Anda di halaman 1dari 25

TUGAS BAHASA INDONESIA

“Novel”

Nama Guru:

Syofia Wati,S.Pd

Nama Kelompok:

1. Affan Maulana Achiar

2. Kongso Nugroho

3. Said Hassan Albaqir

4. Zasqia Dara Zefa

5. Kuntum Khaira Ummah

Tahun Pelajaran

2023/2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT karena atas karunia dan Rahmat-Nya penulis

dapat menyusun dan menyelesaikan tugas Basaha Indonesia. Shalawat dan salam tak lupa kita

kirimkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW Sang kekasih Allah, dengan syafa’at dari

beliaulah kita dapat terbebas dari zaman kebodohan.

Dalam Menyusun makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,

oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan kehidupan,keselamatan dan Kesehatan baik jasmani dan

rohani.

2. Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menjadi panutan kami.

3. Anggota kelompok yang telah berpartisipasi dengan baik.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Penulis mohon maaf atas segala

kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari pembaca guna perbaikan kedepannya. Atas segala bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak yang telah diberikan sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya,

penulis mengucapkan terima kasih.

Padang, 15 Januari 2024

pemakalah
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan karya sastra dewasa ini khususnya novel banyak dipenuhi oleh

sastrawan yang mempunyai latar belakang sosial budaya yang hampir mirip. Baik disengaja

atau tidak, kemiripan itu menimbulkan anggapan bahwa sastrawan tersebut masih

memperhatikan dan mempertimbangkan karya sastra sebelumnya. Sebagaimana

diungkapkan Julia Kristeva (dalam Jabrohim, 2003: 126) bahwa tiap teks itu merupakan

mosaik-mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain.

Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal yang bagus diolah kembali dalam karyanya atau

ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik secara sadar maupun

tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan menyerap konvensi sastra, konsep estetik,

atau pikiranpikirannya kemudian mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan

gagasan dan konsep estetik sendiri sehingga terjadi perpaduan baru. Konvensi dan gagasan

yang diserap itu dapat dikenali dengan membandingkan teks yang menjadi hipogram-nya

dengan teks baru itu. Teks baru atau teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram

itu disebut teks transformasi.

Setiap karya fiksi atau prosa dapat mempermasalahkan tema-tema yang sama di

antaranya, sedangkan pengarang memiliki cara-cara tertentu untuk menampilkannya

berbeda dari pengarang yang lain. Sejalan dengan hal itu, inilah yang kemudian akan

menjadi identitas bagi pengarang. Di samping perbedaan yang mencolok terkadang pembaca

juga akan menemukan persaman-persamaan. Beberapa naskah yang memiliki kemiripan

dengan naskah yang lainnya mempunyai hubungan mempengaruhi dan dipengaruhi, dalam

hal ini naskah baru dipengaruhi oleh naskah sebelumnya, atau naskah sebelumnya
mempengaruhi naskah setelahnya. Hubungan ini memunculkan apa yang disebut dengan

karya transformatif (karya yang topiknya dianggap sudah pernah ditulis oleh pengarang

sebelumnya). Hal ini juga melahirkan konsep bahwa semua karya sastra sebelumnya telah

melalui proses penyerapan dan penilaian terhadap karya-karya sebelumnya sehingga

menjadi landasan atau dasaran untuk mencipta karya yang baru.

Karya transformatif ini tentu menjadi perdebatan antara pengarang sebab tidak adil

menilai suatu karya itu sebagai karya transformatif hanya berdasarkan dugaan bahwa

pengarangnya tentu sudah membaca karya pendahulunya (karya hipogram), padahal belum

tentu pengarang tersebut sudah membaca karya hipogramnya. Kecuali, apabila

pengarangnya mengakui bahwa karyanya merupakan transformasi dari karya sebelumnya

yang sejenis (Hendayana, 2009). Sehingga dapat dikatakan bahwa kemunculan beberapa

karya yang memiliki kemiripan baik struktur maupun naratifnya dengan beberapa karya

yang telah ada sebelumnya mempunyai hubungan yang merumus kepada karya hipogram.

Pengarang memang tidak selalu harus membaca karya terdahulu ataupun mencipta karya

semirip mungkin dengannya, karena pada dasarnya setiap karya tidak mungkin berbeda

sama sekali dengan karya-karya sebelumnya baik melalui kesengajaan maupun tidak. Oleh

karena alasan tersebut, perlulah analisis untuk 3 mencari sejauh mana hubungan karya

transformatif itu dipengaruhi oleh karya hipogramnya, selain itu juga mencari perbedaan di

antara keduanya.

