Anda di halaman 1dari 15

CRITIKAL BOOK REPORT Skor Nilai:

LOGIKA ANTROPOLOGI

( Achmad Fedyani Saifuddin, 2016)

NAMA MAHASISWA : DANIEL KRISTOFFER SINURAYA

NIM : 3183322001

DOSEN PENGAMPU : DANIEL HARAPAN PARLINDUNGAN SIMANJUNTAK

MATA KULIAH : SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA

Universitas Negeri Medan

Fakultas Ilmu Sosial

Prodi Pendidikan Antroplogi

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk
memenuhi tugas individu mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia ,yang di bimbing oleh
dosen yang bersangkutan.

Besar harapan saya semoga Critical Book Report ini dapat di terima dengan baik oleh
dosen yang bersangkutan,tidak lupa saya berterimakasih kepada bapak Daniel Harapan
Parlindungan Simanjuntak .sebagai dosen pengampu mata kuliah ini serta dukungan kedua
orangtua serta teman-teman yang sudah membantu dalam penyusunan Critical Book Report.
Besar harapan saya supaya mendapat masukan yang mendukung untuk makalah ini agar saya
dapat membuat makalah lebih baik kedepannya.

Medan, 18 Maret 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Excecutive Summary .................................................................................................................. 1
BAB II..................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 2
A. PEMBAHASAN ISI BUKU ....................................................................................................... 2
B. PEMBAHASAN DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 10
BAB III ................................................................................................................................................. 11
PENUTUP ............................................................................................................................................ 11
A. KESIMPULAN ......................................................................................................................... 11
B. REKOMENDASI ..................................................................................................................... 11
IDENTITAS BUKU ............................................................................................................................. 12

ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Excecutive Summary
Buku logika antropologi adalah suatu percakapan (Imajiner) mengenai dasar paradigma
yang merupakan salah satu buku yang membahas teori-teori dalam antropologi yang tidak
kurang biasa

Dalam buku ini pendekatan emik berarti bahwa peneliti dalam memahami kebudayaan
suatu masyarakat harus berdasar pada pemahaman, penafsiran, dan pemaknaan dari orang-
orang yang ditelitinya, bukan sepenuhnya berdasarkan subjektivitas peneliti semata. Inilah
juga yang menyebabkan berbagai teori dalam antropologi terus menerus mengalami
perkembangan yang pesat hingga saat ini. Perdebatan teori bukan hal yang buruk dalam
dunia ilmu pengetahuan. Justru perdebatan dan dialog antarteori me-rupakan upaya untuk
menghindari state of the art yang statis. Dialog dan saling koreksi antarteori tidak serta
merta bahwa sebuah pemikiran kemudian berakhir sama sekali. Kedudukan teori apapun
tetap relevan dalam merespon (untuk meng-analisis) situasi masa kini, meskipun dalam
perjalanannya suatu teori mengalami pasang surut dan perubahan di sana-sini. Pemahaman
mengenai suatu kebudayaan adalah isu intelektual yang lebih mengedepan-kan analisis,
teori, dan pengem-bangan teori

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN ISI BUKU


a. Pembahasan Bab I tentang Bricoleur-Bricolage

Bricoleur menurut buku logika antropologi karangan Achmad Fedyani


Saifuddin mengatakan bahwa memosisikan pelaku (bricoleur) pada posisi
pertama karena pelaku (peniliti atau antropolog) adalah subjek yang
mengkonstruksi dalam proses induktif.

Bricolage adalah jalinan konsep (yang sudah diketahui dan tersedia) yang
keseluruhan konsep tersebut membangun pengertian masyarakat dan
kebudayaan, maka dalam pengertian yang saya kemukakan lebih pada theory
building, yaitu proses menemukan keterkaitan explanatif, ketimbang theory
approval pada pengertian yang pertama.

