1. Pengantar
Bukan hal yang baru jika dalam kebudayaan-kebudayaan asli terdapat berbagai ajaran
yang membuat orang-orang yang tergabung dalam kebudayaan itu mendapat pengajaran yang
datang dari kebudayaan yang terus dijaga dan dilestarikan. Salah satu yang sangat berpengaruh
adalah sastra lisan yang dapat berupa pantun, syair, dan lagu.
Dalam upaya menjaga dan melestarikan sastra lisan yang bernilai ini banyak ahli dan
pemerhati kebudayaan telah berupaya untuk membukuhkan itu dalam sebuah jurnal atau artikel
agar dapat terjaga keberadaaannya. Sastra hikmat yang memuat gambaran kebijaksaaan orang
Israel juga dapat ditemukan dalam kitab perjanjian lama (Amsal, Ayub, Kidung Agung,
Pengkhotbah, Mazmur). Dan jika ditelusuri atau dikomparasikan ternyata sastra kebijaksanaan
Israel memiliki kesamaan dengan berbagai jenis sastra dalam banyak kebudayaan salah satunya
kebudayaan Minahasa.
Pada dasarnya bentuk komparasi yang menghasilkan beberapa hal yang kurang lebih
sama, tidak serta merta mengatakan kedua tradisi ini identik hal ini sangat tidak mungkin, namun
bisa dikatakan ada benang merah antara kedua tradisi ini karena kedua-duanya memiliki objek
kebudayaan yang kurang lebih sama contohnya; dalam kebudayaan Israel dan minahasa terdapat
kumpulan manusia-manusia, adanya pemimpin dalam kelompok, memiliki ajaran dan praktek
moral berupa hukum tertulis dan tidak tertulis dan yang paling penting mempercayai keberadaan
Yang Maha Kuasa, Maha Kuat. Sebagai bagian dari tradisi Kekristenan Sastra kebijaksanaan
Israel telah banyak dikenal orang-orang Kristiani diberbagai tempat termasuk sebagian besar
orang Minahasa yang kini mayoritas beragama Kristiani. Oleh karena itu dalam usaha
mengkomparasikan kesetian dalam tradisi Minahasa dan Sastra Hikmat Israel akan lebih banyak
dibahas latar belakang tradisi kebudayaan Minahasa.
2. Latar Belakang Kebudayaan Minahasa
2.1 Letak Geografis Minahasa
Kebudayaan Minahasa juga sama seperti kebudayaan-kebudayaan pada umumnya yaitu
memiliki ritus-ritus adat, tutur atau bahasa adat, tarian, pemujaan kepada yang tertinggi dan lain
sebagainya. Setiap unsur yang ada sejatinya selalu memiliki nilai yang yang berguna bagi
kehidupan masyarakat Minahasa atau orang yang memiliki kebudayaan Minahasa. Dan satu hal
yang pasti kebudayaan Minahasa memiliki lokasi atau tempat ia berkembag dan berbudaya.
Kebudayaan Minahasa merupakan kebudayaan yang lahir dan berkembang di bagian Utara pulau
Sulawesi atau di propinsi Sulawesi Utara, tepatnya di kabupaten Minahasa yang luasnya 4.619,6
km persegi, terbagi atas 30 kecamatan, 534 desa, jumlah penduduknya 831.40 jiwa (1987). 1
Ibukotanya adalah Tondano yang terletak di tepi Danau Tondano. Dibagian Utara wilaya ini
berbatasan dengan Kabupaten Sangihe, Talaud dan laut Sulawesi, dibagian Timur berbatasan
dengan Laut Maluku, di bagian Selatan berbatasan dengan kabupaten Bolaang Mongondow, dan
dibagian barat dengan Laut Sulawesi. Suku Minahasa yang berada ditanah Minahasa merupakan
1 Iin Solihn, Minahasa Kabupaten, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: PT. Delta Pamungkas), 314 -316. Hal.
314.
satu kebudayaan yang sangat menarik dan unik untuk digali setiap nilai-nilai yang dimilikinya.
