Anda di halaman 1dari 5

Epigrafi berasal dari kata up (di atas), graphien (menulis,tulisan).

Epigrafi adalah ilmu yang menyelidiki sejarah berdasarkan bahan-bahan tertulis, yaitu tilisan kuno. Karena itu ada yang menyamakan epigrafi dengan paleografi (ilmu tentang tulisan kuno). Tidak mengherankan bila epigrafi sering dihubungkan dengan tulisan-tulisan pada prasasti. Memnag penelitian terhadap prasasti sangat penting bagi studi sejarah Indonesia kuno, sejak zamannya Krom himgga sekarang tidak kurang dari 50% sebagai hasil rekonstruksi sejarah Indonesia kuna berdasarkan penelitian prasasti. Namun juga tidak semua prasasti dapat dimanfaatkan untuk keperluan itu. Dibalik itu juga perlu diketahui bahwa betapapun urgensinya prasasti sebagai sejarah, tidak berarti prasasti merekam semua peristiwa pada zamannya. Prasasti hanya merekam beberapa aspek tertentu seperti soal-soal polotik, sosial, dan agama. Kehidupan masyarakat pada umunya seperti ekonomi, seni, budaya, dan lain-lain jarang atau sedikit sekali disinggung dalam prasasti. Karena bila ingin mengetahui gambaran sejarah secara menyeluruh masih diperlukan sumber lain seperti karyakarya sastra, peninggalan purbakala, berita-berita asing dan lain-lain. Pitono dalam hal ini menyarankan agar dapat mencapai pengetahuan sejarah yang bulat dan obyektif metode yang terbaik dalam metode komparatif. Sejarah lainnya Sarono Kartodirdjo, pelopor sejarawan sosial Indonesia menyarankan agar sejarawan dalam berusaha memperoleh pemahaman sejarah secara utuh menerapkan pendekatan yang dinamakannya pendekatan multi dimensional (multi dimention approach), atau social scientific approach. Yang dimaksud ini adalah untuk mencapai kebenaran sejarah yang obyektif, serta menyeluruh sejarawan harus mengalnalisanya dengan berbagai pendekatan ilmu sosial atau dimensi ilmu sosial secara terkait. Tujuan utama epigrafi adalah pembacaan tulisan kuna tanpa kesalahan. Hai ini sangat ditekankan karena tulisan-tulisan kuna itu memang sukar dibaca oleh nernagai sebab. Sebab-sebab itu antara lain : (1) huruf-hurufnya rusak karena bahan prasastinya aus akibat usia ataupun karena tangantngan usil, (2) tiap-tiap periode bentuk hurufnya mengalami perkembangan, (3) huruf itu sendiri memang sudah tidak terpakai lagi. Lain pada itu epigrafi juga bertugas menentukan usia , asal tulisan, serta menentukan kesalahn-kesalahan yang menyelinap dalam teks kemudian membersihkannya. Belum lagi bila prasasti itu sebagai prasasti turunan (tinulad) yang tidak jarang menimbulkan kesulitan karena penyalinannya tidak cermat baik dalam aksara maupun dalam bahasa. Ilmuwan yang pertama kali mengangkat epigrafi sebagai ilmu bantu sejarah ialah Ludwing Troube. Di Eropa tulisan epigrafi memusatkan perhatiannya pada naskah atau teks-teks manuskrip Yunani dan pagam-piagam dari zaman pertengahan. Berdasarkan bahannya prasasti ada yang dibuat dari batu (lingo prasasti, lingopala), tembaga (tamra), dan emas atau perak (swarna). Berdasarkan aksara yang dipakai atau prasasti yang ditulis dengan abjad Pallawa, sebagai prasasti yang tertua di Indonesia (pasasti Yupa dan Kutai) abjad Jawa Kuno (prasasti Dinaya), abjad Pra Nagari (prasasti Kalasan dan Kelurak). Huruf-huruf Pallawa, jawa kuno, jawa tengahan (madia), dan jawa baru merupakan perkemnagan huruf atau abjad Brahmi. Ditinjau dari segi bahasanya terdapat prasasti yang memakai bahasa (1) Sankrit yaitu prasasti Kutai, (2) bahasa Melayu kuno (Sriwijaya), (3) bahasa Jawa kuna (prasasti zaman Jawa Tengahan dan Jawa Timur, (4) Bali kuna (prasasti di Bali s/d 1010 AD). Sejak itu sebagian prasasti di Bali ditulis dengan bahasa Jawa kuna, (5) Sunda kuna (prasasti raja Sri Jayabhupati Ik. 1030 dan prasasti Batutulis dari Sri Baduga Maharaja, Pajajaran). Hasil epigrafi apa yang diperoleh dari pembacaan prasasti ??

