Anda di halaman 1dari 27

REAKSI ORANG MINANGKABAU

TERHADAP KEKUASAAN KOLONIAL BELANDA

Oleh Audrey R. Kahin

Kondisi-kondisi kritis dalam masyarakat dapat memperlihatkan adanya beberapa


aspek yang biasanya tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari. Sewaktu
memberikan reaksinya terhadap tekanan dan ancaman dari luar, anggota masyarakat
seringkali berpaling kepada sejarah dan kebudayaan mereka, karena rasa identitas
mereka itulah yang dapat mernbantu melindungi rasa solidaritas mereka. Dengan
menonjolkan beberapa aspek yang membedakan masyarakat mereka dari masyarakat
lain dan dengan keunikan masyarakat mereka itu, mereka lalu memperoleh kekuatan.
Maka realitas bagi seseorang yang tengah dilanda krisis umumnya bersandar kepada
seberapa jauh persepsi mereka tentang kehidupan yang ideal dalam masyarakat
mereka, apakah yang ideal atau sebaliknya sungguh-sungguh disadari atau tidak.
Sementara kebutuhan dan keinginan seseorang selalu sangat mempengaruhi
prilakunya, selama periode yang menegangkan itu. kebutuhan dan keinginannya,
sementara waktu, dianggap sebagai bagian dari kebutuhan dan keinginan masyarakat
secara keseluruhan. Maka pada saat itu norma-norma dan nilai-nilai masyarakat
sangat menolong dalam menghadapi kenyataan masyarakat.
Pada abad ini, Alam Minangkabau di Sumatera Barat dihadapkan kepada
beberapa periode yang menegangkan. Periode yang paling lama dan yang paling
keras ialah antara tahun 1942-1950, yang menjadi pusat perhatian kajian ini. Periode
pendudukan Jepang tahun 1942-1945 -dan dilanjutkan dengan masa krisis selama
lebih dart empat tahun, berlangsung dalam konteks perang kemerdekaan menentang
Belanda di seluruh Indonesia. Pada masa ini orang Minangkabau berjuang mencegah
kembalinya kekuasaan kolonial Belanda ke daerah mereka. Selama periode ini,
Sumatera Barat terputus hubungannya dengan pemerintah Republik Indonesia di
Jawa, di mana sebagian besar para pemimpin intelektual terkemuka dart daerah ini
ikut memainkan peranan dalam kepemimpinan nasional menentang Belanda.
Sungguhpun begitu, orang Minangkabau tetap berhasil mencegah kembalinya
kekuasaan Belanda ke Sumatera Barat, baik secara militer maupun politik. Suatu
telaahan tentang sifat perlawanan mereka terhadap percobaan Belanda menjejakkan
kekuasaannya kembali di daerah ini dan suatu analisis tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan mereka merupakan topik utama dart kajian ini.
Dalam membahas kebudayaan dan sejarah Minangkabau sebelum pendudukan
Jepang, saya hanya memilih beberapa unsur yang dianggap berkaitan langsung
dengan kejadian-kejadian selama tahun 40-an, atau unsur-unsur yang dianggap oleh
pelaku sejarahnya, sebagaimana yang terlihat baik dan karya-karya mereka maupun
lewat wawancara-wawancara, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku
atau reaksi masyarakat mereka terhadap krisis yang mereka hadapi dalam perjuangan
kemerdekaan.

Beberapa Aspek Masyarakat Minangkabau


Kampung halaman orang Minangkabau terbentang sekitar 200 rail di bagian
barat pantai Sumatera, mulai dart Air Bangis di utara sampai ke Indrapura di selatan
dan 100 mil masuk ke pedalaman sampai ke dataran luas di sebelah barat Pekanbaru
(lihat peta 1). Dewasa ini, wilayah Alam Minangkabau ini merupakan salah satu
propinsi (Propinsi Sumatera Barat) dalarn wilayah Indonesia, dengan jumlah
penduduknya kurang dart tiga juta jiwa.1
Selama masa kolonial, masyarakat Minangkabau sudah menjadi pumpunan
perhatian sarjana Belanda, dan pemerintah kolonial menggunakan karya-karya
mereka sebagai acuan dalam pemerintahannya. Wilayah itu selanjutnya telah menjadi
bahan kajian antropologi dan sejarah oleh para sarjana dart berbagai belahan dunia.
Sebagian daya tank kesarjanaan terhadap Sumatera Barat, adalah karena pertentangan
antara sistem matrilineal dan ketaatan penduduknya terhadap agama Islam.
Sejak Indonesia mencapai kemerdekaannya. kebanyakan karya sarjana Belanda
tentang Sumatera Barat telah dikritik tajam. Kritikan itu umumnya ditujukan terhadap
interpretasi mereka terhadap adat dan hubungannya dengan agama islam di daerah itu.
Sarjana-sarjana Belanda lebih menekankan konflik, misalnya, dengan melebih-
lebihkan kontradiksi antara bentuk matrilineal dalam harta warisan menurut adat
(yang diwariskan kepada anak laki-laki dari saudara wanita = kemenakan) dan
bentuk warisan dari ayah kepada anak menurut ajaran Islam. 2 Beberapa penulis
yang lebih kemudian mengemukakan, bahwa asumsi Belanda tentang kontradiksi
antara adat dan agama adalah menyesatkan, bilamana menganggap agama Islam
berasal dari luar, dan berpengaruh buruk terhadap sifat alami aturan

1
Dalam Sensus 1930 total penduduk Sumatera Barat adalah 1.910.298 jiwa dengan mayoritas
etnik Minangkabau (1.887.866). Departement van Economische Zaken, Volkstelling 1930, Deel
Inheemsche Bevolking van Sumatra (Batavia: Landsdrukkerij, 1935), hal. 114. Menurut data sensus
1971, total penduduk Sumatera Barat meningkat menjadi 2.798.222. Lihat Sumatera Barat dalam Angka:
1971 (Padang: Kantor Sensus & Statistik Propinsi Sumatera Barat, tanpa tahun), Tabel 28.
2
Hubungan terpenting dalam adat Minangkabau adalah hubungan antara paman (mamak) dan
kemenakan. Hubungan ini dan hubungan ayah dan anaknya dilukiskan dalam pepatah Minangkabau
berikut: “anak dipangku kemenakan dibimbing.”
masyarakat Minangkabau tradisional.
J.S. Kahn berpendapat,3 bahwa keba.nyakan gambaran tentang masyarakat
Minangkabau tradisional prakolonial, yang dilukiskan oleh para sarjana sebelumnya
merupakan ciptaan penguasa kolonial untuk tujuan eksploitasi ekonomi di daerah
tersebut, khususnya untuk kepentingan sistem tanam paksa kopi yang diperkenalkan di
Sumatera Barat sejak tahun 1847.4 Menurut Taufik Abdullah, kekeliruan Belanda
dalam memahami masyarakat Minangkabau bermula dari keterlibatan mereka dalam
Perang Paderi pada awal abad ke 19. Waktu itu mereka menganggap kehadiran
“mereka untuk membantu menegakkan keabsahan adat menentang pemimpin-
pemimpin agama yang agresif dan fanatik”. 5 Kesalahpahaman Belanda yang
mendasar tentang konflik, inheren antara adat dan Islam telah menyebabkan peneliti
Belanda menetapkan ciri determinan dan kaku mengenai adat seternpat dan melihat
agama Islam sebagai pengaruh asing yang mengacaukan. Elizabeth Graves
menyimpulkan bahwa penilaian Belanda tentang apa yang mereka sebut sebagai
“konflik tradisional” antara Islam dan adat “menyebabkan banyak orang
Minangkabau sendiri ... yang rnenerima kontradiksi inheren” ini, yang sebelumnya tak
dikenal sebagai interpretasi yang akurat tentang kenyataan. 6
Orang Minangkabau. bukan tak mengenal adanya kontradiksi antara doktrin Islam
dan beberapa bentuk tradisi adat yang mengatur masyarakat rnereka. 7 Namun mereka
merasa bangga dalam pemaduan unsur-unsur yang kelihatan mengandung
pertentangan ini dalarn suatu kesatuan yang kompleks, tetapi suatu keseluruhan
yang harmonis. 8Dalam masyarakat Minangkabau, penghulu (kepala adat dalam

3
J.S. Kahn, “Tradition Matriliny and Change among the Minangkabau of Indonesia”, Bijdragen
tot Taal-. Land- en Volkenkunde [disingkat BKI], no. 132 (The Hague, 1976), hal. 64-95.
4
Ibid., hal. 84-90.
5
Taufik Addullah, “Minangkabau 1900-1927: Preliminary Studies in Social Development”
(Thesis, M.A., Cornell University, 1967), hal. 33-34.
6
Elizabeth E. Graves, “The Ever-Victorious Buffalo: How the Minangkabau of
Indonesia Solved Their Colonial Question” (Ph.D. dissertation, University of Wisconsin, 1971), hal.
13.
7
Suatu uraian ringkas yang amat baik mengenai hubungan antara adat dan agama di Sumatera
Barat dapat dijumpai dalam Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in
Minangkabau”, Indonesia, No. 2 (Oct., 1966), hal. 1-24.
8
Bagian ini sebagian bersandar kepada keterangan yang diberikan dalam wawancara oleh
tokoh- tokoh adat dan agama di Sumatera Barat, meskipun interpretasi mereka biasanya
dicocokkan dengan sumber-sumber filsafat dan adat Minangkabau yang telah diterbitkan.
kelornpok keluarga besar), 9 dan ulama serta cerdik pandai 10 semuanya diakui
sebagai pimpinan yang sah.
Seseorang pada saat yang sama sering dapat menjadi seorang ulama dan penghulu,
dan sebagian besar tokoh adat dan agama juga dianggap tokoh “cerdik pandai”. Ketiga
unsur kepemimpinan ini jalin menjalin bersarna-sama dalam membentuk suatu
kesatuan, sebagaimana sering dinyatakan pepatah: “adat dipimpin oleh penghulu,
agama oleh ulama dan pemerintah oleh cerdik pantai” dan ketiga sulaman tokoh ini
membentuk kesatuan.11 Dengan begitu, seorang pemimpin seringkali dalam dirinya
tergabung ketiga unsur itu.
Belanda selalu menolak untuk mengakui adanya keseimbangan macam apapun,
dan dengan melebih-lebihkan pertentangan antara hukum Islam dengan adat yang
matrilineal, mereka senantiasa berusaha untuk memperalat pemimpin-pemimpin adat
menjadi alat kekuasaan mereka. Dan pada saat yang sarna mereka berusaha
menyingkirkan ulama keluar dari struktur pemerintahan kolonial.
Menurut legenda Minangkabau, sejarah masyarakat mereka bermula sewaktu
banjir besar yang menggenangi bumi ini. Tiga anak laki-laki Alexander the Great
(Iskandar Zulkarnain) yaitu Maharaja Diraja, Maharaja Dipang dan Maharaja Alif
berlayar dari kerajaan ayah mereka dan kapal mereka akhirnya tersendat di puncak
gunung Merapi. Di sanalah Maharaja Diraja menetap, sementara salah seorang dari
saudaranya melanjutkan perjalanan ke Kerajaan Cina dan yang satu lagi kembali ke
barat hingga rnendirikan kerajaan di daerah Anatoli. 12 Penghuni Sumatera Barat pada

