat menimbulkan
kecelakaan dan sakit akibat kerja (Van der Molen, dkk., 2004).
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa pekerjaan di bidang industri konstruksi
mengandung resiko yang tinggi akan terjadinya kecelakaan dan sakit akibat kerja. Untuk
menekan timbulnya kecelakaan dan sakit akibat kerja, maka perlu dilakukan perbaikan kondisi
kerja secara menyeluruh baik melalui rekayasa teknik maupun manajemen dengan tetap
mengacu pada standar keselamatan dan kesehatan kerja yang ada. Di samping itu juga perlu
dilakukan penyuluhan kepada para pekerja untuk memberikan pemahaman tentang betapa
pentingnya untuk berperilaku kerja yang sehat dan aman sehingga para pekerja dapat
mempertahankan masa produktifnya secara optimal.
Undang–Undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Indonesia No. 1/1970,
menjelaskan bahwa semua lokasi kerja harus mengupayakan pencegahan terhadap terjadinya
kecelakaan kerja. Dan di dalam Undang– Undang no 23/1992, memberikan ketentuan bahwa
kesehatan kerja harus dilaksanakan supaya semua pekerja dapat bekerja dalam kondisi kesehatan
yang baik tanpa membahayakan diri sendiri maupun masyarakat sekitar lokasi pekerjaan
konstruksi. Hal tersebut bertujuan untuk dapat mengoptimalkan produktivitas pekerja sesuai
dengan program perlindungan tenaga kerja. Penyelenggaraan Sistem Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) pada perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru
menghasilkan 2,1% dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang telah
menerapkan Sistem manajemen K3. Minimnya jumlah tersebut sebagian besar disebabkan oleh
adanya anggapan bahwa program K3 hanya menjadi tambahan beban biaya perusahaan, padahal
jika diperhitungkan dengan seksama besarnya biaya santunan/kompensasi untuk korban
kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai
lebih dari 190 Milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya
diabaikan(Warta Ekonomi, 2 juni 2006). Dari hasil investigasi yang dilakukan oleh Lion’s, dapat
disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan tentang keselamatan kerja di Indonesia sudah
mengacu pada standar internasional, namun dari berbagai kasus yang disurvei, ternyata
implementasi dari peraturan perundang-undangan tersebut masih lemah.
Dalam upaya meningkatkan kepedulian terhadap pelaksanaan manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja (K3), pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mengembangkan berbagai
kebijakan baik melalui penetapan Undang-undang, Peraturan Menteri maupun Keputusan
Menteri Tenaga Kerja. Salah satu di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa : "Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya”.
Hal ini selaras dengan konvensi atau kebijakan yang ditetapkan oleh World Health Organization
(WHO) dalam konferensi internasional tentang pelayanan kesehatan primer sebagai upaya
mencapai kesehatan bagi semua penduduk (WHO, 2006).
Dalam kaitannya dengan perkembangan hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa
antar negara di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020
mendatang, K3 juga merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dan harus dipenuhi oleh
seluruh negara anggota, termasuk Indonesia. Sementara itu, ISO 18000 telah menetapkan suatu
keputusan sebagai hasil rapat kerja “ISO on Occupational Health and Safety Management” di
Jenewa pada tanggal 5- 6 September 1996 suatu prasyarat bagi produk yang ingin dijual di pasar
bebas. Dalam rapat kerja tersebut diputuskan tentang penerapan secara intemasional Program
K3, sebagai salah satu syarat yang berkaitan dengan perdagangan bebas bagi semua jenis
industri. Penerapan program K3 dimaksudkan untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat,
bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan
dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
kerja. (Tresnaningsih, 2004).

1.2 Definisi Umum


Definisi umum dari keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dapat dikaji dari beberapa
aspek sebagai berikut (PPNS ITS – Depnakertrans, 2007) :
1. Secara filosofis, K3 dapat diartikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rokhaniah tenaga kerja pada
khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat
adil dan makmur.
2. Secara keilmuan juga dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam
usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
3. Secara praktis, K3 merupakan suatu upaya perlindungan agar tenaga kerja selalu dalam
keadaan selamat dan sehat selama melakukan pekerjaan di tempat kerja serta bagi orang
lain yang memasuki tempat kerja maupun sumber dan proses produksi dapat secara aman
dan efisien dalam pemakaiannya.
Dari ketiga uraian tersebut, maka secara umum K3 dapat didefinisikan sebagai suatu
pemikiran yang mendasari pengembangan ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam upaya
mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja untuk menjamin keselamatan dan
kesehatan pekerja dan lingkungan kerjanya.
Sementara itu, berdasarkan Kepmen Kimpraswil tahun 2004 tentang Pedoman Sistem
Manajemen K3 Konstruksi, Keselamatan Kerja (Occupational Safety) adalah suatu keadaan
atau faktor yang menjamin atas keamanan bekerja baik bagi pekerja, pengunjung, ataupun siapa
saja yang berada ditempat kerja, termasuk yang berada di lingkungan di sekitar tempat kerja
terhadap bahaya insiden ataupun kecelakaan yang diprediksi akan terjadi. Sedangkan kesehatan
kerja (Occupational Health) adalah suatu keadaan bagi manusia dan lingkungannya yang
bertujuan menjamin dalam mencapai derajat kesehatan bekerja setinggi-tingginya, baik fisik,
mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, bagi pekerja, pengunjung,
ataupun siapa saja yang berada di tempat kerja dan sekitarnya terhadap penyakit-penyakit /
gangguan-gangguan kesehatan ataupun bahaya adanya faktor penyakit-penyakit yang bersifat
umum sebagai akibat keadaan kerja di tempat kegiatan kerja yang diprediksi akan terjadi.
Dengan demikian, maka keselamatan dan kesehatan kerja atau disingkat dengan K3 adalah suatu
kondisi kerja yang diciptakan oleh dan untuk siapa saja yang terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan aktivitas kerja, dengan tujuan untuk menghindari atau menekan
terjadinya kecelakaan dan sakit akibat kerja.
Pengertian Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) menurut
OHSAS 18001:2007 adalah Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
adalah semua kondisi dan faktor yang dapat berdampak pada Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja tenaga kerja maupun orang lain (kontraktor, pemasok, pengunjung dan
tamu) di tempat kerja (OHSAS 18001:2007). Sistem Manajemen K3 adalah sistem yang
digunakan untuk mengelola aspek K3 dalam organisasi atau perusahaan. Sistem manajemen K3
adalah pengelolaan K3 dengan menerapkan sistem manajemen untuk mencapai hasil yang efektif
dalam mencegah kecelakaan dan efek lain yang merugikan. Berdasarkan definisi tersebut maka
Sistem Manajemen K3 juga terjadi atas komponen-komponen yang saling terkait dan terintegrasi
satu dengan lainnya. Komponen-komponen ini sering disebut elemen sistem manajemen K3
(Soehatman Ramli, 2013). Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) :
 Merupakan suatu rangkaian proses kegiatan K3 yang memiliki siklus dimulai dari kegiatan
PERENCANAAN , IMPLEMENTASI, PEMANTAUAN dan PENINJAUAN KEMBALI.
 Prinsip dasar manajemen perbaikan melalui siklus Plan – Do – Check – Action.
 PLAN :
Menetapkan sasaran dan proses yang diperlukan untuk mencapai hasil yang
dipersyaratkan pelanggan dan kebijakan organisasi.
 DO :
Menerapkan proses proses tsb.
 CHECK :
Memantau dan mengukur proses dan produk terhadap kebijakan,sasaran,persyaratan
produk dan melaporkan hasilnya.
 ACTION :
Mengambil tindakan untuk meningkatkan kinerja proses secara bekesinambungan.
 Rangkaian merupakan rangkaian tertutup yang mengandung spirit PERBAIKAN
BERKESINAMBUNGAN.

Gambar 1.1. Prinsip Dasar SMK3 Versi


OHSAS 18001 : 1999
Pengelolaan K3 melalui pendekatan Sistem Manajemen :
 Melibatkan seluruh aspek sumberdaya yang mempengaruhi K3 ditempat kerja.
 Mencakup seluruh fungsi manajemen P-D-C-A.
 Mencakup kegiatan yang bersifat Preventif,Kuratif,Rehabilitatif dan Promotif.
 Mendorong peran aktif seluruh tingkatan Manajemen dan tenaga kerja.
 Pemenuhan terhadap perundang undangan Standar Nasional dan Internasional.
 Menjamin proses peningkatan berkesinambungan.
 Terintegrasi dengan Sistem Manajemen

1.3 Tujuan Penerapan SMK3


Bertitik tolak dari latar belakang, kondisi kerja pada industri konstruksi dan definisi
umum tersebut, maka tujuan penerapan SMK3 adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengenali dan memahami berbagai sumber kecelakaan dan penyakit akibat pekerjaan
di lingkungan proyek konstruksi;
2. Agar dapat menganalisis tingkat risiko kecelakaan dan penyakit yang ada;
3. Sebagai upaya untuk menekan dan atau mengendalikan sumber kecelakaan dan penyakit;
4. Sebagai upaya untuk menciptakan kondisi kerja yang mampu menjamin keselamatan,
kesehatan dan kenyamanan pekerja;
5. Secara komprehensif, tujuan penerapan SMK3 adalah untuk melindungi keselamatan dan
kesehatan pekerja guna mewujudkan produktivitas yang optimal yang bermuara pada
peningkatan kualitas hidup baik bagti pekerja maupun bagi perusahaan.
Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dijelaskan bahwa
terdapat 3 (tiga) tujuan utama dalam Penerapan SMK3. Adapun tujuan dari penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja antara lain :
1). Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja.
2). Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
3). Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas Nasional.

1.4 Dasar Hukum Penerapan SMK3


Dalam upaya untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja, maka dengan
mengacu pada Undang-undang Dasar 1945 khususnya pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa
setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,
pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk hukum yang terkait dengan bidang K3 dengan
hierarkinya mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah sampai dengan peraturan menteri.
Di antara produk hukum tersebut yang terkait langsung dengan pelaksasanaan K3 untuk industri
konstruksi adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
2. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan;
3. Peraturaan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.02/MEN/1992 tentang Tata Cara
penunjukkan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan kesehatan Kerja;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja;
6. Keputusan Menteri Kimpraswil No. 384/KPTS/M/2004 tentang Pedoman Teknis
Keselamatan dan kesehatan kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan; dan
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 09/PER/M/2008 tentang Pedoman Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi Bidang Pekerjaan
Umum.
8. Surat keputusan bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum No.
174/MEN/1986 dan 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi.
Menurut Peraturan Menteri PU No. 9 Tahun 2008, Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang
meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan
sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian dan
pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang
selamat, aman, efisien dan produktif. SMK3 konstruksi bidang pekerjaan umum adalah SMK3
pada sektor jasa konstruksi yang berhubungan dengan kepentingan umum (masyarakat) antara
lain pekerjaan konstruksi: jalan, jembatan, bangunan gedung fasilitas umum, sistem penyediaan
air minum dan perpipaannya, sistem pengolahan air limbah dan perpipaannya, drainase,
pengolahan sampah, pengaman pantai, irigasi, bendungan, bending, waduk, dan lainnya. Pada
Bab 3 peraturan menteri PU nomor 9 tahun 2008 pasal 4 dijelaskan tentang ketentuan
penyelenggaraan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di bidang konstruksi,
adapun ketentuannya sebagai berikut:
1. Kegiatan jasa konstruksi yang dilaksanakan oleh pengguna jasa/penyedia jasa terdiri dari jasa
pemborongan, jasa konsultasi dan kegiatan swakelola yang aktifitasnya melibatkan tenaga kerja
dan peralatan kerja untuk keperluan pelaksanaan pekerjaan fisik di lapangan wajib
menyelenggarakan SMK 3 konstruksi bidang pekerjaan umum.
2. Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum wajib menggunakan pedoman
ini beserta lampirannya
3. Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
kategori, yaitu:
a) Risiko Tinggi, adalah mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya berisiko
sangat membahayakan keselamatan umum, harta benda, jiwa manusia dan lingkungan
serta terganggunya kegiatan konstruksi
b) Risiko Sedang, adalah mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya dapat
berisiko membahayakan keselamatan umum, harta benda dan jiwa manusia serta
terganggunya kegiatan konstruksi
c) Risiko Kecil, adalah mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya tidak
membahayakan keselamatan umum dan harta benda serta terganggunya kegiatan
konstruksi
4. Kinerja penerapan penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dibagi
mencapai 3 (tiga), yaitu:
a. Baik, bila mencapai hasil penilaian >85%;
b. Sedang, bila mencapai hasil penilaian 60% - 85%;
c. Kurang, bila mencapai hasil penilaian <60%.
5. Dalam rangka penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum harus dibuat
Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kontrak (RK3K) oleh penyedia jasa dan disetujui
oleh pengguna jasa.
6. Di tempat kerja harus selalu terdapat pekerja yang sudah terlatih dan/atau bertanggung jawab
dalam Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
7. Untuk kegiatan swakelola, perlu ada penentuan tentang:
a. Pihak yang berperan sebagai penyelenggara langsung
b. Pihak yang berperan sebagai pengendali.
Menurut PP No. 50 Tahun 2012 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang
selanjutnya disingkat SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara
keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna
terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Mengapa perlu adanya Sistem
Manajemen K3? Sistem manajemen diperlukan untuk meningkatkan upaya K3 yang dijalankan
dalam perusahaan agar berjalan secara efisien dan efektif.
Menurut PP No. 50/2012, penerapan SMK3 bertujuan untuk:
a. Meningkatkan efektivitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang
terencana,terukur, terstruktur, dan terintegrasi
b. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan
unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat buruh
c. Menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, adan efisien untuk mendorong produktivitas.
Pengelolaan K3 dapat lebih komprehensif karena mengikuti kaidah manajemen yang baik, yaitu
dimulai dengan proses perencanaan, kemudian penerapan yang didukung oleh sistem
pengukuran dan pemantauan dan terakhir dilakukan tinjau ulang secara berkala untuk
memperbaiki proses secara berkesinambungan.

