Anda di halaman 1dari 19

“Prinsip Pencegahan Kecelakaan kerja di Konstruksi ”

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih
sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di
Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja. Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal
karyawan adalah aset penting perusahaan.

Perkembangan industri di indonesia saat ini mengalami kemajuan yang sangat


signifikan salah satunya dalam bidang konstruksi. dibuktikan dengan banyaknya
pembangunan – pembangunan infra sruktur dibaerbagai daerah. selain itu kegiatan sektor
konstruksi mrupakan salah satu faktor penggerak dalam sisitem pembangunan ekonom,
karena melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik (infrastruktur) dapat meningkatkan
sektor ekonomi lainnya

Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi.


Tenaga kerja di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja di
seluruh sector. Sektor jasa konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko
terhadap kecelakaan kerja, disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan,
perkayuan, dan pertambangan. Angka kecelakaan kerja di sektor kontruksi didunia pada
umumnya lebih tinggi dari angka kecelakaan di sektor lainnya seperti sektor manufaktur
maupun industri. Dan angka kecelakaan kerja kontruksi di indonesia adalah yang
tertinggi. Tingginya angka kecelakaan kontruksi bersumber dari berbagai faktor. Baik
dari pekerjanya sendiri, dari perusahaan maupun dari pemerintah yang menetapkan
peraturan dan sanksi. Sehingga belum adanya komitmen yang sama dari seluruh pihak
yang berkepentingan untuk selalu menghargai dan mengutamakan Keselamatan dan
Kesehatan kerja sebagai hak asasi pekerja.

Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta orang, 53%
di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan
sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun.
Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang
tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya
mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan
dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada
perusahaan konstruksi.

Sebagian besar dari kasus-kasus kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia
produktif. Kematian merupakan akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur
nilainya secara e konomis. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di
samping berdampak pada kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil yang
sangat besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh
penderita penyakit-penyakit serius seperti penyakit jantung dan kanker.

Untuk itu diperlukan kesadaran para pengusaha kontruksi, penyedia jasa ,pengawas
maupun pelaksana kontruksi untuk menerapkan sistem manajemen K3 baik. Penerapan
sistem manajemen yang terintegrasi dan memenuhi persyaratan K3 serta melengkapi
tenaga-tenaga ahli yang berkompenten di bidang K3 adalah syarat mutlak untuk
mengurangi tingkat kecelakaan di tempat kerja khususnya di sektor Kontruksi. Tenaga-
tenaga ahli harus ditingkatkan melaluli pelatihan-pelatihan dan pendidikan serta
pengetahuan akan bahaya di tempat kerja.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
Bagaimana Prinsip pencegahan Kerja dalam bidang konstruksi serta Pengendalian
Resiko bahaya K3 di Tempat Kerja melalui upaya Hirarky Pengendalain Resiko
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gambaran K3 Konstruksi
1. Konsep Keselamatan Konstruksi
Keselamatan konstruksi pada hakekatnya adalah untuk melindungi pekerja
dan orang – orang yang ada ditempat kerja, masyarakat, peralatan dan mesin, seta
lingkungan agar terhindar dari kecelakaan.
Menurut Davies (1996). Keselamatan konstruksi adalah bebas dari resiko
luka dari suatu kecelakaan dimana kerusakan kesehatan muncul dari suatu akibat
langsung/seketika maupun dalam jangka waktu panjang. levitt (1993)
menyatakan bahwa keselamatan konstruksi adalah suatu usaha untuk mneiadakan
dari resiko kerugian/luka luka dari suatu kecelakaan dan kerusakan kesehatan
yang diakibatkan oleh efek jangka pendek maupun jangka panjang akibat dari
lingkungan kerja tak sehat
Selanjutnya Suraji dan Bambang endroyo (2009) menyatakan bahwa
keselamatan konstruksi adalah keselamatan orang yang bekerja (Safe For people)
di proyekkonstruks, keselamatan masyarakat (safe for Public) akibat pelaksanaan
proyek konstruksi, Keselamatan properti (safe for Property) yang diadakan untuk
pelaksanaan proyek konstruksi dan keselamatan lingkungan (safe for Enviroment)
di mana proyek konstruks dilaksanakan.

2. Resiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi


Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang
memiliki risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama
kecelakaan kerja pada proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan
dengan karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang
berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas,
dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan
tenaga kerja yang tidak terlatih. Ditambah dengan manajemen keselamatan kerja
yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja dengan metoda pelaksanaan
konstruksi yang berisiko tinggi.
Dalam kegiatan industri konstruksi ada sifat - sifat khusus yang tdk
terdapat pada industri lain (Asiyanto, 2005) yaitu :
a. Kegiatan industri konstruksi terdiri dari bermacam – macam kegiatan
dengan jumlah banyak dan rawan kecelakaan
b. Jenis – jenis kegiatannya sendiri tidak standar,sangat dipengaruhi oleh
banyak faktor luar, seperti kondis lokasi bangunan, cuaca, bentuk desain,
metode pelaksanaan dan lain-lain
c. Perkembangan teknologi yang selalu diterapkan dalam pelaksanaan
kegiatan memberikan andil resiko tersendiri.
d. Tingginya turn over tenagan kerja juga menjadi masalah sendiri, karena
selalu menghadapi orang-orang baru yang terkadang masih belum terlatih
e. Banyak pihak yang terkait dalam proses konstruksi, yang memerlukan
pengaturan koordinasi yang kuat.

Jenis Kecelakaan yang Terjadi pada Lokasi Proyek Konstruksi Secara


umum klasifikasi jenis kecelakaan kerja menurut standar International
Organization Labor (ILO, 1962) terdiri dari :
2. Klasifikasi kecelakaan kerja menurut tipe kecelakaan terdiri dari:
a. terjatuh,
b. tertimpa benda jatuh,
c. tertumbuk atau terkena benda- benda, terkecuali benda jatuh,
d. terjepit oleh benda,
e. gerakan melebihi kemampuan, vi) pengaruh suhu yang ekstrim,
f. terkena arus listrik, dan
g. terkontaminasi bahan berbahaya atau mengandung radiasi.

3. Klasifikasi kecelakaan kerja menurut lingkungan kerja terdiri dari:


a. Kecelakaan yang terjadi di luar gedung,
b. Kecelakaan dalam gedung, dan
c. Kecelakaan di bawah tanah.

Mengacu pada klasifikasi yang ditetapkan ILO, PT Jamsostek mengklasifikasikan


jenis kecelakaan kerja sebagai berikut:
1. Terbentur, pada umumnya menunjukkan kontak atau persinggungan dengan
benda tajam atau benda keras yang mengakibatkan terpotong, tergores,
tertusuk dan sebagainya.
2. Terpukul, disebabkan karena benda yang jatuh, meluncur, malayang atau
bergerak, dan lain-lain.
3. Tertangkap pada, dalam dan di antara benda (terjepit, tergigit, tertimbun,
tenggelam dan lain-lain).
4. Jatuh dari ketinggian yang sama.
5. Jatuh dari ketinggian yang berbeda
6. Tergelincir.
7. Terpapar berhubungan dengan temperatur, tekanan udara, getaran, radiasi,
suara, cahaya, dan lain-lain.
8. Penghisapan atau penyerapan menunjukkan proses masuknya bahan atau zat
berbahaya ke dalam tubuh, baik melalui pernafasan ataupun kulit dan yang
pada umumnya berakibat sesak nafas, keracunan, mati lemas, dan lain-lain.
9. Tersentuh arus listrik
10. Lain-lain

Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi, pekerjaan-


pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada
ketinggian dan pekerjaan galian. Pada ke dua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja
yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan
kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada
pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya
kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut
kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali mengabaikan
penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya
telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi.
Bidang konstruksi adalah satu bidang produksi yang memerlukan
kapasitas tenaga kerja dan tenaga mesin yang sangat besar, bahaya yang sering
ditimbulkan umumnya dikarenakan faktor fisik, yaitu : terlindas dan terbentur
yang disebabkan oleh terjatuh dari ketinggian, kejatuhan barang dari atas atau
barang roboh
a. Kemungkinan jatuh dari ketinggian terjadinya lebih besar, kerusakan yang
ditimbulkannya lebih parah. Penyebab jatuh dari ketinggian umumnya adalah
: pekerja pada saat bekerja di tempat kerja memiliki kepercayaan dirinya
berpengalaman atau mencari jalan cepat, mulai bekerja tanpa mengenakan
alat pelindung apapun atau baju pelindung, sehingga begitu terjatuh tidak ada
sabuk pengaman atau jaring pengaman bisa mengakibatkan kematian. Selain
kurangnya pemahaman pekerja tentang keamanan, perlindungan tenaga kerja
yang dilakukan pemilik usaha sering tidak mencukupi, sebagai contoh bila
bekerja di kerangka yang tinggi, harus dipasang balok menyilang, disamping
untuk menjaga kestabilan, selain itu untuk memberikan topangan yang kuat
bagi tenaga kerja; pada saat pekerja tidak hati-hati terjatuh, ada satu lapisan
pengaman, untuk mengurangi dampak yang terjadi. Pemilik usaha tidak
seharusnya mengabaikan hidup para pekerjanya demi untuk mengejar
keuntungan.
b. Penyebab kejatuhan benda dari atas seringkali karena kecerobohan pekerja;
seperti pada saat mengoperasikan mesin penderek, mesin penggali lubang
atau mesin pendorong, semestinya ada pagar pembatas di sekelilingnya, guna
mencegah masuknya pekerja, apabila tetap diperlukan pekerja lain untuk
memberikan bantuan operasional, maka di sampingnya perlu ada seorang
mandor yang memberikan komando dan pengawasan; selain pagar pembatas
pekerja di area tersebut harus memakai secara benar perlengkapan pelindung
seperti helm, sarung tangan dan sepatu pengaman dan lain-lain. Selain itu
pada saat memindahkan barang berat, sebaiknya menggunakan kekuatan
mesin sebagai pengganti tenaga manusia, demi menghindari terjadinya
kecelakaan pada saat pemindahan.
c. Tertimpa barang yang roboh biasanya terjadi karena tidak adanya pagar
pembatas di area yang mudah runtuh, karena keruntuhan itu biasanya terjadi
dalam waktu sekejap tanpa peringatan terlebih dahulu, oleh karena itu
dibuatkan demi mengurangi resiko kecelakan terhadap pekerja yang
memasuki area tersebut. Benturan atau tabrakan biasanya terjadi dikarenakan
kecerobohan pekerja, mesin penggerak dan kendaraan yang digunakan
berukuran sangat besar, pandangan petugas operator tidak mudah mencapai
luasnya batas area kerjanya sehingga terjadi benturan.

sedangkan pada pekerjaan galian Jenis-jenis kecelakaan kerja dapat berupa


tertimbun tanah, tersengat aliran listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan
lain-lain. Bahaya tertimbun adalah risiko yang sangat tinggi, pekerja yang
tertimbun tanah sampai sebatas dada saja dapat berakibat kematian. Di samping
itu, bahaya longsor dinding galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba, terutama
apabila hujan terjadi pada malam sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada
pagi keesokan harinya. Data kecelakaan kerja pada pekerjaan galian di Indonesia
belum tersedia, namun sebagai perbandingan, Hinze dan Bren (1997)
mengestimasi jumlah kasus di Amerika Serikat yang mencapai 100 kematian dan
7000 cacat tetap per tahun akibat tertimbun longsor dinding galian serta
kecelakaan-kecelakaan lainnya dalam pekerjaan galian.

3. Faktor penyebab terjadinya kecelakaan konstruksi .


Pekerjaan konstruksi adalah pekerjaan yang melibatkan engineering
konsultan sebagai perencana (front end of engineering and design serta detil
engineering design), kontraktor sebagai pelaksana serta konsultan pengawas,
semua elemen tersebut baik perencana, kontraktor maupun pengawas, memiliki
kontribusi tersendiri pada keselamatan kerja konstruksi. Pekerjaan konstruksi
adalah pekerjaan yang padat akan aktifitas dengan level risiko yang cukup tinggi,
misalnya pekerjaan pengangkatan benda-benda berat, bekerja pada ketinggian,
serta pekerjaan pada ruang terbatas. Efek dari pekerjaan–pekerjaan tersebut
apabila terjadi suatu kecelakaan, antara lain adalah rusaknya peralatan yang
digunakan, rusaknya lingkungan sekitar project, serta hilangnya nyawa pekerja
dan efek yang terakhir ini disebut dengan fatality. Secara keseluruhan efek-efek
tersebut akan mempengaruhi schedule penyelesaian project, serta pembengkakan
biaya konstruksi. (Wiryanto Dewobroto, 2007)
Kecelakaan yang terjadi pada satu pekerjaan konstruksi kebanyakan
disebabkan oleh tenaga kerja yang tidak berpengalaman terhadap apa yang dia
kerjakan, peralatan yang sudah tidak layak untuk dipakai, kondisi lingkungan
kerja yang tidak aman, menggunakan peralatan tidak sesuai dengan
peruntukannya, perilaku karyawan kurang peduli terhadap safety, serta
management perusahaan yang belum peduli sepenuhnya terhadap safety serta
metode kerja yang tidak aman. Untuk kecelakan akibat kesalahan metode kerja
dapat dihindari dengan membuat keputusan yang tepat saat fase engineering and
design, dan ini merupakan tanggung jawab engineer, sementara untuk penyebab
kecelakaan yang lainnya merupakan tanggung jawab kontraktor untuk
memperhatikan hal tersebut. (Wiryanto Dewobroto, 2007)
Secara umum industri konstruksi adalah industri yang menduduki tempat
tertinggi ditinjau dari tingkat terjadinya kecelakaan kerja (Dipohusodo, 1996). H.
W. Heinrich dalam bukunya The accident Prevention mengungkapkan bahwa
80% kecelakaan disebabkan oleh perbuatan yang tidak aman (unsafe act) seperti
kekurangan pengetahuan, keterampilan, sikap, keletihan dan kebosanan, cara
kerja manusia tidak sepadan secara ergonomik, gangguan psikologis, dan
pengaruh sosial psikologis. Dan hanya 20% kecelakaan kerja disebabkan oleh
kondisi yang tidak aman (unsafe).

