I. Pengantar
Mengawali tulisan ini sengaja dikutip ungkapan menarik dari sejarawan George
McTurnan Kahin dan Peter Carey -- semoga ini menginspirasi kita semua. Kahin adalah
ahli Indonesia dari Cornell University penulis buku klasik, Nationalism and Revolution in
Indonesia (1952) yang menyaksikan secara langsung Agresi Militer II yang memporak-
porandakan ibukota Yogyakarta. Sementara, Peter Carey, sejarawan asal Inggris yang
berpuluh-puluh tahun lamanya meneliti tentang Pangeran Diponegoro yang berkaitan
dengan Perang Jawa (1825-1830). Petikan kalimat di atas sangat penting direnungkan
dalam rangka merubah paradigma berpikir kita terhadap makna dan hakikat PDRI dalam
konteks pembelajaran sejarah Kurikulum 2013. Lebih lanjut, Peter Carey menulis:
“Adalah tugas genereasi muda untuk menghindari jangan sampai hal ini terjadi. Adalah tugas generasi
lebih tua yang sekarang ada dalam posisi-posisi kepemimpinan untuk menyediakan sumber daya duna
memastikan bahwa sejarah memiliki terhormat dalam kehidupan bangsa. Dalam zaman reformasi dan
pembaruan nasional saat ini, Indonesia yang sungguh-sungguh beradab adalah sebuah keniscayaan”.
Buku di atas merupakan versi ringkas mahakarya Peter Carey berjudul The Power of
Prophecity: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java 1785-1855 yang
diterbitkan oleh KITLV Press, Leiden, 2007.3 Betapa tidak, seorang sejarawan asing
menulis disertasi (buku) secara serius dan penuh minat dengan ketebalan kurang lebih
1.200 halaman(?) Upaya serupa, barangkali, hanya bisa ditandingi dengan penulisan
biografi Tan Malaka yang ditulis oleh sejarawan Harry A. Poeze, Verguisd en vergeten;
Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. (Dihujat dan
1
*) Makalah ini disampaikan dalam Dialog Sejarah Perjuangan Daerah Sumatera Barat dengan tema:
“Memaknai Hari Bela Negara Sebagai Proses Pembelajaran Sejarah”, pada tanggal 24-25 November 2014
yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Barat di Hotel Royal Denai,
Bukitinggi.
**) Penulis adalah Guru Sejarah dan Kepala SMA Semen Padang.
Kahin, “Beberapa Peristiwa dalam Karir Sjafruddin Prawiranegara”, dalam Sjafruddin Prawiranegara,
Penyelamat Republik, Jakarta: Panitia Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (2011).
2
Dipetik dari kalimat terakhir “Prakata” yang ditulis Peter Carey, Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro
(1785-1855), diterjemahkan oleh Th. Bambang Murtianto. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hlm. xiv.
3
Buku ini diterbitkan dengan judul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di
Jawa, 1785-1855, (Jakarta: KPG, 2012) oleh wartawan dan sejarawan senior, Parakitri T. Simbolon. Karena
teramat tebal menurut ukuran penerbitan buku Indonesia, buku ini kemudian dijadikan 3 jilid.
Dilupakan; Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 1945-1949) yang
berjumlah 2.000 halaman lebih.4
Di sini sengaja dikemukakan bagaimana besarnya perhatian para sarjana asing dengan
sejarah Indonesia, khususnya Sumatera Barat. Selain Harry A. Poeze tentang Tan Malaka,
kita juga tidak bisa membayangkan bagaimana hasrat Christine Dobbin5 dan Jeffrey A.
