Anda di halaman 1dari 14

Jepara pada abad ke 16 , pati dan juwana ,

kudus , tuban , gresik , giri dan surabaya

DOSEN :
DR. RAHAYU PERMANA, M.HUM

DISUSUN OLEH :
1 . H e r d a N u r f au z y ( 2 0 2 0 1 5 5 0 0 1 0 3 )
2 . M u a m a r K a d af i ( 2 0 2 0 1 5 5 0 0 1 2 2 )

GEOGRAFI SEJARAH
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN PENGETAHUAN
SOSIAL PENDIDIKAN SEJARAH
2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala Puji Bagi Allah Telah Memberikan Rahmat Serta Hidayahnya Sehingga Penulis Dapat

Menyelesaikan Tugas Makalah Yang Berjudul ‘’ J e p a r a p a d a a b a d k e 1 6 , p a t i d a n


j u w a n a , k u d u s , t u b a n , g r e s i k , g i r i d a n s u r a b a y a .’’Tepat Pada Waktu Yang
Telah Ditentukan.
Terimakasih Kepada Bapak Dr. Rahayu Permana M, Hum. Selaku Dosen Mata Kuliah Geografi
Sejarah Yang Sudah Membimbing Kami Dalam Mata Kuliah Ini.
Kami berusaha untuk menyusun makalah ini sesuai dengan harapan dan juga dapat membantu
pembaca dalam memahami tentang judul materi kami.
Penulis Dapat Menyadari Bahwa Masih Banyak Kekurangan Dalam Penyusunan Makalah Ini,
Oleh Karena Itu Penulis Akan Sangat Menghargai Kritik Dan Saran Untuk Membangun Makalah
Ini Lebih Baik Lagi. Semoga Makalah Ini Dapat Memberikan Manfaat Bagi Kita Semua Dan
Semoga Bisa Menjadi Ilmu Yang Bermanfaat.

Jakarta, 24 Mei 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1. Latar Belakang.......................................................................................................1
2. Rumusan Masalah..................................................................................................1
3. Tujuan Makalah.....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2

1. Jepara Di Abad Ke-16 ..........................................................................................2


2. Pati dan juwana , kudus , tuban , gresik , giri dan surabaya .................................3

BAB III PENUTUP...........................................................................................................4

1. Kesimpulan ...........................................................................................................4
2. Saran......................................................................................................................4

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................5
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Munculnya Ratu Kalinyamat sebagai tokoh sejarah perempuan Jawa telah menunjukkan
kondisi yang menonjol dari tradisi dan gambaran perempuan Jawa secara umum. memainkan
perannya yang tak hanya di lingkup lokal, tetapi juga pada lingkup internasional.Ratu
Kalinyamat atau Ratna Kencana, merupakan tokoh perempuan yang hidup di pesisir utara
Jawa, tepatnya sekitar Jepara. Ratu Kalinyamat telah memimpin Jepara pada sekitar abad ke-
16 dan memainkan perannya yang tak hanya di lingkup lokal, tetapi juga pada lingkup
internasional. Sepanjang sejarah maritim di Indonesia, Ratu Kalinyamat telah meninggalkan
jejak tersendiri mengenai keterlibatan perempuan Jawa yang menjaga kedaulatan maritim
Nusantara. Selama 30 tahun kepemimpinannya, Ratu Kalinyamat telah berhasil membawa
Jepara pada puncak kejayaannya
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah diantaranya sebagai
berikut.
1. Bagaimana Kondisi Pada Abad Ke-16 Di Wilayah Tsb
2. Menjelaskan tentang kehidupan diwilayah pati,kudus , tuban , gresik dan surabaya pada
zaman tsb
3. Perubahan apa saja yg terjadi untuk saat ini diwilayah tsb
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.