9
Seorang penghulu dapat menjadi kepala payung, kelompok garis keturunan menurut
garis keturunan ibu hingga membentuk satu suku (clan). Lihat Tsuyoshi Kato, “Change
and Continuity in the Minangkabau Matrilineal System”, dalam Indonesia (25 April 1978), hal.3.
Kedudukan penghulu suku berasal dari garis keterunan perempuan yang tertua, namun harus disetujui
oleh seluruh keturunan. Lihat juga A.M. Datuk Maruhun Batuah dan D.H Bagindo Tan Ameh,
Hukum Adat dan Adat Minangkabau; Luhak nan Tigo, Laras nan Duo (Djakarta: N.V. Poestaka Aseli,
tanpa tahun), hal. 30-32.
10
Graves mencirikan kaum “cerdik pandai”, sebagai “orang tahu sebagai sosok tanpa bentuk
gambaran paling jelas sebagai `pilar masyarakat”. Meskipun secara formal mereka tidak memegang
jabatan adat, mereka biasanya menjadi tempat bertanya mengenai keputusan-keputusan penting dalam
masyarakat. Cerdik pandai ialah “orang yang cekatan, kaya, pintar dan berwibawa; pendek kata
ia seorang yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.” “Ever-Victorious Buffalo”, hal.
64.
11
Istilah ini lebih dikenal dengan “Tali tigo Sapilin”. Wawancara dengan H.A.K. Dt, Gunung
Hijau (Padang), 9 Juli 1976, Tamsilan “sapilin” adalah satu hal yang sangat popular yang melukiskan
hubungan antara 3 (tiga) unsur, juga digunakan dalam konsepsi sejarah Minangkabau. Lihat Taufik
Abdullah, “Modernization Early Decades of the Twentieth Century,” dalam Culture and Politics in
Indonesia, ed. Claire Holt (Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal. 189.
12
Alam Minangkabau, dengan demikian adalah salah satu dari empat dari alam dunia semesta
dua yang lainnya ialah Benua Ruhum (Kerajaan Rornawi Ottoman) dan Benua Cina. Alam Dunia
keempat adalah kerajaan alam yang tidak dikenal. Lihat Taufik Abdullah, “Some Notes of the Kaba
Tjindua Mato”, Indonesia, (9 April 1970), hal. 4-13. Lihat juga Tsuyoshi Kato, “Social Change in a
Centrifugal Society: The Minangkabau of West Sumatra” (Ph.D. dissertation, Colnell University,
1977), hal. 23-24.
rnulanya bermukim di sekitar tiga “telaga” (luhak) dekat puncak gunung merapi, tetapi
sewaktu banjir menyusut mereka secara lambat laun turun mendiami kawasan dataran
tinggi Sumatera Barat. Inilah yang menjadi wilayah inti Alam Minangkabau, yaitu
Luhak Nan Tigo:13 Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Kota, yang terletak di dataran
tinggi yang subur di propinsi tersebut, membentang antara Gunung Merapi yang masih
aktif dan Gunung Sago serta Gunung Singgalang.
Ada dua tradisi besar (laras atau lareh)14 dalam organisasi sosial
Minangkabau,15 yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago. 16 Kedua tradisi ini dilambangkan
dengan dua tokoh pimpinan utama legendaris masyarakat Minangkabau. Yaitu saudara
tiri Datuk Ketumanggungan (Koto Piliang) dan Datuk Perpatih Nan Sabatang (Bodi
Caniago). Koto Piliang menekankan bentuk pemerintahan yang lebih hirarkis,
sementara Bodi Caniago lebih demokratis. Secara tradisional, unit pemerintah yang
utama di Minangkabau ialah nagari yang independen, lepas satu sama lain17 dan salah
satu dari kedua laras tersehut biasanya menonjol di setiap nagari. 18 Kebanyakan nagari
di daerah Again misalanya, diyakini menganut tradisi Bodi Caniago, dan sebagian
besar nagari di Tanah Datar adalah tradisi Koto Piliang, sementara desa-desa di Lima
Puluh Kota rata-rata dijumpai kedua tradisi itu. 19 Di desa-desa di mana Bodi Caniago
cukup dominan, maka kedudukan penghulu diakui sederajat; kesamaan itu disimbolkan
dengan lantai bangunan balai pertemuannya datar dan tidak bertingkat. 20 Sementara itu
di daerah Koto Piliang, penghulu ditempatkan lebih tinggi setingkat.
Dikemukakan bahwa konsep ideal tentang persamaan ini di Sumatera Barat sebetulnya
mencerminkan sifat organisasi masyarakatnya yang bercorak ascriptive dan hirarkis,21
suatu pandangan yang tampaknya berasal dari tradisi kerajaan Minangkabau yang mula-
mula dan bekas-bekasnya masih terlihat di daerah pantai. Keterangan sejarah
Minangkabau yang pertama secara khusus terdapat dalam Negara Kertagama
13
Lihat Batuah dan Tanameh„ Hukum Adat, hal.13. Luhak dalam pengertian aslinya ialah “sumur”,
(atau telaga; Pen.).
14
Secara harfiah artinya keselarasan, harmonis.
15
Batuah dan Tanameh, Hukum Adat, hal. 33-36; P.E. de Josselin de Jong, Minangkabau and Negeri
Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia (The Hague: Nijhoff, 1952), hal. 12-31.
16
Menurut Batuah, Hukum Adat, hal. 33, kata ini pada mulanya berasal dan kata yang pilihan
dan budi yang tak tjuriga.
17
Syarat-syarat esensial dari suatu nagari tradisional ialah adanya: mesjid, balai tempat
pertemuan, sawah, ladang, tapian tempat mandi, gelanggang. (bamusajik, babalai, basawah,
baladang, batapian tampek mandi, bagalanggang). M. Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau
(Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hal. 136.
18
Ini terpecah ke dalam pembagian empat bagian suku, salah satu di antaranya termasuk ke
dalam keluarga besar (extended family).
19
Christine Dobbin. “Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri
Movement, 1784-1830.” Indonesia, (23 April 1977), hal. 12.
20
Jadi, semua anggota “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” (duduak samo randah tagak
samo tinggi). Nasroen, Dasar Falsafah, hal. 135.
21
Kato “Social Change.” hal. 59-67.
(1365). Di situ Minangkabau (Minangkabwa) dirujuk sebagai salah satu wilayah yang
bersekutu dengan Raja Kartanegara pada akhit abad ke-13.22 Menjelang pertengahan
abad ke-14, putra mahkota Majapahit, yaitu Adityawarman (1340-1375), berkuasa di
Minangkabau. Menurut tradisi Minangkabau, dia adalah keturunan dari perkawinan
antara Raja Kartanegara dan putri Sumatera (Dara Petak).23
Dalarn banyak hal tokoh Adityawarman mencerminkan kekaburan (ambiguity)
hubungan antara Minangkabau dan Jawa. 24Aditiyawarman digambarkan berasal
sebagian dari Minangkabau, dan menjadi nenek moyang orang Sumatera Barat, tetapi
path saat yang sama is dilukiskan sebagai utusan Majapahit yang mencoba menarik
Minangkabau di bawah kekuasaan Jawa. Datang dengan suatu armada kapal dan
tentara yang banyak untuk menunaikan kekuasaan Mojopahit, Adityawarman
disambut dengan baik, bukan dengan senjata, rnelainkan dengan tari dan nyanyi. Dia
diminta agar memulangkan pasukannya kembali ke Jawa; sedangkan beliau sendiri
diajak menetap di Minangkabau hingga akhirnya diangkat sebagai raja mereka.25
Sebagaimana yang sering berlaku dalam kisah tentang hubungan mereka dengan
Jawa, legenda ini memberikan ilustrasi pandangan, bahwa walaupun rakyat
Minangkabau relatif lemah, kecerdasan pikiran mereka yang lebih tinggi
memungkinkan mereka sangat berhasil dalam menghadapi kekuatan Jawa.26
Keturunan kerajaan Adityawarman jelas tidak rnemiliki kewenangan politik
terhadap nagari di Sumatera Barat, 27 dan ia hanya diterima oleh masyarakat nagari tak

22
M. Jounstra, Minangkabau: Overzicht van land, Geschiedenis en Volk (The Hague: Nijhoff,
1923), hal. 42.
23
Banyak sekali terdapat perdebatan tentang hubungan yang sebenarnya antara Minangkabau
dan Mojopahit. Lihat misalnya C.C. Berg, Het Rijk van de Vijfvoudige Buddha (Amsterdam: Noord-
Hollandsche Uitgev. Mij, 1962), hal. 187-91; D.G.E. Hall, A History of South-East Asia, Edisi
ketiga (New York: St. Martin's Press, 1970), hal. 87-88; David S. Sjafiroeddin, “Pre-Islamic
Minangkabau,” Sumatra Research Bulletin, No. 4, 1 (1 Oktober 1974), hal. 49.
24
Dia mendirikan prasasti dalam tahun 1347 di Padang Candi, dekat Sungai Langsat, di mana tidak
terlihat tanda-tanda bahwa ia adalah taklukan Jawa.
25
Dalam satu versi cerita, dikatakan bahwa Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatih nan
Sebatang yang bersaudara sepupu menyerahkan adik perempuannya jadi istri Adityawarman dan
meresmikannya ke dalam suku Melayu. Dewasa ini semua keturuanan Sultan dianggap memiliki suku
Melayu. Batuah dan Tanameh, Hukum Adat, hal. 33-34.
26
Ada cerita yang sangat terk.enal dalam lagenda Minangkabau tentang bagaimana mereka
mendapatkan nama Minangkabau (Kerbau yang Menang). Setelah orang Jawa berhasil menaklukan
Minangkabau.„ mereka setuju mengakhiri peperangan dengan rnengadakan pertarungar: adu
kerbau yang disediakan dleh ma.sing-masing pihak. Orang Jawa seekor kerbau besar yang ganas,
sernentara orang Minangkabau memilih seekor anak kerbau yang masih menyusui, namun tidak
diberi makan selama beberapa hari dan mamasang pisau yang tajam pada tanduknya yang tumpul
menjelang pertarungan. Ketika mulai masuk arena, anak kerbau tersebut langsung berlari kencang
ke induk kerbau besar orang Jawa, dan mencoba mendapatkan susu hingga mengeluarkan isi perut
kerbau yang besar. Orang Minangkabau akhirnya tampil sebagai pemenang dalam
pertandingan tersebut.
27
Lihat Christine Dobbin, “Economic Change in Minangkabau”, hal. 13-14. Akira Oki
menyatakan: “Kita tidak menemukan bukti bahwa kerajaan memperoleh kekuatan politik terhadap
lebih dari sekedar penghormatan belaka. Sewaktu penduduk Minangkabau mulai
berpindah dari kawasan inti di dataran tinggi ke kawasan “rantau” 28 di wilayah
pinggiran Sumatera Barat, pengaturan masyarakat yang mereka ciptakan,
bagaimanapun, sering lebih hirarkhis daripada di daerah asal mereka. 29 Wilayah-
wilayah tempat tinggal yang baru ini, khususnya di daerah pantai, lebih terbuka
terhadap pengaruh luar. Di bagian utara Padang misalnya, banyak di antaranya yang
berada di bawah dominasi Aceh sejak pertengahan abad ke-16 sampai pertengahan
abad ke-17. Bahkan sarnpai sekarang, daerah pantai utara ini masih memperlihatkan
sisa-sisa dari tatanan masyarakatnya yang masih amat menyolok struktur hirarkisnya
lengkap dengan gelar-gelar yang diwariskan.
Namun, di daerah pantai dan dataran tinggi di pedalaman, masyarakat masih
lebih mengutarnakan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah (konsesus),
yang dicapai lewat diskusi-diskusi musyawarah-mufakat,30 seperti yang terlihat dalam
pepatah umum mereka yang lain:
“keponakan beraja ke mamak; mamak beraja ke penghulu; penghulu beraja ke mufakat:
mufakat beraja ke kebenaran; kebenaran adalah didasarkan kepada alur dan patut.” 31
Gagasan ideal tentang demokrasi konsesus (musyawarah) dan persamaan dalam
masyarakat Minangkabau,32 juga dicerminkan oleh fakta bahwa di sana tidak ada
kekuasaan yang lebih tinggi daripada nagari dan tidak ada penghulu, misalnya, yang
memiliki kekuasaan atas anggota suku di luar nagarinya.33
Adat-lah yang membantu mendamaikan setiap unsur yang berbeda dalam

urusan-urusan interen nagari.” “Social Change in the West Sumatran Village: 1908-1945”
(Ph.D.dissertation, Australian National University, 1977), hal. 24.
28
Lihat di bawah, hal. 13-14.
29
Batuah dan Tanameh, Hukum Adat, hal. 30. Mengenai perkembangan sebuah kerajaan yang
merdeka di salah satu daerah rantau Sumatera Barat, misalnya, lihat J. Kathirithamby-Wells, “The
Indrapura Sultanate: The Foundations of Its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eight eenth
Centuries,” Indonesia, (21 April 1976), hal. 65-84.
30
Keputusan melalui musyawarah, tentu saja tidak hanya terdapat di Sumatera Barat. Hal itu juga
merupakan ciri khas masyarakat di daerah lain, terutama di Indonesia. Namun, masyarakat
Minangkabau mempraktekkannya secara lebih luas daripada yang dikenal dalam masyarakat lainnya.
31
Batuah, Hukum Adat, hal. 9. Lihat juga Nasroen, Dasar Falsafah. hal. 145. Pepatah ini agak
sedikit bervariasi sebagaimana dikutip dan beberapa hasil wawancara, misalnya wawancara dengan Dt.
Simarajo (Simabur, Batu Sangkar), 22 Agustus. 1976 dan Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro
(Maninjau), 4 Agustus, 1976.
32
Dalam suatu diskusi dengan, penulis, Darwis Thaib menegaskan bahwa meskipun terdapat
perbedaan falsafah antara Bodi Caniago dengan Koto Piliang, dalam prakteknya keduanya harus
menyesuaikannya dalam masyarakat. Menurutnya, ini terutama berlaku dalam gagasan
bertingkat-tingkat (hirarkhis) dalam Koto Piliang. Justru ada suatu perkataan, "Hukum dibuat dari
bawah, namun perintah datang dari atas." Maninjau, Agustus 1976.
33
Kekuasaan dan kewenangan seorang penghulu pada prinsipnya hanya terbatas dalam
nagarinya, meskipun statusnya mungkin patut dihormati oleh rakyat di nagari lain. Kato, "Social
Change," hal. 67.
masyarakat seperti di rantau.34 Istilah ini pada mulanya dipergunakan untuk
menggarnbarkan pernecahan desa (nagari) akibat pertambahan penduduk sehingga
melalui merantau, sebagian dari desa. tertentu pindah ke luar dari daerah asal
Minangkabau ke daerah pinggiran atau wilayah “rantau.” Sejak abad ke-19, tradisi
“merantau” umumnya paling banyak dilakukan oleh pemuda; mereka berangkat
meninggalkan kampung halaman untuk mencari pengetahuan dan kekayaan di luar
negeri mereka dan membawanya pulang bagi kesejahteraan rnasyarakatnya. Tradisi
ini menyediakan katub pengaman bagi anak muda yang merasa terikat dengan
kerurnpilan (complex) masyarakat Alam Minangkabau35 yang matrilineal itu. Pada
saat yang sama, rantau mernbuka rnata orang terhadap pengaruh-pengaruh luar dalam
bentuk ide-ide barn, yang jika unsur luar itu cocok untuk digabungkan, maka is dapat
diperkenalkan dan diserap.36 Tradisi rantau dan proses penyerapan unsur pengaruh
luar ke dalam masyarakat Minangkabau membuat struktur adatnya jadi fleksitvi dan
jauh lebih lentur daripada yang pernah dikenal Belanda.
Menurut adat, Alam Minangkabau hanya dapat mempertahankan esensi dan
bentuknya dengan cara menyelesksi pengaruh-pengaruh luar untuk kemudian
digabungkan dan diserap sejauh unsur-unsur luar itu dianggap baik. dan
menyesuaikannya untuk masyarakat. Sebaliknya menolak semua yang dianggap tidak
baik dan yang -aneri. atau asing.37 37 Tetapi di masa kolonial, Belanda-lah yang
menentukan pengaruh-pengaruh mana yang dapat diterima sesuai dengan
kepentingan mereka, dan bukannya menurut keinginan penduduk dan Belanda
jugalah yang memperalat tradisi masyarakat Minangkabau bagi melayani kepentingan
pemerintahan kolonial mereka.