Hadler6 menguak tabir gelap gerakan paderi (kebangkitan Islam di Minangkabau) dan
perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat. Demikian pula apa dilakukan oleh
sejarawan Audrey Kahin dengan perjuangan rakyat Sumatera Barat di masa revolusi 1945-
1950;7 bahkan dilanjutkan dengan dinamika politik Sumatera Barat pada masa
pemberontakan daerah (PRRI) akhir tahun 1950-an dan masa Orde Baru (1965-1998).8
Lantas, bagaimana dengan kita? Bagaimana perhatian serta pemahaman kita dengan
sejarah daerah kita sendiri? Mampukah kita kelak mempertahankan dan meneruskan
sejarah dan nilai-nilai budaya luhur Minangkabau (Sumatera Barat) kepada generasi
berikutnya? Bagaimana dengan kondisi pembelajaran sejarah di sekolah? Bagaimana
dengan kemampuan guru (pengajar) kita di Sumatera Barat dengan materi sejarah lokal
daerahnya? Akankah kelak sejarah dan kebudayaan kita mampu menerjang derasnya
gelombang arus globalisasi sehingga kita percayakan saja dengan slogan adat kita: “ndak
lakang dek paneh, ndak lapuak dek hujan?”
4
Karya ini bukan saja bersifat biografis, melainkan rangkaian dinamika sejarah revolusi Indonesia secara
umum. Mengingat ketebalannya buku ini terbit 6 jilid: Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia,
diterbitkan secara bertahap oleh Yayasan Obor Indonesia. Mahakarya ini merupakan kelanjutan dari
disertasinya yang diterbitkan sebanyak 2 jilid: Pergulatan Menuju Republik 1897-1945, Jakarta: Pustaka
Utama Grafit (1988 dan 1999).
5
Lihat karyanya Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera tengah
1784-1847, Jakarta: INIS (1992).
6
Riset mendalam yang dilakukan Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam,
dan Kolonialisme di Minangkabau, (Jakarta: Freedom Institute, 2010).
7
Audrey Kahin Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-
1950 (Padang: MSI- Sumbar (ttp); Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti (1990).
8
Simpati demikian besar dari pasangan George McTurnan Kahin dan Audrey R. Kahin terhadap tokoh
Masjumi seperti Muhammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, terutama mengenai peristiwa PRRI
mendorong mereka menulis buku Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997); Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan
Politik Indonesia 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005); Karya Adrey Kahin yang baru terbit
adalah biografi politik Muhammad Natsir berjudul Islam, Nationalism and Democracy, A Political
Biography Muhammad Natsir, National University of Singapore (2012).
riwayat RI sudah berakhir, pada saat yang sama pemimpin-pemimpin RI lain (Mr.
Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Rakyat – satu-satunya menteri yang
berada di luar pulau Jawa saat itu – yang berada di Bukittinggi bersama pemimpin lokal
(Sumatera), berinisiatif mempertahaankan, menyelamatkan, dan melanjutkan “keberadaan”
RI tersebut.
Dalam hukum ketatanegaraan, legalitasnya juga sah sekalipun masih mengandung
konversial. Pertama, jauh sebelum peristiwa Agresi Militer II (19 Desember 1948) yang
memporak-porandakan Yogyakarta, Bukittinggi sudah dipersiapkan sebagai ibukota
alternatif jika Yogya tidak mampu menjalankan fungsinya. Hal ini dapat dilihat dari
ditetapkannya Bukittinggi sebagai istana Wakil Presiden (sebenarnya lebih tepat disebut
dengan PM Moh. Hatta), dan atas perintah Bung Hatta, Mr. Sjafruddin Prawiranegara tetap
menjaga pos dan berkantor di “Gedung Tri Arga”. Lagipula setelah Kota Medan dan
Pematang Siantar tidak memungkinkan lagi sebagai ibukota Propinsi Sumatera, pemimpin-
pemimpin Sumatera nyaris sudah berkumpul di Bukittinggi. Kedua, secara yuridis,
sebelum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta bersama pemimpin RI
lainnya ditangkap, rapat kabinet darurat sempat dilakukan dan diputuskan dan memberi
mandat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran Rakyat) untuk
mendirikan pemerintahan darurat. Sekalipun menurut pengakuan Mr. Sjafruddin
Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi bahwa “mandat” tersebut tidak pernah
diterima; dan mereka mendirikan PDRI merupakan atas inisiatif sendiri dengan pemimpin
Sumatera, namun dengan proses berdiri dan diproklamirkannya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Halaban pada 22 Desember 1948 adalah merupakan sebuah
“peristiwa kebetulan” yang mengandung makna dan insting perjuangan yang sama.
