Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

K3 KONSTRUKSI DAN KESELAMATAN KERJA KONSTRUKSI

Disusun Oleh :

RAVI RIZKIAN ROZAQ


(2020210035)

DOSEN PENGAMPU :

Arman A, S,ST.,MT

JURUSAN TEKNIK SIPIL

INSTITUT TEKNOLOGI PADANG

2023
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih

sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di

Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja. Hal ini tentunya sangat

memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal

karyawan adalah aset penting perusahaan.

Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-

perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000

lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen

K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan

bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika

diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja

sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari

190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan.

Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi.

Tenaga kerja di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja di

seluruh sektor, dan menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa konstruksi

adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja, disamping sektor

utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan pertambangan. Angka

kecelakaan kerja di sektor kontruksi didunia pada umumnya lebih tinggi dari angka

kecelakaan di sektor lainnya seperti sektor manufaktur maupun industri. Dan angka
kecelakaan kerja kontruksi di indonesia adalah yang tertinggi. Tingginya angka

kecelakaan kontruksi bersumber dari berbagai faktor. Baik dari pekerjanya sendiri, dari

perusahaan maupun dari pemerintah yang menetapkan peraturan dan sanksi. Sehingga

belum adanya komitmen yang sama dari seluruh pihak yang berkepentingan untuk selalu

menghargai dan mengutamakan Keselamatan dan Kesehatan kerja sebagai hak asasi

pekerja.

Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta orang, 53%

di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan

sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun.

Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang

tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya

mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan

dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada

perusahaan konstruksi.

Untuk itu diperlukan kesadaran para pengusaha kontruksi, penyedia jasa ,pengawas

maupun pelaksana kontruksi untuk menerapkan sistem manajemen K3 baik. Penerapan

sistem manajemen yang terintegrasi dan memenuhi persyaratan K3 serta melengkapi

tenaga-tenaga ahli yang berkompenten di bidang K3 adalah syarat mutlak untuk

mengurangi tingkat kecelakaan di tempat kerja khususnya di sektor Kontruksi. Tenaga-

tenaga ahli harus ditingkatkan melaluli pelatihan-pelatihan dan pendidikan serta

pengetahuan akan bahaya di tempat kerja.


B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini

mengenai kondisi pada proyek konstruksi serta bagaimana peranan kesehatan dan

keselamatan kerja pada proyek konstruksi.


BAB II

KAJIAN TEORI
A. PENGERTIAN K3

K3 (Keselamtan dan Kesehatan Kerja) saat ini menjadi sebuah hal yang cukup familiar
dalam dunia kerja. Namun belum semua orang mengetahui pengertian K3 sebenarnya.
Berikut adalah beberapa pengertian K3 menurut ILO (International Labour Organization)
dan beberapa ahli :

1. ILO (International Labour Organization)

Suatu upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat kesejahtaraan fisik,


mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan, pencegahan
penyimpangan kesehatan diantara pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
perlindungan pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan
kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang
diadaptasikan dengan kapabilitas fisiologi dan psikologi; dan diringkaskan sebagai adaptasi
pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia kepada jabatannya.

2. Mangkunegara (2002)

Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya,
dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan
makmur.

3. Suma’mur (2001)

Keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang
aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.

4. Simanjuntak (1994)

Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan
kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin,
peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja.

5. Mathis dan Jackson (2002)

Keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang


terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi
umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.

6. Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000)

Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan
aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan
sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
7. Jackson (1999)

Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-


fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan
oleh perusahaan.