Datangnya Penguasa Belanda


Semenjak akhir abad ke-17, pengaruh Belanda hanya terbatas pada beberapa
pelabuhan pantai, terutama Padang, di sana VOC bisa mendapatkan emas dan lada
yang ditukarkan dengan kain dari India.3838 Pengaruh Inggeris di pantai Barat
Sumatera telah digantikan Belanda pada tahun 1780 dan pada perang Napolion.

34
Kato membedakan tiga tipe rantau: "pebelahan desa" yang menjadi ciri perpindahan penduduk
Minangkabau sebelum kedatangan Belanda; "Migrasi teratur [circulatory migration] yang
menurutnya terjadi pada periode pertengahan abad ke sembilan betas sampai tahun 1930-an; dan
terakhir "rantau Cina" yaitu rantau permanen orang Minangkabau yang menetap di luar daerah
Sumatera Barat -- yang merupakan pola yang lebih normal saat ini.Ibid, hal. 127-36; 309-15. Pola
yang kedua, yaitu "Migrasi yang teratur" adalah yang paling banyak dibicarakan dalam diskusi ini.
35
Taufik Abdullah, Schools and Polities: The Kaum Muda Movement West Sumatra (1927-1933)
(Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971), hal. 18-22.
36
Penemuan yang “secara logika adalah mungkin dan secara moral adalah patut.” Abdullah,
Schools, hal. 4.
37
Adat akan berguna untuk rnembuat sesuatu jadi baik, memperbaiki mana yang buruk; jika tidak
dapat diperbaiki maka is akan dibuang." Darwis Thaib, wawancara.,Maninjau, Agustus 1976.
38
Christine Dobbin, "Economic Change in Minangkabau," hal. 2-7.
Gerakan revivalis Islam yang sedang berkembang di Sumatera Barat selama
dasawarsa terakhir abad ke 18,3939, mernperoleh semangat baru sejak tahun 1803.
dengan kembalinya tiga prang haji dari Mekah, yang mendapat pengaruh yang kuat
dari gerakan Wahabi ketika mereka tinggal di sana.4040 Ketiga haji ini kemudian
menjadi pemimpin gerakan pembaharuan agama Paderi,4141, yang kemudian
berkembang pesat di Minangkabau selama empat puluh tahun berikutnya. Gerakan
ini bertujuan untuk rnemurnikan Islam Sumatera Barat dari unsur tahkyul.
Beberapa tokoh terkemuka Paderi, termasuk di antaranya Tuanku Nan Tuo, salah
seorang pelopor pelopor gerakan pembaharuan pada akhir abad ke- I 8, menekankan
perlunya berdamai dengan para pemimpin tradisional setempat untuk
membasmi .kecurangan-kecurangan yang terdapat dalam masyarakat dan merebut
hati pengikutnya.4242 Sikap moderat ini juga dianut oleh Tuanku Imam Bonjol, tokoh
Paderi generasi kedua yang sangat terkenal. yang memimpin perjuangan .melawan
Belanda.43 43 Namun kebanyakan pengikut Paderi yang mencontoh model gerakan
39
Tentang perjuangan revivalis Islam ini lihat Ibid. hal. 1-38 dan juga Christine Dobbin,
"Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteeth Century," Modern Asian Studies,
8, 3 (1974), hal. 319-56; idem, "Tuanku Imam Bonjol (1772-1864)" Indonesia, 13 April 1972, hal.
5-35. Lihat juga Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat 1803-1838 (Jakarta. Kementerian
P.P.& K.,1954); clan Darwis Datoek. Majolelo dan Ahmad Marzoeki, Tuanku Imam Bonjol: Perintis
jalan ke kemerdekaan (Jakarta) Amsterdam: Djambatan, 1951). Dobbin khususnya menekankan faktor-
faktor ekonomi yang menjadi penyebab pergerakan ini. Dia seperti juga dengan penulis-penulis
lainnya saat ini melihat pertentangan itu bukanlah terutama karena pertentangan antara kelompok adat
dan agama, melainkan lebih banyak disebabkan oleh perbedaan antara kekuatan-kekuatan lama dan barn
dalam lapangan agama, ekonomi dan sosial. Lihat Joel S. Kahn, "Economic Integration and the
Peasant Economy: The Minangkabau (Indonesia) Blacksmiths" (Ph.D .dissertation, University of
London, 1974), hal. 280. Lihat juga Graves, "Ever-Victorious Buffalo," hal. 104-17.
40
Wahabi adalah suatu gerakan fundamentalis Islam yang didirikan oleh Ibn Abd al-Wahab
(1703-87). Bertujuan untuk menyingkirkan semua inovasi yang pernah diperkenalkan ke dalam
Islam setelah abad ketiga Hijriah (abad ke-9 Masehi), terutama berpumpun sekitar pelarangan
terhadap pemujaan orang-orang suci. Di semua daerah, gerakan ini berwatak sangat militan, dan
di India khususnya bertujuam untuk rnenumbangkan penguasa non-Islam. H.A.R. Gibb and J.H.
Kramers [eds.], Shorten Encyclopaedia of Islam (Ithaca: Cornell University Press, 1953), hal. 618-21;
H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1947), hal. 25-27;
Dobbin, "Islamic Revivalism," hal. 331-32.
41
Lihat Dobbin, "Tuanku Imam Bonjol," hal. 5, dan Hamka, Ayahku (Djakarta: Djajamumi,
1967), hal. 29, tentang asal usul nama tersebut. Padri dikenal juga sebagai orang putih, karena
mereka memakai jubah putih yang membedakannya dengan pakaian hitam yang secara tradisional
dipakai °left penghulu. Menurut Hamka, Tiga orang haji: Haji Miskin, Haji Abdur Rahman, dan
Haji Muhamad Arief, masing-masingnya berasal dari dari Luak April, Lima Puluh Kota, Tanah
Datar. Hamka, Ayahku, hal. 26.
42
Yang ditentang oleh Padri antara lain seperti menyabung ayam, mengisap candu, dan
mengunyah sirih. Dobbin, "Tuanku Imam Bonjol", hal. 10.
43
Tuanku Imam Bonjol (1772-1864), pertama dikenal sebagai Tuanku Muda adalah seorang
pengikut Dt. Bendahara, seorang murid dari Tuanku nan Tuo. Mel.alui pengaruhnya Imam Bonjol
menjadi pengikut yang taat terhadap ajaran refonnis tersebut. Nama Bonjol berarti "benteng yang
didi•ikan untuk mempertahankan agama. Islam yang benar." Radjab, Perang Paderi, hal. 27. Dobbin
percaya ba.hwa benteng-benteng ini pada mulanya didirikan oleh Dt. Bendahara dan kemudian barulah
dilanjutkan oleh Tuanku Muda (Tuanku Imam Bonjol) yang membangun Bonjol sebagai
Wahabi di Arab dalam me lansir "perang jihad" sebagai sarana yang prinsipil bagi
meluask.an pengaruh mereka, dan ini memberi jalan bagi masuknya kekuasaan
kolonial Belanda di daerah ini.
Gerakan Paderi umumnya lebih berpengaruh di daerah Agam dan Lima Puluh
Kota.4444 Kebanyakan penentang-penentang gerakan itu dari kalangan adat dan
pemimpin-pemimpin agama tradisional, yang melarikan diri dari daerah yang
dikuasai Paderi di dataran tinggi ini kemudian mencari perlindungan di bawah
penguasa adat di daerah pantai. yang berperan sebagai pusat-pusat perlawanan
menentang Paderi.45 Dengan dalih untuk memulihkan perdamaian di Sumatera.
Belanda mulai bertindak pada tahun 1821 dan menjelang 1925 memusatkan kekuatan
mereka untuk menutup jalur komunikasi Paderi ke pantai barat. Namun, kekuatan
militer Belanda masih waktu itu dibutuhkan untuk memerangi pemberontakan di
Jawa Tengah, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Hanya setelah Diponegoro
dikalahkan, Belanda barn mampu mengerahkan kekuatan militer mereka untuk
memerangi kembali pasukan Paderi. Dan bahkan untuk itu lalu memerlukan waktu
lebih dari enam tahun untuk mendesak mundur pasukan Imam Bonjol ke basis
pertahanan rnereka di pegunungan. Pasukan Belanda akhirnya berhasil mengepung
Bonjol tahun 1837, dan menangkap Imam Bonjol dan pemimpin-pemimpin Paderi
yang lain. lalu mengasingkan mereka.46
Dalam periode berikutnya, Belanda menguasai Sumatera Barat sesuai dengan
“Pelakat Panjang” tahun 1833. Dalam plakat itu, Belanda berjanji tidak akan
membebankan pajak apapun terhadap rakyat Minangkabau, sehingga dengan itu
memungkin para pemimpin di daerah itu tetap beranggapan bahwa Belanda adalah
mitra mereka dan bukan rakyat jajahannya.47
Pihak luar pada mulanya tertarik dengan Sumatera Barat karena emasnya dan
sampai tingkat tertentu juga karena ladanya. Namun menjelang akhir abad ke-18
suplai emas semakin berkurang, dan sejak itu komoditi ekspor yang paling berharga
ialah kopi. Untuk perbaikan pengumpulan dan pengangkutan tanaman perdagangan
ini maka sejak tahun tahun 1847 Belanda mulai memperkenalkan penanaman paksa
kopi di daerah ini.48 Melalui sistem ini, para pemimpin lokal, baik berdasarkan

kedudukan yang lebih dapat dipertahankan, Dobbin, "Tuanku Imam Bonjol" hal. 11.
44
Dobbin, "Economic Change in the Minangkabau,'" hal. 25-34.
45
Dobbin, "Tuanku Imam Bonjol," hal. 14 dan sebuah la-poran Belanda tentang kontlik,
Joustra,,. Minang.kabau, hal. 49-61.
46
Imam. Bonjoi. pada mulanya di buangdaerah Priangan, Jawa Barat, dua tahun kemudian ke
Arnbon, dan akhirnya ke Manado; di sana dia riienetap sampai meninggal. 1864. Dobbin, "Tuanku
Imam Bonjol," hal. 166. Joustra menyebut tanggal kematiannya 6 November 1854. Joustra,
Minangkabau, hal. 60. 47.
47
Taufik Abdullah telah membahas topik ini dalam suatu ceramahnya pada konferensi di Mexico
tahun 1976. Teks lengkap mengenai Plakat Panjang terdapat dalam Madjolelo dan Marzoelci, Tuan
Imam Bonjol, hal. 129-33.
48
Mengenai sistem tanam kopi di Sumatera Barat, lihat W.K. Huitema, De Bevolkings-
Koffiecultuur op Sumatra (Wageningen: H. Veenman, 1935), hal. 45-49 dan 87-90. Lihat juga
kriteria tradisional, maupun pejabat ciptaan Belanda sendiri menjadi agen-agen
kolonial yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan panen kopi. Di hampir setiap
nagari Belanda mengangkat seorang penghulu suku rodi sebagai orang suruhan
pemerintah.49 Gaji sernua pejabat ini ditentukan berdasarkan prosentase produksi kopi
di wilayah mereka.50
Untuk membantu pemerintahan di Sumatera Barat, Belanda lalu berusaha untuk
memanfaatkan aturan tradisonal masyarakat Minangkabau dan memanipulasi
lembaga tradisional agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Kerapatan nagari yang
tradisional menjadi lembaga tingkat terendah dalam pemerintahan kolonial, tetapi
penghulu di setiap nagari yang bertanggung jawab untuk pemerintahan, 51 harus
memilih seorang anggotanya memegang jabatan kepala nagari. 52 Dengan cara ini,
Belanda telah memperkenalkan suatu jajaran kelas penguasa baru dalam perpolitikan
desa, bahkan lebih berkuasa daripada yang berlaku dalam tradisi kebangsawanan
Minangkabau sebelumnya. Bahkan di desa-desa yang menganut tradisi Koto Piliang
sekalipun, di mana para kepala nagarinya adalah tokoh primus interpares [yang
pertama di antara sesama anggota masyarakat-nyal. Federasi desa tradisional, yaitu
laras, yang telah kehilangan ikatan lama mereka untuk tujuan yang menguntungkan
sesamanya, diubah dan dimanfaatkan Belanda untuk membentuk unit pemerintahan
Belanda di tingkat subdistrik (kelarasan) yang dikepalai oleh seorang kepala laras,
yang dipilih di antara kepala-kepala nagari.53 Selanjutnya suatu sistem pemerintahan
yang hirarkhis ini, diciptakan secara sistematik atas dasar fakta bahwa kekuasaan riil
terletak di puncak pemerintahan Sumatera Barat.
Penggunaan tatanan masyarakat tradisional Minangkabau memungkinkan
pemerintahan kolonial, dengan amat mudah menerapkann kekuasaannya dan
menguras sumber-sumber setempat dan itu terus bertanggung sampai abaci ini,
dengan diberlakukanny a Ordonansi [Undang-Undang] Nagari 1914. Dengan
ordonansi ini, pemerintah Belanda membatasi keanggotaan dewan nagari pada
"penghulu inti", yaitu mereka yang diakui pemerintah sebagai "penghulu pucuk". 5454
Joustra, Minangkabau, hal. 63-64; dan Graves, "Ever-Victorious Buffalo," hal. 206-28.
49
Pemanfaatan para pejabat ini untuk tenaga kerja paksa sudah dimulai sejak Perang Paderi,
yang dipekerjakan untuk membangun jalan lewat Lembah Anal sebagai jaringan komunikasi
untulCpengangkutan hasil kopi dari dataran tinggi ke pantai. Graves, hal. 199-200.
50
Abdullah, "Minangkabau", hal. 36-37. Setelah sistem tanam kopi dihapuskan, Ordanansi
Nagari tahun 1914 menetapkan bahwa gaji kepala nagari dibayar oleh nagari, dan bukan oleh
pemerintah.
51
Secara tradisional Dewan Nagari bukan hanya terdiri dari penghulu, tetapi juga dan gabungan
elite negari, yaitu termasuk mereka yang dikenal sebagai tokoh-tokoh agama dan intektual serta
penghulu. Abdullah, "Minangkabau... " hal. 40.
52
Graves, "Ever-Victorious Buffalo," hal. 158.
53
Ibid., hal. 156-59; Abdullah, "Minangkabau...", hal. 35-36. Dalam tahun 1914, Belanda
menghapuskan kedudukan kepala laras, dan menggantikannya dengan kedudukan demang
sebagai administrator yang memiliki kewenangan wilayah yang lebih liras, yaitu distrik. Abdullah,
Schools, hal. 23.
54
Menurut Ordonantie Nagari 1914 kepala nagari dipilih dari dan oleh "penghulu inti", yang
Hanya mereka inilah pemimpin tradisional yang diperbolehkan memegang kekuasaan
di nagari. Dengan menganggap hak untuk memilih para penghulu jenis ini, Belanda
sebetulnya telah melanggar hak prerogatif adat dan juga telah menciptakan
penggolongan di kalangan para pemimpin adat, yaitu antara yang diakui dan yang
tidak diakui oleh pemerintah.
Dengan praktek manipulasi struktur ada semacarn ini, Belanda telah mengubah
karakter masyarakat dan membinasakan kekuasaan adat yang berlaku sebelumnya di
kalangan masyarakatnya sendiri. Para pemimpin tradisional ini secara lambat laun
dipandang sebagai instrumen kekuasaan kolonial dan bukannya sebagai wakil dart
penduduk nagari. Dengan begitu, dalam periode menjelang paska kemerdekaan,
suatu publikasi resmi telah menggambarkan peranan pemimpin-pemimpin adat di
zaman Belanda sebagai berikut:
Mereka ini yang merupakan sisa-sisa feodal diperkuat oleh pemerintah Belanda
untuk dijadikan alatnya, karena ternyata merekalah golongan yang paling patuh
kepada Pemerintah Belanda. Maka hilanglah isi dari dernokrasi yang sebenarnya,
dan yang tinggal hanya demokrasi pura-pura", yang sebenarnya berisi kekuasaan
penuh kaum adat selama mereka berdiri di pihak pemerintah jajahan....5555

