Anda di halaman 1dari 15

Alquran dan Hikayat: Mengungkap Ekspresi Barat-Timur

dalam Epos Iskandar Zulkarnain1

Muhammad Nida’ Fadlan


PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
m.nida@uinjkt.ac.id

Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk membandingkan sebuah cerita


kepahlawanan dalam Islam yang pernah dituliskan dalam Alquran dan karya
sastra Melayu klasik. Adapun cerita yang hendak dibandingkan adalah kisah
perjalanan Iskandar Zulkarnain atau Alexander the Great. Dalam Alquran,
kisahnya termaktub sepanjang 19 ayat dalam Surat al-Kahfi mulai ayat 83 sampai
dengan ayat 101. Sementara itu, bangsa Melayu telah mengenal sosok Iskandar
Zulkarnain sejak abad ke-16 melalui sebuah karya sastra yang berjudul Hikayat
Iskandar Zulkarnain. Sebagai karya sastra bergenre perjalanan, epos perjalanan
Iskandar Zulkarnain adalah obyek yang menarik untuk diteliti khususnya dalam
konteks ekspresi berbagai latar tempat yang disebutkan dalam karya tersebut. Atas
dasar itulah maka artikel ini fokus pada memperbandingkan ekspresi Barat dan
Timur yang disebutkan dalam epos tersebut baik yang tercatat dalam Alquran
maupun hikayat. Dari pengamatan yang mendalam dapat disimpulkan bahwa
antara Alquran dan hikayat bersepakat dalam mengekspresikan Barat dan Timur.
Namun dalam hal penyebutan lokasi faktual, keduanya berselisih pendapat.

Kata Kunci: Iskandar Zulkarnain, Alquran, Hikayat, Ekspresi, Islam, Melayu.

Pendahuluan
Perbincangan mengenai perjalanan hidup seorang tokoh bernama Iskandar
Zulkarnain seakan tidak berujung. Figurnya yang dikenal religius, cerdas dan kuat
ini menjadikan cerita Iskandar Zulkarnain sebagai salah satu cerita yang paling
populer di seluruh dunia. Popularitasnya kemudian lantas dihubungkan dengan
cerita lainnya di dunia Barat yang menyamakannya dengan tokoh yang bernama
Alexander The Great. Penggunaan nama ‘The Great’ merupakan simbol bahwa

1
Dipresentasikan dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara Ke-17 di
Pekanbaru, 26-28 November 2018
penyandangnya bukan merupakan orang sembarangan melainkan seseorang yang
memiliki kehebatan yang sangat luar biasa. Sedangkan ‘Zulkarnain’ berarti orang
yang memiliki dua tanduk, sama seperti ‘The Great’, tanduk merupakan simbol
kekuatan yang pantas disandang oleh seorang laki-laki yang memiliki kemampuan
yang luar biasa.
Iskandar Zulkarnain dipercaya sebagai figur seorang raja yang sangat bijak
yang memiliki kekuasaan membentang dari ujung timur hingga ujung barat dan
senantiasa menyebarkan agama Ibrahim dalam setiap perjalanan penaklukan
kekuasaannya. Atas kebesarannya, nama Iskandar Zulkarnain diabadikan dalam
al-Quran sebagai salah satu tokoh panutan bagi setiap penganut agama Islam.
Lebih jauh dari itu, dalam konteks sosial budaya Melayu, Iskandar Zulkarnain
telah lama dipercaya sebagai nenek moyang dari raja-raja Melayu.
Keberadaan cerita Iskandar Zulkarnain sebagai cerita yang sangat populer
dalam kepercayaan agama Islam dan sistem kepercayaan budaya Melayu
membuat cerita ini mengakar menjadi sebuah mitos dan terpatri menjadi sebuah
ideologi. Popularitasnya telah menjadikan motivasi bagi penikmat cerita ini untuk
mengadakan duplikasi maupun rekonstruksi untuk menjaga keutuhan bahkan
membuat versi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan penulisnya demi menjaga
nilai-nilai sakralitas ajarannya.
Dalam sistem kepercayaan agama Islam, cerita Iskandar Zulkarnain
merupakan salah satu cerita yang diangkat oleh al-Quran yang terdapat dalam
surat al-Kahfi ayat 83-101. Al-Quran menggunakan cerita sebagai salah satu
metode penyampaian doktrin keagamaan agar dapat diterima dengan baik oleh
penganutnya karena di dalamnya bersifat didaktis yakni memberikan pelajaran
penting bagi pembacanya. Sastrawan menganggap al-Quran sebagai karya sastra
dakwah yang menggunakan tokoh-tokoh heroik untuk memperlihatkan tindakan-
tindakan yang diinginkan dan dimurkai oleh Tuhan (Fang, 2011: 238-239).
Karakter bahasa al-Quran memiliki kekuatan tersendiri dalam
menyampaikan pesan-pesan di setiap ayatnya dengan menampilkan corak bahasa
figuratif (majaz), citraan visual (tamtsil), pengucapan simbolik (mitsal) dan

