LOGIKA ANTROPOLOGI
NIM : 3183322001
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk
memenuhi tugas individu mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia ,yang di bimbing oleh
dosen yang bersangkutan.
Besar harapan saya semoga Critical Book Report ini dapat di terima dengan baik oleh
dosen yang bersangkutan,tidak lupa saya berterimakasih kepada bapak Daniel Harapan
Parlindungan Simanjuntak .sebagai dosen pengampu mata kuliah ini serta dukungan kedua
orangtua serta teman-teman yang sudah membantu dalam penyusunan Critical Book Report.
Besar harapan saya supaya mendapat masukan yang mendukung untuk makalah ini agar saya
dapat membuat makalah lebih baik kedepannya.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Excecutive Summary
Buku logika antropologi adalah suatu percakapan (Imajiner) mengenai dasar paradigma
yang merupakan salah satu buku yang membahas teori-teori dalam antropologi yang tidak
kurang biasa
Dalam buku ini pendekatan emik berarti bahwa peneliti dalam memahami kebudayaan
suatu masyarakat harus berdasar pada pemahaman, penafsiran, dan pemaknaan dari orang-
orang yang ditelitinya, bukan sepenuhnya berdasarkan subjektivitas peneliti semata. Inilah
juga yang menyebabkan berbagai teori dalam antropologi terus menerus mengalami
perkembangan yang pesat hingga saat ini. Perdebatan teori bukan hal yang buruk dalam
dunia ilmu pengetahuan. Justru perdebatan dan dialog antarteori me-rupakan upaya untuk
menghindari state of the art yang statis. Dialog dan saling koreksi antarteori tidak serta
merta bahwa sebuah pemikiran kemudian berakhir sama sekali. Kedudukan teori apapun
tetap relevan dalam merespon (untuk meng-analisis) situasi masa kini, meskipun dalam
perjalanannya suatu teori mengalami pasang surut dan perubahan di sana-sini. Pemahaman
mengenai suatu kebudayaan adalah isu intelektual yang lebih mengedepan-kan analisis,
teori, dan pengem-bangan teori
1
BAB II
PEMBAHASAN
Bricolage adalah jalinan konsep (yang sudah diketahui dan tersedia) yang
keseluruhan konsep tersebut membangun pengertian masyarakat dan
kebudayaan, maka dalam pengertian yang saya kemukakan lebih pada theory
building, yaitu proses menemukan keterkaitan explanatif, ketimbang theory
approval pada pengertian yang pertama.
Penulis mengatakan perdebatan terus terjadi tentang cara pandang (istilah yang
saya mudahkan dari istilah teori). Sebenarnya perdebatan cara pandang itu
positif, karena dapat memajukan dan mempertajam cara pandang dalam
menganalisis sesuatu. Kita dapat menggunakan contoh paradigm simbolisme
yang tumbuh dalam pemikikran antropologi pada akhir 1960an dan
berpengaruh besar hingga akhir 1970an, mengalami revisi substansial sehingga
mendorong lahirnya interpretivisme simbolik yang hingga kini tetap
berpengaruh besar tidak hanya terhadap antropologi tetapi juga terhadap
pemikiran post modernisme dalam ilmu-ilmu sosial.
Teori adalah abstraksi realitas empirik, yang dekat dengan kehidupan yang
nyata dari orang-orang yang dikaji. Tradisi yang membawa model ini
menimbulkan dua konsekwensi yang penting.
1. Pemantapan model atau teori yang ada, yang tentu saja mempertahankan
otoritas (tokoh) teori yang bersangkutan. Tokoh-tokoh besar seperti Emile
Durkheim, Bronislaw Malinowski, Edward Burnett Tylor, dan lain-lain.
2
2. Teori bisa terjebak ke dalam kondisi status quo, yaitu kondisi state-of-the-
art yang statis.
3
Menurut penulis buku para sarjana ilmu sosial kerap kali berpihak berlebihan
pada salah satu prinsip objektif vs subjektif, sehingga mereka terbelah menjadi
uda kubu yang tegas batasan-batasannya. Ilmu sosial, khususnya antropologi
membutuhkan pendekan yang memosisikan teori dan praktis secara bersamaan.
Kalau pun tedapat karakter dominan teori atau praktik, gejala ini bukanlah
akibat dikotomi melainkan penekanan kepetingan analisis semata-mata.
4
2. Setiap masyarakat (penduduk) harus menanggulangi (dengan prilaku atau
tindakan) masalah reproduksi menghindari peningkatan atau pengurangan
jumlah dan ukuran penduduk yang dapat mengganggu atau merusak
3. Setiap masyarakat (penduduk) harus bertindak untuk memelihara hubungan,
baik di antara kelompok unsur penyusun masyarakat tersebut, maupun
dengan masyarakat lainnya.
4. Dengan memandang penting bahasa dan proses simbolik (dalam alam jiwa)
manusia, kita dapat menyimpulkan adanya keberulangan (rekuransi)
universal dari perilaku produktif yang menuju kepada produk dan servis
etik, rekreasi, sprotif, dan estetik.
Konsep probabilitas frekwensi adalah konsep empiris. Namun karena konsep
frekwensi hanya dapat digunakan untuk suatu kelas atau rangkaian kejadian,
maka konsep ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan suatu kejadian khusus
semata-mata.
Kita juga perlu menggarisbawahi bahwa makna penting predis posisi universal
manusia ini sama sekali tidak hilang dari materialisme kebudayaan.