Agama, Nasionalisme dan Politik


Watak nasionalisme anti-Belanda di Sumatera Barat sebelum kedatangan
Jepang telah sangat dipengaruhi oleh beberapa penampilan khas
masyarakatnya seperti yang diterangkan di atas. Sebagai akibat merantau, banyak
anggota keluarga yang tinggal atau memiliki pengalaman tinggal di daerah lain di
Nusantara dan ini membuat mereka merasa tetap memiliki ikatan dengan daerah-
daerah di Hindia-Belanda, di samping dengan kampung halaman mereka sendiri.
Perbatasan Sumatera Barat dilihat bukan sebagai perintang, melainkan sebagai pintu
gerbang ke dunia luar. Sifat masyarakat mereka yang kompleks juga membantu
orang Minangkabau untuk memperoleh pengertian atau pandangan terhadap
kemungkinan :meleburkan masyarakat yang berbeda-beda ke dalam kesatuan
nasional. Dengan perbedaan yang ada dajam rnasyarakat ini tidak perlu
menimbulkan rintangan untuk mencapai tujuan bersama.
Pada awal abad ini, turunnya harga kopi mendorong Belanda untuk membatalkan
Pelakat Panjan.g dan rnenghapuskan sistem tanarn paksa kopi d.an diganti dengan
sistem pajak langsung. Tindakan Belanda ini akhirnya mencetuskan aksi
pemberontakan di beberapa tempat di Surnatera Barat selarna tahun 1908. Aksi
pemberontakan itu dipimpin oleh ulama tradisional dan pemimpinapemimpin ad.at,
yang merasa dikhianati. Pembatalan secara sepihak oleh Belanda atas persetujuan
Plakat Panjang sebel.u.m.nya, rnenyebabkan mereka merasa„ bahwa posisi mereka
kedudukannya diakui oleh pemerintah. Semua penghulu yang lainnya dianggap tidak memenuhi
syarat. Abdullah, Schools, hal. 23.
55
Kementerian Penerangan, Republik Indonesia. Propinsi Surnatera Tengah (tanpa tahun dan
penerbit, sekitar 1954), hal. 327.
jadi terancam karena dibertakukannya sistem pajak yang baru itu. 5 6 Meskipun
pertim.bangan-pertimba.ngan pribadi semacarn itu ikut rnearipengaruhi beberapa
tokoh pemberontakan, spektrum. clan aksi-aksi kerusuhan itu mencerminkan
ketidakpuasan umum yang meluas karena bera.da di bawah kekuasaan pemerintahan
langsung Belanda.
Selama masa inilah banyak .penduduk, Sumatera Barat yang telah meraih
.
kesernpatan yang ditawarka.n dunia modren terutama di bidang pendidikan dan
perdagangan. 57 Sekatipun pendidikan sangat dihargai masyarakat Minangkabau
selama akhir abad ke-19 dan permi.haan. abad ke-20, 5858 clan sekalipan. Belancla
telah menjadikan Surnatera Barat sebagal salah saw pusat pendidikan di
Sumatera 5959, perluasan pemerintahan dan pendidikan suasta, baik kualitatif
maupun kuantitatif baru mulai pada awal abad ke-20. Mening-a katnya dengan cepat
jumlah sekolah-sekolah dasar sejak ta.hun 1907, 6060t mendorong sekolah- sekolah
agam.a suasta berlomba meluaskan jumlah sekolah mereka bahkan juga untuk
sekolah kejuruan. Gejala ini sebagian. merupakan akibat ketakutan orang Islam
terhadap Politik pendidikan Belanda yang dianggap akan memajukan sekolah
pemerintah untuk tujuan memperlemah keberagamaan generasi muda di daerah
mereka.6161
Selama dasawarsa setelah 1907, jumlah murid-murid yang mampu mendaftarkan
diri ke sekolah-sekolah dasar yang disokong pemerintah meningkat berlipat ganda
dan menjelang tahun 1920-an ribuan orang Sumatera Barat telah memperoleh
pendidikan pada sekolah-sekolah dasar pemerintah dengan menggunakan hahasa
Indonesia (Melayu?, Pen„).6262. Pada masa ini, jumlah murid-murid yang terdaftar
pada sekolah dasar ini (atau volkschool), sama banyaknya dengan yang masuk ke
56
Tentang pemberontakan ini, .hhat Akira Oki, "Social Change m West Sumatera Village:
1908-1945", hal. 74-86, 97; dan Abdullah, Schools, hal. 8-9.
57
Tentang reaksi masyarakat Minangkabau terhadap pe•ubahan-iximbahan pada awal abaci ke-
20 lihat, Taufik Abdullah, "Modernization in the Minangkabau World," hal. 74-86.
58
Lihat Graves, "Ever-Victorious Buffalo," hal. 6-9 dan 248 ff.
59
Ini khususnya melalui "Normaal School", yang didirikan di Bukittinggi tahun 1856, setelah
tahun 1872 di daerah ini lebih dikenal sebagai "Sekolah Radja". Jatah murid-murid dari berbagai daerah,
yang dapat mendaftar di sekolah ini sudah ditentukan, kecuali bagi orang Aceh diperbolehkan di luar
Batas jatah yang tersedia. Graves, "Ever-Victorions Buffalo," hal. 348- 53.
60
Mengenai gagasan Belanda tentang perluasan sekolah-sekolah dasar di Sumatera Barat sejak
1907, lihat surat menyurat berjudul "Volks-onderwijs in de Buitenbezittingen Opleiding van
Abtenaren," dalam Dr.S.L. van der Wal, Het Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie, 1900-1940
(Groningen: J.B. Wolters, 1963), hal. 142-51.
61
Lihat catatan • H. Colijn tanggal 24 April, 1909 dalam ibid., hal. 151; lihat juga Dr. C. Snouck
Hurgronje, Nederland en de Islam ( Leiden: Brill, 1915), hal. 78-83. Dalam bukunya ini is menguraikan
pendidikan pemerintah sebagai alat emansipasi orang Islam dari agamanya dan penggabungan
(asosiasi) mereka dengan kebudayaan Barat.
62
Di awal tahun 1907, hanya ada 1.848 murid-murid yang memperoleh pendidikan dasar di Sumatera
Barat. H. Colijn, oc.cit., hal. 147, sedangkan tahun 1925-26 terdapat 33.440 murid di Volksschools (sekolah
desa) di Sumatera Barat. Abdullah, Schools, hal. 56-57.
sekolah-sekolah dasar agama.6363 Meskipun banyak juga anak-anak Sumatera Barat
yang bisa masuk ke sekolah-sekolah kejuruan pemerintah, tetapi yang diperbolehkan
masuk ke sekolah dasar berbahasa Belanda, yaitu HIS (Hollandsh Inlandshe School)
sebagian besar hanyalah anak-anak para pejahat yang bekerja dalam pemerintah
Belanda. Kalau melanjutkan ke sekolah menengah pertama pemerintah, yaitu
MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs) kernampuan bahasa. Belanda dan ukuran
pisik murid menentukan, tetapi selain itu umumnya juga dibatasi hanya untuk anak-
anak penjabat . ini, di samping anak-anak Eropa dan Cina. 64
Sebenarnya di Sumatera Barat tidak ada sekolah menengah lanjutan atas atau
kejuruan selain. hanya sekolah MULO pemerintah itu. 6565 Karena itu, sebagian
besar pemuda daerah yang mampu dan ingin melanjutkan pendidikan mereka harus
rnendaftar ke lembaga, pendidikan di Jawa atau Belanda. Beberapa. tokoh
intelektual berpendidikan Barat yang puking ke Sumatera Barat bekerja sebagai
pejabat pemerintah Hindia-Belanda. 6666
Karena kurangnya sekolah-sekolah menengah pertama pemerintah dan
ketiadaan pendidikan kejuruan di Sumatera Barat berarti bahwa banyak pemuda
yang menarnatkan sekolah dasar yang disponsori pemerintah harus mencarinya ke
63
Taufik. Abdullah memperkirakan bahwa dalam tahun 1933 ada sekitar 46% anak-anak
Minangkabau yang masuk volksschools; 44% masuk sekolah suasta, sekolah agama atau sekolah yang
lain, 16% sekolah gabungan Belanda-Pribumi dan sekolah dengan menggunakan bahasa daerah
setempat (sekolah "Kelas Dua" dan Vervolgschool sekolah lanjutan). Ibid., hal. 210. Jenis-jenis sekolah
pemerintah Belanda di Indonesia dan tanggal berdirinya adalah sebagai berikut: Desaschool (yaitu,
Volksschool di Sumatera Barat) tahun 1907; Hollandsch-Chineesche School, tahun 1908; Hollandsch-
Inlandsch School (HIS) tahun 1914; MI LO School tahun 1914; Vervolgschool tahun 1914. Dalam tahun
1921 didirikan sekolah Schakelschools (sekolah sambungan) di Bandung dan Padang Panjang. Lihat Dr.I.J.
Brugmans, Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie (Groningen-Batavia: J.B. Wolters,
1938).
64
T'idak lebih dari 2% murid-murid Sumatera Barat yang menyelesaikan sekolahnya pada sekolah
dasar lima tahun, memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka ke sekolah-sekolah
pemerintah. Dari tahun 1925 sarnpai 1933, terdapat antara 13.000 sampai 26.000 orang Indonesia yang
setelah tamat satu tahun pada "Sekolah Kelas Dua" (berbahasa Indonesia) melanjutkan ke
Vervolgschool di Sumatera Barat. Sebagian besar anak-anak yang mampu masuk ke tiga buah
Schakelschools di daerah ini setiap tahun berjumlah 401 orang. sekolah ini mereka memperoleh
diploma yang setara dengan tamatan HIS (sekolah dasar tujuh tahun yang dengan menggunakan
bahasa Belanda). Mereka ini diperbolehkan untuk melanjutkan ke sekolah menengah (MULO).
Jumlah Sekolah MULO di Sumatera Barat relatif tetap yakni 3 atau 4 buah (dua di antaranya adalah
sekolah suata milik Roma Katolik). Pada tahun 1930-31 jumlah total murid yang terdaftar pada
sekolah MULO ini adalah 639 orang (dengan perincian 438 orang murid Indonesia, 63 orang Cina dan
138 orang Eropa). Centraal Kantoor Voor de Statistiek, Indisch Verslag 1932, Deel II. Statistisch
Jaaroverzicht Van Nederlandsch Indic over het jaar 1931 (Landsdrukkerij: Dept. van Landbouw,
Nijverheid en Handel, 1932), hal. 84-85.
65
Selain dari Sekolah Raja di Bukittinggi, ada juga dua "college" sekolah guru dan tiga buah untuk
sekolah guru kejuruan di Padang Panjang dan sekolah MOSVIA, yaitu sekolah untuk pendidikan calon
administrator di Bukittinggi. MOSVIA ditutup oleh Belanda tahun 1931, dan Sekolah Raja tahun 1933.
Abdullah, Schools, hal. 56-58, 210.
66
Pengecualian ini berlaku tahun 1920-an, ketika sejumlah perantau intelektual Minangkabau
dikembalikan ke daerah mereka akibat kegiatan politik anti-kolonial mereka di daerah lain di Nusantara.
luar daerah, jika mereka ingin melanjutkan pendidikan mereka atau kalau tidak
mereka bisa m.eneruskannya ke sekolah menengah agama suasta. Yang terpenting
dalarn pertumbuhan gerakan nasionalis: di Sumatera I13arat talah jaringan sekolah
agama miliki kaum rnodernis, yang berkmban.g pesat selama dua dasawarsa pertarna
abad ini dan menjadi terkenal sejak 1917 dengan Surnatera Thavvalib. 6767 Sekolah-
sekolah ini pada mula berasal dan Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, yang
sejak tahun-tahun pertama awal abad ini, dipimpin oleh dua orang ulama modernis
yang berpengaruh, yaitu Haji Abdul Karim Arnrullah (Haji Rasul) dan Haji
AbdullahA.hmact.6868 Selama belajar di Tirnur Tengah kedua tokoh ini mendapat
pengaruh dari gerakan modernis Islam, 69 69 dan di sekolah mereka ini, mereka
menerapkan gagasan-gagasan pendidikan dari para pernbaharb Islam tersebut.
Gagasan-gagasan agama dan pendidikan kaum modemis di Sumatera Barat ini
sejak semula ditentang oleh ulama tradisional dan anggota penganut Sufi. Kaum
rnodeniis agama ini dikenal dengan sebutan Kaum Muda, sedangkan dan Kaum
Tua yang dipraktekkan oleh kaum tradisionalis dan pengikut ajaran Sufi.7070 Di
kalangan Kaum Muda itu sendiri ketegangan juga terjadi antara ulama generasi
pertama yang menggerakkan pembaharuan (reformisme) mereka terutama kepada
masalah agama dan pendidikan. Murid-murid mereka yang tidak bisa menerima
pembatasan semacam itu terus berusaha melaksanakan gagasan mereka dalam
masalah sosial politik.
Meskipun menggunakan model surau Minangkabau, sekolah-sekolah kaum
pembaharu bersifat inovatif dalam metode pengajaran, 7171 dan selama dua

