Anda di halaman 1dari 7

PROBLEMATIKA KESEHATAN DAN

KESELAMATAN KERJA (K3) DIINDONESIA

DOSEN PENGAMPU : Dianna Ratnawati , M,Pd

Disusun Oleh :
Nama: Muhammad Rifqi Anwar
NIM: 2018006152

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2019
PROBLEMATIKA KESEHATAN DAN

KESELAMATAN KERJA (K3) DIINDONESIA

Oleh:

Muhammad Rifqi Anwar (2018006152)

Tak disangka hingga  saat  ini  aspek  "kesehatan  dan keselamatan  kerja" atau disingkat  K-
3 belum mendapat perhatian  serius  di  Indonesia. Kalaupun  hal  tersebut sering dibicarakan
diberbagai  seminar  dan   diskusi, umumnya  tidak disertai dengan konsep implementasi
yang jelas dan konkrit.

Kenyataan  ini tentu tidak  akan menguntungkan bagi Indonesia di masa mendatang, sebab
masalah tersebut sejak dua dekade silam sudah  menjadi  isu internasional  yang serius,
karena berkaitan erat dengan berbagai masalah lainnya  yang kini mendapat sorotan dunia.

Dari  aspek  penggunaan teknologi,  misalnya  perkembangan teknologi  industri yang  maju


dengan  pesat  disatu sisi telah memberikan manfaat luar biasa bagi kehidupan ummat
manusia. Namun disisi  lain teknologi juga menebar beraneka ragam ancaman serius bagi
kesehatan  dan  keselamatan  masyarakat, terutama bagi para pekerja dan lingkungan sekitar
lokasi industri. Potensi ancaman terhadap  kesehatan  dan  keselamatan  kerja  tersebut ada
yang "latent"   ada   pula   yang   "manifest."   Begitu  pula  proses kemunculannya ada yang
berlangsung gradual  ada pula yang munculspontan.

Dari  sudut konfigurasi  ketenaga-kerjaan tampilnya "kelompok pekerja profesional" sebagai


elemen  vital bagi kelangsungan dan kemajuan perusahaan, mendorong perlunya perhatian
serius terhadap kelompok  pekerja, baik demi kelangsungan perusahaan maupun demi
peningkatan produktivitas.

Dalam  industri  modern,  posisi  pekerja  profesional memang menjadi   faktor penentu  mati
hidupnya  perusahaan.  Sementara mendidik  pekerja  menjadi profesional  selain
membutuhkan biaya tinggi juga waktu panjang. Karena itu demi menopang kehidupan
danperkembangan  perusahaan  aspek  kesehatan dan keselamatan kerja perlu perhatian serius
agar kualitas para pekerja tidak mengalami degradasi.
Hal  lain yang juga ikut  mendorong perlunya perhatian serius terhadap kesehatan  dan
keselamatan  kerja  adalah  menguatnya desakan  akan penegakan hak-hak asasi manusia
(HAM) sebagai suatu fenomena global.

Dalam  perspektif  penegakan  HAM,  adanya  jaminan  terhadap kesehatan dan keselamatan
kerja  di   lingkungan  perusahaan dipandang  sebagai bagian integral dari  penegakan hak-
hak asasi manusia.

Dimensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Di Indonesia, minimnya  perhatian  terhadap  kesehatan dan keselamatan kerja kemungkinan


besar disebabkan oleh ruang lingkup masalah  tersebut  yang amat  luas,  bersifat  lintas
sektor dan menyangkut  berbagai  aspek.  Oleh karenanya  pengelolaannya pun tentu  bersifat
lintas  sektor  dan membutuhkan koordinasi yang intens antar semua pihak terkait.

Sementara  yang juga  menjadi salah  satu kelemahan serius di Indonesia adalah rendahnya
kemampuan berkoordinasi,  baik dalam perencanaan program maupun dalam pelaksanaan
suatu kebijakan.

Dalam  soal kesehatan  dan keselamatan  kerja, misalnya, yang dibutuhkan minimal
koordinasi  yang  intens  antara  pihak yang terlibat  dalam dunia kesehatan  dan dunia
ketenaga-kerjaan, baik pada lingkup operasional, penentu kebijakan, maupun dengan elemen
yang  terlibat dalam pengembangan ilmu dan teknologi.