Faktor penyebab kecelakaan kerja :


a. Menurut teori domino effect kecelakaan kerja H.W Heinrich, kecelakaan
terjadi melalui hubungan mata-rantai sebab-akibat dari beberapa faktor
penyebab kecelakaan kerja yang saling berhubungan sehingga menimbulkan
kecelakaan kerja (cedera ataupun penyakit akibat kerja / PAK) serta
beberapa kerugian lainnya.
Terdapat faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja antara lain : penyebab
langsung kecelakaan kerja, penyebab tidak langsung kecelakaan kerja dan
penyebab dasar kecelakaan kerja.
1. Termasuk dalam faktor penyebab langsung kecelakaan kerja ialah kondisi
tidak aman/berbahaya (unsafe condition) dan tindakan tidak
aman/berbahaya (unsafe action). Kondisi tidak aman, beberapa contohnya
antara lain : tidak dipasang (terpasangnya) pengaman (safeguard) pada
bagian mesin yang berputar, tajam ataupun panas, terdapat instalasi kabel
listrik yang kurang standar (isolasi terkelupas, tidak rapi), alat
kerja/mesin/kendaraan yang kurang layak pakai, tidak terdapat label pada
kemasan bahan (material) berbahaya, dsj. Termasuk dalam tindakan tidak
aman antara lain : kecerobohan, meninggalkan prosedur kerja, tidak
menggunakan alat pelindung diri (APD), bekerja tanpa perintah,
mengabaikan instruksi kerja, tidak mematuhi rambu-rambu di tempat
kerja, tidak melaporkan adanya kerusakan alat/mesin ataupun APD, tidak
mengurus izin kerja berbahaya sebelum memulai pekerjaan
dengan resiko/bahaya tinggi.
2. Termasuk dalam faktor penyebab tidak langsung kecelakaan kerja ialah
faktor pekerjaan dan faktor pribadi. Termasuk dalam faktor pekerjaan
antara lain : pekerjaan tidak sesuai dengan tenaga kerja, pekerjaan tidak
sesuai sesuai dengan kondisi sebenarnya, pekerjaan beresiko tinggi namun
belum ada upaya pengendalian di dalamnya, beban kerja yang tidak
sesuai, dsj. Termasuk dalam faktor pribadi antara lain :
mental/kepribadian tenaga kerja tidak sesuai dengan pekerjaan, konflik,
stress, keahlian yang tidak sesuai, dsj.
3. Termasuk dalam faktor penyebab dasar kecelakaan kerja ialah lemahnya
manajemen dan pengendaliannya, kurangnya sarana dan prasarana,
kurangnya sumber daya, kurangnya komitmen, dsb.