Informasi-informasi yang akan termuat pada bagian selanjutnya merupakan upaya penulis
melakukan sebuah penelusuran
Minahasa secara geografis terletak di ujung Sulawesi. Dahulu dikenal dengan nama
“Malesung” yang berasal dari kata lesung (lesung artinya tempat menadah air). Orang Malesung
dikenal sangat religius terbukti dengan adanya aktifitas menampung air hujan opo-opo air yang
dipakai untuk mencuci muka sebagai syarat untuk berhubungan dengan Tonaas atau pemimpin
pemerintahan. Maksud dari kegiatan itu untuk meminta pertolongan agar diberikan kekuatan,
kesembuhan, penolak bencana, atau keberuntungan dan lain-lain. Minahasa mempunyai luas
areal 4784 Km² dengan batas-batas:
Bagian Utara dengan Selat Bangka. Bagaian timur dengan Selat Maluku. Bagian selatan
dengan Bolaang Mongondow. Bagian barat dengan Laut Sulawesi. Minahasa terdiri dari 30
kecamatan yang terdiri atas 7 bahasa/ dialek daerah diantara 615 bahasa-bahasa Indonesia.
Menurut hasil penyelidikan para ahli Eropa yang perna menjelajah daerah ini, penduduk daerah
Maelesusng berasal dari sebelah Utara yakni suku Mongol dekat pegunungan Himalaya.
Pendapat ini didasarkan pada pengamatan terhadap beberapa ciri khas yang ternyata kedunya
memiliki kesamaan yaitu seperti warna kulit yang agak kuning lansat, ukuran badan sedang,
rambut lurus dan tebal. Dr. Funke dalam penelitian Rattu (1966) tentang bahasa Tontemboan
dikemukakan bahwa “suku Minahasa sebagian besar berasal dari rumpun bangsa Polinesia
putih bercampur Mongol”. Pendapat yang demikian dikemukakan juga oleh Brower dan kawan-
kawan dalam buku Based on Molenggraf tentang terjadinya migrasi dari Utara. Di zaman
Poleistosein yang diperkirahkan 10.000 tahun silam arus mobilisasi penduduk datang dari dua
arah yakni dari lembah pegunungan Himalaya melewati Burma, Siam melewati semenanjung
Malaya (Malaysia sekarang) dan selanjutnya ke Kalimantan Utara. Arah lain yaitu melewati
kepulauan di Philipina pulau Luzon sampai ke Sulaweasi Utara. Ada pendapat yang mengatakan
nama Lesung (Malesung) ada kesamaan dengan nama Luzon tersebut.
Pembuktian lain dari segi antropologi yakni temuan fosil di sekitar desa Poso kecamatan
Kakas oleh Australian National University Departemen of Prae- History, yang dipimpin oleh
DR. peter Beltwood. Menemukan bahwa fosil tulang-belulang manusia yang ditemukan
diperkirakan berusia 8.000-10.000 tahun. Penelitian lain adalah Waruga di Likupang yang
mempunyai persamaan dengan Waruga di Bonto Igorot Philipina yang menurut Dr. Kurt
Tauchman dar Institut Fur Voel Kerkunde Der Universited Kolem (Jerman) mempunyai
kesamaan dalam bentuk arsitekturnya. Penelitian beliau membuktikan bahwa Waruga
(Timbukar), Toitowwatu Tumotowa sudah ada sejak desa tertua di Minahasa. Pendapat yang
paling baru mendukung migrasi dari Utara ribuan tahun silam adalah Prof. Dr. J.H.A Mandang.