B. DASAR HUKUM K3 DI INDONESIA

Dasar hukum pelaksanaan K3 di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang Kerja


2. Undang-undang No. 2 Tahun 1952 tentang Kecelakaan Kerja
3. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
4. Permenaker No. 4 Tahun 1995 Tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan
Kerja
5. Instruksi Menaker RI No. 5 Tahun 1996 Tentang Pengawasan dan Pembinaan K3 pada
Kegiatan Konstruksi Bangunan
6. Permenaker No. 5 Tahun 1996 tentang SMK3 (Sistem Manajemen K3)

C. JENIS BAHAYA KONSTRUKSI

Jenis-jenis bahaya konstruksi adalah :

1. Physical Hazards
2. Chemical Hazards
3. Electrical Hazards
4. Mechanical Hazards
5. Physiological Hazards
6. Biological Hazards
7. Ergonomic
8. Unsur Terkait dalam Proyek Konstruk
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kondisi Proyek Konstruksi

Karakteristik KegiatanKonstruksi

 Memiliki masa kerja terbatas

 Melibatkan jumlah tenaga kerja yang besar

 Melibatkan banyak tenaga kerja kasar (labour) yang berpendidikan relatif

rendah

 Memiliki intensitas kerjayang tinggi

 Bersifat multidisiplin dan multi crafts

 Menggunakan peralatan kerja beragam, jenis, teknologi, kapasitas dan

kondisinya.

 Memerlukan mobilisasi yang tinggi (peralatan, material dantenaga kerja)

1. Resiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi

Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki

risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja

pada proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek

konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan

dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut

ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak

terlatih. Ditambah dengan manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah,

akibatnya para pekerja bekerja dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko

tinggi.
King and Hudson (1985) menyatakan bahwa pada proyek konstruksi di

negara-negara berkembang, terdapat tiga kali lipat tingkat kematian dibandingkan

dengan di negara-negara maju.

Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi, pekerjaan-

pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian

dan pekerjaan galian. Pada ke dua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi

cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh

dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang

melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan

mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut kurang dihayati oleh

para pelaku konstruksi, dengan sering kali mengabaikan penggunaan peralatan

pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman

K3 konstruksi.

Bidang konstruksi adalah satu bidang produksi yang memerlukan kapasitas

tenaga kerja dan tenaga mesin yang sangat besar, bahaya yang sering ditimbulkan

umumnya dikarenakan faktor fisik, yaitu : terlindas dan terbentur yang disebabkan

oleh terjatuh dari ketinggian, kejatuhan barang dari atas atau barang roboh.

1. Kemungkinan jatuh dari ketinggian terjadinya lebih besar, kerusakan yang

ditimbulkannya lebih parah. Penyebab jatuh dari ketinggian umumnya adalah :

pekerja pada saat bekerja di tempat kerja memiliki kepercayaan dirinya

berpengalaman atau mencari jalan cepat, mulai bekerja tanpa mengenakan alat

pelindung apapun atau baju pelindung, sehingga begitu terjatuh tidak ada sabuk

pengaman atau jaring pengaman bisa mengakibatkan kematian. Selain kurangnya

pemahaman pekerja tentang keamanan, perlindungan tenaga kerja yang dilakukan

pemilik usaha sering tidak mencukupi, sebagai contoh bila bekerja di kerangka yang
tinggi, harus dipasang balok menyilang, disamping untuk menjaga kestabilan, selain

itu untuk memberikan topangan yang kuat bagi tenaga kerja; pada saat pekerja tidak

hati-hati terjatuh, ada satu lapisan pengaman, untuk mengurangi dampak yang terjadi.

Pemilik usaha tidak seharusnya mengabaikan hidup para pekerjanya demi untuk

mengejar keuntungan.

2. Penyebab kejatuhan benda dari atas seringkali karena kecerobohan pekerja;

seperti pada saat mengoperasikan mesin penderek, mesin penggali lubang atau mesin

pendorong, semestinya ada pagar pembatas di sekelilingnya, guna mencegah

masuknya pekerja, apabila tetap diperlukan pekerja lain untuk memberikan bantuan

operasional, maka di sampingnya perlu ada seorang mandor yang memberikan

komando dan pengawasan; selain pagar pembatas pekerja di area tersebut harus

memakai secara benar perlengkapan pelindung seperti helm, sarung tangan dan sepatu

pengaman dan lain-lain. Selain itu pada saat memindahkan barang berat, sebaiknya

menggunakan kekuatan mesin sebagai pengganti tenaga manusia, demi menghindari

terjadinya kecelakaan pada saat pemindahan.

