Pendahuluan
Perbincangan mengenai perjalanan hidup seorang tokoh bernama Iskandar
Zulkarnain seakan tidak berujung. Figurnya yang dikenal religius, cerdas dan kuat
ini menjadikan cerita Iskandar Zulkarnain sebagai salah satu cerita yang paling
populer di seluruh dunia. Popularitasnya kemudian lantas dihubungkan dengan
cerita lainnya di dunia Barat yang menyamakannya dengan tokoh yang bernama
Alexander The Great. Penggunaan nama ‘The Great’ merupakan simbol bahwa
1
Dipresentasikan dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara Ke-17 di
Pekanbaru, 26-28 November 2018
penyandangnya bukan merupakan orang sembarangan melainkan seseorang yang
memiliki kehebatan yang sangat luar biasa. Sedangkan ‘Zulkarnain’ berarti orang
yang memiliki dua tanduk, sama seperti ‘The Great’, tanduk merupakan simbol
kekuatan yang pantas disandang oleh seorang laki-laki yang memiliki kemampuan
yang luar biasa.
Iskandar Zulkarnain dipercaya sebagai figur seorang raja yang sangat bijak
yang memiliki kekuasaan membentang dari ujung timur hingga ujung barat dan
senantiasa menyebarkan agama Ibrahim dalam setiap perjalanan penaklukan
kekuasaannya. Atas kebesarannya, nama Iskandar Zulkarnain diabadikan dalam
al-Quran sebagai salah satu tokoh panutan bagi setiap penganut agama Islam.
Lebih jauh dari itu, dalam konteks sosial budaya Melayu, Iskandar Zulkarnain
telah lama dipercaya sebagai nenek moyang dari raja-raja Melayu.
Keberadaan cerita Iskandar Zulkarnain sebagai cerita yang sangat populer
dalam kepercayaan agama Islam dan sistem kepercayaan budaya Melayu
membuat cerita ini mengakar menjadi sebuah mitos dan terpatri menjadi sebuah
ideologi. Popularitasnya telah menjadikan motivasi bagi penikmat cerita ini untuk
mengadakan duplikasi maupun rekonstruksi untuk menjaga keutuhan bahkan
membuat versi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan penulisnya demi menjaga
nilai-nilai sakralitas ajarannya.
Dalam sistem kepercayaan agama Islam, cerita Iskandar Zulkarnain
merupakan salah satu cerita yang diangkat oleh al-Quran yang terdapat dalam
surat al-Kahfi ayat 83-101. Al-Quran menggunakan cerita sebagai salah satu
metode penyampaian doktrin keagamaan agar dapat diterima dengan baik oleh
penganutnya karena di dalamnya bersifat didaktis yakni memberikan pelajaran
penting bagi pembacanya. Sastrawan menganggap al-Quran sebagai karya sastra
dakwah yang menggunakan tokoh-tokoh heroik untuk memperlihatkan tindakan-
tindakan yang diinginkan dan dimurkai oleh Tuhan (Fang, 2011: 238-239).
Karakter bahasa al-Quran memiliki kekuatan tersendiri dalam
menyampaikan pesan-pesan di setiap ayatnya dengan menampilkan corak bahasa
figuratif (majaz), citraan visual (tamtsil), pengucapan simbolik (mitsal) dan
1
metafora (isti’ara).2 Makna-makna dalam al-Quran dapat dipahami baik secara
tersurat maupun tersirat. Makna-makna yang tersurat dapat segera dipahami
secara literal tanpa memerlukan kajian-kajian yang kompleks. Akan tetapi
sebaliknya pada makna-makna yang tersirat tentu harus dipahami dengan
menggunakan metode maupun bantuan disiplin ilmu lainnya seperti halnya ilmu
tafsir al-Quran. Dengan dipergunakannya ilmu tafsir yang berdasarkan pada
pendapat-pendapat ahli tafsir diharapkan para pembaca akan terbantu untuk
memahami isi kandungan ayat al-Quran dengan baik.