Selain itu berdasarkan hasil penelitian tentang “Waruga” (Kuburan batu) yang dilakukan oleh
para ahli kebudayaan Eropa bekerja sama dengan para ahli kebudayaan Indonesia, dinyatakan
bahwa waruga Diminahasa ada persamaan dengan kuburan tua bangsa Khasi di pegunungan
Himalaya.2
Mengenai asal-usul telah disinggung pada bagian diatas namun secara lengkap diulas
lebih dalam pada bagian ini. Asal-usul Minahasa tidak terlepas dari asal-usul kedatangan nenek
moyang bangsa Indonesia yang dari Asia Tenggara antara 3000-2000 SM. Perpindahan
penduduk dari Asia Tenggara ke Selatan secara bergelombang dikarnakan antara lain terdesak
oleh peperangan, terjadinya bencana alam, serangan binatang buas, dan juga ingin mencari
kehidupan yang lebih baik. Mengenai hal ini terdapat beberapa pandangan yang ditampilkan para
ahli; warna kulit suku bangsa Minahasa pada umumnya jauh lebih terang dari pada suku bangsa
Indonesia lainnya. Mengenai asal-usul ini para ahli belum mendapat kepastian, namun diduga
berasal dari Mongolia atau dari Jepang dengan ciri-cri seperti yang diuraikan berikut ini;
Pendapat pertama mengenai ciri-ciri orang Minahasa dan kesamaannya dengan suku
bangsa dari Utara yaitu oleh A.l.C Baekman; Warna kulit orang minahasa lebih terang dari
bangsa Malayu lain-lain, kulit kuning langsat, mempunyai mata hitam dan coklat serta rambut
hitam dan tebal. Pada sudut dalam matanya kebanyakan dari mereka mempunyai apa yang
disebut lipit mongolit (Mongolscheplooi) yang menjadikan mereka sama dengan bangsa Jepang.
Pendapat kedua oleh M.B Van Der Jact; warna kulit Orang Minahasa yang putih terang dan
matanya sipit menimbulkan pikiran bahwa suku bangsa Minahasa berasal dari Jepang atau
keturunan Jepang. Ada juga pendapat yang lain oleh DR. Paul Sarasin mengatakan penduduk
pulau Sulawesi yang lain tidak begitu kelihatan ada percampuran juga dengan melayu Polonesia,
namun suku bangsa Minahasa adalah salah satu bangsa yang datang dari Utara, ini dianggap
benar karena dapat dibuktikan dan boleh jadi berkeluarga dengan bangsa Jepang.3
2.2 Legenda4
Toar dan Limimuut:
Karema adalah seorang “Walian tua” yang arif bijaksana “mahluk dari kayangan”.
Muncul dari dalam batu besar dan menuntun masyarakat Minahasa pada awalnya. Lumimuut:
adalah wanita berasal dari kayangan dibawah “angin utara”. Lumimuut mereupakan symbol “Ibu
Orang Minahasa”. Toar: Sebagai simbol manusia pertama dan yang dipertemukan dengan
Limimuut oleh Kareama. (Pertemuan ini sesuai versi tari Temetenden bernama Mamanua. Pada
suatu saat Karema memanggil dan memberi petunjuk kepada Toar dan Limimuut. Kepada Toar
dan Limumuut diberikannya masing-masing sebuah tongkat yang sama panjang lalu ia berkata
pergilah kamu mengelilingi tanah ini seorang ke Utara dan seorang ke Selatan, apabila dalam
perjalanan masing-masing seseorang bertemu dengan orang lain yang juga memiliki tongkat
seperti yang kalian berdua miliki ukurlah tongkat milikmu dengan orang itu kalau sama panjang
janganlah kamu menikah, tetapi jika tidak sama panjang kalian menikah. Berikut ini kisah yang
lebi lengkap mengenai Toar dan Limimuut.
2 A.B.G Rattu, “Bahasa Daerah Minahasa” dalam Prof. Dr. J. Turang dkk (eds), Profil kebudayaan Minahasa,
(Tomohon: Majelis kebudayaan Minahasa, 1997), 80-125, Hal. 80.
3 Juotje Sendoh, “Sejarah Perkembangan Masyarakat Minahasa Dan Perkembangannya”, dalam Prof. Dr. J. Turang
dkk (eds), Profil kebudayaan Minahasa,(Tomohon: Majelis Kebudayaan Minahasa, 1997), 30-47, Hal. 32-33.
4J. Rompas, Legenda dalam Prof. Dr. J. Turang dkk (eds), Profil kebudayaan Minahasa,(Tomohon: Majelis
5
Bdk, Dr. Wim Van Der weiden, MSF, Seni Hidup Sasra Kebijaksanaan Perjanjian Lama, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995) Hal. 30-40.
tahap peminangan. Peminangan dilakukan oleh pihak pemuda dirumah orangtua/wali dari
pemudi pada waktu (hari dan jam) yang disepakati. Hari dan jam peminagan sebagai waktu
terbaik (endo leos artinya hari baik). Dahulu kala waktu peminangan ditentukan oleh “walian”
(pemimpin keagamaan Agama Tua). Peminangan diselenggarakan dengan satu “Upacara Adat
Khusus” yang disebut “Upacara Maso Minta”.
