Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Indonesia merupakan negara dengan standar keselamatan dan
kesehatan kerja terburuk jika bandingkan dengan negara lain di Asia
Tenggara, berita tersebut di laporkan oleh ILO atau Humas Organisasi
Buruh Dunia dalam peringatan hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan di Indonesia
secara umum diperkirakan termasuk rendah. Tahun 2005 Indonesia
menempati posisi yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina
dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing
perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah.
Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami
ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja ( produktivitas kerja yang
rendah ), padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu
tenaga kerjanya, karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah
juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah
dan bisnis sejak lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena
sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja
perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin
sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat
yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa
antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk
1

bangsa Indonesia, untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan


perlindungan masyarakat pekerja, Indonesia telah ditetapkan Visi
Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa
depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat,
memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata,
serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah salah satu
bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas
dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas
dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun
kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat
mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan
yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas. Kecelakaan
Kerja adalah sesuatu yang tidak terduga dan tidak diharapkan yang dapat
mengakibatkan kerugian harta benda, korban jiwa / luka / cacat maupun
pencemaran. Kecelakaan kerja merupakan kecelakaan yang terjadi akibat
adanya hubungan kerja ( karena suatu pekerjaan atau melaksanakan
pekerjaan).
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di
kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia
belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan
penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan)
menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor
penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas
serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang
meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman
walaupun sudah tersedia. Penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992

tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja


harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan
kesehatan

pada

pekerja,

keluarga,

masyarakat

dan

lingkungan

disekitarnya.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan
hidupnya. Bekerja dengan berpedoman pada Keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan
karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja
akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu
komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah
tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk
menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan
penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan
dan kesehatan kerja.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam laporan ini yaitu :
1. Apa pengertian dari Keselamatan Kerja ( UNSAVE ACTION DAN
UNSAVE CONDITION )
2. Apa saja yang meliputi kelengkapan alat pelindung untuk keselamatan
perelatan kerja ?
3. Apa saja upaya yang dapat dilakukan dengan Penyimpanan Material
Berbahaya yang berhubungan dengan keselamatan material produksi ?
4. Apa yang disebut dengan Ergonomi?
5. Bagaimana perkembangan Ergonomi ?
6. Apa saja sebab sebab terjadinya Kecelakaan Kerja ?
7. Bagaimana upaya pencegahan Kecelakaan Kerja?

C. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut

1. Mengetahui hal hal yang berhubungan dengan Keselamatan Tenaga


Kerja ( UNSAVE ACTION DAN UNSAVE CONDITION ).
2. Mengetahui kelengkapan alat pelindung untuk Keselamatan Peralatan
Kerja.
3. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan dengan Penyimpanan
Material Berbahaya yang berhubungan dengan keselamatan material
produksi.
4. Mengetahui pengertian dari ERGONOMI.
5. Mengetahui perkembangan Ergonomi.
6. Mengetahui sebab sebab terjadinya Kecelakaan Kerja.
7. Mengetahui upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja.

D. MANFAAT
Manfaat yang diperoleh dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :
1. Menambah pengetahuan kita tentang Keselamatan Tenaga Kerja
( UNSAVE ACTION DAN UNSAVE CONDITION )
2. Menambah wawasan kita tentang kelengkapan alat pelindung untuk
Keselamatan Peralatan Kerja.
3. Menambah
Penyimpanan

wawasan
Material

tentang

upaya

Berbahaya

yang

yang

dilakukan

dengan

berhubungan

dengan

keselamatan material produksi .


4. Menambah wawasan tentang ERGONOMI.
5. Menambah wawasan perkembangan Ergonomi.
6. Menambah pengetahuan tentang sebab sebab terjadinya Kecelakaan
Kerja.
7. Menambah pengetahuan tentang upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja.

BAB II
LANDASAN TEORI
Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) adalah bidang yang terkait dengan
kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan manusia yang bekerja di sebuah
institusi maupun lokasi proyek. Tujuan K3 adalah untuk memelihara kesehatan
dan keselamatan lingkungan kerja. K3 juga melindungi rekan kerja, keluarga
pekerja, konsumen, dan orang lain yang juga mungkin terpengaruh kondisi
lingkungan kerja.
Kesehatan dan keselamatan kerja cukup penting bagi moral, legalitas, dan
finansial. Semua organisasi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pekerja
dan orang lain yang terlibat tetap berada dalam kondisi aman sepanjang waktu.
Praktek K3 (keselamatan kesehatan kerja) meliputi pencegahan, pemberian
sanksi, dan kompensasi, juga penyembuhan luka dan perawatan untuk pekerja dan
menyediakan perawatan kesehatan dan cuti sakit. K3 terkait dengan ilmu
kesehatan kerja, teknik keselamatan, teknik industri, kimia, fisika kesehatan,
psikologi organisasi dan industri, ergonomika, dan psikologi kesehatan kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang
memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari
bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang
wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan
menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak
boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus
dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang
berlimpah pada masa yang akan datang.
Tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan, kesehatan kerja,
dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja merupakan sarana atau alat untuk

mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang tidak diduga yang disebabkan oleh
kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini diharapkan
mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau
kematian terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan
peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan
masyarakat sekitar tempat kerja.Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi
instrumen yang mampu menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja
setinggi-tingginya.
K3 dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja,
misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lainlain yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan
pernapasan, kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar
ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan dengan
manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah
pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan
jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di
Eropa, terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika
Serikat. Era ini ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan
mesin-mesin produksi menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya
berperan sebagai operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang
dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan dengan yang dikerjakan pekerja
sebelumnya. Revolusi IndustriNamun, dampak penggunaan mesin-mesin adalah
pengangguran serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat
menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan
kerugian material yang besar bagi perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh
semakin banyak ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan
keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta
masyarakat dan lingkungan hidup.
6

BAB III
PEMBAHASAN

A. KESELAMATAN KERJA
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan
yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi
masyarakat

dan

lingkungan

sekitar

pabrik

atau

tempat kerja tersebut.

Keselamatan dan kesehatan kerja juga merupakan suatu usaha untuk mencegah
setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat, yang dapat mengakibatkan
kecelakaan.
Undang-Undang yang mengatur K3 adalah sebagai berikut :
Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang kewajiban pimpinan
tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang ini mengatur mengenai segala hal yang berhubungan
dengan ketenagakerjaan mulai dari upah kerja, jam kerja, hak maternal, cuti
sampi dengan keselamatan dan kesehatan kerja.

Penjabaran dan kelengkapan Undang-undang tersebut, maka pemerintah


juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden terkait
penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), diantaranya adalah :
Peraturan

Pemerintah

Republik

Indonesia

No.

11

Tahun

1979

tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas
Bumi
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan


Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul
Akibat Hubungan Kerja

Berdasarkan Undang-undang Jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja itu


diperuntukkan bagi seluruh pekerja yang bekerja di segala tempat kerja, baik di
darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang
berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Kesimpulannya,
setiap pekerja di Indonesia berhak atas jaminan keselamatan dan kesehatan kerja.
Menurut pasal 12 UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
kewajiban dan hak tenaga kerja adalah sebagai berikut :

Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas


atau ahli keselamatan kerja

Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan

Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan


yang diwajibkan

Meminta pada Pengurus agas dilaksanakan semua syarat keselamatan dan


kesehatan yang diwajibkan

Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan


kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan
olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas
dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung-jawabkan.