3. Tertimpa barang yang roboh biasanya terjadi karena tidak adanya pagar

pembatas di area yang mudah runtuh, karena keruntuhan itu biasanya terjadi dalam

waktu sekejap tanpa peringatan terlebih dahulu, oleh karena itu dibuatkan demi

mengurangi resiko kecelakan terhadap pekerja yang memasuki area tersebut.

Benturan atau tabrakan biasanya terjadi dikarenakan kecerobohan pekerja, mesin

penggerak dan kendaraan yang digunakan berukuran sangat besar, pandangan petugas

operator tidak mudah mencapai luasnya batas area kerjanya sehingga terjadi benturan.

Jenis-jenis kecelakaan kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun

tanah, tersengat aliran listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya

tertimbun adalah risiko yang sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai
sebatas dada saja dapat berakibat kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding

galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba, terutama apabila hujan terjadi pada malam

sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada pagi keesokan harinya. Data kecelakaan

kerja pada pekerjaan galian di Indonesia belum tersedia, namun sebagai

perbandingan, Hinze dan Bren (1997) mengestimasi jumlah kasus di Amerika Serikat

yang mencapai 100 kematian dan 7000 cacat tetap per tahun akibat tertimbun longsor

dinding galian serta kecelakaan-kecelakaan lainnya dalam pekerjaan galian.

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup

signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di

samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya

pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan

perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat

dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian

sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh

psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari

pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan

pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar

dari pada biaya langsung.

2. Pedoman K3 Konstruksi

Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah perlindungan tenaga

kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai

dengan perkembangan jaman, pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan UU

13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup berbagai hal dalam

perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan

termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja.


Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini

mencakup ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara

umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan

untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak

aspek yang belum tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran

terhadap peraturan ini sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah.

Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Peraturan Menakertrans tersebut,

pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan

Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman

Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang

selanjutnya disingkat sebagai ”Pedoman K3 Konstruksi” ini merupakan pedoman

yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di Indonesia. Pedoman K3

Konstruksi ini cukup komprehensif, namun terkadang sulit dimengerti karena

menggunakan istilah-istilah yang tidak umum digunakan, serta tidak dilengkapi

dengan deskripsi/gambar yang memadai. Kekurangan-kekurangan tersebut tentunya

sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan, serta dapat menimbulkan

perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak pelaksana dan pihak pengawas

konstruksi.

Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih menjadi

pedoman yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan

Prasarana Wilayah, yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, mulai

memperbarui pedoman ini, dengan dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No.

384/KPTS/M/2004 Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada


Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” yang

baru ini khusus ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk jenis-

jenis proyek konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung, belum

dibuat pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya,

Pedoman Teknis K3 untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat digunakan pula

untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” juga

mencakup daftar berbagai penyakit akibat kerja yang harus dilaporkan.

Bila dibandingkan dengan standar K3 untuk jasa konstruksi di Amerika

Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926), Occupational Safety and Health

Administration (OSHA), sebuah badan khusus di bawah Departemen Tenaga Kerja

yang mengeluarkan pedoman K3 termasuk untuk bidang konstrusksi, memperbaharui

peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun). Peraturan atau pedoman teknis

tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Hal lain yang dapat dicontoh adalah

penerbitan brosur-brosur penjelasan untuk menjawab secara spesifik berbagai isu

utama yang muncul dalam pelaksanaan pedoman teknis di lapangan.

Pedoman yang dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan dan

kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus

disempurnakan dan mengakomodasi masukan-masukan dari pengalaman pelaku

konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi akan secara sadar

mengikuti peraturan untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya sendiri.

3. Pengawasan Dan Sistem Manajemen K3

Menurut UU Ketenagakerjaan, aspek pengawasan ketenagakerjaan termasuk

masalah K3 dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang harus memiliki

kompetensi dan independensi. Pegawai pengawas perlu merasa bebas dari pengaruh

berbagai pihak dalam mengambil keputusan. Di samping itu, unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan baik pada pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota

wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Tenaga Kerja.

Pegawai pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib

merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan dan tidak

menyalah gunakan kewenangannya.