Setelah melewati proses yang panjang dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
pasangan bertunangan dapat menikah. Upacara perkawinan sebagai berikut; kepala adat
menyampaikan “Wowoka” (maklumat adat) tentang pengresmian perkawinan. kepala adat
menyerahkan Tongkat Adat kepada mempelai pria sebagai simbol kepemimpinan kepala rumah
tangga, dan penyerahan “kotak siri pinang” kepada mempelai wanita sebagai simbol “pelayanan
kasih kepada keluarga”.
Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan lima kesetiaan (lima latek) oleh kepala adat. Isi
dari lima kesetiaan ini juga yang nampak memiliki benang merah denga kesetian dalam sastra
kebijaksanaan Israel. Lima kesetiaan itu adalah sebagai berikut:
Pertama latek Wia Si Opo Empung (setia kepada Tuhan Yang Maha Esa). Kedua Latek
Wia Toktolan Um Benua (Setia kepada sendi-sendi dasar negeri antara lain mapalus (Kerja
sama), aturan hukun ketentuan yang ada. Ketiga Latek Wia Se Nima Tua wo nuwu Tuah (setia
kepada leluhur dan pesan luhur para leluhur). Keempat Latek Wia Si Inak Wo Si Amak (setia
kepada ibu dan ayah). Kelima Latek Wia se Antang Um Banua, Wo se Kapalus (setia kepada
pemimpin/atasan dan juga teman kerja).
Selanjutnya “kata-kata penyerahan” pengantin wanita oleh juru bicara keluarga kepada
pengantin pria dan keluarganya. Berikutnya kata-kata penerimaan dari pengantin pria dan
keluarga yang disampaikan oleh keluarga. Acara jamuan makan minum perkawinan yang
ditandai dengan “makan dan minum tradisional” (cucur, nasi jahe, saguer, dan lain-lain) dari
kedua pengantin dan orang tua, berikutnya makan minum bersama dengan seluruh peserta
upacara. Seusai makan minum pihak keluarga pria menyediakan makanan (nasi dan ikan) yang
terbungkus biasa disebut saput (yang berarti bungkusan) kepada pihak keluarga-keluarga
pengantin wanita yang hadir dalam upacara untuk dibawah dan nantinya dimakan dirumah
masing-masing.
Lima kesetiaan di atas menjadi tahap penting sebuah pernikan dalam kebudayaan
Minahasa dan menjadi titik fokus memaknai makna kesetiaan dan kebudayaan Minahasa.
Nampak jelas maksud dari masing-masing kesetiaan yang harus dihidupi oleh keluarga baru ini.
Kelima kesetiaan itu seolah merangkul sendi-sendi hidup manusia. Secara spirit keagamaan
harus setia pada Tuhan Yang Maha Esa dan leluhur yang telah meninggal. Dan untuk aspek
sosial diwakili dengan kesetiaan pada hukum dan prinsip-prinsip kebersamaan, saling tolong
menolong, setia pada pemimpin dan setia pada ibu dan ayah. Kesetiaan serupa juga terdapat
dalam sastra kebijaksanaan Israel.
4.2 Setia Dalam Sastra Kebijaksanaan Israel
Alkitab juga memiliki begitu banyak teks yang berkaitan dengan kesetiaan. Kita dapat
menemukan makna kesetian untuk mengambarkan sifat Allah sebagai yang selalu setia seperti
dalam kitab Ulangan 7:9 “Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah
Allah, Allah yang setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang
kasih kepada-Nya dan berpegang pada perintah-Nya, sampai kepada beribu-ribu keturunan”.
Selain itu ada juga banyak tokoh-tokoh yang menampilkan kesetiaan mereka kepada Allah
seperti Abraham (Kejadian), Yakub (Kejadian), Ishak (Kejadian), Yusuf anak kesangan Yakub
(Kejadian), Musa (Bilangan), Yosua (Yos: 24), Samuel (1 Samuel), Daud (1 Samuel), dan Elia
(2 Raja-Raja).