Antara lain : (1) nama dan gelar raja, (2) nama dan gelar pejabat birokrasi, (3) nama dewa dan pendeta, (4) upacara ritual, (5) kronologi, (6) jenis hadiah/pemberian raja, (7) kutukan bagi para pelanggar. Bagi epigrafis atau prasasti di anggap penting karena : (1) berfungsi sebagai maklumat resmi, (2) sebagai dokumen negara, (3) sebagai pengabdian suatu peristiwa penting, (4) dianggap sakral dan berkekuatan magis, (5) bukti sejarah di berbagai bidang dari para raj zaman dahulu, dan (7) sifatnya yang tahan lama karena dibuat dari bahan yang tidak mudah rusak. Apakah prasasti merupakan sumber sejarah tanpa cacat?? Ternyata tidak. Betapapun otentiknya prasasti-prasasti tetap mamiliki kelemahan sebagai berikut. (1) Hanya memberitakan peristiwa resmi. (2) Pembuatannya sering mempunyai tendensi tertentu yaitu pemujaan terhadap raja (king worship : verheerlijking van de vorst). (3) Karena adanya unsur king worship tidak jarang prasasti kurang obyektif atau bersifat sepihak. Prasasti terakhir dari sejarah Indonesia kuna ( di Jawa) ialah prasasti Jiu (1486). Demikian pila abjad Jawa kuna kemudian berkembang menjadi abjad Jawa tengahan, dan Jawa baru. Prasasti yang mengabdikan momentum perkembangan bahasa Jawa kuna ke bahasa Jawa tengahan (madia) ialah prasasti Biluluk Bertarikh 1366 M. Mulai saat itu bahasa Jawa madia terus berkembang terutama melalui sastra kidung dan macapat. Salah satu karya dari periode akhir abad XIV yang telah menggunakan bahasa Jawa madia ialah Serat Nawaruci. Obyek epigrafi pasca Majapahit ialah naskah teks yang tertulis dalam abjad dan bahasa Jawa tengahan. Misalnya naskah yang oleh B. Schrieke disebut sebagai Het Boek van Bonang, yang oleh G.W.J. Drewes diberi nama The Adminition of Sheh Bari. Beberapa inskripsi berabjad Arab juga menjadi obyek epigrafi Indonesia seperti inskripsi pada makam raja Malik al-Saleh (Samodra Pasai), Malik Ibrahim, dan inskripsi Fatimah Binti Maemun (di Gresik) Jawa Timur. Berdasarkan perkembangan abjad dan bahasa Jawa kuna ke abjad dan bahasa Jawa tengahan masuk dan berkembang pula unsur kebudayaan Islam. Antara lain masuknya abjad dan bahas Arab. Karyakarya historiografi tradisional di luar Jawa seperti Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Hikayat Raja-Raja Kutai semuanya ditulis dengan aksara Arab yang khusus, yaitu Arab Pegon tetapi berbahasa Melayu. Naskah terkhir itu disamping menjadi obyek. Definisi Paleografi Secara etimologis, Paleografi berasal dari bahasa Yunani Palaios (kuno), grafien (tulisan) adalah ilmu yang meneliti perkembangan bentuk tulisan atau tulisan kuno.[1] Secara terminologis Paleografi adalah kajian-kajian tentang tulisan-tulisan kuno, termasuk ilmu membaca, menentukan waktu (tanggal) dan menganalisis tulisan-tulisan kuno yang ditulis diatas papirus, tablet-tablet tanah liat, tembikar, kayu perkamen (vellum), kertas, daun lontar. Menurut Wilem Van der molen: ilmu yang mempelajari bentuk tulisan[2], sedangkan menurut Nabilah Lubis, Paleografi menurut adalah ilmu yang membicarakan berbagai tulisan kuno di atas batu, logam atau bahan lainnya.[3] Tugas pokok paleografi adalah meneliti sejarah tulisan untuk dapat melukiskan dan menerangkan perubahan-perubahan bentuk tulisan dari masa ke masa. Peran lain dari paleografi adalah sebagai ilmu bantu untuk beberapa ilmu lain seperti: epigrafi,sejarah,filologi,dll.[4] B. Tujuan dan Manfaat Ilmu Paleografi