A.1 KESELAMATAN TENAGA KERJA ( UNSAVE ACTION DAN


UNSAVE CONDITION )

Unsafe action adalah suatu tindakan seseorang yang menyimpang dari


aturan yang sudah ditetapkan dan dapat mengakibatkan bahaya bagi dirinya
sendiri, orang lain, maupun peralatan yang ada di sekitarnya.

Unsafe action merupakan suatu tindakan yang salah dalam bekerja, tidak
menurut SOP yang telah ditentukan (human error), misalnya dalam
mengoperasikan mesin, peralatan, dll.

Beberapa tindakan-tindakan tidak salah tersebut, antara lain:


a. Mengoperasikan alat / peralatan tanpa wewenang
b. Memindahkan alat-alat keselamatan
c. Menggunakan alat dengan cara yang salah
d. Mengambil posisi yang salah
e. Mabuk karena minuman beralkohol
Unsafe condition adalah suatu kondisi yang tidak dapat dikatakan secara
mutlak bahwa kondisi itu tidak aman, karena ketika kondisi dapat dikatakan
tidak aman hanya berdasarkan pengalaman dari pelaksana proyek.
Unsafe condition adalah keadaan lingkungan kerja yang tidak baik
sehingga dapat menyebabkan kecelakaan.
Beberapa keadaan yang tidak mendukung antara lain:
a. Peralatan pengaman / pelindung / rintangan yang tidak memadai atau
memenuhi syarat.
b. Sistem-sistem tanda peringatan yang kurang memadai.
c. Bahaya-bahaya ledakan dan kebakaran.
d. Kebisingan dan penerangan yang kurang.

Kecelakaan Kerja Karena Faktor Manusia


Unsur atau faktor manusia yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja, antara
lain:
a. Ketidakseimbangan fisik / kemampuan fisik tenaga kerja
b. Ketidak seimbangan kemampuan psikologis pekerja
c. Kurang pengetahuan

d. Kurang terampil
e. Stres mental
f. Stres fisik
g. Motivasi menurun

Dampak Kecelakaan Kerja


1. Kerugian bagi instansi :
a. Biaya pengangkutan korban ke rumah sakit
b. Biaya pengobatan, penguburan jika sampai korban meninggal
dunia
c. Hilangnya waktu kerja korban dan rekan- rekan yang menolong
sehingga menghambat kelancaran program
d. Mencari pengganti atau melatih tenaga baru
e. Kemunduran mental para pekerja
2. Kerugian bagi korban :
Kerugian yang paling fatal bagi korban adalah jika
kecelakaan itu sampai mengakibatkan ia cacat atau meninggal
dunia
3. Kerugian bagi masyarakat dan Negara
Biaya kecelakaan akan dibebankan sebagai biaya produksi
yang

bisa

mengakibatkan

dinaikkannya

harga

produksi

perusahaan sehingga dapat mempengaruhi harga produk di pasar.

B. KESELAMATAN PERALATAN KERJA


Keselamatan Peralatan Kerja dapat juga disebut dengan istilah APD. Alat
Pelindung Diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja
sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan
orang di sekelilingnya.

10

Kelengkapan Alat Pelindung


Kewajiban kelengkapan alat pelindung diri sudah disepakati oleh
pemerintah melalui Departement Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia. Hal ini tertulis di Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. Per.08/Men/VII/2010 tentang pelindung diri. Adapun bentuk dari alat tersebut
adalah :

Safety Helmet

Berfungsi sebagai pelindung kepala dari benda yang bisa mengenai kepala
secara langsung.

Sabuk Keselamatan (safety belt)

Berfungsi sebagai alat pengaman ketika menggunakan alat transportasi


ataupun peralatan lain yang serupa (mobil, pesawat, alat berat, dan lain-lain).

11

Sepatu Karet (sepatu boot)

Sepatu ini berfungsi sebagai alat pengaman saat bekerja di tempat yang becek
ataupun berlumpur. Kebanyakan di lapisi dengan metal untuk melindungi kaki
dari benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia, dsb.

Sepatu pelindung (safety shoes)

Seperti sepatu biasa, tapi dari bahan kulit dilapisi metal dengan sol dari karet
tebal dan kuat. Berfungsi untuk mencegah kecelakaan fatal yang menimpa kaki
karena tertimpa benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia, dsb.

Sarung Tangan

12

Berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerja di tempat atau
situasi yang dapat mengakibatkan cedera tangan. Bahan dan bentuk sarung tangan
di sesuaikan dengan fungsi masing-masing pekerjaan.

Tali Pengaman (Safety Harness)

Berfungsi sebagai pengaman saat bekerja di ketinggian. Diwajibkan


menggunakan alat ini di ketinggian lebih dari 1,8 meter.

Penutup Telinga (Ear Plug / Ear Muff)

Berfungsi sebagai pelindung telinga pada saat bekerja di tempat yang bising.

Kaca Mata Pengaman (Safety Glasses)

13

Berfungsi sebagai pelindung mata ketika bekerja (misalnya mengelas).

Masker (Respirator)

Berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di tempat


dengan kualitas udara buruk (misal berdebu, beracun, dsb).

Pelindung wajah (Face Shield)

Berfungsi sebagai pelindung wajah dari percikan benda asing saat bekerja
(misal pekerjaan menggerinda)

Jas Hujan (Rain Coat)

14

Berfungsi melindungi dari percikan air saat bekerja (misal bekerja pada
waktu hujan atau sedang mencuci alat).
Semua jenis APD harus digunakan sebagaimana mestinya, gunakan pedoman
yang benar-benar sesuai dengan standar keselamatan kerja (K3L : Kesehatan,
Keselamatan Kerja dan Lingkungan)

C. KESELAMATAN MATERIAL PRODUKSI


Keselamatan material produksi adalah upaya untuk mengkondisikan diri dari
bahan atau material yang terlibat dalam kegiatan produksi untuk menghindari,
mencegah, dan menanggulangi dan sesuatu yang menyebabkan kecelakaan kerja.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan Penyimpanan Material Berbahaya:
1. Barang berbahaya adalah barang-barang yang mudah terbakar, mudah
meledak, mengandung bahan radio aktif (radiasi) dan beracun, baik
yang berbentuk padat, bubuk, cair maupun gas.
2. Melakukan identifikasi terhadap sumua material dan unsur yang
berbahaya seperti asbes, cat, semen, bahan pelarut dan material
berbahaya lainnya.
3. Memberikan pelatihan kepada pekerja antara lain meliputi : prosedur
penyimpanan bahan berbahaya dengan benar dan potensi bahaya yang
ada.
4. Barang-barang berbahaya harus disimpan ditempat terpisah dari
barang-barang lain, diberi label dan tanda peringatan.
5. Barang yang mudah terbakar :
a. Disimpan pada tempat dengan alas yang kering, rata dan kuat agar
tidak mudah terguling dan karatan sehingga dapat menyebabkan
kebocoran.

15

b. Barang diberi label Barang mudah terbakar dan dipasang tanda


peringatan Dilarang Merokok
c. Penyimpanan barang yang mudah terbakar harus dijauhkan dari
tempat kerja yang menimbulkan percikan api.