Namun dalm konteks sastra hikmat kebijaksanaan Israel teks yang mungkin di komparasikan
dengan lima kesetiaan dalam kebudayaan Minahasa adalah teks-teks berikut ini.
Amsal 2:7-8 “Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang
yang tidak bercela lakunya, sambil menjaga jalan keadilan, dan memelihara jalan orang-orang-
Nya yang setia”. Amsal 3:3-4 “Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau!
Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, maka engkau akan mendapat
kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia”. Secara sepintas dapat
disimpulkan amsal-amsal ini memuat unsur perintah dan memang demikanlah maksud amsal ini
perintah dari sang guru agar muridnya memperoleh kebijaksanaan.
Amsal 12:22 “Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi orang yang
berlaku setia dikenan-Nya.” Amsal 19:22 “Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah
kesetiaannya; lebih baik orang miskin dari pada seorang pembohong.” Amsal 20:6-7 “Banyak
orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya? Orang benar
yang bersih kelakuannya berbahagialah keturunannya”. Amsal-amsal ini masuk dalam bagian
amsal Salomo seorang raja yang bijaksana yang lebih bersifat moralistik.
Amsal 25:13 “Seperti sejuk salju di musim panen, demikianlah pesuruh yang setia bagi
orang-orang yang menyuruhnya. Ia menyegarkan hati tuan-tuannya”. Sedangkan Amsal ini
merupakan bagian dari orang bijak dan lebih singkat juga berdiri sendiri.
Mazmur 33:4 “Sebab firman Tuhan itu benar, segala sesuatu dikerjakan Nya dengan
kesetiaan”. Mazmur 145:18 “Tuhan itu adil dalam segala jalanNya dan penuh kasih setia dalam
segala perbuatanNya”. Mazmur-mazmur ini sebagai ajakan untuk percaya akan keenaran firman
Allah karena Allah selalu setia. Namun secara keseluruhan amsal-amsal dan mazmur-mazmur di
atas mengandung makna kesetiaan. Apakah itu berupa kesetiaan dari Tuhan, atau juga kesetiaan
manusia dengan sesamanya. Atau juga kesetiaan pada kebenaran. Keseluruhannya mau
mengatakan bahwa sastra kebijaksanaan Israel setia nampak menjadi hal yang cukup
berpengaruh dalam relasi manusia dengan Allah dan manusia dengan sesama dan hal ini juga
ternyata ada dalam kebudayaan Minahasa.
5. Kesimpulan
Pada dasarnya jika ditelusuri secara mendalam ternyata banyak hal dalam Kitab Suci dapat
dikomparasikan dengan banyak kebudayaan yang tradisional. Meskipun kebudayaan asli tidak
perna bersinggungan langsung dengan tradisi Israel dalam hal sastra hikmat jika didalami dengan
saksama ada kesamaan satu dengan yang lain. Namun harus disadari kesamaan itu tidak bisa
identik karena keduanya memiliki latar konteks dan orang-orang yang berbeda.
Daftar Pustaka
Alkitab, Deuterokanonika, Lembaga Alkitab Indonesia Jakarta
Van Der weiden, Wim., Seni Hidup Sasra Kebijaksanaan Perjanjian Lama, Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Solihn, Iin., Minahasa Kabupaten, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Delta
Pamungkas.
Rattu, A.B.G., “Bahasa Daerah Minahasa” dalam Prof. Dr. J. Turang dkk (eds), Profil
kebudayaan Minahasa,Tomohon: Majelis kebudayaan Minahasa, 1997.
Sendoh, Juotje., “Sejarah Perkembangan Masyarakat Minahasa Dan Perkembangannya”,
dalam Prof. Dr. J. Turang dkk (eds), Profil kebudayaan Minahasa,Tomohon: Majelis
Kebudayaan Minahasa, 1997.
Rompas, J., Legenda dalam Prof. Dr. J. Turang dkk (eds), Profil kebudayaan Minahasa,
Tomohon: Majelis Kebudayaan Minahasa, 1997.
KITAB KEBIJAKSANAAN
Oleh:
Budi alen A. Y. Ratag (FT 3881)