b. Menurut Muhammad Abduh (2010) terdapat tiga faktor utama yang


menyebabkan kecelakan kerja adalah :
1. Faktor manusia
2. Faktor Lingkungan
3. Faktor peralatan

c. Menurut Internasional Labour Organization (ILO) penyebab kecelakaan kerja


dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Mahendra, 2004)
1. Perencanaan dan organisasi yang disebabkan :
- Kegagalan dalam perencanaan tehnis
- Kakunya batasan waktu yang tidak sesuai
- Penugasan pekerjaan kepad kontraktor yang tidak sesuai
2. Pelaksanaan pekerjaan
- Rusaknya pekerjaan
- Penggunaan material yang tidak sesuai
- Kesalahan/kerusakan proses material
3. Manajemen dan metode kerja
- Tidak memadai persiapan pekerjaan
- Tidak memadainya pengecetan/pengujian peralatan
- Tidak memadainya atau tidak tepatnya metode, prosedur dan instruksi
kerja
- memperkerjakan tenaga kerja yang tidak memenuhi syarat
keahlian/trampil
- Tidak memadai pengawasan terhadap pekerjaan
4. Perilaku pekerja yang diakibatkan oleh :
- Tidak bertanggung jawab
- Melakukan pekerjaan yang bukan wewenangnya
- Perilaku ceroboh, contoh prilaku yang harus dihindari agar tidak
terjadi kecelakaan dalam bekerja antara lain : kurang konsentrasi
dalam bekerja, kondisi fisik menurun, keletihan yang menumpuk,
kerja terus mnerus / kerja lembur, mengabaikan aturan kerja.

C. Pedoman K3 Konstruksi
Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah perlindungan tenaga
kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai dengan
perkembangan jaman, pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan UU 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup berbagai hal dalam
perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan
termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini
mencakup ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara
umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan
untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak
aspek yang belum tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran
terhadap peraturan ini sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah.
Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Peraturan Menakertrans tersebut,
pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan
Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang
selanjutnya disingkat sebagai ”Pedoman K3 Konstruksi” ini merupakan pedoman
yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di Indonesia. Pedoman K3
Konstruksi ini cukup komprehensif, namun terkadang sulit dimengerti karena
menggunakan istilah-istilah yang tidak umum digunakan, serta tidak dilengkapi
dengan deskripsi/gambar yang memadai. Kekurangan-kekurangan tersebut tentunya
sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan, serta dapat menimbulkan
perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak pelaksana dan pihak pengawas
konstruksi.
Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih menjadi
pedoman yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah, yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, mulai
memperbarui pedoman ini, dengan dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No.
384/KPTS/M/2004 Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” yang
baru ini khusus ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk
jenis-jenis proyek konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung,
belum dibuat pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya,
Pedoman Teknis K3 untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat digunakan pula
untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” juga
mencakup daftar berbagai penyakit akibat kerja yang harus dilaporkan.
Bila dibandingkan dengan standar K3 untuk jasa konstruksi di Amerika
Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926), Occupational Safety and Health
Administration (OSHA), sebuah badan khusus di bawah Departemen Tenaga Kerja
yang mengeluarkan pedoman K3 termasuk untuk bidang konstrusksi, memperbaharui
peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun). Peraturan atau pedoman teknis
tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Hal lain yang dapat dicontoh adalah
penerbitan brosur-brosur penjelasan untuk menjawab secara spesifik berbagai isu
utama yang muncul dalam pelaksanaan pedoman teknis di lapangan.
Pedoman yang dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan dan
kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus
disempurnakan dan mengakomodasi masukan-masukan dari pengalaman pelaku
konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi akan secara sadar
mengikuti peraturan untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya sendiri.