Barang yang mudah meledak ( tabung oksigen, LPG, acetylin, bahan peledak
dll ) :
a. Diberi alas yang kering, rata dan kuat agar tidak mudah terguling
b. Tabung gas disimpan dengan posisi tegak, ditutup, diikat untuk
menjaga stabilitasnya & diberi label Barang mudah meledak .
c. Penyimpanan barang yang mudah terbakar harus dijauhkan dari
tempat kerja yang menimbulkan percikan api.
d. Penempatan tabung minimal 1,5 m dari pagar dan 3 m dari batas
lokasi serta dijauhkan dari galian dan saluran.
Barang yang mengandung bahan radio aktif (radiasi)
a. Disimpan di tempat terpisah, diberi alas yang kering, tidak mudah
dijangkau, jauh dari fasilitas / tempat yang banyak aktivitas.
b. Diberi label Barang Mengandung Radio Aktif .
Barang beracun ( addetive beton, zat anti rayap, racun dll )
a. Disimpan pada tempat dengan alas yang kering, tidak mudah
dijangkau, jauh dari fasilitas / tempat makanan dan aktivitas.
b. Diberi label Barang beracun
c. Menggunakan alat pelindung diri yang sesuai, antara lain :
sarung tangan, masker, kaca mata pelindung, helm, sepatu bot.
d. Menyediakan alat pemadam api yang sesuai, pasir atau serbuk
gergaji.

16

e. Memasang rambu / tanda peringatan, misalnya : Dilarang


merokok , Awas Bahan Mudah Terbakar, Awas Bahan
Mudah Meledak, Awas Bahan Mengandung Radio Aktif dsb.
f. Tata cara penyimpanan mengikuti petunjuk dari pabrik pembuat
seperti : brosur, katalog dan material safety data sheet ( MSDS ).

D. ERGONOMI
Ergonomi berasal dari kata-kata dalam bahasa Yunani yaitu Ergos yang
berarti kerja dan Nomos yang berarti ilmu, sehingga secara harfiah dapat
diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia
dengan pekerjaannya.
Definisi ergonomi dapat dilakukan dengan cara menjabarkannya dalam
fokus, tujuan dan pendekatan mengenai ergonomi (Mc Coinick 1993) dimana
dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut:
1. Secara fokus
Ergonomi menfokuskan diri pada manusia dan interaksinya dengan
produk, peralatan, fasilitas, prosedur dan lingkungan dimana
sehari-hari manusia hidup dan bekerja.
2. Secara tujuan
Tujuan ergonomi ada dua hal, yaitu peningkatan efektifitas dan
efisiensi kerja serta peningkatan nilai-nilai kemanusiaan, seperti
peningkatan keselamatan kerja, pengurangan rasa lelah dan
sebagainya
3. Secara pendekatan
Pendekatan

ergonomi

adalah

keterbatasan-keterbatasan

aplikasi

manusia,

informasi

kemampuan,

mengenai

karakteristik

tingkah laku dan motivasi untuk merancang prosedur dan


lingkungan tempat aktivitas manusia tersebut sehari-hari.
Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut diatas, definisi ergonomi dapat
terangkumkan dalam definisi yang dikemukakan Chapanis (1985), yaitu ergonomi

17

adalah ilmu untuk menggali dan mengaplikasikan informasi-informasi mengenai


perilaku manusia, kemampuan, keterbatasan dan karakteristik manusia lainnya
untuk merancang peralatan, mesin, sistem, pekerjaan dan lingkungan untuk
meningkatkan produktivitas, keselamatan, kenyamanan dan efektifitas pekerjaan
manusia.
Definisi mengenai ergonomi juga datang dari Iftikar Z. Sutalaksana (1979)
yang mendefinisikan ergonomi sebagai suatu cabang ilmu yang sistematis untuk
memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan
manusia untuk merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan
bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan
melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman dan nyaman (Sutalaksana dkk, 1979).
Perkembangan Ergonomi
Ergonomi dipopulerkan pertama kali pada tahun 1949 sebagai judul buku
yang dikarang oleh Prof. Murrel. Sedangkan kata ergonomi itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani yaitu ergon (kerja) dan nomos (aturan/prinsip/kaidah). Istilah
ergonomi digunakan secara luas di Eropa. Di Amerika Serikat dikenal istilah
human factor atau human engineering. Kedua istilah tersebut (ergonomic dan
human factor) hanya berbeda pada penekanannya. Intinya kedua kata tersebut
sama-sama menekankan pada performansi dan perilaku manusia. Menurut
Hawkins (1987), untuk mencapai tujuan praktisnya, keduanya dapat digunakan
sebagai referensi untuk teknologi yang sama.
Ergonomi telah menjadi bagian dari perkembangan budaya manusia sejak
4000 tahun yang lalu (Dan Mac Leod, 1995). Perkembangan ilmu ergonomi
dimulai saat manusia merancang benda-benda sederhana, seperti batu untuk
membantu tangan dalam melakukan pekerjaannya, sampai dilakukannya
perbaikan atau perubahan pada alat bantu tersebut untuk memudahkan
penggunanya. Pada awalnya perkembangan tersebut masih tidak teratur dan tidak
terarah, bahkan kadang-kadang terjadi secara kebetulan.

18

Perkembangan ergonomi modern dimulai kurang lebih seratus tahun yang


lalu pada saat Taylor (1880-an) dan Gilberth (1890-an) secara terpisah melakukan
studi tentang waktu dan gerakan. Penggunaan ergonomi secara nyata dimulai pada
Perang Dunia I untuk mengoptimasikan interaksi antara produk dengan manusia.
Pada tahun 1924 sampai 1930 Hawthorne Works of Wertern Electric
(Amerika) melakukan suatu percobaan tentang ergonomi yang selanjutnya dikenal
dengan Hawthorne Effects (Efek Hawthorne). Hasil percobaan ini memberikan
konsep baru tentang motivasi ditempat kerja dan menunjukan hubungan fisik dan
langsung antara manusia dan mesin.
Kemajuan ergonomi semakin terasa setelah Perang Dunia II dengan adanya
bukti nyata bahwa penggunaan peralatan yang sesuai dapat meningkatkan
kemauan manusia untuk bekerja lebih efektif. Hal tersebut banyak dilakukan pada
perusahaan-perusahaan senjata perang.
Beberapa pakar juga memberikan definisi mereka sendiri tentang ergonomi.
Mc Cormicks dan Sanders (1987) membagi ergonomi ke dalam tiga pendekatan,
yaitu:
1. Fokus Utama
Fokus

utama

ergonomi

adalah

mempertimbangkan

manusia

dalam

perancangan benda kerja, prosedur kerja, dan lingkungan kerja. Fokus ergonomi
adalah interaksi manusia dengan produk, peralatan, fasilitas, lingkungan dan
prosedur dari pekerjaan dan kehidupan sehari-harinya. Ergonomi lebih ditekankan
pada faktor manusianya dibandingkan ilmu teknik yang lebih menekankan pada
faktor-faktor nonteknis.
2. Tujuan
Ergonomi mempunyai dua tujuan utama yaitu meningkatkan efektifitas dan
efisiensi pekerjaan dan aktifitas-aktifitas lainnya serta meningkatkan nilai-nilai
tertentu yang diinginkan dari pekerjaan tersebut, termasuk memperbaiki

19

keamanan, mengurangi kelelahan dan stres, meningkatkan kenyamanan,


penerimaan pengguna yang besar dan memperbaiki kualitas hidup.
3. Pendekatan Utama
Pendekatan utama mencakup aplikasi sistematik dari informasi yang
relevan tentang kemampuan, keterbatasan, karakteristik, perilaku dan motivasi
manusia terhadap desain produk dan prosedur yang digunakan serta
lingkungan tempat menggunakannya.
Inti dari ergonomi adalah suatu prinsip fitting the task/the job to the man,
yang artinya pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan dan
keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Hal ini menegaskan bahwa dalam
merancang suatu jenis pekerjaan perlu memperhitungkan keterbatasan
manusia sebagai pelaku kerja. Keadaan ini akan memberikan keuntungan
dalam proses pemilihan pekerja untuk suatu pekerjaan tertentu. Mencari
pekerja yang mampu menahan beban kerja yang berat bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah. Namun mengupayakan cara kerja lainnya yang
mengurangi beban kerja sampai berada dalam batas kemampuan rata-rata,
akan mempermudah kita dalam mencari pekerja yang sanggup melaksanakan
pekerjaan tersebut.

