Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

K3 KONSTRUKSI DAN TRANSPORTASI

Oleh
Agus Wira Adi Kusuma
0023.10.16.2021

PROGRAM MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


KONSENTRASI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proyek kontruksi adalah suatu rangkaian kegiatan yang

berkaitan dengan upaya pembangunan suatu bangunan,

mencangkup pekerjaan pokok dalam bidang teknik sipil dan arsitektur,

meskipun tidak jarang juga melibatkan disiplin lain seperti teknik

industri, mesin, elektro, geoteknik, plumbing, maupun lansekap.

dilihat dari pengertian di atas bahwa jelas kreteria proyek kontruksi

yaitu : Memiliki tujuan yang khusus, produk akhir atau hasil akhir.

Jumlah biaya kreteria mutu dalam proses mencapai tujuan dalam

proses yang telah ditentukan. Mempunyai awal kegiatan dan akhir

kegiatan yang telah ditentukan atau mempunyai jangka waktu

tertentu. Rangkaian kegiatan hanya dilakukan sekali (non rutin), tidak

berulang-ulang sehingga menghasilkan produk yang bersifat unik,

tidak idetik tapi sejenis. jenis dan intensitas kegiatan berubah

sepanjang proyek berlangsung (Ervianto, 2005).

Dalam pelaksanaan pembangunan konstruksi gedung

banyak hal yang harus diperhatikan, salah satunya adalah

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). K3 merupakan suatu upaya

dalam mengatasi potensi bahaya dan resiko kesehatan dan

keselamatan yang mungkin terjadi. Dalam pembangunan suatu

gedung K3 tentunya sangat perlu diperhatikan agar dapat


meminimalisir kecelakaan kerja yang bisa terjadi kapan saja. Untuk

meminimalisir kecelakaan kerja perlu adanya kesadaran ataupun

pengetahuan dari para pelaku konstruksi, baik dari konsultan

perencana, konsultan pengawas dan kontraktor. Terutama para pekerja

konstruksi, karena para pekerja konstruksi merupakan orang yang

berhubungan langsung dengan pengerjaan proyek konstruksi yang

menggunakan berbagai macam alat dan mesin. K3 merupakan faktor

yang paling penting dalam pencapaian sasaran tujuan proyek. Hasil

yang maksimal dalam kinerja biaya, mutu dan waktu tiada artinya

bila tingkat keselamatan kerja terabaikan. Indikatornya dapat

berupa tingkat kecelakaan kerja yang tinggi, seperti banyak tenaga

kerja yang meninggal, cacat permanen serta instalasi proyek

yang rusak, selain kerugian materi yang besar (Husen, 2009).

K3 dapat ditinjau dari dua aspek yakni aspek filosofis dan

teknis. Secara filosofis K3 adalah konsep berpikir dan upaya nyata

untuk menjamin keutuhan dan kesem purnaan baik jasmaniah

maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada

umumnya, beserta hasil-hasil karya dan budayanya menuju

masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Secara teknis K3 adalah

perlindungan yang ditujukan agar tenaga kerja dan orang lain di

tempat kerja/perusahaan selalu dalam keadaan selamat dan sehat,

sehingga setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan

efisien. Dalam hal ini K3 amat berkaitan dengan upaya pencegahan


kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan memiliki jangkuan

berupa terciptanya masyarakat dan lingkungan kerja yang aman,

sehat, dan sejahtera, serta efisien dan produktif. Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (K3) bertujuan: Memberikan jaminan rasa aman

dan nyaman bagi karyawan dalam berkarya pada semua jenis dan

tingkat pekerjaan, menciptakan masyarakat dan lingkungan kerja yang

aman, sehat, dan sejahtera, bebas dari kecelakaan dan penyakit

akibat kerja, dan ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan

pembangunan nasional dengan prinsip pembangunan berwawasan

lingkungan (Fredrika, 2010)

Selain memberi keamanan, dan keselamatan kerja, budaya

K3 sebaiknya juga dianggap sebagai investasi karena jika penerapan

K3 dilakukan secara maksimal maka otomatis akan

meminimalisir kecelakaan kerja. Dan alat-alat perlengkapan K3

dapat digunakan berulangkali pada pekerjaan proyek selanjutnya,

sehingga dana pengadaan yang tidak terlalu besar dapat memberikan

manfaat penghematan biaya yang dialokasikan untuk

kecelakaan kerja (Mahapatni, 2014)

Budaya K3 adalah sifat, sikap dan cara hidup (bekerja)

dalam perusahaan/individu, yang menekankan pentingnya

keselamatan. Oleh karena itu, budaya K3 mempersyaratkan agar

semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan harus

dilaksanakan secara benar, seksama, dan penuh rasa tanggung


jawab.Istilah budaya keselamatan (safetyculture) pertama kali tertera

dalam laporan yang dibuat oleh International Nuclear Safety

Advisory Group (INSAG) pada tahun 1987 yang membahas

peristiwa “Chernobyl”.Atas dasar itu, International Atom

Energy Agency (IAEA) menyusun konsep atau model dan

metode pengukuran Budaya Keselamatan untuk instalasi nuklir,

sehingga istilah Budaya Keselamatan menjadi dikenal secara

internasional, khususnya dalam bidang keselamatan, dan kesehatan

kerja (K3) (Bensar, 2012).

Tempat kerja merupakam tempat atau ruangan, dimana

terdapat tenaga kerja yang bekerja serta adanya bahaya kerja dari

sumber bahaya, yang memiliki risiko untuk terjadinya kecelakaan kerja.

Oleh karena itu, perlu adanya pelaksanaan P3K yang di dukung oleh

petugas yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pelaksanaan

P3K (Thygerson, 2016)

Dalam pekerjaan konstruksi yakni pemilik proyek, kontraktor,

sub kontraktor, pekerja, masyarakat dan tempat kerja. Dalam hal ini

tempat kerja di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970

tentang Keselamatan Kerja pada pasal 1 ayat 1, Tempat kerja ialah tiap

ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap

dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki tempat kerja untuk

keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya.

Sebagaimana selalu ada resiko kegagalan (risk of failures) pada setiap


proses atau aktifitas pekerjaan, baik itu disebabkan perencanaan yang

kurang sempurna, pelaksanaan yang kurang cermat, maupun akibat

yang tidak disengaja. Salah satu risiko pekerjaan yang terjadi adalah

adanya kecelakaan kerja. Terjadinya kecelakaan kerja paling sering

disebabkan karena faktor lingkungan (unsafe condition), dan faktor

manusia (unsafe action) (Santoso, 2017)

Data kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Menurut

Data dari International Labour Organization (ILO) tahun 2018, diketahui

bahwa lebih dari 1,8 juta kematian akibat kerja terjadi setiap tahunnya

di kawasan Asia dan Pasifik diman dua per tiga kematian akibat kerja di

dunia terjadi di Asia. Di tingkat global, lebih dari 2,78 juta orang

meninggal setiap tahun akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat

kerja. Selain itu terdapat sekitar 374 juta cedera dan penyakit akibat

kerja yan fatal setiap tahunnya (ILO, 2018)

Data kecelakaan kerja menurut (BPJS Ketenagakerjaan,

2018) di Indonesia dengan jumlah kecelakaan dan korban meninggal

dunia sejak lima tahun terakhir (2014-2018). Terlihat bahwa pada tahun

2014 terjadi kecelakaan sebanyak 105.383 kali dengan korban

meninggal dunia sebanyak 2.375 jiwa. Pada tahun 2015, terjadi

kecelakaan sebanyak 110.285 kali dengan korban meninggal dunia

sebanyak 2.308 jiwa. Pada tahun 2016, terjadi kecelakaan sebanyak

101.367 dengan korban meninggal dunia sebanyak 2.382 jiwa. Pada

tahun 2017, terjadi kecelakaan sebanyak 123.000 kali dengan korban


meninggal dunia sebanyak 3.000 jiwa. Pada 2018 sejak Januari hingga

Maret telah terjadi kecelakaan sebanyak 5318 kali dengan korban

meninggal dunia sebanyak 87 jiwa (BPJS Ketenagakerjaan, 2018).