1.5. Undang-Undang Jasa Konstruksi dan K3 Konstruksi


Tujuan Undang-Undang Jasa Konstruksi :
• Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan antara
pengguna dan penyedia jasa
• Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi nasional untuk
mewujudkan struktur usaha yang kokoh andal dan berdaya saing tinggi dengan hasil
berkualitas
• Mewujudkan peran serta masyarakat dibidang jasa konstruksi
Kaitan Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999 dan K3 Konstruksi, bahwa dalam
undang-undang tersebut diatur mengenai :
Pasal 9 UUJK Persyaratan Usaha, Keahlian dan Keterampilan :
(1) Perencana dan pengawas orang peseorangan harus memiliki sertifikat keahlian
(2) Pelaksana orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat
keahlian kerja
(3) Orang perseorang yang dipekerjakan oleh Badan Usaha sebagai perencana atau pengawas
harus memiliki sertifikat keahlian
(4) Tenaga Kerja yang melaksanakan harus memiliki sertifikat keterampilan dan sertifikat
keahlian
UUJK-BAB IV PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI-PASAL 23 :
1. Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan
dan pengakhiran
2. Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang ketehnikan,
keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan tenaga kerja serta tata lingkungan
setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
UUJK-BAB X SANKSI KHUSUS - PASAL 43 :
1. Barang siapa yang lalai dalam perencanaan konstruksi dan mengakibatkan kegagalan
bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling
banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai Kontrak
2. Barang siapa yang lalai dalam pelaksanaan konstruksi dan mengakibatkan kegagalan
bangunan dikenai pidana paling lam 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling
banyak 5% (lima persen) dari Nilai Kontrak
3. Barang siapa yang lalai dalam pengawasaan konstruksi dan mengakibatkan kegagalan
bangunan dikenai pidana paling lam 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling
banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai Kontrak
BAB II
SUMBER KECELAKAAN KERJA
PADA INDUSTRI KONSTRUKSI

Objektif :
Setelah selesai pembahasan Bab II, mahasiswa mengetahui, memahami dan mampu
mengenali sumber kecelakaan kerja pada industri konstruksi.
2.1. Definisi Umum
Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan dimana akan berakibat cidera,
sakit / penyakit akibat kerja sampai kepada kematian dan / atau mengakibatkan kerusakan
ataupun kerugian.Sedangkan Penyakit Akibat Kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan
oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Untuk dapat mencegah atau menekan terjadinya
kecelakaan atau sakit / penyakit akibat kerja. ,aka perlu dikeatui dan dipahami sumber
kecelakaan dan sakit / penyakit akibat kerja tersebut.
Kecelakaan kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : 03 /MEN/1998
tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan bahwa yang dimaksud dengan
kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat
menimbulkan korban manusia dan atau harta benda. Secara umum, sumber kecelakaan dan sakit
/ penyakit akibat kerja dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu kondisi/lingkungan kerja,
manajemen/organisasi kerja, dan perilaku kerja yang tidak aman seperti yang diilustrasikan
pada Gambar 2.1 (Anonim, 2003).

The
The Three
Three BasicofCauses
Basic Causes Occupational
of OccupationalAccident Accident
Poor Management Safety Policy & Decisions
Personal Factors Basic Causes
Environmental Factors

Unsafe
Unsafe Act Indirect Causes Condition

ACCIDENT
Personal Injury
Unplanned release of
Property Damage
Energy and/or
Hazardous material

Gambar 2.1 Faktor Utama Penyebab Kecelakaan Kerja


Sumber : Anonim, 2003.
Lingkungan kerja yang tidak aman dan Manajemen yang kurang proporsional dapat
menyebabkan timbulnya kondisi kerja dan perilaku kerja yang tidak aman, yang pada akhirnya
akan menimbulkan terjadinya kecelakaan, sakit dan kerugian baik bagi pekerja maupun
perusahaan.
Penyebab kecelakaan menurut Teori Domino adalah sebagai berikut :

Logika terjadinya kecelakaan (Teori Domino) :


Setiap kejadian kecelakaan, ada hubungan mata rantai sebab-akibat (Domino Squen)

Gambar 2.2. Penyebab Kecelakaan (Teori Domino)

Adapun faktor-faktor yang merupakan sumber-sumber kejadian kecelakaan pada umumnya


berkisar pada 3 (tiga ) faktor penting, yaitu :
1. Keadaan Lingkungan Kerja ( Work Enviroment)
Keadaan lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap moral para pekerja. Lingkungan kerja
yang baik dapat mempertinggi efficiency kerja mengurangi kelelahan ( fatique), yang berati
dapat menambah kenaikan produksi.
Faktor-faktor keadaan lingkungan kerja yang penting dan perlu mendapat perhatian adalah:
a. Pemeliharaan Rumah Tangga ( house keeping )
Kesalahan-kesalahan yang biasanya terdapat pada soal pemeliharaan rumah tangga adalah
tentang tata ruang ( Plant Lay Oot ) yang tidak memenuhi syarat, misalnya ruangan terlalu
sempit dan cara menempatkan mesin-mesin tidak betul. Hal-hal lain yang merupakan
kesalahan-kesalahan ialah jalur-jalur lalu lintas yang dipergunakan untuk menempatkan
balian-bahan/alat-alat kerja tidak pada tempatnya.
Demikian pula mengenai pemeliharaan lemari, rak, tempat pembuangan sampah dan sisa-sisa
bahan tidak sempuma. Keadaan lantai yang kotor dan licin, kurang mendapat perhatian dan
tidak jarang pula terdapat barang-barang yang berantakan di pekarangan.
b. Ventilasi.
Tentang ventelasi sering terdapat tidak sempuna karena kurangnya peredaran atau
pertukaran udara luar, sehingga di dalam ruangan kerja terdapat banyak debu, keadaan
lembab, dan sebagainya. Dalam keadaan demikian tentu para pekerja akan merasakan tidak
enak/nyaman bekerja.
c. Penerangan ( Lighting )
Mengenai soal penerangan juga acap kali terdapat tidak sempurna, misalnya ruangan terlalu
gelap, kesilauan dan tidak ada penerangan setempat (spotlight).

2. Keadaan Mesin-mesin dan Alat-alat Kerja ( Machines and Tools )


Kesalahan-kesalahan yang terdapat pada faktor keadaan mesin-mesin dan alat-alat kerja ialah
cara menempatkan atau letaknya yang salah, tidak dilengkapi dengan alat pelindung atau alat
pelindungnya tidak dipakai. Selanjutnya sering terdapat juga alat-alat kerja yang telah rusak atau
yang telah terlalu tua masih dipergunakan untuk melakukan pekerjaan dan alat-alat perlengkapan
perlindungan buruh yang telah rusak masihjuga dipakai.

3. Keadaan Pekerja ( Human Factor)


Factor keadaan pekerja adalah factor yang memerlukan perhatian sepenuhnya dan pemikiran
yang teliti, karena persoalannya menyangkut tingkah laku atau perwatakan manusia, kecakapan
atau keterampilan mengerjakan sesuatu, dan kesehatan physik atau mentalnya. Kesalahan-
kesalahan yang terdapat pada faktor keadaan pekerjaan sering terdapat sikap yang tidak wajar,
diantaranya terlalu berani, sembrono tidak mengindahkan instruksi, kelalaian, melamun, tidak
mau memekai alat pelindung, tidak mau bekerjasama, kurang sabar dan sebagainya. Kesalahan-
kesalahan yang terdapat pada kekurangan kecakapan atau ketrampilan mengerjakan sesuatu
adalah misalnya, tidak mendapat latihan kerja yang cukup, masih baru dalam mengerjakan
sesuatu, belum cukup paham akan instruksi yang diberikan.
Kekurangan-kekurangan yang terdapat pada physik atau mental ialah diantaranya cacat pada
badan, tuli, kurang penglihatan, berpenyakit ayan, reaksi yang lamban dan kesehatan badan
umumnya kurang. Dengan telah diketahui faktor-faktor utama yang dapat menyebabkan
kecelakaan dan kesimpulan kesalahan-kesalahan serta kekurangan-kekurangan tersebut dengan
cara pencegahannya yang telah ditentukan.

2.2. Kondisi kerja yang Tidak Aman (unsafe condition-environment factors)


Yang dimaksud dengan kondisi kerja adalah kondisi interaksi antara manusia kerja
dengan sarana/prasarana/alat kerja, lingkungan kerja, benda kerja dan sistem atau organisasi
kerja. Karakteristik kondisi sarana/prasarana/alat kerja, lingkungan kerja, benda kerja dan sistem
kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia kerja dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan dan sakit/penyakit akibat kerja seperti yang diilustrasikan
pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Faktor Penyebab Kecelakaan dan Sakit Akibat Kerja


Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi dalam industri jasa konstruksi terdapat beberapa
kondisi berbahaya yang dapat ditemukan, seperti :
a. Pengamanan yang tidak sempurna
b. Peralatan/bahan yang tidak seharusnya
c. Kecacatan, ketidak sempurnaan
d. Prosedur yang tidak aman
e. Penerangan tidak sempurna
f. Iklim kerja yang tidak aman
g. Tekanan udara yang tidak aman
h. Getaran yang berbahaya
i. Pakaian, kelengkapan yang tidak aman
j. Kejadian berbahaya lainnya
Kondisi kerja pada industri konstruksi pada umumnya tidak aman karena banyak sumber bahaya
yang tidak dapat dihindari seperti bekerja di ketinggian tertentudibawah paparan panas,
kebisingan, getaranserta bahan-bahan bangunan yang mengandung bahan berbahaya seperti
semen, kapur, bahan-bahan cat dan sebagainya (Gambar 2.4). Pekerjaan konstruksi juga sering
menggunakan alat-alat yang tajam baik yang dioperasikan secara manual, mekanik maupun
elektrik. Sumber bahaya tersebut memang sulit untuk dieliminasi, namun dapat dikendalikan
melalui pengaturan manajemen yang proporsional sehingga dampak dari kondisi kerja yang tidak
aman tersebut tidak membahayakan pekerja.

Gambar 2.4 Berbagai Kondisi Kerja Pada Industri Konstruksi

2.3. Manajemen atau Organisasi Kerja Yang Kurang Proporsional (poor management)
Timbulnya kecelakaan dan sakit/penyakit akibat kerja juga sering terjadi akibat
manajemen atau organisasi kerja yang kurang proporsional. Penempatan tenaga kerja pada posisi
yang kurang sesuai dengan kemampuan, kapasitas dan keterbatasan pekerja,penjadwalan waktu
kerja dan istirahat yang kurang berimbang, gizi kerja yang kurang memadai, kondisi informasi
yang minimdapat menyebabkan adanya kondisi kerja yang tidak aman dan secara akumulatif
dapat mendorong timbulnya perilaku kerja yang tidak aman yang bermuara pada terjadinya
kecelakaan dan sakit akibat kerja.

2.4. Perilaku Tidak Aman (unsafe act-personal factors)


Pada pelaksanaan pekerjaan konstruksi terdapat beberapa tindakan yang membayakan
keselamatan dan kesehatan pekerja, adapun tindakan tersebut yaitu :
a. Melakukan pekerjaan tanpa wewenang,
b. Bekerja dengan kecepatan berbahaya.
c. Membuat alat pengaman tidak berfungsi
d. Memakai peralatan yang tidak aman, tanpa peralatan.
e. Melakukan Proses dengan tidak aman
f. Posisi atau sikap tubuh tidak aman
g. Bekerja pada objek yang berputar atau berbahaya
h. Mengalihkan perhatian, mengganggu, sembrono / berkelakar, mengagetkan dan lain-lain.
i. Melalaikan penggunaan alat pelindung diri yang ditentukan, dan lain-lain.
Perilaku kerja tidak aman seringkali timbul akibat kondisi kerja yang tidak aman dan
manajemen/organisasi kerja yang kurang proporsional. Kondisi kerja yang tidak aman serta
manajemen/organisasi kerja yang kurang proporsional dapat memberikan beban kerja tambahan
baik yang bersifat fisik maupun psikologis yang dapat menimbulkan berbagai keluhan dan
kelalahan dini, dan pada akhirnya menurunkan tingkat ketelitian dan kewasdaan yang
menyebabkan timbulnya kecelakaan dan sakit akibat kerja. Di samping itu, perilaku kerja tidak
aman juga sering timbul karena kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik yang sudah menjadi
budaya atau juga karena kurangnya pemahaman pekerja terhadap cara kerja yang aman dan sehat
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Berbagai Perilaku Kerja Yang Tidak Aman

Kondisi kerja yang tidak aman, manajemen/organisasi kerja yang kurang proporsional
dan perilaku kerja yang tidak aman secara akumulatif akan akan menambah beban kerja,
menimbulkan berbagai keluhan fisik, kelelahan, menurunnya tingkat ketelitian dan kewasdaan,
risiko kecelakaan dan sakit akibat kerja meningkat, efisiensi dan produktivitas rendah, dan pada
akhirnya akan mengurangi keuntungan perusahaan atau bahkan merugi yang pada akhirnya
bermuara pada rendahnya tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup baik bagi pekerja maupun
perusahaan.
BAB III
KECELAKAAN KERJA
PADA INDUSTRI KONSTRUKSI

Objektif :
Setelah selesai pembahasan Bab II, mahasiswa mengetahui, memahami dan mampu
menjelaskan jenis-jenis dan pencegah kecelakaan kerja pada industri konstruksi.

3.1. Jenis Kecelakaan Kerja


Adapun kecelakaan kerja yang kemungkinan terjadi pada pelaksanan pekerjaan konstruksi antara
lain:
1. Terbentur
2. Terpukul
3. Tertangkap pada, dalam atau diantara benda
4 Jatuh dari ketinggian yang sama.
5. Jatuh dari ketinggian yang berbeda.
6. Tergelincir.
7. Terpapar
8. Penghisapan, penyerapan
9. Tersentuh aliran listrik.
Jenis-jenis kecelakaan kerja dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kecelakaan Terjepit
Kecelakaan ini sering terjadi antara lain :
Contoh :
a. Kecelakaan terjepit sewaktu mengangkat sesuatu alat berat tanpa suatu komando dan pada
waktu menurunkan tidak sama sehingga tangan atau kaki terjepit, dan untuk ini perlu suatu
kerja sama di bawah komando
b. Kecelakaan terjadi sewaktu menyambung pipa diameter besar karena kurang hati-liati
mengakibatkn jari-jari terjepit, untuk ini perlu kerja sama di bawah suatu komando pada
waktu menggeser pipa-pipa.
c. Dan lain-lain.
2. Kecelakaan Jatuh
Contoh :
a. Kecelakaan jatuh dari pekerjaan gedung bertingkat dengan demikian disarankan supaya
selalu menggunakan atau memasang sabuk pengaman.
b. Kecelakaan jatuh dari mobil, sewaktu mobil masih berjalan penumpang turun dan
terpelanting, karena daya tarik yang tidak diketahui. Supaya jangan turun dari mobil selama
masih bergerak, sebaiknya ditunggu sampai berhenti.
c. Kecelakaan jatuh dari tiang listrik, sewaktu memanjat tiba-tiba terpeleset atau kena arus
listrik, karena tidak menggunakan alat pengaman pinggang sehingga jatuh dan untuk inilah
setiap memanjat selalu memakai tali pinggang pengaman.
d. Kecelakaan jatuh dari sepeda motor, karena kurang mengusai mengendarai atau kurang
terampil, jalan licin dan lain-lain, mengakibatkan cacat fatal atau kematian, dan inilah
disarankan supaya mengetahui peraturan lalu lintas dan memakai helm pengaman.

3. Kecelakaan Terpukul
a. Kecelakaan terpukul kawat, sewaktu mengangkat sesuatu alat, tanpa memperhitungkan daya
tahan kawat putus dan memukul yang dekat atau yang sekitarnya, dan untuk ini selalu
memperhitungkan daya tahan kawat.
b. Dan lain – lain peregangan otot yang berlebihan

4. Kecelakaan Tergelincir.
Kecelakaan ini sering terjadi di tempat berminyak seperti di sentral-sentral listrik, di bengkel, di
tangga-tangga dan lain-lain karena kurang bersih, selalu dibiarkan berminyak dan untuk ini
selalu disarankan untuk menjaga kebersihan.

