Anda di halaman 1dari 24

SAKRAMEN TOBAT

Dipublikasi pada 19 April 2010 oleh lasnersiregar

1. Pengantar

Untuk mencapai persekutuan dengan Allah, umat manusia tidak pernah


terlepas dari dosa. 1 Yoh 1:8-10,2:1 mengatakan: “Kalau kita mengakukan
dosa-dosa kita, maka Dia yang adalah setia dan suci akan mengampuni dosa-
dosa kita dan akan menyucikan kita dari setiap pencemaran.[1] Dosa
mengakibatkan sulitnya membangun kehidupan bersama dengan Allah dari
pihak kita (manusia).[2]

Tulisan yang sederhana ini akan mencoba memaparkan bagaimana sakramen


tobat itu harus dilakukan dan dilaksanakan. Pemaparan ini diawali dengan
pengertian sakramen tobat sendiri, kemudian sakramen tobat dalam bingkai
sejarah, dasar biblis, dan tujuannya. Selanjutnya pemaparan perayaan
Sakramen Tobat, unsur-unsur utama dalam perayaan Sakramen Tobat, refleksi
atas Sakramen Tobat, dan diakhiri dengan pemaparan secara singkat tentang
indulgensi.

2. Pengertian Sakramen Tobat

Sakramen tobat dalam KHK diketengahkan dalam tugas Gereja menguduskan.


Pembahasan mengenai sakramen tobat termuat dalam judul IV, dimulai dari
Kan. 959-997, dibagi dalam 4 bab. Bab I: Perayaan sakramen tobat (Kan. 960-
964), Bab II: Pelayanan sakramen tobat (Kan. 965-986), Bab III: Peniten sendiri
(Kan. 987-991) dan Bab IV: Indulgensi (Kan. 992-997).

Sakramen-sakramen dalam Gereja dimaksudkan untuk menguduskan manusia,


membangun Tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada
Allah (SC. 59). Salah satu dari tujuh sakramen dalam Gereja Katolik adalah
sakramen tobat (SC.72). Sakramen Tobat ini disebut juga dengan istilah
“rekonsiliasi”. Istilah rekonsiliasi untuk mengungkapkan sakramen tobat lazim
digunakan dalam Gereja abad I dan teologi; liturgi Sakramen Tobat sekarang ini
kembali menggunakan istilah rekonsiliasi. Reconciliatio (Latin) mengungkapkan
inisiatif Allah yang lebih dahulu menawarkan perdamaian kepada umat-Nya
(pendamaian dengan Allah), pendamaian kita dengan sesama dan seluruh alam
ciptaan sebagai dimensi sosial dan ekologis, dan penyembuhan yang bermakna
penemuan kembali kehidupan damai pada hati orang yang bertobat dan telah
menerima pengampunan dosa.[3]

