“IMPLEMENTASI KESEHATAN
DAN KESELAMATAN KERJA
DI SEKTOR KONSTRUKSI”
OLEH :
OLEH :
KELOMPOK I
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih
sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di
Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja. Hal ini tentunya sangat
perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000
lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen
K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan
bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika
sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari
190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan.
Tenaga kerja di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja di
seluruh sektor, dan menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa konstruksi
adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja, disamping sektor
kecelakaan kerja di sektor kontruksi didunia pada umumnya lebih tinggi dari angka
kecelakaan di sektor lainnya seperti sektor manufaktur maupun industri. Dan angka
kecelakaan kerja kontruksi di indonesia adalah yang tertinggi. Tingginya angka
kecelakaan kontruksi bersumber dari berbagai faktor. Baik dari pekerjanya sendiri, dari
perusahaan maupun dari pemerintah yang menetapkan peraturan dan sanksi. Sehingga
belum adanya komitmen yang sama dari seluruh pihak yang berkepentingan untuk selalu
menghargai dan mengutamakan Keselamatan dan Kesehatan kerja sebagai hak asasi
pekerja.
Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta orang, 53%
di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan
sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun.
Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang
tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya
perusahaan konstruksi.
Untuk itu diperlukan kesadaran para pengusaha kontruksi, penyedia jasa ,pengawas
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
mengenai kondisi pada proyek konstruksi serta bagaimana peranan kesehatan dan
PEMBAHASAN
Karakteristik KegiatanKonstruksi
rendah
kondisinya.
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki
risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja
pada proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek
konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan
ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak
akibatnya para pekerja bekerja dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko
tinggi.
King and Hudson (1985) menyatakan bahwa pada proyek konstruksi di
pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian
dan pekerjaan galian. Pada ke dua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi
cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh
dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang
melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan
mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut kurang dihayati oleh
pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman
K3 konstruksi.
tenaga kerja dan tenaga mesin yang sangat besar, bahaya yang sering ditimbulkan
umumnya dikarenakan faktor fisik, yaitu : terlindas dan terbentur yang disebabkan
oleh terjatuh dari ketinggian, kejatuhan barang dari atas atau barang roboh.
berpengalaman atau mencari jalan cepat, mulai bekerja tanpa mengenakan alat
pelindung apapun atau baju pelindung, sehingga begitu terjatuh tidak ada sabuk
pemilik usaha sering tidak mencukupi, sebagai contoh bila bekerja di kerangka yang
tinggi, harus dipasang balok menyilang, disamping untuk menjaga kestabilan, selain
itu untuk memberikan topangan yang kuat bagi tenaga kerja; pada saat pekerja tidak
hati-hati terjatuh, ada satu lapisan pengaman, untuk mengurangi dampak yang terjadi.
Pemilik usaha tidak seharusnya mengabaikan hidup para pekerjanya demi untuk
mengejar keuntungan.
seperti pada saat mengoperasikan mesin penderek, mesin penggali lubang atau mesin
masuknya pekerja, apabila tetap diperlukan pekerja lain untuk memberikan bantuan
komando dan pengawasan; selain pagar pembatas pekerja di area tersebut harus
memakai secara benar perlengkapan pelindung seperti helm, sarung tangan dan sepatu
pengaman dan lain-lain. Selain itu pada saat memindahkan barang berat, sebaiknya
3. Tertimpa barang yang roboh biasanya terjadi karena tidak adanya pagar
pembatas di area yang mudah runtuh, karena keruntuhan itu biasanya terjadi dalam
waktu sekejap tanpa peringatan terlebih dahulu, oleh karena itu dibuatkan demi
penggerak dan kendaraan yang digunakan berukuran sangat besar, pandangan petugas
operator tidak mudah mencapai luasnya batas area kerjanya sehingga terjadi benturan.
tanah, tersengat aliran listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya
tertimbun adalah risiko yang sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai
sebatas dada saja dapat berakibat kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding
galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba, terutama apabila hujan terjadi pada malam
sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada pagi keesokan harinya. Data kecelakaan
perbandingan, Hinze dan Bren (1997) mengestimasi jumlah kasus di Amerika Serikat
yang mencapai 100 kematian dan 7000 cacat tetap per tahun akibat tertimbun longsor
pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan
perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat
dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian
psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari
pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar
2. Pedoman K3 Konstruksi
kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai
13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup berbagai hal dalam
perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan
umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan
untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak
aspek yang belum tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran
terhadap peraturan ini sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang
perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak pelaksana dan pihak pengawas
konstruksi.
pedoman yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah, yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, mulai
baru ini khusus ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk
jenis-jenis proyek konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung,
belum dibuat pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya,
Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926), Occupational Safety and Health
peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun). Peraturan atau pedoman teknis
tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Hal lain yang dapat dicontoh adalah
kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus
kompetensi dan independensi. Pegawai pengawas perlu merasa bebas dari pengaruh
berbagai pihak dalam mengambil keputusan. Di samping itu, unit kerja pengawasan