1
metafora (isti’ara).2 Makna-makna dalam al-Quran dapat dipahami baik secara
tersurat maupun tersirat. Makna-makna yang tersurat dapat segera dipahami
secara literal tanpa memerlukan kajian-kajian yang kompleks. Akan tetapi
sebaliknya pada makna-makna yang tersirat tentu harus dipahami dengan
menggunakan metode maupun bantuan disiplin ilmu lainnya seperti halnya ilmu
tafsir al-Quran. Dengan dipergunakannya ilmu tafsir yang berdasarkan pada
pendapat-pendapat ahli tafsir diharapkan para pembaca akan terbantu untuk
memahami isi kandungan ayat al-Quran dengan baik.
Senada dengan hal tersebut, dalam sistem kepercayaan bangsa Melayu,
Iskandar Zulkarnain merupakan figur penting. Bangsa Melayu mengenal sosok ini
melalui sebuah karya sastra yang telah tercipta sejak abad ke-16 dengan judul
Hikayat Iskandar Zulkarnain. Hikayat ini merupakan bentuk sambutan masyarakat
Melayu terhadap cerita Iskandar Zulkarnain yang sebelumnya telah populer di
berbagai bangsa (Soeratno, 1988: vi). Naskah Hikayat Iskandar Zulkarnain versi
Melayu merupakan saduran dari cerita berbahasa Arab yang bersumber dari cerita
Pseudo-Kallisthenes yang ditulis dalam bahasa Yunani di Mesir, epos populer di
Persia berjudul Syah-Nama, dongeng-dongeng populer Islam, serta al-Quran itu
sendiri (Fang, 2011: 304-305 dan Iskandar, 1996: 127). Keberadaan dongeng-
dongeng populer Islam dan al-Quran yang menjadi sumber penulisan Hikayat
Iskandar Zulkarnain dalam bahasa Melayu merupakan alasan penting yang
dikemukakan oleh Braginsky bahwa hikayat ini merupakan hadiah dari Islam
untuk dunia Melayu yang berfungsi untuk memperlihatkan keluasan bumi yang
dihuni oleh umat manusia serta memberikan kesadaran mengenai pentingnya nilai
persatuan dan menekankan kedudukan penting bangsa Melayu dalam cerita
tersebut (Braginsky, 1998: 130).
Salah satu hal penting yang dapat dikaji dari melimpahnya versi-versi
cerita tersebut adalah membandingkannya satu sama lain. Proses pembandingan
dilakukan dengan menerapkan cerita Iskandar Zulkarnain sebagai teks yang ditulis

2
Abdul Hadi WM. Islam, Poetika al-Qur’an dan Sastra. Artikel diakses pada tanggal 16 Mei 2013
pada http://amiodo.blogspot.com/2013/01/islam-poetika-al-quran-dan-sastra.html.

2
dengan berbagai motif budaya penulisnya yang terfokus dalam hubungan nilai-
nilai sastra yang terkandung satu sama lain yang menembus batas ruang dan waktu
(Budiman, 2005: 7). Pembandingan ini hendaknya dilihat dari berbagai perspektif
yakni tidak hanya melihat dari perdebatan mengenai al-Quran sebagai karya sastra
atau bukan, akan tetapi dapat juga dilihat dari perdebatan mengenai obyek
penelitian sastra bandingan yang dapat membandingkan karya sastra dengan karya
sastra atau literatur lainnya.
Selain dua versi cerita Iskandar Zulkarnain (al-Quran dan Hikayat Iskandar
Zulkarnain) tersebut, popularitas cerita ini juga telah melahirkan banyak kajian
ilmiah yang bertujuan mengungkapkan berbagai makna yang terdapat di dalam
cerita tersebut dalam berbagai perspektif disiplin ilmu. Berikut adalah beberapa
literatur mengenai Iskandar Zulkarnain:
1. Siti Chamamah Soeratno. 1988. Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan
Teks dan Analisis Resepsi.
2. W.P. Gerritsen. 1986. Hikayat Dzu’l-Karnain as seen by a Western
Medievalist.
3. Khalid Hussain. 1967. Hikayat Iskandar Zulkarnain.
4. P.J. van Leeuwen. 1937. De Maleische Alexanderroman.
5. R.O. Winstedt. 1938. The Date, Authorship, Contents and Some New
MSS of Alexander the Great.