67
Lihat Noer, Modernist Muslim Movement, hal. 44-47; Abdullah. Schools, hal. 34-36.
68
Kedua tokoh haji ini pulang ke Sumatera Barat bersama-sama dengan tokoh ulama penting
lainnya, seperti Sjech Muhammad Djarnil Djambek, yang memiliki Surau di. Bukittinggi. Biografi
ringkas ketiga tokoh ini, lihat Noer, Modernist Muslim Movement, hal. 35-39. Buku Hamka berjudul
Ayahku adalah sebuah biografi tentang ayahnya, Abdul Karim Amruilah (Haji Rasul).
69
Uraian ringkas yang terbaik mengenai perguruan gerakan kaum modernis dan para pemimpinnya,
Muhamad Abduh (1849-1905) dan Saiyid Jamal ad-Din al Afghani (1838-97) terdapat dalam Gibb,
Modern Trends in Islam.
70
Pemimpin paling terkemuka dari kedua, kelompok: Kaum Muda mdan Kaum Tua adalah murid
Sjech Ahmad Chatib, seorang Minangkabau yang pergi ke Mekah tahun 1876 dan menjadi guru yang
berpengaruh di Mesjid Al Haram. Dia adalah tokoh utama kaum reformis terkemuka dari sudut pandang
agama, tetapi memenolak gagasan politik Muhamad Abduh dan Jamaluddin Al Aghani. Lihat Noer,
Modernist Muslim Movement, hal. 31-32; Hamka. Ayahku, hal. 100-101; dan Abdullah,
"Minangkabau," hal. 84-88. Juga di antara murid-murid Ahmad Chatib adalah Kiyai Haji Ahmad
Dahlan, pendiri Muhamadiyah di Jawa.
71
Pelopor pembaharuan pendidikan ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusi (1890-1924), yang
hanya memperoleh sedikit pendidikan formal. Dia adalah pendiri sekolah dasar agama kaum
modernis yang pertama, yaitu Diniyah Padang Panjang tahun 1915. Banyak ide-idenya tentang
kurikulum dan metode-metode mengajar, yang digunakan di Diniyah School diikuti pula oleh
Sekolah Thawalib. Dia lebih terbuka terhadap penerapan politik Islam moderen dari pada Iawan-
lawanya di sekolah Thawalib. Dia dikenallebih terbuka terhadap implikasi gerakan Islam modernis,
ketimbang sejawatnya di Sekolah Thawalib. Dia pula-lah yang membentuk gerakan pemuda PMDS
(Persatuan Murid Diniyah Schools) pada awal tahun 1921. Beberapa orang pemimpin-pemimpinnya
dasawarsa pertama abad ini, mereka menjadi terkenal karena kualitas pendidikan
yang mereka tawarkan, sehingga murid-murid datang belajar ke sana, niulai dari
Aceh dan daerah-daerah lain di Sumatera, begitu juga dari Mallaya..7272 Dan sekolah-
sekolah inilah rnunculnya suatu kelompok pemuda terpelajar, yang tidak tercemar
dengan ide-ide sekuler, yang telah dicerap oleh kebanyakan anak muda tamatan
sekolah pemerintah. Berkenaan dengan Sumatera Thawalib, seorang pejabat Belanda
memberikan kesannya tahun 1929: "Pengajaran di sekolah ini sangat tinggi standamy a
dan berbeda dengan pengajaran gaya lama, di sini mereka tidak lagi melulu
diajarkan dengan "perasaan", melainkan berfikir dan mernahami". "Murid-
murid tamatan -;ekolah ini", ujarnya, "memberituk kekuatan spritual yang tak dapat
dipatahkan pleb Kaum Tua, suatu kekuatan spritual yang juga tidak bisa dihapuskan
begitu oleh penguasa. Belanda clan, dengan itu mereka harus berkompromi." 7373
Menjelang akhir PD I, sekolah-sekolah Sumatera Thawalib telah berperan
menjadi pusat k:egiatan politik dan sosial. Murid-murid dan yang telah
menamatkan pendidikan mencari gerakan politik sehingga memungkinkan mereka
menyalurkan sikap kritis mereka terhadap kekuasaan kolonial. 7474 Banyak juga
yang ditarik ke dalarn komunisme karena pendirian anti-kolontainya yang
semu clan juga karena komunis Indonesia lebih menekankan pada perjuangan
menentang Belanda. Perjuangan menentang Belanda dan juga terhadap apa yang
mereka gambarkan sebagai "adat feodar7575 telah membuat k:aum muda
pembaharu Islam itu merasa jauh lebih dekat dengan komunis daripada dengan
kelompok-kelompok adat atau kelompok, agama tradisional. Untuk tujuan rnereka,
maka pemimpin-pemimpin komunis di S arnatera Barat mengakui bahwa satu-satunya
kesempatan untuk rnernperoleh kekuatan bagi gerakan mereka di daerah ini
terletak pada kesediaan bekenja sarna dengan unsur komunitas Islam. Dan cara

menjadi terkenal dalam orgnisasi "Barisan Muda", yang didukung oleh komunis tiga tahun
kemudian. Noer, Modernist Muslim Movement, hal. 41-42; M. Yunus Kotjek, "Riwayat gerakan
pemuda di Minangkabau: P.M.D.S." (typescript, Bukittinggi, 1961), hal. 1-3.
72
Menurut Taufik Abdullah tahun 1928 terdapat 39 sekolah Thawalib dengan jumlah murid
sekitar 17.000, Schools, hal. 61.
73
Dilaporkan oleh Ch.O. van der Plas tahun 1929, dikutip dalam H. Bouman, Enige
Beschouwingen over de Ontwikkeling van het Indonesisch Nationalisme op Sumatra's Westkust
(Groningen/ Djakarta: J.B. Wolter. 1949), hal. 70-71. Van der Plas lebih jauh mengatakan bahwa
"kaum intelektual Islam ini" menguasai bahasa Arab dan Ilmu-ilmu keislaman, dan karena kualitas
pendidikan mereka tajam dan mendalam di samping proses seleksi yang sangat ketat. -
74
Pola ini tidak diikuti oleh Sraikat Islam di Jawa, meskipun usaha-usaha yang dilakukan oleh
Abdul Muis, seorang tokoh SI asal Minangkabau, untuk merebut kepemimpinan politik di wilayah
itu. Abdul Muis adalah tokoh yang aktif menentang unsur komunis dalam gerakan Serikat Islam di
Jawa, sebelum mereka ditendang keluar SI dalam Kongres Surabaya tahun 1921. Abdul Muis ingin
menetap di Sumatera Barat dan menjadi pimpinan SI di daerah itu, tetapi dicekal oleh Residen
Belanda 19 Januari, 1924 karena alasan "kepentingan keamanan dan ketertiban". Harry J. Benda
and Ruth T. McVey, The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents (Ithaca:
Cornell Modern Indonesia Project, 1960), hal. 99; Abdullah, Schools... , hal. 32-34; Noer,
Modernist Muslim Movement, hal. 131-133.
75
Abdullah, Schools, hal. 41.
terbaik bukan dengan mengambil secara terbuka sentimen anti agama. 7676
Yang paling terkemuka di antara tokoh intelektual muda Islam, yang
bergabung dengan gerakan komunis adalah Haji Datuk Batuah, seorang, guru muda
terkenal di Sumatera Thawalib Padang Panjang. Dia telah menjadi komunis pada
awal tahun 1920-an dan mulai menyebarkan paham komunis melalui pengajaran di
bangku sekolah dan lewat tulisan-tulisannya. 77
Radikalisasi murid-murid dan guru-guru generasi muda Thawalib
menyebabkan timbulnya ketegangan antara mereka dan ulama-ulama tua, yang
memimpin sekolah dan berusaha membatasi kegiatan politik mereka. 78 Pengaruh
Haji Datuk Batuah dan koleganya yang juga guru di sana, Nazar Zainuddin, 79
mebuat sekolah Haji Rasul di Padang Panjang sebagai salah satu sumber
kerusuhan. Haji Rasul lalu ditentang oleh murid-murid dan guru muda itu, dan
akhirnya minta meletakkan jabatannya. Ulama yang menjadi pimpinan sekolah
agama di lain tempat juga tnenghadapi krisis serupa, tetapi untung tidak begitu
serius sehingga rnereka urnumnya mampu mengatasi gerakan radikal yang terjadi
di sekolah-sekolah mereka, dengan mengambil tindakan tegas terhadap para
pemimpin aktifis gerakan. 80
Aliansi antara tamatan Thawalib dan kaum komunis diperlemah oleh

76
Abdullah, Schools, hal. 41.
76 Benda dan McVey menulis bahwa, meskipun kepemimpinan sentral gerakan komunis
berhadapan dengan ketidakjelasan antara “credo” atheis komunis dan Islam, di Sumatera Barat “sejak
beberapa tahun sebelum pemberontakan gerakan komunis lokal semakin tidak menghiraukan
kecemasan pusat terhadap masuknya unsur agama dalam perjuangan mereka”. Benda dan Mc Vey,
“Communist Uprisings…”, hal. xxv.
77
Kern Collectie, No. 144, hal. 21-23. Menurut Hamka, Datuk Batuah pernah membantu
Haji Rasul di sekolahnya itu semenjak 1915 dan terkenal karena kecerdasnnya. (Hamka, Ayahku,
hal. 130). Dia menjadi komunis setelah melawat ke Jawa dan Aceh sejak awal tahun 1923,
terutama karena pengaruh Haji Misbach dari Solo. Hamka, Sejarah Is lam di Sumatera (Medan:
Pustaka Nasional, 1950. hal. 40). Menurut Hamka, "Hadji Dt. Batuah sejak semula telah memiliki
mental seorang pemberontak". Karena sikap mentalny a itu, dia menjadi seorang `komunis Islam'
atau 'Muslim revolusioner', nama yang cocok untuk orang komunis," Ajahku, hal. 131.
78
Dalam suatu laporan 30 Juni 1924, R. Kern melukiskan Haji Rasul sebagai tokoh yang
berpandangan bahwa tidak ada alasan untuk melakukan perang suci ("perang sabil) terhadap Belanda
dan menentang pemerintah Belanda sangat diharamkan. "Politieke Toestand ter Sumatra's Westkust:
Instelling Minangkabau Raad, Adviz aan G.G. 30 Juni 1924," Kern Colection # 144. hal. 20.
Dalam laporannya satu bulan kemudian dia mencatat bahwa ketika sang guru melarang "prang suci,
muridnya, Dt. Batuah, justeru mulai melakukan perlawanan terbuka terhadap pemerintah
Belanda. 145, p. 4.
79
Natar Zainuddin, menurut Kern, adalah tokoh berdarah campuran India dilahirkan di Sumatera
Barat, tetapi pernah bekerja sebagai kondektur kereta api di Aceh. Dia bergabung dengan Hadji Dt.
Batuah di sekolah Thawalib Padang Panjang tahun 1923, manakala dia dikirim pulang dari Aceh ke
tanah kelahirannya, sebagai bagian dari kebijaksanaan Belanda untuk memulangkan semua orang
yang dianggap berbahaya ke daerah asal mereka. Benda dan McVey, Communist Uprising. hal.
103; Kern # 144, hal. 19.
80
Noer, Modernist Muslim Movement, hal. 49-50.
penangkapan beberapa orang pimpinannya yang paling berpengaruh, di antaranya
termasuk Haji Batuah,81dan dengan disiplin partai yang lebih kaku, gerakan komunis
lalu mencoba untuk menclisiplinkan anggota.nya. 82 Itulah yang berlaku dalam
percobaan terakhir mereka dalam “pemberontakan komunis” yang dapat
digagalkan menentang kekuasaan Belanda yang meletus pada bulan Januari 1927. 83
Pada rnulanya direncanakan sebagai bagian dari suatu pemberontakan umum yang
akan digerakkan di seluruh Sumatera dan Jawa, pemberontakan di Minangkabau
meletus beberapa minggu setelah aksi pemberontakan yang dilakukan oleh kolega
mereka di Jawa dapat dibinasakan. Aksi pemberontakan itu selanjutnya semakin
surut, terutarna karena penolakan Tan Malaka, tokoh komunis Sumatera Barat yang
paling berpengaruh,8484 yang berusaha membaikot aksi pemberontakan itu. 85
Aksi pemberontakan di Sumatera Barat itu tidak terorganisir, terpencar-