5. Kecelakaan Percikan
Contoh :
a. Kecelakaan percikan batu gerinda kena mata atau muka, dan untuk ini disarankan selalu
mamakai kaca mata pengaman atau penutup muka sewaktu menggerinda.
b. Kecelakaan percikan las kena mata atau badan, untuk inilah selalu disarankan mamakai alat
pengaman kaca mata, baju dan sarung tangan las.
c. Dan lain-lain

6. Kecelakaan Kena Timbun Tanah.


Contoh :
Kecelakaan kena timbun tanah sewaktu tanah longsor, karena tinggi front kerja melebihi dari 6
meter atau karena keadaan tanahnya mudah longsor, maka dari itu tinggi dan keadaan jenis
tanahnya selalu diperhatikan.

7. Kecelakaan Kena Aliran Listrik.


Contoh :
Kecelakaan kena aliran listrik dapat terjadi misalnya sewaktu pemindahan lampu sorot di
tambang-tambang, karena tidak mengetahui bahayanya sewaktu memindahkan lampu sorot kabel
listrik tertarik atau terkelupas atau kena air, sehingga si korban kena aliran listrik yang
mengakibatkan meninggal dunia, dengan demikian disarankan selalu memasang sakelar
pengaman atau tidak di perkenankan memindahkan.

8. Kecelakaan Kebakaran
Contoh :
Kecelakaan kebakaran karena kurang hati-hati membuang rokok yang masih menyala ke tempat
yang ada kertas, bekas minyak dan lain-lain, atan alat pemasak yang tidak sempurna
mengakibatkan peledakan terbakar, kawat listrik terbakar karena sekring palsu yang
mengakibatkan alat lain turut terbakar dan untuk itu selalu hati-hati mempergunakan alat
pengaman yang baik (sekring asli)

9. Kecelakaan Terbelit.
Contoh :
Kecelakaan terbelit di poros mesin yang berputar. Dan biasanya terjadi kecelakaan terbelit di
poros mesin yang berputar ini apabila tutup pengaman poros berputar tidak dipasang atau lupa
memasang. Untuk ini selalu disarankan supaya memasang tutup pengaman atau pagar pengainan
di setiap alat berputar sebab kecelakaan seperti ini akibatnya fatal, baik pada diri sendiri ataupun
pada orang lain.

10. Kecelakaan Kejatuhan.


Contoh :
Kecelakaan kejatuhan benda sewaktu sedang kerja di bawah, tiba-tiba baut atau mur dan kunci
yang sedang di pakai oleh pekerja yang mengerjakan sesuatu pekerjaan di atas jatuh dari tangan
atau dan kantongnya dan mengenai si korban di bawah, maka untuk itu di sarankan selalu
memakai tutup topi pengaman selama bekerja.

11. Kecelakaan Debu/Gas.


Contoh :
Kecelakaan ini terjadi apabila pekerja bekerja dimana di sekitar lingkungan kerjanya banyak
debu bertaburan, dalam jangka pendek kelihatannya tidak menimbulkan atau mengakibatkan
sakit, akan tetapi dalam jangka panjang mengakibatkan penyakit paru-paru dan lain-lain, maka
untuk itu disarankan selalu memakai tutup hidung mulut (masker).

12. Kecelakaan Tenggelam


Contoh :
Kecelakaan tenggelain dalam air, kalau sampan atau perahu tempat kerja atau alat angkutan tiba-
tiba pecah. Si korban tidak dapat berenang, akhirnya meninggal dunia karena tenggelam dan
untuk itu selalu disarankan supaya setiap pekerja di atas air memakai alat pelampung atau dapat
berenang.

3.2. Pencegahan Kecelakaan Kerja


Pencegahan kecelakaan kerja dapat dilakukan pada berikut ini :
1. Tempat Kerja
Perencanaan tata letak (lay out plan) bangunan sementara sangat penting sekali artinya bagi
kelancaran dan ketertiban pelaksanaan pekerjaan suatu proyek.
Bangunan sementara yang terdiri antara lain seperti Kantor Direksi/Konsultan Pengawas, Kantor
Pemborong, Gudang, Barak Kerja, Rumah, Diesel, Kantin, Toilet, Tempat Material dan lain-
lainnya, perlu diatur penempatannya dengan baik. Harus diusahakan agar pengaturan tempat
kerja, lingkungan kerja dan tata cara kerja sedemikian rupa sehingga membuat para pekerja dapat
tenang melaksanakan pekerjaannya, karena merasa terlindung dari resiko bahaya kecelakaan.
Dengan menciptakan suatu lingkungan kerja yang nyaman dan aman dari bahaya kecelakaan,
akan dapat mempertinggi efisiensi kerja, mengurangi kelelahan, sehingga dapat meningkatkan
produktivitas kerja.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai lingkungan kerja dan tempat kerja antara lain
sebagai berikut:
 Pengaturan tata ruang (site lay out plan) yang baik, sehingga jalan lalu lintas kerja tidak
saling mengganggu.
 Bila dipandang perlu dapat disediakan pintu masuk dan pintu keluar yang berbeda.
 Diadakan penerangan yang cukup, untuk dapat menjamin keamanan kerja dan barang selain
itu dapat meningkatkan produktivitas kerja.
 Tersedianya air minum yang memenuhi syarat kesehatan.
 Tempat kerja yang harus mempunyai system sirkulasi udara segar yang cukup.
 Disediakan bangunan kantin yang bersih dan sehat.
 Disediakan bangunan untuk WC dan Uranoir yang sehat dan bersih.
 Disediakan alat pemadam kebakaran, baik di kantor, gudang, bengkel, dan tempat lainnya
yang dianggap rawan terhadap bahaya kebakaran.
 Peralatan kerja, bahan bangunan dan lain-lainnya harus diatur sedemikian rupa sehingga
mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengaturan diusahakan untuk dapat
meningkatkan produktivitas kerja.
 Disediakan tempat sampah dan larangan untuk membuang sampah serta kotoran lain
disembarangan tempat.
 Jalur lalu lintas kendaraan dan bahan diatur rapi dengan memberikan tanda-tanda lalu lintas,
memindahkan bahan-bahan yang tidak berguna yang dapat mengganggu angkutan bahan
bangunan.
 Pengaturan ruang pekerja yang cukup sehingga memberikan keleluasaan bergerak seorang
pekerja mempunyai daerah kerja tertentu.
 Bahan yang mudah terbakar dan meledak tidak boleh disimpan ditempat kerja, tempat
penyimpanan dibuatkan tersendiri dan memenuhi persyaratan keamanan.
2. Peralatan Keselamatan Kerja.
Untuk menghindari akibat yang lebih parah bila terjadi kecelakaan, maka setiap pekerja
dilengkapi dengan pakaian serta perlengkapannya sesuai dengan persyaratan serta peralatan yang
berlaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
a. Perlengkapan pakaian. Pada saat menjalankan tugasnya, apakah sudah dilaksanakan aturan
mengenai pakaian kerja dan perlengkapannya.
b. Pedoman untuk Operator. Dengan mengetahui serta mendalami cara bekerjanya suatu jenis
peralatan, maka operator akan lebih berhati-hati dalam menggunakan peralatan tersebut.
Selain akan dapat mencegah terjadinya kecelakaan, juga akan meningkatkan produktivitas
kerja.

3. Perancah dan Tangga Sementara


Perancah dan tangga sementara sangat diperlukan pada pekerjaan yang mempunyai ketinggian
di luar jangkauan manusia. Dengan digunakannya perancah serta tangga sementara, maka
pekerja dapat melakukan tugasnya secara aman. Untuk dapat membuat perasaan aman dan
tentram bagi pekerja, maka dalam pelaksanaan pekerjaan dengan menggunakan bantuan
perancah dan tangga sementara, dapatlah diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Perancah dibuat dari bahan kayu atau lainnya yang kuat dengan konstruksi yang rapi dan
memberikan kekuatan yang diperlukan.
b. Anjungan (Platform) tempat pekerja melakukan tugasnya harus ditunjang dengan perancah
yang kuat.
c. Berhati-hati jika bekerja di anjungan.
d. Buatlah tangga sementara yang cukup kuat dengan lebar kurang lebih 60 cm dengan dua
pegangan tangan di kiri kanannya.
e. Buatlah anjungan datar pada tangga (bodres) pada setiap 3,5 m tanjakan.
f. Jika harus di buat jembatan penghubung sementara, buatlah jembatan yang kuat dan tidak
terlalu lentur.
g. Pada lubang terbuka disekitar anjungan di atas perancah, harus diberi tutup yang memberi
kesan tentang adanya lubang tersebut dan digunakan jarring-jaring untuk perancah yang
tinggi.
h. Perhatikan dan selalu diperiksa ikatan dan sambungan pada perancah.

4. Peralatan Angkut, Alat Berat dan AIat Bantu Konstruksi.


a. Peralatan Angkut.
Peralatan angkut yang akan diutarakan sehubungan dengan pembahasannya tentang keselamatan
kerja meliputi forklift dan truk. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian oleh pengemudi
untuk menjaga agar dapat dihindari terjadinya kecelakaan antara lain sebagai berikut:
1) Periksalah dulu mesin, lampu sign, rem sebelum penggunaan alat angkut bersangkutan ( baca
buku pedoman )
2) Buatlah jalan kerja yang cukup lebar, tanjakan yang tidak terlalu tajam, tidak berdebu dan
dilengkapai tanda-tanda lalu lintas.
3) Perhatikan jumlah muatan, agar tidak melampaui kapasitas keknatan mesin.
4) Jarak antara truk harus dijaga, bila truk beriringan.
5) Perhatikan pengaturan lalu lintas di dalam daerah proyek.
6) Jembatan sementara harus cukup kuat untuk dilalui.
7) Harus cukup penerangan jika bekerja malam.
8) Jangan mengemudikan truk terlalu dekat dengan tebing dengan kecepatan tinggi pada saat
menikung.

b. Alat Berat.
Yang perlu diperhatikan dalam mengoperasikan alat berat antara lain :
1) Mempelajari medan kerja. Pekerjaan akan tidak lancar apabila kita kurang mengenal medan
tempat kerja.
2) Sebelum menggunakan alat-alat berat, bacalah lebih dahulu buku pedoman untuk
mengoperasikan peralatan tersebut.
3) Berpikirlah selalu sebelim mulai bekerja, untuk menghindari kecelakaan yang mungkin
terjadi.
4) Persiapan sebelum menghidupkan mesin dengan pemeriksaan menyeluruh sebelum
menghidupkan mesin.
5) Bekerja dengan aman. Naiklah ke atas peralatan dengan baik, penuh keyakinan diri.
6) Matikan mesin pada waktu istirahat
7) Parkirlah kendaraan di tempat yang aman, jangan parkir di tempat jalan umum.
8) Jangan mengoperasikan peralatan dekat dengan tebing.
9) Pada alat angkut/lift, berikan tulisan kapasitas muatan maksimalnya dan lengkapi dengan
pintu penutup.
10) Crane harus berdiri di tempat yang stabil.
11) Jangkar dan beban lawan (counter weight) pada crane harus mendapat perhatian untuk
pekerjaan tertentu.
12) Berat beban/benda yang diangkat tidak boleh lebih dari pada kapasitas angkat crans, segala
gerakan mengangkat dan memutar harus dilakukan berhati-hati dan perlahan-lahan,
13) Harus ada petugas di bawah yang memberi petunjuk pada operator crane yang bekerja di
atas.
14) Perhatikan keselamatan orang lain yang ada di sekeliling tempat bekerja crane.
15) Ekstra makanan serta pemeriksaan kesehatan operator perlu diperhatikan.

5. Pekerjaan Galian, Galian dan Timbunan, Pekerjaan Terowongan


Data-data hasil penyelidikan tanah yang meliputi jenis tanah, susunan lapisan (strata) tanah serta
tinggi muka air tanah sangat membantu dalam pelaksanaan pekerjaan tanah. Dengan
diketahuinya data tanah di tempat pekerjaan tanah, maka dapat disiapkan peralatan sesuai dengan
kebutuhan pekerjaan tersebut. Disamping itu dapat pula direncanakan dan disiapkan alat-alat
pembantu dan bangunan penunjang sebagai sarana pencegahan terjadinya kecelakaan.

A. Pekerjaan galian terbuka.


Pelaksanaan galian tanah pada pekerjaan saluran, parit, sumur dan sejenisnya perlu diperhatikan
adanya kemungkinan terjadinya kecelakaan sehubungan dengaujenis dan sifat tanah. Beberapa
hal yang perlu mendapat perhatian adalah:
a. Galian kemiringan tebing yang cukup aman pada galian terbuka sesuai dengan jenis
tanahnya. (ingat bidang lereng alam setiap jenis tanah).
b. Memasang turap kayu atau besi sebagai dinding penahan tanah pada galian parit untuk
menghindari terjadinya longsoran.
c. Meletakan beban dekat dengan tebing galian, menyebabkan kemungkinan terjadinya tanah
longsor.
d. Pembuatan saluran air bila diperlukan untuk drainaseair hujan atau air tanah pada penggalian
yang luas.
e. Pengaturan lalu lintas kendaraan angkut pada tempat penggalian tanah dengan menggunakan
mesin gali (excavator). Operator harus selalu memperhatikan keadaan sekitar dan petunjuk
dari pemandit.
f. Penyediaan alat-alat penolong untuk tenaga kerja yang sedang menggali tanah pada
kedalaman yang cukup membahayakan.

B. Pekerjaan galian di bawah tanah.


Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian pada pekerjaan galian di bawah tanah adalah
sebagai benkut:
a. Pembuatan konstaiksi penahan tanah yang kuat untuk menghindari terjadinya tanah longsor.
b. Pengaturan sirkulasi udara bersih di dalam terowongan harus diusahakan.
c. Pengadaan penerangan yang cukup untuk keamanan kerja.
d. Pengadaan pemeriksaan apakah di dalam lubang tau terowongan terdapat gas berbahiaya.
e. Pemeriksaan dilakukan paling sedikit setiap penggantian regu kerja (shift).
f. Penggunaan topeng anti gas beracun diharuskan bagi tenaga kerja yang memberikan
pertolongan pada tenaga kerja yang pingsan karena gas beracun.
g. Penggunaan tutup muka untuk melingdungi diri terhadap debu pada pengeboran batu.
h. Pengeboran dibawah tanah sebaiknya mpnggunakan alat dengan penggerak angin
(Compressed atr).
i. Pemeriksaan kabel-kabel listrik untuk menghidari terjadinya korsluting listrik.
j. Penggalian batu bawah tanah dengan menggunakan bahan peledak harus waspada terhadap
timbulnya gas yang membahayakan terhadap pekerja.
k. Peledak dilakukan bila telah diyakini bahwa tidak ada tenaga kerja yang berada pada tempat
yang berbahaya.
l. Tenaga kerja baru diijinkan kembali ketempat kerja setelah dinyatakan aman.

