Anda di halaman 1dari 14

Nama : M Fauzan Aztera

Kelas : X Mia 3

Kerajaan Pagaruyung

Kerajaan Pagaruyung dulu nya berlokasi di dalam provinsi Sumatera Barat


sekarang. Nama kerajaan ini berasal dari nama pohon Nibung atau Ruyung,
disamping itu juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal
Alam Bagagar dari Pagaruyung,  pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran
bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar
ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri
Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl ‘Ālam. Namun
sayangnya pada cap mohor itu tidak bertuliskan angka tahun masa
pemerintahannya.

Sebelumnya kerajaan ini tbergabung dengan Malayapura, sebuah kerajaan


yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman,
yang menetapkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi.

FauzanFile 20/04/20
Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan
beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.

Awal Berdiri Pagaruyung

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat


diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat
Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-
peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai
pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya.
Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri
tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari
Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian


belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman
memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan
putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan
anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut
dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada
berperang menaklukkan Bali dan Palembang,[8] pada masa
pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat
pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman


menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri
Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[9] yang sebelumnya dibuat oleh
pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga
dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak
(paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.
[10] Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga
sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat
menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah
yang signifikan pada kawasan tersebut.[9]

FauzanFile 20/04/20
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah
penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari
Majapahit.[11] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini
belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan
bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah
mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371
sampai 1377.

Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan


kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[11]
Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan
tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut
dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana.
Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah


Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang
merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat
dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam
perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku
Minang).

Pengaruh Hindu-Budha

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira


pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu
oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman
dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan
cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh
Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca
Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang
termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).

FauzanFile 20/04/20
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja
melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra
yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra
mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377
tentang adanya utusan San-fo-ts’i kepada Kaisar Cina yang meminta
permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts’i.

Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih


dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian
Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian
Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan
Adityawarman. Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain
Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan
raja Kertanegara dari Singhasari.

Pengaruh Islam

Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya


memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan
memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman
Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara
tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu
yang telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu


melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh
dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf
Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah
ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di
Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah
menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat
Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan


dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam

FauzanFile 20/04/20
adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang
terkenal: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yang artinya
adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam
bersendikan pada Al-Qur’an. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa
sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong
pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang
pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum
Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan


Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan
beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan negari
Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus
(suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang
mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau
Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik
(Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu’alim) yang merupakan pengganti dari istilah-
istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya
istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan
Kesultanan Aceh, dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk
daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665,
masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak
terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut
dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC
waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli
Aceh atas emas dan lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di
Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di
selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9
Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain,
Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa
VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan

FauzanFile 20/04/20
emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.Menurut catatan Belanda,
Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674[21] dan digantikan oleh
anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat
tahun 1666, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara
daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung
menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat
perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana.
Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk
menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun
1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke
Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan


VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di
Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh
pihak Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang
untuk sementara waktu, dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung
memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda
dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap
terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau
disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan
kekuasaan yang sama.[26] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di
Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan
Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai
tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.Walaupun kemudian
setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan
pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan
cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.

Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di
mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan
kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795
sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi

FauzanFile 20/04/20
Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara
kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota
kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi. Setelah
terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka
Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda
memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung,
dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang


perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir
barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir
selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk
pada raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring
itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung
pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan
melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.

Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta


bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan
diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta
menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan
Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah
yang berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya
menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerja sama dalam
melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar
waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan
mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.[2] Akibat dari perjanjian ini,
Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung
kepada pemerintah Belanda.[17] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut

FauzanFile 20/04/20
Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan
Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke
Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir
di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.
Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan
sekitar tahun 1900.
Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui
sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia Belanda dari awal telah
membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent
Tanah Datar. Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan
dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan
bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian


berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa,
Madura, Bugis dan Ambon. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya
membuat kaum adat dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan
mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal
2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel
Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia
(Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan
Mangga Dua.

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap


tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di
rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi
penguasa di Kuantan. Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di
Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang
berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang
Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja
Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[2] Sementara
setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta
pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi
daripada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah
menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak

FauzanFile 20/04/20
oleh Belanda, hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya
pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.

Peninggalan
Makam Raja Raja Pagaruyung, atau biasa disebut Ustano Rajo Alam

Makam Raja Raja Pagaruyung.

Batu Kasur

Batu Kasur ini adalah salah satu tempat ujian calon-calon Raja Pagaruyung
sebelum memerintah di satu daerah, negeri, negera, atau perantauan. Batu
ini terletak antara Batusangkar dan Pagaruyung, yaitu sekitar 3 km dari
Kota Batusangkar.

Batu Kasur ini adalah salah satu tempat ujian calon-calon Raja Pagaruyung
sebelum memerintah di satu daerah, negeri, negera, atau perantauan. Batu
ini terletak antara Batusangkar dan Pagaruyung, yaitu sekitar 3 km dari
Kota Batusangkar. Inilah batu kasur tersebut.

FauzanFile 20/04/20
Batu yang terletak di sekitar tiga pohon beringin besar ini pernah digunakan
sebagai ujian bagi Raja Mahmud atau Raja Melewar sebelum memerintah di
Negeri Sembilan Malaysia, tahun 1773-1795.