Pegawai pengawas ini sangat minim jumlahnya, pegawai pengawas K3 di

Departemen Tenaga Kerja pada tahun 2002 berjumlah 1.299 orang secara nasional,

yang terdiri dari 389 orang tenaga pengawas struktural dan 910 orang tenaga

pengawas fungsional. Para tenaga pengawas ini jumlahnya sangat minim bila

dibandingkan dengan lingkup tugasnya yaitu mengawasi 176.713 perusahaan yang

mencakup 91,65 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia.

Pemerintah menyadari bahwa penerapan masalah K3 di perusahaan-perusahaan

tidak dapat diselesaikan dengan pengawasan saja. Perusahaan-perusahaan perlu

berpatisipasi aktif dalam penanganan masalah K3 dengan menyediakan rencana yang

baik, yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau

”SMK3.” SMK3 ini merupakan tindakan nyata yang berkaitan dengan usaha yang

dilakukan oleh seluruh tingkat manajemen dalam suatu organisasi dan dalam

pelaksanaan pekerjaan, agar seluruh pekerja dapat terlatih dan termotivasi untuk

melaksanakan program K3 sekaligus bekerja dengan lebih produktif.

UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang memiliki lebih dari

100 pekerja, atau kurang dari 100 pekerja tetapi dengan tempat kerja yang berisiko

tinggi (termasuk proyek konstruksi), untuk mengembangkan SMK3 dan

menerapkannya di tempat kerja.


SMK3 perlu dikembangkan sebagai bagian dari sistem manajemen suatu

perusahaan secara keseluruhan. SMK3 mencakup hal-hal berikut: struktur organisasi,

perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang

dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan

pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian

resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman,

efisien, dan produktif.

Kementrian Tenaga Kerja juga menunjuk tenaga-tenaga inspektor/pengawas

untuk memeriksa perusahaan-perusahaan dalam menerapkan aturan mengenai SMK3.

Para tenaga pengawas perlu melalukan audit paling tidak satu kali dalam tiga tahun.

Perusahaan- perusahaan yang memenuhi kewajibannya akan diberikan sertifikat

tanda bukti. Tetapi peraturan ini kurang jelas dalam mendifinisikan sanksi bagi

perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya.

Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat mengenai masalah K3, yaitu salah satunya dengan memberikan apresiasi

kepada para pengusaha yang menerapkan prinsip-prinsip K3 dalam operasional

perusahaan yang berupa penghargaan tertulis serta diumumkan di media-media

massa, seperti yang dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan

Kesehatan Kerja, Departemen Tenaga Kerja bekerja sama dengan Majalah Warta

Ekonomi dan PT Dupont Indonesia. Untuk tahun 2005 silam, pemenang penghargaan

tersebut adalah PT. Total E&P Indonesia (kategori Industri Pertambangan, Minyak,

dan Gas), PT. Nestle Indonesia (kategori Industri Consumer Goods), dan PT. Amoco

Mitsui PTA Indonesia serta PT. Wijaya Karya (kategori Industri Lainnya). Keempat

pemenang ini disaring dari 125 finalis.


Melihat nama-nama perusahaan yang mendapatkan penghargaan, menunjukkan

bahwa sebagian pelaku usaha yang sangat menyadari masalah K3 adalah perusahaan-

perusahaan multinasional. Namun, yang menarik adalah bahwa terdapat satu

perusahaan kontraktor nasional (BUMN) yaitu PT. Wijaya Karya sudah berada pada

jajaran perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen tinggi terhadap masalah K3.

Memang terdapat pengaruh positif budaya K3 yang dirasakan oleh pelaku konstruksi

nasional, yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan asing yang menerapkan prinsip-

prinsip K3 di proyek-proyek konstruksi, sehingga sedikit banyak memaksa perubahan

perilaku para tenaga kerja konstruksi.

4. Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh adanya UU No.

3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini, jaminan sosial

tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk

santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang

dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh

tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan meninggal dunia.

Jamsostek kemudian diatur lebih lanjut melalui PP No. 14/1993 mengenai

penyelenggaraan jamsostek di Indonesia. Kemudian, PP ini diperjelas lagi dengan

Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-05/MEN/1993, yang menunjuk PT.