81
81 Haji Dt. Batuah dan Natar Zainuddin ditangkap pada tgl. 11 November 1923 (Benda dan Mc
Vey, Communist Uprissing, hal. 100), dan diasingkan ke Timor 9 Januari 1925. J. Petrus Blumberger, De
Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie (Haarlem: Tjeenk Willink, 1933), hal. 42. Tentang
penangkapan mereka lihat juga Hamka, Ayahku, hal. 133: Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian
Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), hal. 164-65; dan “De jongste gebeurtenissen ter
Westkust van Sumatra,” Kern Collection Itanpa tahun]. # 148, hal. 11.
82
Benda dan McVey, Communist Uprisings, hal. 106-7; B. Schrieke, Indonesian Sociological
Studies, hal. 86-87,
83
Benda dan Mc Vey, Communist Uprisings, hal. 145-177; dan Schrieke, Indonesian Sociological
Studies, hal. 85-166
84
Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, lahir di Pandam Gadang, nagari dekat Suliki tahun 1897;
setelah menyelasaikan Sekolah Raja di Bukittinggi, ia menyelesaikan pendidikannya di Belanda dari
tahun 1913 sampai 1919. Setelah bekerja pada perusahaan “Senembah Corporation” di Sumatera Timur,
ia berangkat kemudian pindah ke Semarang tahun 1921, di sana terpilih sebagai pemimpin PKI (Partai
Komunis Indonesia) bulan Desember tahun itu juga. Dia diasingkan oleh Belanda bulan Maret 1922, dan
sejak itu tidak pernah kembali lagi ke Indonesia sampai tahun 1942. Tentang biografi lengkap Tan Malaka,
lihat Harry A, Paeze, Tan Malaka Strujder voor Indonesi ' es Vrijheid: Levensloop van 1897 tot 1945 (The
Hague. Nijhoff, 1976). Menurut Benedict Anderson, “seluruh hidupnya secara konsisten dicurahkan
untuk menghidupkan potensi Islam revolusioner di negeri-negeri jajahan dan kebutuhan akan perlunya
partai-partai komunis bekerja sarna dengan kelompok-kelompok Islam rtanal”. Benedict R. O'G.
Anderson, Jawa in Time Revolution (Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal. 272. Lihat juga Rudolf
Mrazek, “Tan Malaka: A Political Personality's Structure of Experience.” Indonesia, 14 (Oktober 1972),
hal. 7-49, khususnya mengenai biografi Tan Malaka dalam konteks warisan tradisi Minangkabau yang
menonjol dalam dirinya.
85
Menurut Kotjek dan. Salim (keduanya waktu itu adalah bendahara dan sekretaris organisasi pernuda
PKI dalam IPO [Internationale Padvindery Organisatie - Organisasi Kepanduan Internasional]), Tan
Malaka memerintahkan agar memisahkan diri dari gerakan komunis Sumatera Barat. Pengikut-
pengikut Tan Malaka mengemukakan bahwa pemberontakan akan berakhir dengan sia-sia dan itu
akan memberikan pulang bagi kaum imperialis untuk membinasakan gerakan revolusioner bagi
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada pertengahan 1926, banyak pemimpin LPO dan PKI yang
meninggalkan Sumatera Barat dan beberapa orang diantaranya keluar negeri, yang lainnya bergabung
dengan PARI (Partai Republik Indonesia) yang didirikan oleh Tan Malaka, Subakat, dan Djamaluddin
Tamin di Bangkok tahun 1927. Sewaktu masih berusia 13 tahun, Leon Salim waktu itu sudah mampu
bersembunyi dalam masyarakat. M. Yunus Kotjek dan Leon Salim, "Pergerakan Pemuda" (Naskah tidak
diterbitkan, 1962), hal. 2-3, dan wawancara dengan Leon Salim, 24 Oktober 1976.
pencar dan dengan cepat dapat ditindas, 86 namun dalih yang dipergunakan
Belanda ialah sebagai tindakan balasan terhadap sisa-sisa kekuatan anti-kolonial
dalam spektrum luas da.n vokal di daerah itu. 87
Meskipun reaksi Belanda yang begitu keras, gerakan politik yang
menggabungkan cita-cita kaum nasionalis dan agama terus memperoleh pengikut-
pengikutnya di Sumatera Barat. Dan ini memperoleh bentuk perkembangan baru
yang penting dengan tumbuhnya partai nasionalis-agama yang memiliki basisnya
di Minangkabau, ialah Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) yang didirikan
sewaktu kongres Sumatera Thawalib tahun 1930.88
Selama periode puncak kejayaannya, Permi berada di bawah kepemimpinan Ilyas
Yakub dan Muchtar Luthfi, yang sangat dipengaruhi oleh ide-ide nasionalis radikal,
yang mereka dapatkan selama belajar di Kairo.89 Di jajaran puncak kepemimpinan
Permi, kedua tokoh ini diperkuat oleh Djalaluddin Thaib, seorang guru yang aktif
di Thawalib dan. Diniyah School sejak ia kembali dari Mekkah tahun 1916.90
Tegasnya, Permi didirikan atas prinsip Islam dan nasionalisme dan mengambil sikap
politik “non-kooperasi” dengan Belanda dan tidak seperti kebanyakan partai-partai
Islam lainnya yang terdapat di Indonesia umumnya, partai itu memiliki hubungan
dekat dengan PNI Sukarno (Partai Nasional Indonesia), dan kemudian juga dengan
Partindo (Partai Indonesia).91 Belanda juga sangat mencurigai Permi, terutama karena
partai itu sejak semula mendorong perguruan Islam milik kaum reformis melakukan
perubahan sosial dan sikap anti-kolonia1. 92

86
Setelah beberapa kali penundaan, pemberontakan akhirnya meledak di Silungkang 1 Januari 1927
dan baru berhasil ditindas selunihnya oleh Belanda pada hari ke-12 bulan itu. Pemberontakan serupa juga
terjadi di daerah-daerah lain di Sumatera Barat pada saat yang sama, terutama di Suliki. Walaupun
barangkali a.da sekitar 20-30 orang Indonesia yang terbunuh dalam pemberontakan itu, hanya satu orang
Eropa saja yang tewas. Benda dan Mc Vey, Communist Uprisings. hal, 172- 73; McVey. Rise, hal. 345-46.
87
Sebagai akibat pemberontakan sekitar 2000 orang ditangkap di Sumatera Barat. Blumberger, De
Communistiche Beweging, hal. III
88
Abdullah, Schools.., telah menguraikan dengan sangat baik sekali tentang pasang surut partai
Penni, lihat khususnya hal 157-63 72- 77 202-6 dan 224-25. Lihat juga Noer, Modenist Muslim
Movement. hal 50-52 dan Hamka Ayahku, hal. 161-62.
89
Ilyas Jacub ikut serta dalam rnendirikan partai ini dan Muchtar Luthfi itu bergabung di dalamnya setelah
pulang tahun 1931. Tentang kegiatan kc„..dua tokoh ini di Cairo, lihat William R. Roff, “Indonesia and
Malay Students in Cairo in the 1920's,” dalam Indonesia, 9 (April 1970), hal. 73-87; dan Abdullah,
Schools... , hal. 139-54. Tentang rincian biografi mereka ini lihat Noer, Modrenist Muslim Movement, hal.
153-54; dan llyas Yacub, Haluan, Padang, 12,13 Agustus 1976.
90
Tentang tokoh Djalaluddin Thaib lihat Abdullah, Schools... , hal. 64-65; dan Noer, hal. 46.
91
Bouman, Enige Beschouwingen, hal. 86.
92
Pihak Belanda selalu merasa takut dengan apa yang mereka saksikan sebagai hal yang lebih
bahaya dengan adanya penggabungan gerakan Islam dan gerakan politik radikal. Ini ditunjukkan
sebelumnya sewaktu aj aran Haj i Dat uk B at uah m em buat nya dit angkap. besert a
pengikut-pengikut "komunis-Islamnya tahun 1923, sementara tokoh-tokoh komunis dalam
Serikat Rakyat dan PKI waktu itu ikut gelisah, tetapi tidak sampai tertangkap. Tentang tindakan-
tindakan yang diambil Belanda pada tanggal 11 November 1923, lihat Kern, no. 148. hal. 11.
Karena kuatnya dukungan rakyat, para pemimpin Islam dapat menggerakkan
perlawanan menentang tindakan Belanda, yang mereka anggap ditujukan terhadap
agama mereka. Ini dapat ditunjukkan dalam perlawanan mereka yang mencapai
puncaknya ketika menentang percobaan Belanda memperkenalkan Wilde Schoolen
Ordonantie (Undang-Undang Sekolah Liar) di Sumatera Barat pada akhir 1932.93
Sejalan dengan meluasnya aksi protes terhadap kehadiran ordonance ini, maka Permi
bekerja sama dengan setiap organisasi agama setempat yang lainnya, baik tradisional
maupun modern. Meluasnya penyatuan perlawanan mereka itu merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan Belanda to mtabatalkan maksudnya menghapuskan
partai itu.
Namun ini hanyalah kemenangan sementara saja karena dalam beberapa bulan
kemudian Belanda mulai bertindak lebih drastis terhadap semua gerakan politik di
seluruh Indonesia. Metode dasarnya ialah dengan menekan partaipartai politik yang
lebih radikal melalui peraturan ordonansi Vergaderverbod (larangan rapat); yaitu
melarang diadakannya rapat-rapat politik tanpa izin pemerintah. Peraturan larangan
rapat politik itu berlaku untuk seluruh Indonesia dan diterapkan untuk mencegat
kepemimpinan nasional dalam partai-partai seperti Partindo dan Pendidikan
Nasional Indonesia (PNI-Baru).94 Namun di Sumatera Barat khususnya, peraturan
itu ditujukan terhadap Permi dan partai politik Islam radikal lainnya, seperti PSII
(Partai Serikat Islam di Indonesia).95 Di samping itu, Belanda menangkap sejumlah
pemimpin dari kedua partai itu, termasuk Ilyas Jakub. Muchtar Luthfi dan
Djalaluddin Thaib,96 dan diteruskan dengan aksi-aksi penindasan terhadap Permi
93
Tentang kampanye menentang "Ordonasi Sekolah-sekolah Liar", lihat Abdullah, Schools... ,
hal. 216-21.
94
Kedua tokoh pendiri Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yaitu Sutan Syahrir dan
Mohammad Hatta ditangkap pada bulan Februari 1934, bersama-sama dengan tokoh peminpin partai
nasional lainnya. Hatta mendirikan cabang PNI barn di Sumatera Barat sewaktu dia berkunjung ke
Sumatera Barat tida.k lama setelah ia kembali dari Belanda. PNI-Baru Cabang Sumbar dipimpin oleh
Chatib Sulaiman clan 'Leon Salim, kemudian Tamimi Usman, yang semula bekerja sama
dengan kepemimpinan partai nasional di Jakarta dan Bandung. Menurut Tamimi Usman, Belanda
hanya mengarahkan perhatiannya kepada kepemimpina partai di tingkat nasional, sedang
pemimpin-pemimpin lokal tidak ditangkap.
Wawancara-wawancara di Koto Baru, Padang Luar, Bukittinggi, 22 Juni 1976. Tentang
penangkapan Hatta dan Sjahrir, lihat George McT. Kahin Nationalism and Revolution in Indonesia
(Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1952), hal. 93.
95
Cikal bakal partai politik massa yang pertama di Indonesia seperti Serikat Islam (PSI') di
Sumatera Barat lebih radikal daripada di daerah-daerah lain di Indonesia. Menurut Taufik
Abdullah (Schools, hal. 204-5), "meskipun partai itu .di Sumatera Barat dan Tapanuli
sangat anti-pemerintah, di Jawa tidaklah demikian. Cabang PSII di Jawa, kedatipun tetap
konsisten dengan sikap non-koperatifnya, mereka sebenarnya lebih moderat daripada cabangnya
di Minangkabau". Pada mulanya PSII di tingkat nasional dilarang, tetapi peraturan itu segera
dirobah, dan status legal PSII di luar Sumatera Barat dan Tapanuli tetap tidak mengalami perobahan.
Organisasi kepartaian di Jawa masih tetap berada di bawah pemimpin Tjokroaminoto dan Haji Agus
Salim. Noer, Modernist Muslim Movement, hal. 138- 40.
96
Antara bulan November 1932 sampai September 1933, sebanyak lima puluh lima orang
tokoh Permi ditangkap. Tindakan penangkapan terus berlanjut sampai pertengahan tahun berikutnya.
sampai akhirnya partai itu dibubarkan tahun 1936. 97
Tindakan keras Belanda selama tahun 1933-1934 telah mengubah
sepenuhnya situasi politik di Sumatera Barat. Seterusnya setiap kegiatan politik,
baik yang terjadi dalam saluran-saluran yang direstui Belanda, maupun yang bergerak
di bawah tanah. Penangkapan pemimpin-pemimpin Permi khususnya, tetapi juga
terhadap pemimpin PSII, merupakan pukulan hebat terhadap setiap ikhtiar
intelektual muda Islam untuk menggabungkan ajaran Islam dan ide-ide sosialis
radikal ke dalam suatu gerakan nasionalis yang kuat.
Selama beberapa tahun masa hidupnya, Permi telah berhasil menyatukan dalam
dirinya tujuan-tujuan nasionalis agama dan sekuler, yang tidak pernah dapat dicapai
oleh partai-partai manapun juga, keunggulan kepemimpinanny a dalam melancarkan
gerakan anti-Belanda di Sumatera Barat tidak pernah dicapai lagi. 98
Ketika kekuatan Permi terancam, 99 pusat kegiatan politik terbuka di Sumatera
Barat beralih dari partai politik. Di bidang agama, organisasi sosial dan pendidikan
Islam, Muhamadiyah masih cukup berpengaruh, tetapi setelah Permi dibubarkan ia
lalu memangkas kegiatan-kegiatan politiknya.100 Partai Sosialis Hatta dan Syahrir,
yaitu PNI Baru yang didirikan di Sumatera Barat tahun 1932, tidak pernah
Pada bulan-bulan terakhir tahun 1933. tidak hanya Muchtar Luthfi, Ilyas Yacub dan Djalaluddin
Thaib yang ditangkap Belanda, tetapi juga dua orang pimpinan PSII Sumatera Barat: Hadji Uddin
Rahmany, Sabillah Rasah. Mereka ini semuanya, terrriasuk tokoh PSII, Datuk Singo Marajo dibuang
awal tahun 1934. Abdullah, Schools... , hal. 202-6.
97
Ibid, hal. 224-225.
98
Sebagian besar mereka ini menjadi berantakan selama menjalani masa-masa pahit dalam
penjara pembuangan di Digul. Di antara tiga pemimpin puncak Permi, akhirnya hanya Ilyas Yacub
saja yang dapat kembali bergabung dalam kepemimpinan Republik di Minangkabau pada masa
perjuangan kemerdekaan setelah ia diizinkan kembali ke Sumatera Barat akhir tahun 1946. Pada
mulanya Belanda menolak memberi izinnya kembali ke Indonesia, tetapi toh akhirnya diizinkan juga
pulang sewaktu diadakan Persetujuan Linggarjati. Muchtar Luthfi tidak kembali ke Sumatera
Barat. melainkan menetap di Makasar. Djalaluddin Thaib bekerja untuk Belanda di Melborne dan
diperintahkan kembali bersama Belanda ke Minangkabau sebagai perwira penghubung untuk
Belanda. Dia ditangkap oleh kaum Republik dan akhirnya dibebaskan tahun 1947 atas desakan
Wakil Presiden Mohammad Hatta, setelah bersedia untuk memberikan kerja samanya kepada
Republik. Dt. Singo Maradjo dari PSII, walaupun kembali ke Indonesia dengan Belanda, dia
berhasil menyeberang ke pihak [Republik] Indonesia. Hatta kemudian men ginmnya
kembali ke Sumatera Barat, namuun ia akhirnya rneninggal di awal tahun 1946. Sabilar Rasat Dt.
Bandaro kembali ke Indonesia bulan November 1945, tetapi menetap di Jokyakarta selama
Revolusi. "Surat dari Mohamad Bondan, 22 Maret 1977. Tentang Iljas Jakoeb dan Djalaluddin Thaib
lihat Genderang Proklamasi di Luar Negeri (Jakarta: "Kawal," 1971), hal. 44-45, dan tentang H.
Udin Rachmani, ibid, hal. 56-57. Tentang Djalaluddin Thaib lihat juga Politik Verslag, Sumatera
18 Januari 1946 dalam Algemene Secretaris Batavia II, no. 515 "Politiek Verslagen betreffende
Sumatra, Januari 1946- Oktober 1948"; dan laporan L.B. van Straten. 23 September 1947
(Mailrapport„ Nr. 87/Gch/47); dan Overzicht Nr. 43, Padang 3 Oktober 1947 (GG7 bundel Nr.
1836 HKGS-NOI 1947, Min. van Def).
99
Selama dua tahun terakhir keberadaannya, Permi di bawah pimpinan Rasuna Said dan
khususnya di bawah Mansur Daud Dt.Palimo Kayo, tampil sebagai partai yang sangat moderat,
tetapi tidak cukup untuk membuat damai Belanda. Penguasa Belanda malahan tidak hanya semakin
membatasi kegiatan politiknya, tetapi juga di lapangan pendidikan,
memperoleh banyak pengikutnya. 101Sementara Pertindo yang diperkenalkan ke
daerah ini pada tahun berikutnya (1933) juga hanya memperoleh sedikit
pendukungnya. Menjelang tahun 1938, surat kabar lokal di Padang mencatat bahwa di
seluruh pantai [ Sumatera] Barat tampaknya tidak lagi muncul gerakan partai
populer.102