3. Pertobatan dalam Bingkai Sejarah

3.1 Pertobatan dalam Kitab Suci

3.1.1 Perjanjian Lama

Kata Ibrani syuv berarti berputar, berbalik kembali. Hal itu mengacu pada
tindakan berbalik dari dosa kepada Allah. Dalam Perjanjian Lama, kata yang
dipakai untuk pertobatan adalah “kembalilah” (Yer 3:14), “berbalik” (Mzm
78:34), dan “bertobat” (Yer 18:8). Perjanjian Lama jarang sekali mencatat
pertobatan individual (Mzm 51:14) tetapi menubuatkan pertobatan ‘segala
ujung bumi’ kepada Allah (Mzm 22:28). Kalau seluruh bangsa ingin kembali
damai dan sejahtera, mereka harus bertobat. Pertobatan itu bisa merupakan
pertobatan yang diungkapkan dalam bentuk tanda atau pun acara kultis,
seperti berkumpul untuk mengaku dosa (Ezr 9:13; Neh 9:36-37), berpuasa (Neh
9:1; Yl 1:14), mengenakan kain kabung (Neh 9:1; Yl 1:13), duduk di atas abu
atau menaburkan abu di kepala (Yer 6:26; Yun 3:6), dan menyampaikan
korban bakaran (Im 16:1-19).[4]
Perjanjian Lama menekankan bahwa cakupan pertobatan melebihi duka-cita
penyesalan dan perubahan tingkah laku lahiriah. Dalam keadaan apa pun,
pertobatan yang sungguh kepada Allah mencakup perendahan diri batiniah,
perubahan hati yang sungguh, dan benar-benar merindukan Yahweh (Ul 4:29;
30:2,10; Yes 6:9; Yer 24:7), disertai pengenalan yang jelas dan baru akan Diri-
Nya dan jalan-Nya (Yer 24:7; bdk. 2 Raj 5:15; 2 Taw 33:13). [5] Pertobatan batin
ini harus juga berdampak sosial, “Bukan Berpuasa yang Kukehendaki, ialah
supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-
tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan
setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan
membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila
engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak
menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-7). Namun,
akhirnya seluruh pertobatan itu adalah karunia Allah. Allah menganugerahkan
hati yang murni dan baru sehingga orang mau bertobat (bdk. Mzm 51:12; Yer
31:33).[6]

3.1.2 Perjanjian Baru

Ada dua istilah yang dipakai oleh Perjanjian Baru berkaitan dengan pertobatan,
yakni metanoia dan epistrefô. Kata metanoia muncul dalam Perjanjian Baru
kira-kira 58 kali dan selalu diterjemahkan “bertobat”, kecuali Luk 17:3
(‘menyesal’) dan Ibr 12:17 (‘memperbaiki kesalahan’, yang lebih merupakan
tafsiran ketimbang terjemahan). Arti asasi kata metanoia adalah perubahan
hati, yakni pertobatan nyata dalam pikiran, sikap, dan pandangan. Sementara
kata epistrefô muncul kira-kira 30 kali. Dalam arti harafiah kata ini
diterjemahkan ‘kembali’ atau ‘berpaling’ (Mat 10:13; 24:18; Kis 16:18; Why
1:12). Kata kerja biasa strefo juga diterjemahkan ‘bertobat’ dalam Mat 18:3.[7]

Jadi epistrefô menunjuk kepada tindakan ‘putar balik’ atau ‘pertobatan’


kepada Allah, unsur yang sangat menentukan dan dengan itu orang berdosa
masuk ke dalam eskatologis Kerajaan Allah melalui iman dalam Yesus Kristus
dan menerima pengampunan dosa. Tindakan ini menjamin perolehan
keselamatan yang dibawa oleh Kristus, dan sifatnya adalah sekali untuk
selamanya.[8]

Sejak awal karya publik-Nya, Yesus mewartakan perlunya pertobatan untuk


menyambut kedatangan Kerajaan Allah, “Bertobatlah dan percayalah kepada
Injil.” (Mrk 1:15). Sejak itu seruan tobat bergema dalam seluruh Perjanjian
Baru. Bersama dengan itu juga didengar kata-kata mengenai pengampunan.
Bagi Diri-Nya sendiri Yesus menuntut hak dan wewenang untuk mengampuni
dosa (Mrk 2:10), dan sebelum meninggalkan para Rasul, kepada mereka pun Ia
berkata, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan
jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh
20:23). [9]

3.2 Sakramen Tobat dalam Praksis dan Ajaran Gereja

3.2.1 Rekonsiliasi Jemaat menurut Model Tobat Publik pada Zaman Patristik

Dari kesaksian Surat Klemens (tahun 93-97) diungkapkan model pertobatan


dengan pengakuan dosa. Demikian pula pada pertengahan abad II, Didache
menyatakan bahwa pengakuan dosa dan pengampunan dosa menjadi
pengandaian seseorang boleh ikut Perayaan Ekaristi. Tertulianus pada akhir
abad II menyebut tobat publik. Tobat publik ini diperuntukkan bagi warga
Gereja yang melakukan dosa berat (murtad, membunuh, dan berzina) dan
dilaksanakan sekali saja seumur hidup.[10]