Setelah kesuksesan Andrea Hirata dengan novel dan film Laskar Pelangi

(selanjutnya disingkat dengan LP) pada 2008, LP menjadi novel sekaligus film yang paling

fenomenal pada tahun 2008. Hal ini tentu merupakan pencapaian yang di luar dugaan,

mempertimbangkan si penulis sendiri bukanlah seseorang yang berada di jalur murni sastra,

melainkan berstudi mayor ekonomi. Andrea menunjukkan kecintaannya pada sastra dan

tulis menulis melalui novel LP. Kelebihan Andrea yang tidak bisa diingkari adalah caranya
yang begitu kuat untuk melukiskan latar, serta rangkaian peristiwa sehingga saling

mempengaruhi. Andrea menggabungkan pengalaman dan imajinasi untuk menggambarkan

kemelaratan dunia pendidikan yang melanda beberapa daerah di tanah air seperti Belitong.

Tidak kalah dengan detail dan deskripsi yang kuat, Andrea memunculkan ide tentang

semangat, perjuangan, mimpi, dan cita-cita melalui potret-potret hidup Lintang dan kawan-

kawan.

Novel Laskar Pelangi menceritakan perjuangan dan kegigihan sepuluh anak Melayu

Belitong (Lintang, Ikal, Mahar, Kucai, Trapani, A Kiong, Sahara, Syahdan, Harun, dan

Samson). Kumpulan anak-anak yang kemudian disebut dengan anak-anak Laskar Pelangi,

mereka masing-masing memiliki impian dan cita-cita masa depan. Lintang yang genius

ingin menjadi seorang matematikawan, Ikal bermimpi menjadi pebulu tangkis dan penulis,

Mahar ingin menjadi seniman besar, Sahara ingin menjadi pejuang hak-hak asasi manusia,

A Kiong ingin menjadi kapten kapal, kemudian Kucai yang bercita-cita menjadi politisi

(anggota dewan), Syahdan yang tidak berbakat akting ingin menjadi aktor, Samson yang

bercita-cita sederhana ingin menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di Bioskop

Kicong, Trapani ingin menjadi guru, dan yang terakhir Harun jika telah dewasa ingin

semenawan seperti Trapani.

Keberadaan hipogram menguatkan bahwasanya kemunculan-kemunculan karya

sastra memiliki kaitan dengan karya sastra yang lain. Dapat dikatakan bahwa dalam suatu

teks sastra terdapat teks sastra lainnya. Sebagaimana dikemukakan Pradopo (2003: 167)

bahwa sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara

karya sezaman, mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa

persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya

sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya.
BAB II

KAJIAN MATERI

1. Novel

Novel adalah genre prosa yang mengungkapkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap,

memiliki media yang luas, dan menyajikan masalah kemasyarakatan yang luas (Rahayu, 2014).

Novel dalam bahasa Inggris yaitu memiliki arti novel), dari bahasa Italia berarti novella (yang

dalam bahasa jerman novelle adalah bentuk karya sastra yang berbentuk fiksi. Bahkan dalam

perkembangannya arti yang sama dengan Indonesia yaitu ‘novelet’. Novel diartikan sebagai

karya prosa fiksi yang panjang cukupan, namun tidak terlalu pendek. Perbedaan novel dan

cerpen yang pertama dapat dilihat dari segi formalitas bentuk dan panjang cerita. Sependapat

dengan pernyataan tersebut bahwa novel merupakan cerita fiksi yang hanya berbentuk

khayalan semata.

Nurgiyantoro (2015: 11-12) juga berpendapat bahwa novel memiliki cerita yang panjang,

katakanlah sejumlah ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut dengan cerpen, namun lebih

tepatnya disebut dengan novel. Novel ini juga dikatakan sebagai karangan prosa yang panjang

dan mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya serta

menonjolkan watak dan sifat pada setiap pelaku di dalam perannya. Novel disebut sebagai

karangan yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut isi dan jiwanya masing-masing yang

diolah menjadi sebuah kisah sesuai dengan tujuan pengarang (Thaba, 2019).

Novel merupakan karya fiksi yang bersifat imajinatif. Sebagai sebuah karya imajinatif,

karya fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan

kehidupan (Hasniati, 2018). Novel berasal dari bahasa latin novelius yang diturunkan pada kata

novelis yang berarti baru. Bisa dikatakan baru jika dibandingkan dengan karya sastra seperti

puisi, drama, dan lain-lain (Tarigan,2000:164).


Berdasarkan pengertian novel menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa novel

merupakan karya prosa fiksi tentang tokoh pelaku dan ide cerita berasal dari kehidupan nyata

atau imajinasi pengarang. Dalam kehidupan sehari-hari, novel adalah karya sastra yang lebih

panjang dari cerpen atau karya sastra lainnya. Dalam fiksi, semua permasalahan diceritakan

dengan cara kompleks, bukan hanya terdiri satu konflik saja.

2. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel

a. Unsur Intrinsik Novel

1) Tema

Tema menjadi dasar pengembangan atau inti permasalahan dalam sebuah cerita

yang bangun, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Ketika seorang

pengarang akan menghasilkan karyanya, terlebih dahulu menentukan tema yang akan

digunakannya. Istilah tema dapat didefinisikan sebagai gagasan sentral (utama). Hampir

semua gagasan dalam hidup ini bisa dijadikan tema sebagai langkah awal dalam

pembuatan sebuah karya satra.

Menurut Staton (dalam Nurgiyantoro, 2010: 25) menerangkan secara khusus

bahwa tema merupakan sinonim dengan tujuan utama atau ide utama. Dalam karya

sastra tema selalu berkaitan dengan makna kehidupan. Pengarang biasanya akan

mengajak calon pembacanya merasakan makna kehidupan yang sesungguhnya seperti

kesedihan, kesenangan dan lain sebagainya. Kosasih (2012: 60) berpendapat bahwa

tema merupakan gagasan yang menjadi struktur isi cerita yang menyangkut segala

persoalan hidup baik masalah kemanusiaan, cinta kasih, kasih saying, politik, agama

dan lain sebagainya.

Sebelum penulis atau pengarang melaksanakan proses kreatif penciptaan karya

sastra, terlebih dahulu pengarang mempersiapkan dan memahami tema yang akan

dikemukakan ke dalam buku ceritanya tersebut. Sementara pembaca akan memahami


sebuah tema dalam suatu cerita setelah pembaca selesai memahami unsur-unsur penting

yang menjadi media pemapar tersebut (Aminuddin, 2011: 61).

2) Tokoh

Tokoh menjadi hal penting yang tak lepas dari suatu karya sastra terutama novel.

Sebuah cerita tanpa adanya tokoh, cerita tersebut tidak akan mampu hidup bahkan tidak

akan berjalan dengan baik dalam penciptaannya. Tokoh merupakan orang yang

memainkan peran atau melakukan adegan dalam peran. Dalam memahami novel,

“tokoh” atau “character” bukan merupakan istilah yang banyak menimbulkan kesulitan.

Novel yang baik akan menciptakan tokoh dengan peran yang kompleks dan realistis.

Tokoh yang akan diperankan harus meyakinkan dan menimbulkan rasa ingin tahu, serta

tokoh itu harus hidup dan berpribadi konsisten sehingga akan menimbulkan kesan yang

baik dan menarik bagi para pembaca (Aziez & Hasyim, 2010: 61).

Menurut Nurgiyantoro (2010: 166), tokoh merupakan orang-orang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita dalam karya sastra baik secara naratif maupun drama

kemudian oleh pembaca ditafsirkan memiliki kecenderungan tertentu atau kualitas

moral yang diekspresikan melalui ucapan maupun tindakan dalam dialog yang

diciptakan. Oleh karena itu, tokoh menduduki posisi penting dalam karya sastra.

Melalui tokoh, pengarang mampu memberi nafas dalam setiap karyanya. Tokoh dalam

cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa penyampaian pesan/nilai moral,

sosial, atau amanat yang sengaja ingin disampaikan pengarang kepada para pembaca.

Dilihat segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita novel, Aminuddin

membagi tokoh dalam novel menjadi dua yaitu, tokoh utama dan tokoh tambahan.

Tokoh utama merupakan tokoh yang sering ditampilkan atau diceritakan dalam novel

baik sebagai pelaku kejadian atau yang kenai kejadian.


Sedangkan tokoh tambahan tokoh yang dimunculkan hanya beberapa kali saja dan

dalam penceritaan yang relatif pendek (Aminuddin, 2011: 79). Aminuddin (2011: 80)

juga mengungkapkan bahwa tokoh suatu cerita jika dilihat dari fungsinya terbagi

menjadi dua yakni, tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonist adalah

tokoh yang selalu membawa nilai-nilai kebaikan, baik dalam ucapan maupun tindakan

yang diperankan. Sebaliknya, jika tokoh antagonis adalah tokoh jahat, biasanya yang

menjadi awal terjadinya konflik serta ketegangan dalam cerita itu.

3) Alur/ Plot

Hidup mempunyai cerita, namun karya sastra novel memiliki cerita dan alur /plot.