4. Peran K3 Pada Pekerjaan Konstruksi


Pekerjaan konstruksi merupakan kompleksitas kerja yang melibatkan bahan
bangunan, peralatan, perlengkapan, teknologi dan tenaga kerja yang secara sendiri
ataupun bersama-sama dapat menjadi sumber potensial terjadinya kecelakaan. Selain itu
Proyek konstruksi memiliki sifat yang khas, antara lain tempat kerjanya di ruang terbuka
yang dipengaruhi cuaca, jangka waktu pekerjaan terbatas, menggunakan pekerja yang
belum terlatih, menggunakan peralatan kerja yang membahayakan keselamatan dan
kesehataan kerja dan pekerjaan yang banyak mengeluarkan tenaga. Berdasarkan sifat-sifat
unik itu pula, maka sektor jasa kontruksi mempunyai resiko biaya kecelakaan fatal.Untuk
mencegah kecelakaan kerja, diperlukan suatu Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) yang mengatur dan dapat menjadi acuan bagi konsultan,
kontraktor dan para pekerja kontruksi.
Oleh sebab itu dibuatlah suatu peraturan perundang-undangan ketenaga kerjaan
yang mewajibkan Perusahaan-perusahaan yang memiliki lebih dari 100 pekerja, atau
kurang dari 100 pekerja tetapi dengan tempat kerja yang berisiko tinggi (termasuk
proyek konstruksi), wajib melaksanakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) melalui
pengembangan SMK3 guna menjamin perlindungan tenaga kerja dari kecelakaan dan
gangguan kesehatan kerja. melalui SMK3 ini merupakan tindakan nyata yang berkaitan
dengan usaha yang dilakukan oleh seluruh tingkat manajemen dalam suatu organisasi dan
dalam pelaksanaan pekerjaan, agar seluruh pekerja dapat terlatih dan termotivasi untuk
melaksanakan program K3 sekaligus bekerja dengan lebih produktif.
SMK3 merupakan bagian yang tidak terpisah dari sistem perlindungan tenaga kerja
dan bagi pekerjaan jasa konstruksi dapat meminimalisasi dan menghindarkan diri dari
resiko kerugian moral maupun material, kehilangan jam kerja, maupun keselamatan
manusia dan lingkungan sekitarnya yang nantinya dapat menunjang peningkatan kinerja
yang efektif dan efisien dalam proses pembangunan.
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (MK3) adalah bagian dari sistem
manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung
jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi
pengembangan, penerapan, pencapaian,pengkajian dan pemeliharaan K3 dalam rangka
pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja, guna terciptanya tempat kerja
yang aman, efisien dan produktif. Berangkat dari kajian Total Project Management
(ECI,1995), keselamatan perlu diintegrasikan dalam proyek, mulai dari konsepsi sampai
proyek selesai (from conception to completion). Dikatakan selanjutnya bahwa kegiatan
penilaian tentangkeselamatan, kesehatan dan lingkungan perlu dimulai dari tahap
perencanaan proyek (project plan), kontrak, evaluasi tender, konstruksi, sampai ke tahap
pemeliharaan dan bahkan sampai ke perobohan (demolition) (ECI,1995).Konsep rasional
Total Safety Control adalah suatu pengintegrasian tindakan manajemen dantindakan
pelaksanaan yang sinergis
Manfaat penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
bagi perusahaan menurut Tarwaka (2008) adalah:
1. Pihak manajemen dapat mengetahui kelemahan-kelemahan unsur sistem operasional
sebelum timbul gangguan operasional, kecelakaan, insiden dan kerugian-kerugian
lainnya.
2. Dapat diketahui gambaran secara jelas dan lengkap tentang kinerja K3 di
perusahaan.
3. Dapat meningkatkan pemenuhan terhadap peraturan perundangan bidang K3.
4. Dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran tentang K3,
khususnya bagi karyawan yang terlibat dalam pelaksanaan audit.
5. Dapat meningkatkan produktivitas kerja.

mengingat masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang


cukup signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian.
Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya
pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan
perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat
dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian
sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh
psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari
pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan pelanggan
pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar dari pada
biaya langsung. untuk itu penerapan SMK3 dalam bidang konstruksi yang perlu
dikembangkan sebagai bagian dari sistem manajemen suatu perusahaan secara
keseluruhan.

5. Prinsip Pencegahan Kecelakaan kerja


Terjadinya kecelakaan kerja merupakan suatu bentuk kerugian baik bagi korban
kecelakaan kerja maupun Perusahaan/Organisasi. Upaya pencegahan kecelakaan
kerja diperlukan untuk menghindari kerugian-kerugian yang timbul serta untuk
meningkatkan kinerja keselamatan kerja ditempat kerja. Berdasarkan teori domino
effect penyebab kecelakaan kerja (H.W. Heinrich), maka dapat dirancang berbagai upaya
untuk mencegah kecelakaan kerja di tempat kerja, antara lain :
1. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Pengendalian Bahaya Di Tempat
Kerja :

- Pemantauan dan Pengendalian Kondisi Tidak Aman di tempat kerja


- Pemantauan dan Pengendalian Tindakan Tidak Aman di tempat kerja.

2. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Pembinaan dan Pengawasan :

- Pelatihan dan Pendidikan K3 terhadap tenaga kerja.


- Konseling dan Konsultasi mengenai penerapan K3 bersama tenaga kerja.
- Pengembangan Sumber Daya ataupun Teknologi yang berkaitan dengan
peningkatan penerapan K3 di tempat kerja.

3. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Sistem Manajemen :

- Prosedur dan Aturan K3 di tempat kerja.


- Penyediaan Sarana dan Prasarana K3 dan pendukungnya di tempat kerja.
- Penghargaan dan Sanksi terhadap penerapan K3 di tempat kerja kepada tenaga
kerja.

Berdasarkan Permenaker No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan


dan Kesehatan Kerja ialah bagian dari sistem secara keseluruhan yang meliputi struktur
organisasi, perencanaan, tanggung-jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber
daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengajian dan
pemeliharaan kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam rangka pengendalian
resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman,
efisien dan produktif.
Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Hirarky
Pengendalian Bahaya/Resiko di tempat kerja melalui Sisitem Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (SMK3), meliputi :
a. Eliminasi.
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat desain,
tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam
menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada desain. Penghilangan
bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya mengandalkan
prilaku pekerja dalam menghindari resiko, namun demikian, penghapusan benar-
benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis.
Contoh-contoh eliminasi bahaya yang dapat dilakukan misalnya: bahaya jatuh,
bahaya ergonomi, bahaya ruang terbatas, bahaya bising, bahaya kimia.

b. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi ataupun
peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan
pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal melalui disain sistem
ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem
otomatisasi pada mesin untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya dengan
operator, menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya,
mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat
yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah.

c. Pengendalian tehnik/engineering control


Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja
serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini terpasang
dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah adanya penutup
mesin/machine guard, circuit breaker, interlock system, start-up alarm, ventilation
system, sensor, sound enclosure.

d. Pengendalian administratif/ administratif control


Kontrol administratif ditujukan pengandalian dari sisi orang yang akan melakukan
pekerjaan, dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan mematuhi,
memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara
aman.
Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar operasi baku
(SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi prilaku, jadwal kerja, rotasi kerja,
pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, investigasi dll.
e. Alat pelindung diri
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan merupakan hal yang
paling tidak efektif dalam pengendalian bahaya,dan APD hanya berfungsi untuk
mengurangi seriko dari dampak bahaya. Karena sifatnya hanya mengurangi, perlu
dihindari ketergantungan hanya menggandalkan alat pelindung diri dalam
menyelesaikan setiap pekerjaan.
BAB III
PENUTUP

Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai
masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup
sebagian besar masyarakat. Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari
50% di antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan tingkat
Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir
ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah para tenaga kerja dengan
ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan
hidup.
Permasalahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja
berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum
dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan
pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga “the biggest owner.”
Pihak pemilik proyek lah yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan
paradigma K3 konstruksi.

Dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi hendaknya berpedoman pada


sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja dengan upaya pengendalian resiko
bahaya K3 melalui 5 Hirarky pengendalian bahaya/resiko yaitu : eliminasi, subtitusi,
enggering kontrol, administrasi kontrol dan APD untuk melindungi pekerja dari
kemungkinan terjadinya kecelakan kerja atau penyakit akibat kerja .

Referensi
Adrian Taufik, 2009. dkk Keselamatan Kerja Pada Pekerja Konstruksi Bangunan Di Pt.
Ultrajasa Yogyakarta

E Bambang et al (2007) Peranan Manajemen K3 dalam Pencegahan Kecelakaan Kerja


Konstruksi Universitas Negeri Semarang

P, Febyana (2012) Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja


(SMK3) pada Proyek Konstruksi di Indonesia (Studi Kasus: Pembangunan Jembatan
dr. ir. Soekarno-Manado) Universitas Sam Ratulangi

Reini D. Wirahadikusumah, (2014) Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja


pada Proyek Konstruksi di Indonesia.
S I Ketut et al, 2011. Indentifikasi dan Penanganan Risiko K3 pada Proyek Konstruksi
Gedung Studi Kasus : Proyek Gedung Centro City Recidences

Anonim, https://sistem manajemen keselamatan kerja.blogspot.co.id/2013/10/pencegahan-


kecelakaan-kerja.html diAkses tanggal 30 April 2017

Ramli, Soehatman. 2003. Keselamatan Konstruksi. http://www.google.com/search/. Di


akses tanggal 30 April 2017
Soebandono. Peran & Fungsi K3 Pada Pekerjaan Konstruksi.
http://www.google.com/search/. Di akses tanggal 30 April 2017

Anda mungkin juga menyukai