Penulis mengatakan perdebatan terus terjadi tentang cara pandang (istilah yang
saya mudahkan dari istilah teori). Sebenarnya perdebatan cara pandang itu
positif, karena dapat memajukan dan mempertajam cara pandang dalam
menganalisis sesuatu. Kita dapat menggunakan contoh paradigm simbolisme
yang tumbuh dalam pemikikran antropologi pada akhir 1960an dan
berpengaruh besar hingga akhir 1970an, mengalami revisi substansial sehingga
mendorong lahirnya interpretivisme simbolik yang hingga kini tetap
berpengaruh besar tidak hanya terhadap antropologi tetapi juga terhadap
pemikiran post modernisme dalam ilmu-ilmu sosial.
Teori adalah abstraksi realitas empirik, yang dekat dengan kehidupan yang
nyata dari orang-orang yang dikaji. Tradisi yang membawa model ini
menimbulkan dua konsekwensi yang penting.
1. Pemantapan model atau teori yang ada, yang tentu saja mempertahankan
otoritas (tokoh) teori yang bersangkutan. Tokoh-tokoh besar seperti Emile
Durkheim, Bronislaw Malinowski, Edward Burnett Tylor, dan lain-lain.
2
2. Teori bisa terjebak ke dalam kondisi status quo, yaitu kondisi state-of-the-
art yang statis.

Clifford Geertz (1973) yang mengusulkan pendekatan emik sebagai prinsip


prioritas dalam kajian antropologi kebudayaan, yakni bahwa tugas pertama
peneliti kebudayaan di lapangan penelitian adalah mencari tahu dan memahami
suatu kebudayaan berdasarkan pengetahuan, keyakinan, dan tafsiran orang-
orang yang ia teliti terlebih dahulu.

b. Pembahasan Bab II tentang Positivis-Relativis


Ilmu pengetahuan adalah suatu cara memperoleh atau mengumpulkan
pengetahuan. Kerentanan empiris (emphirical vulnerability) adalah kriteria
esensial dari ilmu pengetahuan, dan kriteria yang diterapkan apakah kajian
ilmiah dilaksanak di laboratorium atau di mana saja (Kuhn, 1978)
Para ahli filsafat ilmu pengetahuan yang menganut prinsip verstehen
berpendirian bahwa metode ilmu alam itu tidak dapat diterapkan kepada ilmu
sosial karena manusia tak seperti benda-benda fisik atau energy mengandung
kata-kata artificial dari makna (Rosenberg, 1988)
Isu orientasi paradigm ini penting dikemukakan untuk menggolongkan banyak
sekali teori dalam antropologi menjadi menjadi beberapa paradigma pokok,
karena setiap paradigm tersebut memancarkan kesamaan yang menonjol dari
teori yang berada dalam satu kategori. Mengikuti Pelto dan Pelto (1989), maka
suatu orentasi paradigma meliputi:
1. Wilayah konseptual di mana disiplin dianggap bekerja
2. Metodologi, termasuk desain penelitian, kriteria verifikasi, teknik-taknik
yang disukai, dan asumsi mengenai keseimbangan “seni” dan “ilmu
pengetahuan”
3. Falsafah manusia (pelaku)
4. Ruang lingkup pertanyaan yang dipandang apsah
5. Asumsi eksplisit atau implisit mengenai faktor-faktor “kunci” seperti
kekerabatan, agama, ekonomi, dan solidaritas sosial.

3
Menurut penulis buku para sarjana ilmu sosial kerap kali berpihak berlebihan
pada salah satu prinsip objektif vs subjektif, sehingga mereka terbelah menjadi
uda kubu yang tegas batasan-batasannya. Ilmu sosial, khususnya antropologi
membutuhkan pendekan yang memosisikan teori dan praktis secara bersamaan.
Kalau pun tedapat karakter dominan teori atau praktik, gejala ini bukanlah
akibat dikotomi melainkan penekanan kepetingan analisis semata-mata.

c. Pembahasan Bab III tentang Idealis-Materialis


Materi, Materialisme, dan Materialsme kebudayaan secara historis dapat
diposisikan secara berurutan menurut kepentingan paradigmanya. Yang paling
dasar atau arkaik adalah materi, yaitu semua substansi konkret maupun tidak
konkret yang berkaitan dengan, dan menjamin kehidupan manusia. Yang
konkrit adalah zat yang berwujud yang fisiknya dapat ditanggapi oleh indra
kita, sendangkan yang tidak konkrit zat yang dapat dirasakan efeknya meski
tidak dapat kita lihat secara kasat mata. Materialisme memandang dunia ini
adalah saling berkaitan dan keterhubungan atau interaksi objek-objek materi
dalam berbagai kondisi, baik kondisi tetap maupun bergerak. Kaum materialis
memandang kebudayaan manusia sebagai realitas konkret bersama-sama
dengan produk pikiran dan prilaku manusia.
Materialsme kebudayaan Harris memang dilandasi pemikiran Marx, tetapi
berbeda dari Marxisme, Harris sangat menganjurkan agar memprioritaskan
strategi penelitian yang berawal dari kajian mengenai basis (infrastruktur),
kemudian struktur, dan akhirnya suprastruktur.
Krader mengemukakan bahwa skema Marx yang terkenal mengenai
transormasi evolusioner masyarakat komunisme primitive ke masyarakat kelas
budak kuno ke feodalisme ke kapitalisme ke sosialisme ke komunisme
didasarkan pada perspektif Timur Tengah atau Eropa.
Haris memosisikan prinsip emik dan etik pada konteks pembedaan pikiran (ide)
dan prilaku (tindakan)
1. Setiap masyarakat harus menghadapi masalah-masalah produksi manusia
harus bertindak untuk memenuhi persyaratan minimal substensi