Bidang kajian Ergonomi


Sesuai dengan definisi ergonomi yang telah disebutkan, dapat
dikatakan bahwa kajian utama dari ergonomi adalah perilaku manusia sebagai
objek utama sesuai dengan prinsip fitting the task/the job to the man. Pada
berbagai literatur terdapat perbedaan dalam menentukan bidang-bidang kajian
ergonomi. Pada prinsipnya perbedaan tersebut hanya pada pengelompokkan
perilaku-perilaku manusianya.
Berkaitan dengan bidang penyelidikan yang dilakukan, ergonomi
dikelompokkan atas empat bidang penyelidikan, yaitu:

20

4. Penyelidikan tentang Display.


Display adalah suatu perangkat antara (interface) yang menyajikan
informasi tentang keadaan lingkungan dan mengkomunikasikannya kepada
manusia dalam bentuk angka-angka, tanda-tanda, lambang dan sebagainya.
Informasi ini dapat disajikan dalam bentuk statis, misalnya peta suatu kota dan
dapat pula dalam bentuk dinamis yang menggambarkan perubahan variabel
menurut waktu, misalnya speedometer.

5.

Penyelidikan tentang Kekuatan Fisik Manusia.


Dalam hal ini penyelidikan dilakukan terhadap aktivitas-aktivitas
manusia pada saat bekerja dan kemudian dipelajari cara mengukur aktivitasaktivitas tersebut. Penyelidikan ini juga mempelajari perancangan obyek serta
peralatan yang disesuaikan dengan kemampuan fisik manusia pada saat
melakukan aktivitasnya.

6.

Penyelidikan tentang Ukuran Tempat Kerja.


Penyelidikan ini bertujuan untuk mendapatkan rancangan tempat kerja
yang sesuai dengan dimensi tubuh manusia agar diperoleh tempat kerja yang
baik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan manusia.

7.

Penyelidikan tentang Lingkungan Kerja.


Penyelidikan ini meliputi kondisi lingkungan fisik tempat kerja dan
fasilitas, seperti pengaturan cahaya, kebisingan suara, temperatur, getaran dan
lain-lain yang dianggap mempengaruhi tingkah laku manusia.
Pengelompokkan

bidang

kajian

ergonomi

yang

secara

lengkap

dikelompokkan oleh Dr. Ir. Iftikar Z. Sutalaksana (1979) sebagai berikut:


1. Faal Kerja, yaitu bidang kajian ergonomi yang meneliti energi manusia
yang dikeluarkan dalam suatu pekerjaan. Tujuan dan bidang kajian ini
adalah untuk perancangan sistem kerja yang dapat meminimasi konsumsi
energi yang dikeluarkan saat bekerja.

21

2. Antropometri, yaitu bidang kajian ergonomi yang berhubungan dengan


pengukuran dimensi tubuh manusia untuk digunakan dalam perancangan
peralatan dan fasilitas sehingga sesuai dengan pemakainya.
3. Biomekanika yaitu bidang kajian ergonomi yang berhubungan dengan
mekanisme tubuh dalam melakukan suatu pekerjaan, misalnya keterlibatan
otot manusia dalam bekerja dan sebagainya.
4. Penginderaan, yaitu bidang kajian ergonomi yang erat kaitannya dengan
masalah penginderaan manusia, baik indera penglihatan, penciuman,
perasa dan sebagainya.
5. Psikologi kerja, yaitu bidang kajian ergonomi yang berkaitan dengan efek
psikologis dan suatu pekerjaan terhadap pekerjanya, misalnya terjadinya
stres dan lain sebagainya.
Pada prakteknya, dalam mengevaluasi suatu sistem kerja secara ergonomi,
kelima bidang kajian tersebut digunakan secara sinergis sehingga didapatkan
suatu solusi yang optimal, sehingga seluruh bidang kajian ergonomi adalah suatu
sistem terintegrasi yang semata-mata ditujukan untuk perbaikan kondisi manusia
pekerjanya.
Perancangan atau pengevaluasian sistem kerja dengan hanya memakai
pendekatan salah satu bidang ergonomi tidak akan menghasilkan solusi yang
optimal bagi manusia, bidang kajian ergonomi pada akhirnya terfokus pada
perbaikan sistem kerja (SB Hutabarat, 1996) dimana pengertian sistem menurut
pendekatan ergonomi yaitu suatu entitas yang keluar dengan membawa suatu
tujuan. Bailey (1992) mengatakan bahwa konsep suatu sistem adalah:
1. Memiliki tujuan
2. Mengetahui apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
3. Mampu mendesain komponen untuk mencapai tujuan
4. Mengkoordinasikan sebaik mungkin untuk mencapai tujuan, sehingga
secara menyeluruh, pendekatan ergonomi terhadap karakteristik suatu
sistem adalah bahwa sistem memiliki karakter-karakter sebagai berikut:

22

Memiliki tujuan
Memiliki hirarki, dalam arti bahwa jarang ditemukan suatu sistem
bersifat independen, namun suatu sistem pada umumnya adalah
bagian dan sistem lain yang lebih besar
Beroperasi

dalam

suatu

lingkungan

yang

justru

dapat

mempengaruhi performansi sistem itu sendiri


Ergonomi Anthropometri
Istilah antopometri berasal dari kata Anthropos yang berarti manusia dan
Metrikos yang berarti ukuran. Secara definisi anthropometri dapat dinyatakan
sebagai suatu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia.
Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran, berat dan lain yang
berbeda satu dengan lainnya (Wignjosoebroto,2003).
Selain itu, menurut Stevenson (1989) dan Nurmianto (1991), anthropometri
adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik
tubuh manusia, yaitu: ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data
tersebut untuk penanganan masalah desain.
Anthropometri dibagi atas dua bagian, yaitu :
1. Anthropometri Statis
Pengukuran manusia pada posisi diam dan linear pada permukaan tubuh. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi dimensi tubuh manusia diantaranya
adalah :
a. Umur
Ukuran tubuh manusia akan berkembang. Ada saat lahir sampai sekitar 20
tahun untuk pria dan 17 tahun untuk wanita. Ada kecenderung setelah 60
tahun.
b. Jenis kelamin
Pria umumnya memiliki dimensi tubuh yang lebih besar kecuali dada dan
pinggul.
c. Suku bangsa (etnis)
23

d. Sosio ekonomi
e. Konsumsi gizi yang diperoleh
f. Pekerjaan
g. Aktifitas sehari-hari juga berpengaruh.

2. Anthropometri Dinamis
Yang dimaksud dengan antropometri dinamis adalah pengukuran keadaan
dan ciri-ciri fisik manusia dalam keadaan bergerak atau memperhatikan
gerakan-gerakan yang mungkin terjadi saat pekerja tersebut melaksakan
kegiatannya.
Terdapat tiga kelas pengukuran antropometri dinamis, yaitu : Pengukuran
tingkat keterampilan sebagai pendekatan untuk mengerti keadaan mekanis dari
suatu aktifitas. Contohnya : dalam pengukuran performansi atlet.
Pengukuran jangkauan ruang yang dibutuhkan saat kerja. Contohnya:
jangkauan dari gerakan tangan dan kaki efektif pada saat bekerja, yang
dilakukan dengan berdiri atu duduk. Pengukuran variabilitas kerja, contohnya
analisis kinematika dan kemampuan jari-jari tangan dari seseorang juru ketik
atau operator komputer.

