1. Pengantar
Kata Ibrani syuv berarti berputar, berbalik kembali. Hal itu mengacu pada
tindakan berbalik dari dosa kepada Allah. Dalam Perjanjian Lama, kata yang
dipakai untuk pertobatan adalah “kembalilah” (Yer 3:14), “berbalik” (Mzm
78:34), dan “bertobat” (Yer 18:8). Perjanjian Lama jarang sekali mencatat
pertobatan individual (Mzm 51:14) tetapi menubuatkan pertobatan ‘segala
ujung bumi’ kepada Allah (Mzm 22:28). Kalau seluruh bangsa ingin kembali
damai dan sejahtera, mereka harus bertobat. Pertobatan itu bisa merupakan
pertobatan yang diungkapkan dalam bentuk tanda atau pun acara kultis,
seperti berkumpul untuk mengaku dosa (Ezr 9:13; Neh 9:36-37), berpuasa (Neh
9:1; Yl 1:14), mengenakan kain kabung (Neh 9:1; Yl 1:13), duduk di atas abu
atau menaburkan abu di kepala (Yer 6:26; Yun 3:6), dan menyampaikan
korban bakaran (Im 16:1-19).[4]
Perjanjian Lama menekankan bahwa cakupan pertobatan melebihi duka-cita
penyesalan dan perubahan tingkah laku lahiriah. Dalam keadaan apa pun,
pertobatan yang sungguh kepada Allah mencakup perendahan diri batiniah,
perubahan hati yang sungguh, dan benar-benar merindukan Yahweh (Ul 4:29;
30:2,10; Yes 6:9; Yer 24:7), disertai pengenalan yang jelas dan baru akan Diri-
Nya dan jalan-Nya (Yer 24:7; bdk. 2 Raj 5:15; 2 Taw 33:13). [5] Pertobatan batin
ini harus juga berdampak sosial, “Bukan Berpuasa yang Kukehendaki, ialah
supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-
tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan
setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan
membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila
engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak
menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-7). Namun,
akhirnya seluruh pertobatan itu adalah karunia Allah. Allah menganugerahkan
hati yang murni dan baru sehingga orang mau bertobat (bdk. Mzm 51:12; Yer
31:33).[6]
Ada dua istilah yang dipakai oleh Perjanjian Baru berkaitan dengan pertobatan,
yakni metanoia dan epistrefô. Kata metanoia muncul dalam Perjanjian Baru
kira-kira 58 kali dan selalu diterjemahkan “bertobat”, kecuali Luk 17:3
(‘menyesal’) dan Ibr 12:17 (‘memperbaiki kesalahan’, yang lebih merupakan
tafsiran ketimbang terjemahan). Arti asasi kata metanoia adalah perubahan
hati, yakni pertobatan nyata dalam pikiran, sikap, dan pandangan. Sementara
kata epistrefô muncul kira-kira 30 kali. Dalam arti harafiah kata ini
diterjemahkan ‘kembali’ atau ‘berpaling’ (Mat 10:13; 24:18; Kis 16:18; Why
1:12). Kata kerja biasa strefo juga diterjemahkan ‘bertobat’ dalam Mat 18:3.[7]
3.2.1 Rekonsiliasi Jemaat menurut Model Tobat Publik pada Zaman Patristik
Tekanan teologi skolastik mengenai sakramen Tobat pada umumnya adalah ciri
pengadilan dari sakramen Tobat tersebut. Pokok yang didiskusikan adalah
kuasa imam untuk memberikan absolusi atau pelepasan dari dosa.[12]
– Hanya imam, juga kalau ia berdosa berat, yang mempunyai kuasa untuk
mengikat dan melepaskan dosa.[13]
Atas kehendak Konsili Vatikan II, disusunlah buku perayaan Sakramen Tobat
yang baru, ”Ordo Penitentiae” (1973). Dalam pedoman umum ini ditampakkan
dimensi ekklesial dan perayaan dari sakramen Tobat.[15]
Seraya mengucapkan absolusi ini, bapa pengakuan membuat tanda salib dan si
peniten membuat tanda salib pada dirinya. Ritus ditutup dengan ucapan
terima kasih dan pengutusan si peniten.
Skema ringkas: Pemeriksaan batin, Tanda salib dan salam imam, Liturgi Sabda,
Pengakuan dosa, Nasihat, Doa tobat (doa oleh si peniten), Absolusi, Ucapan
syukur, dan Perutusan.
Ritus ini merupakan cara baru yang mengajak peniten untuk melakukan
persiapan bersama, namun kemudian dapat diteruskan dengan pengakuan
pribadi.