Data kecelakan kerja Sulawesi Selatan. Berdasarkan data

(Dinas Tenaga Kerja, 2014) angka kecelakaan kerja pada tahun 2010

sebanyak 531 kasus, tahun 2011 sebanyak 501 kasus, tahun 2012

mengalami peingkatan mencapai 912 kasus dan tahun 2013 sebanyak

632 kasus, sedangkan pada tahun 2014 propinsi Sulawesi Selatan

menduduki peringkat pertama pada kecelakaan kerja yakni 24.910

kasus (Dinas Tenaga Kerja, 2014)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan

masalah dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep materi dari K3 Konstruksi dan Transportasi?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan maka

tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk membahas mengenai konsep K3 Konstruksi dan Transportasi

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini yaitu diharapkan penulisan

ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bagi penelitian

maupun pembuatan makalah terkait dengan materi psikologi industri

yang akan disampaikan penulis pada penulisan makalah ini dan juga
diharapkan dapat menjadi suatu pengalaman dan pengetahuan bagi

penulis yang membuat penulisan makalah ini.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum tentang K3 Konstruksi dan Transportasi

1. Bahaya dan Pengendalian Risiko K3 Konstruksi

a. Definisi Bahaya

Bahaya kerja (work hazard) merupakan sumber kerugian

atau keadaan yang berkaitan dengan pekerja, pekerjaan,dan

lingkungan pekerjaan yang berpeluang mengakibatkan kerugian

(Ilmansyah, 2020).

Bahaya di tempat kerja muncul akbiat terjadinya interaksi

antarara unsur produksi yaitu manusia, perlatan, bahan, dan

proses produksi, serta prosedur atau system kerja (Mahawati, dkk,

2021)

Identifikasi bahaya merupakan upaya secara sistematis

agar mengetahui potensi bahaya yang dapat terjadi pada

lingkungan kerja. Dengan mengenal sidat dan karakteristik

bahaya, maka dapat lebih waspada saat melakukan pengamanan

agar tidak terjadi kecelakaan kerja, namun tidak seluruh bahaya

dapat dikontrol dengan mudah (Ramli, 2010).

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam prosedur

identifikasi bahaya, penilaian resiko dan penetapan pengendalian

adalah sebagai berikut:

1) Aktifikasi yang rutin dilakukan dan tidak rutin dilakukan.


2) Aktivitas personil yang memiliki akses ke tempat kerja secara

menyeluruh (termasuk tamu dan kontraktor).

3) Kemampuan, perilaku, dan faktor-faktor lain dari manusia.

4) Bahaya yang dapat timbul yang berasal dari luar tempat kerja

dan memberi dampak terhadap kesehatan dan keselamatan

personil dalam lingkaran organisasi di lingkungan tempat

bekerja.

5) Bahaya-bahaya yang dapat saja terjadi dalam kawassan

tempat aktivitas kerja yang terkait didalam kendali organisasi.

6) Peralatan, prasarana dan material di lingkungan kerja, yang

disiapkan oleh perusahaan atau organisasi dan pihak lain.

7) Terjadi perubahan atau usulan adanya perybahan dalam

organisasi, aktivitasaktivitas atau material.

8) Modifikasi mengenai SMK3, termasuk perubahan yang

bersifat sementara, dan memiliki dampak terhadap

operasional, proses-proses dan aktivitas.

9) Kewajiban perundangan yang terkait dengan penilaian resiko

dan pelaksanaan pengendalian resiko yang diinginkan.

10) Rancangan pada area kerja, instalasi, proses-proses, mesin

atau peralatan, prosedur operasional serta organisasi kerja,

termasuk adaptasi mengenai kemampuan manusia.


Tujuan dari persyaratan ini guna memastikan identifikasi

bahaya yang komperhensif dan terinci agar seluruh peluan

bahaya dapat dikenali dan dapat dikendalikan.

b. Definisi Risiko

Risiko merupakan hal-hal yang dapat terjadi yang

menyebabkan kecelakaan atau kerugian dalam kurun periode

waktu tertentu atau siklus tertentu. Selain itu, ada tingkat risiko

yang merupakan hasil dari perkalian tingkat kekerapan dan

keparahan dari suatu kejadian kecelakaan yang menghasilkan

kerugian, kecelakaan, atau sakit dan cedera yang dapat timbul

dan berasal dari pemaparan suatu bahaya di tempat kerja

(Tarwaka,2008)

Ramli (2010) menyatakan bahwa “Risiko K3 merupakan

risiko yang berhubungan dengan sumber bahaya yang dapat

timbul dalam kegiatan bisnis yang berhubungan dengan aspek

manusia, material, peralatan, dan lingkungan tempat kerja”.

Konotasi negative dari risiko K3 pada umumnya adalah sebagai

berikut:

1) Kecelakaan pada manusia dan asset dari perusahaan.

2) Kebakaran dan peledakan.

3) Penyakit karena kerja.

4) Kerusakan pada sarana produksi.

5) Gangguan pada pengoperasian.


c. Bahaya dan Pengendalian Risiko K3 Konstruksi

Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan salah satu

aspek yang harus diperhatikan dalam dunia konstruksi.

Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik

Indonesia, masih terdapat 110.285 kasus kecelakaan pada tahun

2015, 105.182 kasus kecelakaan pada tahun 2016, dan 80.392

kasus kecelakaan pada tahun 2017. Angka kecelakaan kerja di

Indonesia yang terus menurun merupakan salah satu

keberhasilan. Akan tetapi, keberhasilan dalam menurunkan jumlah

kasus kecelakaan harus terus digiatkan. Oleh karena itu, budaya

K3 harus terus tetap dilaksanakan. Artikel ini akan membahas

pentingnya menjaga budaya dan melaksanakan praktik K3, serta

manfaat yang didapat dari pelaksanaan K3 (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2018)

1) Penyebab Utama Kecelakaan Kerja

Penyebab utama kecelakaan kerja yaitu rendahnya

kesadaran akan pentingnya penerapan Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (K3), terutama pada kalangan industri dan

masyarakat. Selama ini, penerapan K3 seringkali dianggap

sebagai beban biaya, bukan sebagai investasi untuk

mencegah terjadinya kecelakaan kerja (Sinar Harapan. Co,

2019).
Padahal, apabila penerapan K3 diaplikasikan dengan

baik dan benar pada seluruh aspek pembangunan

infrastruktur, maka terdapat banyak manfaat yang dapat

diperoleh, tentunya selain mencegah kecelakaan kerja (Ditjen

Bina Konstruksi, 2018), seperti :

a) Mengurangi keterlambatan penyelesaian proyek,

b) Menurunkan biaya proyek, sehingga secara ekonomi pasti

lebih menguntungkan,

c) Mencegah kerugian materi dan moril,

d) Mencegah kematian,

e) Membantu mencegah kerusakan lingkungan,

f) Menciptakan rasa aman sehingga meningkatkan

produktivitas dan kesejahteraan masyarakat,

g) Meningkatkan indeks pembangunan manusia dan daya

saing nasional,

h) Mendorong terwujudnya pembangunan infrastruktur yang

berkelanjutan untuk mendukung terciptanya zero accident.

2) Pengendalian Risiko K3 Konstruksi

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

05/PRT/M/2014 tentang Pedoman Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang

Pekerjaan Umum, Penyedia Jasa Pelaksana Konstruksi wajib

dan bertanggung jawab untuk melakukan pengendalian risiko


K3 Konstruksi. Pengendalian risiko yang dimaksud adalah

segala upaya untuk meniadakan risiko (CSP, 2018).

Pengendalian risiko dapat mengikuti Pendekatan

Hirarki Pengendalian (Hierarchy of Control) risiko. Hirarki

pengendalian risiko adalah suatu urutan prioritas dalam

pencegahan dan pengendalian risiko yang mungkin timbul

yang terdiri dari beberapa tingkatan secara berurutan

a) Eliminasi

Eliminasi merupakan suatu pengendalian risiko

yang bersifat permanen dan harus dicoba untuk

diterapkan sebagai pilihan prioritas utama. Eliminasi

adalah cara untuk menghilangkan sumber bahaya.Contoh:

seorang pekerja harus menghindari bekerja di ketinggian

namun pekerjaan tetap dilakukan dengan menggunakan

alat bantu.

b) Substitusi

Substitusi adalah cara untuk mengganti metode

atau alat/mesin/bahan yang lebih aman dan tingkat

bahayanya lebih rendah.Contoh: penggunaan tangga

diganti dengan alat angkat mekanik kecil untuk bekerja di

ketinggian.
c) Rekayasa Teknik

Rekayasa Teknik adalah cara untuk memodifikasi

atau perancangan alat/mesin/tempat kerja yang lebih

amanContoh: menggunakan perlengkapan kerja atau

peralatan lainnya untuk menghindari terjatuh pada saat

bekerja di ketinggian.

d) Pengendalian Administrasi

Pengendalian administrasi adalah cara

meniadakan risiko dengan membuat prosedur, aturan,

pelatihan, tanda bahaya, rambu, poster, label, atau

merubah durasi kerja.Contoh: pengaturan waktu kerja

(rotasi tempat kerja) untuk mengurangi terpaparnya/

tereksposnya pekerja terhadap sumber bahaya, larangan

menggunakan telepon seluler di tempat tertentu,

pemasangan rambu-rambu keselamatan.

e) Alat Pelindung Diri

Alat Pelindung Diri yang dimaksud adalah

melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindugan diri agar

meniadakan risiko.Contoh: Pemakaian kacamata las dan

sarung tangan kulit pada pekerjaan pengelasan.

