Anda di halaman 1dari 15

Makalah

Teori Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Latar Belakang
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum
diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh di
bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan
daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit
menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja
(produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu
tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu
memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat.

Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak lama.
Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan
pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja
semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.

Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020
mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan
dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh
seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta
mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia, yang penduduknya hidup dalam
lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya
dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.

1
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.

Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas
serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko
kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam
penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara
lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan
kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.

Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam bekerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan
karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada
diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan
dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk
menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada
masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.

Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya
dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan
sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat
kerja.

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa
maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka menimbulkan
konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula meningkatnya resiko
kecelakaan di lingkungan kerja.

2
Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam mencegah
terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya. Sejalan dengan
itu, perkembangan pembangunan yang dilaksanakan tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun
1969 tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan
menjadi UU No.12 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.

Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai
hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan
dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan perundangan-


undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya
yaitu Veiligheids Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai
menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada.

Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang
ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat, didalam tanah, permukaan air,
di dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.

Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari


perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian,
penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi
yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.

Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada pelaksaannya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya personil pengawasan, sumber daya manusia
K3 serta sarana yang ada. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk memberdayakan
lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan kerjasama dengan
mitra sosial guna membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan dengan baik.
1. Sebab-sebab Kecelakaan

3
Kecelakaan tidak terjadi begitu saja, kecelakaan terjadi karena tindakan yang salah atau kondisi
yang tidak aman. Kelalaian sebagai sebab kecelakaan merupakan nilai tersendiri dari teknik
keselamatan. Ada pepatah yang mengungkapkan tindakan yang lalai seperti kegagalan dalam
melihat atau berjalan mencapai suatu yang jauh diatas sebuah tangga. Hal tersebut menunjukkan
cara yang lebih baik selamat untuk menghilangkan kondisi kelalaian dan memperbaiki kesadaran
mengenai keselamatan setiap karyawan pabrik.

Diantara kondisi yang kurang aman salah satunya adalah pencahayaan, ventilasi yang
memasukkan debu dan gas, layout yang berbahaya ditempatkan dekat dengan pekerja, pelindung
mesin yang tak sebanding, peralatan yang rusak, peralatan pelindung yang tak mencukupi,
seperti helm dan gudang yang kurang baik.

Diantara tindakan yang kurang aman salah satunya diklasifikasikan seperti latihan sebagai
kegagalan menggunakan peralatan keselamatan, mengoperasikan pelindung mesin
mengoperasikan tanpa izin atasan, memakai kecepatan penuh, menambah daya dan lain-lain.
Dari hasil analisa kebanyakan kecelakaan biasanya terjadi karena mereka lalai ataupun kondisi
kerja yang kurang aman, tidak hanya satu saja. Keselamatan dapat dilaksanakan sedini mungkin,
tetapi untuk tingkat efektivitas maksimum, pekerja harus dilatih, menggunakan peralatan
keselamatan.

2. Faktor - faktor Kecelakaan


Studi kasus menunjukkan hanya proporsi yang kecil dari pekerja sebuah industri terdapat
kecelakaan yang cukup banyak. Pekerja pada industri mengatakan itu sebagai kecenderungan
kecelakaan. Untuk mengukur kecenderungan kecelakaan harus menggunakan data dari situasi
yang menunjukkan tingkat resiko yang ekivalen.

Begitupun, pelatihan yang diberikan kepada pekerja harus dianalisa, untuk seseorang yang
berada di kelas pelatihan kecenderungan kecelakaan mungkin hanya sedikit yang diketahuinya.
Satu lagi pertanyaan yang tak terjawab ialah apakah ada hubungan yang signifikan antara
kecenderungan terhadap kecelakaan yang kecil atau salah satu kecelakaan yang besar.
Pendekatan yang sering dilakukan untuk seorang manager untuk salah satu faktor kecelakaan

4
terhadap pekerja adalah dengan tidak membayar upahnya. Bagaimanapun jika banyak pabrik
yang melakukan hal diatas akan menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatan, dan tidak
membayar upah pekerja akan membuat pekerja malas melakukan pekerjaannya dan terus
membahayakan diri mereka ataupun pekerja yang lain. Ada kemungkinan bahwa kejadian secara
acak dari sebuah kecelakaan dapat membuat faktor-faktor kecelakaan tersendiri.