Lagipula, pemimpin-pemimpin PDRI menyadari bahwa keberadaan mereka adalah
melanjutkan, mempertahankan dan menyelamatkan kerlangsungan pemerintah RI, bukan
untuk menggantikannya. Hal ini terlihat bahwa pimpinan PDRI tidak menyebutnya sebagai
“presiden”, melainkan “ketua”, sekalipun memiliki struktur kabinet secara lengkap.
Dalam sebuah tulisan inmemorium-nya, Kahin menulis:
“Perdana Menteri Hatta telah pergi ke Bukittinggi tidak lama menjelang aksi militer kedua,
dan dalam menanti-nantikan serangan itu telah bersiap-siap untuk mendirikan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di sana jika Belanda menyerang Yogyakarta. Ia menunjuk
Menteri Perekonomiannya Sjafruddin Prawiranegara untuk mengepalai pemerintahan jika hal
tersebut terjadi. Sjafruddin menentap di Bukittinggi sesudah Hatta kembali ke ibukota
Republik Indonesia. Karena serangan Belanda telah terjadi lebih lekas dari yang diduga, maka
tidaklah ada waktu untuk instruksi-intruksi lebih lanjut dari Yogyakarta, dan karena
perebutannya begitu cepat yang tak diduga-duga, maka pedoman satu-satunya bagi Sjafruddin
adalah mandat samar-samar yang ditinggalkan Hatta padanya.” 9
Demikian penting dan besarnya peranan PDRI, dalam sejarah dan politik Indonesia,
namun peristiwa tersebut sangat minim ditemukan dalam buku-buku sejarah, baik yang
ditulis para sejarawan asing maupun sejarawan Indonesia. George McTurnan Kahin dalam
Nationalism and Revolution in Indonesia (1952) yang sudah menjadi karya klasik tentang
9
Kahin, “Beberapa Peristiwa dalam Karir Sjafruddin Prawiranegara” (2011), hal. 4-5.
revolusi Indonesia sama sekali tidak menyentuh soal pemerintah darurat yang dipimpin
Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Hal yang sama juga diikuti oleh Anthony J.S. Reid dalam
Revolusi Nasional Indonesia (1996), M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern
1200-2008 (2008), Adrian Vickers dalam Sejarah Indonesia Modern (2011), dan penulis
asing lain. Bahkan Michael Wood dalam Sejarah Resmi Indonesia Modern: Versi Orde
Baru dan Penantangnya, Yogyakarta: Ombak (2013) dengan serta-merta mengutip
pendapat Nugroho Notosusanto seraya menafsirkan peristiwa tersebut dengan keliru:
“….Belanda akhirnya menyerang Yogyakarta di Desember 1948. Dalam serangan itu mereka
menangkap banyak pemimpin sipil termasuk Sukarno dan Hatta. Sementara Republik
Indonesia memindahkan ibu kotanya ke Bukittinggi di Sumatra, perjuangan efektif yang
sebenarnya adalah perjuangan bersenjata, yang diteruskan di bawah pimpinan Jenderal
Sudirman.” (hlm. 159)
Para penulis sejarah yang berasal dari Indonesia juga tidak luput dengan hal yang
sama. Susanto Tirtoprodjo, misalnya, dalam Sejarah Revolusi Indonesia (1963) samasekali
tidak menyebut PDRI satu kalimatpun. Demikian juga halnya buku Sejarah Nasional
Indonesia (SNI)10 yang berjumlah 6 jilid – kemudian menjadi buku “babon” (textbook) di
perguruan tinggi (kemudian diringkas menjadi 3 jilid buku pelajaran di SLTP dan SLTA –
memuat masalah PDRI secara ringkas dan minim sekali. Dalam jilid VI dengan topik
“Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1942-1984)” (Editor) Nugroho
Notosusanto memuat peristiwa PDRI dalam tiga kalimat saja. Pertama, “…tetapi
sebelumnya, pemerintah telah memberikan mandat kepada Menteri Sjafruddin
Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk membentuk dan memimpin Pemerintah
Darurat Republik Indonesia” (hal. 161). Kedua, “….sementara itu Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, pemimpin Pemerintah Darurat RI menyatakan setuju terhadap pernyataan
Mr. Moh. Roem dalam perundingan menghadapi delegasi Belanda” (hal. 165). Dan, ketiga,
“….pada kesempatan itu Mr. Sjafruddin mengembalikan mandatnya kepada Wakil
Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta.” (hal. 169).