Antropometri dan Aplikasinya dalam Perancangan Fasilitas Kerja


Anthropometri

secara

luas

akan

digunakan

sebagai

pertimbangan-

pertimbangan ergonomis dalam memerlukan interaksi manusia. Data


anthropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara
lain dalam hal Perancangan areal kerja (work station, interior, mobil, dll).
Perancangan peralatan kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools) dan
sebagainya. Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi,
meja komputer, dll.

24

Perancangan lingkungan kerja fisik.


Disimpulkan bahwa data anthropometry akan menentukan bentuk, ukuran dan
dimensi yang tepat yang berkaitan dengan produk yang dirancang dan manusia
yang akan mengoperasikan / menggunakan produk tersebut. Kaitan ini maka
perancang produk harus mampu mengakomodasikan dimensi tubuh dari populasi
terbesar yang akan menggunakan produk hasil rancangannya tersebut.
Aplikasi Data Antropometri dalam Perancangan Produk atau Fasilitas Kerja
Data anthropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota
tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat
suatu rancangan produk atupun fasilitas kerja akan dibuat. Penerapan data
anthropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai mean (rata-rata) dan SD
(standar deviasi) dari suatu distribusi normal.
Mengingat bahwa keadaan dan ciri fisik dipengaruhi oleh banyak faktor
sehingga berbeda satu sama lainnya maka terdapat tiga prinsip dalam pemakai
data tersebut, yaitu perancangan fasilitas berdasarkan individu yang ekstrim,
perancangan fasilitas yang bisa disesuaikan,dan perancangan fasilitas berdasarkan
harga rata-rata pemakainya.
Prinsip

perancangan

fasilitas

berdasarkan

individu

ekstrim.

Perancangan fasilitas berdasarkan individu ekstrim ini terbagi atas dua yaitu
perancangan berdasarkan individu terbesar (pada penelitian ini berdasarkan data
anthropometri terbesar). Kedua adalah perancangan fasilitas berdasarkan individu
terkecil (data anthropometry terkecil). Perancangan fasilitas yang bisa
disesuaikan. Prinsip ini digunakan untuk merancang suatu fasilitas agar fasilitas
tersebut bisa menampung atau bisa dipakai dengan enak dan nyaman oleh semua
orang yang mungkin memerlukannya. Perancangan fasilitas berdasarkan harga
rata-rata para pemakianya. Prinsip ini hanya digunakan apabila perancangan
berdasarkan harga ekstrim tidak mungkin dilaksanakan dan tidak layak jika kita
menggunakan prinsip perancangan fasilitas yang bisa disesuaikan. Prinsip
berdasarkan harga ekstrim tidak mungkin dilaksanakan bila lebih banyak rugi

25

daripada untungnya, artinya hanya sebagain kecil dari dari orang-orang yang
merasa enak dan nyaman ketika menggunakan fasilitas tersebut. Sedangkan jika
fasilitas tersebut dirancang berdasarkan fasilitas yang bisa disesuaikan, tidak layak
karena terlalu mahal biayanya .

E. PENCEGAHAN KECELAKAAN KERJA


Kecelakaan Kerja adalah sesuatu yang tidak terduga dan tidak diharapkan
yang dapat mengakibatkan kerugian harta benda, korban jiwa / luka / cacat
maupun pencemaran. Kecelakaan kerja merupakan kecelakaan yang terjadi akibat
adanya hubungan kerja, (terjadi karena suatu pekerjaan atau melaksanakan
pekerjaan ). Oleh karena itu untuk menghindarinya maka diadakan tindakan
PENCEGAHAN. Pencegahan kecelakaan kerja ini ialah segala upaya yang
dilakukan demi terhindarnya baik pekerja maupun alat industry dari hal-hal yang
tidak diinginkan.

KONSEPSI PENYEBAB KECELAKAAN KERJA

Sebelum Revolusi Industri :


Kecelakaan itu terjadi karena nasib semata-mata, sehingga pada waktu itu
belum ada usaha secara rasional yang diarahkan untuk mencegah
kecelakaan.

Zaman Revolusi Industri tahun 1931 :


Herbert W Heinrich memprakarsai teori dasar penyebab dan pencegahan
kecelakaan atau yang dikenal dengan teori Domino Kecelakaan. Dia
mengatakan bahwa sebagian besar kecelakaan ( 80% ) disebabkan
karena faktor manusia atau dengan perkataan lain tindakan tidak aman dari
manusia.
26

SEBAB SEBAB KECELAKAAN KERJA

Berdasarkan konsepsi sebab kecelakaan tersebut diatas, maka ditinjau dari


sudut keselamatan kerja unsur-unsur penyebab kecelakaan kerja mencakup 5 M
yaitu :
1. Manusia.
2. Manajemen ( unsur pengatur ).
3. Material ( bahan-bahan ).
4. Mesin ( peralatan ).
5. Medan ( tempat kerja / lingkungan kerja ).
Semua unsur tersebut saling berhubungan dan membentuk suatu sistem
tersendiri. Ketimpangan pada salah satu atau lebih unsur tersebut akan
menimbulkan kecelakaan / kerugian. Berikut contoh bentuk-bentuk ketimpangan
unsur 5M tersebut.:
1. Unsur Manusia, antara lain :
Tidak adanya unsur keharmonisan antar tenaga kerja maupun
dengan pimpinan.
Kurangya pengetahuan / keterampilan.
Ketidakmampuan fisik / mental.
Kurangnya motivasi.

2. Unsur Manajemen, antara lain :


Kurang pengawasan.
Struktur organisasi yang tidak jelas dan kurang tepat.
Kesalahan prosedur operasi.
Kesalahan pembinaan pekerja.
3. Unsur Material, antara lain :

27

Adanya bahan beracun / mudah terbakar.


Adanya bahan yang mengandung korosif.
4. Unsur Mesin, antara lain :
Cacat pada waktu proses pembuatan.
Kerusakan karena pengolahan.
Kesalahan perencanaan.
5. Unsur Medan, antara lain :
Penerangan tidak tepat ( silau atau gelap ).
Ventilasi buruk dan housekeeping yang jelek.
Indikator keberhasilan dunia industri sangat bergantung pada kualitas
tenaga kerja yang produktif, sehat dan berkualitas, contoh industri bidang
konstruksi yang merupakan kegiatan di lapangan, memiliki fenomena kompleks
yang menyangkut perilaku dan manajemen keselamatan. Dalam industri,
konstruksi terjadinya kecelakaan berat lima kali lipat dibandingkan industri
berbasis manufaktur.
Pekerjaan dan pemeliharaan konstruksi mempunyai sifat bahaya secara
alamiah, oleh sebab itu masalah bahaya harus ditempatkan pada urutan pertama
program keselamatan dan kesehatan. Sebagian besar negara , keselamatan di
tempat kerja masih memprihatinkan, seperti di Indonesia, rata-rata pekerja usia
produktif (15 45 tahun) meninggal akibat kecelakaan kerja. Kenyataanya
standard keselamatan kerja di Indonesia paling buruk dibandingkan dengan negara
- negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Kecelakaan kerja bersifat tidak menguntungkan, tidak dapat diramal, tidak
dapat dihindari sehingga tidak dapat diantisipasi dan interaksinya tidak disengaja.
Berdasarkan penyebabnya, terjadinya kecelakaan kerja dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Sebab kecelakaan tidak langsung