Dengan kata lain, kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilihat dari berbagai sisi, antara
lain:

Dari ruang  lingkupnya K-3  dapat diartikan sebagai suatumasalah  yang berkaitan  dengan
Dunia  Kesehatan dan  Dunia Kerja yang   serius   saat   ini dan   menarik  perhatian
masyarakat internasional.

Sebagai  disiplin  ilmu  merupakan  ilmu  kesehatan  yang memberikan perhatian besar
terhadap hubungan timbal balik antaraaspek kesehatan dan aspek kerja.

Sementara dari  aspek politik  dan kebijakan publik dapat dicerminkan dengan berbagai


peraturan dan kebijakan --baik global maupun  nasional yang bertujuan melindungi  pekerja
dan faktor yang   dapat   mengancam   kesehatan dan  keselamatannya  dalam pekerjaan.
Ancaman dan Gangguan

Berdasarkan  pengamatan, gangguan  dan ancaman terhadap kesehatan  dan keselamatan


kerja  di  Indonesia disebabkan oleh berbagai   faktor  yang   dalam keseharian   sering  luput
dari perhatian.  Berbagai faktor  penyebab tersebut dapat dibagi atastiga kelompok, yakni:

a. Faktor  Manusia, sebagai penyebab dominan (sekitar  80%) terganggunya  kesehatan dan


keselamatan kerja. Ini disebabkan manajemen   sumber daya  manusia dibanyak perusahaan
yang tidak cermat memperhatikan kondisi spesifik individual  yang berkaitan dengan
kesehatan dan keselamatan kerja, seperti:

1.Usia, misalnya menempatkan  pekerja yang terlalu tua atau  terlalu muda sehingga tidak
sesuai dengan bidang kerja yang ditangani.

2.Pengalaman,  pendidikan,   ketrampilan, misalnya menempatkan pekerja yang  kurang


terlatih  untuk jenis pekerjaan tertentu, atau kompetensi tidak sesuai dengan bidang
pekerjaan.

3.Kepribadian, yakni   berkaitan   dengan   tingkat ketelitian, keseriusan atau perilakuceroboh


dari pekerja.

4.Kesehatan  fisik  &   psikis,antara  lain  karena kelelahan dan sebagainya.

5.Jam kerja yang tidak teratur dan berlebihan.

b. Faktor peralatan dan bahan baku, yang tidak memenuhi standar kesehatan dan
keselamatan, seperti:

1.Peralatan tidak teruji dan atau berkualitas rendah.

2.Peralatan tidak egronomik.

3.Adanya kandungan racun, kuman dan radiasi pada bahan baku, alat dan hasil produksi.

c. Faktor lingkungan yang tidak kondusif bagi keselamatan dan kesehatan kerjaseperti:

1.Kualitas pencahayaan, suhu dan kebisingan.

2.Gelombang  elektromagnetik,  microwave,  radiasi,  dan sebagainya.

3.Kontaminasi biologi  (virus, kuman,  jamur, bakteri, dan sebagainya).

4.Pengolahan limbah tidak baik.


Implementasi K-3

Sebagai upaya  perlindungan pekerja, masalah "Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3)"


kini menjadi persoalan global, dan setiap negara tentu harus menyikapinya dengan langkah
konkrit dan terencana. Pada  lingkup internasional,  misalnya, PBB  melalui  ILO
(International Labour Organisation)  telah menetapkan ketentuan tentang "Accupational
Safety and Health" yang patut dilaksanakan oleh semua negara anggota.

Fokus  dari ketentuan tersebut adalah pencegahan  efek samping dari penggunaan teknologi
dalam industri --dari  paling sederhana hingga tercanggih-- yang mengganggu tata kehidupan
dan lingkungan.

Sebagai   anggota  PBB  dan ILO, Indonesia tampak berusaha memenuhi ketentuan  tersebut.
Hal ini setidaknya tercermin  pada serangkaian kebijakan  yang ditempuh pemerintah baik
menyangkut institusionalisasi, legislasi maupun operasional.

