Disusun Oleh :
Nama: Muhammad Rifqi Anwar
NIM: 2018006152
Oleh:
Tak disangka hingga saat ini aspek "kesehatan dan keselamatan kerja" atau disingkat K-
3 belum mendapat perhatian serius di Indonesia. Kalaupun hal tersebut sering dibicarakan
diberbagai seminar dan diskusi, umumnya tidak disertai dengan konsep implementasi
yang jelas dan konkrit.
Kenyataan ini tentu tidak akan menguntungkan bagi Indonesia di masa mendatang, sebab
masalah tersebut sejak dua dekade silam sudah menjadi isu internasional yang serius,
karena berkaitan erat dengan berbagai masalah lainnya yang kini mendapat sorotan dunia.
Dalam industri modern, posisi pekerja profesional memang menjadi faktor penentu mati
hidupnya perusahaan. Sementara mendidik pekerja menjadi profesional selain
membutuhkan biaya tinggi juga waktu panjang. Karena itu demi menopang kehidupan
danperkembangan perusahaan aspek kesehatan dan keselamatan kerja perlu perhatian serius
agar kualitas para pekerja tidak mengalami degradasi.
Hal lain yang juga ikut mendorong perlunya perhatian serius terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja adalah menguatnya desakan akan penegakan hak-hak asasi manusia
(HAM) sebagai suatu fenomena global.
Dalam perspektif penegakan HAM, adanya jaminan terhadap kesehatan dan keselamatan
kerja di lingkungan perusahaan dipandang sebagai bagian integral dari penegakan hak-
hak asasi manusia.
Sementara yang juga menjadi salah satu kelemahan serius di Indonesia adalah rendahnya
kemampuan berkoordinasi, baik dalam perencanaan program maupun dalam pelaksanaan
suatu kebijakan.
Dalam soal kesehatan dan keselamatan kerja, misalnya, yang dibutuhkan minimal
koordinasi yang intens antara pihak yang terlibat dalam dunia kesehatan dan dunia
ketenaga-kerjaan, baik pada lingkup operasional, penentu kebijakan, maupun dengan elemen
yang terlibat dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
Dengan kata lain, kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilihat dari berbagai sisi, antara
lain:
Dari ruang lingkupnya K-3 dapat diartikan sebagai suatumasalah yang berkaitan dengan
Dunia Kesehatan dan Dunia Kerja yang serius saat ini dan menarik perhatian
masyarakat internasional.
Sebagai disiplin ilmu merupakan ilmu kesehatan yang memberikan perhatian besar
terhadap hubungan timbal balik antaraaspek kesehatan dan aspek kerja.
1.Usia, misalnya menempatkan pekerja yang terlalu tua atau terlalu muda sehingga tidak
sesuai dengan bidang kerja yang ditangani.
b. Faktor peralatan dan bahan baku, yang tidak memenuhi standar kesehatan dan
keselamatan, seperti:
3.Adanya kandungan racun, kuman dan radiasi pada bahan baku, alat dan hasil produksi.
Fokus dari ketentuan tersebut adalah pencegahan efek samping dari penggunaan teknologi
dalam industri --dari paling sederhana hingga tercanggih-- yang mengganggu tata kehidupan
dan lingkungan.
Sebagai anggota PBB dan ILO, Indonesia tampak berusaha memenuhi ketentuan tersebut.
Hal ini setidaknya tercermin pada serangkaian kebijakan yang ditempuh pemerintah baik
menyangkut institusionalisasi, legislasi maupun operasional.
Dalam aspek institusional, misalnya, pada tahun 1957 peme-rintahmembentuk
LembagaKesehatan Buruh yang kemudian diu-bah menjadi Lembaga Kesehatan dan
Keselamatan Buruh ditahun 1965. Untuk lebih mengefektifkan fungsi kesehatan dan kesela-
matan kerja, organisasi Departemen Kesehatan kemudian dilengkapi dengan Dinas Higiene
Perusahaan/Sanitasi Umum dan Dinas Kesehatan Tenaga Kerja Departemen Kesehatan.
Sementara De-partemen Tenaga Kerja membentuk Lembaga Higiene Perusahaan dan
Kesehatan Kerja (Hiperkes).
Kendala
Hasil satu survai menyebutkan bahwa hampir 37,2 5 perusahaan yang terdapat di Indonesia
tidak menyediakan biaya kesehatan dalam rencana pembiayaan perusahaan meski hampir
57% pihak manajemen perusahaan menengah mengaku paham akan pentingnya kesehatan
dan keselamatan kerja. Sedang sebagian besar perusahaan skala kecil umumnya tidak
menerapkan --bahkan tidak mengenal-- prinsip kesehatan dan keselamatan kerja. Lebih
menyedihkan lagi pada sektor informal hingga saat ini belum ada upaya pemantauan
terhadap implementasiK-3 dalam kegiatan usahanya.
Kondisi yang menyedihkan diatas memang menjadi kenis-cayaan dari sistem hubungan
kerja yang berlaku selama ini yang tak memungkinkan penerapan ketentuan K-3 secara
intens. Sistem hubungan Kerja borongan, Kerja kontrak sementara, Kerja Harian Lepas dan
sejenisnya memang tidak mendukung terlaksananya K-3.
Sesungguhnya semua itu terjadi karena dukungan politik dari pemerintah dalam
perlindungan pekerja jauh dari memadai. Dalam berbagai kebijakan mengenai ketenaga-
kerjaan dan dunia usaha, misalnya, terlihat dengan jelas belum semua aspek prinsipil
kesehatan dan keselamatan kerja terakomodir secara maksimal. Demikian pula ketentuan
audit kesehatan dan keselamatan kerja sering hanya bersifat formalitas belaka.
Namun diluar sebab-sebab diatas, tersendatnya penerapan K-3 di Indonesia juga disebabkan
oleh belum berkembangnya disiplin ilmu kedokteran okupasi sehinga jumlah dokter
okupasi di Indonesia masih sangat minim begitu pula klinik medik okupasimasih sangat
terbatas. (LS2