4
2. Setiap masyarakat (penduduk) harus menanggulangi (dengan prilaku atau
tindakan) masalah reproduksi menghindari peningkatan atau pengurangan
jumlah dan ukuran penduduk yang dapat mengganggu atau merusak
3. Setiap masyarakat (penduduk) harus bertindak untuk memelihara hubungan,
baik di antara kelompok unsur penyusun masyarakat tersebut, maupun
dengan masyarakat lainnya.
4. Dengan memandang penting bahasa dan proses simbolik (dalam alam jiwa)
manusia, kita dapat menyimpulkan adanya keberulangan (rekuransi)
universal dari perilaku produktif yang menuju kepada produk dan servis
etik, rekreasi, sprotif, dan estetik.
Konsep probabilitas frekwensi adalah konsep empiris. Namun karena konsep
frekwensi hanya dapat digunakan untuk suatu kelas atau rangkaian kejadian,
maka konsep ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan suatu kejadian khusus
semata-mata.
Kita juga perlu menggarisbawahi bahwa makna penting predis posisi universal
manusia ini sama sekali tidak hilang dari materialisme kebudayaan.
Materialism kebudayaan menekankan pentingnya pembedaan emik atau etik
secara ketat, karena eksistesi universal dari ekspresi maknanya`

d. Pembahasan Bab IV tentang Asal Usul


Ilmu sosial di Indonesia juga mengalami kecenderungan terbagi dua. Sebagai
pengikut arus pemikiran di dunia luas sana, bukan karena pemahaman konsisten
dan ketaatan kepada paradigma sebagai basis filosofi. Di Indonesia pada
dasarnya tidak memiliki tradisi ilmiah, kita lebih merupakan pengikut suatu
teori atau mazhab teori yang kita pandang lebih benar dari yang lain.
Menjadikan pemikiran ilmiah sosial Indonesia yang berkepribadian sendiri
adalah hal yang sangat sulit dilakukan, namun di pihak lain membiaa dari para
pemikirkan keragaman pemikiran yang tak berakar ibarat sumur tanpa dasar,
akan membuat ilmu sosial tidak akan bergerak ke mana-mana.
Evolusionisme memberikan pencerahan bagi pemahaman manusia tentang
dirinya sendiri, tetapi juga sekali gus mengundang kritik terutama dari para
pemikir teori yang hidup pada masa berikutnya, ketika mereka sudah bergelut

5
dengan persoalan-persoalan metodologi sebagai cara berpikir teori meminjam
istilah Anda toalitas, percakapan tentang evolusi dan evolusionisme ini akan
tetap terbawa hadir dalam berbagai konteks bagian percakapan lain mengenai
struktur, fungsi, dan konflik yang dalam epistemology antropologi orang kerap
kali (bahkan selalu) memandangnya sebagai paradigm stuktural fungsionalisme.