Senada dengan hal tersebut, dalam sistem kepercayaan bangsa Melayu,
Iskandar Zulkarnain merupakan figur penting. Bangsa Melayu mengenal sosok ini
melalui sebuah karya sastra yang telah tercipta sejak abad ke-16 dengan judul
Hikayat Iskandar Zulkarnain. Hikayat ini merupakan bentuk sambutan masyarakat
Melayu terhadap cerita Iskandar Zulkarnain yang sebelumnya telah populer di
berbagai bangsa (Soeratno, 1988: vi). Naskah Hikayat Iskandar Zulkarnain versi
Melayu merupakan saduran dari cerita berbahasa Arab yang bersumber dari cerita
Pseudo-Kallisthenes yang ditulis dalam bahasa Yunani di Mesir, epos populer di
Persia berjudul Syah-Nama, dongeng-dongeng populer Islam, serta al-Quran itu
sendiri (Fang, 2011: 304-305 dan Iskandar, 1996: 127). Keberadaan dongeng-
dongeng populer Islam dan al-Quran yang menjadi sumber penulisan Hikayat
Iskandar Zulkarnain dalam bahasa Melayu merupakan alasan penting yang
dikemukakan oleh Braginsky bahwa hikayat ini merupakan hadiah dari Islam
untuk dunia Melayu yang berfungsi untuk memperlihatkan keluasan bumi yang
dihuni oleh umat manusia serta memberikan kesadaran mengenai pentingnya nilai
persatuan dan menekankan kedudukan penting bangsa Melayu dalam cerita
tersebut (Braginsky, 1998: 130).
Salah satu hal penting yang dapat dikaji dari melimpahnya versi-versi
cerita tersebut adalah membandingkannya satu sama lain. Proses pembandingan
dilakukan dengan menerapkan cerita Iskandar Zulkarnain sebagai teks yang ditulis
2
Abdul Hadi WM. Islam, Poetika al-Qur’an dan Sastra. Artikel diakses pada tanggal 16 Mei 2013
pada http://amiodo.blogspot.com/2013/01/islam-poetika-al-quran-dan-sastra.html.
2
dengan berbagai motif budaya penulisnya yang terfokus dalam hubungan nilai-
nilai sastra yang terkandung satu sama lain yang menembus batas ruang dan waktu
(Budiman, 2005: 7). Pembandingan ini hendaknya dilihat dari berbagai perspektif
yakni tidak hanya melihat dari perdebatan mengenai al-Quran sebagai karya sastra
atau bukan, akan tetapi dapat juga dilihat dari perdebatan mengenai obyek
penelitian sastra bandingan yang dapat membandingkan karya sastra dengan karya
sastra atau literatur lainnya.
Selain dua versi cerita Iskandar Zulkarnain (al-Quran dan Hikayat Iskandar
Zulkarnain) tersebut, popularitas cerita ini juga telah melahirkan banyak kajian
ilmiah yang bertujuan mengungkapkan berbagai makna yang terdapat di dalam
cerita tersebut dalam berbagai perspektif disiplin ilmu. Berikut adalah beberapa
literatur mengenai Iskandar Zulkarnain:
1. Siti Chamamah Soeratno. 1988. Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan
Teks dan Analisis Resepsi.
2. W.P. Gerritsen. 1986. Hikayat Dzu’l-Karnain as seen by a Western
Medievalist.
3. Khalid Hussain. 1967. Hikayat Iskandar Zulkarnain.
4. P.J. van Leeuwen. 1937. De Maleische Alexanderroman.
5. R.O. Winstedt. 1938. The Date, Authorship, Contents and Some New
MSS of Alexander the Great.
3
13. A.B. Bosworth.1981. A Missing Year in the History of Alexander the
Great.
14. R.S. Loomis. 1918. Alexander the Great’s Celestial Journey: I-Eastern
Examples.
15. R.S. Loomis. 1918. Alexander the Great’s Celestial Journey
(Conclusion): Western Examples.
Berdasarkan data tersebut, kita dapat melihat bahwa kajian mengenai
Iskandar Zulkarnain merupakan objek penelitian yang sangat menarik. Tulisan ini
akan menyajikan cerita Iskandar Zulkarnain dalam perspektif metodologi yang
lain yakni membandingkan cerita tersebut yang ditulis dalam al-Quran dan
Hikayat Iskandar Zulkarnain yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Membandingkan sebuah cerita yang ditulis dalam berbagai versi berbeda
merupakan suatu hal yang lazim dilakukan dalam penelitian akademik. Metode
ini mengembangkan studi analogi yang memperlihatkan pengaruh dan kemiripan
terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam cerita (Damono, 2009: 11). Kajian ini
tidak mempersoalkan perbedaan faham doktrin-doktrin kepercayaan yang dianut
oleh suatu agama maupun bangsa tertentu selain melihat keragaman realitas
tekstual yang tertulis tanpa terbatas oleh kurun waktu tertentu (Kasim, 1996: 20).