3.2.2 Tobat Pribadi atau Pengakuan Dosa Pribadi sejak Abad VI


Praktik yang berat dari tobat publik (sekali saja seumur hidup) membuat orang
cenderung menghindarinya dan baru menerimanya menjelang datangnya ajal.
Tobat pribadi menjadi solusi untuk ini. Tobat ini berasal dari para rahib Irlandia
pada abad VI. Mulai tahun 800, tobat publik sudah mendominasi seluruh
Gereja Barat. Pada abad XIII, tobat pribadi diterima dan diajarkan dengan
resmi oleh Gereja melalui Konsili Lateran IV (1215).[11]

3.2.3 Teologi Skolastik mengenai Sakramen Tobat

Tekanan teologi skolastik mengenai sakramen Tobat pada umumnya adalah ciri
pengadilan dari sakramen Tobat tersebut. Pokok yang didiskusikan adalah
kuasa imam untuk memberikan absolusi atau pelepasan dari dosa.[12]

3.2.4 Ajaran Resmi Gereja pada Abad Pertengahan mengenai Sakramen


Tobat

Konsili Lateran IV (1215) mewajibkan semua umat beriman untuk mengaku


dosa di hadapan imam sedikitnya sekali setahun dan untuk berusaha
melakukan penitensi (DH 812). Konsili Trente (1551) menegaskan ajaran
tentang sakramen Tobat sebagai berikut:

– Sakramen Tobat ditetapkan oleh Kristus sendiri dan dapat diulangi

– Gereja mempunyai kuasa untuk melepaskan dan mengampuni dosa

– Pengakuan sakramental di hadapan imam sesuai dengan perintah Kristus


dan ditetapkan oleh hukum ilahi
– Menurut hukum Ilahi, pengakuan pribadi atas dosa berat adalah
keharusan

– Semua orang kristiani wajib mengaku dosa sekali setahun

– Hanya imam, juga kalau ia berdosa berat, yang mempunyai kuasa untuk
mengikat dan melepaskan dosa.[13]

3.2.5 Sakramen Tobat dalam Semangat Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II meninjau kembali Sakramen Tobat. Pertama-tama, konsili


memakai lagi istilah ” Sakramen Tobat”, sebab yang terpenting dalam
sakramen ini adalah ”tobat” dan ”orang beriman yang bertobat” (LG 28).
Hubungan antara Sakramen Tobat dengan Gereja juga ditekankan oleh konsili
(LG 11). Yang harus dilakukan oleh pentobat dalam Sakramen Tobat ada dua
hal, yakni pengakuan dan penitensi (denda); hendaknya ia juga menyatakan
tobatnya dengan laku tapa dan mati raga sukarela.[14]

Atas kehendak Konsili Vatikan II, disusunlah buku perayaan Sakramen Tobat
yang baru, ”Ordo Penitentiae” (1973). Dalam pedoman umum ini ditampakkan
dimensi ekklesial dan perayaan dari sakramen Tobat.[15]

4. Perayaan Sakramen Tobat (kan. 960-964)

4.1 Ritus Rekonsiliasi secara Pribadi[16]


Ritus ini merupakan pembaruan dari cara pengakuan pribadi tradisional
(Konsili Trente). Unsur baru itu adalah pewartaan Sabda Allah, yang dapat juga
dilakukan oleh peniten, entah pada saat perayaan pengakuan atau
pemeriksaan batin; kemudian diikuti dengan pengakuan dosa-dosa di tempat
khusus, beberapa nasihat dari bapa pengakuan, penumpangan tangan dan
penerimaan penitensi.

Si peniten diminta untuk menyatakan rasa sedih dan sesal seraya


mengucapkan salah satu rumus yang tersedia (doa tobat); kemudian bapa
pengakuan memberi absolusi.

Seraya mengucapkan absolusi ini, bapa pengakuan membuat tanda salib dan si
peniten membuat tanda salib pada dirinya. Ritus ditutup dengan ucapan
terima kasih dan pengutusan si peniten.