1. Menjabarkan, menerjemahkan dan mengalihbahasakan tulisan-tulisan kuno karena beberapa tulisan kuna sangat sulit dibaca. 2. Menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisanya dan atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadinya tulisan tertentu. Hal itu penting untuk mempelajari tulisan tangan karya sastra yang biasanya tidak menyebutkan kapan dan dimana suatu karya sastra ditulis, serta siapa pengarangnya (perlu juga diperhatikan ciri-ciri lain seperti panjang dan jarak baris, bahan naskah, ukuran, tinta, dll.[5] 3. Menjabarkan tulisan kuno karena beberapa tulisan kuno sangat sulit dibaca 4. Menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam kerangka perkembangan umum tulisannya dan atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadinya tulisan tangan karya sastra yang biasanya tidak menyebutkan kapan dan dimana suatu karya tertulis, serta siapa pengaranya. Paleografi juga memperhatikan ciri-ciri lain naskah, seperti interfungsi, panjang dan jarak baris-baris, bahan naskah, ukuran , tinta dan sebagainya.[6] Manfaat mempelajari paleografi adalah untuk membaca teks-teks kuno, memberi tanggal dokumen yang tidak bertanggal, menjelaskan terjadinya penyimpangan tertentu dalam prosess penyalinan naskah atau teks.[7] 2. Paleoantropologi Paleoantropologi mempunyai kajian berbeda dengan paleontologi. Objek kajian paleoantropologi adalah mempelajari fosil manusia purba. Ilmu ini berusaha mengkaji, merekonstruksi asal usul manusia, evolusinya, persebarannya, lingkungannya, cara hidup dan budayanya. Fosil-fosil manusia ditemukan pada kala pleistosen. Di Indonesia kajian manusia purba telah banyak dilakukan oleh sarjana Eropa sejak akhir abad 19. Eugene Dubois menemukan tulang rahang di daerah Trinil tepi Bengawan Solo. Setelah direkonstruksi fosil itu diberi nama Pithecantropus Erectus yang artinya manusia kera berdiri tegak. GHR. Von Koeningswald yang berhasil merekonstruksi fosil Homo Soloensis (Manusia Solo), Homo Mojokertensis (Manusia Mojokerto) dan Pithecantropus Mojokertensis (Manusia kera dari Mojokerto) dan Meganthropus Paleojavanicus (Manusia besar Jawa purba). 2.1 Definisi Ilmu Bantu Sejarah Untuk mempelajari sejarah dengan sungguh-sungguh sesuai dengan ketentuan yang dituntut oleh dunia ilmu bukankah pekerjaan mudah, dan sederhana seperti menghafalkannya tatkala masih duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah. Untuk membaca sumber sejarah, apalagi yang memakai bermacam aksara, Pallawa Jawa Kuna, Batak Kuna, jawa Tengahan, Jawa Baru, Arab Pegon, Bali, Bugis, Cina dan lain-lain dengan bahasa yang berbeda-beda pula memerlukan piranti serta keahlian tersendiri. Belum lagi yang ada hubungannya dengan isi atau kandungan sumber sejarah yang berkaitan dengan berbagai segi kehidupan seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, agama, birokrasi, pemerintahan, ataupun tokoh-tokoh pemegang peran. Sejarawan tidak dapat bersitegang untuk bekerja sendirian, dan hanya berkubang dalam ilmu sejarah semata. Sejarawan tidak dapat demikian saja mengabaikan hubungan dan bantuan dari ilmuilmu lainnya yang koheren dengan pokok studi atau pokok kajiannya. Dalam hal ini sejarawan tidak

bekerja sendirian, dan sejumlah ilmu dapat memberikan bantuan atau bahkan ada yang sepenuhnya mengabdikan diri bagi kepentingan ilmu sejarah (seperti arkeologi), lazim disebut dengan istilah ilmu bantu sejarah (auxillary discipline). Jadi ilmu bantu sejarah ini menjadi suatu ilmu yang dapat membantu memhubungkan pokok-pokok studi yang ada di dalam ilmu sejarah.