Pengendalian risiko juga dapat dilakukan dengan cara

inspeksi. Inspeksi K3 adalah suatu upaya melakukan

pemeriksaan atau mendeteksi berbagai faktor (peralatan,


proses kerja, material, area kerja, prosedur) yang berpotensi

menimbulkan cedera, sehingga kecelakaan kerja ataupun

kerugian dapat dicegah atau diminimalkan. Ruang lingkup

inspeksi K3 menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

Nomor 05/PRT/M/2014 meliputi:

a) Tempat kerja,

b) Peralatan kerja,

c) Cara kerja,

d) Alat Pelindung Kerja,

e) Alat Pelindung Diri,

f) Rambu-rambu, dan

g) Lingkungan kerja konstruksi sesuai dengan RK3K.

Kecelakaan merupakan risiko yang melekat pada

setiap proses atau kegiatan yang berhubungan dengan

pekerjaan. Pada setiap proses atau aktifitas pekerjaan selalu

ada risiko kegagalan (risk of failures). Saat kecelakaan kerja

(work accident) terjadi, seberapapun kecilnya, akan

mengakibatkan kerugian (loss). Oleh karena itu, kecelakaan

atau potensi kecelakaan kerja harus dicegah sedini mungkin.

2. K3 Peralatan Konstruksi

Peralatan konstruksi adalah alat-alat yang digunakan dalam

kegiatan konstruksi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan

konstruksi seperti struktur beton


Peralatan konstruksi, baik sebagai peralatan utama/pokok

maupun sebagai peralatan penunjang dalam berbagai jenis

pekerjaan konstruksi, memiliki potensi bahaya dan risiko yang tinggi

baik berupa risiko kegagalan konstruksi maupun kecelakaan kerja

konstruksi

Sumber bahaya peralatan konstruksi meliputi mekanisme

mesin penggerak, transmisi tenaga, maneuver alat, bagian dan

asesoris alat, kondisi struktur atau konstruksi alat, kapasitas alat,

prosedur penggunaan, perawatan dan inspeksi, kondisi jalan akses,

kondisi tempat kerja dan perilaku operatot, petugas pengangkatan

dan pemberi tanda dan fungsi perlengkapan pengendali keselamatan

(Saftey Devices).

K3 peralatan konstruksi meliputi kegiatan identifikasi bahaya,

penilaian dan pengendalian risiko, pada tahap perencanaan

kebutuhan alat, pemilihan , mobilisasi, penggunaan,

perawatan/perbaikin dan demobilisasi alat

Adapun beberapa dasar hukum dari k3 konstruksi yaitu,

sebagai berikut:

a. UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

b. Permenaker No.05/1978 tentang syarat-syarat K3 pada

pemakaian lift listrik untuk orang dan barang

c. Permenaker No.04/1985 tentang K3 pesawat tenaga dan produksi

d. Permenaker No.05/1985 tentang K3 pesawat angkat dan Angkut


e. Permenaker No.01/1988 Kwalifikasi dan syarat-syarat operator

pesawat uap

f. Permenaker N0.01/1989 Kwalifikasi dan syarat-syarat operator

keran angkat

g. Permanaker No.02/1989 Pengawasan instalasi penyalur petir

h. Permanaker No.03/1999 syarat-syarat K3 lift untuk pengangkutan

orang dan barang

Adapun beberapa macam alat berat pada konstruksi yang

digunakan yaitu, sebagai berikut:

a. Alat berat dozer (Loader) atau Bulldozer

Salah satu alat berat yang umum dipakai menangani

material proyek, terutama material hasil penggalian atau timbunan

material, seperti pasir, tanah ataupun bebatuan.

Terdapat bucket pada alat berat dozer sehingga alat ini

memiliki nama lain front end dozer, dimana ada dua jenis dozer

yang sering digunakan dalam konstruksi yaitu crawler tractor

dozer (roda kelabang) dan wheel tractor dozer (bulldozer dengan

roda karet).

Alat berat bulldozer ini memiliki kekurangan yaitu jarak

tempuh yang terlalu pendek/tidak jauh, namun mampu menahan

beban yang sangat berat.


b. Alat berat Excavator

Alat berat yang sering dipergunakan dalam proyek

konstruksi menyesuaikan lapangan atau daerah kerja, umumnya

terbagi beberapa jenis sesuai penggali yang ada di bagian depan.

Semua jenis excavator itu memiliki kesamaan yaitu alat penggerak

berupa ban atau crawler memungkinkan beroperasi di permukaan

kasar atau kurang padat dan tidak memerlukan banyak

pemindahan tempat.

Excavator adalah alat penggali tanah yang juga dapat

dipergunakan sebagai alat pemindah dan pengangkut material ke

dalam truk, namun sayangnya tidak dapat dipergunakan dalam

jarak jauh.

c. Alat berat crane

Alat berat proyek bengunan yang keberadaannya dapat

dilihat dari jauh, memiliki ketinggian dan ukuran besar untuk

mengangkat material yang akan dipindahkan, baik secara vertikal

maupun horizontal dalam jarak tertentu yang sangat dibutuhkan

dalam konstruksi dan mampu menggali lubang hingga kedalaman

140 kaki.

Crane memiliki berbagai tipe dalam pengoperasiannya

dan harrus memilih yang benar-benar sesuai dengan kondisi

proyek yang dikerjakan, karena akan berdampak besar dalam


proyek dan mempengaruhi waktu serta keuntungan dan kerugian

dalam proyek.

d. Alat berat wheel loader dan track loader

Alat yang memiliki fungsi sama dengan dozer,

dipergunakan untuk pemindahan material dari satu alat ke alat lain

dalam jarak dekat.

Alat pemindah wheel loader dan track loader memiliki

jarak tempuh sangat pendek karena sifatnya hanya memindahkan

material saja, sedang alat angkut bisa menempuh jarak yang jauh

seperti truk.

Wheel loader sangat cocok dan efisien dipergunakan di

daerah kerja yang rata, kering dan kokoh karena menggunakan

roda karet dan memiliki mobilitas tinggi, dengan roda yang dapat

digerakkan leluasa ke arah tertentu seperti mobil membuat ruang

gerak fleksibel.

e. Alat berat truk derek fuso

Sebuah truk derek yang masuk dalam kategpri alat berat

tercanggih di dunia, karena bentuk menyerupai laba-laba yang

mampu mengangkat segala jenis benda dengan tangan-tangan

robot layaknya film transformer, mampu mencengkeram semua

benda yang ada di depannya dengan mudah.


f. Alat berat motor scrapper

Sebuah alat berat dipergunakan untuk memotong lereng

tanggul atau lereng bendungan, menggali tanah diantara

bangunan beton dan meratakan jalan raya.

Proses kerja alat ini mampu menggali permukaan tanah

sampai setebal 2,5 mm dan menimbun sampai tebal minimum 2,5

mm, namun hanya bisa mengangkut dalam jarak dekat saja.

g. Alat berat motor grader

Alat berat yang berfungsi meratakan pembukaan tanah

secara mekanis dan penggusuran tanah, meratakan tanggul,

pencampuran tanah, pengurugan kembali galian tanah dan

sebagainya.