Cerita Iskandar Zulkarnain merupakan cerita kepahlawanan (epos) yang di
dalamnya terdapat cerita perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Oleh
karena itu, sebagai hasilnya, tulisan ini akan memperlihatkan perbedaan dan
persamaan latar tempat yang disinggahi oleh Iskandar Zulkarnain yang dibatasi
pada menemukan pemaknaan lokasi faktual ‘Barat’ dan ‘Timur’. Dalam konteks
kajian sastra bandingan, penggunaan bahasa asli yang ditulis oleh kedua karya
tersebut merupakan hal yang penting untuk diperhatikan (Damono, 2009: 29).
Sehingga dalam tulisan ini akan menggunakan teks al-Quran dan hasil suntingan
teks Hikayat Iskandar Zulkarnain yang telah dilakukan oleh Siti Chamamah
Soeratno (1991) sebagai referensi pokok penelitian ini. Khusus untuk penggunaan
teks al-Quran, akan dipergunakan bantuan ilmu tafsir untuk menjelaskan
informasi-informasi penting yang terkadang ditulis secara global saja.
4
Perbandingan Ekspresi Barat dan Timur
Cerita Iskandar Zulkarnain merupakan cerita kepahlawanan Islam (Fang, 2011:
303; Braginsky, 1998: 129; dan Iskandar, 1996: 126) yang di dalamnya
menceritakan perjalanannya dari Barat ke Timur. Karya jenis ini mencatat
rekaman perjalanan dan memberikan sarana hiburan dan informasi mengenai
tempat-tempat monumental serta pertemuan dengan tokoh-tokoh lainnya. Melalui
perjalanan tersebut dapat digunakan untuk memahami ekspresi tokoh serta latar
tempat yang disinggahinya (Dunn, 2011: xxviii-xxxi).
Sejarah telah lama mengenal bahwa Iskandar Zulkarnain melakukan
perjalanan sebagai bentuk ekspedisinya menjalankan perintah Allah untuk
menyebarkan agama Islam dengan melakukan penaklukan-penaklukan terhadap
bangsa-bangsa yang ditemuinya (Soeratno, 1988: 171). Pengungkapan istilah
‘Barat’ dan ‘Timur’ merupakan kata kunci dalam cerita ini untuk menemukan latar
tempat yang dilalui oleh Iskandar Zulkarnain dalam melakukan perjalanannya.
Pada bagian ini akan diungkapkan latar tempat faktual mengenai kedua istilah
tersebut disertai gambaran latar sosial pada masing-masing daerah tersebut dengan
menggunakan sumber-sumber luar sebagai referensi pendukung sehingga
pembaca dapat membayangkan mengenai tempat-tempat bersejarah yang pernah
dilalui oleh Iskandar Zulkarnain melalui perspektifnya di masa kini.
Hingga apabila Dia telah sampai ketempat terbenam matahari, Dia melihat
matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan Dia mendapati di
5
situ segolongan umat. Kami berkata: "Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa
atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka. (18: 86)
Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, Maka Kami kelak akan
mengazabnya, kemudian Dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan
mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. (18:87)
Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Maka baginya pahala
yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah)
yang mudah dari perintah-perintah kami". (18: 88)
6
tempat terbitnya matahari. Meskipun demikian, secara literal, al-Quran tidak
menyebutkan kata ‘Timur’ untuk mendeskripsikan ‘tempat terbitnya matahari’ ini.
Pengambilan keputusan bahwa lokasi tersebut berada di Timur adalah
sebagaimana konvensi yang berlaku pada umumnya. Al-Quran
menggambarkannya sebagai berikut:
Kemudian Dia menempuh jalan (yang lain). (18: 89)
Hingga apabila Dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) Dia
mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak
menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari
itu. (18:90)
7
Ekspresi Barat dan Timur dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa penulisan Hikayat
Iskandar Zulkarnain merupakan cerita Iskandar Zulkarnain yang diadaptasi dari
versi Timur Tengah sehingga lazimnya sebuah karya yang diadaptasi dari bahasa
lain maka terdapat kata-kata serapan yang digunakan dalam karya tersebut.
Sebagaimana halnya dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain ini, istilah Maghrib
merupakan istilah yang dipakai dalam hikayat tersebut untuk menyebutkan istilah
Barat.
Maka Raja Iskandar pun berangkatlah dari sana mengikut jalan ke negeri
Andalus. Dan segala lasykarnya pun bertambah-tambah juga. Maka Nabi
Khidlir pun serta mengiring baginda. Pertama-tama keluar baginda dari negeri
Makadunia sepuluh laksa hulubalang dan seribu yang dipilih baginda. Maka
berangkatlah Raja Iskandar dari Negeri Rumyatul Kubra. 3 Maka adalah hisab
segala mengiringkan baginda itu kira-kira lima puluh laksa, lain daripada orang
pekan (pasar) dan membawa zuadah itu (orang mengambil) kendaraan dan
sahaya orang. Maka Nabi Khilir pun memberi tahu akan hisab segala lasykar
itu. Maka sukacitalah hati Raja Iskandar menengar dia.