6. Pekerjaan Beton dan Tiang Pancang


a. Pekerjaan Beton
Tanpa disadari oleh tenaga kerja karena kurang pengetahuannya mengenai konstraksi beton
bertulang, maka kecorobohan pada saat mengerjakannya dapat menimbulkan akibat yang kurang
baik bagi kesehatan dan keselamatan tenaga kerja bersangkutan.
Dalam usaha menghindari akibat-akibat yang kurang baik bagi tenaga kerja, perlu adanya
perhatian mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Menggunakan perlengkapan pakaian kerja seperti sarung tangan, sepatu dan topi keras bagi
tenaga kerja yang sedang mengerjakan beton.
2. Pada saat memotong besi beton, berhati-hatilah dan menggunakan cara memotong yang
benar.
3. Selama penarikan besi/kabel beton praktekan, pekerja tidak boleh berdiri dibelakang atau
searah dengan bagian yang sedang ditarik maupun dibelakang dongkrak.
4. Pekerja tidak boleh memotong besi/kabel beton praktekan sebelum beton cukup keras.
5. Pembukaan papan acuan tidak boleh dilakukan sebelum terpenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan serta atas perintah yang berwenang.

b. Tiang Pancang
1. Memeriksa kabel kawat yang digunakan untuk mengangkat tiang pancang sebelum
digunakan.
2. Mengangkat tiang pancang dilakukan perlahan-lahan, hati-hati dan cara yang benar.
3. Para pekerja dilengkapi dengan perlengkapan pakaian seperti sarung tangan, sepatu dan topi
keras.

7. Pekerjaan Las
Pekerjaan las dapat dilaksanakan di bawah yaitu sebelum dilakukan pemasangan (install) atau
pada saat pemasangan misalkan bangunan konstruksi rangka baja. Sebelum pekerjaan las
dimulai, lokasi sekitar tempat kerja harus diperiksa terlebih dahulu dari bahan-bahan yang
mudah terbakar seperti bensin, bahan-bahan kimia dan sebagainya.
Untuk menjaga agar pekerjaan las dapat berjalan dengan aman maka perlu diperhatikan atziran
yang ditaati pada saat tenaga kerja melaksanakan pengelasari antara lain:
a. Tenaga kerja memakai perlengkapan pakaian kerja seperti sarung tangan, kacamata
pelindung yang dipakai pada saat melaksanakan pengelasan.
b. Tenaga kerja yang memakai pakaian yang penuh bekas minyak, lemak dan bahan lain yang
mudah terbakar.
c. Pada saat melaksanakan pengelasan, usahakan agar orang yang lewat tidak terkena percikan
api.
d. Pelaksanaan pengelasan tidak diperkenankan dekat dengan bahan-bahan yang mudah
terbakar, misalnya tumpukan kayu kering, tekstil, kertas, bahan cat dan sebagainya.
e. Sebelum mulai pelaksanaan pengelasan agar dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu
mengenai peralatan las, listrik dan kabelnya untuk menghindari korsluting.
f. Sebelum menyalakan api, agar diperiksa selang karetnya. Bila selang karet bocor harus
diganti dan berhati-hati pada saat menyalakan api.
g. Simpanlah tabung gas di tempat yang aman, terhindar dari panas api atau sinar matahari.
h. Pengelasan ditempat tertutup, harus dilaksanakan dengan hati-hati
i. Hindari gas beracun yang timbul.

8. Bahaya Aliran Listrik


Aliran listrik dapat membahayakan bagi jiwa manusia, oleh karena itu para pekerja yang sedang
melaksanakan pekerjaan listrik atau dekat dengan kabel listrik hendaklah berhati-hati dan
dilengkapi dengan perlengkapan pengaman.
Dalam hubungan bahaya aliran listrik ini, perlu mendapatkan perhatian hal-hal sebagai berikut:
a. Tegangan listrik dapat membawa maut.
b. Bekerja dengan kabel terbuka yang beraliran listrik, baik tegangan rendah, sedang maupun
tinggi jangan dilakukan.
c. Usahakan jangan menggunakan kabel listrik yang bungkusnya sudah terkelupas.
d. Bau hangus, tanda suatu bahaya, periksalah alat listrik yang sedang dipakai.
e. Berhati-hari waktu lewat atau bekerja di bawah kabel listrik PLN.
f. Bila terjadi korsluting, segera putuskan aliran listrik.
g. Berhati-hatilah atau sedapat mungkin menghindari alat konstruksi beroperasi dekat kabel
listrik bertegangan tinggi.
h. Lampu penerangan harus diberi pelindung yang baik.
i. Jagalah agar jangan terjadi korsluting pada pompa air.
9. Penggunaaa Bahan Peledak dan Peledakan
Penggunaan bahan peledak dalam pelaksanaan kostruksi bangunan atau pada quarry batu,
diperlukan bila dengan cara lain yang lebih aman tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini perlu
adanya perhatian secara khusus untuk penyimpanan bahan peledak maupun penggunaannya.
Diperlukan tenaga khusus yang ahli mengenai bahan peledak.
Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah:
a. Gudang bahan peledak dibuat jauh dari kantor proyek maupun rumah penduduk.
b. Gudang bahan peledak harus terpisah dari gudang bahan bakar.
c. Peledakan dilaksanakan padajam tertentu saat sepi atau waktu istirahat.
d. Tanda pengaman atau bendera peringatan harus dipasang, dan tanda bahaya (sirine)
dibunyikan pada saat peledakan akan dilaksanakan.
e. Periksa peralatan peledakan sebelum dipakai.
f. Periksa sambungan kabel atau sumbu.
g. Pilihlah orang yang berpengalaman untuk memesang bahan peledak.
h. Pilihlah orang yang dapat dipercaya untuk memegang kunci alat penyulut ledak (exploder)
atau penyulut sumbu api.
i. Gunakan bahan peledak sesuai dengan kondisi batu-batuan yang akan diledakan.
j. Setelah peledakan, tunggu beberapa menit untuk memeriksa hasil peledakan.

10. Pembongkaran
Pembongkaran bangunan seperti antara lain gedung bertingkat, pabrik, cerobong asap perlu
dilakukan survey terlebih dahulu untuk mendapatkan cara pembongkaran yang tepat dan tidak
membahayakan. Beberapa cara pembongkaran dapat dilakukan dengan menggunakan bahan
peledak, bulldozer, bola besi, tenaga manusia dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaan
pembongkaran ini, beberapa hal perlu mendapatkan perhatian agar tidak membahayakan pekerja
dan lingkungan sebagai berikut:
a. Sebelum pembongkaran dimulai, harus diadakan pemeriksaan untuk mencegah kemungkinan
bahaya yang dapat terjadi.
b. Periksalah terlebih dahulu, kabel listrik, pipa gas, pipa air panas dan sebagainya pada bagian
bangunan yang akan dibongkar. Matikan aliran instalasi tersebut sebelum pembongkaran
dimulai.
c. Pembongkar bangunan dimulai dari atas ke bawah secara sistimatis.
d. Waspadalah terhadap paku dan tajam yang lainnya yang dapat menjadi penyebab luka.
e. Buanglah bekas bongkaran dengan hati-hati, kalau perlu buatlah cerobong pembuang
kebawah yang tertutup.
f. Bila perlu, perkuatan sementara dibuat untuk pengaman sisa bongkaran.
g. Hindari jangan terlalu banyak tenaga kerja untnk pekerjaan pembongkaran dan selalu
waspada terhadap keadaan sekeliling.

11. Bekerja di Atas Atap.


a. Bagi yang mempunyai epilepsy (ayan) atau vertigo dilarang bekerja diatas atap.
b. Untuk memanjat keatas harus diyakini bahwa kaki tangan untuk naik cukup stabil dan
demikian juga untuk turun.
c. Perhatikan letak tangga dan kekuatan kaki tangga.
d. Harus tahu jenis bahan atap, apakah bisa manahan beban orang.
e. Gunakan papan untuk berjalan di atas atap danjangan salah injak.
f. Gunakan sabuk pengaman untuk tempat yang berbahaya.
g. Gunakan sepatu yang ringan dan tidak kaku.
h. Jangan menggnnakan tangga yang terlalu pendek.
i. Jangan membawa beban lebih dari 50 kg jika harus memanjat tangga.
j. Periksa kondisi engsel tangga jika harus memakai tangga double.

12. Waspada Dalam Bekerja Membawa Barang.


a. Semua pekerjaan memerlukan kejelian dan kewaspadaa.
b. Hati-hatilah kalau berjalan, jangan sampai menginjak paku atau besi beton dan lain-lain yang
dapat menyebabkan luka.
c. Hati-hatilah jangan sampai tersandung waktu membawa barang.
d. Susunlah semen, kayu atau besi secara teratur agar mudah dibongkar dan mengurangi bahaya
kecelakaan.
e. Jangan membawa kayu dipundak dengan arah datar, karena akan mengurangi pandangan
kedepan.
f. Kerjasama yang teratur akan menunjang keamanan kerja.
g. Jangan membawa barang terlalu berat, carilah teman untuk membantunya.
h. Dalam membawa barang diatas truck, susunannya jangan terlalu tinggi, usahakan melebar,
dengan barang berat diletakan dibawah.
i. Sopir harus dapat bergerak bebas dalam cabin dan jangan membawa penumpang duduk
dipinggir bak.

13. Pengecatan.
Dalam pelaksanaan pekerjaan pengecatan agar diperhatikan:
a. Penyimpanan bahan cat, vernis dan bahan pengecatan lain harus disimpan dalam kaleng yang
tertutup dan jauhkan dari percikan api, sumber panas dan sinar matahari.
b. Siapkan alat pemadam kebakaran didekat tempat penyimpanan bahan cat.
c. Cat semprot mudah, bersih dan cepat dalam pelaksanaan, tetapi pada umumnya sangat
mudah terbakar dan menimbulkan gas racun.
d. Jauhkan terjadinya banyak uap/gas dengan mengurangi tekanan udara dari kompresor.
e. Pakailah masker untuk melindungi pernafasan terutama apabila mengecat semprot diruang
tertutup.
f. Hati-hatilah dengan menggunakan bahan cat yang mengandung timah hitam. Pakailah
perlindungan muka dan yakini bahwa tubuh saudara terlndung dengan baju atau penutup lain,
hati-hatilah agar bahan cat tidak masuk kemulut, karena racun yang terkandung.
g. Lap kotor dan sisa cat adalah penyebab kebakaran, bersihkan tempat kerja saudara dari
barang ini.

14. Bahan Bakar


Penyimpanan bahan bakar perlu mendapatkan perhatian, mengingat bahan-bahan bakar peka
terhadap api. Dalam hal ini perlu diperhatikan antara lain:
a. Penyimpanan bahan bakar bensin jangan dilakukan didalam proyek kecuali ada izin dan
peralatan khusus.
b. Bahan bakar solar dapat disimpan di proyek dengan ketentuan tempat penyimpanan cukup
jauh dari kantor, bengkel, dan gudang serta harus diberi pagar keliling.
c. Dilarang merokok dekat penyimpanan bahan bakar.
d. Dilarang menggunakan bahan bakar bensin untuk membersihkan mesin peralatan.
15. Perkakas dan Alat Tangan
a. Mekanik atau tukang yang baik mengenal betul akan perkakas dan alat tangannya.
b. Simpanlah kunci dan alat-alat perkakas lainnya didalam laci atau lemari dan susunlah secara
teratiir dan rapi, agar tidak banyak waktu terbuang untuk mencarinya.
c. Gunakanlah perkakas atau alat tangan lain dengan cara yang baik dan pilih perkakas yang
masih dalam keadaan baik.
d. Gunakanlah perkakas dan alat yang cocok dengan fungsinya.
e. Hanya alat yang berisolasi atau tidak meneruskan listrik boleh dipakai apabila ada
kemungkinan bahaya listrik.
f. Hanya alat yang tidak menimbulkan api boleh digunakan didekat bahan yang mudali terbakar
atau meledak.
g. Jangan sembarangan meletakan perkakas atau alat di lantai, dan bawalah alat tersebut dalam
kotak dan tas.
h. Selama bekerja simpanlah perkakas dan alat yang tajam dan runcing di tempat yang aman
agar tidak terjatuh menimpa orang.
i. Berhati-hatilah dalam menggunakan alat listrik, periksalah dahulu kabelnya dam periksa
apakah masih berfungsi baik.
j. Berhati-hatilah dalam menggunakan pistolet, pemaku beton. Selalu pegang pada posisi yang
stabil.

16. Peralatan Bengkel.


a. Hati-hatilah dan waspada terhadap pipa listrik, air dan sebagainya dari mesin, dan jangan
bekerja dengan mesin yang sama sekali tidak kenal tanpa berkonsultasi.
b. Diingatkan bahwa memperbaiki atau menservise mesin dalam keadaan jalan adalah sangat
berbahaya.
c. Jangan meninggalkan mesin dalam keadaan jalan tanpa diawasi.
d. Sebelum mesin dijalankan yakinlah bahwa mesin tersebut dalam kondisi baik.
e. Rambut yang panjang dan baju yang kedodoran menjadi penyebab utama kecelakaan dalam
bekerja dengan mesin bengkel.
f. As transmisi air banyak menyebabkan kecelakaan yang membawa maut.
g. Jangan membersihkan mesin dengan bensin karena akan mengundang kebakaran.
h. Hati-hatilah bekerja dengan roda gigi, rambut yang panjang dan baju yang terlalu longgar
akan terseret dan berputar.
i. Mesin potong besi dapat dengan mudah memotong tangan, hati-hatilah dalarn menggunakan
dan beri pelindung pada mesin tersebut.
j. Mesin gergaji kayu adalah mesin yang paling berbahaya. Gunakanlah tenaga kerja yang
berpengalaman dan berilah pelindung gergaji.
k. Pakailah kacamata pengaman dan sarung tangan pada waktu bekerja dengan mesin gerinda.
Gambar 3.1. Safety and Health Protective Equipment
BAB IV
PENYAKIT AKIBAT KERJA

Obyektif :
Setelah menyelesaikan bab ini mahasiswa mampu mengklasifikasikan penyakit akibat
kerja, menyebutkan macam-rnacam penyakit akibat kerja serta dapat menjelaskan cara-
cara pencegahannya.

4.1. Definisi Umum


Secara umum penyakit akibat kerja dapat juga disebut sebagai penyakit jabatan yang berarti
penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau didapat pada waktu menjalankan pekerjaannya.
Menurut Undang-undang Kecelakaan disebutkan bahwa penyakit akibat kerja adalah penyakit
yang timbul karena hubungan kerja termasuk kecelakaan.Penyakit akibat kerja harus mendapat
perhatian secara khusus, hal ini dikarenakan bahwa:
1. Penyakit yang terjadi sebenamya dapat di cegah, untuk itu perlu adanya kesadaran dan
kemauan.
2. Penyakit yang terjadi dapat menimbulkan kelalaian/cacat yang tidak dapat dipulihkan
kembali.
3. Kemungkinan cacat mempunyai frekuensi yang besar.
4. Menyebabkan hilangnya waktu kerja.
5. Penyakit yang timbul/terjadi adalah akibat tmdakan/perbuatan manusia itu sendiri.
Penyakit adalah akibat dari apa yang dikerjakan atau yang dihasilkan dipekerjakan, maupun
peralatan yang dipakai untuk kerja.