Sebuah mesin sortir sebagai sarana (angkut) rancang

bangun dengan pemotong besar untuk menciptakan permukaan

datar, mempunyai tiga poros sumbu dengan taxi dan mesin/motor

diletakkan di atas poros belakang dari kendaraan dan mata pisau

di tengahnya. Dipergunakan sebagai proses akhir (pemerataan)

permukaan keras/kasar seperti traktor dan pengikis.

h. Alat berat asphalt finisher

Jenis alat berat untuk mengahamparkan campuran aspal

aspal hot mix yang dihasilkan dari alat produksi aspal yaitu

Asphalt Mixing Plant (AMP) pada permukaan jalan yang akan

dikerjakan.
Kekurangan alat berat jenis ini adalah perputaran roda

kelabang manuver lebih lama, dikarenakan roda karet daya

ambangnya lebih kasar.

Asphalt finisher memiliki dua jenis crawler dipergunakan

menggunakan track dan jenis roda karet (wheeled). Asphalt

finisher dengan jenis track penghamparannya lebih halus dan

datas, dibandingkan asphalt finisher menggunakan roda karet

dengan ukuran yang sama. Peran kerja asphalt finisher ini sangat

besar terutama pekerjaan pengerasan dan pelapisan ulang, juga

dapat mengantisipasi segala macam jenis aspal.

i. Alat berat mobile crane

Alat berat mobile crane dipergunakan sebagai pengangkut

material, penggunaannya lebih mudah karena dapat berpindah

tempat dengan mudah.

Kekurangannya alat berat ini tidak bisa dipergunakan di

permukaan air.

j. Alat berat pneumatic tire roller

Jenis alat berat yang dipergunakan pada pekerjaan

penggilasan bahan granular juga penggilasan lapisan hot mix

dengan roda karet bertekanan angin. Makin besar tekanan ban,

makin besar pula tekanan yang terjadi pada tanah, jadi besarnya

tekanan dapat dilakukan dengan merubah tekanan roda tersebut,


tidak dipergunakan pada tanah berbatu dan tajam karena

mempercepat kerusakan roda.

Jumlah roda tired roller berkisar 9-19 roda, misal mesin

menggunakan 9 roda, as depan dipasang 4 roda, tekanan roda

mencapai 6-109 bar, berat mesin 15-200 ton, dimana tekanan

pada ban angin dapat berubah-ubah menyesuaikan kondisi tanah

dan tahap pemadatan.

k. Alat berat concrete batching plant

Jenis alat berat yang memiliki fungsi mencampur atau

memproduksi beton dalam produksi besar.

Alat berat ini dipergunakan agar produksi beton ready mix

tetap dalam kualitas terjaga dengan baik, sesuai standar, nilai

slump test dan trength stabil.

l. Alat berat tower crane

Jenis alat berat sering dipakai untuk membangun

jembatan, gedung bertingkat dan apartemen.

Alat tower crane memiliki fungsi mengangkut material atau

bahan konstruksi bangunan dari atas menuju bagian yang ada di

atas.

Mesin pengangkat beban untuk memudahkan proses

konstruksi terutama pada gedung tinggi, dimana ukurannya bisa

mencapai ketinggian 100 meter di atas tanah.


3. K3 Perancah, Alat Angkat dan Angkut pada Konstruksi

Scaffolding atau perancah adalah bangunan sementara

struktur yang dirakit dilapangan dipakai untuk sarana bekerja

diketinggian. Dijamin keamanannya oleh ahli, harus dipasang secara

tepat, tidak boleh dirubah-rubah oleh siapapun yang tidak berhak

Defisi menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.01 Tahun

1980, Pasa (1) huruf (e) Perancah (Sacffolding) adalah bangunan

pelataran kerja (platform) yang dibuat untuk sementara dan

digunakan sebagai penyangga tenaga kerja, bahan-bahan dan alat-

alat pada setiap pekerjaan konstruksi termasuk pekerjaan

pemeliharaan dan pembongkaran

Adapun beberapa tujuan dari perancah atau scaffolding

yaitu, sebagai berikut:

a. Perancah dapat dipasang, dipakai, dibongkat secara aman, efisien

dan produktif

b. Tahapan konstruksi bangunan dengan bantuan perancah dapat

berlangsung secara aman

c. Memberi perlindungan K3 bagi tenaga kerja dan orang lain

Alat angkut dan alat angkat adalah alat-alat yang digunakan

dalam kegiatan konstruksi untuk mengangkat material/barang dalam

melakukan berbagai pekerjaan konstruksi

Alat angkut dan alat angkat, baik sebagai peralatan

utama/pokok maupun sebagai peralatan penunjang dalam berbagai


jenis pekerjaan konstruksi, memiliiki potensi bahaya dan risiko yang

tinggi baik berupa risiko kegagalan konstruksi maupun kecelakaan

kerja

Sumber bahaya alat angkut dan alat angkut meliputi

mekanisme mesin penggerak, transmisi tenaga, maneuver alat,

bagian dan asesoris alat, kondisi struktur atau konstruksi alat,

kapasitas alat, prosedur penggunaan, perawatan, dan inspeksi,

kondisi jalan akses, kondisi tempat kerja dan perilaku operator,

petugas pengangkatan dan pemberi tanda dan fungsi perlengkapan

pengendalian keselamatan

K3 alat angkut dan alat angkat meliputi kegiatan identifikasi

bahaya, penilaian dan pengendalian risiko, pada tahap perencanaan

kebutuhan alat, pemilihan, mobilisasi, penggunaan, perawatan atau

perbaikan dan demobilisasi alat

Adapun beberapa dasar hukum mengenai pesawat angkat

dan angkut yaitu, sebagai berikut:

a. UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

b. Permenaker No.05 Tahun 1978 syarat-syarat K3 pada pemakaian

lift listrik untuk orang dan barang

c. Permenaker No.04 Tahun 1985 K3 Pesawat tenaga dan produksi

d. Permenaker No.05 Tahun 1985 K3 Pesawat angkat dan angkut

e. Permenaker No.01 Tahun 1988 Kwalifikasi dan syarat-syarat

operator pesawat uap


f. Permenaker No.01 Tahun 1989 Kwalifikasi dan syarat-syarat

operatot keran angkat

g. Permenaker No.02 Tahun 1989 Pengawasan instalasi penyalur

petir

h. Permenaker No.03 Tahun 1999 Syarat-syarat K3 Lift untuk

pengangkutan orang dan barang

i. Peraturan Menteri No.08 Tahun 2020 tentang Pesawat Angkat

Angkut

Adapaun berikut ini jenis jenis dari pesawat angkat dan

angkut yaitu, sebagai berikut:

a. Pesawat angkat

1) Tower Crane

2) Takel

3) Peralatan Angkat Listrik

4) Pesawat Pneumatic

5) Gondola

6) Keran Angkat

7) Keran Magnit

8) Keran Lokomotif

9) Keran Dinding

10) Keran Sumbu Putar

11) Escalator dan Travelator

12) Ban Berjalan


13) Rantai Berjalan

b. Pesawat angkut diatas landasan dan di permukaan

1) Truk

2) Truk Derek

3) Traktor

4) Gerobak

5) Forklift

6) Kereta Gantung

7) Alat Angkutan

c. Pesawat jalan di atas rel

1) Lokomotif

2) Gerbong

3) Lori

d. Pesawat pita transport

1) Konveyor Rantai

2) Konveyor Ban Berjalan

3) Konveyor Silinder Hidrolik

e. Alat bantu angkat

1) Sling Wirerope

2) Rantai

3) Tali Serat

4) Spreder Bar

5) Shaker
6) Kiem

7) O-ring dll

4. Penanganan Material bahaya Bidang Konstruksi

a. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Konstruksi

Menurut Keputusan Mentri Tenaga Kerja RI No. Kep.

463/MEN/1993 kesehatan dan keselamatan kerja adalah upaya

perlindungan yang ditujukan agar tenaga kerja dan orang lainnya

ditempat kerja/perusahaan selalu dalam keadaan selamat dan

sehat, serta agar setiap sumber produksi dapat digunakan secara

aman dan efisien.

Menurut Suma’mur (1992), keselamatan kerja merupakan

sarana utama untuk pencegahan kecelakaan seperti cacat dan

kematian akibat kecelakaan kerja. Keselamatan kerja dalam

hubunganya dengan perlindungan tenaga kerja adalah salah satu

segi penting dari perlindungan tenaga kerja.