3. Masalah Kesehatan Dan Keselamatan Kerja


Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga
komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang dapat
merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka bisa
dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya
bila terdapat ketidak serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit
ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.

a) Kapasitas Kerja
Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan. Dari
beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-40% masyarakat pekerja kurang
kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekurangan zat besi tanpa anemia.
Kondisi kesehatan seperti ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan
produktivitas yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja
yang ada sebagian besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang
mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin
sering mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.

b) Beban Kerja
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi 8 - 24
jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium menuntut
adanya pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-ubah dapat
menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik
(irama tubuh). Faktor lain yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan
jaminan sosial bagi pekerja yang masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa

5
melakukan kerja tambahan secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama
dapat menimbulkan stres.

c) Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja
dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja dan
Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work Related Diseases).

Teori Penyebab atau Model Kecelakaan

Suatu kecelakaan biasanya sangat komplek, kecelakaan biasanya bisa disebabkan oleh
oleh 5 atau lebih penyebab. Untuk mengetahui penyebab atau bagaimana kecelakaan itu
terjadi maka kita perlu memahaminya dengan menggunakan teori penyebab atau model
kecelakaan. Teori-teori tersebut dikemas ke dalam suatu model, sehingga terlihat urutan
kejadian, kaitan antara parameter-parameter yang mempengaruhi dapat jelas terlihat. Oleh
karena itu, teori penyebab kecelakaan sering juga disebut sebagai Model Kecelakaan.

Pentingnya mempelajari model kecelakaan adalah sebagai berikut:

1. Memahami klasifikasi sistem, yang logis, objektif, dan dapat diterima secara
universal. Dengan mengklasifikasikan sistem maka beberapa fenomena, kejadian
yang melatar belakangi kecelakaan dapat dikelompok-kelompokan sehingga
menjadi mudah dianalisa.
2. Model kecelakaan dapat mempermudah identifikasi bahaya karena kerangka
logiknya lebih jelas.
3. Model kecelakaan dapat membantu investigasi kecelakaan dan membantu cara-
cara pengendaliannya.

Jenis-jenis teori penyebab kecelakaan kerja

1. Teori Domino

Teori ini diperkenalkan oleh H.W. Heinrich pada tahun 1931. Menurut Heinrich,
88% kecelakaan disebabkan oleh perbuatan/ tindakan tidak aman dari manusia (unsafe

6
act), sedangkan sisanya disebabkan oleh hal-hal yang tidak berkaitan dengan
kesalahan manusia, yaitu 10% disebabkan kondisi yang tidak aman (unsafe condition)
dan 2% disebabkan takdir Tuhan. Heinrich menekankan bahwa kecelakaan lebih
banyak disebabkan oleh kekeliruan, kesalahan yang dilakukan oleh manusia.
Menurutnya, tindakan dan kondisi yang tidak aman akan terjadi bila manusia berbuat
suatu kekeliruan. Hal ini lebih jauh menurutnya disebabkan karena faktor karakteristik
manusia itu sendiri yang dipengaruhi oleh keturunan (ancestry) dan lingkungannya
(environment).

Pada gambar di bawah ini terlihat batu domino disusun berurutan sesuai dengan
faktor-faktor penyebab kecelakaan yang dimaksud oleh Heinrich. Bila batu pertama
atau batu ketiga roboh ke kanan maka semua batu dikanannya akan roboh. Dengan
kata lain bila terdapat suatu kesalahan manusia, maka akan tercipta tindakan dan
kondisi tidak aman, dan kecelakaan serta kerugian akan timbul. Heinrich mengatakan
bila rantai batu tersebut diputus pada batu ketiga maka kecelakaan dapat dihindari.

Teori ini menjelaskan jika satu kecelakaan berlangsung dari suatu serangkaian kejadian.
Ada lima aspek yang berkaitan dalam serangkaian peristiwa itu (Ridley, 1986) yakni :
1. Kecelakaan adalah sebagai suatu hasil dari serangkaian kejadian yang berurutan.
Kecelakaan tidak terjadi dengan sendirinya
2. Penyebab-penyebabnya adalah faktor manusia dan faktor fisik.

7
3. Kecelakaan tergantung kepada lingkungan fisik kerja dan lingkungan sosial kerja
4. Kecelakaan terjadi karena kesalahan manusia.

Berdasarkan teori domino, kecelakaan dapat dicegah dengan mencabut salah satu domino
sehingga mengganggu efek domino. Heinrich berpendapat bahwa perilaku tidak aman dan
bahaya mekanis menjadi faktor utama dalam urutan kecelakaan sehingga pencabutan
faktor utama ini membuat faktor yang lain tidak akan efektif dalam membuat kecelakaan
kerja.