e. Pembahasan Bab V tentang Struktur-Fungsi


Entry point adalah suatu sudut pandang yang berisikan pendapat, argumentasi,
dan hipotesis yang dibangun oleh peneliti, yang juga sekaligus menunjukkan
keterbatasannya sebagai seorang manusia, karena tak seorang pun yang dapat
menggambarkan segala sesuatu secara lengkap.
Pemikiran fungsionalis awal ini dibangun pada awal abad ke-20 oleh Durkeim,
dan kemudian dikembangkan oleh Radcliffe-Brown. Keduanya dikenal sebagai
tokoh yang memusatkan perhatian pada masyarakat masa kini.
Evolusi biologi itu objektif, artinya kita sebagai peneliti hamper seratus persen
ialah orang luar yang menanggapi objek semata-mata dengan penilaian rasional
sebagai orang luar. Sedangkan evolusi sosial tidak bisa melepaskan diri dari
subjektifitas peneliti, karena manusia hidup di dalam masyrakat yang dikajinya
sendiri. Dalam evolusi sosial, kita dapat meninjau ke masa lampau dan
mempelajari arahnya, namun tak pernah yakin akan masa depan.
Organisasi sosial adalah ranah kajian yang sangat penting pada masa kini,
karena ranah ini mengakomodasi perubahan atau dinamika sosial.
Konsep organisasi sosial mengisyaratkan strategi, teknik, dan siasat sejumlah
orang untuk melakukan pengaturan diri sendiri dan orang lain dalam
menghadapi lingkungan yang berubah (semakin cepat).
Dalam proses pengaturan tersebut, mungkin orang berbenturan dengan struktur
aturan formal yang berada di luar mereka, atau mungkin mereka harus
bernegosiasi satu sama lain untuk membentuk suatu kesepakatan yang paling
masuk akal bagi kepentingan bersama.
Claude Levi-Strauss tokoh ini memahami struktur sosial pada tingkatan
abstraksi, suatu yang ideal, yang berada dalam suatu locus yang mendalam
dalam pikiran manusia, dan bukan yang nyata dalam masyarakat seperti
konsepsi Redclliff-Browns.

6
f. Pembahasan Bab VI tentang Simbol-Struktur
Latar belakang intelektual tertentu yang mendorong terbentuknya pendekatan
symbol-stuktur itu, tidak semata-mata tentang cara kerja paradigma. Latar
belakang intelektual itu dapat diartikan sebagai posisi suatu paradigma yang
tidak sendirian, melainkan selal berada dan dipengaruhi oleh pemikiran yang
lain di lingkungannnya.
Krisis teori-teori sosial itu selalu terjadi, terlebih pada masa kini ketika kita
menyaksikan perubahan sosial budaya yang semakin cepat dan dahsyat.
Thomas Kuhn, kekuatan teori ilmu alam terletak pada kempuannya mengatasi
perdebatan metodologis yang tak habis-habisnya dalam mengembangkan
paradigma yang dimiliki bersama, yang digunakan untuk mebangun defenisi
dan prosedur.
Sebagian sarjana sosial tidak setuju pendapat Kuhn diberlakukan untuk
menjelaskan krisis dalam ilmu sosial, dengan cara menggunakan ekplanasi ilmu
alam.
Gregory Batheson (1972), mencoba menerapkan model teori sistem untuk
menganalisis masalah hubugan antara pikiran dan masyarakat. Fokus kunci
pendekatan Batheson adalah holisme yang berdasarkan metafora ekologi.
Ilmu sosial dianggap menglami krisis, jika artinya bisa juga kiris itu tidak ada
karena sifat relatif yang menjadi karakter dasar ilmu sosial mennyebabkan
disiplin ilmu pengetahuan ini tidak pernah mencapai tingkat kepastian seperti
ilmu-ilmu alam.
Pendekatan simbolisme interpratif memusatkan perhatian pada wujud konkret
makna kebudayaan, dalam teksturnya yang khusus dan kompleks, namun tanpa
terjerumus ke dalam historisisme atau relativisme kebudayaan yang klasik.
Munculnya pendekatan interpretif dalam filsafat dan ilmu sosial memberikan
alternatif baru, melepaskan diri dari pengaruh bawaan ilmu-ilmu alam dan
bergerak pada arah yang berbeda.
Geertz menegaskan bahwa argument kwantitatif sangat menjebak, bukan hanya
angka-angka yang tidak dapat dipercaya, banyak argument tersebut dibuat di
kantor-kantor administratif atau pihak-pihak lain lebih untuk tujuan retorika
ketibang analitik, tetapi kompleksitas besar dari institusi dalam komunitas lokal

7
Jawa yang historis mengenai ketidak setaraan di pedesaan yang didasarkan pada
pandangan sederhana tentang kepemilikan kerap kali menyesatkan.