Edwin B. Filippo (1995), menyatakan bahwa keselamatan

dan kesehatan kerja adalah pendekatan yang menentukan

standar yang menyeluruh dan bersifat (spesifik`), penentuan

kebijakan pemerintah atas praktek-praktek perusahaan di tempat-

tempat kerja dan pelaksanaan melalui surat panggilan denda dan

hukuman-hukuman lain.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa keselamatan

adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan


sehingga manusia dapat merasakan kondisi yang aman atau

selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian terutama untuk

para pekerja konstruksi. Agar kondisi ini tercapai ditempat kerja

maka diperlukan adanya keselamatan kerja

b. Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja Konstruksi

Memiliki Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan

Kerja yang terintegrasi ini, sudah merupakan suatu keharusan

untuk sebuah perusahaan dan telah menjadi peraturan. terutama

pada proyek konstruksi. Organisasi Buruh Sedunia (ILO)

menerbitkan panduan Sistem Manajemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja. Di Indonesia panduan yang serupa dikenal

dengan istilah SMK3, sedang di Amerika OSHAS 1800-1, 1800-2

dan di Inggris BS 8800 serta di Australia disebut AS/NZ 480-1.

Secara lebih rinci lagi asosiasi di setiap sektor industri di dunia

juga menerbitkan panduan yang serupa seperti misalnya khusus

dibidang transportasi udara, industri minyak dan gas, serta

instalasi nuklir dan lain-lain sebagainya. Bahkan dewasa ini

organisasi tidak hanya dituntut untuk memiliki sistim manajemen

keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi, lebih dari itu

organisasi diharapkan memiliki budaya sehat dan selamat (safety

and health culture) dimana setiap anggotanya menampilkan

perilaku aman dan sehat. Oleh sebab itu, perusahaan harus


melakukan berbagai cara untuk dapat mewujudkan terlaksananya

keselamatan dan kesehatan kerja ditempat kerja.

c. Manajemen Risiko Proyek Konstruksi

Manajemen risiko merupakan suatu proses yang logis dan

sistematis dalam mengidentifikasi, menganalisa, mengevaluasi,

mengendalikan, mengawasi, dan mengkomunikasikan risiko yang

berhubungan dengan segala aktivitas, fungsi atau proses dengan

tujuan perusahaan mampu meminimasi kerugian dan

memaksimumkan kesempatan. Implementasi dari manajemen

risiko ini membantu perusahaan dalam mengidentifikasi risiko

sejak awal dan membantu membuat keputusan untuk mengatasi

risiko tersebut. (Australia/New Zealand Standards 4360:2004).

Pengertian manajemen resiko menurut Djohanputro

(2008;43) Manajemen resiko merupakan proses terstruktur dan

sistematis dalam mengidentifikasi, mengukur, memetakan,

mengembangkan alternatif penanganan resiko, dan memonitor

dan mengendalikan penanganan resiko.

d. Tujuan Manajemen Risiko Proyek Konstruksi

Tujuan manajemen risiko menurut Autralian Standard /

New Zealand Standard 4360:2004, yaitu:

1) Membantu meminimalisasi meluasnya efek yang tidak

diinginkan terjadi.
2) Memaksimalkan pencapaian tujuan organisasi dengan

meminimalkan kerugian.

3) Melaksanakan program manajemen secara efesien sehingga


memberikan keuntungan bukan kerugian.

4) Melakukan peningkatan pengambilan keputusan pada semua


level.

5) Menyusun program yang tepat untuk meminimalisasi kerugian


pada saat terjadi kegagalan.

6) Menciptakan manajemen yang bersifat proaktif bukan bersifat


reaktif.

e. Manfaat Manajemen Risiko Proyek Konstruksi

Manajemen risiko sangat penting bagi keberlangsungan

suatu usaha atau kegiatan dan merupakan alat untuk melindungi

perusahaan dari kemungkinan yang merugikan. Manajemen tidak

cukup melakukan langkah-langkah pengamanan yang memadai

sehingga peluang terjadinya bencana semakin besar. Dengan

melaksanakan manajemen risiko diperoleh manfaat antara lain

(Ramli,2010):

1) Menjamin keberlangsungan usaha dengan mengurangi risiko

dari setiap kegiatan yang mengandung bahaya.

2) Menekan biaya untuk penanggulangan kejadian yang tidak

diinginkan.
3) Menembus rasa aman dikalangan pemegang saham mengenai

kelangsungan dan keamanan investasinya.

4) Memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku.

f. HIRARC (Hazard Identification, Risk Assesment & Risk Control)

Metode HIRARC (Hazard Identification,Risk Assessment

& Risk Control) menurut OHSAS 18001 merupakan elemen pokok

dalam sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang

berkaitan langsung dengan upaya pencegahan dan pengendalian

bahaya di samping itu HIRARC (Hazard Identification Risk

Assessment and Risk Control) juga merupakan bagian dari “Risk

Management” yang harus dilakukan di seluruh aktivitas organisasi

untuk menetukan kegiatan organisasi yang mengandung potensi

bahaya dan menimbulkan dampak serius terhadap keselamatan

dan kesehatan kerja (Ramli, 2010). HIRARC saat ini telah dikenal

sebagai metode identifikasi bahaya, risk assessment dan risk

control yang biasa digunakan dan dianggap lebih tepat dan lebih

teliti dimana bahaya yang timbul dijelaskan dari setiap aktivitas

kerja. Metode ini juga memberikan tindakan pengendalian yang

sesuai untuk setiap potensi bahaya. Pengendalian perlu dilakukan

untuk mencegah timbulnya kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja

(PAK) yang dapat merugikan perusahaan.

Sebagai salah satu klausul dari OHSAS 18001 yang

menjadi acuan untuk dilakukannya perbaikan yang berkelanjutan


(countinous improvement) pada proses yang berjalan di dalam

perusahaan, maka lebih lanjut dari itu, seperti yang dipersyaratkan

oleh regulasi, setiap organisasi harus memiliki sistem yang aman

dari setiap aktivitasnya untuk meminimalkan terjadinya kerusakan

dan kerugian baik bagi manusia maupun lingkungan. Dalam hal ini

standar prosedur kerja sangat penting sebagai acuan kerja.

HIRARC dimulai dari menentukan jenis kegiatan yang

kemudian diidentifikasikan bahaya nya sehingga diketahui

risikonya. Kemudian akan dilakukan penilaian risiko dan

pengendalian risiko untuk mengurangi paparan bahaya yang

terdapat pada setiap jenis pekerjaan.

g. Identifikais Bahaya (Hazard Identification)

Idenfikasi bahaya merupakan langkah awal dalam

mengembangkan manajemen risiko K3. Identifikasi bahaya adalah

upaya sistematis untuk mengetahui adanya bahaya dalam

aktivitas organisasi. Secara sederhana adalah dengan melakukan

pengamatan. Melalui pengamatan maka kita sebenarnya telah

melakukan suatu identifikasi bahaya (Stuart Hawthron).

Identifikasi bahaya merupakan landasan dari program

pencegahan kecelakaan atau pengendalian risiko. Tanpa

mengenal bahaya, maka risiko tidak dapat ditentukan sehingga

upaya pencegahan dan pengendalian tidak dapat dijalankan

(Ramli, 2010).
Idenfikasi bahaya dilakukan dengan mengidentifikasi

bahaya-bahaya yang harus dikelola. Langkah ini sangat kritikal,

karena risiko yang potensial jika tidak teridentifikasi pada tahapan

ini tidak akan dianalisis lebih lanjut. Identifikasi komprehensif

dengan menggunakan proses sistematis yang terstruktur baik,

harus mencakup semua risiko, baik risiko yang berada dalam

kendali organisasi maupun risiko yang di luar kendali organisasi.

Adapun sumber-sumber bahaya ditempat kerja sebagian

besar bersumber dari:

1) Kondisi lingkungan tempat kerja, peralatan Dengan mengetahui

sumber-sumber bahaya di tempat kerja ini, kita sudah dapat

mengantisipasi datangnya bahaya itu dan tindakan pencegahan

dan menetapkan pengendalian agar para pekerja tidak

mengalami kecelakaan yang diakibatkan oleh bahaya-bahaya

yang telah kita identifikasi sebelumnya dan membuat tempat

kerja kita menjadi tempat yang aman dan sehat untuk bekerja.

2) Proses pekerjaan Bahaya yang berasal dari proses pekerjaan

sangat bervariasi tergantung metode pekerjaan dan peralatan

yang digunakan. Proses pekerjaan yang digunakan dalam

kegiatan konstruksi ada yang sederhana tetapi ada proses yang

rumit ada proses yang berbahaya dan ada pula proses yang

kurang berbahaya. Kegiatan konstruksi biasanya menggunakan

proses yang rumit sehingga besar resiko bahayanya, dari


proses ini kadang-kadang timbul asap, debu, bising dan bahaya

mekanis seperti terjepit, terpotong, tersenggol, tertimpa bahan

sehingga dinyatakan kecelakaan atau sakit akibat kerja.