ASTEK (sekarang menjadi PT. Jamsostek), sebagai sebuah badan (satu-satunya)

penyelenggara jamsostek secara nasional.

Sebagai penyelenggara asuransi jamsostek, PT. Jamsostek juga merupakan suatu

badan yang mencatat kasus-kasus kecelakaan kerja termasuk pada proyek-proyek

konstruksi melalui pelaporan klaim asusransi setiap kecelakaan kerja terjadi. Melalui
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999, berbagai aspek

penyelenggaraan program jamsostek diatur secara khusus untuk para tenaga kerja

harian lepas, borongan, dan perjanjian kerja waktu tertentu, pada sektor jasa

konstruksi. Karena pekerja sektor jasa konstruksi sebagian besar berstatus harian

lepas dan borongan, maka KepMen ini sangat membantu nasib mereka. Para

pengguna jasa wajib mengikutsertakan pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis

program jamsostek yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Apabila

mereka bekerja lebih dari 3 bulan, pekerja lepas ini berhak untuk ikut serta dalam dua

program tambahan lainnya yaitu program jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan

kesehatan.

Khusus mengenai aspek kesehatan kerja diatur melalui Keppres No.22/1993.

Dalam Keppres ini, terdapat 31 jenis penyakit yang diakui untuk mungkin timbul

karena hubungan kerja. Setiap tenaga kerja yang menderita salah satu penyakit ini

berhak mendapat jaminan kecelakaan kerja baik pada saat masih dalam hubungan

kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir (sampai maksimal 3 tahun). Pada

umumnya, penyakit-penyakit tersebut adalah sebagai akibat terkena bahan kimia yang

beracun yang berasal dari material konstruksi yang apabila terkena dalam waktu yang

cukup lama dapat mengakibatkan penyakit yang serius. Penyakit yang mungkin

timbul juga termasuk kelainan pendengaran akibat kebisingan kegiatan konstruksi,

serta kelainan otot, tulang dan persendian yang sering terjadi pada pekerja konstruksi

yang terlibat dalam proses pengangkutan material berbobot dan berulang, dan

penggunaan peralatan konstruksi yang kurang ergonomis.

Dengan demikian, perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jamsostek secara

legal dapat dikatakan memadai. Namun, besarnya pembayaran jaminan tersebut

sering kali tidak memadai. Sebagai contoh, biaya-biaya transportasi dan perawatan di
rumah sakit akibat kecelakaan kerja yang sudah tidak sesuai lagi dengan tingginya

kenaikan harga yang terjadi pada saat ini.

B. Peran K3 Pada Pekerjaan Konstruksi

Pekerjaan konstruksi merupakan kompleksitas kerja yang melibatkan bahan

bangunan, peralatan, perlengkapan, teknologi dan tenaga kerja yang secara sendiriataupun

bersama-sama dapat menjadi sumber potensial terjadinya kecelakaan. Selain itu pekerjaan

konstruksi pada umumnya merupakan pekerjaan di lapangan terbuka yang mudah

terpengaruh oleh cuaca. Macam pekerjaan dapat berlangsung dibawah tanah, dalam

genangan air, pada tempat-tempat lembab ataupun gelap yang berpotensi terhadap

kesehatan kerja. Tenaga kerja merupakan sumber daya yang sangat penting. Oleh karena

itu perlu dilindungi. Apalagi bila tenaga kerja yang telah trampil atau yang mempunyai

keahlian mendapatkan kecelakaan yang akan berakibat terhadap waktu penyelesaian

pekerjaan dan pada akhirnya merugikan bagi kontraktor.

Oleh sebab itu dibuatlah suatu peraturan perundang-undangan yang mewajibkan

kontraktor untuk melaksanakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada proyek yang

menjadi tanggungjawabnya guna menjamin perlindungan tenaga kerja dari kecelakaan

dan gangguan kesehatan kerja. Pelaksana lapangan sebagai petugas kontraktor di

lapangan perlu mengetahui pokok-pokok kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada

pekerjaan konstruksi yang meliputi :

 Peraturan Perundangan yang berlaku.

Peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

(K3) pada pekerjaan konstruksi adalah :

1. Bangsa Indonesia sebagai bangsa-bangsa didunia, telah turut serta pada

Konvensi Internasional tentang perlindungan terhadap tenaga kerja.


2. Pada tahun 1989 telah dikeluarkan Undang-undang No.14 tahun 1989 tentang

Kesehatan Tenaga Kerja. Yang sebelumnya pada tahun 1970 telah dikeluarkan

Undang-undang No.1 tentang Keselamatan Kerja.

3. Pada tahun 1980 Menteri Tenaga Kerja telah mengeluarkan Peraturan

No.01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi

Bangunan.

4. Pada tahun 1986 Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja

menerbitkan Surat Keputusan bersama No.174/MEN/1986 dan

104/KPTS/1986 tentang Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada

Tempat Pekerjaan Konstruksi.

Dengan adanya peraturan perundangan tersebut, maka telah lengkap dan

mantap landasan hukum untuk melaksanakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

pada pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu menjadi kewajiban semua pihak yang

terlibat pada konstruksi antara lain pemberi kerja, pemborong, pengawas dan tenaga

kerja untuk melaksanakan peraturan dan perundangan tersebut.

Di Indonesia Peraturan Perundangan tentang Kesehatan dan Keselamatan

Kerja (K3) telah memadai. Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab

terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada Pekerjaan Konstruksi.

Dilingkungan Departemen Tenaga Kerja ada unit/petugas yang melakukan tugas

pengawasan / inspeksi yaitu para Inspektor Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

Dilingkungan Departemen Pekerjaan Umum terdapat unit/petugas yang melaksanakan

inspeksi / pengawasan, termasuk pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

(K3). Dalam kontrak pekerjaan konstruksi tercantum klosul tentang kewajiban

kontraktor untuk melaksanakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Kontraktor


harus mempunyai petugas dalam bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) ang

disebut Petugas Kesehatan. Adapun tugas petugas kesehatan adalah :

 Membuat perencanaan dan program pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan

Kerja (K3) di Proyek.

 Melakukan penyuluhan dan pemberian informasi serta latihan tentang Kesehatan

dan Keselamatan Kerja (K3).

 Mencatat data kecelakaan.

 Mencegah terjadinya kecelakaan dan gangguan kecelakaan.

 Organisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

Adapun organisasi – organisasi dalam K3 pada konstruksi, antara lain :

- MENKIMSARWIL

- INSPEKTOR - MENAKERTRANS
- KONTRAKTOR - SK Bersama KONTRAK
- Petugas Kesehatan - INSPEKTOR
- Site - Peraturan Perundangan PROYEK
- Manager Pelaksana Lapangan - Pelaksana Lapangan

 Sebab-sebab serta cara pencegahan terjadinya kecelakaan.

Pekerjaan konstruksi tergolong pekerjaan yang mengandung atau mempunyai potensi

terjadinya kecelakaan yang cukup besar. Kecelakaan pada pekerjaan konstruksi

bermacam-macam. Ada kecelakaan akibat terkena benda jatuh atau yang disebabkan

karena terpukul, benda tajam, sengatan aliran listrik, tergelincir dll. Data statistik

kecelakaan pada pekerjaan konstruksi di Indonesia digambarkan sebagai berikut :

Kriteria Prosentase Sebab-sebab

kecelakaan 30 % Pengangkutan dan lalu-

lintas

29 % Kejatuhan benda
5 % Kebakaran

26 % Tergelincir, terpukul

10 % Jatuh dari ketinggian

Setiap kecelakaan tentu ada penyebabnya. Sebab-sebab terjadinya kecelakaan

digolongkan dalam dua kelompok yaitu yang disebabkan faktor manusia dan faktor

konstruksi (alat dan lingkungan).

1. Faktor Manusia

Bahaya kecelakaan kerja umumnya disebabkan oleh manusia itu sendiri (human

error). Antara lain karena kurangnya pengertian, kurang pengetahuan, kurang disiplin,

kondisi mental misalnya emosi, kejenuhan dll.