Sementara, Soekarno sendiri dalam sebuah autobiografinya yang sering dikutip,
menulis tentang PDRI hanya sekilas dan samar-samar.
“Sebagaimana rencana kita dalam keadaan darurat seperti ini, maka pemerintahan sementara
Republik dipindahkan ke Sumatera.
…. kami berhasil mengirimkan dua buah telegram. Satu ke Sumatera, menyerahkan
kekuasaan penuh untuk membentuk Pemerintah Darurat. Yang satu lagi ke New Delhi,
tempat kedutaan kami yang terdekat, dengan instruksi supaya mengadakan hubungan dengan
pemerintah darurat di Sumatera.”11
Tampilnya para sejarawan, asal Sumatera Barat di pentas nasional telah turut
mewarnai dan berkontribusi dalam penulisan sejarah nasional versi baru Indonesia Dalam
Arus Sejarah (2012) sebanyak 8 jilid dan 1 jilid Faktaneka dengan rata ketebalan antara
10
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta:
Balai Pustaka (1993). Buku ini kemudian direvisi ulang dan diterbitkan dalam bentuk Edisi Pemutakhiran
pada tahun 2008 dengan Editor Umum Pemutakhiran R.P. Soejono dan R.Z. Lerissa.
11
Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: CV Haji Masagung (188),
hlm. 388
400-600 halaman, dengan Editor Umum Prof. Dr. Taufik Abdullah (sejarawan LIPI asal
Sumatera Barat dan Prof. Dr. Adrian B. Lapian). Dari 8 jilid jumlah keseluruhan, 2 jilid
dieditor oleh sejarawan asal Sumatera Barat, yakni Prof. Dr. Azyumardi Azra (Jilid 3,
Kedatangan dan Peradaban Islam) bersama dengan Dr. Jajat Burhanuddin, dan Prof. Dr.
Mestika Zed (Jilid 6, Perang dan Revolusi) bersama Dr. Mukhlis PaEni. Belum lagi
menyangkut kontribusi dan kedalaman materi kajian, Taufik Abdullah, Mestika Zed, dan
Gusti Asnan, dengan original kajiannya telah menguak kedalaman materi kupasan sejarah
yang selama ini belum ditemukan dalam karya sejarah sebelumnya. Dalam artian,
bagaimana “trio-sejarawan” asal Minang ini (Taufik Abdullah, Mestika Zed, dan Gusti
Asnan) mengkaji dan mengupas peristiwa sejarah (lokal) Sumatera Barat-Minangkabau
dalam perspektif nasional. Jika narasi sejarah persentuhan bangsa asing terhadap Sumatera
yang kita kenal selama ini adalah melalui Pantai Timur Sumatera (Selat Melaka), Prof.
Gusti Asnan justru mengemukakan bahwa peranan Pantai Barat Sumatera juga tidak kalah
pentingnya, serta menawarkan ikon sejarah baru, “peradaban maritim” di Indonesia.
“Pemberon-takan Anti-Belasting di Sumatera Barat”, yang ditulis Taufik Abdullah & Gusti
Asnan, juga mewakili narasi sejarah pemberontakan rakyat terhadap wajib bayar pajak
yang diberlakukan pemerintah kolonial Belanda akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Selanjutnya, wajah revolusi Indonesia dalam berbagai aspek, sebagaimana yang
digambarkan oleh Mestika Zed (sebagai kapasitas editor Jilid 6), secara tidak langsung
banyak melukiskan wajah revolusi di Sumatera Barat.