1. Menambah wawasan bagi pembaca mengenai Sejarah

2. Mengetahui Kondisi Geomorfologi daerah jawa timur

BAB II
PEMBAHASAN
JEPARA PADA ABAD KE-16

Munculnya Ratu Kalinyamat sebagai tokoh sejarah perempuan Jawa telah menunjukkan kondisi
yang menonjol dari tradisi dan gambaran perempuan Jawa secara umum. memainkan perannya
yang tak hanya di lingkup lokal, tetapi juga pada lingkup internasional.
Ratu Kalinyamat atau Ratna Kencana, merupakan tokoh perempuan yang hidup di pesisir utara
Jawa, tepatnya sekitar Jepara. Ratu Kalinyamat telah memimpin Jepara pada sekitar abad ke-16
dan memainkan perannya yang tak hanya di lingkup lokal, tetapi juga pada lingkup internasional.
Sepanjang sejarah maritim di Indonesia, Ratu Kalinyamat telah meninggalkan jejak tersendiri
mengenai keterlibatan perempuan Jawa yang menjaga kedaulatan maritim Nusantara. Selama 30
tahun kepemimpinannya, Ratu Kalinyamat telah berhasil membawa Jepara pada puncak
kejayaannya.
Ratu Kalinyamat dengan armada lautnya, telah dua kali menyerang Portugis di Malaka. Selama
masa kekuasaannya, Jepara semakin berkembang pesat menjadi bandar pelabuhan terbesar di
pantai Utara Jawa serta memiliki armada laut yang besar dan kuat.
Pada penyerangan pertama, Ratu Kalinyamat dan armadanya berhasil mengepung Malaka
selama tiga bulan. Penyerangan ini dilakukan untuk menarik mundur Portugis dari Malaka pada
tahun 1551 dan 1574. Namun, pada penyerangan kedua, Ratu Kalinyamat gagal dan
menuntutnya menarik kembali pasukannya ke Jawa.
Walaupun demikian, pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat, kota pelabuhan Jepara merupakan
salah satu kota atau kerajaan maritim di Pantai Utara Jawa yang sangat kuat. Sehingga
masyarakat Jepara pada masa itu telah tampil dalam panggung sejarah Nusantara sebagai
masyarakat bahari. Dalam hal ini, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya yang diperoleh dari
kegiatan memanfaatkan sumber daya lautnya.
Ratu Kalinyamat selama masa kepemimpinannya tidak memfokuskan pada eksploitasi tanah
pertanian yang menjadi wilayah kekuasaannya. Ia lebih mengutamakan pada aktivitas pelayaran
dan perdagangan dengan daerah di luarnya atau seberang.
Selain itu, Ratu Kalinyamat juga menerapkan sistem commenda (kontrak pinjaman alat
bayar/uang untuk perdagangan) dalam melakukan hubungan dagang dan pelayaran. Sistem
commenda mengatur raja atau penguasa yang ada di wilayah pesisir melalui wakil-wakilnya di
Malaka, untuk menanamkan modal pada kapal dari dalam maupun luar negeri yang akan
berlayar untuk melaksanakan perdagangan dengan wilayah lain.
Keberanian Ratu Kalinyamat juga diakui oleh bangsa Portugis, Diego de Couto, dalam bukunya
“Da Asia” yang menyebutnya sebagai Rainha de Japara, senhora paderosa e rica (Ratu Jepara,
seorang perempuan kaya dan sangat berkuasa) dan sumber lainnya juga menyebutnya sebagai De
Kraine Dame (seorang perempuan yang pemberani).
Sepeninggal Ratu Kalinyamat dan ditundukkannya kekuasaan Jepara ke tangan Sultan Pajang
bukan berarti pelabuhan Jepara dan aktivitas perdagangannya berhenti. Pelaut Belanda yang
pertama kali datang ke Jepara menggambarkan Jepara masih berfungsi sebagai pelabuhan ekspor
yang menjadi bagian terpenting kerajaan Mataram.