2. Teori Bird & Loftus (Loss Caution)

Teori Domino dilanjutkan oleh Bird dan Germain (1985) yang menyatakan bahwa
urutan teori domino Heinrich telah mendukung pemikiran keselamatan kerja selama 30
tahun. Mereka menyadari kebutuhan dari manajemen untuk mencegah dan mengendalikan
kecelakaan di mana manajemen telah menjadi situasi yang kompleks disebabkan oleh
perkembangan teknologi. Mereka memperbaharui teori domino yang ditambahkan dengan
hubungan manajemen kepada penyebab dan efek kecelakaan. Teori ini dilengkapi dengan
tanda-tanda panah untuk menjelaskan interaksi multi linear dari penyebab dan efek dari
urutan. Model ini kemudian disebut dengan model Loss Caution yang dijelaskan juga
dalam garis lurus dari 5 domino yang dihubungkan satu sama lain dalam urutan linear.

Gambar. Loss Caution Theory

Kunci kejadian masih tetap sama seperti yang dikatakan oleh Heinrich, yaitu adanya
tindakan dan kondisi tidak aman. Bird dan Loftus tidak lagi melihat kesalahan terjadi pada
8
manusia/ pekerja semata, melainkan lebih menyoroti pada bagaimana manajemen lebih
mengambil peran dalam melakukan pengendalian agar tidak terjadi kecelakaan.

3. Teori Swiss Cheese

Mula-mula model ini dikembangkan untuk industri tenaga nuklir, pendekatan


Reason pada penyebab terjadinya kecelakaan adalah berdasarkan asumsi bahwa
elemen-elemen pokok dari suatu organisasi harus bekerja sama secara harmonis bila
menginginkan operasional yang efisien dan aman. Setelah itu teori ini banyak
digunakan di dunia penerbangan. Berdasarkan teori dari Reason, dijelaskan bahwa
kecelakaan terjadi ketika terjadi kegagalan interaksi pada setiap komponen yang
terlibat dalam suatu sistem produksi. Seperti yang digambarkan pada gambar dibawah
ini, kegagalan suatu proses dapat dilukiskan sebagai “lubang” dalam setiap lapisan
sistem yang berbeda, dengan demikian menjelaskan apa dari tahapan suatu proses
produksi tersebut yang gagal.

Gambar. Swiss Cheese Model oleh T. Reason

Swiss Cheese Model adalah konsep yang digunakan dalam manajemen risiko dan rekayasa
keselamatan untuk memahami dan mencegah kecelakaan atau kegagalan. Model ini
dikembangkan oleh James Reason, seorang psikolog asal Inggris. Model ini mengusulkan bahwa

9
kecelakaan terjadi ketika beberapa lapisan pertahanan, yang diwakili oleh irisan keju Swiss,
memiliki lubang yang sejajar, memungkinkan terjadinya kecelakaan.
Setiap lapisan pertahanan dalam model ini mewakili langkah keselamatan atau penghalang
yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Lapisan-lapisan ini dapat mencakup hal-hal seperti
pelatihan, prosedur, kelengkapan alat, pengawasan, dan budaya organisasi. Namun, tidak ada
lapisan yang sempurna, dan masing-masing memiliki kelemahan atau "lubang" sendiri.
Ide di balik model ini adalah jika semua lapisan sejajar dengan sempurna, tanpa ada
lubang, kecelakaan dapat dicegah. Namun, dalam kenyataannya, selalu ada kelemahan atau
lubang di setiap lapisan. Lubang-lubang ini bisa disebabkan oleh kesalahan manusia, kegagalan
peralatan, atau faktor lainnya. Ketika lubang-lubang ini sejajar di beberapa lapisan, itu
menciptakan jalur bagi terjadinya kecelakaan.
Swiss cheese model menekankan pentingnya memiliki beberapa lapisan pertahanan dan
memastikan bahwa setiap lapisan tersebut sekuat mungkin. Model ini juga menyoroti perlunya
pemantauan, pembelajaran, dan perbaikan terus-menerus untuk mengidentifikasi dan mengatasi
kelemahan di setiap lapisan.
Sebab-sebab suatu kecelakan dapat dibagi menjadi menurut konsep ini, “Direct
Cause” dimana ia sangat dekat hubungannya dengan kejadian kecelakaan yang
menimbulkan kerugian atau cidera pada saat kecelakaan tersebut terjadi. Kebanyakan proses
investigasi lebih konsentrasi kepada penyebab langsung terjadinya suatu kecelakaan dan
bagaimana mencegah penyebab langsung tersebut. Tetapi ada hal lain yang lebih penting
yang perlu di identifikasi yakni “Latent Cause”. Latent cause adalah suatu kondisi yang
sudah terlihat jelas sebelumnya dimana suatu kondisi menunggu terjadinya suatu kecelakaan.
(sumber: A Human Error Approach to Aviation Accident analysis).
Secara keseluruhan, Swiss cheese model memberikan kerangka kerja yang berguna untuk
memahami bagaimana kecelakaan terjadi dan bagaimana mencegahnya dengan memperkuat
lapisan pertahanan dan mengurangi kemungkinan lubang sejajar.