Dalam sebuah artikel sub bab yang berjudul: “Dari Hasrat ‘Kemajuan’ Ke
Pembentukan Bangsa”, sejarawan Taufik Abdullah12, memaparkan dengan cukup menarik
bagaimana gambaran dan kondisi sosial masyarakat Sumatera Barat yang berhasrat menuju
ke arah “kemajuan” akibat tekanan dari penguasa kolonial Belanda awal abad ke-20.
Perubahan orientasi politik kolonial setelah diberlakukannya Politik Etis, tumbuhnya
sekolah-sekolah yang kelak melahirkan kaum elit lokal (seterusnya elit nasional), tumbuh
berkembangnya pers, lahirnya penulis-sastrawan yang berorientasi ke arah “kemajuan
bangsa”, dan perkembangan lain di Indonesia, digambarkan oleh Taufik Abdullah secara
memukau yang mengambil fakta-fakta sejarah lokal Sumatera Barat dalam perspektif
nasional (Indonesia). Tak dapat dipungkiri, misalnya, bagaimana dengan narasi yang
cukup menarik dan analisa yang tajam, Taufik Abdullah, mengupas perubahan sosial dan
struktur masyarakat Indonesia di era peralihan – dari abad ke-19 ke abad ke-20 atau dari
perjuangan bersifat lokal-kedaerahan (fisik/perang) ke perjuangan bersifat nasional
(intelektual/ organisasi) – dengan mengangkat sosok tokoh pers Dt. Sutan Maharadja
sebagai simbol kultural kebangkitan masyarakat Minangkabau menuju era kemajuan. Dt.
Maharadja merupakan tokoh elit tradisional dan tokoh pers yang menjadi penengah dari
konflik sosial antara kaum adat dan kaum agama pasca Perang Paderi di Minangkabau. Di
sini Taufik Abdullah seakan menyodorkan bahwa tokoh elit tradisional Minangkabau
merupakan representasi kebangkitan elit-elit tradisional daerah-daerah lain di Indonesia
menuju terbentuknya atau tumbuhnya kesadaran nasional di Indonesia.
12
Taufik Abdullah & A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid 5, Masa
Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hlm. 63-97
Menyangkut tentang PDRI, dalam buku Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 6
Perang dan Revolusi memuat 1 bab khusus bertajuk “Pemerintah Darurat Republik
Indonesia: Republik Dalam Keadaan Darurat” (413-459) yang ditulis Prof. Dr. Mestika
Zed. Begitu besarnya peran dan pengaruh Mestika Zed selaku pakar revolusi dan editor
jilid 6 turut mewarnai wajah dan konstruksi jilid tersebut. Hal ini terlihat dari 13 bab isi
keseluruhan, 6 bab diantaranya ditulis oleh Mestika Zed, yakni: “Perjuangan dan
Diplomasi” (Bab 6); “Dinamika Internal Republik” (Bab 7); “Aspek Sosial Ekonomi
Zaman Revolusi” (Bab 8); “Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Republik Dalam
Keadaan Darurat” (Bab 10); “Roem-Roiyen Menuju Yogya Kembali” (Bab 12); dan
“KMB dan Penyerahan Kedaulatan” (Bab 13).
Narasi di atas menggambarkan betapa kaya dan berlimpahnya materi “sejarah lokal”
– sejarah daerah Sumatera Barat/Minangkabau – bisa dimanfaatkan dalam pembelajaran
sejarah. Realitas ini tentu saja bukan bermaksud “membesar-besarkan” peristiwa sejarah
lokal (Sumatera Barat) dengan peran aktif tokoh pemimpin asal Minangkabau; dan segi
lain mengurangi atau menihilkan peran etnis lain di pentas nasional. Misalnya, Kerajaan
Melayu-Minangkabau yang berkedudukan di Pagaruyung (pedalaman Sumatera Barat)
memiliki posisi dan kedudukan terhormat di beberapa kerajaan-kerajaan kecil di Sumatera.