Materialism kebudayaan menekankan pentingnya pembedaan emik atau etik
secara ketat, karena eksistesi universal dari ekspresi maknanya`
5
dengan persoalan-persoalan metodologi sebagai cara berpikir teori meminjam
istilah Anda toalitas, percakapan tentang evolusi dan evolusionisme ini akan
tetap terbawa hadir dalam berbagai konteks bagian percakapan lain mengenai
struktur, fungsi, dan konflik yang dalam epistemology antropologi orang kerap
kali (bahkan selalu) memandangnya sebagai paradigm stuktural fungsionalisme.
6
f. Pembahasan Bab VI tentang Simbol-Struktur
Latar belakang intelektual tertentu yang mendorong terbentuknya pendekatan
symbol-stuktur itu, tidak semata-mata tentang cara kerja paradigma. Latar
belakang intelektual itu dapat diartikan sebagai posisi suatu paradigma yang
tidak sendirian, melainkan selal berada dan dipengaruhi oleh pemikiran yang
lain di lingkungannnya.
Krisis teori-teori sosial itu selalu terjadi, terlebih pada masa kini ketika kita
menyaksikan perubahan sosial budaya yang semakin cepat dan dahsyat.
Thomas Kuhn, kekuatan teori ilmu alam terletak pada kempuannya mengatasi
perdebatan metodologis yang tak habis-habisnya dalam mengembangkan
paradigma yang dimiliki bersama, yang digunakan untuk mebangun defenisi
dan prosedur.
Sebagian sarjana sosial tidak setuju pendapat Kuhn diberlakukan untuk
menjelaskan krisis dalam ilmu sosial, dengan cara menggunakan ekplanasi ilmu
alam.
Gregory Batheson (1972), mencoba menerapkan model teori sistem untuk
menganalisis masalah hubugan antara pikiran dan masyarakat. Fokus kunci
pendekatan Batheson adalah holisme yang berdasarkan metafora ekologi.
Ilmu sosial dianggap menglami krisis, jika artinya bisa juga kiris itu tidak ada
karena sifat relatif yang menjadi karakter dasar ilmu sosial mennyebabkan
disiplin ilmu pengetahuan ini tidak pernah mencapai tingkat kepastian seperti
ilmu-ilmu alam.
Pendekatan simbolisme interpratif memusatkan perhatian pada wujud konkret
makna kebudayaan, dalam teksturnya yang khusus dan kompleks, namun tanpa
terjerumus ke dalam historisisme atau relativisme kebudayaan yang klasik.
Munculnya pendekatan interpretif dalam filsafat dan ilmu sosial memberikan
alternatif baru, melepaskan diri dari pengaruh bawaan ilmu-ilmu alam dan
bergerak pada arah yang berbeda.
Geertz menegaskan bahwa argument kwantitatif sangat menjebak, bukan hanya
angka-angka yang tidak dapat dipercaya, banyak argument tersebut dibuat di
kantor-kantor administratif atau pihak-pihak lain lebih untuk tujuan retorika
ketibang analitik, tetapi kompleksitas besar dari institusi dalam komunitas lokal
7
Jawa yang historis mengenai ketidak setaraan di pedesaan yang didasarkan pada
pandangan sederhana tentang kepemilikan kerap kali menyesatkan.
8
consensus, yaitu “totalitas keyakinan dan sentimen yang rata-rata ditemukan
pada setiap warga suatu masyarakat” (Durkheym 1951).
Konteks fungsional otoritas adalah kepatuhan yang didorong oleh tugas, dan
sebaliknya kekuasaan berarti mobilisasi sumber daya untuk menghadapi
konsistensi, mendorong pihak yang lemah untuk mematuhi kemauan yang kuat,
yang tidak dipandang apsah oleh pihak yang lemah itu.
Penyebab terjadinya perubahan posisi teoritis ini pertama, dalam teori konflik
kekuasaan dipandang sebagai pariabel dependen, yang hadir di tengah
kepentingan yang bertentangan satu sama lain, yang tak dapat didamaikan.
Kedua, di pihak lain, berkaitan dengan posisi konflik dalam fungsionalisme,
pandangan dunia yang bersumber pada agama maupun sekuler ke dalam
perangkat status yang jelas tujuannya, yaitu mengamankan kesetiaan warga
masyarakat.
h. Pembahasan Bab VIII tentang The Last But Not The Least
Ketika mengakhiri seutu dalam suatu titik dalam proses yang panjang, perlu
kita kemukakan bahwa cara apa pun yang ditempuh untuk menyampaikan
pegetahuan teori tidak menjadi persoalan karena setiap ide yang kita
perbincangkan sebagian adalah tafsir.
Pernyataan Bruno Latour (2004), yang juga judul We have nevern been modern,
yang dapat diartikan bahwa selama masa lampau dan masa kini adalah
kesinambunga, maka sukar bagi kita untuk membagi fase peradaban manusia
sebagai klasik, premodern, modern, dan postmodern.
9
B. PEMBAHASAN DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian daftar pustaka, yang terdiri dari 14 halaman, sebagian besar berupa
referensi dari terbitan luar negri dengan berbahasa Inggis. Semua referensi itu
berupa buku cetak, tidak ada dari internet.
10
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Logika antropologi mengajari kita pada suatu fungsionalisme teori-teori dari suatu
pendapat ahli dengan memperbandingkan teori-teori dengan pendapat ahli lainnya.
B. REKOMENDASI
Di dalam buku ini terdapat pebahasan-pembahasan yang menyulitkan pembaca
untuk memahinya karena pembahasannya terlalu meluas. Sehingga buku ini dapat
mebosankan minat pembaca untuk membacanya.
11
IDENTITAS BUKU
Penerbit : Kencana
ISBN : 978-602-1186-13-8
12