28

terdiri dari faktor lingkungan(zat kimia yang tidak aman, kondisi fisik dan
mekanik) dan faktor manusia(lebih dari 80%).
Kecelakaan terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pelatihan,
kurangnya pengawasan, kompleksitas dan keanekaragaman ukuran organisasi,
yang kesemuanya mempengaruhi kinerja keselamatan dalam industri konstruksi.
Para pekerja akan tertekan dalam bekerja apabila waktu yang disediakan untuk
merencanakan, melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan terbatas. Manusia dan
beban kerja serta faktor-faktor dalam lingkungan kerja merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan, yang disebut roda keseimbangan dinamis.
Terjadinya kecelakaan kerja merupakan suatu kerugian baik itu bagi korban
kecelakaan kerja maupun terhadap perusahaan (organisasi). Upaya pencegahan
kecelakaan kerja diperlukan untuk menghindari kerugian-kerugian juga untuk
meningkatkan kinerja keselamatan kerja di tempat kerja.
Kecelakaan kerja dapat dihindari dengan melakukan :

1. DISIPLIN KERJA
Disiplin kerja merupakan tata tertib diri serta keteraturan diri dalam
melakukan suatu pekerjaan agar terlatih baik fikiran, tindakan

maupun

perbuatan yang dilakukan secara kontinyuitas untuk mencapai tujuan dalam


jangka waktu panjang serta dengan tujuan agar hasilnya memuaskan.
Disiplin kerja dapat dilihat sebagai sesuatu yang besar manfaatnya, baik
bagi kepentingan organisasi maupun bagi para pegawainya. Bagi organisasi
adanya disiplin kerja akan menjamin terpeliharanya tata tertib dan kelancaran
pelaksanaan tugas, sehingga diperoleh hasil yang optimal. Sedangkan bagi
pegawai akan diperoleh suasana kerja yang menyenangkan dan menghindari
terjadinya kecelakaan kerja, sehingga akan menambah semangat kerja dalam
melaksanakan pekerjaannya. Dengan demikian, pegawai dapat melaksanakan

29

tugasnya dengan penuh kesadaran serta dapat mengembangkan tenaga dan


pikirannya semaksimal mungkin demi terwujudnya tujuan organisasi.
Pengaruh Disiplin Kerja tehadap Hasil Kerja

Tipe-tipe Kedisiplinan
a. Disiplin prefentif
Disiplin prefentif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong
para karyawan agar mengikuti

berbagai

standar standar dan aturan,

sehingga kecelakaan kerja dapat dicegah. Dengan disiplin ini pihak


perusahaan akan dapat mengantisipasi tindakan-tindakan yang mungkin akan
terjadi yang dapat menghambat jalannya kegiatan organisasi, jadi dapat
dikatakan bahwa disiplin dapat ditekankan pada awal-awal kegiatan sebagai
tindakan pencegahan sebelum terjadinya kecelakaan kerja.

30

b. Disiplin Korektif
Disiplin Korektif adalah kegiatan yang diambil untuk menangani
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan dan mencoba menghindari
pelanggaranpelanggaran

lebih

lanjut

dan

menghindari

terjadinya

kecelakaan kerja.
Faktor-Faktor Disiplin Kerja
1. Faktor Lingkungan Kerja/Organisasi Budaya
2. Faktor Peraturan Organisasi
3. Faktor Kebutuhan
4. Faktor Perintah Atasan
5. Faktor-Faktor Disiplin Kerja

VA
Disi
plin
Kerj
a

DI

INDIKATOR

Tuju
an
disip
Fakt
or
pend

1. Sesuai
rencana dan
jadwal
1. Teladan
Kepemimpinan
2. Balas Jasa

Fakt
or
pene

1. Pengawas
an Melekat
2. Sanksi

31

KECELAKAAN
KERJA DAPAT
DIHINDARI

2. PELATIHAN KERJA
Menurut PP No.31 tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional,
Pelatihan kerja atau yang sekarang biasa kita kenal dengan istilah training adalah
seluruh

kegiatan

untuk

memberi,

memperoleh,

meningkatkan,

serta

mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja


pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan
kualifikasi jabatan atau pekerjaan. Singkatnya, pelatihan kerja merupakan proses
mengajarkan pengetahuan dan pengembangan keterampilan bekerja (vocational)
serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung
jawabnya dengan semakin baik sesuai dengan standar.
Pentingnya Pelatihan Kerja
Tujuan pelatihan keselamatan kerja antara lain :
1. Agar tenaga kerja memiliki pengetahuan dan kemampuan mencegah
kecelakaan kerja.
2. Mengembangkan konsep dan kebiasaan pentingnya keselamatan dan
kesehatan kerja.
3. Memahami ancaman bahaya yang ada di tempat kerja dan
menggunakan langkah pencegahan kecelakaan kerja.
4. Mengoptimalkan pendayagunaan dan pemberdayaan seluruh sumber
daya pelatihan kerja.
5. Untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan bisnis dan operasionaloperasional industri sejak hari pertama masuk kerja.
6. Untuk mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru agar menjadi
kompeten.
Sumber Daya Manusia dalam suatu perusahaan merupakan aset penting
bagi perkembangan perusahaan. Untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan
kerja para karyawan, banyak perusahaan mengadakan pelatihan kerja/training.
Biasanya training dilakukan sebelum memulai kerja atau pada saat awal masuk
32

kerja. Mengingat pentingnya pelatihan kerja/ training untuk menghindari


terjadinya kecelakaan kerja yang membahayakan pekerja.
Jenis - jenis pelatihan kerja antara lain :
1. Skills training
Pelatihan keahlian merupakan pelatihan yang sering di jumpai
dalam organisasi. Program pelatihaannya relatif sederhana:
kebutuhan atau kekurangan diidentifikasi rnelalui penilaian yang
jeli. Kriteria penilaian efektifitas pelatihan juga berdasarkan pada
sasaran yang diidentifikasi dalam tahap penilaian.
2. Retraining
Pelatihan ulang berupaya memberikan kepada para karyawan
keahlian-keahlian yang mereka butuhkan untuk menghadapi
tuntutan kerja yang berubah-ubah. Seperti tenaga kerja instansi
pendidikan yang biasanya bekerja rnenggunakan mesin ketik
manual mungkin harus dilatih dengan mesin computer atau akses
internet.
3. Cross functional training
Pelatihan lintas fungsional melibatkan pelatihan karyawan untuk
melakukan aktivitas kerja dalam bidang lainnya selain dan
pekerjan yang ditugaskan.
4. Team training
Pelatihan tim merupakan pelatihan yang terdiri dari sekelompok
individu dimana mereka harus menyelesaikan bersama sebuah
pekerjaan demi tujuan bersama dalam tim.
5. Creativity training
Pelatihan kreatifitas berlandaskan pada asumsi hahwa kreativitas
dapat dipelajari. Maksudnya tenaga kerja diberikan peluang untuk
mengeluarkan gagasan sebebas mungkin yang berdasar pada
penilaian rasional dan biaya.

33

Teknik pelatihan kerja


Teknik pelatihan kerja secara umum dibagi menjadi dua yaitu
1. On the job training
2. Off the job training
On the job training lebih banyak digunakan dibandingkan dengan off the job
training, karena program on the job training lebih berfokus pada peningkatan
produktivitas secara cepat, sedangkan metode off the job training lebih cenderung
berfokus pada perkembangan dan pendidikan jangka panjang.

3. AWARD / PENGHARGAAN UNTUK TENAGA KERJA


Setiap orang yang bekerja pada seseorang ataupun instansi berhak
mendapatkan upah, hal ini tertuang dalam perlindungan undang-undang
perburuhan tentang pengupahan PP No. 8 tahun 1981 dan UU ketenagakerjaan
No.13 Tahun 2003. Setiap orang yang mengeluarkan keringatnya berhak atas
upah

dan

setiap

orang

yang

memperkejakan

seseorang

berkewajiban

membayarkan upahnya.
Perusahaan dapat memberikan award / penghargaan kepada para tenaga
kerjanya, baik dalam bentuk bonus gaji ataupun dalam bentuk sertifikat
penghargaan, sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor

PER.01/MEN/I/2007

tentang

Pedoman

Pemberian

Penghargaan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pemberian award tersebut bertujuan agar
para tenaga kerja dapat mengembangkan soft skill atau kemampuan lain yang
dimilikinya dengan semaksimal mungkin.