Sebuah kerajaan Batak di Silindung, misalnya, sangat menghormati kerajaan Minangkabau
dan menganggap Sultan sebagai penguasa negeri itu. Bahkan dalam hal kekuasaan mereka
mengganggap lebih tinggi dari kepala suku Batak, di mana perintah sesederhana apapun
dari Sultan akan segera dilaksanakan dengan penuh kepatuhan.13
14
Kemendikbud, Sejarah Indonesia, Jakarta (2013). Buku ini dikerjakan oleh Tim Penulis: Restu
Gunawan, Sardiman AM., Amurwani Dwi Lestariningsih, Mestika Zed, Wahdini Purba, Wasino, Agus
Mulyana, dengan penyelia dari BNSP Prof Dr. Dadang Supardan. Sebenarnya buku teks Sejarah Indonesia
Kelas X ini hanya dikerjakan 3 tiga orang (Restu Gunawan [sejarawan dari Kemendikbud], Amurwani Dwi
Lestariningsih [sejarawan dari Kementerian Parawisata dan Kebudayaan] dan saya sendiri dengan pengarah
Prof. Dr. Mestika Zed, M.A. [sejaran dari Universitas Negeri Padang]. Naskah itu kemudian direvisi oleh Dr.
Sardiman AM [sejawan dari Universitas Negeri Yogyakarta].
d. Mengembangkan kemampuan berpikir sejarah (historical thinking), ketrampilan sejarah
(historical skills), dan wawasan terhadap isu sejarah (historical issues), serta
menerapkan kemampuan, ketrampilan dan wawasan tersebut dalam kehidupan masa kini
e. Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan
karakter diri, masyarakat dan bangsa.
f. Menanamkan sikap berorientasi kepada masa kini dan masa depan.
g. Memahami dan mampu menangani isu-isu kontroversial untuk mengkaji permasalahan
yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.
h. Mengembangkan pemahaman internasional dalam menelaah fenomena aktual dan
global.
Dengan perubahan tujuan ini maka berbagai kemampuan yang seharusnya dimiliki
peserta didik dalam pembelajaran sejarah. Perubahan paradigma ini diharapkan mampu
memberikan kesan dan kenyataan bahwa pendidikan sejarah yang selama ini terfokus pada
kemampuan menghafal fakta dan peristiwa berubah menjadi mata pelajaran yang mampu
memberikan kemampuan, sebagaimana yang dikemukan pakar pendidikan sejarah, Sam
Wineburg, “menghubungkan masa lampau dengan masa kini dan masa yang akan
datang.”15
Fakta sejarah telah membuktikan bagaimana masyarakat Minang pada abad ke-19
dan awal abad ke-20 telah memanfaatkan kebijakan yang ditempuh Belanda dalam
memberikan peluang menikmati pendidikan, sekalipun sebenarnya tujuan awalnya adalah
demi kepentingan kolonial. Elizabeth E. Graves18 menggambarkan bagaimana cikal bakal
prestasi orang Minangkabau terletak pada cara mereka memberikan tanggapan terhadap
kehadiran kekuasaan kolonial Belanda. Ketika kesempatan memperoleh pendidikan yang
diprioritaskan untuk keluarga kaum elit lokal kurang diminati, akhirnya kesempatan yang
kosong segera diisi oleh para keluarga biasa. Kelak di kemudian hari, mereka inilah yang
terjun ke dunia pergerakan (perjuangan kemerdekaan).