Menurut Nurgiyantoro (2012: 23) alur/plot merupakan urutan kejadian yang memiliki

keterkaitan hubungan satu sama lain dalam suatu cerita. Aminuddin (2012: 83) juga

mengungkapkan bahwa alur/plot dalam karya sastra pada umumnya adalah serangkaian

cerita yang dibentuk dalam beberapa tahapan peristiwa sehingga terjalin suatu cerita

yang baik yang dihadirkan pelaku atau lakon dalam cerita tersebut. Alur dapat dikatakan

sebagai tonggak dalam cerita karya fiksi. Keberhasilan alur/plot yang dibangun oleh

pengarang akan mampu meciptkan cerita yang menakjubkan, baik, serta sedap

dinikmati pembacanya. Karena itu alur/plot memilik dua elemen yaitu konflik dan

klimaks (Staton, 2007: 31). Keduanya menjadi unsur yang amat mendasar dalam

pengembangan sebuah alur/plot cerita demikian pula sebagai kualitas dan kemenarikan

sebuah karya sastra novel.

Konflik dalam kehidupan nyata pasti ada, begitupun dalam cerita termasuk cerita

fiksi novel. Konflik menjadi unsur esensial sebagai pelengkap menariknya jalannya

cerita, atau suatu dramatik yang mengarah pada pertentangan antara dua kekuatan yang

seimbang, menyiratkan adanya suatu aksi dan reaksi. Sedangkan klimaks adalah titik

utama yang menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan. Klimaks sangat
menentukan arah alur cerita, artinya dalam hal ini ada pertemuan antara dua atau lebih

yang dipertentangkan atau permasalahan. Sehingga menentukan bagaimana konflik

tersebut dapat terselesaikan (Staton, 2007: 33).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa alur

memiliki arti serangkaian atau urutan kejadian yang mempunyai keterkaitan hubungan

dalam cerita. Alur atau jalannya peristiwa yang membentuk cerita, terbentuk dalam

sebuah struktur dan urutan waktu yang terjadi. Urutan atau susunan tersebut terbagi

menjadi tiga jenis alur yaitu, alur maju (Kronologis), alur mundur (Flashback), dan alur

campuran atau gabungan (maju-mundur) (Nurgiyantoro, 2012: 156). Adapun

penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Alur Maju (Kronologis) Nurgiyantoro (2012: 153) menjelaskan bahwa alur

maju adalah pengarang dalam menulis cerita, urutan peristiwa atau kejadian-

kejadian itu menggunakan urutan waktu maju atau lurus ke depan. Artinya

bahwa peristiwa-peristiwa dalam cerita diawali dengan pengenalan masalah

dan diakhiri dengan penyelesaian masalah.

b. Alur Mundur (Flashback) Alur mundur yaitu apabila seorang pengarang dalam

mengurutkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita tidak dalam

peristiwa awal, melainkan dari peristiwa tengah atau akhir. Jalannya cerita

selalu menceritakan kejadian atau peristiwa dengan waktu mundur ke belakang

(Nurgiyantoro, 2012: 154).

c. Alur Campuran Nurgiyantoro (2012: 154), menjelaskan bahwa alur campuran

yaitu pengarang dalam mengurutkan peristiwa yang terjadi dalam cerita

menggunakan alur cerita yang berjalan secara lurus atau kronologis, namun

selalu juga terdapat adegan peristiwa yang menyorot ke masa lampau.


4) Latar/Setting

Dalam karya sastra latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa

dalam cerita atau yang menjadi tempat terjadinya peristiwa/perkara. Latar berkaitan

dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak tentang lingkungan berupa

fisik,unsur tempat, waktu, dan ruang. Sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro, (2012:

216) mengatakan bahwa latar merupakan pengertian hubungan tempat, waktu, dan

lingkungan sosial atas peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Peristiwa tersebut pun

mampu memberikan fungsi fisikal dan psikologis pembacanya.

Sementara Aminuddin (2011: 67) mengemukakan bahwa sebuah latar bukan

hanya bersifat fisikal untuk membuat cerita menjadi logis, melainkan pula harus

memiliki fungsi psikologis yang mampu menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan

pembaca terhadap suasana-suasana yang digambarkan dalam cerita. Latar memberikan

kesan konkret, jelas serta realita atas jalan cerita yang diciptakan pengarang. Dengan

demikian pembaca merasa dipermudah dalam pengoperasian imajinasinya. Melalui latar

pembaca dapat merasakan serta menilai ketepatan, kebenaran, dan aktualisasi latar yang

diceritakan sehingga lebih akrab. Fungsi latar yaitu memperkuat serta mempertegas

keyakinan pembaca terhadap jalannya cerita (Kosasih, 2009: 92).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar dalam sebuah karya sastra

adalah penggambaran cerita yang berhubungan dengan peristiwa tempat, waktu maupun

lingkungan sosial. Latar memberikan pijakan cerita nyata sehingga akan memberi kesan

pembaca ikut masuk dalam cerita tersebut serta mampu menangkap nilai kehidupan apa

yang akan didapat setelah membaca. Latar terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Latar tempat, Latar tempat dalam sebuah cerita fiksi mengarah pada lokasi

terjadinya peristiwa, baik menyebutkan daerah, kota, desa atau jalan dalam cerita

yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2012: 227).