Skema ringkas: Pemeriksaan batin, Tanda salib dan salam imam, Liturgi Sabda,
Pengakuan dosa, Nasihat, Doa tobat (doa oleh si peniten), Absolusi, Ucapan
syukur, dan Perutusan.

4.2 Ritus Rekonsiliasi untuk Beberapa Peniten dengan Pengakuan dan


Absolusi Perorangan

Ritus ini merupakan cara baru yang mengajak peniten untuk melakukan
persiapan bersama, namun kemudian dapat diteruskan dengan pengakuan
pribadi.

Bagian pertama ritus ini sungguh merupakan liturgi sabda:

Nyanyian pembukaan
Salam dari imam
Doa oleh imam
Pewartaan sabda Allah
Homili
Pemeriksaan batin (silentium atau terpimpin)
Pengakuan umum (misalnya confiteor)
Doa litani (dalam bentuk universal, doa umat)
Doa Bapa Kami
Doa oleh imam
Bagian kedua:

Sesudah bagian pertama selesai, bapa pengakuan beranjak ke tempat yang


sudah tersedia di mana dia menerima para peniten dan untuk mendengarkan
pengakuan secara pribadi.
Pengakuan dosa, nasihat singkat, ucapan syukur, berkat dan pengutusan. [17]

4.3 Rekonsiliasi untuk Beberapa Peniten dengan Pengakuan dan Absolusi


Umum

Ritus ini sama sekali baru. Ada tiga versi: lengkap, pendek, dan darurat. Ritus
ini baru berlaku untuk saat-saat khusus yang tidak lazim atau keadaan
memaksa, dan diselenggarakan dengan seizin uskup setempat (kan. 961 § 1). [18]
Keadaan memaksa/darurat itu, misalnya, a) dalam bahaya maut dan tidak
terdapat cukup waktu dan imam untuk mendengarkan pengakuan perorangan
(saat perang, kebakaran, atau bencana alam) (Kan. 961 § 1 no. 1), atau b)
karena jumlah peniten yang banyak sementara jumlah imam dan waktu yang
ada tidak memadai untuk mendengarkan pengakuan perorangan (Kan. 961 § 1
no. 2), (saat peziarahan atau menjelang masa-masa pesta lirturgis/menjelang
paskah/natal).
5. Unsur-unsur Utama dalam Perayaan Sakramen Tobat

5.1 Pelayan Sakramen Tobat (kan. 965-984)

Dalam Gereja katolik, hanya imam yang diberi wewenang untuk melayankan
Sakramen Tobat. Wewenang itu diperoleh berkat tahbisan suci dan
mempunyai yurisdiksi (Kan. 965). Yurisdiksi penitensial itulah yang
menyebabkan validitas dan layak/licitnya pelayanan dan absolusinya. Mereka
ini (Imam dan Uskup) adalah pelayan pertobatan baik dalam pertobatan
maupun dalam liturgi sakramental tobat. Mereka sering disebut dengan bapa
pengakuan. “Bapa pengakuan adalah tanda kasih Bapa yang ditunjukkan dalam
Putera yang dalam kerajaan-Nya menghadirkan karya penebusan dan dengan
kuasa-Nya hadir dalam sakramen-sakramen.”[19]

Kuasa kewenangan menerima dan memberi kewenangan menerima Sakramen


Tobat:

Di samping Paus, para Kardinal memiliki dari hukum kewenangan untuk


menerima pengakuan umat beriman kristiani di mana pun di seluruh dunia;
demikian pula para Uskup boleh menggunakannya di mana saja, kecuali jika
Uskup diosesan dalam kasus tertentu melarangnya (kan. 967 § 1).
Wewenang itu juga dimiliki oleh Ordinaris wilayah, kanonilk panitensiaris, dan
juga pastor-paroki, serta yang lain yang menggantikan kedudukan pastor
paroki (kan. 968 § 1).
Juga dimiliki oleh Pemimpin tarekat religius atau serikat hidup kerasulan jika
tarekat itu bersifat klerikal tingkat kepausan, yang menurut norma konstitusi
memiliki kuasa kepemimpinan eksekutif, dengan tetap berlaku ketentuan kan.
630 § 4 (kan. 968 § 2).
Ordinaris wilayah berwenang memberikan kewenangan untuk mendengar
pengakuan umat beriman manapun kepada imam-imam siapa pun; akan tetapi
para imam yang menjadi anggota tarekat-tarekat religius jangan menggunakan
kewenangan itu tanpa izin dari pemimpinnya (kan. 969).
Kewenangan untuk menerima pengakuan secara tetap hendaknya diberikan
secara tertulis (kan. 973).
Ordinaris wilayah, dan juga pemimpin yang berwenang, janganlah menarik
kembali kewenangan mendengarkan pengakuan yang telah diberikan secara
tetap kecuali atas alasan yang berat (kan. 974 § 1).
Jika kewenangan untuk menerima pengakuan ditarik kembali oleh Ordinaris
wilayah yang memberinya, maka imam kehilangan kewenangan itu di mana
pun; jika Kewenangan itu dicabut oleh Ordinaris wilayah lain, ia kehilangan
kewenangan hanya di wilayah Ordinaris yang mencabutnya itu (kan. 974 § 2)
Jika kewenangan untuk menerima pengakuan ditarik kembali oleh pemimpin
tertingginya sendiri, maka imam kehilangan kewenangan itu di mana pun
terhadap anggota-anggota dari tarekat itu; akan tetapi jika kewenangan itu
dicabut oleh pemimpin lain yang berwenang, ia kehilangan kewenangan hanya
terhadap mereka yang menjadi bawahan pemimpin itu (kan. 974 § 4).
Pembimbing novis serta pembantunya, rektor seminari atau lembaga
pendidikan lain hendaknya jangan mendengar pengakuan para siswa yang
berdiam dalam rumah yang sama bersamanya, kecuali jika para siswa itu dari
kehendaknya sendiri memintanya dalam kasus-kasus khusus.
Dalam keadaan darurat semua bapa pengakuan wajib menerima pengakuan
umat beriman, dan dalam bahaya mati semua imam mempunyai kewajiban itu
(kan. 986 § 2)
Imam sebagai pelayan Gereja adalah sekaligus hakim dan tabib, pelayan
keadilan belas kasih Allah (kan. 978 § 1). Nasihat yang diberikan oleh mereka
hendaknya bersifat membebaskan dan memulihkan si peniten. Imam sebagai
pelayan terikat pada rahasia sakramental pengakuan dosa. Rahasia ini tidak
dapat diganggu-gugat. Seorang imam yang melayankan sakramen tobat tidak
boleh membocorkan rahasia pengakuan dosa (kan. 983). Imam yang
melakukan pelanggaran ini dapat dikenai hukum ekskomunikasi/dicabut
wewenangnya.[20]
Tugas dan kewajiban imam sebagai pelayan sakramen tobat adalah sebagai
berikut:

Siap menerima kapan pun bila ada yang mau mengaku dosa dan terikat
mendengarkan pengakuan.
Tampil sebagai hakim spiritual yang bijaksana.
Melepaskan dosa-dosa melalui peniten yang resmi.
Dapat juga menolak atau menunda memberikan absolusi jika peniten belum
layak menerimanya.
Sebagai dokter/tabib/ penyembuh dan bapa spiritual ia menyelidiki penyebab
dosa itu dan memberikan ”obat” untuk menyembuhkannya.
Jika salah dalam hal memberikan nasihat kepada peniten, ia harus meralat
kesalahannya menyangkut keabsahan sakramental.[21]
5.2 Peniten atau Pentobat (kan. 987-991)

Yang boleh mengaku dosa adalah orang beriman kristiani yang menyesali dosa
dan berniat memperbaiki diri, bertobat kembali kepada Allah (kan. 987). Ia
bebas memilih imam kepada siapa hendak mengaku dosa. Ia mengaku dengan
pendampingan seorang penerjemah yang dijamin dapat menjaga kerahasiaan
dan tak akan ada penyalahgunaan dan sandungan lainnya (kan. 990).