3
Untuk menjelaskan letak negeri Rumyatul Kubra ini harus terlebih dahulu menyepakati
apakah negeri yang dimaksud adalah negeri Rum yang berarti negeri Romawi atau negeri Rum
yang lain. Kesepakatan ini perlu dilakukan mengingat perbedaan penafsiran pada sumber al-Quran
(30: 1-5). Dua persepsi ini cukup beralasan karena persepsi yang pertama ditafsirkan sebagai
sebuah negeri di kerajaan Romawi yang terletak di Konstantinopel (sekarang Turki). Adapun
persepsi yang kedua adalah sebuah daerah di daerah Laut Mati, Palestina (Kholil, 2003: 164).
8
sebuah negeri yang saat ini bernama Spanyol. Negeri ini merupakan sebuah negara
di kawasan Eropa yang berbatasan dengan benua Afrika yang dipisahkan oleh
sebuah selat Giblaltar di kawasan laut Mediterania.
Misi keagamaannya dimulai dengan mengirimkan surat kepada Raja
Nikmat sebagai pemimpin negeri Andalus. Iskandar Zulkarnain mengajak Raja
Nikmat dan rakyatnya untuk mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Maka saat
misi itu berhasil, Iskandar Zulkarnain pun segera melanjutkan perjalanan ke negeri
berikutnya dengan mendapatkan tambahan pasukan dari negeri Andalus.
Maka masyhurlah khabarnya bahwa Raja Iskandar berangkat dan sertanya raja
Andalus pun takluk padanya. Maka gentarlah segala raja-raja magrib menengar
dia… (Soeratno, 1991: 59)
9
… Maka buni matahari masuk itu terlalu sangat adhimat bunyinya, jikalau
menengar dia segala isi bumi, nisaya pingsan. Maka tatkala masuklah matahari
itu hampirlah akan pingsan sebab menahani bunyi matahari masuk itu..
(Soetrisno, 1991: 150)
Maghrib, dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain juga diungkapkan dengan
sebutan ‘tempat masuknya matahari’ yakni sebuah tempat yang diimajinasikan
sebagai sebuah tempat gaib yang di dalamnya berada malaikat-malaikat yang
senantiasa mengawal matahari ketika akan terbenam ke dalam tempat tersebut.
Saat matahari tersebut akan memasuki tempat tersebut, terdapat suara halilintar
yang sangat menggelegar selayaknya mengawal seorang raja yang akan memasuki
sebuah istana hingga Iskandar Zulkarnain hampir pingsan mendengarnya.
… Maka pohonkanlah pada Allah Taala jikalau dikaruniakan Allah akan daku
kerajaan masyrik dan magrib. Maka barang siapa bertemu daripada segala raja-
raja yang besar jikalau dengan sukanya datang kepadaku, niscaya mudahan
dianugerahkan Allah Taala bagiku kerajaan masyrik dan magrib (Soetrisno,
1991: 56)
… Maka ujarnya, “Persukakan hati Raja. Jika sungguh kita sampai ke negeri
Qairuan itu bertemulah kita dengan tempat makmur, tiada lagi berdapat dengan
bumi yang jahat. Hingga lalulah kita ke masyrik…” (Soetrisno, 1991: 169)
Maka sembahnya, “Ya Tuhanku demi kemuliaan Nabi yang dijadikan pada
akhir zaman, Muhammad Mustafa itu. Tolong kiranya hamba-Mu Raja Iskandar
yang Kau titahkan mendirikan agama Islam dengan menjalani masyrik dan
magrib dan menyuruhkan segala makhluk menyembah Engkau…” (Soetrisno,
1991: 178)
10
Masyriq tidak dideskripsikan sebagai tempat terbitnya matahari. Dalam penggalan
cerita tersebut, Masyriq merupakan sebuah tempat yang ditengarai dekat atau
berada di negeri Cina.
Kesimpulan
Cerita Iskandar Zulkarnain merupakan cerita kepahlawanan yang sangat
populer terutama dalam sistem kepercayaan agama Islam dan sistem kebudayaan
bangsa Melayu. Al-Quran mencatatkan rangkaian peristiwa perjalanannya sebagai
contoh bagi umat Islam untuk memperlihatkan keteladanan dalam menyebarkan
kepercayaannya. Sedangkan dalam sistem kepercayaan Melayu, cerita Iskandar
Zulkarnain diabadikan dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain dan dipercaya sebagai
nenek moyang yang menurunkan raja-raja Melayu.