b. Latar waktu Nurgiyantoro (2012: 230) menjelaskan bahwa latar waktu dalam

sebuah cerita fiksi yaitu yang berhubungan dengan waktu atau dalam pertanyaan

yaitu pada kata “kapan” peristiwa yang terjadi dalam cerita. Biasanya latar waktu

juga berhubungan dengan suasana seperti jam atau pukul perisitiwa itu terjadi.

5) Sudut Pandang (Pusat Pengisahan)

Istilah lain sudut pandang adalah pusat pengisahan. Pusat pengisahan adalah cara

pandang pengarang dalam menempatkan cerita tentang siapa yang mengamati dan

menyampaikan cerita. Menurut Jauhari (2013: 54) sudut pandang adalah narasi sentra

yang yang menentukan corak dan gaya cerita. Watak dan kepribadian pengarang

dalam menyajikan cerita akan banyak menentukan siapa dan apa yang terdapat dalam

cerita. Sudut pandang merujuk pada istilah dalam bahasa Inggris point of view.

Abrams dalam bukunya Agus Nuryatin (2010: 15) menjelaskan bahwa sudut

pandang adalah pandangan atau cara yang diciptakan penulis sarana untuk menyajikan

pelaku sebagai tokoh, peristiwa, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang

membentuk cerita. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2012: 248) menyatakan bahwa

sudut pandang pada hakikatnya merupakan teknik, strategi, atau siasat yang secara

sengaja dipilih sebagai cara pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukaan oleh ahli, dapat disimpulkan

bahwa sudut pandang atau pusat pengisahan adalah teknik atau strategi pengarang

tentang gaya atau corak yang diceritakan atau siapa yang menjadi pusat yang bercerita

dalam karya sastra tersebut.

6) Amanat

Karya sastra umumnya pasti mengandung pesan yang ingin disampaikan

pengarang kepada pembaca. Dalam hal ini akhir dari sebuah cerita dalam karya sastra
fiksi adalah amanat yang didapat. Amanat merupakan gagasan keseluruhan isi dan

makna pemicaraan yang mendasar. Amanat tersembunyi rapi oleh pengarang dalam

keseluruhan isi cerita. Pengarang menciptakan karya sastra dengan tujuan ingin

memberikan pesan moral, pembelajaran serta arti perjalanan kehidupan. amanat dalam

sebuah karya sastra merupakan pesan atau ajaran moral yang hendak disampaikan

pengarang kepada pembaca Kosasih (2009: 93).

Menurut Nurgiyantoro (2012: 161) amanat merupakan gagasan yang mendasari

cerita, amanat ini berisi pesan moral yang ingin disampaikan pengarang melalui tokoh-

tokoh yang diceritakan. Dari dua pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

amanat adalah gagasan atau pesan yang terkandung dalam karya sastra sebagai cara

pengarang dalam menyampaikan pesan moral kepada para pembaca.

b. Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun cerita di luar karya sastra itu.

Meskipun unsur ini berada di luar karya sastra namun secara tidak langsung unsur

ekstrinsik mempengaruhi totalitas cerita yang dibangun oleh pengarang. Menurut Wellek

dan Weren (2013: 71) menyebutkan ada empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan

dalam karya sastra yaitu:

1. Biografi pengarang artinya bahwa karya yg ditulis pengarang memang tidak lepas dari

unsur pengarangnya. Karya itu dapat ditelusuri dari biografi pengarangnya.

2. Psikologi (proses kreatif) adalah segala tindakan psikologis pengarang pada waktu

menciptakan karya sastra khususnya dalam menciptakan tokoh dan watak dalam cerita.

3. Sosiologis (kemasyarakatan) adalah sosial kebudayaan masyarakat diasumsikan bahwa

cerita dalam karya sastra merupakaan rekaan cermin atau potret kehidupan masyarakat

baik problem sosial, adat istiadat, profesi, agama atau hubungan manusia dengan yang

lainnya.
3. Unsur Kebebasan Novel

a) Kalimat Langsung

Kalimat langsung adalah kalimat yang menirukan ucapan atau ujaran orang lain.

Kalimat langsung ditandai dengan pemakaian tanda petik ("...").

Adapun ciri-ciri kalimat langsung adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan tanda petik.

2. Intonasi tinggi untuk tanda tanya, datar untuk kalimat berita dan tanda seru dilagukan

dengan intonasi perintah.