PATI DAN JUWANA


Kota Juwana merupakan kota di pesisir utara pulau Jawa yang terletak di jalur pantura yang
menghubungkan kota Pati dan kota Rembang. Kota Juwana merupakan kota terbesar kedua di
Kabupaten Pati setelah Pati. Di kota ini terkenal dengan industri kerajinan kuningan dan
pembudidayaan bandeng.
Nama Juwana kemungkinan berasal dari kata Jiwana, yang berasal dari kata bahasa Sansekerta,
jiwa. Dengan demikian, perkataan Jiwana diduga adalah nama "Kahuripan" yang
disansekertakan. Pendapat lain mengatakan bahwa Juwana berasal dari kata druju dan wana.
Druju adalah nama pohon (suket glagah yang panjang dan besar), sementara wana berarti hutan.
Merupakan daerah pesisir dan dataran rendah dengan tanah berjenis aluvial dan red yelloy
mediteran. Kota ini juga dilalui oleh sungai Juwana (disebut juga sungai Silugonggo) yang
menjadi daerah aliran sungai waduk Kedungombo. Sungai terbesar di Kabupaten Pati ini tiap
tahun mengakibatkan banjir termasuk di kota Juwana. Luas wilayah kecamatan Juwana adalah
5.593 ha (55,93 km²)
Nama Juwana ada beberapa versi, dari salah satu versi mengatakan berasal dari kata Jiwana,
yang berasal dari kata bahasa Sansekerta, jiwa. Dengan demikian, perkataan Jiwana diduga
adalah nama "Kahuripan" yang disansekertakan. Pendapat lain mengatakan bahwa Juwana
berasal dari kata druju dan wana. Druju adalah nama pohon, sementara wana berarti hutan.
Sejarah Kepulauan Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya, ditemukan dari beberapa
sumber yang agak berlainan satu dengan yang lain. Menurut salah satu sumber, diterangkan juga
bahwa asal-usul penduduk Tanah Jawa memang sebagian dari Hindu dan sebagian pula dari
Tiongkok. Untuk membuktikan kebenarannya, kita dapat membedakan antara penduduk asli
dikepulauan Indonesia umumnya terdiri dari dua type yaitu disatu fihak typenya Hindustania,
kulitnya agak hitam jengat / sawo matang dengan matanya tidak sipit; tetapi dilain tempat tidak
sedikit yang berkulit kuning langsat, matanya agak sipit, banyak mirip atau malah 100% seperti
orang Tionghoa, hingga dalam masyrakat tidak jarang terjadi diantara orang Indonesia sendiri
menyangka bahwa orang yang berhadapan dengan dirinya itu dikira orang Tionghoa. Hanya
model pakaianya atau gigi pangur saja yang digunakan sebagai tanda guna membedakannya.
Pada zaman itu Tanah Jawa diselumbungi udara Animisme begitu rupa. Banyak orang suka
memuja apa yang dipandangnya suci, suka sekali prihatin untuk menjalani ilmu-ilmu gaib dan
kuat bertapa yang mempunyai pengaruh begitu mujizad.Misalnya walaupun justru udara bersih,
matahari bersinar terang gelang-gemilang di atas angkasa yang biru, tetapi tiba-tiba datang
seorang yang telah dipuncak pertapaannya, setelah berdiri dibawahnya sinar matahari sambil
mencakupkan kedua tangannya dan berdoa sambil kedua matanya dimeramkan dan
mendongkakan kepalanya, maka tidak lama kemudian awan mendung sekoyong-koyong
bergulung-gulung begitu tebal dan sebentar pula hujan turun dibarengi suara angin menderu dan
suara petir menyambar-nyambar kian kemari, hingga seolah-olah dunia sedang kiamat. Pada
Masehi tahun 414, Fahian, perantau bansa Tionghoa yang termasyur, telah tiba di pulau Jawa ini
bersama empat orang kawannya. Mereka selain menjadi orang-orang Tionghoa pertama
menginjakkan kakinya di sini dan terus menurunkan keturunannya sehingga merupakan sebagian
golongan Tionghoa peranakan yang sebagai bangsa Asing, kecuali bangsa Hindu yang pertama
kali datang di pulau ini. Sementara menurut fihak lain ada dikatakan, bahwa waktu pertama kali
bangsa Hindu datang kemari telah melihat tetanaman Juwawut, semacam bahan makanan, juga
dijual dipasar untuk bahan makanan burung perkutut piaraan, yang tumbuh begitu subur dan
gemuk sekali dipulau ini, sehingga pulau ini dinamakan Juwawut dan penduduknya dinamakan
Juwana. Orang Tionghoa merubah kata “Juwana” menjadi “Wana” yang bukan saja menjadi kata
lebih singkat, tetapi artinya lebih baik bagi orang Tionghoa umumnya dan golongan lain-lain
yang mengerti huruf dan bahasa Tionghoa.Sebutan “Wana” terhadap penduduk Pulau Jawa
khususnya dan kepulauan Indonesia umumnya memiliki arti : Tanah yang subur; tetumbuhan
yang tumbuh dengan subur; dan kaya raya. Sebutan “Wana” terhadap penduduk asli dari Tanah
Jawa khususnya dan Indonesia umumnya itu adalah : Orang dari negeri yang tanahnya subur atau
kaya. Sementara bukti atas kebenaran bahwa penduduk asli dikepulauan ini disebut Juwana,
adalah dengan adanya nama kota Juwana, suatu tempat di daerah Jawa Tengah terletak antara
Pati – Rembang. Menurut penuturan dalam zaman Dampoawang (Sam Poo Twa Lang) waktu ia
sampai ditempat yang dimaksud diatas lalu menanyakan kepada seorang penduduk asli nama
tempat tersebut, tetapi oleh penduduk setempat menyangka tamu yang datang menayakan
kebangsaanya (maklum belum bisa bahasa Melayu yang sekarang disebut bahasa Indonesia serta
jarang ketemu orang Asing), maka dijawablah “Juwana”.Oleh karena itu maka tempat tadi
selanjutnya disebut Juwana hingga saat ini menjadi perkampungan Nelayan yang sukses di
Kabupaten Pati.