4.2. Etimologi Penyakit


Faktor-faktor yang menyebabkan tenadinya penyakit akibat kerja dapat dibagi dalam beberapa
golongan yaitu:
1. Golongan fisik, antara lain:
a. Suara gaduh, bising dapat mengakibatkan pekak atau tuli.
b. Tekanan yang bembah-ubah dapat menyebabkan penyakit caisson, malaria, filariasis dan
lain-lain.

1 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


c. Bakteri, antara lain penyakit anthrax yang ditularkan hewan kepada manusia.
d. Jamur dapat rnenyebabkan penyakit kulit, panu (pityriasis versicolor), Blasomycosi.
e. Tumbuh-tumbuhan, getah tumbuh-tumbuhan dapat rnenyebabkan penyakit kulit
(Demiabosis).
f. Virus

2. Golongan Kimia, misalnya:


a. Gas, seperti CO, H2S, HCN Amoniak dapat menyebabkan keracunan pada tenaga kerja.
b. Uap, diantaranya uap dari logam yang dapat menyebabkan penyakit kulit meradang,
keracunan dan mental Fume Fever.
c. Larutan/zat kimia dapat menyebabkan penyakit kulit, dennatitis, luka bakar.
d. Debu, penimbunan debu dalam paru-paru, menyebabkan penyakit tertentu antara lain:
- Siliconis disebabkan oleh Si02 bebas.
- Byssinosis disebabkan oleh debu kapas.
- Asbestosis disebabkan oleh debu asbes.
- Stenosis disebabkan oleh debu yang inengandung Fe203.

3. Golongan Hayati (Biologik/Infeksi)


a. Cacing, dapat menyebabkan Ancylostomiasis, sehitosomiasis.
b. Serangga, misalnya lebah, kutu, pinjal atau nyamuk dapat menularkan penyakit malaria,
Filariasis dan lain-lain.
c. Bakteri, antara lain penyakit Anthrak yang ditularkan hewan kepada manusia.
d. Jamur dapat menyebabkan penyakit kulit panu Pityriasis Versicolor), Blastomycosis.
e. Tumbuh-tumbuhan, getah tumbuh-tumbuhan dapat menyebabkan penyakit kulit
(Dermabosis)

4. Golongan Faal
a. Sikap badan yang kurang baik maupun beban berat dapat menyebabkan keluhan-keluhan
dipinggang.
b. Kesalahan-kesalahan konstruksi mesin/peralatan menimbulkan kelelahan fisik, balikan
dapat terjadi perubahan fisik tubuh.

2 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


c. Kerja yang berdiri terus menerus dapat mengakibatkan varices pada tungkai bawah atau
platvoet pada kaki tenaga kerja.

5. Golongan Mental Psikologik


a. Pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan pendidikan.
b. Beban tanggung jawab yang berat diluar batas kemampuannya (managenal illness).
c. Tidak dapat bekerjasama dengan kawan sekerja, atasan maupun bawahan.

4.3. Penyakit Akibat Kerja Pada Imdustri Konstruksi


Berdasarkan jenis pekerjaan, maka penyakit akibat kerja pada industri konstruksi dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Pengemudi Tractor/Road.
a. Menimbulkan keletihan di bagian leher dan bahu.
b. Syndron Sciatica yaitu keluhan nyeri dan pegal dari tulang belakang terutama yang
kadang menjalar sampai ketungkai kaki.
c. Menyebabkan terjadinya kerusakan kecil pada persendian tulang belakang, hal ini dapat
di lihat dalam pemotretan sinar Rountgen (X-ray).
2. Pekerjaan dengan peralatan yang bergetar, seperti:
Power Chain Saw, Vibrating Plate Temper, Concrete Vibrator, dapat mengakibatkan gangguan
sirkulasi darah tepi dan gangguan system syaraf antara lain:
a. Waxy white finger atau disebut pula white finger diseases.
b. Finger cyanosis, finger numbness.
c. Foot numbness.
d. Lowback pain (lumbago).
e. Vibration syndrom.
f. Gangguan pendengaran sampai tuli.
3. Operator. (Generator, Tiang pancang, Stone Crumsher dan sebagainya)
Akibat suara yang mempunyai frekuensi tinggi dapat menimbulkan :
a. Gangguan pendengaran sampai dapat terjadi ketulian.
b. Pada tempat tertutup dapat menyebabkan gangguan pernafasan atau Heat Stroke.
c. Pneumocconiosis.

3 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


4. Tukang Kayu ( Carpenter, Jomer)
a. Banyak keluhan nyeri pinggul dan tulang belakang
b. Syndrom Seiatica
c. Uegcnerasi tulang pinggang (lumbal spinc) akibal beban yang terus rnenerus sehingga
kondisi tubuh dasar berubah dan sukar digerakkan.
d. Kelainan kulit dan kika-kika kecil dijaringan tangan.
e. Gangguan di lutut, adanya ras nyeri di lutut (patella) krepitasi sampai dapat terjadi
degenerasi struktur persendian lutut.

5. Tukang Batu
Pemasangan batu bata, pencampuran semen dan lain-lain, hal ini dapat menyebabkan penyakit:
a. Semen dermatitis, yaitu peradangan kulit akibat kontak dengan semen.
b. Kelelahan pinggang terutama adanya rasa nyeri di daerah lumbal di bagian bawah.

6. Tukang Las.
Terutama pada pekerja yang tidak memakai kacamata pengaman. Penyakit yang dapat terjadi
adalah :
a. Conjuctivities, yaitu radang pada conjuctive (selaput putih)
b. Rentinitis sampai terjadi luka di retina.
c. Heat Cataract, akibat radiasi dan panas yang terus menerus sehingga lensa mata
mengeruh.
d. Gangguan pernafasan, dari uap/gas yang timbul pada pengelasan.
e. Kelainan kulit akibat panas terbakar.

7. Pekerjaan Dengan Bahan Peledak.


Pada penggunaan maupun perawatan yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya keracunan
terutama oleh asam nitrat, kelainan terjadi juga pada system darah maupun systern syaraf.

8. Pekerjaan Pengecatan (Tukang Cat, Tukang Kapur/Aci dan lain-lain)


a. Gangguan yang terjadi dapat di mulai dari gejala batuk ringan sampai terjadi gangguan
pernafasan.

4 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


b. Pneumokoniosis, Astma Bronchiale.
c. Peradangan kulit.
d. Penyakit ginjal, sampai terjadi kerusakan Glomerus, akibat terpapar oleh Xyleno,
Toluene dan sebagainya.
e. Gangguan system syaraf akibat terpapar oleh oleh solventnaptha yang dapat
menimbulkan defect visual memory maupun prolonged reaction time.

9. Petugas Survey, terutama yang bekerja pada jaringan Irigasi di Rawa, Sungai
a. Heart stroke.
b. Athlete’s foot, akibat kondisi yang basah dan lembab sehingga mudah terserang jamur.
c. Malaria, kasus penyakit ini ternyata cukup banyak pada dewasa ini terutama petugas
lapangan.
d. Gangguan percemaan, mual muntah sampai terjadi peradangan (grasitis akut)
e. Penyakit kulit akibat serangan serangga kupu-kupu, kumbang.

10. Petugas Laboratorium.


Terutama pada laboratoriiun aspal, mereka dapat terpapar oleh Xylene, White Spirit, Methylene
Cloride yang dapat berakibat adanya gangguan pada system darah terutama pada organ-organ
haemopoetic dan gangguan faal hati.

11. Pekerjaan Kantor, Administrasi dan lain-lain


a. Syndrom selatic.
b. Gangguan penglihatan
c. Gangguan pernafasan
d. Psikosomatis

4.4. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja


Penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja merupakan suatu hambatan pada tingkat pengamanan
maupun keamanan dalam bekerja. Dalam hai ini perlu adanya pengertian serta usaha
pencegahan, baik untuk keselamatan maupun kesehatan kerja. Selain perlu adanya hubungan
baik antara semua tenaga kerja maupun pimpinan. Hasil penelitian di Amerika, Philipina,

5 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


maupun Eropa, menunjukan bahwa pemeriksaan kesehatan sebelum dari sesudah bekerja
ternyata merupakan suatu penghematan biaya (effective cost) dibandingkan dengan biaya
pengobatan danperawatan.Usaha pencegahan akibat kekurangan segi teknis di bidang konstruksi
dapat dilakukan dengan design kerja yang baik, serta organisasi/pengaturan kerja.Pencegahan
penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan :
1. SUBSTITUSI, yaitu dengan mengganti bahan-bahan yang membahayakan dengan bahan
yang tidak berbahaya tanpa mengurangi hasil pekerjaan maupun mutunya.
2. ISOLASI, yaitu menjauhkan atau memisahkan suatu proses pekerjaan yang mengganggu
atau membahayakan.
3. VENTELASI, yaitu baik secara umum maupun local dengan udara bersih yang dialirkan ke
ruang kerja atau dengan menghisap udara keluar.
4. ALAT PELINDUNG DIRI, yaitu alat ini berbentuk pakaian, topi pelindung kepala, sarung
tangan, sepatu yang berlapis baja bagian depan untuk menahan beban yang berat, masker
khusus untuk melindungi alat pernafasan terhadap debu atau gas yang berbahaya, kaca mata
khusus dan sebagainya.
5. PEMERIKSAAN KESEHATAN, yaitu hal ini meliputi pemeriksaan kesehatan sebelum
bekerja dan pemeriksaan secara berkala untuk dapat mencari faktor penyebab yang
menimbulkan gangguan maupun terhadap kelainan tenaga kerja.
6. LATIHAN DAN INFORMASI SEBELUM BEKERJA, yaitu agar pekerja mengetahui dan
lebih berhati-hati kemungkinan adanya bahaya.

6 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


BAB V
PENERAPAN K3 PADA PROYEK KONSTRUKSI

Obyektif :
Setelah menyelesaikan bab ini mahasiswa mampu menjelaskan pengelolaan K3 dan
strategi penerapan K3 pada proyek konstruksi.

1.1. Tahap Pengelolaan K3 Proyek Konstruksi

7 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


8 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Gambar 5.1. Tahap Pengelolaan K3 Proyek Konstruksi

9 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


1.2. Strategi Penerapan K3 Proyek Konstruksi

10 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Gambar 5.2. Strategi Penerapan K3 Proyek Konstruksi

11 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


BAB VI
ASPEK ERGONOMI UNTUK K3 INDUSTRI KONSTRUKSI

Obyektif :
Setelah menyelesaikan bab ini mahasiswa mampu menjelaskan penerapan aspek
ergonomi pada K3 industri konstruksi.

Berdasarkan kajian ergonomi, maka sumber kecelakaan dan sakit / penyakit akibat kerja
dapat dikaji 3 (tiga) aspek pokok, yaitu : (1) karakteristik pekerjaan; (2) lingkungan kerja; dan
(3) organisasi kerja (Manuaba, 2000). Di samping ketiga sumber utama tersebut, maka yang
perlu dicermati adalah perilaku atau budaya kerja.

1.1. Aspek Karakteristik Pekerjaan


Penerapan kaidah ergonomi dari aspek karakteristik pekerjaan dapat dilakukan dengan
mencermati beban tugas dan stasiun kerja yang terproyeksi pada pengerahan tenaga otot, sikap
kerja dan interaksi antara manusia-mesin seperti uraian berikut ini.

1.1.1. Pengerahan tenaga otot


Aktivitas kerja fisik seperti halnya pada praktek kerja kayu lebih memerlukan
pengerahan tenaga otot dalam jumlah besar, lebih membutuhkan konsumsi energi dan dapat
memberikan beban yang kuat pada jantung dan paru (Grandjean, 1993). Kontraksi otot
memerlukan energi dan menghasilkan zat sisa metabolisme. Ketersediaan energi tergantung pada
ketersediaan oksigen dan zat makanan yang dihantarkan oleh sirkulasi intramuskular. Kontraksi
kontinyu dan monoton akan menyebabkan oklusi pembuluh darah intramuskular sehingga
mengurangi produksi ATP dan menyebabkan terbentuknya asam laktat akibat metabolisme
anaerobik. Penurunan energi dan akumulasi asam laktat akan mempercepat timbulnya kelelahan
dan keluhan otot skeletal yang apabila terakumulasi akan menimbulkan nyeri otot (Waters &
Bhattacharya, 1996).
Untuk proses produksi pada bengkel kayu, pekerjaan yang dominan dan membutuhkan
pengerahan tenaga otot yang relatif besar adalah kegiatan mengangkat dan mengangkut

12 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


kayu secara manual, mendorong kayu pada saat proses pemotongan, pengetaman,
penebalan dan pembelahan, serta pada saat menarik atau mendorong pisau mesin -mesin
kayu.
Hal-hal pokok yang harus dipahami oleh pekerja terhadap aktivitas mengangkat
dan mengangkut adalah sebagai berikut (Helander, 1995; Grandjean, 1993; Thurmann
dkk, 1988; Suma’mur, 1982) :
1. pegangan harus tepat dan diupayakan memegang dengan tangan penuh;
2. lengan harus berada sedekat mungkin dengan badan dan dalam posisi lurus;
3. lutut dibengkokkan dan punggung harus tetap lurus;
4. dagu ditarik segera setelah kepala bisa ditegakkan;
5. posisi kaki diatur sedemikian rupa sehingga mampu mengimbangi momentum
yang terjadi; dan
6. beban diusahakan sedekat mungkin dengan pusat gravitasi tubuh.

Di samping kecukupan gizi kerja dan jenis pekerjaannya, kelelahan otot juga dapat
timbul karena sikap kerja yang membutuhkan pengerahan tenaga otot yang melampaui batas-
batas kemampuan baik gerakan maupun kekuatan otot. Oleh karena itu, di dalam mendesain
stasiun kerja, hendaknya selalu diupayakan agar tidak menyebabkan timbulnya sikap kerja
paksa.

6.1.2. Sikap kerja


Sikap kerja hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga tidak menimbulkan
sikap paksa yang melampaui kemampuan parameter fisiologis tubuh (Grandjean dan Kroemer,
2000; Manuaba, 1998). Sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat memegang, mengangkat dan
mengangkut, duduk atau berdiri terlalu lama dan lain sebagainya (Ferreira, 2005; Ferguson, dkk.,
2005; Chung, dkk., 2003; Dempsey, 2003; Adnyana, 2001).
Sikap kerja yang dijumpai dalam proses produksi pada bengkel kayu adalah berdiri,
membungkuk, jongkok dan berjalan yang dilakukan secara berulang, tidak teratur dan tidak
alamiah sambil mengangkat dan mengangkut material, menarik pegangan pisau mesin kayu serta
memukulkan palu dan merakit benda kerja seperti yang ada pada bengkel kayu Jurusan Teknik
Sipil PNB (Gambar 2.4 – 2.9). Sikap tidak alamiah ini terjadi karena interaksi antara pekerja dan

13 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


alat kerja yang kurang berimbang atau alat kerja yang digunakan kurang sesuai dengan
antropometri pekerja serta kurangnya pemahaman tentang sikap kerja yang sehat dan aman.
Kondisi tersebut jelas dapat menyebabkan terjadinya gangguan otot skeletal dan kelelahan dini
yang dapat menurunkan aktivitas serta motivasi kerja (Grandjean dan Kogi, 1971). Oleh karena
itu, dalam mendesain kondisi kerja maka perlu dipertimbangkan secara cermat kondisi interaksi
antara pekerja dengan mesin sebagai alat kerja.