Nyanyian pembukaan
Salam dari imam
Doa oleh imam
Pewartaan sabda Allah
Homili
Pemeriksaan batin (silentium atau terpimpin)
Pengakuan umum (misalnya confiteor)
Doa litani (dalam bentuk universal, doa umat)
Doa Bapa Kami
Doa oleh imam
Bagian kedua:
Ritus ini sama sekali baru. Ada tiga versi: lengkap, pendek, dan darurat. Ritus
ini baru berlaku untuk saat-saat khusus yang tidak lazim atau keadaan
memaksa, dan diselenggarakan dengan seizin uskup setempat (kan. 961 § 1). [18]
Keadaan memaksa/darurat itu, misalnya, a) dalam bahaya maut dan tidak
terdapat cukup waktu dan imam untuk mendengarkan pengakuan perorangan
(saat perang, kebakaran, atau bencana alam) (Kan. 961 § 1 no. 1), atau b)
karena jumlah peniten yang banyak sementara jumlah imam dan waktu yang
ada tidak memadai untuk mendengarkan pengakuan perorangan (Kan. 961 § 1
no. 2), (saat peziarahan atau menjelang masa-masa pesta lirturgis/menjelang
paskah/natal).
5. Unsur-unsur Utama dalam Perayaan Sakramen Tobat
Dalam Gereja katolik, hanya imam yang diberi wewenang untuk melayankan
Sakramen Tobat. Wewenang itu diperoleh berkat tahbisan suci dan
mempunyai yurisdiksi (Kan. 965). Yurisdiksi penitensial itulah yang
menyebabkan validitas dan layak/licitnya pelayanan dan absolusinya. Mereka
ini (Imam dan Uskup) adalah pelayan pertobatan baik dalam pertobatan
maupun dalam liturgi sakramental tobat. Mereka sering disebut dengan bapa
pengakuan. “Bapa pengakuan adalah tanda kasih Bapa yang ditunjukkan dalam
Putera yang dalam kerajaan-Nya menghadirkan karya penebusan dan dengan
kuasa-Nya hadir dalam sakramen-sakramen.”[19]
Siap menerima kapan pun bila ada yang mau mengaku dosa dan terikat
mendengarkan pengakuan.
Tampil sebagai hakim spiritual yang bijaksana.
Melepaskan dosa-dosa melalui peniten yang resmi.
Dapat juga menolak atau menunda memberikan absolusi jika peniten belum
layak menerimanya.
Sebagai dokter/tabib/ penyembuh dan bapa spiritual ia menyelidiki penyebab
dosa itu dan memberikan ”obat” untuk menyembuhkannya.
Jika salah dalam hal memberikan nasihat kepada peniten, ia harus meralat
kesalahannya menyangkut keabsahan sakramental.[21]
5.2 Peniten atau Pentobat (kan. 987-991)
Yang boleh mengaku dosa adalah orang beriman kristiani yang menyesali dosa
dan berniat memperbaiki diri, bertobat kembali kepada Allah (kan. 987). Ia
bebas memilih imam kepada siapa hendak mengaku dosa. Ia mengaku dengan
pendampingan seorang penerjemah yang dijamin dapat menjaga kerahasiaan
dan tak akan ada penyalahgunaan dan sandungan lainnya (kan. 990).
Tempat perayaan sakramen ini adalah gedung gereja/kapel (kan. 964 § 1).
Secara khusus dilakukan dalam kamar/bilik pengakuan yang dirancang khusus
untuk perayaan Sakramen Tobat (entah yang menggunakan pembatas antara
peniten dan imam, yang tertutup, atau yang dapat dilihat) (kan. 964 § 2).
Kecuali ada alasan-alasan yang sah, pengakuan dapat dilakukan di luar kamar
pengakuan (kan. 964 § 3).[22]
Waktu perayaan dapat dilakukan setiap hari, selama masa liturgi. Secara
khusus masa pra-paskah adalah saat yang baik untuk mengajak umat
merayakan sakramen ini, atau sering mengikuti ibadat/kebaktian tobat.
Sebaiknya umat diberi informasi tentang saat dan tempat pelaksanaannya.
Perayaan sakramen ini jangan dilakukan selama ada perayaan Ekaristi di dalam
gereja (OP 13).