KUDUS , TUBAN , GRESIK


Kudus awalnya kota di tepi Sungai Gelis,dan salah satu kota di Pulau Muria. Dahulu Kota Kudus
bernama Kota Tajug, disebut Tajug karena di daerah tersebut terdapat banyak Tajug, Tajug
merupakan bentuk atap arsitektur tradisional yang sangat kuno dipakai tujuan keramat. Tajug
dahulunya di jadikan tempat bersembahyang warga Hindu di daerah tersebut. Dengan demikian
kota Tajug dulunya sudah memiliki sifat kekeramatan tertentu. Sunan Kudus mendekati warga
kota Tajug dengan membuat struktur atas Menara Kudus yang berbentuk Tajug. Warga hidup
dari bertani, membuat batu bata, menangkap ikan, dan berdagang. Setelah kedatangan Sunan
Kudus, Kota itu dikenal sebagai "Al-Quds" yang berarti "Kudus". Kota Tajug memang sudah
lama menjadi kota perdagangan, tetapi karena posisinya agak jauh dari Selat Muria, tidak ada
pelabuhan besar di Kota Tajug, hanya pelabuhan transit, yang nanti akan transit lagi ke
Pelabuhan Tanjung Karang di tepi Selat Muria. Pada saat itu, Selat Muria masih dalam dan lebar,
sebagai jalan pintas perdagangan. Pelabuhan Tanjung Karang adalah pelabuhan transit
penghubung ke pelabuhan Demak, Jepara dan Juwana. Komoditas utama ekspor Pelabuhan
Tanjung Karang adalah kayu yang berasal dari muria, yang juga digunakan sebagai salah satu
material pembangunan Masjid Agung Demak.
Pedagang dari Timur Tengah, Tiongkok, dan pedagang antar pulau dari sejumlah daerah di
Nusantara berdagang kain, barang pecah belah, dan hasil pertanian di Tajug, tepatnya di
Pelabuhan Tanjung Karang. Warga Tajug juga terinspirasi filosofi yang dihidupi Sunan Kudus,
Gusjigang. Gus berarti bagus, ji berarti mengaji, dan gang berarti berdagang. Melalui filosofi itu,
Sunan Kudus menuntun masyarakat menjadi orang berkepribadian bagus, tekun mengaji, dan
mau berdagang. Dari pembauran lewat sarana perdagangan dan semangat ”gusjigang” itulah
masyarakat Kudus mengenal dan mampu membaca peluang usaha. Dua di antaranya usaha batik
dan jenang. Kini, selat muria sudah hilang ditelan sedimentasi, begitupun dengan Pelabuhan
Tanjung Karang, hilang dan hancur ditelan sedimentasi.
Berdirinya Masjid Menara Kudus sebagai Hari Jadi Kabupaten Kudus. Masjid Menara Kudus
tidak lepas dari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana para
walisongo yang lainnya, Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di
antaranya, dia mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat
yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan Buddha.
Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah
satunya dapat kita lihat pada masjid Menara Kudus ini. Masjid ini didirikan pada tahun 956 H
atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan
panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.
Sebenarnya, banyak orang salah paham dengan Menara Kudus. Masyarakat berpikir bahwa
menara kudus dibangun bersama dengan Masjid Menara Kudus, padahal tidak. Menara Kudus
sudah ada dari zaman Hindu-Buddha, dan umurnya jauh lebih tua dari Masjid Menara Kudus.
Kini, kejayaan dan kemakmuran Kota Kudus karena perdagangan, terulang lagi karena Industri,
dan posisi Kudus yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan Jawa.Terletak di jalur Pantura,
atau AH2 (Asian Highway 2) membuat Kota Kudus ramai, dan maju. Bahkan Kudus adalah yang
paling maju di Karesidenan Pati dan di Semenanjung Muria. Pendapatan perkapita Kudus juga
yang tertinggi di Jawa tengah, karena hasil industri yang besar, serta penduduk yang tidak terlalu
banyak, tetapi dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi.
Tuban memiliki asal usul dalam beberapa versi, pertama disebut sebagai Tuban dari lakuran
watu tiban (batu yang jatuh dari langit), yaitu batu pusaka yang dibawa oleh sepasang burung
dari Majapahit menuju Demak, dan ketika batu tersebut sampai di atas Kota Tuban, batu tersebut
jatuh dan dinamakan Tuban. Adapun versi yang kedua berupa lakuran dari metu banyu berarti
keluar air, yaitu peristiwa ketika Raden Dandang Wacana (Kyai Gede Papringan) atau Bupati
Tuban yang pertama membuka hutan Papringan dan anehnya, ketika pembukaan hutan tersebut
keluar air yang sangat deras. Hal ini juga berkaitan dengan adanya sumur tua yang dangkal tetapi
airnya melimpah, dan istimewanya sumur tersebut airnya tawar padahal berada di dekat pantai.
Ada juga versi ketiga, Tuban berasal dari kata “tuba” atau racun yang artinya sama dengan nama
kecamatan di Tuban yaitu Kecamatan Jenu.