Graves menegaskan lebih lanjut alasan-alasan mengapa orang Minangkabau bisa maju
di bidang pendidikan haruslah dicarikan dalam masyarakat tradisional. Kasus ini
menunjukkan betapa prakarsa setempat, minat dan sebagian didukung oleh sistem
sosialnya, telah memainkan peran yang demikian penting dalam menentukan bagaimana
masyarakat Minangkabau menanggapi keadaan yang sedang berubah. Dalam akhir
kajiannya, Graves menulis: “Sebagai kelompok masyarakat yang kecil dan lemah, mereka
tidak hanya berhasil menghindar agar tidak ditelan oleh kelompok yang lebih kuat dan
berkuasa, tetapi mereka juga mampu memanfaatkan kekuasaan penjajah untuk kekuasaan
si terjajah..... Ketika rezim Belanda mulai goyah dan munculnya kesempatan baru, orang
Minangkabau yang pragmatik ini menjadi orang pertama meloncat meninggalkan kapal
kolonial yang tenggelam.”
18
Elizabeth. E. Graves. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda
Abad XI/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
V. Penutup
Banyak hal seharusnya yang dapat diupayakan para guru dalam pembelajaran sejarah
Kurikulum 2013, terutama menyangkut peristiwa sejarah di daerahnya sendiri, seperti
masalah PDRI. Sejumlah peristiwa sejarah lokal Sumatera Barat bisa diangkat dan mampu
melahirkan “kebanggan historis” dan “kepuasan kultural” di kalangan peserta didik. Kita
tentunya sama-sama memahami bagaimana peran yang disumbangkan para tokoh elit
nasional asal Minangkabau terhadap kebangkitan dan berdirinya Republik Indonesia.
Sekedar menyebut sejumlah tokoh: Bung Hatta (wakil presiden & perdana menteri), Sutan
Sjahrir (perdana menteri), Tan Malaka (tokoh revolusioner), H. Agus Salim (diplomat dan
menteri luar negeri), Muhammad Yamin (sasterawan, sejarawan, pencetus Sumpah
Pemuda dan pernah menjabat sebagai menteri pengajaran), Muhammad Natsir (tokoh
Islam, dan pernah menjabat perdana menteri, tokoh yang berperan dalam kembalinya
negeri ini ke NKRI), Ahmad Khatib (tokoh gerakan modernis Islam dan pernah menjadi
Imam Besar ‘mazhaf Syafi’i’ di Mekkah; sederet tokoh pendidik, seperti: Haji Abdul
Karim Amrullah (ayah Bunya Hamka), Syaikh Abdullah Ahmad, Syaikh Ibrahim Musa,
Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Rahmah El-Yunisiah.
Posisi mereka bukan saja sekedar tampil di panggung perjuangan, bahkan banyak diantara
mereka menjadi “posisi kunci” yang menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Memahami fakta sejarah tersebut tentunya tidak terlalu berlebihan apa yang
dikemukakan oleh seorang komentator asal Amerika, W.A. Hanna dalam sebuah artikelnya
“The Role of the Minangkabau in Contemporary Indonesia” (1959) bahwa:
“Daerah Minangkabau, tempat tinggal kira-kira 2,5 persen seluruh penduduk Indonesia…...,
menurut perkiraan konservatif telah menghasilkan 25 sampai 30 persen dari seluruh pemimpin
intelektual utama Indonesia abad ini. Sebuah desa kecil di Minangkabau sendiri, Kota Gedang,
menghasilkan mantan Perdana Menteri Syahrir, dan mantan Menteri Luarnegeri Haji Agus
Salim (1884-1954), dan sedikitnya selusin tokoh-tokoh terkenal dalam pentas nasional. Kota
Bukittinggi di dekatnya menghasilkan, di antara banyak lainnya, mantan Wakil Presiden Hatta,
dan mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir. Dari daerah sekitarnya muncul prosentase
tinggi, kalau tidak mayoritas mutlak, dokter dan hakim terkemuka di Indonesia – golongan
professional yang menjadi pemimpin revolusioner nasional….. Bahkan tokoh Komunis bangsa
ini yang terkenal, Tan Malaka (w. 1949?), adalah seorang putra Minangkabau….” 19
Sejarawan Audrey Kahin menyebutkan bahwa Sumatera Barat merupakan “garda
depan revolusi” (88-89) atau “pos terdepan republik” (Kahin, 1990: 150-179),20 terutama
19
Lihat petikan artikel ini yang sengaja dikutip oleh Christine Dobbin dalam buku Kebangkitan Islam
Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera tengah 1784-1847 (Jakarta: INIS, 1992), hal.230-
231.