Istano Basa Pagaruyung

Istano Basa Pagaruyung yang dibangun kembali tahun 1976 merupakan


duplikat bangunan Istano Rajo Alam Minangkabau yang dibakar Belanda
tahun  1804. Bangunan ini terdiri dari 11 gonjong, 72 tonggak dan 3 lantai. 
Objek wisata ini dilengkapi dengan surau, tabuah  Rangkiang Patah
Sambilan,  serta fisik bangunan Istano Basa Pagaruyung dilengkapi dengan
beragam ukiran yang tiap-tiap bentuk dan warna ukiran  mempunyai
falsafah, sejarah dan budaya Minangkabau.

Istana Basa Pagaruyung

Terletak di Nagari Pagaruyung Kecamatan Tanjung Emas  yang merupakan


pusat Perintahan Kabupaten Tanah Datar,  + 5 km dari kota Batusangkar
dan mudah dijangkau oleh sarana transportasi roda 2 dan roda 4

Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano

Kuburan ini merupakan makam Datuak Tantejo Gurhano yang  merupakan


tokoh arsitek pembuatan Balairungsari – Tabek.   Kuburan ini sangat
panjang  + 25,5  yang keunikannya  jika di ukur berkali – kali ukurannya
berbeda- beda hingga di kenal dengan  “ Kuburan Panjang “.   Terletak   +
14 km dari kota Batusangkar di Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan.

FauzanFile 20/04/20
Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano

Long Grave of Datuk Tantejo Gurhano


The grave of Datuk Tantejo Gurhano who was the architect of
Balalairungsari – in Tabek, is very long + 25,5.  What is unique about this
grave is that every time you measure it, you will ended with various length,
never the same numbers found.  That is why it is called “ Kuburan Panjang “
the long grave. Located + 14 km from Batusangkar. Located in Pariangan
Village in Pariangan Sub-district.

Prasasti Adityawarman

Situs ini merupakan tempat dikumpulkanya prasasti – prasasti yang


dikeluarkan Adityawarman yang dahulu ditemukan di sekitar Bukit Gombak. 
Kumpulan prasasti tersebut ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan Bahasa
Sanskerta serta sedikit Bahasa Melayu Kuno.

Isi Prasasti tersebut berupa puji–pujian terhadap Raja Adityawarman.  


Terletak +  4 km dari kota Batusangkar dan berada di pinggir jalan raya
Batusangkar–Pagaruyung, dalam Nagari Pagaruyung Kecamatan Tanjung
Emas.

FauzanFile 20/04/20
Batu Batikam

Batu Batikam merupakan situs Medan Nan Bapaneh yang berfungsi sebagai
tempat musyawarah pada masa lampau.   Pada bagian tengah Medan Nan
Bapaneh terdapat Batu Batikam (Batu Berlobang)  dari batu andesit.

Konon batu ini berlubang karena ditikam oleh Datuak Parpatih Nan
Sabatang sebagai tanda berakhirnya perselisihan dengan Datuak
Katamanggungan menyangkut dengan pemakaian adat antara Koto Piliang
dengan Bodi Chaniago. Objek wisata ini terletak di pinggir Jl.Raya Padang
Panjang–Batusangkar jarak dari Kota Batusangkar + 5 Km, dalam Nagari
Limo Kaum

FauzanFile 20/04/20
Kesimpulan

Kerajaan Pagaruyung dulu nya berlokasi di dalam provinsi Sumatera Barat


sekarang. Namun sayangnya pada cap mohor itu tidak bertuliskan angka tahun
masa pemerintahannya. Sebelumnya kerajaan ini tbergabung dengan
Malayapura, sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan
dipimpin oleh Adityawarman, yang menetapkan dirinya sebagai penguasa Bhumi
Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan
Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman
lainnya.

Pengaruh Hindu-Budha

Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh
Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca
Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari . Dari prasasti
Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual
ajaran Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan
kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan
dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-ts’i kepada
Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada
kawasan San-fo-ts’i.

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan


Kesultanan Aceh, dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah
pesisir pantai barat Sumatera. Dari surat penguasa Minangkabau yang
menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan
VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli
Aceh atas emas dan lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di
Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan
sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668
ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa
Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah
menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat
dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan
Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674 dan digantikan oleh anaknya yang
bernama Sultan Indermasyah.

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC
di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di
Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh
pihak Inggris. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap
terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya
sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang
sama. Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat
bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah
mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan
dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian setelah pihak

FauzanFile 20/04/20
Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman
Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang
signifikan dari kawasan tersebut.

Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang


sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu
Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami pembakaran akibat
peperangan yang terjadi.

Runtuhnya Pagaruyung

Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu


kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang, beserta 19
orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk
bekerja sama dalam melawan Kaum Padri. Kemudian setelah Belanda berhasil
merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan
Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke
Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di
Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Setelah
kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama
pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Begitu juga
sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan
kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud
mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan
langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.

Sementara setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta


pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi
daripada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan
Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini
nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841
di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.

Peninggalan
 Makam Raja Raja Pagaruyung, atau biasa disebut Ustano Rajo Alam
 Makam Raja Raja Pagaruyung.
 Batu Kasur
 Istano Basa Pagaruyung
 Istana Basa Pagaruyung
 Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano
 Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano
 Prasasti Adityawarman
 Batu Batikam

sumber : https://histori.id/kerajaan-pagaruyung/ dan


https://suprizaltanjung.wordpress.com/2012/08/08/benda-pusaka-dan-peninggalan-kerajaan-
pagaruyung/

FauzanFile 20/04/20

Anda mungkin juga menyukai