3. Kata ganti orang pertama dan orang kedua

Contoh kalimat langsung:

“Saya tidak menyesal dan malah ingin melakukannya lagi,” bangga Iqbal.

b) Kalimat Tidak Langsung

Kalimat tidak langsung adalah kalimat yang melaporkan atau memberitahukan

perkataan orang lain dalam bentuk kalimat berita. Ciri-ciri kalimat tidak langsung adalah:

1. Tidak menggunakan tanda petik

2. Intonasi membacanya datar

3. Terdapat perubahan kata ganti orang

Perubahan kata ganti yang dimaksud adalah:

1. Kata ganti orang ke-1 berubah menjadi orang ke-3. "Saya", "aku" menjadi "dia" atau "ia".
2. Kata ganti orang ke-2 berubah menjadi orang ke-1. "Kamu, "dia" menjadi "saya" atau

nama orang.

3. Kata ganti orang ke-2 dan ke-1 jamak berubah menjadi "kami", "kita" dan "mereka",

"kalian" menjadi "mereka", "kami".

Contoh:

Dia tidak menyesal telah melakukan hal itu, tapi malah bangga dan ingin melakukannya lagi.

c) Kalimat Lampau

Kalimat lampau adalah kalimat yang menyatakan peristiwa masa lampau.

Contoh:

Iqbal telah menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia sejak seminggu yang lalu.

d) Verbal Material

Verba material adalah kata kerja yang berimbuhan yang mengacu pada tindakan fisik

yang dapat dilihat secara nyata oleh partisipan yang melakukan sesuatu yg bisa disebut

aktor.

Contoh:

Melihat Iqbal mengajarkan hal-hal yang sulit kepada teman-temannya saya yakin dia pantas

jadi guru.

e) Verbal Mental

Verba mental adalah verba yang menerangkan persepsi (misalnya: melihat, merasa),

afeksi (misalnya: suka, khawatir), dan kognisi (misalnya: berpikir, mengerti). Pada verba

mental terdapat partisipan pengindera (senser) dan fenomena.

Contoh:
Iqbal sangat mengerti perasaan teman-temannya ketika ia menerima kabar harus pergi ke

luar kota.

f) Konjungsi Temporal

Konjungsi temporal adalah kata hubung yang menerangkan hubungan waktu dari

dua peristiwa yang berbeda. Konjungsi temporal termasuk kata hubung yang erat kaitannya

dengan waktu.

Contoh:

Iqbal membuka pianonya kemudian memainkannya dengan keangkuhan.

g) Kata Sifat

Kata sifat merupakan kelas kata yang mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya

dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik. Kata sifat dapat

menerangkan kuantitas, kecukupan, urutan, kualitas, maupun penekanan suatu kata.


BAB III

PEMBAHASAN

1. Sinopsis Novel Laskar Pelangi

Novel Laskar Pelangi mengisahkan tentang kehidupan dari 10 anak hebat yang mempunyai

semangat juang yang tinggi untuk tetap melanjutkan sekolah di kampung Gantung, Kepulauan

Bangka Belitung. Kesepuluh anak tersebut dinamai Laskar Pelangi, yang terdiri dari Ikal, Lintang,

Mahar Ahlan, Sahara Aulia Fadillah, Syahdan Noor Aziz, Samson atau Borek, Muhammad

Jundullah Gufron Nur Zaman atau A kiong, Harun Ardhili Ramadhan, Trapani Ihsan Jamari, dan

Mukharam Kudai Khairani. Kesepuluh anak ini bersekolah di sebuah sekolah yang bernama SD

Muhammadiyah Gantung, yang dibimbing oleh Bu Muslimah dan Pak Harfan. Selama mereka

sekolah, mereka juga mendapatkan seorang teman baru, pindahan dari SD PN Timah yang bernama

Flo. Sebagian besar dari kesepuluh anak yang bersekolah di SD Muhammadiyah Gantung ada anak-

anak dari para penambang timah di pulau dengan perolehan kekayaan alam timah yang terbesar di

dunia. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan taraf kesejahteraan hidup masyarakat aslinya.

Cerita ini dimulai dari penerimaan siswa baru di SD Muhammadiyah Gantung, di mana

hanya terdapat 9 orang yang mendaftar untuk sekolah. Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital

Premium Hal ini yang membuat Bu Muslimah dan Pak Harfan, dan seluruh orang tua murid merasa

cemas. Sebab, pemerintah setempat akan mengumumkan kalau sekolah dasar harus mempunyai,
minimal 10 orang murid supaya kegiatan sekolah bisa tetap berjalan. Karena, murid ke 10 yang

ditunggu tidak kunjung datang, maka dengan rasa kecewa Pak Harfan harus mengambil keputusan

terberat. Akhirnya, di tengah situasi tersebut, datanglah seorang murid baru yang menjadi

penyelamat. Murid tersebut bernama Harun Ardhli Ramadhan. Dirinya merupakan seorang anak

yang mempunyai keterbelakangan mental, tetapi tetap mempunyai semangat juang yang tinggi

untuk bisa bersekolah. Kebersamaan antar murid dan guru pun akhirnya dimulai sejak saat itu.