g. Pembahasan Bab VII tentang Konsensus-Konflik


Ada beberapa alasan yang perlu diungkapkan di sini. Pertama, kita
membutuhkan sebuah entry point “baru” ketika menghadapi isu perubahan
masyarakat dan kebudayaan yang semakin cepat pada masa kini. Ketik
perubahan yang cepat itu berlangsung, gejala yang muncul tidak hanya bersifat
positif, yaitu meningkatnya kehidupan masyarakat karena sukses mengadopsi
dan menyerap unsure-unsur kebudayaan yang baru memajukan, tetapi juga
munculnya jurang-jurang sosial budaya yang baru karena kecepatan dan
kemampuan mengadopsi yang berbeda-beda.
Kedua, perkembangan dalam cara berpikir teori sosial itu sendiri yang telah
membagi dua dirinya, yaitu cara pandang teori yang memusatkan perhatian
pada keteraturan sosial, dan yang memusatkan perhatian pada ketidak
teraturaturan sosial.
Ketiga, berdasarkan isu statik dan dinamik yang kerap kali dilekatkan orang
pada paradigma struktural fungsional dan paradigam materialisme, maka isu
konsensu ditambatkan orang pada paradigm strukutural fungsional, dan isu
konflik pada materialisme.
Pendekatan konflik muncul dan semakin penting dalam antropologi ketika
disiplin ilmu sosial ini menghadapi realitas perubahan yang semakin penting,
khususnya menjelang berakhirnya abad ke-20 dan memasuki abad ke-21.
Antropolog mulai berupaya menumbuhkan alternatif baru, dan salah satu yang
ditanggapi paling cepat yakni model konflik.
Emile Durkheym (1991), memandang tujuan dari tindakan moral yaitu
memelihara dan melestarikan masyarakat. Suatu tindakan moral harus
mengikuti aturan untuk memenuhi kepentingan masyarakat lebih dari pada
kepentingan pelakunya.
Konsep Durkheym yang tekenal yaitu conscience collective (kesadaran
kolektif), akan tetapi kesadaran kolektif ini tidak akan terwujud tanpa

8
consensus, yaitu “totalitas keyakinan dan sentimen yang rata-rata ditemukan
pada setiap warga suatu masyarakat” (Durkheym 1951).
Konteks fungsional otoritas adalah kepatuhan yang didorong oleh tugas, dan
sebaliknya kekuasaan berarti mobilisasi sumber daya untuk menghadapi
konsistensi, mendorong pihak yang lemah untuk mematuhi kemauan yang kuat,
yang tidak dipandang apsah oleh pihak yang lemah itu.
Penyebab terjadinya perubahan posisi teoritis ini pertama, dalam teori konflik
kekuasaan dipandang sebagai pariabel dependen, yang hadir di tengah
kepentingan yang bertentangan satu sama lain, yang tak dapat didamaikan.
Kedua, di pihak lain, berkaitan dengan posisi konflik dalam fungsionalisme,
pandangan dunia yang bersumber pada agama maupun sekuler ke dalam
perangkat status yang jelas tujuannya, yaitu mengamankan kesetiaan warga
masyarakat.

h. Pembahasan Bab VIII tentang The Last But Not The Least
Ketika mengakhiri seutu dalam suatu titik dalam proses yang panjang, perlu
kita kemukakan bahwa cara apa pun yang ditempuh untuk menyampaikan
pegetahuan teori tidak menjadi persoalan karena setiap ide yang kita
perbincangkan sebagian adalah tafsir.
Pernyataan Bruno Latour (2004), yang juga judul We have nevern been modern,
yang dapat diartikan bahwa selama masa lampau dan masa kini adalah
kesinambunga, maka sukar bagi kita untuk membagi fase peradaban manusia
sebagai klasik, premodern, modern, dan postmodern.

9
B. PEMBAHASAN DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian daftar pustaka, yang terdiri dari 14 halaman, sebagian besar berupa
referensi dari terbitan luar negri dengan berbahasa Inggis. Semua referensi itu
berupa buku cetak, tidak ada dari internet.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Logika antropologi mengajari kita pada suatu fungsionalisme teori-teori dari suatu
pendapat ahli dengan memperbandingkan teori-teori dengan pendapat ahli lainnya.

B. REKOMENDASI
Di dalam buku ini terdapat pebahasan-pembahasan yang menyulitkan pembaca
untuk memahinya karena pembahasannya terlalu meluas. Sehingga buku ini dapat
mebosankan minat pembaca untuk membacanya.

11
IDENTITAS BUKU

Judul : Logika Antropologi Edisi Pertama

Pengarang : Achmad Fedyani Saiffudin

Penerbit : Kencana

Kota Terbit : Jakarta

Cetakan : Kedua, Nopember 2016

ISBN : 978-602-1186-13-8

12

Anda mungkin juga menyukai