6. C.A. Robinson. 1957. The Extraordinary Ideas of Alexander the Great.


7. Faustina Doufikar-Aerts. 2003. Sirat al-Iskandar: An Arabic Popular
Romance of Alexander.
8. Truesdell S. Brown. 1949. Callisthenes and Alexander.
9. C.A. Robinson. 1949. Alexander the Great by W.W. Tarn.
10. Veronica Della Rora. 2005. Alexander the Great’s Mountain.
11. P.L. Amin Sweeney. 1967. The Connection between the Hikayat Raja-
raja Pasai and the Sejarah Melayu.
12. A.B. Bosworth. 1986. Alexander the Great and the Decline of Macedon.

3
13. A.B. Bosworth.1981. A Missing Year in the History of Alexander the
Great.
14. R.S. Loomis. 1918. Alexander the Great’s Celestial Journey: I-Eastern
Examples.
15. R.S. Loomis. 1918. Alexander the Great’s Celestial Journey
(Conclusion): Western Examples.
Berdasarkan data tersebut, kita dapat melihat bahwa kajian mengenai
Iskandar Zulkarnain merupakan objek penelitian yang sangat menarik. Tulisan ini
akan menyajikan cerita Iskandar Zulkarnain dalam perspektif metodologi yang
lain yakni membandingkan cerita tersebut yang ditulis dalam al-Quran dan
Hikayat Iskandar Zulkarnain yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Membandingkan sebuah cerita yang ditulis dalam berbagai versi berbeda
merupakan suatu hal yang lazim dilakukan dalam penelitian akademik. Metode
ini mengembangkan studi analogi yang memperlihatkan pengaruh dan kemiripan
terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam cerita (Damono, 2009: 11). Kajian ini
tidak mempersoalkan perbedaan faham doktrin-doktrin kepercayaan yang dianut
oleh suatu agama maupun bangsa tertentu selain melihat keragaman realitas
tekstual yang tertulis tanpa terbatas oleh kurun waktu tertentu (Kasim, 1996: 20).
Cerita Iskandar Zulkarnain merupakan cerita kepahlawanan (epos) yang di
dalamnya terdapat cerita perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Oleh
karena itu, sebagai hasilnya, tulisan ini akan memperlihatkan perbedaan dan
persamaan latar tempat yang disinggahi oleh Iskandar Zulkarnain yang dibatasi
pada menemukan pemaknaan lokasi faktual ‘Barat’ dan ‘Timur’. Dalam konteks
kajian sastra bandingan, penggunaan bahasa asli yang ditulis oleh kedua karya
tersebut merupakan hal yang penting untuk diperhatikan (Damono, 2009: 29).
Sehingga dalam tulisan ini akan menggunakan teks al-Quran dan hasil suntingan
teks Hikayat Iskandar Zulkarnain yang telah dilakukan oleh Siti Chamamah
Soeratno (1991) sebagai referensi pokok penelitian ini. Khusus untuk penggunaan
teks al-Quran, akan dipergunakan bantuan ilmu tafsir untuk menjelaskan
informasi-informasi penting yang terkadang ditulis secara global saja.

4
Perbandingan Ekspresi Barat dan Timur
Cerita Iskandar Zulkarnain merupakan cerita kepahlawanan Islam (Fang, 2011:
303; Braginsky, 1998: 129; dan Iskandar, 1996: 126) yang di dalamnya
menceritakan perjalanannya dari Barat ke Timur. Karya jenis ini mencatat
rekaman perjalanan dan memberikan sarana hiburan dan informasi mengenai
tempat-tempat monumental serta pertemuan dengan tokoh-tokoh lainnya. Melalui
perjalanan tersebut dapat digunakan untuk memahami ekspresi tokoh serta latar
tempat yang disinggahinya (Dunn, 2011: xxviii-xxxi).
Sejarah telah lama mengenal bahwa Iskandar Zulkarnain melakukan
perjalanan sebagai bentuk ekspedisinya menjalankan perintah Allah untuk
menyebarkan agama Islam dengan melakukan penaklukan-penaklukan terhadap
bangsa-bangsa yang ditemuinya (Soeratno, 1988: 171). Pengungkapan istilah
‘Barat’ dan ‘Timur’ merupakan kata kunci dalam cerita ini untuk menemukan latar
tempat yang dilalui oleh Iskandar Zulkarnain dalam melakukan perjalanannya.
Pada bagian ini akan diungkapkan latar tempat faktual mengenai kedua istilah
tersebut disertai gambaran latar sosial pada masing-masing daerah tersebut dengan
menggunakan sumber-sumber luar sebagai referensi pendukung sehingga
pembaca dapat membayangkan mengenai tempat-tempat bersejarah yang pernah
dilalui oleh Iskandar Zulkarnain melalui perspektifnya di masa kini.