6.1.3. Interaksi manusia-mesin


Dalam hal perancangan alat kerja, penerapan ergonomi pada umumnya merupakan
aktivitas rancang bangun (desain) atau rancang ulang (redesain) yang disesuaikan dengan
kemajuan teknologi dengan tanpa melupakan unsur anatomi, psikologi, lingkungan, dan
kesehatan kerja. Untuk memudahkan proses perancangan atau perbaikan suatu produk/alat bantu
kerja, diperlukan pemahaman tentang antropometri, yaitu ilmu yang mempelajari proporsi
ukuran dari setiap bagian tubuh manusia (Pulat, 1992). Data ukuran tubuh ini digunakan untuk
menentukan dimensi atau ukuran alat dan perlengkapan kerja sehingga tercipta keserasian antara
alat dengan pemakainya (Manuaba, 2000; Sanders & McCormick, 1987; Grandjean, 1993 ;
Pulat, 1992; Suma’mur, 1982).
Menurut Pheasant (1988), ada tiga informasi penting yang diperlukan untuk dapat
memilih ukuran terbaik yang menciptakan keserasian antara pekerja dengan mesin, yaitu :
1) karakteristik ukuran tubuh dari populasi pengguna/pekerja;
2) bagaimana karakteristik ukuran tubuh tersebut memberikan rasa nyaman dalam bekerja;
3) kriteria tentang keserasian yang efektif antara hasil rancangan / produk dengan pengguna.
Atas dasar teori tersebut, maka untuk menciptakan keserasian antara alat kerja dengan
pengguna/pekerja, maka aspek ergonomi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan ukuran
tubuh populasi pekerja pada bengkel kayu adalah sebagai berikut :
1) ruang gerak (clearance)
Penempatan alat atau material harus diatur sedemikian rupa sehingga pekerja mempunyai
ruang gerak yang optimal untuk bekerja dengan aman dan nyaman. Ruang gerak yang
tersedia harus dirancang berdasarkan ukuran pengguna (presentil-95), karakteristik dan jenis
aktivitas. Untuk aktivitas kerja yang dinamis seperti pada bengkel kayu, pengaturan ruang
gerak ini sangat menentukan kelancaran proses produksi. Sebagai contoh, hasil pengamatan

14 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


dalam studi pendahuluan yang dilakukan pada bengkel kayu Jurusan Teknik Sipil PNB
menunjukkan ruang gerak yang kurang memadai. Jarak antara mesin yang satu ke yang
lainnya berkisar antara 1,2 m – 1,5 m. Pada umumnya mahasiswa hilir-mudik, berpindah dari
mesin yang satu ke mesin yang lainnya sambil membawa kayu dengan ukuran panjang
sekitar 1,5 m. Hasil analisis data antropometri mahasiswa menunjukkan bahwa ukuran lebar
bahu dan jarak bentang ujung jari kiri dan kanan pada persentil-95 masing-masing adalah
0,52 m dan 1,825 m. Dengan demikian, areal sirkulasi yang ada relatif sempit untuk
memfasilitasi pergerakan mahasiswa selama melakukan tugasnya. Areal sirkulasi lalu-lintas
yang sempit dengan aktivitas yang dinamis sangat memungkinkan terjadinya kecelakaan
kerja seperti tertabrak, menabrak dan tersandung. Data yang dilaporkan oleh the U.S Bureau
of Labor Statistic’s Supplementary Data Sistem pada tahun 1987 menunjukkan bahwa
kecelakaan kerja yang sering terjadi di industri kayu adalah ditabrak : 20,1%; menabrak :
7,8%; dan jatuh atau tersandung 6,6% (Hsiao & Stanevich, 1986). Oleh karena itu, desain
stasiun kerja perlu mempertimbangkan areal sirkulasi kerja. Bila dilihat dari penempatan
mesin-mesin pada bengkel kayu Jurusan Teknik Sipil PNB yang sudah bersifat permanen,
maka sangat sulit dan memerlukan investasi besar untuk melakukan redesain ruang gerak
melalui rekayasa teknik. Langkah perbaikan yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui
perbaikan organisasi, khususnya dalam penempatan mahasiswa pada saat proses produksi
yang memerlukan pengoperasian mesin.
2) jangkauan (reach)
Penempatan bahan dan alat bantu kerja harus disesuaikan dengan jangkauan lengan
maksimal (persentil-5). Apabila bahan dan alat kerja berada di luar jangkauan lengan
maksimal, maka akan menyebabkan terjadinya sikap kerja tidak alamiah seperti yang terjadi
pada bengkel kayu Jurusan Teknik Sipil PNB. Dari hasil studi pendahuluan telah diketahui
bahwa untuk bisa menjangkau material dan alat bantu, mahasiswa harus membungkuk atau
menjangkau terlalu jauh dari posisi kerjanya seperti yang terlihat pada Gambar 6.1 dan 6.2.

15 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Bahu terangkat tinggi
Punggung
membungkuk

Gambar 6.1. Sikap Kerja dalam Gambar 6.2. Sikap Kerja dalam
Proses Pemotongan Kayu dengan Pembuatan Lubang dengan Mesin
Mesin Gergaji Potong Bor

Pada mesin potong, mahasiswa harus menjangkau pegangan pisau yang berada 30,5
cm di luar batas jangkauan lengan (untuk persentil-5). Sedangkan pada mesin bor, posisi
awal engkel berada 36,5 cm di atas batas jangkauan lengan mahasiswa (untuk persentil-5)
Permasalahan interaksi manusia-mesin yang kurang proporsional juga dijumpai pada
proses perakitan benda kerja. Hal ini terjadi karena tidak tersedianya meja perakitan sehingga
memaksa mahasiswa untuk melakukan perakitan benda kerja dalam sikap jongkok seperti
yang terlihat pada Gambar 6.3

Duduk di atas benda


Jongkok,
kerja dan menekuk
membungkuk
lutut
dan bertumpu
pada ujung kaki

Gambar 2.6

Sikap Kerja Tidak Alamiah Pada Proses Perakitan Benda Kerja


Di samping karena ketidaksesuaian dimensi mesin dengan antropometri mahasiswa,
kondisi interaksi manusia-mesin yang tidak harmonis juga dapat disebabkan oleh kurangnya
pemahaman mahasiswa terhadap sikap kerja yang sehat dan aman seperti terlihat pada
Gambar 6.4 dan 6.5. Posisi meja kerja pada mesin serut dan belah sebenarnya dapat diatur
sesuai dengan batasan jangkauan mahasiswa, namun pengaturan seringkali tidak dilakukan

16 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


sehingga pada akhirnya mahasiswa melakukan tugasnya dengan sikap kerja yang tidak
alamiah.

Berdiri sambil Membungkuk sambil mendorong


menekuk lutut

Gambar 6.4. Proses Penyerutan Gambar 6.5. Proses Pembelahan Kayu


Kayu 1 Sisi dengan Mesin Perata dengan Mesin Belah

Kondisi interaksi manusia-mesin yang kurang harmonis seperti yang terlihat pada
Gambar 6.1 – 6.5 menyebabkan timbulnya sikap kerja paksa, keluhan otot skeletal dan
pengerahan tenaga otot yang berlebihan dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
kelelahan dini (Grandjean, 1993; Pulat, 1992; Sanders & McCormick, 1987). Oleh karena itu
diperlukan langkah perbaikan, di antaranya dengan melakukan redesain meja kerja yang
sesuai dengan jenis pekerjaan, kapasitas jangkauan lengan dan tidak menimbulkan sikap
kerja paksa.
3) kekuatan (strength)
Beban angkat harus disesuaikan dengan kekuatan pekerja. Dimensi dan panjang kayu
menentukan berat-ringannya beban yang diangkat oleh pekerja. Pekerja perlu memahami
batas kemampuan angkat masing-masing sehingga dapat menentukan kapan suatu beban
mampu diangkat sendiri atau harus berdua dengan rekan kerjanya. Pada bengkel kayu, beban
yang diangkat oleh pekerja yang dominan adalah bahan kayu seberat kurang lebih 30 kg dan
benda jadi seberat kurang lebih 45 kg. Menurut Grandjean (1993), beban angkat maksimum
untuk laki-laki muda dengan frekuensi angkat tidak lebih dari 1 kali per menit adalah seperti
disajikan pada Tabel 6.1.

17 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Tabel 6.1
Beban Angkat Maksimum (kg) untuk Laki-laki Muda dengan
Frekuensi Angkat ≤ 1 kali/menit.
Kondisi Jarak jangkauan diukur berdasarkan
panjang lengan
¼ lengan ½ lengan ¾ lengan 1 lengan
Sikap berdiri
Mengangkat dengan dua tangan, di 35 25 15 10
depan
Mengangkat dengan satu tangan, di 30 22 14 10
depan
Mengangkat dengan satu tangan, di 27 20 13 10
samping
Sikap duduk
Mengangkat dengan dua tangan, di depan 27 17 12 11
Mengangkat dengan satu tangan, di depan 35 22 14 10
Mengangkat dengan satu tangan, di 33 21 14 9
samping

Catatan : Untuk frekuensi > 1 kali per menit, maka beban angkat maksimum diturunkan
sebesar 30 %
Sumber : Grandjean, 1993. Halaman 113.

Sebagai contoh, hasil pengamatan pada bengkel kayu Jurusan Teknik Sipil PNB
menunjukkan bahwa sikap kerja pada saat mengangkat beban adalah berdiri, mengangkat dengan
dua tangan, jarak jangkauan kurang lebih ½ lengan, frekuensi ≤ 1 kali per menit, dan posisi
beban angkat di depan tubuh seperti terlihat pada Gambar 6.5.

18 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Mengangkat benda
kerja dengan 2 tangan

Gambar 6.6. Sikap Kerja Pada Saat Mengangkat


Beban

Dengan demikian, maka beban angkat maksimum adalah 25 kg. Oleh karena itu, untuk
pengangkatan beban yang diperkirakan > 25 kg, maka sebaiknya dilakukan oleh dua orang.
Berdasarkan paparan tersebut, apabila penerapan antropometri benar-benar dilakukan
dalam perancangan stasiun kerja dan pengaturan alat kerja, maka keharmonisan interaksi
manusia-mesin dapat terwujud, sikap kerja paksa dapat dihindari dan pengerahan tenaga otot
berkurang. Sebagai contoh, hasil redesain alat bantu kerja pada proses pengadukan spesi beton
dapat meningkatkan produktivitas hingga 64,18 % serta menurunkan tingkat kelelahan sebesar
20,86 % (Lilik, 2002).

6.1.4. Aspek lingkungan


Kondisi lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja seseorang baik secara
langsung maupun tidak langsung (Manuaba, 2000; Rodahl, 1989; Granham, D. 1992). Kondisi
mikroklimat, kebisingan, getaran, penerangan dan kualitas udara yang melebihi nilai ambang
batas atau standar yang telah direkomendasikan, dapat memperlemah fungsi tubuh, menurunkan
kinerja dan pada akhirnya menurunkan produktivitas kerja. Pada bengkel kayu, kondisi
lingkungan yang perlu dicermati adalah mikroklimat, kebisingan, getaran, penerangan dan kadar
debu yang tinggi.

A. Mikroklimat
Pekerja Indonesia pada umumnya beraklimatisasi dengan iklim tropis dengan suhu kering
antara 26 – 28 oC dan kelembaban relatif udara antara 70 - 80% (Manuaba, 1998a). Suhu udara
panas dapat menurunkan prestasi kerja dan derajat kesehatan seseorang karena sengatan panas
(heat stroke) yang dapat berakhir dengan kematian (Grandjean, 1993; Mutchler, 1991;

19 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Suma’mur, 1982). Untuk menghindari pengaruh paparan panas yang berlebihan, maka
pemantauan terhadap kondisi mikroklimat dalam lingkungan kerja sangat dianjurkan. Salah satu
sistem pengujian mikroklimat adalah dengan parameter indeks suhu basah dan bola (ISBB) atau
Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) index. Untuk pekerjaan berat yang dilakukan secara terus
menerus selama 8 jam kerja per hari (continues heavy works), the American Conference of
Government Industrial Hygienists (ACGIG) merekomendasikan nilai WBGT sebesar 25 oC, the
national institute for occupational safety and health (NIOSH) merekomendasikan nilai WBGT
sebesar 26 oC untuk kecepatan udara rendah (<1.5 m/ detik) dan 29 oC untuk kecepatan udara
tinggi (< 1.5 m/detik) (Mutchler, 1991). Sementara itu, berdasarkan Standar Nasional Indonesia
(SNI) 2004, pengendalian mikroklimat dilakukan dengan mengatur waktu kerja sehubungan
dengan tingkat paparan mikroklimat (panas) seperti yang disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 6.2
Pengaturan Waktu Kerja dan Istirahat Berdasarkan Kategori Beban Kerja
dan ISBB (derajat celcius)
Beban kerja
Pengaruh waktu kerja-istirahat
Ringan Sedang Berat
Kerja terus menerus 30,6 26,7 25,0
75% kerja, 25% Istirahat setiap jam 30,6 28 25,9
50% kerja, 50% istirahat setiap jam 31,4 29,4 27,9
25% kerja, 75% istirahat setiap jam 32,2 31,1 30
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2004.
Hasil pengukuran ISBB dalam studi pendahuluan pada bengkel kayu Jurusan Teknik
Sipil PNB yang dilakukan di antara pukul 08.00 – 13.00 WITA menunjukkan bahwa rerata suhu
kering 27,6 oC, rerata suhu basah 24 oC, dan rerata ISBB (WBGT) 25,08 oC. Dilihat dari nilai
ISBB, kondisi mikroklimat di lingkungan kerja masih di bawah nilai ambang batas untuk
pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus dengan kategori beban kerja sedang. Namun,
hasil pengisian kuesioner untuk evaluasi kondisi kerja menunjukkan bahwa dari 13 mahasiswa, 9
orang (69,23%) menyatakan bahwa suhu ruang tidak memadai. Hal ini kemungkinan terjadi
karena suhu tubuh akibat proses metabolisme cukup tinggi sehingga setelah terjadi konveksi atau
pertukaran suhu tubuh dengan suhu udara di sekitarnya masih dirasakan panas oleh tubuh
walaupun suhu udara dalam lingkungan kerja relatif rendah. Hal ini didukung oleh kondisi

20 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


mahasiswa yang terlihat basah oleh keringat pada saat apel siang sebelum mengakhiri kegiatan
seperti yang terlihat pada Gambar 2.10.

Pakaian kerja mahasiswa


basah oleh keringat

Gambar 6.7

Apel Siang Sebelum Mengakhiri


Aktivitas Kerja

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi mikroklimat pada bengkel kayu
masih perlu dicermati. Sebenarnya kondisi ventilasi dalam ruang cukup memadai. Hampir
sepanjang dinding bagian luar dipasang jendela-jendala kaca yang luas, namun hampir semuanya
selalu dalam kondisi tertutup karena kait angin atau engsel jendela yang rusak. Di samping itu,
apabila jendela dibuka, maka debu kayu akan beterbangan akibat pengaruh aliran angin.