Depresi Ekonomi dan Pembenahan Kekuatan


Perobahan-perobahan yang terjadi pada awal tahun 1930-an diperkuat oleh situasi
ekonomi. Sehubungan dengan zaman susah akibat “depresi ekonomi” agaknya
kurang dirasakan di Sumatera Barat dibanding dengan daerah lainnya Lit Indonesia,
karena secara ekonomi daerah ini mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Namun
sekitar menjelang tahun 1935, nilai ekspor import perdagangan di Padang menurun
25% daripada tahun 1929. 103 Terutama jatuhnya harga-harga kopi, 104 karet, 105dan
kopra106 di pasar. Junta membawa pengaruh penting terhadap Sumatera Barat.
Komunitas perdagangan memainkan peranan penting dalam masyarakat
Minangkabau, terutama semenjak pergantian abad ini. Dalam tahun 1916
pedagang-pedagang Minangkabau mendirikan “Saudagar Vereeniging”
(Persatu-an Saudagar)107 dan tahun 1914 "Serikat Usaha", sebuah asosiasi pendidikan
para pedagang di bawah pimpinan Taber gelar Marah Sutan. 108108 Kedua
perkumpulan ini khususnya penting dalam membantu kegiatan Kaum Muda dan
100
100 Berbeda dengan Muhamadiyah di Jawa, di Sumatera Barat organisasi itu sebelumnya tidak
membatasi dirinya pada kegiatan di bidang pendidikan dan sosial. Muhammadiyah adalah satu-satunya
organisasi Islam yang ditolerir oleh Belanda di Sumatera Barat, namun begitu toh tidak mendapat jatah kursi
dalam Minangkabau Raad, yaitu suatu dewan penasehat yang dibentuk Belanda tahun 1938. Drs. M. D.
Mansoer [et. al.], Sedjarah Minangkabau (Djakarta: Bhratara, 1970), hal. 184-85.
101
101 Lihat catatan 94 di atas.
102
102 Bouman. Enige Beschouwingen, hal. 87.
103
Oki, “Social Change,” hal. 141. Disertasi Oki memberikan gambaran yang sangat baik tentang
situasi ekonomi di Sumatera Barat dalam tahun 1920-an dan 30-an. 104.
104
Harga kopi (Robusta) yang diekspor dart Padang jatuh dart f. 774 (gulden) per ton dalam tahun
1929 menjadi f. 454 dalam 1930, dan hanya f. 121 dalam tahun 1938. Oki “Social change... ,” hal. 146-
47.
105
Harga kopi mencapai titik tertinggi dalam tahun 1925 dan mulai jatuh drastis setelahtahun 1927.
Harga kopi per ton tahun 1927 adalah f. 1.200, dan f. 699 pada tahun 1929, dan jatuh ampai f. 130 tahun
1932. Belanda memberlakukan pembatasan produksi dan ekspor antara tahun 1934-1937 dan sejak itu
harga stabil. Ibid, hal. 148-50.
106
Harga per ton kopra dalam tahun 1938 hanya merosot 6% dart harga tahun 1929. Ibid, hal. 157.
107
Antara tahun 1929 s.d. 1935 namanya digand menjadi “Himpunan Saudagar Indonesia” Propinsi
Sumatera Tengah, hal. 753: Abdullah.”Minangkabau...”, hal. 102.
108
Tentang Marah Sutan lihat, Moh. Hatta, Memoir (Jakarta: Tintarnas, 1979. hal. 41-42); sebelumnya is
juga ikut sebagai salah seorang pendiri Sekcilah Adabiah bersarna Dr. Abdullah Ahmad di Padang. Propinsi
Sumatera Tengah, hal. 753: Noer, Modernist Muslim Movement, hal. 182; Abdullah, "Minangkabau.... ", hal.
92-93.
Kaum Tua109 109, tetapi mereka juga menyokong organisasi-organisasi politik kaum
nasionalis,110110 yang sering bertindak sebagai penengah pengaruh antara kelompok-
kelompok yang bertentangan secara ideologis. 111111 Taufik Abdullah lebih jauli
menunjukkan, bahwa keberhasilan Kaum Muda adalah berkat dukungan yang
mereka terima dari komunitas perdagangan lokal, dengan menyatakan bahwa
"keberhasilan gerakan-kaum modernis Islam ... tidaklah dapat dibayangkan tanpa
bantuan kelompok ini". 112112 Jelaslah, kegiatan kelompok pembaharu Islam tidak
mungkin demikian ekstensif, juga ti da k d em ik ia n "i nd ep en de n" , k al au
bu ka n t an pa du ku ng an pedagang-pedagang lokal.
Krisis ekonomi di awal 1930-an memperkuat kedudukan eksportir Belanda yang
mencoba memutuskan jaringan komunitas pengusaha independen pribumi dan
lalu menggantikannya dengan perantara mereka sendiri. 113113 Sebagai tanggapan
terhadap tekanan ini, maka perkumpulan dagang lokal memperkuat organisasi-
organisasi mereka, misalnya dengan mendirikan bank-bank sendiri,114114 dan dalam
menghadapi persaingan [pedagang] Belanda, mereka memberikan reaksi,
terutama dengan mencoba menekan pengusaha-pengusaha Cina
setempat. 115115
Lebih panting lagi, krisis ekonomi memaksa banyak pedagang keci1 116
minggat
109
Sokongan keuangan dart kolompok pedagang adalah penting untuk perguruan- perguruan Islam
di Padang. Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) dan Normaal Islam. yaitu pendidikan guru
("teacher's training college") yang didirikan oleh Abdullah Ahmad dibuka tahun 1930 di Padang.
Abdullah, "Minangkabau," hal. 92-94: juga dart penulis yang sama, Schools , hal. 214; Propinsi
Sumatera Tengah, hal. 754-55.
110
Para pedagang dart Maninjau dan Pariaman tampaknya ikut menjadi merintis Muhamadiyah
di daerah Pesisir Selatan. Wawancara dengan Anwar Dt. Pintu Langit (Kambang, Painan), 25 Agustus
1976. Lihat juga Abdullah, “Minangkabau”, hal. 102.
111
Para pedagang secara perorangan juga membantu murid-murid yang miskin. Donator
terkemuka di antara mereka adalah Basa Bandaro, yang menyokong biaya pendidikan Chatib
Sulaiman sehingga bisa masuk sekolah MULO. Basa Bandaro adalah teman ayah Chatib
Sulaiman, seorang pedagang yang bangkrut di akhir PD I. Abu Rifai, Chatib Sulaiman (Jakarta:
Dep. P&K, 1976). hal. 3.
112
Abdullah, “Minangkabau”, hal. 58.
113
Old, “Social Change,” hal. 170.
114
Bank Nasional ini didirikan oleh Anwar Sutan Saidi 1930. Propinsi S u m a t e ra T en ga h,
ha l . 7 54 - 55 . De ng an b an t u an ba nk i ni , pedagang-pedagang Minangkabau mampu mendirikan
Inkorba (Inkoops Organisasi Batik), suatu perusahaan impor tahun 1935 dan tiga tahun kemudian
terdaftar sebagai N.V.[Naamloze Vennootschap]. Sumatera Tengah, hal. 104.
115
Dalam tahun 1938 cabang “Himpunan Saudagar Indonesia” di Padang (sebelumnya benama
“Saudagar Vereeniging,”) mernbuat persetujuan kontrak dengan Inkorba, a.l. disepakati bahwa
semua barang impor akan dijual lewat organisasi dan bukan lewat makelar-makelar Cina. Di Halaban
dilaporkan bahwa para pedagang Minangkabau mengambil alih perdagangan gambir dart Cina
sejak awal tahun 1930-an, dan dalam tahun 1934 laporan Jepang mengatakan bahwa
pedagang-pedagang Minangkabau menguasai seluruh perdagangan katun dan pendistribusian
bahan baku tekstil. Oki. “Social Change”, hal. 171.
116
Oki membedakan dua ripe pedagang Minangkabau: pedagang independen dengan modal sendiri
ke luar dari lingkungan perkotaan dan bahkan dari dunia bisnis. Merasa tidak lagi
mampu bertahan, maka para pengusaha kecil ini pulang ke kampung mereka dan
hidup dari mata pencaharian subsistensi dengan mengerjakan tanah keluarga.
Produksi pertanian kemudian meningkat di Sumatera Barat, khususnya produksi
beras, tetapi selain itu juga sayur-mayur dan plawija. Sebagai bagian dari
konsekuensi depresi ekonomi, banyak anggota keluarga penduduk kota yang
pulang ke kampung halaman mereka dan selanjutnya kedudukan penghulu naik
kembali. 117Sementara itu, penindasan politik Belanda terhadap partai-partai
nasionalis agama radikal, kembali memperkuat kedudukan adat di Sumatera Barat.
Selama hampir sepanjang tahun 1920-an dan 1930an, menyusul
kemunduran organisasi adat SAAM (Serikat Adat Alam Minangkabau), 118 masih ada
sedikit persatuan di kalangan segelintir kelompok adat yang hidup terpecah belah.119
Namun pada tanggal 31 Oktober 1937, suatu organisasi adat yang baru,
MTKAAM (Majelis Tinggi Kera-patan Adat Alam Minangkabau), telah
didirikan dengan tujuan untuk menyatukan seluruh kekuatan adat di daerah ini.
Perkumpulan ini lebih radikal dan lebih “independen” daripada lembaga adat
sebelumnya, dalam memperotes ordonansi pemerintah yang dianggap menghina
adat Minangkabau. 120
Gambar 3: Peta Kresidenan Sumatera Bagian Barat (menurut pembagian
Administratif dan Kepadatan Penduduk - tahun 1930)
Semenjak tahun 1918 organisasi adat telah memprakarsai berdirinya dewan
perwakilan di Sumatera Barat. Di forum itu pengaruh mereka bisa manyaingi para
pemimpin agama dan partai politik. 121 Para anggotanya dari organisaasi adat yang
mengetahui lebih banyak seluk beluk administrasi Belanda mendukung usul itu
dengan alasan, bahwa dewan semacam itu tidak bertentangan dengan tradisi
Minangkabau. Lagi pula ia kan memperkuat kedudukan kaum adat terhadap
kelompok lain, yang kurang kooperatif dengan pemerintah.122 Selama tahun 1920-an