Ekspresi Barat dan Timur dalam al-Quran


Al-Quran membagi rekaman perjalanan Iskandar Zulkarnain ke dalam tiga fase
perjalanan, yakni perjalanan ke Barat, Timur, dan ke suatu tempat di antara dua
bukit (Departemen Agama, Jilid 6, 2009: 15 dan Quthb, Juz 15, 1978: 10) tanpa
memaparkan rute awal perjalanan tersebut dimulai. Setelah memaparkan secara
singkat mengenai profil Iskandar Zulkarnain, al-Quran menyebutkan bahwa ia
mengadakan perjalanan ke Barat, ke sebuah tempat yang disebut dengan Maghrib.
Maka diapun menempuh suatu jalan. (18:85)

Hingga apabila Dia telah sampai ketempat terbenam matahari, Dia melihat
matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan Dia mendapati di

5
situ segolongan umat. Kami berkata: "Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa
atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka. (18: 86)

Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, Maka Kami kelak akan
mengazabnya, kemudian Dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan
mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. (18:87)

Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Maka baginya pahala
yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah)
yang mudah dari perintah-perintah kami". (18: 88)

Berdasarkan ayat tersebut, Maghrib digambarkan sebagai sebuah tempat


terbenamnya matahari yang berada di sebuah laut berlumpur hitam. Meskipun
demikian, Maghrib merupakan bentuk simbolik yang tidak dapat dipahami dalam
arti sebenarnya karena pada hakikatnya tidak ada tempat khusus tempat matahari
terbit maupun terbenam. Hal ini dapat dimaklumi karena pengetahuan masyarakat
di masa lampau yang meyakini sebuah tempat dapat disebut sebagai tempat
matahari bersemayam sesuai apa yang dilihatnya saja (Shihab, 2002: 111).
Tanpa menyebutkan rute awal perjalanan, menurut pendapat ahli tafsir,
Iskandar Zulkarnain dinyatakan telah berjalan melewati negeri Tunisia dan
Maroko sebelum tiba di sebuah laut sebagai tempat ia melihat matahari terbenam
(al-Maraghi, Juz 6, 1962: 16; Departemen Agama, Jilid 6, 2009: 21 dan Surin,
Jilid 4: 1234). Para ahli tafsir menduga bahwa Maghrib merupakan sebuah tempat
di pantai Samudera Atlantik (al-Maraghi, Juz 6, 1962: 16; Surin, Jilid 4, 1991:
1234; Quthb, Juz 15: 11) yang berada di kawasan Mediterania (Departemen
Agama, Jilid 6, 2009: 14).
Di daerah tersebut, Iskandar Zulkarnain menjalankan misinya yaitu
penaklukan atas agama atau islamisasi (Soeratno, 1988: 171). Ia menemui Barbar
yang dikenal sangat terbelakang dan kafir (Surin, Jilid 4, 1991: 1234). Iskandar
diberikan kewenangan yang besar oleh Allah SWT untuk memberikan pilihan
kepada bangsa tersebut yakni apabila menolak ajakannya maka akan diperanginya
namun sebaliknya apabila mereka mau mengikuti ajakan tersebut akan dijanjikan
pahala sebagai imbalannya.
Setelah menyelesaikan misinya di tempat terbenamnya matahari tersebut,
Iskandar Zukarnain bergerak melanjutkan perjalanan ke arah sebaliknya yakni

6
tempat terbitnya matahari. Meskipun demikian, secara literal, al-Quran tidak
menyebutkan kata ‘Timur’ untuk mendeskripsikan ‘tempat terbitnya matahari’ ini.
Pengambilan keputusan bahwa lokasi tersebut berada di Timur adalah
sebagaimana konvensi yang berlaku pada umumnya. Al-Quran
menggambarkannya sebagai berikut:
Kemudian Dia menempuh jalan (yang lain). (18: 89)