B. Kebisingan
Kebisingan di tempat kerja dapat mengurangi kenyamanan dan ketenangan kerja. Selain
gangguan pendengaran, kebisingan juga menimbulkan akibat lain seperti tekanan darah
meningkat, denyut jantung dipercepat, kontraksi pembuluh darah kulit, meningkatnya
metabolisme, menurunnya aktivitas alat pencernaan, tensi otot bertambah sehingga mempercepat
timbulnya kelelahan yang pada akhirnya menurunkan produktivitas kerja (Suma’mur, 1982; Vce,
1991; Grandjean, 1993). Di Indonesia, berdasarkan SE Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan
Koperasi no. : SE 01/Men/1978, nilai ambang batas (NAB) pendengaran apabila dikaitkan
dengan waktu papar yang direkomendasikan adalah seperti yang disajikan pada Tabel 6.3.

21 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Tabel 6.3
Nilai Ambang Batas (NAB) Pendengaran dan Batasan Waktu Papar

Tingkat kebisingan Waktu papar


(dB (A)) (jam)
82 16
85 8
88 4
91 2
94 1
97 ½
100 1/4

Sumber : Labour Occupational Health Program U.C. Berkeley &


Maquiladora Health & Safety Support Network, 2000.

Tabel 6.3 menunjukkan bahwa untuk tingkat kebisingan ≥ 100 dB (A), waktu papar
maksimum adalah 15 menit (Labour Occupational Health Program U.C. Berkeley &
Maquiladora and Safety Support Network, 2000). Menurut Vce (1991), nilai intensitas
kebisingan di antara 70-80 dB (A) termasuk kategori mengganggu dan tidak nyaman untuk
melakukan percakapan, sementara intensitas kebisingan > 85 dB (A) dapat membahayakan
kesehatan, khususnya gangguan pendengaran. Untuk waktu papar 4 jam, maka NAB kebisingan
adalah ≤ 88 dB (A). Hasil studi pendahuluan pada bengkel kayu Jurusan Teknik Sipil PNB
menunjukkan bahwa intensitas kebisingan di empat sudut dan di tengah ruang berkisar antara 89
– 113 dB (A), dengan waktu papar terpanjang adalah 3 jam. Ini berarti bahwa intensitas
kebisingan yang ada dalam kategori yang sangat membahayakan kesehatan pekerja dan perlu
dilakukan tindakan korektif dengan segera.

C. Getaran
Reaksi setiap bagian tubuh terhadap getaran berbeda-beda dan yang paling peka adalah
mata. Getaran dengan akselerasi > 4 Hz akan menyebabkan gangguan kesehatan (Grandjean,

22 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


1993). Untuk kegiatan praktek kerja kayu Jurusan Teknik Sipil PNB, paparan getaran pada
tangan dialami mahasiswa pada saat menarik pegangan pisau gergaji potong, mesin bor dan
pada saat memegang benda kerja pada mesin Jig-saw. Hasil pengamatan langsung menunjukkan
bahwa apabila genggaman tangan pada pegangan pisau kurang kuat, maka lengan mahasiswa
terlihat bergetar. Untuk menahannya, maka diperlukan genggaman yang kuat yang dengan
sendirinya memerlukan pengerahan tenaga otot yang besar pula. Hal ini jelas sangat
membahayakan kesehatan para mahasiswa/pekerja.
Berdasarkan SNI 2004, pengendalian paparan getaran pada tangan-lengan adalah seperti
yang disajikan pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4
Pengendalian Getaran Tangan-lengan

Jumlah Waktu Paparan per Hari Nilai Percepatan Pada Sumbu Yang Dominan
Kerja Meter/detik kuadrat Gravitasi
(m/dt2) (m/dt2)
2 jam dan kurang dari 4 jam 6 0,61
1 jam kurang dari 2 jam 8 0,81
Kurang dari 1 jam 12 1,22
Catatan : 1 gravitasi = 9,81 (m/dt 2)
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2004.
Kombinasi antara kebisingan dan getaran juga dapat menimbulkan gangguan
pendengaran dan keseimbangan fungsi pendengaran (Bashiruddin, 2002).

D. Debu
Udara dengan kandungan debu, gas dan bahan kimia juga dapat meningkatkan risiko
timbulnya penyakit bagi pekerja yang terpapar. Penimbunan debu dalam paru dapat
mengakibatkan pneumokoniosis dan menyebabkan gangguan fungsi paru. Di samping ukuran
partikel debu, jenis kandungan zat dalam debu yang dihirup pada saat pernapasan juga dapat
mempengaruhi tingkat gangguan fungsi paru. Apabila kandungan debu, gas, dan bahan-bahan
kimia melampuai Nilai Ambang Batas (NAB) yang diperkenankan, maka jelas merupakan salah
satu sumber penyakit bagi pekerja yang terkena paparan (Wright, 1991; Heryuni, 1991;

23 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Suma’mur, 1982). Lingkungan kerja di bidang industri jasa konstruksi pada umumnya berdebu,
termasuk pada pekerjaan kayu. Sumber debu yang utama pada bengkel kayu adalah dari serbuk
kayu yang merupakan buangan dari proses pemotongan, pembelahan dan penyerutan
seperti yang terlihat pada Gambar 6.8.

Debu di sekitar
tempat kerja

Gambar 6.8

Serpihan dan Debu Kayu Hasil Buangan

Proses Produksi

Gambar 6.8 menunjukkan ruangan kerja yang penuh dengan serpihan dan debu kayu
yang sangat membahayakan kesehatan mahasiswa dan lingkungan sekitarnya. Untuk
mengendalikan efek paparan debu kayu tersebut, masing-masing mahasiswa sudah mendapatkan
masker untuk digunakan pada saat praktek, namun sebagian besar mahasiswa tidak
menggunakannya secara proporsional. Dari hasil wawancara diperoleh keterangan bahwa
mahasiswa merasa sulit bernafas apabila menggunakan masker. Hal ini terjadi kemungkinan
karena cara penggunaan yang tidak tepat atau kualitas bahan masker yang kurang memadai.

E. Penerangan
Kondisi penerangan di tempat kerja khususnya untuk pekerjaan yang dilakukan di
dalam ruang sangat penting untuk dicermati. Tingkat penerangan sangat berpengaruh
terhadap hasil kerja. Penerangan yang baik memungkinkan pekerja untuk dapat melihat
objek atau benda kerja secara jelas, cepat dan tanpa upaya tambahan yang tidak perlu
(Suma’mur, 1982). Penerangan yang baik juga akan meningkatka n kenyamanan serta
dapat meningkatkan produktivitas kerja. Hasil penelitian terhadap 15 perusahaan yang
dikutip oleh Sanders & McCormick (1987) menunjukkan bahwa dengan pengaturan
penerangan di tempat kerja yang memadai, mampu meningkatkan hasil kerja anta ra 4 –
35%. Sebaliknya penerangan yang kurang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi

24 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


penglihatan. Penerangan yang kurang baik dapat mengakibatkan kelelahan mental,
keluhan pegal dan sakit kepala di sekitar mata, kerusakan indra mata dan kelelahan mata
sehingga efisiensi kerja menurun (Grandjean, 1993; Suma’mur, 1982). Untuk kerja kayu
yang dilakukan dengan mesin (woodworking by machine), maka intensitas penerangan
yang dianjurkan adalah 500 – 700 lux (Grandjean, 1993). Hasil pengukuran yang
dilakukan dalam studi pendahuluan menunjukkan bahwa dengan sumber penerangan alam
yang masuk melalui jendela kaca yang terpasang sepanjang dinding bagian luar,
intensitas penerangan di bengkel kayu Jurusan Teknik Sipil PNB berkisar antara 603 –
639 lux. Untuk mengantisipasi cuaca yang kurang baik, juga sudah dipasang lampu
penerangan yang cukup sehingga masalah penerangan tidak perlu dikhawatirkan lagi.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan sangat berpengaruh
terhadap kinerja seseorang yang pada akhirnya menentukan tingkat produktivitas kerja. Ada
beberapa alternatif langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek negatif dari
kondisi lingkungan kerja, yaitu melalui rekayasa teknik, misalnya dengan perbaikan sistem
ventilasi udara. Selain rekayasa teknik, upaya mengurangi efek negatif dari kondisi lingkungan
kerja juga dapat dilakukan melalui perbaikan organisasi kerja (Grantham,1992), misalnya
melalui pengaturan waktu kerja.

6.2. Aspek organisasi


Organisasi kerja merupakan sistem yang dikembangkan untuk mengelola hubungan
timbal balik antara teknologi sebagai alat kerja dengan pekerja dalam satu kesatuan sistem.
Keberhasilan pemanfaatan teknologi sangat tergantung kepada ketepatan di dalam mendesain
organisasi kerja. Aplikasi Teknologi Tinggi akan berhasil apabila didukung oleh pengelolaan
SDM yang memadai. Pencapaian target produktivitas akan dapat dilakukan secara maksimal
apabila desain organisasi kerja menempatkan SDM sebagai pertimbangan utama (Manuaba,
2003b). Floris A. Maljers, Chief Exucutive Officer (CEO) Unilever N.V mengatakan bahwa
kendala terbesar yang dihadapi perusahaan dalam memenuhi tuntutan global adalah terbatasnya
SDM yang berkualitas dan bukan terbatasnya modal (Schuler & Jackson, 1996). Oleh karena itu,
kunci keberhasilan suatu organisasi kerja terletak pada keberhasilan manajemen di dalam
menempatkan SDM dalam sistem organisasi kerja. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar ergonomi
yaitu fitting the task to the man. Ergonomi menempatkan SDM sebagai pertimbangan utama di

25 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


dalam mendesain sistem kerja (Manuaba, 2003a; Bridger, 2003; Zink, 2000). Penerapan
teknologi baru membutuhkan waktu untuk mematangkan implementasinya. Penerapan teknologi
baru harus disertai dengan kesiapan SDM di dalam mengoperasikannya. Teknologi baru
biasanya diikuti dengan adanya tambahan tuntutan tugas bagi operator. Ketersediaan petunjuk
praktis atau manual tentang cara mengoperasikan serta memelihara alat baru yang digunakan,
termasuk hal-hal yang membahayakan atau perlu perhatian, sangat penting dan akan
memudahkan pekerja dalam mempelajari, memahami dan menguasai keterampilan yang
dibutuhkan untuk mengoperasikan teknologi tersebut. Bila diperlukan, dapat diselenggarakan
pelatihan khusus bagi karyawan yang akan mengoperasikan teknologi baru tersebut.
Di samping masalah keterampilan SDM, maka yang juga perlu diperhatikan dalam
pengaturan organisasi adalah masalah kesehatan dan kenyamanan kerja. Masalah kesehatan yang
penting untuk diperhatikan adalah masalah gizi kerja dan masalah pengendalian efek kondisi
lingkungan kerja seperti efek paparan panas, kebisingan, getaran, debu dalam udara dan
intensitas penerangan. Sedangkan masalah kenyamanan kerja dapat diciptakan melalui upaya
untuk membangun hubungan yang harmonis antar kolega, atasan dan bawahan atau sebaliknya
sehingga terbangun komunikasi dua arah serta budaya kerja yang kondusif.
Hasil pengamatan yang dilakukan melalui studi pendahuluan menunjukkan bahwa
sistem pembelajaran dalam Praktek Kerja Kayu Jurusan Teknik Sipil PNB ditinjau dari
beberapa aspek organisasi adalah seperti uraian berikut ini.

6.2.1. Kondisi Waktu kerja


Organisasi kerja merupakan alat penting yang menentukan efisiensi dan produktivitas
kerja. Oleh karena itu pihak manajemen harus mampu mendesain organisasi kerja sedemikian
rupa sehingga kemampuan manusia dapat termanfaatkan secara optimal dengan tetap
memperhatikan kesehatan, keamanan dan kenyamanan kerja (Manuaba, 2003c; Shiply, 1992).
Organisasi kerja antara lain mengatur waktu kerja dan alokasi sumber daya manusia (pekerja).
Total hasil kerja tidak selalu berbanding lurus dengan waktu kerja. Dalam beberapa kasus,
perpanjangan waktu kerja justru menurunkan hasil kerja dan mempunyai kecenderungan untuk
timbulnya kelelahan, gangguan penyakit dan kecelakaan (Dekker, dkk., 1996; Grandjean, 1993;
Suma’mur, 1982). Perpanjangan waktu kerja atau kerja lembur pada musim sibuk di mana
permintaan mencapai puncak sangat umum dilakukan oleh perusahaan, namun hasilnya

26 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


seringkali tidak sesuai harapan. Lehmann menyatakan bahwa perpanjangan waktu kerja hingga
total jam kerja melebihi 10 jam akan menyebabkan produktivitas menurun dengan drastis seperti
yang disajikan pada Gambar 6.9. (Grandjean, 1993).

A
120 o B
100 u C
80 t
60 p
40 u
20 t
Jam Kerja
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 per hari

Gambar 6.9.

Hubungan Antara Jam Kerja dan Output

Sumber: : Grandjean, 1993, halaman 201


Keterangan

A : Jam kerja normal

B : Perpanjangan waktu untuk beban kerja sedang


Pengaturan waktu kerja sangat
C : Perpanjangan erat
waktu kaitannya
untuk dengan
beban kerja berat kemampuan pekerja, tuntutan tugas
dan lingkungan kerja. Pengaturan waktu kerja yang tidak tepat dapat menciptakan suatu kondisi
kerja di mana terjadi ketidakseimbangan antara tuntutan tugas dengan kemampuan pekerja.
Tuntutan tugas yang kurang dari kemampuan pekerja akan menimbulkan kebosanan dan
sebaliknya tuntutan tugas yang melebihi kemampuan pekerja dapat menimbulkan kelelahan dini,
dan keduanya pada akhirnya akan menurunkan tingkat produktivitas. Oleh karena itu di dalam
melakukan pengaturan waktu kerja harus benar-benar diupayakan untuk dapat menciptakan
keseimbangan antara tuntutan tugas, lingkungan kerja dan kemampuan pekerja (Manuaba, 2000;
Grandjean, 1993).
Hasil pengamatan terhadap waktu kerja dalam studi pendahuluan menunjukkan bahwa
jadwal kerja – istirahat perlu diatur kembali. Menurut jadwal akademik, kegiatan praktek dimulai

27 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


pada pukul 08.00 dan berakhir pada pukul 15.00, dengan istirahat panjang selama 1 jam, yaitu
pada pukul 12.00 – 13.00. Kegiatan praktek diselenggarakan selama dua minggu. Kegiatan
penyampaian teori dasar, pengenalan alat-alat tangan dan pelatihan keterampilan dasar ini
diberikan pada minggu pertama selama lima hari kerja, mulai hari Senin sampai Jum’at. Hari
Sabtu dan Minggu mahasiswa libur. Pada minggu ke dua, mahasiswa mulai diberi pembekalan
tentang keterampilan kerja kayu dengan menggunakan mesin-mesin kayu.
Apabila dikaitkan dengan beban kerja yang masuk dalam kategori sedang dengan nilai
ISBB 25,08, maka proporsi waktu kerja dan istirahat masih dalam kategori aman, namun apabila
ditinjau dari tingkat kebisingan yang ada, maka perlu dilakukan pengaturan ulang. Berdasarkan
tingkat kebisingan yang ada yaitu antara 89 – 113 dB (A), maka sebenarnya waktu papar
maksimum adalah 15 menit. Oleh karena pengendalian melalui rekayasa teknik kurang
memungkinkan, maka cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan membatasi waktu papar
melalui pengaturan organisasi, yaitu melalui pengaturan jadwal kerja – istirahat dan penggunaan
Alat Pelindung Diri (APD).