Disposisi yang diharapkan dari peniten dan menentukan keutuhan dan


kesempurnaan penghapusan dosanya adalah: a) rasa penyesalan, b)
pengakuan dosa, dan c) penerimaan penitensi/silih/denda/satisfactio dan
memenuhi atau melaksanakannya. Jika umat ingin bertobat maka ia wajib
mengakukan dosa berat dan ringan dengan dasar rasa sesal-tobat yang
sungguh. Pengakuan dosa sebaiknya dilakukan minimal setahun sekali (sesuai
hitungan tahun biasa, atau tahun liturgi: mulai dari Adven atau Paskah).
5.3 Materi dan Forma (kan. 959)

Materi: Dalam Sakramen Tobat umat beriman mengakukan, menyesal atas


dosa-dosanya serta berniat untuk memperbaiki diri.

Forma: Saat simbolis terpenting adalah ketika imam menumpangkan tangan di


atas kepala paniten selama mengucapkan formula absolusi:

“Allah Bapa yang Mahamurah telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya


dalam wafat dan kebangkitan Putra-Nya. Ia telah mencurahkan Roh Kudus
demi pengampunan dosa. Dan pelayanan Gereja, Ia melimpahkan
pengampunan dan damai kepada yang bertobat. Maka saya melepaskan
saudara dari dosa-dosa saudara Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”.

5.4 Tempat dan Waktu (kan. 964)

Tempat perayaan sakramen ini adalah gedung gereja/kapel (kan. 964 § 1).
Secara khusus dilakukan dalam kamar/bilik pengakuan yang dirancang khusus
untuk perayaan Sakramen Tobat (entah yang menggunakan pembatas antara
peniten dan imam, yang tertutup, atau yang dapat dilihat) (kan. 964 § 2).
Kecuali ada alasan-alasan yang sah, pengakuan dapat dilakukan di luar kamar
pengakuan (kan. 964 § 3).[22]

Waktu perayaan dapat dilakukan setiap hari, selama masa liturgi. Secara
khusus masa pra-paskah adalah saat yang baik untuk mengajak umat
merayakan sakramen ini, atau sering mengikuti ibadat/kebaktian tobat.
Sebaiknya umat diberi informasi tentang saat dan tempat pelaksanaannya.
Perayaan sakramen ini jangan dilakukan selama ada perayaan Ekaristi di dalam
gereja (OP 13).
6. Refleksi atas Sakramen Tobat

Lewat sakramen inisiasi umat mendapat hidup baru dalam Kristus. Namun,
karena kelemahan dan kerapuhan manusia hidup baru itu dicederai oleh dosa
(bdk. 2Kor 4:7; 5:1).[23] Dosa[24] mengakibatkan putusnya relasi umat dengan
Allah dan Gereja. Untuk memulihkan relasi yang putus karena dosa tersebut,
maka umat diberi kesempatan untuk membaharui diri lewat Sakramen Tobat
atau rekonsiliasi.[25]

6.1 Rekonsiliasi dengan Allah

Rekonsiliasi dapat dikatakan sebagai penataan ulang relasi yang putus dengan
Allah, Gereja, dan seluruh ciptaan karena ulah dosa. Dengan sakramen ini umat
memperoleh pengampunan dan belas kasih Allah atas penghinaan dan
ketidaktaatan dalam hidupnya; sekaligus umat didamaikan dengan Gereja.[26]
Tawaran rekonsiliasi ini datang dari Allah yang mengutus Putera-Nya untuk
mendamaikan dan menebus seluruh dosa umat manusia. Aksioma rekonsiliasi
ini adalah kurban Kristus dalam peristiwa Paskah (sengsara, wafat, dan
bangkit). Hal ini jelas dikatakan dalam rumusan absolusi bahwa “Allah Bapa
yang berbelas kasih telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya lewat wafat
dan kebangkitan Putra-Nya.” Jadi, dalam Kristus relasi kita dengan Allah
dipulihkan, didamaikan.[27]