Hingga apabila Dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) Dia
mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak
menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari
itu. (18:90)

Bahasan mengenai pemaknaan ‘tempat terbitnya matahari’ juga menjadi


pembahasan dalam kajian para ahli tafsir sebagai bentuk simbolik. Tempat
terbitnya matahari dianggap sebagai tempat keluarnya matahari di ufuk Timur
dalam pandangan seseorang (Quthb, Juz 15, 1978: 12). Tidak seperti pembahasan
sebelumnya yang relatif menyepakati sebuah daerah tertentu, pada pembahasan
kali ini terdapat beragam penafsiran mengenai tempat terbitnya matahari ini.
Adapun ragam penafsiran tersebut diantaranya adalah disebutnya sebagai suatu
tempat di Tiongkok, Cina (Departemen Agama, Jilid 6, 2009: 21), benua Asia
(Surin, Jilid 4: 1235), dan pantai Timur Afrika (Quthb, Juz 15, 1978: 12).
Al-Quran menggambarkan kondisi sosial daerah ini sebagai manusia yang
hidup di ruang yang terbuka dan tidak ada sesuatu yang menghalanginya. Daerah
ini digambarkan sebagai tempat yang sangat primitif. Masyarakatnya tidak tinggal
di dalam bangunan rumah sebagaimana pada umumnya dan juga tidak terdapat
pepohonan yang dapat menaunginya dari teriknya sinar matahari. Wilayahnya
yang tandus tidak berbukit menjadikan manusia yang hidup di daerah ini pada
siang hari tinggal di dalam lubang-lubang bawah tanah dan baru muncul ke
permukaan bumi pada saat matahari telah terbenam (Departemen Agama, Jilid 6,
2009: 21).

7
Ekspresi Barat dan Timur dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa penulisan Hikayat
Iskandar Zulkarnain merupakan cerita Iskandar Zulkarnain yang diadaptasi dari
versi Timur Tengah sehingga lazimnya sebuah karya yang diadaptasi dari bahasa
lain maka terdapat kata-kata serapan yang digunakan dalam karya tersebut.
Sebagaimana halnya dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain ini, istilah Maghrib
merupakan istilah yang dipakai dalam hikayat tersebut untuk menyebutkan istilah
Barat.
Maka Raja Iskandar pun berangkatlah dari sana mengikut jalan ke negeri
Andalus. Dan segala lasykarnya pun bertambah-tambah juga. Maka Nabi
Khidlir pun serta mengiring baginda. Pertama-tama keluar baginda dari negeri
Makadunia sepuluh laksa hulubalang dan seribu yang dipilih baginda. Maka
berangkatlah Raja Iskandar dari Negeri Rumyatul Kubra. 3 Maka adalah hisab
segala mengiringkan baginda itu kira-kira lima puluh laksa, lain daripada orang
pekan (pasar) dan membawa zuadah itu (orang mengambil) kendaraan dan
sahaya orang. Maka Nabi Khilir pun memberi tahu akan hisab segala lasykar
itu. Maka sukacitalah hati Raja Iskandar menengar dia.

Hatta maka berangkatlah Raja Iskandar mengikut jalan ke negeri Andalus.


Telah masyhur kepada segala isi benua magrib bahwa Raja Iskandar berangkat
kepada pihak itu. (Soeratno, 1991: 51)

… negeri Andalus, umpama pulau seperti kelakuan besar. Sekaliannya


berkeliling laut. Hanya umpama jabatan busur itu jua berhubung dengan
daratan. (Soeratno, 1991: 52)

Iskandar memulai perjalanan dari negeri Makedonia menuju negeri


Maghrib dengan ditemani oleh Nabi Khidlir dan dikawal oleh dua pasukan besar
yaitu pasukan dari Makedonia serta pasukan lain hasil penaklukannya di negeri
Rumyatul Kubra pada saat melewati negeri tersebut. Berdasarkan teks di atas,
Maghrib (Barat) merupakan sebuah negeri, yang dikelilingi oleh laut dan terdapat
jembatan yang menghubungkannya kedua daratan diantaranya, yang akan dituju
setelah singgah sebelumnya di negeri bernama Andalus. Dalam sejarah-sejarah
penaklukan Islam disebutkan bahwa negeri Andalus (Andalusia) merupakan

3
Untuk menjelaskan letak negeri Rumyatul Kubra ini harus terlebih dahulu menyepakati
apakah negeri yang dimaksud adalah negeri Rum yang berarti negeri Romawi atau negeri Rum
yang lain. Kesepakatan ini perlu dilakukan mengingat perbedaan penafsiran pada sumber al-Quran
(30: 1-5). Dua persepsi ini cukup beralasan karena persepsi yang pertama ditafsirkan sebagai
sebuah negeri di kerajaan Romawi yang terletak di Konstantinopel (sekarang Turki). Adapun
persepsi yang kedua adalah sebuah daerah di daerah Laut Mati, Palestina (Kholil, 2003: 164).