6.2.2. Gizi kerja


Gizi Kerja adalah pemberian gizi yang diterapkan kepada masyarakat pekerja dengan
tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan, efisiensi dan produktivitas kerja yang setinggi-
tingginya. Status kesehatan dan keadaan gizi berhubungan erat dan berpengaruh terhadap
efisiensi dan produktivitas kerja. Menurut Tjipto (1990), gizi kerja adalah zat makanan yang
bersumber dari bahan makanan yang diperlukan oleh tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan
sesuai dengan jenis pekerjaan dan lingkungan kerjanya. Keadaan gizi kerja sangat penting untuk
menjaga keseimbangan antara daya yang masuk dengan daya yang diperlukan untuk melakukan
aktivitas kerja. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan komposisi dan pola makan yang
disesuaikan dengan karakteristik dan beban kerja. Untuk pekerjaan fisik seperti dalam praktek
kerja kayu, maka kebutuhan karbohidrat dan mineral lebih dominan (Grandjean, 1993; Astrand
& Rodahl, 1977). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi seseorang, yaitu
(Mulia, 2005) :
1. ukuran tubuh, tinggi dan berat badan
Semakin besar ukuran tubuh seseorang semakin besar pula kebutuhan kalorinya, meskipun
usia, jenis kelamin dan aktivitas yang dilakukan sama.

28 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


2. usia
Anak-anak dan remaja membutuhkan relatif lebih banyak kalori dan zat gizi lainnya
dibanding dengan orang dewasa atau tua, karena diperlukan selain untuk tenaga juga untuk
pertumbuhan.
3. Jenis kelamin
Laki-laki umumnya membutuhkan lebih banyak kalori dibandingkan dengan wanita. Hal ini
karena secara anatomis dan fisiologis, laki-laki mempunyai lebih banyak otot dan juga lebih
aktif.
4. Kegiatan/aktivitas
Pekerja berat akan membutuhkan kalori dan protein lebih besar dari pada mereka yang
bekerja sedang dan ringan. Besarnya kebutuhan kalori tergantung banyaknya otot yang
dipergunakan untuk bekerja serta lamanya penggunaan otot-otot tersebut. Di samping itu
protein yang diperlukan juga lebih tinggi dari normal, karena harus mengganti atau
membentuk jaringan baru yang lebih banyak dari pada keadaan biasa untuk mempertahankan
agar tubuh dapat bekerja secara normal.
5. Kondisi tubuh tertentu
Pada orang yang baru sembuh dari sakit akan membutuhkan lebih banyak kalori dan zat gizi
lainnya dari pada sebelum ia sakit. Pertambahan zat gizi tersebut diperlukan untuk
rehabilitasi kembali sel-sel/jaringan tubuh yang rusak selama sakit. Demikian pula, bagi
wanita hamil dan menyusukan anaknya akan memerlukan kalori dan zat gizi lainnya yang
lebih tinggi dari pada keadaan biasa. Tambahan ini diperlukan untuk pertumbuhan janin dan
produksi air susu dari si ibu.
6. Kondisi lingkungan (iklim setempat)
Pada musim hujan membutuhkan kalori lebih tinggi/banyak dibandingkan pada musim
panas. Demikian pula pada tempat-tempat yang dingin lebih tinggi dari pada tempat dengan
suhu panas. Di mana tambahan kalori pada tempat-tempat dingin diperlukan untuk
mempertahankan suhu tubuh.
Dengan mengetahui dan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan
kalori bagi tenaga kerja maka dapat disusun menu sesuai dengan kebutuhan akan gizi yang

29 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


diperlukan tubuh, sehingga tidak terjadi gangguan kesehatan akibat ketidakseimbangan antara
gizi yang dikonsumsi dengan gizi yang dibutuhkan atau dikeluarkan. Secara umum, kebutuhan
kalori untuk laki-laki dewasa pada usia produktif (20 – 39 tahun) adalah sekitar 2400 kilo kalori,
sedang untuk wanita adalah sekitar 2000 kilo kalori. Sementara itu, untuk pekerja kayu,
kebutuhan kalori adalah 3,43 kilo kalori/jam/kg berat badan (Suma’mur, 1995). Hasil observasi
awal dalam praktek kerja kayu Jurusan Teknik Sipil PNB menunjukkan bahwa dari 13
mahasiswa, hanya tiga orang (23,08%) yang sarapan lengkap (nasi dan lauk-pauk), lima orang
(38,46%) hanya minum kopi atau air putih, selebihnya (38,46%) tidak ada asupan sama sekali.
Bagi yang belum sarapan, baru mempunyai kesempatan untuk makan dan minum pada pukul
11.00 atau tiga jam setelah bekerja. Sementara itu rata-rata indeks massa tubuh (IMT) mahasiswa
adalah 22,07. Menurut WHO, batas IMT laki-laki untuk kategori normal adalah 20,1 – 25
(Anonim, 2008). Sedangkan menurut Wikipedia (2008), secara umum batasan IMT untuk orang
dewasa dalam kategori normal adalah 18 – 25. Dengan demikian status gizi mahasiswa masih
dalam kategori normal. Walaupun demikian, apabila ketidakseimbangan antara asupan dan
pengeluaran daya terjadi berulang dan dalam jangka waktu yang lama, maka akan dapat
mengganggu derajat kesehatan kerja.
Hingga saat ini, masih banyak pengusaha yang beranggapan bahwa pemberian makan
dan atau makanan tambahan berupa kudapan akan meningkatkan pengeluaran biaya dan
merugikan perusahaan. Namun banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa pengaturan
gizi sesuai dengan daya yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas kerja dapat meningkatkan
produktivitas kerja dan pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan perusahaan. Sebagai
contoh, pemberian teh manis dan istirahat pendek telah terbukti dapat meningkatkan
produktivitas kerja industri tahu secara signifikan sebesar 11,18% (Nuada dan Netrawati, 2004).
Penelitian sejenis juga telah membuktikan bahwa pemberian larutan gula garam dapat
meningkatkan produktivitas kerja bagian produksi perusahaan roti secara siknifikan sebesar
41,92% (Bayu, 2004).
Di samping dapat meningkatkan produktivitas, asupan daya sesuai dengan yang
dibutuhkan untuk melakukan aktivitas kerja, dapat menekan terjadinya kelelahan. Hal ini terjadi
karena kebutuhan daya yang diperlukan untuk pengerahan tenaga otot dapat terpenuhi.

30 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


6.2.3. Kondisi informasi
Penyampaian rincian tugas, prosedur dan tata tertib kerja kepada pekerja secara jelas dan
terperinci dapat menekan timbulnya kesalahan. Dalam penyampaian informasi, ada beberapa
sistem yang dapat digunakan, antara lain dengan komunikasi lisan, informasi tertulis baik yang
disampaikan langsung, dipasang di papan pengumuman atau berupa slogan-slogan kerja yang
dipasang di tempat-tempat strategis yang dapat dilihat oleh karyawan setiap saat, dan dalam
bentuk buku acuan kerja (Cummings, B. 2003; Manuaba, 2003). Penggunaan media informasi
yang tepat dengan ukuran, warna dan penempatan yang proporsional dapat memperlancar proses
produksi dan meningkatkan produktivitas kerja (Manuaba, 2003; Woodson, 1986).
Hasil pengamatan terhadap kondisi informasi menunjukkan bahwa dalam kegiatan
praktek, masing-masing mahasiswa diberikan buku hand out sebagai acuan teori yang terkait
dengan kegiatan praktek kerja kayu. Selain hand out, mahasiswa juga diberikan job sheet yang
berisikan gambar kerja dari benda kerja yang harus dibuat oleh mahasiswa sebagai hasil kerja.
Namun apabila dicermati, maka kedua buku acuan tersebut kurang menekankan pentingnya
penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk di dalamnya kurang
memberikan informasi tentang penerapan prinsip-prinsip ergonomi.
Penyampaian informasi kepada mahasiswa tentang pelaksanaan praktek kerja kayu
diawali dengan tatap muka di kelas seperti yang terlihat pada Gambar 2.13. Pada kegiatan ini
instruktur memberikan teori dasar yang terkait dengan praktek kerja kayu dengan acuan silabus
dan hand out. Penyampaian teori dasar ini disampaikan selama 7 jam pelajaran pada hari
pertama, yaitu mulai jam 08.00 – 15.00, dengan istirahat panjang mulai jam 11.00 – 12.00. Pada
hari ke dua, kegiatan dilanjutkan di bengkel kerja, yang di awali dengan pengenalan alat-alat
tangan seperti yang terlihat pada Gambar 6.10.

31 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Gambar 6.11. Pengenalan Alat
Gambar 6.10. Penyampaian Tangan
Pengantar Teori di Kelas

Di dalam bengkel dengan mesin-mesin kayu yang berisiko tinggi terhadap


timbulnya kecelakaan dan sakit akibat kerja, keberadaan tanda bahaya atau simbul
keselamatan dan kesehatan kerja sangat minim dan tidak proporsional. Bahkan p apan
pengumumanpun tidak ada. Sebagai dampaknya, terlihat adanya budaya kerja yang tidak
ergonomis di mana prosedur kerja kurang terstruktur, mahasiswa memilih tempat kerja di
sembarang tempat dengan sikap kerja yang tidak alamiah sehingga efisiensi kerja relatif
rendah.

6.2.4. Kondisi sosial budaya


Rasa nyaman di tempat kerja dipengaruhi pula oleh kondisi sosial budaya di
lingkungan kerja, lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Pekerja akan
merasa nyaman bila keadaan keluarga, hubungan antar keluarga, antar pekerja dan antara
atasan dan bawahan berlangsung harmonis. Harmonisasi lingkungan dapat menyebabkan
pekerja lebih berkonsentrasi pada tugasnya masing-masing sehingga efisiensi tercapai
dan akhirnya pencapaian produktivitas bisa optimal (Manuaba, 2006; Manuaba, 2003).
Hasil pengamatan terhadap kondisi sosial budaya dalam sistem praktek kerja kayu
Jurusan Teknik Sipil PNB cukup harmonis. Hubungan antara mahasiswa dan dosen sudah
berjalan dua arah, namun karena waktu pendampingan kurang optimal, maka sebenarnya
kualitas kondisi hubungan tersebut masih bisa lebih dioptimalkan. Untuk hubungan antar
mahasiswa terlihat sudah harmonis. Kerjasama antar mahasiswa berjalan dengan baik,
namun masih terlihat adanya mahasiswa yang menggantungkan pertolongan temannya

32 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


dalam menyelesaikan tugasnya sehingga terlihat ada sebagian mahasiswa yang bekerja
keras, sebaliknya, sebagian lainnya terlihat banyak melakukan istirahat curian.
Dari paparan tentang berbagai permasalahan tersebut, maka tampak dengan jelas
bahwa sistem praktek kerja kayu Jurusan Teknik Sipil PNB perlu perbaikan secara
menyeluruh. Setelah mengkaji berbagai permasalahan ergonomi secara cermat, langkah
selanjutnya adalah menyusun urutan prioritas permasalahan yang ada sebagai dasar untuk
melakukan analisis solusi yang tepat sasaran dan terjamin keberlanjutannya. Apabila
dalam penetapan langkah solusi dituntut adanya pemanfaatan teknologi, maka perlu
dilakukan analisis teknologi tepat guna.

33 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


DAFTAR PUSTAKA

Antara Jatim. Menakertrans: Angka Kecelakaan Kerja Masih Tinggi Selasa, 15 Januari 2013
12:32 WIB. http://www.antarajatim.com/lihat/berita/102666/menakertrans-angka-
kecelakaan-kerja-masih-tinggi
Chong, Heap Yih dan Low, Thuan Siang. 2014. Accidents in Malaysian Construction Industry:
Statistical Data and Court Cases. International Journal of Occupational Safety and
Ergonomics (JOSE) 2014, Vol. 20, No. 3, 503–513
Copyright © International Labour Organization (ILO) and International Finance Corporation
(IFC) (2012) First published (2012). INDONESIA Baseline Report: Worker Perspectives
from the Factory and Beyond.
Dias, Luis Alves. 2009. Inspecting Occupational Safety and Health in the Construction Industry.
International Training Centre – International Labor Organization.
Kurkarni, G.K. 2007. Construction Industry: More needs to be done. Indian journal of
Occupational and Environmental Medicine. April 2007, Volume 11, Issue 1.
Manuaba, A. 1998. Safety Design to Prevent Accident and Injury – an Ergonomics Approach.
Bunga Rampai Ergonomi, Vol II. Denpasar : Program Studi Ergonomi – Fisiologi Kerja
Universitas Udayana.
Manuaba, A. 2000. Ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja. In : Sritomo Wingnyosoebroto
dan Stefanus Eko Wiranto. 2000. Proceeding Seminar Nasional Ergonomi 2000.
Surabaya : Guna Wijaya : 1- 4
Manuaba, A. 2003a. Total Ergonomics Approach to Enhance and Harmonize the Development
of Agriculture, Tourism and Small Scale Industry, with Special Reference to Bali.
Yogyakarta : National Congress and Seminar of the Indonesian Ergonomics Association
(PEI), 13 September 2003.
Manuaba, A. 2003c. Organisasi kerja, Ergonomi dan Produktivitas. Seminar Nasional
Ergonomi. Hotel Peninsula, Jakarta. 9 – 10 April 2003.
Philippines Statistic Authority. 2015. SAFETY AND HEALTH IN THE WORKPLACE.
LABSTAT Updates (Vol. 19 No. 14). September 2015.
Ramli, Soehatman. 2013. Smart Safety Panduan Penerapan SMK3 yang efektif. Dian
Rakyat:Jakarta

34 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)


Semarang, CyberNews. Angka Kecelakaan Kerja Jasa Konstruksi Tinggi.
https://www.academia.edu/6806670/Angka_Kecelakaan_Kerja_Jasa_Konstruksi_Tinggi.
Suara Karya, (2010), Angka Kecelakaan Kerja di Indonesia Masih Tinggi, Semarang.
(www.bataviase.co.id)
Tarwaka, 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Surakarta. Harapan Press.
the U.S. Bureau of Labor Statistics (2015). Census of Fatal Occupational Injuries Summary,
2014. http://www.bls.gov/news.release/cfoi.nr0.htm. For release 10:00 a.m. (EDT)
Thursday, September 17, 2015
Warta Ekonomi, (2 juni 2006) ”K3 Masih Dianggap Remeh,” (www.wartaekonomi.com)

35 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)

Anda mungkin juga menyukai