3) Material/bahan Bahaya dari bahan ini meliputi berbagai resiko

sesuai dengan sifat bahannya, antara lain ; mudah terbakar,

mudah meledak, menimbulkan energi, menimbulkan kerusakan

pada kulit dan jaringan tubuh, menyebabkan kanker,

mengakibatkan kelainan pada janin, bersifat beracun, radioaktif,

dll.

Selain resiko bahannya yang berbeda juga intensitas

atau tingkat bahayanya juga berbeda. Ada yang tingkatnya

sangat tinggi dan ada pula yang rendah, misalnya dalam hal

bahan beracun, ada yang sangat beracun yang dapat

menimbulkan kematian dalam kadar yang rendah dan dalam

tempo yang singkat dan ada pula yang kurang berbahaya.

Disamping itu pengaruhnya ada yang segera dapat dilihat tetapi

ada juga yang pengaruhnya baru kita ketahui setelah bertahun-

tahun yang bisa disebut juga kronis. Oleh sebab itu setiap

pimpinan perusahaan harus tahu sifat bahaya yang digunakan

sehingga bisa mengambil langkah-langkah untuk mencegah

terjadinya kecelakaan dan sakit akibat kerja yang dapat sangat

merugikan bagi perusahaan.


4) Cara kerja Bahaya dari cara kerja dapat membahayakan

pekerja itu sendiri dan orang lain disekitarnya, cara kerja yang

demikian antara lain seperti:

a) Cara mengakat dan mengangkut, apabila dilakukan dengan

cara yang salah dapat mengakibatkan cidera dan yang

paling sering adalah cidera pada tulang punggung, juga

sering terjadi kecelakaan sebagai akibar cara mengagkat

atau mengangkut.

b) Cara kerja yang mengakibatkan hamburan debu dan serbuk

logam, periciakan api serta tumpahan bahan berbahaya.

5) Penggunaan APD Kurang disiplinnya para tenaga kerja di

dalam mematuhi ketentuan dalam penggunaan atau pemakaian

alat pelindung diri biasanya karena alasan sepele, misalnya

pekerja tidak memakai kacamata saat mengelas, sehingga

kerap terjadi sesuatu yang merugikan dirinya sendiri.

Rendahnya kesadaran pekerja dalam Menggunakan alat

pelindung diri karena dianggap mengurangi feminitas,

terbatasnya faktor stimulan pimpinan, dan karena tidak enak

dan kurang nyaman juga merupakan alasan mengapa tidak

disiplinnya karyawan dalam menggunakan (APD).

Secara garis besar identifikasi bahaya adalah merinci

risiko-risiko yang ada sampai level detail dan kemudian

menentukan signifikasinya (potensinya) dan penyebabnya,


melalui program survei dan penyelidikan terhadap sumber

bahaya yang ada. Tahapan identifikasi bahaya diawali dengan

menyusun daftar kejadian yang tidak diharapkan diproyek yang

mungkin menyebabkan terjadinya kecelakaan maupun

gangguan kesehatan bagi pekerja dan non-pekerja yang

berada disekitar proyek

5. Penggunaan APD dan Pengembangan Budaya K3 pada Pekerjaan

Konstruksi

a. Definisi Alat Pelindung Diri

Alat Pelindung Diri didefinisikan sebagai alat yang

digunakan untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang

diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya (hazard) ditempat

kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik,

mekanik dan lain-lain. APD merupakan salah satu bentuk upaya

dalam menanggulangi resiko akibat kerja ditempat kerja agar tidak

menyebabkan kecelakaan kerja

Menurut Permenakertrans RI No.8 pada tahun 2010. Alat

pelindung diri termasuk semua pakaian dan aksesories pekerjaan

lain yang dirancang untuk menciptakan sebuah penghalang

terhadap bahaya tempat kerja. APD dalam konstruksi termasuk

pakaian affording perlindungan terhadap cuaca yang dipakai oleh

seseorang di tempat kerja dan yang melindunginya terhadap satu

atau lebih resiko kesehatan atau keselamatan. Berdasarkan UU


No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja menyebutkan bahwa

ditetapkan syarat keselamatan kerja adalah memberikan

perlindungan para pekerja. Pengusaha wajib menyediakan APD

bagi pekerja atau buruh ditempat kerja APD yang sesuai dengan

Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar yang berlaku

b. Dasar Hukum Alat Pelindung Diri

Adapun beberapa tinjauan umum mengenai dasar hukum

penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), yaitu:

1) Undang-Undang No.1 Tahun 1970

a) Pasal 3 ayat (1) butir f: memberikan alat-alat perlindungan

diri pada para pekerja

b) Pasal 9 ayat (1) butir c: Pengurus diwajibkan menunjukkan

dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang APD

c) Pasal 12 butir b: Dengan peraturan perundangan diatur

kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk memakai APD

yang diwajibkan

d) Pasal 14 butir c: pengurus diwajibkan Menyediakan secara

cuma-cuma, semua alat perlindung diri yang diwadjibkan

pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan

menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat

kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang

diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli

keselamatan kerja.
2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. Per:

01/Men/1981

Pasal 4 ayat (3): menyebutkan kewajiban Pengurus

wajib menyediakan secara cuma-cuma semua alat perlindung

diri yang diwajibkan penggunaannya oleh tenaga kerja yang

berada di bawah pimpinannya untuk pencegahan penyakit

akibat kerja.

3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No.

Per.03/Men/1982

Pasal 2 butir i: Menyebutkan memberikan nasihat

mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan

alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta

penyelenggaraan makanan ditempat kerja

4) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No.

Per.08/Men/VII/2010

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia No. Per.08/Men/VII/2010 mengatur tentang

alat pelindung diri (APD), adapun pasalnya terdiri dari:

a) Pasal 2 ayat (1) menyebutkan pengusaha wajib

menyediakan Alat Perlindung Diri bagi pekerja/buruh

ditempat kerja.

b) Pasal 5 menyebutkan pengusaha atau pengurus wajib

mengumumkan secara tertulis dan memasang rambu-rambu


mengenai kewajiban penggunaan Alat Perlindung Diri

ditempat kerja.

c) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan pekerja/buruh dan orang lain

yang memasuki tempat kerja wajib memakai atau

menggunakan alat pelindung diri sesuai dengan potensi

bahaya dan risiko.

d) Pasal 7 ayat (1) menyebutkan pengusaha atau pengurus

wajib melaksanakan manajemen Alat Perlindung Diri

ditempat kerja.

c. Budaya K3

Penerapan K3 dalam konstruksi bukan hanya aturan

semata yang dibuat untuk formalitas. Lebih dari itu, K3 merupakan

suatu standar untuk memastikan bahwa keselamatan dan

kesehatan para pekerja tetap terpelihara. Nyatanya, K3 bahkan

merupakan standar yang juga diimplementasikan dalam skala

internasional. K3 harus menjadi budaya kerja yang dilaksanakan

dengan disiplin, karena sektor ini memiliki risiko tinggi terkait

keselamatan dan kesehatan baik bagi para pekerja maupun

masyarakat.

Banyak pandangan tentang K3. Ada yang melihat K3

sebagai suatu ilmu yang multidisiplin; K3 sebagai rambu atau alat

pelindung diri; K3 sebagai program kerja; K3 sebagai kewajiban

pemenuhan aturan/standar; K3 sebagai peryaratan usaha atau


mendapatkan sertifikat audit; K3 sebagai profesi; dan, ada juga

yang melihat K3 sebagai sebuah nilai. Nilai yang melekat pada diri

seluruh umat manusia untuk sehat dan selamat. Perbedaan cara

pandang ini juga mempengaruhi tingkat kedewasaan pengelolaan

K3 di perusahaan/organisasi, maupun negara.

K3 merupakan salah-satu perhatian dunia. International

Labour Organization (ILO) memperkirakan setiap tahunnya lebih

dari 2 juta manusia meninggal dunia akibat kecelakaan kerja atau

penyakit yang terkait dengan pekerjaan. Berdasarkan angka

perkiraan konservatif, ada 270 juta kecelakaaan kerja dan 160 juta

kasus penyakit yang terkait dengan pekerjaan.