Luas wilayah Kabupaten Tuban 183.994.561 Ha, dan wilayah laut seluas 22.068 km2. Letak
astronomi Kabupaten Tuban pada koordinat 111o 30′ – 112o 35 BT dan 6o 40′ – 7o 18′ LS.
Panjang wilayah pantai 65 km. Ketinggian daratan di Kabupaten Tuban bekisar antara 0 – 500
mdpl. Sebagian besar wilayah Kabupaten Tuban beriklim kering dengan kondisi bervariasi dari
agak kering sampai sangat kering yang berada di 19 kecamatan, sedangkan yang beriklim agak
basah berada pada 1 kecamatan. Kabupaten Tuban berada pada jalur pantura dan pada deretan
pegunungan Kapur Utara. Pegunungan Kapur Utara di Tuban terbentang dari Kecamatan
Jatirogo sampai Kecamatan Widang, dan dari Kecamatan Merakurak sampai Kecamatan Soko.
Sedangkan wilayah laut, terbentang antara 5 Kecamatan, yakni Kecamatan Bancar, Kecamatan
Tambakboyo, Kecamatan Jenu, Kecamatan Tuban dan Kecamatan Palang. Kabupaten Tuban
berada pada ujung Utara dan bagian Barat Jawa Timur yang berada langsung di Perbatasan Jawa
Timur dan Jawa Tengah atau antara Kabupaten Tuban dan Kabupaten Rembang.Tuban memiliki
titik terendah, yakni 0 m dpl yang berada di Jalur Pantura dan titik tertinggi 500 m yang berada
di Kecamatan Grabagan. Tuban juga dilalui oleh Sungai Bengawan Solo yang mengalir dari Solo
menuju gresik
Gresik sudah dikenal sejak abad ke-11 ketika tumbuh menjadi pusat perdagangan tidak saja antar
pulau, tetapi sudah meluas keberbagai negara.Sebagai kota Bandar,gresik banyak dikunjungi
pedagang Cina, Arab, Gujarat, Kalkuta, Siam, Bengali, Campa dan lain-lain. Gresik mulai tampil
menonjol dalam peraturan sejarah sejak berkembangnya agama islam di tanah jawa. Pembawa
dan penyebar agama islam tersebut tidak lain adalah Syech Maulana Malik Ibrahim yang
bersama-sama Fatimah Binti Maimun masuk ke Gresik pada awal abad ke-11.
Sejak lahir dan berkembangnya kota Gresik selain berawal dari masuknya agama islam yang
kemudian menyebar ke seluruh pulau jawa,tidak terlepas dari nama Nyai Ageng Pinatih, dari
janda kaya raya yang juga seorang syahbandar, inilah nantinya akan kita temukan nama
seseorang yang kemudian menjadi tonggak sejarah berdirinya kota gresik. Dia adalah seorang
bayi asal Blambangan (Kanbupaten Banyuwangi) yang dibuang ke laut oleh orang tuanya, dan
ditemukan oleh para pelaut anak buah Nyai Ageng Pinatih yang kemudian diberi nama Jaka
Samudra. Setelah perjaka bergelar raden paku yang kemudian menjadi penguasa pemerintah
yang berpusat di Giri Kedato,dari tempat inilah beliau kemudian dikenal dengan panggilan
Sunan Giri.