34

Komponen Sistem Penghargaan


A. Kenaikan Gaji
Gaji adalah balas jasa yang diberikan kepada setiap karyawan yang
dibayarkan secara tetap setiap bulannya, sedangkan upah adalah
pembayaran jasa yang diberikan kepada karyawan yang dibayarkan
berdasarkan hari, jam atau jumlah satuan produk yang dihasilkan. Dengan
demikian pencapaian tujuan perusahaan dapat terkendali tanpa adanya
hambatan terhadap penggunaan tenaga kerja. Begitupun juga para pekerja
sendiri merasa tentram untuk bekerja dan berusaha untuk mendukung
kemajuan perusahaan.
Sistem penggajian/pengupahan yang umum diterapkan antara lain:
a. Sistem Waktu
Besarnya gaji/upah dalam sistem ini ditetapkan berdasarkan standart
waktu seperti jam, mingguan ataupun bulanan. Administrasi pengupahan
sistem waktu relatif mudah serta dapat diterapkan kepada karyawan tetap
ataupun harian. Sistem ini biasanya ditetapkan jika prestasi kerja sullit
diukur perunitnya dan bagi karyawan tetap upahnya atas sistem waktu
secara periodik setiap bulannya.
b. Sistem Hasil (Out Put)
Besarnya upah dalam sistem ini ditetapkan atas kesatuan unit yang
dihasilkan pekerjaan seperti potong, meter, liter dan kilogram. Besarnya
upah yang dibayar selalu didasarkan kepada banyaknya hasil yang
dikerjakan bukan pada lamanya waktu pengerjaannya. Sistem ini tidak
bisa diterapkan pada karyawan tetap (sistem waktu) dan jenis pekerjaan
yang tidak mempunyai standar fisik, seperti bagi karyawan administrasi.
Kebaikan sistem ini memberikan kesempatan kepada yang bekerja
sungguh-sungguh serta berprestasi baik akan memperoleh balas jasa yang
lebih besar. Namun kelemahannya adalah kualitas barang yang dihasilkan

35

kurang baik dan karyawan yang kurang mampu balas jasanya kecil
sehingga kurang manusiawi.
c. Sistem Borongan
Sistem borongan adalah suatu cara pengupahan yang menetapkan besarnya
jasa yang didasarkan atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya.
Penetapan besarnya balas jasa didasarkan pada sistem borngan cukup
rumit, lama mengerjakannya serta banyaknya alat yang diperlikan untuk
menyelesaikannya.

B. Bonus
Bonus adalah pemberian pendapatan tambahan bagi karyawan/pekerja
yang hanya diberikan setahun sekali bila syarat-syarat tertentu dipenuhi.
Pertama, bonus hanya dapat diberikan bila perusahaan memperoleh laba
selama tahun fiscal yang telah berlalu. Karena bonus biasanya diambil dari
keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan. Kedua, bonus tidak diberikan
secara merata kepada semua karyawan. Artinya, besarnya bonus harus
dikaitkan dengan prestasi kerja individu.
Penghargaan dapat juga diberikan karena keberhasilan tenaga kerja dalam
melakukan pekerjaannya, contohnya pekerja tersebut dalam melakukan suatu
pekerjaan tidak terjadi kecelakaan kerja, maka perusahaan dapat memberikan
penghargaan

kepada

pekerja

tersebut

penghargaannya sebagai berikut

36

atas

pekerjaannya.

Contoh

Berdasarkan teori domino effect penyebab kecelakaan kerja H.W. Heinrich,


maka terdapat berbagai upaya untuk mencegah kecelakaan kerja di tempat kerja,
antara lain :
1. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Pengendalian Bahaya di
Tempat Kerja :

Pemantauan dan Pengendalian Kondisi Tidak Aman

Pemantauan dan Pengendalian Tindakan Tidak Aman

2. Upaya

Pencegahan

Kecelakaan

Pengawasan :

Pelatihan dan Pendidikan

Konseling dan Konsultasi

37

Kerja

melalui

Pembinaan

dan

Pengembangan Sumber Daya ataupun Teknologi

3. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Sistem Manajemen :

Prosedur dan Aturan

Penyediaan Sarana dan Prasarana

Penghargaan dan Sanksi

Sebenarnya upaya pencegahan kecelakaan dapat dilakukan dengan


sederhana yaitu dengan menghilangkan faktor penyebab terjadinya kecelakaan.
Akan tetapi, kenyataan yang dihadapi di lapangan tidak semudah seperti yang
dibayangkan. Karena ini berkaitan dengan perubahan budaya dan perilaku.
Banyak faktor yang menghambat, seperti kurangnya pengetahuan dan kesadaran
pekerja, kurangnya sarana dan prasarana, belum adanya budaya tentang K3,
komitmen dari pihak manajemen yang kurang dan lain-lain. Oleh karena itulah
banyak berkembang pendekatan-pendekatan yang membahas tentang pencegahan
kecelakaan.
Beberapa pendekatan yang disampaikan oleh para ahli antara lain:
A. Pendekatan Energi
Sesuai denga konsep energy, bahwa kecelakaan bermula dari sumber
energy. Oleh karena itu, pendekatan pencegahan kecelakaan dapat dilakukan
pada 3 titik sumber terjadinya kecelakaan yaitu pada sumbernya, sepanjang
aliran energy dan pada penerima.

3. Pendekatan pada sumber bahaya


Salah satu contoh pengendalian pada sumber bahaya misalnya
memakai peredam suara pada mesin, mengganti mesin dengan
mesin yang lebih rendah tingkat kebisingannya.
4. Pendekatan di sepanjang aliran energy
Pendekatan berikutnya adalah di sepanjang aliran energy. Misalnya
untuk mengurangi kebisingan dengan jalan memasang dinding
kedap suara atau memindahkan area kerja.

38

5. Pendekatan pada penerima


Pendekatan pada penerima misalnya, untuk mengurangi kebisingan
dengan menggunakan alat penutup telinga.

B. Pendekatan Manusia
Data menyebutkan bahwa sebanyak 85% kecelakaan kerja pada
manusia disebabkan oleh unsafe action. Oleh karena itu pendekatan
pencegahan kecelakaan dari sisi manusia adalah dengan menghilangkan atau
unsafe action dengan jalan:
Pembinaan dan pelatihan
Promosi K3 dan kampanye K3
Pembinaan perilaku aman
Pengawasan dan inspeksi K3
Audit K3
Komunikasi K3
Pengembangan prosedur kerja aman

C. Pendekatan Teknis
Pendekatan teknis menyangkut kondisi fisik, peralatan, lingkungan
kerja maupun proses produksi. Pendekatan teknis untuk mencegah kecelakaan
misalnya:
Pembuatan rancang bangun yang sesuai dengan standard dan
ketentuan yang berlaku.
Memasang system pengamanan pada alat kerja atau instalasi
untuk mencegah kecelakaan dalam pengoperasian alat, misalnya
tutup pengaman mesin, system inter lock, system alarm, dan
sebagainya

D. Pendekatan Administratif
Pendekatan secara administratif dapat dilakukan dengan cara:

39

Penyediaan alat keselamatan kerja


Mengatur pola kerja
Membuat Standar Operating Procedure pengoperasian mesin
Pengaturan waktu dan jam kerja untuk menghindari kelelahan
pekerja