Melalui Sakramen Baptis, umat menanggapi tawaran Allah itu dengan iman
dan tobat. Dengan iman dan pertobatan umat diharapkan sungguh menjadi
manusia baru dalam cinta kasih Allah. Namun karena kelemahan dan
kerapuhan manusia, ia jatuh kembali pada kesalahan dan dosa yang sama.
Akibatnya, relasi umat dengan Allah putus. Untuk memulihkan relasi ini umat
harus berdamai dengan Allah lewat Sakramen Rekonsiliasi dengan perantaraan
Gereja yakni para pelayannya.[28]

6.2 Rekonsiliasi dengan Gereja

Akibat dosa bukan hanya relasi dengan Allah yang putus, tetapi juga relasi
dengan Gereja.[29] Gereja yang dimaksud adalah semua orang yang berkat
Sakramen Baptis menjadi umat kudus Allah; di mana di dalamnya umat
dilahirkan kembali menjdi satu saudara hidup bukan dari daging melainkan dari
air dan Roh.[30] Dalam hal ini Rasul Paulus menggambarkan Gereja sebagai satu
tubuh dengan fungsi masing-masing (1 Kor 12;12-31). Gereja sebagai satu
tubuh mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang
lain (1 Kor 12:26). Umat seturut kapasitasnya ikut berpartisipasi dalam
mewujudkan Gereja universal (kan. 204 § 1). Demikian halnya dengan seorang
yang berdosa, Gereja sebagai satu tubuh ikut menderita. Oleh karena itu, lewat
Sakramen Rekonsiliasi terjadilah pendamaian dengan seluruh warga Gereja.
Dalam hal ini, imam menjadi representasi seluruh umat untuk memberi
absolusi kepada umat atas dosanya. Dengan penitensi dan pertobatan yang
terus-menerus dosa umat diampuni dan didamaikan kembali dengan Gereja.[31]

6.3 Rekonsiliasi dengan Semua Makhluk dan Alam Lingkungan

Rekonsiliasi dimengerti sebagai suatu pemulihan kembali hubungan manusia


dengan semua makhluk dan alam lingkungan sehingga apa yang terjadi sebagai
kejahatan di masa lampau tidak akan terjadi di masa mendatang.[32] Perbuatan
dosa tentu melukai kehidupan bersama kita dengan Allah dan sesama
terutama juga seluruh Gereja. Akan tetapi, kita pun menyadari bahwa dosa itu
juga merusak tata hubungan kita dengan semua makhluk dan alam lingkungan.
[33]

Manusia dan alam ciptaan yang lain sedang kehilangan hidup karena ulah dan
dosa manusia. Manusia kehilangan kesadaran bahwa ia bagian dari ciptaan.
Hal ini menyebabkan manusia memandang semua makhluk dan alam ciptaan
berguna sejauh menguntungkan. Segala kekayaan alam didekati sebagai
sumber keuntungan melulu, yang dimanfaatkan tanpa batas.[34] Akibatnya
manusia terus-menerus melakukan eksploitasi. Eksploitasi terhadap sesama
manusia dan eksploitasi terhadap alam ciptaan.[35]

Tidak ada rekonsiliasi tanpa pertobatan. Oleh karena itu pertobatan dan
pengampunan bukan prasyarat suatu rekonsiliasi, melainkan hasil atau
dampak dari rekonsiliasi.[36] Pengalaman akan proses rekonsiliasi mengubah
kita menjadi ciptaan baru. Apa yang menjadi suasana hidup kita sebelumnya
diubah menjadi baru. Sakramen rekonsiliasi mengingatkan kita bahwa
perdamaian itu juga mesti merangkum seluruh tata relasi kita dengan alam
lingkungan. Maka, pertobatan manusia mestinya juga berdampak kepada
pembangunan kembali alam lingkungan.[37]