Kalau Syeh Maulana Malik Ibrahim pada jamannya dianggap sebagai para penguasa, tiang para
raja dan menteri, maka sunan giri disamping kedudukannya sebagai seorang sunan atau wali
(Penyebar Agama Islam) juga dianggap sebagai Sultan / Prabu (Penguasa Pemerintahan) Sunan
Giri dikelanal menjadi salah satu tokoh wali songo ini,juga dikenal dengan prabu Satmoto atau
Sultan Ainul Yaqin.Tahun dimana beliau dinobatkan sebagai pengusaha pemerintahan(1487 M)
akhirnya dijadikan sebagai hari lahirnya kota Gresik. Beliau memerintah gresik selama 30 tahun
dan dilanjutkan oleh keturunanya sampai kurang lebih 200 tahun
Menjabat sebagai bupati yang pertama adalah Kyai Ngabehi Tumenggung Poesponegoro pada
tahun 1617 saka, yang jasadnya dimakamkan di komplek makam Poesponegoro di jalan
pahlawan gresik, satu komplek dengan makam Syech Maulana Malik Ibrahim.
Kota Gresik terkenal sebagai kota wali, hal ini ditandai dengan penggalian sejarah yang
berkenaan dengan peranan dan keberadaan para wali yang makamnya di Kabupaten Gresik yaitu,
Sunan Giri dan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Di samping itu, Kota Gresik juga bisa disebut
dengan Kota Santri, karena keberadaan pondok-pondok pesantren dan sekolah yang bernuansa
Islami, yaitu Madrasah Ibtida’iyah, Tsanawiyah, dan Aliyah hingga Perguruan Tinggi yang
cukup banyak di kota ini. Hasil Kerajinan yang bernuansa Islam juga dihasilkan oleh masyarakat
Kota Gresik, misalnya kopyah, sarung, mukenah, sorban dan lain-lain.
Semula kabupaten ini bernama Kabupaten Surabaya. Memasuki dilaksanakannya PP Nomer 38
Tahun 1974. Seluruh kegiatan pemerintahan mulai berangsur-angsur dipindahkan ke gresik dan
namanya kemudian berganti dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Gresik dengan pusat kegiatan
di Kota Gresik.