dan yang tergantung kepada importir dan eksportir Eropa atau lembaga perkreditan. (ibid, hal. 169).
Pedagang ripe keclua tidaklah bertahan lama dalam tahun 1930-an.
117
Menurut Oki. alasan penghulu adalah: “dengan berpegang kepada adat. kamu tidak akan
kelaparan”. Ibid, hal. 174.
118
SAAM yang didirikan tahun 1916 oleh Datuk Sutan Maharadja dianggap sebagai [bagian]
“Partai Nasional Minangkabau”: Abdullah, “ Minangkabau...”, hal. 76-82. Datuk itu
kehilangan sebagian hesar pendukungnya menjelang kematiannya tahun 1921. idem., “Moderniza-
tion,” hal. 242-47.
119
Tentang perkembangan partai-partai adat yang kecil tahun 1920-an, lihat Abdullah,
“Minangkabau.” hal. 164-165.
120
MTKAAM yang didirikan dalam suatu pertemuan sekitar 500 pemimpin adat dari seluruh
daerah Sumatera Barat, menggerakkan aksi protes terhadap Ordonasi pemerintah yang baru itu.
Wawancara dengan Datuk Simarajo (Simabur, Batusangkar), 22 Agustus, 1976; Oki, “Social
Change”, hal. 185.
121
Abdullah, “Minangkabau”, hal. 159-61.
122
Kern # 144, 30 Juni 1924.
dan awal tahun 1930-an, satu-satunya badan perwakilan di daerah ini hanyalah
Dewan Pamong Praja Kota, semula hanya ada di Padang dan Bukittinggi, tetapi
kemudian juga terdapat di beberapa kota besar lainnya. Meskipun di dalam dewan itu
juga ada wakil-wakil Indonesia, mayoritas kursinya diisi oleh orang Belanda. 123
Sebelum tahun 1938 suatu dewan penasehat (Minangkabau Raad), akhirnya
didirikan di seluruh keresidenan. 124 Diketuai oleh Residen Belanda, dan dengan
seorang selcretarisnya dari pejabat Indonesia, yaitu Dt. Perpatih Baringek, anggota
dewan semuanya berjumlah 49 orang, di antaranya ada 38 orang wakil Indonesia. 125
Namun pemilihan anggota mayoritas orang Indonesia yang duudk di dalamnya
diseleksi secara ketat, 126 dan pemerintah juga sangat membatasi issu-issu yang
akan dibicarakan di dalam dewan. 127
Meskipun hanya memiliki kekuasaan yang terbatas pada waktu itu,
pengaruh Minangkabau Raad berlanjut sampai ke periode paska-kolonial. Sebagai
satu-satunya badan regional yang mencerminkan beberapa wakil Indonesia dalam
keanggotaan dewan, ia pun telah dimanfaatlan oleh Jepang sebagai basis badan
penasehat mereka di tingkat keresidenan, yaitu Shu Sangi Kai (Komite Dewan
Penasehat di tingkat Keresidenan), yang setelah proklamasi kemerdekaan

123
Dalam Dewan Kota Padang, orang Belanda mendapat 10 kursi, Bumiputra 5 kursi dan unsur
etnik asing lainnya 2 kursi. Dalam Dewan Kota Bukittinggi Belanda memiliki 5 orang wakilnya,
Bumiputra 3 orang, etnik asing 1 orang. Centraal Kantoor Voor de Statistiek, Indish Verslag 1941, nr.
11. Statistische jaaroverzicht van Nederlandsch Indie over het jaar 1940 (Landsdrukkerij:
Departement van Economische Zaken, 1941), hal. 540-41.
124
Dalam sidang pertama diadakan tanggal 26 Juli dibuka oleh Gubernur Sumatera, A. J. Spits.
Lihat Sutan Sulaiman glr. Angkoe Tan Toeah Bg. Ratoe, Minangkabau dengan Minangkabau Raad
(Fort de Kock: “Merapi”, tanpa tahun [c. 1940), hal. 51. Mengenai Minangkabau Raad, lihat juga Dr.
J. J. Schrieke, “The Administrative of the Netherlands Indies,” II dalam Bulletin of the colonial
Institute of Amsterdam, no. 2 (1938-39), hal. 245-66, khususnya hal. 262-66.
125
Belanda memiliki 9 kursi dan untuk “unsur-etnik asing lainnya” (yaitu Cina, India dan Arab)
ada 2 kursi. Indische Verslag 1941, hal. 540- 41.
126
Ada dua jenis keanggotaan: wakil daerah dan anggota yang diangkat dari unsur masyarakat
yang berbeda-beda; keanggotaan untuk jenis pertama sebanyak 22 orang dan untuk jenis kedua
sebanyak 16 orang. Lihat Sulaiman, Minangkabau, hal. 48-50, mengenai keanggotaan lengkap
Dewan). Dalam pemilihan dewan perwakilan di daerah pemilihan yang berpenduduk padat setiap 200
suara (pemilih) memperoleh hak dua orang wakilnya dan di daerah pemilihan berpenduduk jarang
setiap 100-150 suara, memperoleh hak 1 orang wakilnya. Ibid, hal. 45-46.
127
127 Dewan dapat mendiskusikan masalah-masalah pendidikan, industri, pembangunan pisik,
transportasi dan kesehatan masyarakat, tetapi tidak diperkenankan mendiskusikan masalah
pemerintahan dan hokum. Pemasukan anggaran yang utama diperoleh dari pajak umum, penyewaan
penginapan-penginapan umum, pajak ternak, pelayaran, dan pajak bangunan, kesehatan umum
dan pendidikan. Dai Nijugogun gunsei kanbu, Dai Nijugogun gunsei nenpo (Laporan Tahunan
Tentara ke-25, Pemerintahan Militer Jepang), 1 Juli 1943), khususnya Bab 9: "Internal
Administration", hal. 92. Fachruddin H.S. Dt Madjoindo, Situjuh Batur, Payakumbuh 1 Agustus,
1976. Menurut Fachruddin, mantan anggota Dewan yang diangkat mewakili Limapuluh Kota, isu-
isu yang dilarang oleh pemerintah itu sebatulnya juga ikut didiskusikan, dan dalam forum dewan
tersebut banyak sekali kritikan terhadap kebijakan Belanda. Juga wawancara dengan H.D.P. Sati
Alimin, bekas anggota Dewan mewakili daerah Suliki (Payakumbuh), 17 November 1976.
Indonesia dirobah namanya menjadi Komite Nasional Indonesia (KNI).
***
Selama tahun-tahun terakhir periode kolonial, partai-partai politik akhirnya
digantikan oleh badan konsultatif yang disponsori Belanda. Anggotanya
diambilkan dari para pejabat pemerintah kolonial setempat, organisasi adat dan
sebagian dari kelompok pengusaha. Dengan demikian, ketika tokoh-tokoh agama
yang radikal ditangkapi dan dibuang atau dipaksa membubarkan diri, kaum
nasionalis berpendidikan Barat dan kaum adat serta beberapa tokoh ulama moderat,
tampil ke panggung politik Sumatera Barat. Oleh karena ingin bergerak dalam arena
yang sudah ditentukan oleh Belanda itu, tokoh-tokoh pimpinan lokal ini dapat
memperoleh pengalaman pemerintahan sebagai administrator- administrator di
tingkat bawah atau karena keanggotaan mereka dalam dewan penasehat yang
direstui. Belanda itu.
Namun akan kelirulah untuk menyimpulkan bahwa dalam tahun 1934, dengan
terjadinya penangkapan dan pengasingan para pemimpin Permi, Belanda berhasil
menghapuskan pengaruh nasionalis agama. Gagasan-gagasan dan perguruan mereka
tetap hidup di sekolah-sekolah, dan terutama di lembaga-lembaga perguruan
agama yang lebih tinggi, yang pertama kali didirikan di Padang, dan yang akhimya
meluas ke seluruh Sumatera Barat pada tahun 1930-an. 128 Organisasi-organisasi
pemuda terus menyediakan saluran-saluran bagi penyebaran ide-ide mereka, bahkan
ketika partai-partai politik telah dilarang dan ketika pemimpin nasionalis senior
sudah digeser atau dibungkam.
Sesungguhnya pada akhir tahun 1920-an dan selama tahun 1930-an,
organisasi-organisasi pemuda, khususnya yang memiliki pertalian dengan
Muhamadiyah, dan sekolah-sekolah Diniyah serta Tawalib, adalah penentang paling
gigih terhadap penguasa kolonial Belanda. Walaupun kemangkusan mereka
semakin merosot karena kurangnya persatuan, 129 mereka terns memberikan
periawanan vokal terhadap penguasa kolonial, baik melalui tulisan-tulisan; pidato-
pidato, maupun nyanyian-nyanyian dan drama. Mereka umurnnya lebih radikal

128
Ini khususnya mengacu kepada Islamic College di Padang, yang didirikan oleh Partai Permi,
pada mulanya berada di bawah pinanan Ilyas Yacub dan Muchtar Luthfi. Tujuan perguruan tersebut
dan diperkirakan ada sekitar 13 cabangnya dengan sejumlah murid-muridnya di daerah lainnya di
Sumatera Barat tahun 1930-an -- adalah "untuk mendidik kader kemerdekaan". Istilah ini
digunakan oleh Sjarief Usman (Jakarta). 23 Oktober 1976, dan Sjamsul Bahar (Kayutanam) 26
November 1976. Menurut mereka dan juga menurut bekas murid-muridnya yang lain, perguruan itu
merupakan pusat pendidikan yang utama bagi calon para pemimpin perjuangan di kalangan intelektual
muda Islam dan mendapat pengaruh yang kuat dari gerakan Swadesi di India. Lihat juga. Abdullah,
Schools, hal. 214-16; Oki, "Social Change," hal. 172.
129
Dalam tahun 1928 PMDS (Pemuda Murid-murid Diniyah School) dan Sumatera Thawalib
bergabung membentuk kepanduan EL-Hilaal (Bulan Sabit), tetapi organisasi ini pecah dua tahun
berikutnya. Murid-murid Diniyah akhirnya membentuk Kepanduan Indonesia Muslimin (KIM).
Pada tahun 1932 EL-Hilaal merupakan organisasi pemuda yang terbesar di Sumatera Barat dengan
jumlah anggota resmi sebanyak 3.000 orang. Bouman, Enige Beschouwingen, hal. 73. Lihat juga
Salim dan Kotjek, Pergerakan Pemuda, hal. 5-6; Abdullah, Schools, hal. 222.
daripada organisasi-organisasi induknya, dan organisasi kepanduan Hizbul
Wathan dari Muhamadiyah, yang menganggap diri mereka sebagai “serdadu-
serdadu Muhamadiyah”. 130 Sepanjang tahun 1930-an terdapat upacara arak-arakan
yang hebat dari anak muda ini di dalam dan di luar penjara untuk melakukan unjuk
kegiatan “pembangkangan”.
Namun dernikian, penindasan Belanda selama akhir tahun 1920-an dan awal
tahun 1930-an, mampu menahan mainstreams (arus utama) gerakan nasionalis di
Sumatera Barat. Meskipun selama periode revolusi para pemimpin Islam itu
secara perorangan bisa bekerja sama dengan kepemimpin Republik yang didominasi
oleh kelompok sosialis di daerah ini, kaum modernis Islam sebagai satu kelompok
tak pernah lagi berada di garis depan dalam perlawanan Minangkabau menentang
kekuasaan kolonial, seperti yang pernah mereka tujukkan sampai tahun 1934.

130
Menurut H.A.K. Dt. Gunung Hijau, organisasi pemuda ini mulanya

Anda mungkin juga menyukai