Di Jepang , sebelum tahun 1960-an, tren kecelakaan

tinggi. Sejak tahun 1973, tingkat kecelakaan industri yang

berakibat fatal dan hilangnya hari kerja lebih dari 4 hari

menunjukan tren menurun hingga sekarang. Keberhasilan

mengurangi angka kecelakaan tersebut tentunya hasil dari upaya

perbaikan dalam hal K3 yang dapat Kita lihat baik di dalam

pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Apa yang membuat Jepang

bisa seperti itu? K3 sudah menjadi budaya dalam keseharian

seluruh pemangku kepentingan. Implementasi K3 tidak lagi

pendekatan keharusan, tapi pendekatan sukarela melalui

partisipasi para pengusaha dan para pekerja.


Di Inggris, khususnya industri pertambangan batubara,

tahun 1995 tren kecelakaan sangat buruk, dari tidak pernah terjadi

kecelakaaan berakibat meninggal selama 7 tahun, sampai pada

posisi 7 orang meninggal pada periode 2006 - 2009 diiringi

dengan tingkat insiden serius meningkat. Inggris berupaya

memperbaiki kinerja K3 melalui pendekatan budaya. Patrick

Poster & Stuart Hoult, dalam jurnal Minerals 2013, 3, 59-72 bahwa

model budaya K3 telah dikembangkan di industri pertambangan di

Inggris untuk menilai tingkat pemenuhan dan keefektifan

implementasi K3 berbasis sistem manajemen. Model budaya K3

dikembangkan dengan mengintegrasikan Model Hudson, Anglo

American, dan Mineral Industry Risk Management (MIRM)

Maturity Chart beserta 12 elemen sistem manajemen yang

dinamai UK Coal Journey Model. Untuk mendapatkan gambaran

kematangan budaya K3, dilakukan 'self-assessment' setiap

individu di seluruh tambang, baik tambang tertutup maupun

tambang terbuka.

ILO menyatakan, K3 sangat bergantung dengan kondisi

negara, sektor ekonomi dan sosial. Angka kematian dan cidera di

negara-negara berkembang, terbilang sangat tinggi. Banyak

negara industri berhasil mengurangi angka cidera serius yang

merupakan keberhasilan upaya perbaikan dalam hal K3. ILO


memberikan penekanan khusus pada penerapan budaya K3

sebagai strategi global pengelolaan K3 di seluruh dunia.

Berkembangnya pendekatan budaya K3 mulai dikenal

setelah terjadinya peristiwa Chernobyl di tahun 1986.

Menurut Cooper, dalam buku yang berjudul: Improving

Safety Culture, A Practical Guide, ada 2 isu yang fundamental

dalam mencegah kecelakaan. Isu pertama, keyakinan bahwa

setiap individu/pekerja diberikan perlindungan fisik yang cukup

untuk terhindar dari kecelakaan. Isu kedua, keyakinan bahwa

setiap individu/pekerja harus dibekali pengetahuan dan

keterampilan yang cukup, sehingga kecelakan dapat dihindari.

Terkait peristiwa Chernobyl diatas, juga kecelakaan skala besar

lainnya, seperti: kebakaran King Cross, Piper Alpha, Clapham

Junction, dsb., saat ini konsep memperbaiki K3 telah berpindah ke

konsep budaya K3. Cooper juga menyebutkan ada tiga faktor

pembentuk budaya K3, yaitu: phsycological (person), behavioural

(job), dan system (organization).

Senada juga yang disampaikan oleh Jane Ardern, dalam

makalahnya yang berjudul: Creating A Safety Culture, bahwa ada

tiga faktor pembentuk utama budaya K3, yaitu: sikap,

lingkungan,dan sistem.

Banyak teori/model faktor pembentuk budaya K3, yang

intinya tidak saja pendekatan manusia, tapi juga pendekatan


sistem. Pendekatan manusia adalah fokusnya adalah manusia

agar berubah perilaku, sikap, nilai, dan sebagainya baik dengan

program intervensi pada individunya, kelompok, maupun

keseluruhan organisasi.Sedangkan pendekatan sistem adalah

fokusnya ke sistem, merubah sistem, memperbaiki sub sistem,

pola interaksi antar sistem maupun sub sistem, dan yang terkait

lainnya yang ada di organisasi baik mikro maupun makro

(perusahaan, pemerintah daerah, sampai pada pemerintah pusat).

Dalam lingkup membangun budaya K3 di suatu negara,

Konvensi ILO No. 155 tahun 1981 dan No. 187 tahun 2006,

memberikan petunjuk untuk membangun budaya K3 diperlukan

keterlibatan 3 komponen, yaitu: pemerintah, pengusaha, dan

pekerja.

6. Perlindungan Kebakaran dan Tanggap Darurat Proyek Konstruksi

a. Perlindungan Kebakaran

Teknik Perlindungan kebakaran (AFP) merupakan bagian

integral dari perlindungan kebakaran. AFP ditandai dengan item

dan / atau sistem, yang memerlukan sejumlah gerakan dan

respon untuk bekerja, bertentangan dengan proteksi kebakaran

pasif. Pemadaman kebakaran api dapat dikendalikan atau padam,

baik secara manual (pemadam kebakaran) atau secara otomatis.

Pengguna termasuk penggunaan alat pemadam kebakaran atau

sistem Standpipe. Berarti otomatis dapat mencakup sistem


sprinkler kebakaran, agen bersih gas, atau sistem busa pemadam

kebakaran. Sistem penindasan otomatis akan biasanya ditemukan

di dapur komersial besar atau daerah berisiko tinggi lainnya.

b. Identifikasi Bahaya Kebakaran’

Identifikasi Bahaya Kebakaran Identifikasi tersebut

sebagai langkah awal untuk mengembangkan sistem manajemen

kebakaran adalah dengan melakukan identifikasi dan penilaian

risiko kebakaran yang ada dalam perusahaan atau organisasi.

Penilaian risiko akan membantu untuk memastikan bahwa

prosedur keselamatan kebakaran, penilaian pencegahan

kebakaran, dan langkah-langkah keselamatan kebakaran

(perencanaan, sistem dan sarana) semua bekerja dengan baik.

Penilaian risiko harus mengidentifikasi setiap masalah yang perlu

perhatian.

c. Langkah Penanggulangan Kebakaran ditempat Kerja

1) Identifikasi Bahaya Kebakaran

2) Identifikasi orang yang berisiko terkena kebakaran

3) Lakukan evaluasi dan pengurangan risiko

4) Dokumentasi, rencanakan, informasikan, instruksikan dan

lakukan pelatihan

5) Lakukan penilaian risiko secara teratur

d. Tanggap Darurat Proyek Konstruksi


Kesiapsiagaan darurat membantu meminimalkan cidera

pada manusia, kerusakan lingkungan, kerugian asset/ peralatan

dan dampak reputasi yang dapat terjadiakibat dari keadaan

darurat. Perlu dipahami bahwa ukuran dan kompleksitas proyek,

serta akses dan lokasi, memiliki pengaruh pada tingkat

perencanaan yang diperlukan untuk keadaan darurat. Oleh karena

itu sangat disarankan agar konstruktor memastikan bahwa

anggota staf di lokasi membantu mengembangkan rencana

tanggap darurat.

Perencanaan harus dimulai sebelum pekerjaan apapun

dimulai pada proyek. Meski mungkin ada sedikit waktu antara

pemberian kontrak dan dimulainya proyek, tanggap darurat yang

baik rencana dapat bersifat umum dan, dengan beberapa

perubahan kecil, dapat dengan mudah diadaptasi ke situs tertentu

dan siap diimplementasikan. Hal ini terutama terjadi ketika

kontraktor mengkhususkan diri pada tipe yang serupa proyek.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahaya kerja (work hazard) merupakan sumber kerugian atau

keadaan yang berkaitan dengan pekerja, pekerjaan,dan lingkungan pekerjaan

yang berpeluang mengakibatkan kerugian.