GIRI DAN SURABAYA


Nama Giri berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya gunung. Nama tersebut tidak terlepas dari
perjuangan salah satu waliyullah yang menyebarkan agama Islam di daerah Gresik, beliau adalah
Sunan Giri. Riwayat tersebut bermula dari perjalanan spiritual Sunan Giri sendiri dalam
memperdalam ilmu agama Islam. Raden Paku adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang
ulung dan taat. Pada masa mudanya Raden Paku bersama-sama dengan Makdum Ibrahim berniat
pergi ke Mekah untuk memperdalam ilmunya, namun keduanya ditahan oleh Maulana Ishak di
Malaka. Di kediaman Maulan Ishak (ayahnya) Raden Paku tidak saja diajar segala ilmu yang
bersangkut paut dengan Islam, tetapi menurut sumber-sumber tradisional kepadanya juga
diajarkan ilmu kewalian (ilmu kewalen): ilmu para wali.
Setelah dianggap cukup, oleh Maulana Ishak menyarankan agar Raden Paku secepatnya kembali
ke Jawa untuk menyiarkan Agama Islam, serta mencari tempat tinggal yang tanahnya sama
dengan sekepal tanah yang dibawakan Maulana Ishak (Wali Lanang). Sesampainya di Gresik
dicarilah sebidang tanah untuk bertempat tinggal guna menyiarkan Islam. Dengan bantuan Syeh
Koja dan Syeh Grigis, tanah itu ditemukan di perbukitan di dekat Gresik. Lokasi yang berwujud
pegunungan (Sansekerta: Giri) itu mempunyai sifat sama dengan tanah pemberian ayahnya. Di
lokasi yang ditemukan itulah Raden Paku mendirikan masjid sebagai pusat penyebaran Agama
Islam. Semenjak itu Raden Paku termasyhur dengan nama Sunan Giri (Gunung). Dan daerah
disekitarnya kemudian terkenal dengan daerah Giri (pegiren). Mengingat di Gresik ada situs
kedaton, alun-alun, dalem wetan, pasar gede, kapunggawanan, dan lain-lain, ada kemungkinan
Raden Paku atau pengganti-penggantinya dahulu pernah mendirikan istana (kedaton) di Giri.
Munculnya Pemimpin Baru Setelah Kerajaan Giri Runtuh.
Sejarah mencatat dalam naskah manuskrip “Babad Hing Gresik” bahwa setelah kekuasaan
kerajaan Giri yang dipimpin oleh Pangeran Singasari ke-II runtuh akibat konflik dengan
pemerintah Gresik yang pada saat itu dipimpin oleh 2 Bupati yaitu Kyahi Tumenggung
Jayanegara Kasepuhan dan Kyahi Tumenggung Puspanagara Kanoman, tidak ada generasi
penerus dari Pangeran Singasari ke-II sehingga wilayah desa-desa dibawah kekuasaan pegiren
dimasukkan kedalam kekuasaan di Gresik hingga sekarang. Setelah masuk dalam kekuasaan
Gresik, untuk menjaga situs Makam dan Masjid Sunan Giri maka pemerintah Gresik memberi
jatah satu pemimpin untuk menjaga masjid dan makam yang diambil dari 3 dusun yaitu: Kajen,
Kedahanan, Giri Gajah. Pemimpin tersebut diberi nama “Khotib Modin”. Khotib Modin ini
merupakan suatu jabatan tingkat desa yang diangkat oleh bupati atau kepala pemerintahan
tradisional Jawa. Sedangkan penghulu pertama yaitu Gus Mukmin dari dusun Kajen yang masih
merupakan trah dari Pangeran Singasari. Tugas dari Penghulu sendiri sendiri menyangkut pada
perkara munakahat (perkawinan), talak, cerai, rujuk, sedekah, infak, zakat dan perkara waris
(hukum kewarisan) bagi kalangan orang yang beragama Islam.
Setelah Gus Mukmin wafat digantikan oleh putra beliau yaitu Kyai Bakiyadi pada tahun 1748 M.
Kyai Bakiyadi mendapat gelar “Penghulu Sura Astana” dari Bupati Gresik Raden Adipati Arya
Suryawinata. Namun tidak lama beliau wafat pada tahun 1793 M dan digantikan oleh putanya H.
Zakaria Penghulu Sura Astana II, beliau wafat pada tahun 1827 M digantikan oleh putra beliau
yaitu Kyai Muhammad Ya’qub (Penghulu III), beliau wafat pada hari Sabtu Pahing, 22 Jumadil
akhir tahun 1876 M yang kemudian diteruskan oleh putra beliau Penghulu Haji Muhammad
Bukhari (Penghulu IV) dan ditetapkan dengan Surat Ketetapan Bupati Gresik Raden Adipati
Arya Suryawinata Nomor 1317/2 pada tanggal 20 Agustus 1876 M.
Setelah pengulu IV wafat, pengulu selanjutnya diteruskan oleh putranya bernama Penghulu H.
Muhammad Rawi (Penghulu Sepuh/ Pengulu V) dari dusun Kajen. Setelah beliau wafat
diteruskan oleh kemenakannya bernama Pengulu H. Zainal Abidin (Penghulu VI).
Kata Surabaya (bahasa Jawa Kuno: Śūrabhaya) sering diartikan secara filosofis sebagai lambang
perjuangan antara darat dan air. Selain itu, dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran
antara ikan sura / suro (ikan hiu) dan baya / boyo (buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa
terbentuknya nama "Surabaya" muncul setelah terjadinya pertempuran tersebut.

SURABAYA
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti
yang tercantum dalam prasasti Trowulan I, berangka 1358 M. Dalam prasasti tersebut terungkap
bahwa Surabaya (Churabhaya) masih berupa desa di tepi sungai Brantas dan juga sebagai salah
satu tempat penyeberangan penting sepanjang daerah aliran sungai Brantas. Surabaya juga
tercantum dalam pujasastra Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapañca yang
bercerita tentang perjalanan pesiar Raja Hayam Wuruk pada tahun 1365 M dalam pupuh XVII
(bait ke-5, baris terakhir).
Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M (Prasasti
Trowulan) dan 1365 M (Nagarakretagama), para ahli menduga bahwa wilayah Surabaya sudah
ada sebelum tahun-tahun tersebut. Menurut pendapat budayawan Surabaya berkebangsaan
Jerman Von Faber, wilayah Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai
tempat permukiman baru bagi para prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan
Kemuruhan pada tahun 1270 M. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa Surabaya dahulu
merupakan sebuah daerah yang bernama Ujung Galuh.
Versi lain menyebutkan, Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup-mati antara
Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon, setelah mengalahkan pasukan Kekaisaran
Mongol utusan Kubilai Khan atau yang dikenal dengan pasukan Tartar, Raden Wijaya
mendirikan sebuah keraton di daerah Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk
memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu buaya, Jayengrono semakin kuat dan
mandiri sehingga mengancam kedaulatan Kerajaan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono,
maka diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu sura. Adu kesaktian dilakukan di pinggir
Kali Mas, di wilayah Peneleh. Perkelahian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan
berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal setelah kehilangan tenaga.