10
Contoh Studi Kasus:

Di sebuah pabrik manufaktur, seorang pekerja bernama ABC mengalami kecelakaan kerja
serius. ABC adalah seorang operator mesin yang bertanggung jawab untuk mengoperasikan
mesin penggiling logam. Kecelakaan terjadi ketika ABC sedang membersihkan mesin tersebut.
Pada hari kejadian, ABC tidak menggunakan alat pelindung diri yang sesuai, seperti sarung
tangan dan kacamata pelindung. Selain itu, mesin penggiling logam tersebut tidak dilengkapi
dengan penghalang atau perangkat keselamatan yang memadai. Ketika ABC membersihkan
mesin, tangannya tersangkut di dalam mesin dan terjepit oleh roda penggiling yang berputar
dengan cepat.
Rekan kerja ABC segera memberikan pertolongan pertama dan mematikan mesin. ABC
kemudian dilarikan ke rumah sakit dengan luka serius pada tangan kanannya. Setelah menjalani
operasi dan perawatan intensif, ABC berhasil pulih, tetapi mengalami kehilangan sebagian fungsi
pada tangan kanannya.

Hasil investigasi menunjukkan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan,


yaitu:
1. Kurangnya standar dan kebijakan mengenai keselamatan kerja : Perusahaan tidak melakukan
standarisasi keselamatan kerja bagi organisasinya. Pelatihan dan edukasi mengenai standarisasi
keselamatan kerja tidak dilakukan oleh perusahaan.
2. Kurangnya kesadaran keselamatan: ABC tidak mendapatkan pelatihan yang memadai
mengenai penggunaan alat pelindung diri dan prosedur keselamatan saat membersihkan mesin.
Selain itu, kesadaran akan pentingnya keselamatan kerja juga rendah di antara pekerja
3. Kurangnya perawatan dan pemeliharaan mesin: Mesin penggiling logam tidak dilakukan
perawatan dan pemeliharaan secara teratur. Penghalang atau perangkat keselamatan yang
seharusnya ada pada mesin tersebut juga tidak dipasang dengan baik.
4. Pengawasan yang kurang: Tidak ada pengawasan yang memadai terhadap kegiatan pekerjaan
ABC. Supervisor atau manajer tidak melakukan inspeksi rutin untuk memastikan kepatuhan
terhadap prosedur keselamatan.

Setelah kecelakaan tersebut, perusahaan harus mengambil langkah-langkah untuk


mencegah kejadian serupa di masa depan. Beberapa tindakan yang diambil antara lain:

11
1. Pelatihan keselamatan kerja: Perusahaan menyelenggarakan pelatihan rutin mengenai
penggunaan alat pelindung diri, prosedur keselamatan, dan kesadaran akan risiko kerja.
2. Perawatan dan pemeliharaan mesin: Mesin-mesin di pabrik diperiksa secara rutin dan
dilakukan perawatan yang tepat. Penghalang dan perangkat keselamatan yang diperlukan
dipasang pada mesin-mesin yang berpotensi berbahaya.
3. Pengawasan dan inspeksi: Supervisor dan manajer melakukan pengawasan yang lebih ketat
terhadap kegiatan kerja. Inspeksi rutin dilakukan untuk memastikan kepatuhan terhadap prosedur
keselamatan.

Dengan langkah-langkah ini, perusahaan dapat mencegah kecelakaan kerja di masa depan
dan meningkatkan kesadaran serta budaya keselamatan di tempat kerja.