8
sebuah negeri yang saat ini bernama Spanyol. Negeri ini merupakan sebuah negara
di kawasan Eropa yang berbatasan dengan benua Afrika yang dipisahkan oleh
sebuah selat Giblaltar di kawasan laut Mediterania.
Misi keagamaannya dimulai dengan mengirimkan surat kepada Raja
Nikmat sebagai pemimpin negeri Andalus. Iskandar Zulkarnain mengajak Raja
Nikmat dan rakyatnya untuk mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Maka saat
misi itu berhasil, Iskandar Zulkarnain pun segera melanjutkan perjalanan ke negeri
berikutnya dengan mendapatkan tambahan pasukan dari negeri Andalus.
Maka masyhurlah khabarnya bahwa Raja Iskandar berangkat dan sertanya raja
Andalus pun takluk padanya. Maka gentarlah segala raja-raja magrib menengar
dia… (Soeratno, 1991: 59)

Sebermula Raja Andalus yang menghimpunkan segala rakyat orang yang


pandai dari benua magrib itu bekerja sama Nabi Khidlir dan Balminas Hakim.
Maka disuruh Raja Iskandar bubuh jembatan itu seperti kota kiri kanan. Maka
adalah lamanya Raja Iskandar itu berbuat jembatan itu kadar delapan bulan
lamanya. Setelah sampailah kepada sebelum daratnya itu, maka berjalan segala
lasykar dari atas jembatan itu hingga sampailah ke sana (Soeratno, 1991: 60).

Iskandar Zulkarnain berangkat menuju negeri Maghrib dengan dibantu


oleh Raja Nikmat setelah ia memerintahkan kepada rakyatnya yang memiliki
kemampuan untuk membuat sebuah jembatan selama delapan bulan yang
menghubungkan antara Andalus dan negeri Maghrib. Tersiarnya kabar perjalanan
Iskandar Zulkarnain yang didahului penaklukan terhadap Andalus telah membuat
raja-raja di kawasan Maghrib menjadi gentar.
Melalui pembahasan tersebut, patut diduga bahwa negeri Maghrib (Barat)
yang diekspresikan dalam naskah Hikayat Iskandar Zulkarnain adalah negeri-
negeri di benua Afrika secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat adanya ungkapan
‘benua’, kata plural ‘raja-raja’, serta pengungkapan negeri-negeri lain yang
disinggahi di benua ini seperti Habsyi, Afrikiyah, dan Mesir.
Setelah matahari itu pun hampirlah akan masuk, maka didengar keduanya akan
bunyinya seperti halilintar membelah. Maka dilihat sinar matahari itu dua orang
malaikat terbesar daripada sekalian malaikat itu. Dikelilinginya banyak
malaikat yang lain. Kelihatan itu rupanya seperti laku bayang-bayang. Maka
kata Raja Iskandar, “Ya Nabi Allah, rupa apa yang kelihatan itu?” Maka sahut
Nabi
Khidlir, “Itulah malaikat yang mengawal matahari masuk dan keluar.”…

9
… Maka buni matahari masuk itu terlalu sangat adhimat bunyinya, jikalau
menengar dia segala isi bumi, nisaya pingsan. Maka tatkala masuklah matahari
itu hampirlah akan pingsan sebab menahani bunyi matahari masuk itu..
(Soetrisno, 1991: 150)
Maghrib, dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain juga diungkapkan dengan
sebutan ‘tempat masuknya matahari’ yakni sebuah tempat yang diimajinasikan
sebagai sebuah tempat gaib yang di dalamnya berada malaikat-malaikat yang
senantiasa mengawal matahari ketika akan terbenam ke dalam tempat tersebut.
Saat matahari tersebut akan memasuki tempat tersebut, terdapat suara halilintar
yang sangat menggelegar selayaknya mengawal seorang raja yang akan memasuki
sebuah istana hingga Iskandar Zulkarnain hampir pingsan mendengarnya.
… Maka pohonkanlah pada Allah Taala jikalau dikaruniakan Allah akan daku
kerajaan masyrik dan magrib. Maka barang siapa bertemu daripada segala raja-
raja yang besar jikalau dengan sukanya datang kepadaku, niscaya mudahan
dianugerahkan Allah Taala bagiku kerajaan masyrik dan magrib (Soetrisno,
1991: 56)