2. Faktor Konstruksi (Alat dan Lingkungan)

Bahaya kecelakaan kerja yang disebabkan oleh faktor konstruksi (alat dan

lingkungan) antara lain tidak adanya perencanaan K3, minimnya pengamanan,

penggunaan/pengoperasian alat tidak benar/tidak sesuai, konstruksi salah sehingga

roboh. Keadaan lingkungan yang kurang baik misalnya lapangan atau tempat kerja

licin, gelap, pengap, berdebu dll.

 Cara pencegahan gangguan kesehatan tenaga kerja pada pekerjaan konstruksi.

Telah diuraikan sebelumnya bahwa penyebab terjadinya kecelakaan adalah karena

faktor manusia dan faktor konstruksi (alat dan lingkungan). Melihat kenyataan tersebut,

maka kunci pencegahan terjadinya kecelakaan adalah mendorong adanya ketertiban dan

disiplin kerja serta menjamin agar keadaan lapangan kerja (lingkungan) tertata dengan

baik, teratur dan bersih.

Pencegahan kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia dapat ditempuh

berbagai upaya antara lain :


1. Kampaye dan penyuluhan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) secara berkala

untuk menumbuhkan kesadaran ber – Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

2. Mengadakan latihan dan demontrasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) bagi

para pekerja maupun staff kontraktor misalnya : latihan eveluasi bahaya

kebakaran, cara-cara P3K dsb.

3. Melakukan pengecekan secara teratur terhadap alat-alat Kesehatan dan

Keselamatan Kerja (K3), peralatan P3K, alarm/sirine tanda kebakaran dsb.

4. Memasang poster dan tanda-tanda Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

ditempat strategis.

5. Memberikan sanksi bagi pekerja yang melanggar peraturan Kesehatan dan

Keselamatan Kerja (K3) dan memberikan penghargaan bagi pekerja yang telah

patuh dan melaksanakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

6. Mengadakan pertemuan, dialog atau diskusi khusus tentang Kesehatan dan

Keselamatan Kerja (K3) bagi seluruh karyawan.

7. Penelitian bersifat teknis.

8. Penelitian medis.

9. Penelitian psikologis.

10. Standarisasi alat dan perlengkapan kerja.

11. Pengawasan bersifat umum dan khusus.

12. Asuransi kecelakaan.


BAB IV
PENUTUP

Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada

penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai

masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup

sebagian besar masyarakat. Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari

50% di antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan tingkat

Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir

ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah para tenaga kerja dengan

ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan

hidup.

Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja

berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum

dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan

pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga “the biggest owner.”

Pihak pemilik proyek lah yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan

paradigma K3 konstruksi.

Dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang didanai oleh

APBN/APBD/Pinjaman Luar Negeri, Pemerintah antara lain dapat mensyaratkan

penilaian sistem K3 sebagai salah satu aspek yang memiliki bobot yang besar dalam

proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal yang terpenting adalah

aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh komponen

Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang bersifat partisipatif,

keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai.


DAFTAR PUSTAKA

Adrian Taufik, 2009. dkk Keselamatan Kerja Pada Pekerja Konstruksi Bangunan Di Pt.

Ultrajasa Yogyakarta

Anonim.http://vibizdaily.com/detail/nasional/2010/06/07/gapensi_kerjasama_k3_untuk_tenaga_kerj

a_konstruksi.

Materi Pelajaran Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Tenaga Kerja Asing - Bidang Konstruksi

Prashetya. 2010. Peran Ahli K3 Konstruksi. http:// prashetyaquality.com. Di akses tanggal 13

September 2010.

Ramli, Soehatman. 2003. Keselamatan Konstruksi. http://www.google.com/search/. Di

akses tanggal 11 September 2010.

Soebandono. Peran & Fungsi K3 Pada Pekerjaan Konstruksi.

http://www.google.com/search/. Di akses tanggal 11 September 2010.

TI Humas. 2009. Sektor Konstruksi Tertinggi Dalam Kecelakaan Kerja.

admin@kulonprogokab.go.id. Di akses tanggal 13 September 2010.

Anda mungkin juga menyukai