Risiko K3 merupakan risiko yang berhubungan dengan sumber

bahaya yang dapat timbul dalam kegiatan bisnis yang berhubungan dengan

aspek manusia, material, peralatan, dan lingkungan tempat kerja

Peralatan konstruksi, baik sebagai peralatan utama/pokok maupun

sebagai peralatan penunjang dalam berbagai jenis pekerjaan konstruksi,

memiliki potensi bahaya dan risiko yang tinggi baik berupa risiko kegagalan

konstruksi maupun kecelakaan kerja konstruksi

Scaffolding atau perancah adalah bangunan sementara struktur yang

dirakit dilapangan dipakai untuk sarana bekerja diketinggian. Dijamin

keamanannya oleh ahli, harus dipasang secara tepat, tidak boleh dirubah-

rubah oleh siapapun yang tidak berhak

Alat angkut dan alat angkat, baik sebagai peralatan utama/pokok

maupun sebagai peralatan penunjang dalam berbagai jenis pekerjaan

konstruksi, memiliiki potensi bahaya dan risiko yang tinggi baik berupa risiko

kegagalan konstruksi maupun kecelakaan kerja

keselamatan kerja merupakan sarana utama untuk pencegahan

kecelakaan seperti cacat dan kematian akibat kecelakaan kerja. Keselamatan

kerja dalam hubunganya dengan perlindungan tenaga kerja adalah salah satu

segi penting dari perlindungan tenaga kerja.


Alat pelindung diri termasuk semua pakaian dan aksesories

pekerjaan lain yang dirancang untuk menciptakan sebuah penghalang

terhadap bahaya tempat kerja. APD dalam konstruksi termasuk pakaian

affording perlindungan terhadap cuaca yang dipakai oleh seseorang di tempat

kerja dan yang melindunginya terhadap satu atau lebih resiko kesehatan atau

keselamatan

Penerapan K3 dalam konstruksi bukan hanya aturan semata yang

dibuat untuk formalitas. Lebih dari itu, K3 merupakan suatu standar untuk

memastikan bahwa keselamatan dan kesehatan para pekerja tetap

terpelihara. Nyatanya, K3 bahkan merupakan standar yang juga

diimplementasikan dalam skala internasional. K3 harus menjadi budaya kerja

yang dilaksanakan dengan disiplin, karena sektor ini memiliki risiko tinggi

terkait keselamatan dan kesehatan baik bagi para pekerja maupun

masyarakat.

Teknik Perlindungan kebakaran (AFP) merupakan bagian integral

dari perlindungan kebakaran. AFP ditandai dengan item dan / atau sistem,

yang memerlukan sejumlah gerakan dan respon untuk bekerja, bertentangan

dengan proteksi kebakaran pasif. Pemadaman kebakaran api dapat

dikendalikan atau padam, baik secara manual (pemadam kebakaran) atau

secara otomatis. Pengguna termasuk penggunaan alat pemadam kebakaran

atau sistem Standpipe. Berarti otomatis dapat mencakup sistem sprinkler

kebakaran, agen bersih gas, atau sistem busa pemadam kebakaran. Sistem

penindasan otomatis akan biasanya ditemukan di dapur komersial besar atau

daerah berisiko tinggi lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ervianto. 2005 “Manajemen Proyek Konstruksi” ,Yogyakarta: Andi Offset.


Frederika dan Astana. 2010. “Analisis Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja (K3) Pada Proyek Konstruksi Di Kabupaaten Badung”.
Universitas Udayana.

https://arparts.id/macam-macam-alat-berat-yang-dipakai-dalam-bidang-
konstruksi/

https://kuatindonesia.co.id/jenis-pesawat-angkat-dan-angkut-paa/

Husen, 2009, Manajemen Proyek: Perencanaan Penjadwalan &


Pengendalian Proyek, Andi Offset, Yogyakarta.

Ilmansyah, Y., Mahbubah, N. A., & Widyaningrum, D. (2020). Penerapan


Job Safety Analysis sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan
Kerja dan Perbaikan Keselamatan Kerja di PT Shell
Indonesia.PROFISIENSI: JurnalProgram Studi Teknik
Industri,8(1), 15-22

International Labour Organization. (2018). Menuju Budaya Pencegahan


Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang Lebih Kuat. Kantor
Perburuhan International.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Menaker Hanif


Canangkan Peringatan Bulan K3 Nasional 2018. Retrieved from
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia:
http://www.depkes.go.id/article/view/18012200004/menaker-hanif-
canangkan-peringatan-bulan-k3-nasional-2018.html

Kementerian Ketenagakerjaan RI. (2019). Retrieved from Twitter


Kementerian Ketenagakerjaan:
https://twitter.com/kemnakerri/status/1084659933918912512

Keputusan Direktur Jendral Pembinaan dan Pengawasan


Ketenagakerjaan. (2009). Pedoman Pelatihan Dan Pemberian
Lisensi Petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) Di
Tempat Kerja.

Kompas.com. (2018). Kaleidoskop 2018: Rentetan Kasus Kecelakaan


Konstruksi . Retrieved from Kompas.com:
https://properti.kompas.com/read/2018/12/28/143811721/kaleidos
kop-2018-rentetan-kasus-kecelakaan-konstruksi?page=all
Mahapatni,IAPT.Sri. 2014. Tentan “Analisis Budaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Terhadap Keberhasilan Proyek Studi Kasus:
Condotel Jineng Taman Sari) : Universitas Hindu Indonesia
(UNHI).

Mahawati, Eni dkk. 2021. Keselamatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan


Industri. Medan: Yayasan Kita Menulis

OHSAS Project Group. 2007. Occupational Health and Safety


Assessment Series 18001: 2007 “Occupational Health and Safety
Management Systems – Requirement”.

Pedoman Umum Risk management guideline Standards


Australia/Standards New Zealand (AS/NZS 4360:2004). 12

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2008). Peraturan


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Rebulik Indonesia Nomor
Per-15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan di Tempat Kerja.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor:05/MEN/1996 Tentang Pedoman


Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Kerja (SMK3).

Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem


Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Petunjuk teknis: Handbook, Risk Management Guidelines Companion to


Standards Australia/Standards New Zealand (AS/NZS
4360:2004).

Ramli, S. (2010). Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja


(SMK3). Dian Rakyat.

Santoso, K. (2017). Dasar-Dasar Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. UPT


Penerbitan UNEJ.

Suma’mur. 1992. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta.


PT. Gunung Agung.

Tarwaka. (2008). Manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja.

Tarwaka. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Surakarta. Harapan


Pers.

Thygerson, A. (2016). Pertolongan Pertama (Kelima). Penerbit Erlangga.


Mahapatni,IAPT.Sri. 2014. Tentan “Analisis Budaya Keselamatan dan

Kesehatan Kerja Terhadap Keberhasilan Proyek Studi Kasus:

Antaranews.com. (2019). Menaker: sepanjang 2018 terjadi 157.313


kecelakaan kerja. Retrieved from Antaranews.com:
https://www.antaranews.com/berita/787565/menaker-sepanjang-
2018-terjadi-157313-kecelakaan-kerja

Bensar. 2012 Tentang: “Makalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja”


Universitas Negeri Yogyakarta.

Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR. (2019). Tingkatkan


Keselamatan Konstruksi, Kementerian PUPR Tingkatkan Jumlah
Ahli K3. Retrieved from PU-net Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat:
https://pu.go.id/berita/view/16678/tingkatkan-keselamatan-
konstruksi-kementerian-pupr-tingkatkan-jumlah-ahli-k3

Biro Komunikasi Publik Kemneterian PUPR. (2018). Tekan Angka


Kecelakaan Konstruksi, Kementerian PUPR Bentuk Komite
Keselamatan Konstruksi. Retrieved from PU-net Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat:
https://pu.go.id/berita/view/15248/tekan-angka-kecelakaan-
konstruksi-kementerian-pupr-bentuk-komite-keselamatan-
konstruksi

BPJS Ketenagakerjaan. (2018). Info BPJS Ketenagakerjaan di Indonesia.


BPJS Ketenagakerjaan.

CSP, I. L. (2018). Identifikasi Bahaya Penilaian Risiko dan Pengendalian


(IBPRP) dalam RK3K. Retrieved from
http://sibima.pu.go.id/pluginfile.php/55248/mod_resource/content/1
/201808-CPD%20Ahli%20K3%20Konstruksi-14-05-Identifikasi-
Bahaya.pdf.pdf

Dinas Tenaga Kerja. (2014). Data Kecelakaan Kerja Sulawesi Selatan.


Laporan Tahunan Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Sulawesi Selatan.

Ditjen Bina Konstruksi. (2018). K3 HARUS DIIMPLEMENTASIKAN PADA


SELURUH PROYEK KONSTRUKSI. Retrieved from PU-net
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat:
https://pu.go.id/berita/view/16341/k3-harus-diimplementasikan-
pada-seluruh-proyek-konstruksi

Anda mungkin juga menyukai