E. Pendekatan Manajemen
Upaya pencegahan kecelakaan dari sisi manajemen antara lain:
Menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja
Mengembangkan organisasi K3
Mengembangkan komitmen dan kepemimpinan K3, khususnya
untuk manajemen tingkat atas

Selain cara pendekatan diatas, terdapat juga beberapa pendekatan yang


lebih spesifik. Berdasarkan uraian diatas, maka kecelakaan terjadi karena adanya
ketimpangan dalam unsur 5M, yang dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok
yang saling terkait, yaitu : Manusia, Perangkat keras dan Perangkat lunak. Oleh
karena itu dalam melaksanakan pencegahan dan pengendalian kecelakaan adalah
dengan pendekatan kepada ketiga unsur kelompok tersebut, yaitu :
1. Pendekatan terhadap kelemahan pada unsur manusia, antara lain :
a. Pemilihan / penempatan pegawai secara tepat agar diperoleh
keserasian antara bakat dan kemampuan fisik pekerja dengan
tugasnya.
b. Pembinaan pengetahuan dan keterampilan melalui training yang
relevan dengan pekerjaannya.
c. Pembinaan motivasi agar tenaga kerja bersikap dan bertndak
sesuai dengan keperluan perusahaan.
d. Pengarahan penyaluran instruksi dan informasi yang lengkap dan
jelas.

40

e. Pengawasan dan disiplin yang wajar.

2. Pendekatan terhadap kelemahan pada perangkat keras, antara lain :


a. Perancangan, pembangunan, pengendalian, modifikasi, peralatan
kilang, mesin-mesin harus memperhitungkan keselamatan kerja.
b. Pengelolaan penimbunan, pengeluaran, penyaluran, pengangkutan,
penyusunan, penyimpanan dan penggunaan bahan produksi secara
tepat sesuai dengan standar keselamatan kerja yang berlaku.
c. Pemeliharaan tempat kerja tetap bersih dan aman untuk pekerja.
d. Pembuangan sisa produksi dengan memperhitungkan kelestarian
lingkungan.
e. Perencanaan

lingkungan

kerja

sesuai

dengan

kemampuan

manusia.

3. Pendekatan terhadap kelemahan pada perangkat lunak, harus melibatkan


seluruh level manajemen, antara lain :
a. Penyebaran, pelaksanaan dan pengawasan dari safety policy.
b. Penentuan struktur pelimpahan wewenang dan pembagian tanggung
jawab.
c. Penentuan pelaksanaan pengawasan, melaksanakan dan mengawasi
sistem/prosedur kerja yang benar.
d. Pembuatan sistem pengendalian bahaya.
e. Perencanaan sistem pemeliharaan, penempatan dan pembinaan
pekerja yang terpadu.
f. Penggunaan standard/code yang dapat diandalkan.
g. Pembuatan sistem pemantauan untuk mengetahui ketimpangan yang
ada.

41

Selain itu terdapat juga beberapa pencegahan alternative diantaranya :


1.

Kaji resiko dari setiap pekerjaan yang akan dilakukan. Hal ini bisa
dilakukan dengan membuat JSA (Job Safety Analisys) atau analisa
keselamatan kerja. Yang membuat JSA tentu saja adalah orang yang
terlibat langsung pada pekerjaan tersebut(misal supervisor ). Setelah JSA
dibuat, dan disetujui oleh orang yang berwenang, tentu saja harus
disosialisasikan kepada semua orang yeng terlibat pada pekerjaan tersebut,
agar mereka benar2 paham akan resiko dari pekerjaan tadi dan juga tahu
cara untuk menghilangkan/mengurangi resiko pekerjaan tersebut.

2. Stop pekerjaan yang berbahaya. Maksud stop disini bukan berarti berhenti
total bekerja, akan tetapi jika JSA sudah dilakukan dengan baik, masih ada
bahaya yang timbul karena perkembangan kerja, dan tidak terdeteksi pada
JSA, maka sebaiknya stop sejenak pekerjaan, diskusikan hal tersebut
hingga didapat solusi agar pekerjaan dapat tetap berjalan dengan aman.
3. Laporkan setiap kecelakaan yang terjadi, kejadian hampir celaka(near
miss) sekecil apapun kepada orang yang berwenang( misal safety officer,
supervisor). Dengan melaporkan setiap kejadian walaupun itu kecil, maka
kita bisa mengurangi/menghilangkan potensi bahaya yang timbul sebelum
itu menjadi kecelakaan yang fatal.
4. Harus ada management system. Management system adalah pendekatan
standar

untuk

secara

sistematik

mengidentifikasi

dan

menutup

performance gaps. dengan management system kita bisa mengintegrasikan


tujuan, rencana, proses dan perilaku dalam operasi sehari-hari. Di
management system juga berisi apa requirement dari masing-masing
element dan menjelaskan bagaimana cara mencapainya. Contohnya JSA,
risk assessment adalah salah satu cara yang digunakan untuk memenuhi
requirement

bahwa

setiap

pekerjaan

harus

diasses

potential

hazards/risknya. Management system juga memastikan bahwa procedure,


program atau process yang dijalankan untuk mencegah kecelakaan akan
sustain.

42

5. Harus ada aligned and committed leadership yang bertanggungjawab dan


akuntabel terhadap safety. Harus ada penjelasan untuk setiap level apa
tanggungjawab, dan bagaimana cara mencapainya. Leder lah yang mendirect process dalam management system untuk men-drive improvement
dalam safety results.
6. Harus ada culture yang percaya bahwa insiden bisa dicegah.
7. Harus ada standard procedure yang memastikan alignment dengan
business plan. Kalau tidak aligned bagaimana bisa dapat funding dan
menjadi business objective tahun/tahun-tahun bersangkutan.

Akhirnya dapat disimpulkan, melakukan pencegahan kecelakaan kerja


perlu diperhatikan unsur-unsur yang terlibat dalam pekerjaan tersebut, baik
manusia, perangkat keras maupun perangkat lunak merupakan suatu kesatuan
yang saling terkait dalam pencegahan kecelakaan kerja, dengan kata lain
PENCEGAHAN

KECELAKAAN

KERJA

JAWAB KITA BERSAMA

43

MERUPAKAN

TANGGUNG

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Segala pekerjaan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari harus
mengutamakan keselamatan kerja, sehingga kita perlu mengetahui dan
memahami hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan kerja, ergonomi,
serta upaya pencegahan kecelakaan kerja agar hasil kerja yang kita peroleh
optimal dan terhindar dari kecelakaan kerja.

B. SARAN
1. Patuhilah aturan tentang keselamatan kerja untuk menghindari kecelakaan
kerja.
2. Perhatikanlah cara mengkondisikan material produksi untuk menghindari
kecelakaan kerja.
3. Selalu menggunakan APD ( Alat Pelindung Diri ) untuk menghindari
kecelakaan kerja.

44

DAFTAR PUSTAKA

Berita LNG BADAK- edisi 21 September 2006 ke 8/XXVII

Hastuti Tri . 2002 . Kesehatan dan Keselamatan Kerja . Jakarta . Universitas


Indonesia Press .

http://id.shvoong.com/business-management/human-resources/1822345-usahausaha-pencegahan-terjadinya-kecelakaan/ diakses tanggal 20 oktober 2011

http://dinsosnakertrans.tulungagung.go.id/index.php/artikel/k3/265-pencegahankecelakaan diakses tanggal 20 oktober 2011

Ramli, Soehatman . 2009 . Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja


OHSAS 18001. Jakarta. Dian Rakyat

Soedjono . 1985 . Keselamatan Kerja II . Jakarta . Bhatara Karya Aksara

45

Anda mungkin juga menyukai