DI MINANGKABAU
Haji Misk in
"Maka sekira-kira empat tahun lamanya mendirikan agama itu,
digerak¬kan Allah datanglah Tuanku Haji Miskin di negeri Mekkah
Medinah. Kemudian sempurna hajinya, ia mendapat ke negeri Raul
Tebal, sebab ada masa dahulu sebelum ia pergi haji adalah ia diam
pada negeri itu, karena ia mengambil ilmu daripada saya punya bapak
masa dahulunya. Maka daripada karena banyak mendengar khabar
dari pada hal peker¬jaan orang Mekkah Medinah, bertambah-
tambahlah berahi hati men¬dirikan agama Allah dan Rasulullah dan
bersungguh-sungguhlah orang mendirikan sembahyang, hingga
sempurna jemaat empat puluh orang. Maka telah lama sedikit
antaranya pulanglah Tuanku Haji Miskin ke negeri Pandai Sikat, dan
bersungguh-sungguh is mendirikan agama serta ia perbaiki tempat
adanya. Maka terlebih sangat pulalah masyhur pe¬kerjaan Tuanku
Haji Miskin dan banyaklah orang mendirikan agama pada barang
mana negeri adanya. Maka dari pada mula-mula pulang Tvilnku Haji
Miskin di negeri Mekkah Medinah sehingga orang ketam¬bahan
banyak, habis sembilan tahun qamariyyah lamanya kemudian. Maka
berpindahlah Tuanku Haji Miskin kepada Luhak Lima puluh, telah ia
mengambil tempat di dalam masjid Sungai Lindai namanya dalam
negeri Air Terbit jua adanya, serta is bersungguh-sungguh
men¬dirikan agama Allah dan agama Rasulullah." (hal. 13 — 14).
Metode dakwah yang lunak menjadi Metode Keras sampai
Perang,
Dalam hikayat seterusnya, Jalaluddin menguraikan kegagalan
dakwah melalui metode diskusi dan anjuran. Ternyata golongan yang
menentang ulama akhirnya menghancurkan masjid dan madrasah
serta terjadi perdebatan antara para ulama mengenai hukum
pembelaan agama dengan kekuatan sen¬jata. Dalam kajian sejarah
diberikan gambaran yang sangat hidup oleh Ja¬laluddin. Tetapi di
sini tampak jelas, bahwa jalan kekerasan menurut para ulama tidak
holeh dipakai sebagai jalan pertama. Kekerasan hanya diperguna¬kan
sebagai pembelaan, sekurang-kurangnya menurut pendapat orang
mo¬derat ini.
"Adanya pihak kepada saya Faqih Saqhir dari pada sangat rindu
hati kepada bertambah-tamhah agama serta sangat suka sebab
bertambah¬tambah kaum, itupun terbitlah dalam fikir hati saya
hendak menegah¬kan orang menyabung dan minum tuak juga dan
sekalian pekerjaan yang tidak dihalalkan Allah din Rasulullah itupun
banyaklah kelahi dan bantah dari pada sate hari kepada suatu hari,
dari pada satu bulan,
kiri dan ke kanan, barang mana days saya dayakan jua masjid nan
run- tub, janganlah tuan hihakan negeri akan binasa. Inilah tandanya
insya¬Allah ta'ala dengan perang ju a kita sudahi nan patutnya".
Setelah itupun saya bicarakan jua kepada barang slap a-siapa
orang nan mau memakai agama Allah dan agama Rasulullah. Maka
telah lama antaranya itupun Tuanku nan Tuo memotong kerbau dan
jawi, sekira¬kira dua belas ekor banyaknya. Telah ia mernanggil
ruanku-tuanku dan p enghulu -penghulu yang k ep ala-k ep ala yang
ada k el il ng negeri itu, d ari¬pada ia membicarakan peketjaan agama
jua adanya. Maka lama sedikit antaranya adalah orang mendirikan
gelanggang dalam negeri Bukit Betabuh namanya. Pada masa itu
Tuanku nan Tuo menghimpunkan segala manku-tuanku dan
penghulu-penghulu ialah hendak menegah¬kan gelanggang itu, tetapi
dengan bicara saja hanya.
Maka ketika berhimpun tuanku-tuanku dan penghulu-penghulu
hen¬dak mufakat, datanglah segala hulubalang serta orang setenggar
dan tuanku-tuanku lari semuanya, karena tidak mungkin ditolakkan,
me¬lainkan dengan memasang bedil dan senapan. Maka saya Faqih
Saghir bsrbicara sekira-kira enam orang : "Jikalau tidak kita jadikan
perang sekarang ini juga, tidaklah habis main kita yang terdahulu,
laIu kepada anak cucu kita dan sampallah habis larangan dan
pegangan. Baiklah kita pasang jua sekarang : barangkali ia luka dan
mati akan balas masjid kita nan runt-uh ketika itu." Saya, Faqih
Saghir memasang setenggar adanya digerakkan Allah sampailah luka
orang Bukit Betabuh, lalu kepada mati dan dipotong orang pula
seorang yang lainny-a dan sem¬pu rnalah jadi perang sehari itu " (hal.
20 — 23).
Dalam hikayat ini tampak bahwa sayap 'keras' dari golongan
ulama mempergunakan senjata ranpa kebijaksanaan yang tepat.
Tuanku nan Tuo, disokong oleh Jalaluddin, menentang penyelesaian
melalui kekerasan ini. Mereka juga menentang usaha pembakaran
desa selama di sana masih ada orang mukmin, menentang
pernenggalan/pengrusakan tubuh musuh yang mati dalam perang,
serta menentang pengambilan wanita musuh sebagai selir.
Hikayat Jalaluddin pernah diterbitkan oleh Meursinge, dan
ditetjemah¬kan oleh Dr. W. R van Hoevell dalam taltun 1849, dan
kemudian dicetak da¬lam resensi lebih panjang oleh Hollander.
Tetapi terbitan itu penuh dengan kalimat-kalirn at yang ku rang jelas
sehingga uraiannya menjadi kabur. Sayang sekali belum pernah
diterbitkan suatu edisi kritis dan ilmiah sehingga menjadi sumber
penting untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang gerakan
'Paderi' sebagai gerakan reformis.