Hikayat Iskandar Zulkarnain merupakan cerita yang sudah dikenal sejak
abad ke-16 di bumi Nusantara. Para peneliti telah mengungkapkan bahwa sumber-
sumber penulisan hikayat ini salah satunya berasal dari al-Quran. Pada saat
diperbandingkan secara fisik, al-Quran yang menjadi salah satu referensi hanya
menuliskan cerita Iskandar Zulkarnain sebanyak 19 ayat lebih pendek daripada
Hikayat Iskandar Zulkarnain yang disunting oleh Siti Chamamah Soeratno (1991)
sebanyak 655 halaman. Hal ini tentu memperlihatkan bahwa ada referensi lain
yang mempengaruhi penulisan Hikayat Iskandar Zulkarnain, selain al-Quran,
yakni Pseudo-Kallisthenes yang ditulis dalam bahasa Yunani di Mesir, epos
populer di Persia berjudul Syah-Nama, dan dongeng-dongeng populer Islam yang
diadaptasi sedemikian rupa oleh pengarangnya.
Layaknya sebuah karya yang merujuk pada sebuah karya tertentu, dapat
dipastikan akan terjadi proses saling mempengaruhi. Dalam melihat ekspresi
Barat dan Timur yang dituliskan dalam cerita Iskandar Zulkarnain, kita dapat
melihat kesamaan dan perbedaan pemaknaan kedua ekspresi tersebut dalam cerita
ini. Al-Quran dan Hikayat Iskandar Zulkarnain sepakat menyebutkan bahwa Barat
digambarkan sebagai sebuah tempat terbenamnya matahari. Akan tetapi,
sebaliknya, kesamaan keduanya juga terlihat dalam mengungkapkan ekspresi
11
Timur. Al-Quran dan Hikayat Iskandar Zulkarnain tidak menyebutkan sebagai
tempat sebaliknya yakni tempat terbitnya matahari. Skema perbandingan tersebut
dapat kita lihat dalam tabel berikut:
Berdasarkan tabel tersebut dapat kita lihat bahwa al-Quran dan Hikayat
Iskandar Zulkarnain memiliki kesamaan dalam mengekspresikan Barat dan
Timur. Keduanya sama-sama menyebutkan Barat sebagai tempat terbenamnya
matahari, sementara keduanya juga tidak mengekspresikan Timur sebagai tempat
yang berlawanan dengan Barat yakni tempat terbitnya matahari.
Sementara itu perbedaan antara keduanya terlihat dalam pemaknaan lokasi
faktual antara Barat dan Timur. Al-Quran memilih untuk tidak mengekspresikan
lokasi faktual antara keduanya. Akan tetapi, apabila merujuk pada pemaknaan
yang dilakukan oleh ahli tafsir kita, kita dapat menyebutkan bahwa Barat adalah
sebuah tempat di Pantai Samudera Atlantik tepatnya di kawasan Laut Mediterania
dan Timur dimaknai sebagai tiga tempat berbeda yaitu Cina, benua Asia, dan
12
Pantai Timur Afrika. Berbeda dengan Hikayat Iskandar Zulkarnain yang lebih
jelas mengekspresikan lokasi faktual keduanya, ekspresi Barat merujuk pada
seluruh kerajaan di benua Afrika, sedangkan Timur berada di sebuah negeri dekat
Cina dan India.
DAFTAR PUSTAKA
Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra
MElayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS
Budiman, Manneke. 2005. "Tentang Sastra Bandingan" dalam Jurnal
Kebudayaan Kalam. No. 22. Jakarta: Yayasan Kalam
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan: Pengantar Ringkas. Jakarta:
Editum
13
Quthb, Sayyid. 1978. Fī Zilāl al-Qur’ān. Juz 15. Beirut: Dār al-Sharq.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an. Vol. 8. Cet. II. Jakarta: Lentera Hati
Soeratno, Siti Chamamah. 1988. Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks
dan Analisis Resepsi. Disertasi. Yogyakarta: Program
Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Soeratno, Siti Chamamah. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain. Jakarta: Balai
Pustaka
Surin, Bachtiar. 1991. Adz-Dzikraa: Terjemah dan Tafsir al-Qur'an dalam
Huruf
Arab dan Latin. Jilid 4. Bandung: Penerbit Angkasa
14