2.2 Konsep Ilmu Bantu Sejarah Mengenai ilmu apa saja yang termasuk sebagai ilmu bantu sejarah, di antara para ahli terdapat perbedaan konsep. LOUIS GOTTSCHALK dalam mengerti sejarah terjemahan Nugroho Notosusanto (1981), menyebutkan filologi, epigrafi, palaeografi, hiraldik genealogi, brafiografi, dan kronologi sebagai ilmu bantu sejarah. SIDI GAZALBA dalam pengantar Sejarah Sebagai Ilmu menyatakan bahwa ilmu purbakala, ilmu piagam, filologi, palaeografi, kronologi, senumismatik, dan genealogi menjadi ilmu bantu sejarah. Gazalba selanjutnya menambahkan bahwa ilmu sosial seperti etnografi, ekonomi, dan ilmu sosial lainnya juga dapat membantu sejarawan dalam tugasnya menyusun sejarah. GILBERT J. GARRAGHAN, S.J. dalam A Guide to Historical Method berpendapat bahwa auxallary sciences (ilmu bantu sejarah) terdori dari : filsafat, biliografi, antropologi, linguistik, arkeologi, epigrafi, numismatik, dan genealogi. HERU SOEKRADI K. Dalam dasar-dasar Metodologi Sejarah menempatkan filologi, arkeologi, numismatik, kronologi, epigrafi, dan genealogi sebagai ilmu bantu sejarah, atau ancillary diciplin. Ilmu-ilmu itu menurut Heru Soekradi sepenuhnya mengabdikan diri untuk sejarah. Adapun yang termasuk sebagai ilmu ilmu bantu sejarah ialah ilmu-ilmu sosial (auxillary disciplin). Menurut hemat penulis semua ilmu-ilmu yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidak secara total menyediakan dirinya sebagai kepentingan ilmu sejarah, melainkan dalam batas-batas tertentu yang ada kaitannya dengan permasalahan sejarah, khususnya permasalahan sejarah yang telah dipersoalkan atau aktual dihadapi. Arkeologi bagian tidak terpisahkan dari sejarah kebudayaan. Sehubungan dengan hal di atas sebenarnya tidaklah relevan untuk membrikan batas secara hitam putih atau tegas terhadap mana yang dianggap sebagai ilmu dasar sebagian lagi sebagai ilmu bantu sejarah. Yang perlu mendapat perhatian adalah penguasaan dalam batas-batas tertentu terhadap konsepkonsep ilmu-ilmu bantu akan memberikan prespektik atau sudut pandang (visi) tertentu dari sejarawan terhadap pokok studi yang dihadapi. Yang dimaksud dalam konteks ini ialah derajad subyektivitas atau pandangan sejarawan akan ikut terpengaruhi oleh penguasaan di atas, subyektivitas itu berdasarkan dimensi tertentu dari ilmu bantu yang digunakan untuk memandang, mendekati pokok studi atau kajian. Pandangan seorang ahli ekonomi mungkin berbeda dengan pandangan mereka yang ahli sosiologi terhadap perang Diponegoro. Berbeda pila mereka yang ahli agama. Subyektivitas yang dihasilkan dikarenakan mereka melihat peristiwa sejarah sebagai fenomena sosial dari sudut keahlian yang berbeda. Subyektivtas yang demikian dalam studi sejarah analitis nampaknya sulit untuk dihindarkan. Subyektivitas yang disebabakan oleh faktor-faktor

dimensional disebut subyektivitas dimensional. Bila ditinjau sejarawan menggunakan tinjauan atau pendekatan bersifat multi dimensi dengan sendirinya langkah ini akan mengurangi bahkan dapat menghapus subyektivitas dimensional, yang memandang suatu peristiwa hanya dari dimensi ilmu tertentu. Obyektivitas hasil tinjauan multi dimensi suadah barang tentu memiliki derajad lebih tinggi dibandingkan dengan obyektivitas yang dicapai dengan cara-cara terdahulu.

Anda mungkin juga menyukai