Selama menempuh Pendidikan, Bu Muslimah serta Pak Harfan membimbing serta mengajar mereka

semua dengan penuh semangat dan dedikasi yang tinggi. Para murid juga akhirnya dapat belajar

dengan penuh semangat berkat kekompakan dan semangat yang dimiliki mereka semua. Akhirnya,

Bu Muslimah pun menjuluki mereka sebagai “Laskar Pelangi”. Tak hanya Buu Mislimah dan Pak

Harfan saja, SD Muhammadiyah Gantung juga mempunyai guru yang merangkap sebagai seorang

kepala sekolah yang bernama Pak Harfan Effendi Noor. Sama halnya seperti kedua guru lainnya,

Pak Harfan juga mengajar dengan penuh semangat. Bahkan, beliau juga sering kali menyelipkan

kisah teladan nabi dan rasul saat mengajar. Di tengah keterbatasan yang mereka hadapi, para

anggota Laskar Pelangi ini harus menghadapi berbagai macam rintangan yang menimpa mereka

untuk bisa berhasil menggapai segala mimpi yang mereka miliki. Kisah perjalanan mereka ini akan

diwarnai dengan berbagai macam pengalaman emosional, baik itu untuk membahagiakan ataupun

yang penuh dengan keharuan.

2. Pembahasan Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik

a) Unsur Intrinsik

1) Tema

Unsur intrinsik yang pertama dari novel Laskar Pelangi adalah tentang tema. Novel

ini mengisahkan tentang perjuangan serta semangat dari para siswa.


Keterbatasan yang mereka miliki tidak menjadikan halangan mereka untuk tetap

semangat dalam sekolah dan mengejar impian mereka.

2) Penokohan

Terdapat 10 tokoh utama di dalam novel Laskar Pelangi ini. Kesepuluh actor

tersebut di antaranya adalah Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek,

Trapani, dan Harun. Kesepuluh tokoh ini memiliki karakter yang berbeda-beda.

3) Alur

Dalam novel Laskar Pelangi ini, alur yang digunakan adalah alur maju. Hal ini

dibuktikan dengan penulisan dari cerita yang mengisahkan awal semenjak Ikal dan teman-

temannya sekolah sampai mereka semua dewasa.

Meskipun memiliki banyak cerita yang masih misteri pada novel Laskar Pelangi ini,

tetapi itu semua terjawab di tetralogy Laskar Pelangi lainnya.

4) Latar

Latar tempat dari novel Laskar Pelangi ini adalah di Sekolah Dasar Muhammadiyah,

di bawah pohon, dan juga di dalam gua.

Selanjutnya, suasana yang terjadi di dalam cerita novel Laskar Pelangi ini adalah

menyenangkan, menegangkan, sekaligus mengharukan.

5) Sudut pandang
Penggunaan sudut pandang sebagai salah satu unsur intrinsic dari novel Laskar

Pelangi yang pertama adalah tokoh Aku, yaitu Ikal yang menjadi pelaku utama di dalam

novel.

6) Gaya Bahasa

Untuk gaya Bahasa, pada novel Laskar Pelangi ini gaya penulisannya adalah gaya

bahasa Indonesia yang terpengaruh dengan aksen budaya bahasa Melayu. Selain itu, penulis

juga menyelipkan beberapa istilah asing dalam penulisannya.

7) Amanat

Unsur intrinsik selanjutnya dari novel Laskar Pelangi adalah amanat. Di mana

amanat dalam novel ini yaitu semangat, sikap gigih, jangan mudah menyerah dan putus asa

dengan segala keadaan yang harus kita hadapi.

Selain itu, harus selalu bersikap optimis, jangan mudah pesimis jika menghadapi

suatu hal.

Tidak hanya itu, kepintaran juga bukanlah sebuah tolak ukur dari suksesnya

seseorang. Hal tersebut bisa kita lihat dari tokoh Lintang pada novel, di mana tokoh ini

adalah anak yang pintar.