Dalam aspek  institusional,  misalnya,  pada tahun 1957 peme-rintahmembentuk
LembagaKesehatan Buruh yang kemudian diu-bah menjadi Lembaga Kesehatan dan
Keselamatan Buruh ditahun 1965. Untuk  lebih mengefektifkan fungsi  kesehatan dan kesela-
matan kerja, organisasi Departemen Kesehatan kemudian dilengkapi dengan Dinas Higiene
Perusahaan/Sanitasi Umum dan Dinas Kesehatan Tenaga Kerja  Departemen Kesehatan.
Sementara De-partemen Tenaga Kerja membentuk   Lembaga Higiene Perusahaan dan
Kesehatan  Kerja (Hiperkes).

Untuk   lebih  mengintensifkan   fungsinya,  kedua  institusi tersebut kemudian


dikembangkan menjadi  Sub Direktorat Kesehat-an Kerja Departemen  Kesehatan (kemudian
menjadiBadan Pusat Kesehatan Kerja) dan  Pusat Hiperkes Departemen Tenaga Kerja &
Transmigrasi. Sedang dalam aspek legislasi, perhatian terhadap kesehatan dan keselamatan
kerja  diwujudkan  dengan  terbitnya sejumlah undang-undang dan peraturan, antara lain:

a.Undang-undang Kerja dan Undang-undang Kesehatan Kerja tahun 1957.

b.Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

c.Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.


d.Undang-undang  No.  22  tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja.

e.Peraturan Menteri  Tenaga Kerja  dan Transmigrasi No.Per


02/Men/1980 Pemeriksaan  Kesehatan  Tenaga  Kerja dalam Menyelenggarakan Keselamatan
Kerja.

Implikasi  dari  ketentuan perundang-undangan tersebut, maka aspek kesehatan dan


keselamatan kerja  kini ikut dijadikan bahan pertimbangan formal  dalam  pemberian  usaha,
sementara sejumlah perusahaan  berskala besar  secara  khusus telah membentuk unit kerja
tersendiri untuk menangani masalah K-3, baik dengan bentuk departemen,  Divisi atau
Bagian sesuai dengan tingkat resiko yang dihadapi dalam pekerjaan.

Kendala

Lambannya penerapan ketentuan kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia tampak


selain disebabkan oleh rendahnya kesadaran para  pelaku usaha akan hal ini, juga  oleh
beragam faktor lain, dan karena itu perlu selusi yang bersifat menyeluruh.

Hasil satu survai menyebutkan bahwa hampir  37,2 5 perusahaan yang terdapat  di Indonesia
tidak menyediakan biaya kesehatan dalam rencana pembiayaan perusahaan  meski hampir
57% pihak manajemen perusahaan menengah mengaku paham akan pentingnya kesehatan
dan keselamatan kerja. Sedang sebagian besar perusahaan skala kecil umumnya tidak
menerapkan --bahkan  tidak mengenal--  prinsip  kesehatan  dan keselamatan  kerja. Lebih
menyedihkan lagi  pada sektor informal hingga  saat ini belum ada upaya pemantauan
terhadap implementasiK-3 dalam kegiatan usahanya.

Kondisi  yang menyedihkan  diatas memang  menjadi kenis-cayaan dari  sistem hubungan
kerja  yang  berlaku  selama ini yang tak memungkinkan   penerapan ketentuan  K-3  secara
intens. Sistem hubungan  Kerja borongan,  Kerja kontrak  sementara, Kerja Harian Lepas dan
sejenisnya memang tidak mendukung terlaksananya K-3.

Sesungguhnya  semua itu terjadi  karena dukungan politik dari pemerintah dalam
perlindungan pekerja jauh dari memadai. Dalam berbagai kebijakan mengenai ketenaga-
kerjaan dan dunia usaha, misalnya,  terlihat  dengan   jelas  belum  semua  aspek prinsipil
kesehatan  dan keselamatan  kerja  terakomodir secara maksimal. Demikian pula ketentuan
audit kesehatan dan keselamatan kerja sering hanya bersifat formalitas belaka.
Namun  diluar sebab-sebab diatas,  tersendatnya penerapan K-3 di Indonesia juga  disebabkan
oleh  belum berkembangnya disiplin ilmu kedokteran  okupasi sehinga   jumlah  dokter
okupasi  di Indonesia masih sangat  minim begitu  pula klinik  medik okupasimasih sangat
terbatas. (LS2

Anda mungkin juga menyukai