Nama Śūrabhaya sendiri dikukuhkan sebagai nama resmi pada abad ke-14 oleh penguasa Ujung
Galuh, Arya Lêmbu Sora.
Wilayah Surabaya dahulu merupakan gerbang utama untuk memasuki ibu kota Kerajaan
Majapahit dari arah lautan, yakni di muara Kali Mas. Bahkan hari jadi kota Surabaya ditetapkan
yaitu pada tanggal 31 Mei 1293. Hari itu sebenarnya merupakan hari kemenangan pasukan
Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya terhadap serangan pasukan Mongol. Pasukan Mongol
yang datang dari laut digambarkan sebagai SURA (ikan hiu / berani) dan pasukan Raden Wijaya
yang datang dari darat digambarkan sebagai BAYA (buaya / bahaya), jadi secara harfiah
diartikan berani menghadapi bahaya yang datang mengancam. Maka hari kemenangan itu
diperingati sebagai hari jadi Surabaya.
Pada abad ke-15, Islam mulai menyebar dengan pesat di daerah Surabaya. Salah satu anggota
Walisongo, Sunan Ampel, mendirikan masjid dan pesantren di wilayah Ampel. Tahun 1530,
Surabaya menjadi bagian dari Kerajaan Demak.
Menyusul runtuhnya Demak, Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram,
diserbu Panembahan Senopati tahun 1598, diserang besar-besaran oleh Panembahan Seda ing
Krapyak tahun 1610, dan diserang Sultan Agung tahun 1614. Pemblokan aliran Sungai Brantas
oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya menyerah. Suatu tulisan VOC tahun 1620
menggambarkan, Surabaya sebagai wilayah yang kaya dan berkuasa. Panjang lingkarannya
sekitar 5 mijlen Belanda (sekitar 37 km), dikelilingi kanal dan diperkuat meriam. Tahun tersebut,
untuk melawan Mataram, tentaranya sebesar 30.000 prajurit[8].
Tahun 1675, Trunojoyo dari Madura merebut Surabaya, namun akhirnya didepak VOC pada
tahun 1677.Dalam perjanjian antara Pakubuwono II dan VOC pada tanggal 11 November 1743,
Surabaya diserahkan penguasaannya kepada VOC. Gedung pusat pemerintahan Karesidenan
Surabaya berada di mulut sebelah barat Jembatan Merah. Jembatan inilah yang membatasi
permukiman orang Eropa (Europeesche Wijk) waktu itu, yang ada di sebelah barat jembatan
dengan tempat permukiman orang Tionghoa; Melayu; Arab; dan sebagainya (Vremde
Oosterlingen), yang ada di sebelah timur jembatan tersebut. Hingga tahun 1900-an, pusat kota
Surabaya hanya berkisar di sekitar Jembatan Merah saja.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sepeninggal Ratu Kalinyamat dan ditundukkannya kekuasaan Jepara ke tangan Sultan Pajang
bukan berarti pelabuhan Jepara dan aktivitas perdagangannya berhenti. Pelaut Belanda yang
pertama kali datang ke Jepara menggambarkan Jepara masih berfungsi sebagai pelabuhan
ekspor yang menjadi bagian terpenting kerajaan Mataram
Nama Juwana ada beberapa versi, dari salah satu versi mengatakan berasal dari kata Jiwana,
yang berasal dari kata bahasa Sansekerta, jiwa. Dengan demikian, perkataan Jiwana diduga
adalah nama "Kahuripan" yang disansekertakan. Pendapat lain mengatakan bahwa Juwana
berasal dari kata druju dan wana.
Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup-mati antara Adipati Jayengrono dan
Sawunggaling. Konon, setelah mengalahkan pasukan Kekaisaran Mongol utusan Kubilai
Khan atau yang dikenal dengan pasukan Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah keraton di
daerah Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu.

B. Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh
dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu
pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

DAFTAR PUSTAKA
indonesia.go.id
https://sclm17.blogspot.com/2016/03/juwana.html?m=1
Sejarah, Cerita, Legenda, Mitos, TOKOH, Situs

Anda mungkin juga menyukai