20
Lihat artikel menarik Audrey Kahin, “Sumatera Barat: Pos Terdepan Republik” dalam Pergolakan
Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal. 150-179. Menurut Audrey
Kahin bahwa elit pemimpin Sumatera Barat, sekalipun memiliki kebebasan yang demikian luas, namun tetap
mampu memberikan loyalitas yang tinggi terhadap keputusan-keputusan pemerintah pusat; sekalipun dalam
keadaan-keadaan tertentu sering mengecewakan dan menyakitkan. Bahkan, menurutnya, Sumatera Barat di
era revolusi (1945-1950) dan pasca revolusi (1950-1965), “Sumatera Barat telah mempertaruhkan perjuangan
lokal dalam konteks nasional dan akhirnya berhasil; dan menyadari bahwa perjuangan mereka merupakan
bagian dari perjuangan nasional.” (tentang ini lihat bukunya Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat
dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-1950 (Padang: MSI-Cabang Sumatera Barat (tanpa tahun penerbit).
setelah Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948), di mana pusat pemerintahan RI
kemudian dipindahkan ke Bukittinggi. Roda pemerintahan Republik kemudian dijalankan
oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Mr. Sjafruddin
Prawiranegara bersama tokoh pemimpin asal Sumatera. 21 Begitu besarnya jasa dan
“pertaruhan sejarah” yang diemban daerah ini dan para elit politik asal Sumatera Barat
kemudian mendorong pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudono,
menetapkan tanggal 19 Desember sebagai hari besar nasional sebagai “Hari Bela Negara”
yang diperingati setiap tahunnya. Sekedar untuk diketahui bahwa “Hari Bela Negara”
merupakan satu-satunya Hari Besar Nasional yang mengambil event dan peristiwa sejarah
di luar Pulau Jawa (?)
Dalam bagian akhir makalah ini saya ingin mengajak kita semua merenungkan
kembali dua peryataan yang dikutip pada bagian awal dan akhir tulisan ini. Di awal. Peter
Carey menegaskan: “Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri,” tulis
Peter Carey, “Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk
selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya
dan akan ke mana mereka pergi.. Adalah tugas genereasi muda untuk menghindari jangan
sampai hal ini terjadi. Adalah tugas generasi lebih tua yang sekarang ada dalam posisi-
posisi kepemimpinan untuk menyediakan sumber daya duna memastikan bahwa sejarah
memiliki terhormat dalam kehidupan bangsa. Dalam zaman reformasi dan pembaruan
nasional saat ini, Indonesia yang sungguh-sungguh beradab adalah sebuah keniscayaan”.
Seyogianya kita harus terhindar dari ungkapan sarkastis Voltaire, filosof asal Prancis
yang berkata: “Satu-satunya yang dapat dipelajari dari sejarah adalah bahwa orang tidak
pernah belajar dari sejarah.” 22 Semoga kita terhindar dari adagium ini.***
21
Kajian konprehensif mengenai PDRI lihat Mestika Zed, Somewhere in The Jungle: Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1997). Lihat juga Mestika Zed dan Muklis PaEni (Editor Jilid 6), Perang dan Revolusi dalam Taufik
Abdullah dan A.B. Lapian (Editor Umum), Indonesia Dalam Arus Sejarah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2012), hal. 319-567.
22
Ungkapan sarkastis Voltaire, ini sengaja dikutip oleh sejarawan Taufik Abdullah dalam sebuah
makalah berjudul “PDRI, Kesadaran Sejarah, dan Masa Kini”, yang disajikan dalam Seminar Nasional
Sehari “Meninjau Kembali PDRI dalam Sejarah Penulisan Sejarah Nasional”, Fakultas Sastra Universitas
Andalas, 26 Juli 2006. Makalah ini kemudian dimuat kembali dalam Jurnal Sejarah, No. 13 Tahun 2007,
hlm. 13-27.