Akan tetapi, dirinya pada akhir cerita dikisahkan menjadi seorang supir truk

Jadi, dari kisah Lintang bisa kita ambil hikmah bawa seluruh hidup kita telah diatur

oleh Tuhan Yang Maha Esa. Jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi hal
tersebut belum bisa terwujud, jangan lupa untuk tetap selalu bersyukur dengan yang sudah

ditetapkan Tuhan

8) Kesimpulan

Novel Laskar Pelangi yang populer ini juga akhirnya diangkat menjadi sebuah film

yang tidak hanya sekedar sebagai sebuah hiburan saja, tetapi juga memiliki alur cerita yang

dimiliki sarat akan makna kehidupan yang penuh dengan perjuangan.

Meskipun hidup di tengah keterbatasan, tetapi pada kenyataannya, tetapi masing-

masing anak tersebut memiliki tekad serta semangat yang kuat dalam memperjuangkan hak

mereka untuk belajar di sekolah.

Nah, itulah penjelasan tentang unsur intrinsik dari novel Laskar Pelangi. Jika

penasaran dengan kisahnya, kamu juga bisa membaca novel Laskar Pelangi secara langsung.

b) Unsur Ekstinsik

1) Latar Belakang Tempat Tinggal

Lingkungan tempat tinggal pengarang mempengaruhi psikologi penulisan novel.

Apalagi novel “Laskar Pelangi” merupakan adaptasi dari cerita nyata yang dialami oleh

pengarang langsung. Letak tempat tinggal pengarang yang jauh berada di Desa Gantung,

Kabupaten Gantung, Belitong Timur, Sumatera Selatan ternyata benar-benar dijadikannya

latar tempat bagi penulisan novelnya.

2) Latar Belakang Sosial dan Budaya


Pada novel ini banyak sekali unsur-unsur sosial dan budaya masyarakat yang

bertempat tinggal di Belitong. Adanya perbedaan status antara komunitas buruh tambang

dan komunitas pengusaha yang dibatasi oleh tembok tinggi merupakan latar belakang

sosial. Dimana interaksi antara kedua komunitas ini memang ada dan saling

ketergantungan. Komunitas buruh tambang memerlukan uang untuk melanjutkan

kehidupan, sedang komunitas pengusaha memerlukan tenaga para buruh tambang untuk

menjalankan usaha mereka.

3) Latar Belakang Religi (agama)

Latar belakang religi atau agama si pengarang sangat terlihat seperti pantulan

cermin dalam novel “Laskar Pelangi” ini. Nuansa keislamannya begitu kental. Dalam

beberapa penggalan cerita, pengarang sering kali menyelipkan pelajaran-pelajaran

mengenai keislaman.

4) Latar Belakang Ekonomi

Sebagian masyarakat Belitong mengabdikan dirinya pada perusahaan-perusahaan

timah. Digambarkan dalam novel bahwa Belitong adalah pulau yang kaya akan sumber

daya alam. Namun tidak semua masyarakat Belitong bisa menikmati hasil bumi itu. PN

memonopoli hasil produksi, sementara masyarakat termarginalkan di tanah mereka sendiri.

Latar belakang ekonomi dalam novel ini diambil dari kacamata masyarakat belitong

kebanyakan yang tingkat ekonominya masih rendah. Padahal sumber daya alamnya tinggi.
5) Latar Belakang Pendidikan

Dalam novel ini terkandung banyak sekali nilai-nilai edukasi yang disampaikan

pengarang. Pengarang tidak hanya bercerita, tapi juga menyajikan berbagai ilmu

pengetahuan yang diselipkan di antara ceritanya. Begitu banyak cabang ilmu pengetahuan

yang diselipkan antara lain seperti sains (fisika, kimia, biologi, astronomi). Pengarang

gemar sekali memasukkan istilah-istilah asing ilmu pengetahuan yang tertuang dalam

cerita. Ini menandakan bahwa pengarangnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi

3. Pembahasan Unsur Kebahasan


BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan kisah dari novel Laskar Pelangi, tentunya banyak pelajaran yang dapat diambil

dan diterapkan di kehidupan sehari-hari, di antaranya kita harus bersyukur akan pemberian Tuhan,

menghargai pentingnya hidup ini, tidak mudah menyerah dan berusaha sebisa mungkin apabila

menginginkan sesuatu.

Tak hanya itu saja, kepintaran bukanlah menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Hal itu

dapat terlihat dari kisah tokoh Lintang di novel ini, ia adalah anak yang pintar. Akan tetapi, di akhir

cerita, ia menjadi seorang sopir truk.

Berdasarkan kisah si Lintang, kita sebagai pembaca dapat mengambil hikmah bahwa hidup

ini sudah ada yang mengatur, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, apabila kita sudah

berusaha semaksimal mungkin atas apa yang kita impikan, tetapi hal tersebut tidak terwujud, jangan

lupa untuk terus bersyukur dengan apa yang sudah Tuhan tetapkan.

b. Saran

Anda mungkin juga menyukai