… Maka ujarnya, “Persukakan hati Raja. Jika sungguh kita sampai ke negeri
Qairuan itu bertemulah kita dengan tempat makmur, tiada lagi berdapat dengan
bumi yang jahat. Hingga lalulah kita ke masyrik…” (Soetrisno, 1991: 169)

Maka sembahnya, “Ya Tuhanku demi kemuliaan Nabi yang dijadikan pada
akhir zaman, Muhammad Mustafa itu. Tolong kiranya hamba-Mu Raja Iskandar
yang Kau titahkan mendirikan agama Islam dengan menjalani masyrik dan
magrib dan menyuruhkan segala makhluk menyembah Engkau…” (Soetrisno,
1991: 178)

Masyriq (Timur) adalah tujuan berikutnya dari perjalanan Iskandar


Zulkarnain. Hal tersebut terungkap dalam setiap doa yang dipanjatkannya kepada
Tuhan. Akan tetapi, tidak seperti halnya Maghrib yang dijelaskan sedemikian rupa
dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain, Masyriq tidak disebutkan sebagai sebuah
tempat khusus yang menjadi tempat tujuan perjalanan Iskandar Zulkarnain. Hanya
didapatkan sebuah petunjuk mengenai lokasi faktual dari Masyriq yang dijelaskan
dalam deskripsi sebagai berikut:
Maka kata Nabi Khidlir, “Hai Raja yang dimuliakan Allah Taala, bahwa inilah
pertama kita robohkan rumah api. Lalu ke benua Sindi dan Hindi, lalu ke benua
Cina, hingga datang kita ke negeri masyrik…” (Soetrisno, 1991: 248)

Masyriq digambarkan sebagai tujuan perjalanan Iskandar Zulkarnain pada


saat setelah ia melewati negeri Hindi, yang diduga adalah negeri India di masa
kini. Layaknya antonim dari Maghrib, yang berarti tempat terbenamnya matahari,

10
Masyriq tidak dideskripsikan sebagai tempat terbitnya matahari. Dalam penggalan
cerita tersebut, Masyriq merupakan sebuah tempat yang ditengarai dekat atau
berada di negeri Cina.

Kesimpulan
Cerita Iskandar Zulkarnain merupakan cerita kepahlawanan yang sangat
populer terutama dalam sistem kepercayaan agama Islam dan sistem kebudayaan
bangsa Melayu. Al-Quran mencatatkan rangkaian peristiwa perjalanannya sebagai
contoh bagi umat Islam untuk memperlihatkan keteladanan dalam menyebarkan
kepercayaannya. Sedangkan dalam sistem kepercayaan Melayu, cerita Iskandar
Zulkarnain diabadikan dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain dan dipercaya sebagai
nenek moyang yang menurunkan raja-raja Melayu.
Hikayat Iskandar Zulkarnain merupakan cerita yang sudah dikenal sejak
abad ke-16 di bumi Nusantara. Para peneliti telah mengungkapkan bahwa sumber-
sumber penulisan hikayat ini salah satunya berasal dari al-Quran. Pada saat
diperbandingkan secara fisik, al-Quran yang menjadi salah satu referensi hanya
menuliskan cerita Iskandar Zulkarnain sebanyak 19 ayat lebih pendek daripada
Hikayat Iskandar Zulkarnain yang disunting oleh Siti Chamamah Soeratno (1991)
sebanyak 655 halaman. Hal ini tentu memperlihatkan bahwa ada referensi lain
yang mempengaruhi penulisan Hikayat Iskandar Zulkarnain, selain al-Quran,
yakni Pseudo-Kallisthenes yang ditulis dalam bahasa Yunani di Mesir, epos
populer di Persia berjudul Syah-Nama, dan dongeng-dongeng populer Islam yang
diadaptasi sedemikian rupa oleh pengarangnya.
Layaknya sebuah karya yang merujuk pada sebuah karya tertentu, dapat
dipastikan akan terjadi proses saling mempengaruhi. Dalam melihat ekspresi
Barat dan Timur yang dituliskan dalam cerita Iskandar Zulkarnain, kita dapat
melihat kesamaan dan perbedaan pemaknaan kedua ekspresi tersebut dalam cerita
ini. Al-Quran dan Hikayat Iskandar Zulkarnain sepakat menyebutkan bahwa Barat
digambarkan sebagai sebuah tempat terbenamnya matahari. Akan tetapi,
sebaliknya, kesamaan keduanya juga terlihat dalam mengungkapkan ekspresi