6. Refleksi atas Sakramen Tobat
Lewat sakramen inisiasi umat mendapat hidup baru dalam Kristus. Namun,
karena kelemahan dan kerapuhan manusia hidup baru itu dicederai oleh dosa
(bdk. 2Kor 4:7; 5:1).[23] Dosa[24] mengakibatkan putusnya relasi umat dengan
Allah dan Gereja. Untuk memulihkan relasi yang putus karena dosa tersebut,
maka umat diberi kesempatan untuk membaharui diri lewat Sakramen Tobat
atau rekonsiliasi.[25]
Rekonsiliasi dapat dikatakan sebagai penataan ulang relasi yang putus dengan
Allah, Gereja, dan seluruh ciptaan karena ulah dosa. Dengan sakramen ini umat
memperoleh pengampunan dan belas kasih Allah atas penghinaan dan
ketidaktaatan dalam hidupnya; sekaligus umat didamaikan dengan Gereja.[26]
Tawaran rekonsiliasi ini datang dari Allah yang mengutus Putera-Nya untuk
mendamaikan dan menebus seluruh dosa umat manusia. Aksioma rekonsiliasi
ini adalah kurban Kristus dalam peristiwa Paskah (sengsara, wafat, dan
bangkit). Hal ini jelas dikatakan dalam rumusan absolusi bahwa “Allah Bapa
yang berbelas kasih telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya lewat wafat
dan kebangkitan Putra-Nya.” Jadi, dalam Kristus relasi kita dengan Allah
dipulihkan, didamaikan.[27]
Melalui Sakramen Baptis, umat menanggapi tawaran Allah itu dengan iman
dan tobat. Dengan iman dan pertobatan umat diharapkan sungguh menjadi
manusia baru dalam cinta kasih Allah. Namun karena kelemahan dan
kerapuhan manusia, ia jatuh kembali pada kesalahan dan dosa yang sama.
Akibatnya, relasi umat dengan Allah putus. Untuk memulihkan relasi ini umat
harus berdamai dengan Allah lewat Sakramen Rekonsiliasi dengan perantaraan
Gereja yakni para pelayannya.[28]
Akibat dosa bukan hanya relasi dengan Allah yang putus, tetapi juga relasi
dengan Gereja.[29] Gereja yang dimaksud adalah semua orang yang berkat
Sakramen Baptis menjadi umat kudus Allah; di mana di dalamnya umat
dilahirkan kembali menjdi satu saudara hidup bukan dari daging melainkan dari
air dan Roh.[30] Dalam hal ini Rasul Paulus menggambarkan Gereja sebagai satu
tubuh dengan fungsi masing-masing (1 Kor 12;12-31). Gereja sebagai satu
tubuh mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang
lain (1 Kor 12:26). Umat seturut kapasitasnya ikut berpartisipasi dalam
mewujudkan Gereja universal (kan. 204 § 1). Demikian halnya dengan seorang
yang berdosa, Gereja sebagai satu tubuh ikut menderita. Oleh karena itu, lewat
Sakramen Rekonsiliasi terjadilah pendamaian dengan seluruh warga Gereja.
Dalam hal ini, imam menjadi representasi seluruh umat untuk memberi
absolusi kepada umat atas dosanya. Dengan penitensi dan pertobatan yang
terus-menerus dosa umat diampuni dan didamaikan kembali dengan Gereja.[31]
Manusia dan alam ciptaan yang lain sedang kehilangan hidup karena ulah dan
dosa manusia. Manusia kehilangan kesadaran bahwa ia bagian dari ciptaan.
Hal ini menyebabkan manusia memandang semua makhluk dan alam ciptaan
berguna sejauh menguntungkan. Segala kekayaan alam didekati sebagai
sumber keuntungan melulu, yang dimanfaatkan tanpa batas.[34] Akibatnya
manusia terus-menerus melakukan eksploitasi. Eksploitasi terhadap sesama
manusia dan eksploitasi terhadap alam ciptaan.[35]
Tidak ada rekonsiliasi tanpa pertobatan. Oleh karena itu pertobatan dan
pengampunan bukan prasyarat suatu rekonsiliasi, melainkan hasil atau
dampak dari rekonsiliasi.[36] Pengalaman akan proses rekonsiliasi mengubah
kita menjadi ciptaan baru. Apa yang menjadi suasana hidup kita sebelumnya
diubah menjadi baru. Sakramen rekonsiliasi mengingatkan kita bahwa
perdamaian itu juga mesti merangkum seluruh tata relasi kita dengan alam
lingkungan. Maka, pertobatan manusia mestinya juga berdampak kepada
pembangunan kembali alam lingkungan.[37]
Proses rekonsiliasi bukan suatu hasil karya manusia melulu, melainkan karya
Allah di dalam diri manusia melalui Roh Kudus.[38] Sakramen Rekonsiliasi
menganugerahkan Roh Kudus sebagai pengampunan dosa dan kekuatan untuk
pembaharuan hidup. Roh Kudus yang dikaruniakan kepada kita adalah Roh
kudus yang berperan mengampuni dosa.[39] Dalam pandangan Allah, kebenaran
dosa tentang diri kita adalah, “kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu
telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan
dalam Roh Kudus (1 Kor 6:11).[40]
Tujuan pembaharuan hidup seseorang yang telah bertobat adalah menjadi
serupa dengan Yesus Kristus dalam seluruh hidup, sabda, dan nasib-Nya.