12
Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam
Penyelenggaraan Keselamatan Kerja

Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan


keselamatan kerja. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan bahwa tenaga kerja dalam
kondisi fisik dan mental yang baik sehingga dapat bekerja dengan aman dan efektif.
Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja biasanya dilakukan sebelum mereka memulai pekerjaan, dan
secara berkala selama mereka bekerja. Pemeriksaan ini melibatkan berbagai tes dan evaluasi,
seperti pemeriksaan fisik, tes darah, tes penglihatan, tes pendengaran, dan tes narkoba.
Dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, perusahaan dapat mengidentifikasi
potensi masalah kesehatan pada tenaga kerja sejak dini. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk
mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan, seperti memberikan perlindungan tambahan
atau penyesuaian tugas kerja, untuk menjaga keselamatan dan kesehatan tenaga kerja.
Selain itu, pemeriksaan kesehatan tenaga kerja juga dapat membantu perusahaan dalam
memenuhi persyaratan hukum terkait keselamatan kerja. Beberapa negara mewajibkan
perusahaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap tenaga kerja mereka sebagai
bagian dari upaya menjaga keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
Dalam penyelenggaraan keselamatan kerja, penting bagi perusahaan untuk bekerja sama
dengan tenaga medis yang kompeten dan memiliki pengetahuan tentang risiko kerja yang
mungkin dihadapi oleh tenaga kerja. Dengan demikian, pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
dapat dilakukan secara efektif dan memberikan manfaat yang maksimal bagi semua pihak yang
terlibat.

Contoh Studi Kasus Penyelenggaraan Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja:


Pabrik Pengolahan Tripleks XYZ adalah sebuah pabrik yang menghasilkan produk tripleks
untuk industri konstruksi. Pabrik ini memiliki sekitar 200 karyawan yang terlibat dalam berbagai
tahap produksi, termasuk pemotongan kayu, pengeringan, perekatan, dan pemotongan akhir.
Pabrik Pengolahan Tripleks XYZ sangat menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan
karyawan mereka yang terpapar dengan bahan kimia dan debu kayu selama proses produksi.
Oleh karena itu, mereka menjalankan program pemeriksaan kesehatan kerja yang komprehensif.

13
Setiap karyawan baru yang direkrut oleh pabrik ini harus menjalani pemeriksaan
kesehatan sebelum memulai pekerjaan mereka. Pemeriksaan ini melibatkan pemeriksaan
fisik umum, tes darah, tes fungsi paru-paru, dan tes alergi. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa karyawan memiliki kondisi kesehatan yang memadai untuk bekerja di
lingkungan yang terpapar bahan kimia dan debu kayu.
Selain itu, pabrik Pengolahan Tripleks XYZ juga melakukan pemeriksaan kesehatan
berkala setiap enam bulan sekali bagi seluruh karyawan mereka. Pemeriksaan ini melibatkan
tes fungsi paru-paru, tes pendengaran, dan pemeriksaan kulit. Tujuannya adalah untuk memantau
dampak paparan jangka panjang terhadap kesehatan karyawan dan mendeteksi dini adanya
masalah kesehatan yang mungkin timbul.
Dalam kasus ini, pabrik Pengolahan Tripleks XYZ bekerja sama dengan klinik medis yang
memiliki spesialisasi dalam pemeriksaan kesehatan kerja. Klinik medis ini memberikan saran
dan rekomendasi kepada pabrik terkait tindakan pencegahan yang perlu diambil untuk
melindungi karyawan dari paparan bahan kimia dan debu kayu.
Melalui program pemeriksaan kesehatan kerja ini, pabrik Pengolahan Tripleks XYZ
berhasil mengidentifikasi beberapa karyawan yang mengalami gangguan fungsi paru-paru
atau alergi terhadap bahan kimia tertentu. Dengan adanya pemeriksaan kesehatan kerja yang
rutin, pabrik dapat mengambil tindakan yang tepat, seperti memberikan perlindungan
pernapasan tambahan atau penyesuaian tugas kerja, untuk menjaga kesehatan karyawan
mereka.

Studi kasus ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan kesehatan kerja di pabrik


pengolahan tripleks. Dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin dan bekerja sama
dengan tenaga medis yang kompeten, pabrik dapat mengidentifikasi dan mengatasi masalah
kesehatan yang terkait dengan paparan bahan kimia dan debu kayu. Hal ini membantu
menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi karyawan.

14
DAFTAR PUSTAKA
Poerwanto, Helena dan Syaifullah. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Silalahi, Bennett N.B. [dan] Silalahi,Rumondang.1991. Manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja.[s.l]:Pustaka Binaman Pressindo.
Suma'mur .1991. Higene perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta :Haji Masagung
Suma'mur .1985. Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Jakarta :Gunung Agung, 1985

15

Anda mungkin juga menyukai