11
Timur. Al-Quran dan Hikayat Iskandar Zulkarnain tidak menyebutkan sebagai
tempat sebaliknya yakni tempat terbitnya matahari. Skema perbandingan tersebut
dapat kita lihat dalam tabel berikut:

Ekspresi Lokasi Faktual


AQ HIZ AQ HIZ
Barat Tempat terbenamnya matahari Tidak Seluruh
diekspresikan, kerajaan di
kecuali menurut benua Afrika
ahli tafsir berada di
Pantai di Samudera
Atlantik, Laut
Mediterania
Timur Tidak diekspresikan Tidak Dekat Cina dan
diekspresikan, India
kecuali menurut
ahli tafsir berada di
3 tempat berbeda
yaitu Cina, benua
Asia, dan pantai
Timur Afrika
Keterangan:
AQ : al-Quran
HIZ : Hikayat Iskandar Zulkarnain

Berdasarkan tabel tersebut dapat kita lihat bahwa al-Quran dan Hikayat
Iskandar Zulkarnain memiliki kesamaan dalam mengekspresikan Barat dan
Timur. Keduanya sama-sama menyebutkan Barat sebagai tempat terbenamnya
matahari, sementara keduanya juga tidak mengekspresikan Timur sebagai tempat
yang berlawanan dengan Barat yakni tempat terbitnya matahari.
Sementara itu perbedaan antara keduanya terlihat dalam pemaknaan lokasi
faktual antara Barat dan Timur. Al-Quran memilih untuk tidak mengekspresikan
lokasi faktual antara keduanya. Akan tetapi, apabila merujuk pada pemaknaan
yang dilakukan oleh ahli tafsir kita, kita dapat menyebutkan bahwa Barat adalah
sebuah tempat di Pantai Samudera Atlantik tepatnya di kawasan Laut Mediterania
dan Timur dimaknai sebagai tiga tempat berbeda yaitu Cina, benua Asia, dan

12
Pantai Timur Afrika. Berbeda dengan Hikayat Iskandar Zulkarnain yang lebih
jelas mengekspresikan lokasi faktual keduanya, ekspresi Barat merujuk pada
seluruh kerajaan di benua Afrika, sedangkan Timur berada di sebuah negeri dekat
Cina dan India.

DAFTAR PUSTAKA

Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra
MElayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS
Budiman, Manneke. 2005. "Tentang Sastra Bandingan" dalam Jurnal
Kebudayaan Kalam. No. 22. Jakarta: Yayasan Kalam
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan: Pengantar Ringkas. Jakarta:
Editum

Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur'an dan Tafsirnya


(Edisi yang Disempurnakan). Jilid 6. Jakarta: Departemen
Agama RI
Dunn. Ross E. 2011. Petualangan Ibnu Battuta: Seorang Musafir Muslim Abad
14. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Fang, Liaw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Hadi WM, Abdul. Islam, Poetika al-Qur’an dan Sastra. Artikel diakses pada
tanggal 16 Mei 2013 pada
http://amiodo.blogspot.com/2013/01/islam-poetika-al-quran-dan-
sastra.ht ml.
Iskandar, Teuku. 1996. Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta:
LIBRA
Kasim. Razali. 1996. Sastra Bandingan: Ruang Lingkup dan Metode. Medan:
USU Press
Khalil, Syauqi Abu. 2003. Atlas al-Qur'an: Amakin, Aqwam, A'lam. Beirut: Dar
al-Fikr
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1962. Tafsir al-Maraghi. Kairo: Musthafa al-Bab
al-Halabi

13
Quthb, Sayyid. 1978. Fī Zilāl al-Qur’ān. Juz 15. Beirut: Dār al-Sharq.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an. Vol. 8. Cet. II. Jakarta: Lentera Hati
Soeratno, Siti Chamamah. 1988. Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks
dan Analisis Resepsi. Disertasi. Yogyakarta: Program
Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Soeratno, Siti Chamamah. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain. Jakarta: Balai
Pustaka
Surin, Bachtiar. 1991. Adz-Dzikraa: Terjemah dan Tafsir al-Qur'an dalam
Huruf
Arab dan Latin. Jilid 4. Bandung: Penerbit Angkasa

14

Anda mungkin juga menyukai