Menyerupai Yesus Kristus berarti memperoleh persekutuan dengan seluruh
hidup, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Pembaharuan hidup dalam Roh
mengingatkan kita pada nilai-nilai dasar injili yang intinya menyangkut seluruh
Yesus Kristus juga.
Indulgensi berasal dari bahasa Latin Indulgentia yang secara harfiah berarti
kemurahan. Indulgensi ini merupakan kemurahan dari Allah yang
dianugerahkan kepada seseorang melalui Gereja. Indulgensi berupa
penghapusan hukuman sementara sebagai akibat dosa.[42] Kan. 992
merumuskan indulgensi ini demikian “indulgensi adalah penghapusan di
hadapan Allah hukuman-hukuman sementara dosa-dosa yang kesalahannya
sudah dilebur, yang diperoleh orang beriman kristiani yang berdisposisi baik
serta memenuhi syarat-syarat tertentu, diperoleh dengan pertolongan Gereja
sebagai pelayan keselamatan, berkuasa membebaskan dan mengeterapkan
harta pemulihan kristus dan para kudus.”
3) Warga beriman Kristen: dalam hal ini adalah umat yang telah dibaptis. Kita
tahu bahwa Sakramen Baptis adalah gerbang untuk semua sakramen dan
berkat-berkat yang lain. Persyaratan yang lain adalah tidak terkena
ekskomunikasi, dan dalam kondisi rahmat pada waktu melaksanakan
indulgensi yang ditetapkan.
5) Dengan bantuan Gereja: Telah dibahas di atas bahwa Yesus sendiri yang
memberikan kuasa kepada Gereja untuk memberikan indulgensi kepada umat
Allah melalui Gereja. Indulgensi ini hanya dapat diberikan oleh Paus dan orang-
orang yang mempunyai kuasa oleh hukum yang diberikan oleh Paus.
Kan. 995 menggariskan siapa saja yang dapat memberi indulgensi. Orang-orang
yang dapat memberi indulgensi selain Otoritas tertinggi Gereja adalah orang-
orang yang diakui memiliki kuasa itu oleh hukum, atau yang diberi oleh Paus.
Kepustakaan
Douglas, J.D. et al., (ed.). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid I. Judul asli: The
New Bible Dictionary). Diterjemahkan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992.
Farrugia, O’Collins-Gerald-, Edward G. Kamus Teologi. Judul asli: A Concise
Dictionary of Theology. Diterjemahkan oleh I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius,
1996.
Schlink, Basilea. Hidup yang Dikuasai Roh. Malang: Gandum Mas, 1969.
Waskito, J. Terpanggil untuk Menjadi Kudus. Medan: Bina Media Perintis, 2005.
Catatan kaki :
[1] N. Lalong Bakok, Menuju Dunia Baru (Ende: Nusa Indah, 2004), hlm. 278-
279.
[5] J.D. Douglas et al., (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid I (judul asli: The
New Bible Dictionary), diterjemahkan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih
(Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992), hlm. 486.
[19] SC No. 7A
[24] Dosa adalah setiap pikiran, kata-kata, dan tindakan yang menolak Allah.
Dalam Perjanjian Lama, dosa dikenal sejak kejatuhan manusia pertama yakni
Adam dan Hawa. [Lihat O’Collins-Gerald-Farrugia, Edward G. Kamus Teologi
(Judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.59-60.]
[25] Sakramen rekonsiliasi adalah salah satu dari ketujuh sakramen Gereja
yang diadakan oleh Yesus Kristus demi pengampunan dosa yang dilakukan
sesudah dibaptis. Lewat sakramen ini umat diampuni dan diperdamaikan
kembali dengan Allah. Dalam Injil, Kristus berhak mengampuni dosa (Mrk 2:5-
11; Luk 7:36-50). Dan kuasa itu telah diberikan kepada para murid (Yoh 20:19-
23). [Lihat O’Collins-Gerald-Farrugia, Edward G., Kamus Teologi …, hlm. 286.]
[40] J. Waskito, Terpanggil untuk Menjadi Kudus (Medan: Bina Media Perintis,
2005), hlm. 68.
[41] Basilea Schlink, Hidup yang Dikuasai Roh (Malang: Gandum Mas, 1969),
hlm. 80.