6.4 Pengampunan Dosa dan Pembaharuan Hidup

Proses rekonsiliasi bukan suatu hasil karya manusia melulu, melainkan karya
Allah di dalam diri manusia melalui Roh Kudus.[38] Sakramen Rekonsiliasi
menganugerahkan Roh Kudus sebagai pengampunan dosa dan kekuatan untuk
pembaharuan hidup. Roh Kudus yang dikaruniakan kepada kita adalah Roh
kudus yang berperan mengampuni dosa.[39] Dalam pandangan Allah, kebenaran
dosa tentang diri kita adalah, “kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu
telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan
dalam Roh Kudus (1 Kor 6:11).[40]
Tujuan pembaharuan hidup seseorang yang telah bertobat adalah menjadi
serupa dengan Yesus Kristus dalam seluruh hidup, sabda, dan nasib-Nya.
Menyerupai Yesus Kristus berarti memperoleh persekutuan dengan seluruh
hidup, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Pembaharuan hidup dalam Roh
mengingatkan kita pada nilai-nilai dasar injili yang intinya menyangkut seluruh
Yesus Kristus juga.

Pengampunan yang dari Allah melalui sakramen rekonsiliasi selalu bersamaan


dengan pilihan dasar orang-orang Kristiani pada pembaharuan hidup. Pilihan
dasar ini harus dinyatakan sepenuhnya, dikuatkan, diwujudkan dalam sikap,
keutamaan, dan dalam seluruh tindakannya. Pengampunan itu merupakan
anugerah Allah tanpa batas. Allah tidak pernah berhenti mengaruniakan
pengampunan kepada manusia. Sebagaimana Allah terus memberi
pengampunan demikian seharusnya manusia terus-menerus membaharui
hidup melalui pertobatan. Pengampunan itu menjadi berbuah melalui
pembaharuan hidup.[41]

7. Indulgensi (kan. 992-994)

Indulgensi berasal dari bahasa Latin Indulgentia yang secara harfiah berarti
kemurahan. Indulgensi ini merupakan kemurahan dari Allah yang
dianugerahkan kepada seseorang melalui Gereja. Indulgensi berupa
penghapusan hukuman sementara sebagai akibat dosa.[42] Kan. 992
merumuskan indulgensi ini demikian “indulgensi adalah penghapusan di
hadapan Allah hukuman-hukuman sementara dosa-dosa yang kesalahannya
sudah dilebur, yang diperoleh orang beriman kristiani yang berdisposisi baik
serta memenuhi syarat-syarat tertentu, diperoleh dengan pertolongan Gereja
sebagai pelayan keselamatan, berkuasa membebaskan dan mengeterapkan
harta pemulihan kristus dan para kudus.”

KGK juga memberi definisi dari indulgensi,[43] sebagai berikut:


1) Penghapusan siksa dosa temporal: berarti bahwa indulgensi tidak dapat
mengubah keputusan Tuhan bagi orang-orang yang berada di siksa dosa abadi
atau neraka. Oleh karena itu, indulgensi hanya dapat diterapkan bagi orang-
orang yang masih hidup di dunia ini dan juga yang masih berada di api
penyucian. Dengan indulgensi, orang-orang yang masih hidup di dunia ini
dapat menghindari siksa dosa sementara (di Api Penyucian)

2) Dosa-dosa yang sudah diampuni: berarti indulgensi mensyaratkan dosa-dosa


yang sudah diampuni dan bukan dosa yang akan datang. Ini berarti pada waktu
kita mendapatkan indulgensi dan kemudian berdosa lagi, maka kita juga perlu
untuk mendapatkan indulgensi lagi untuk menghapuskan siksa dosa temporal.

3) Warga beriman Kristen: dalam hal ini adalah umat yang telah dibaptis. Kita
tahu bahwa Sakramen Baptis adalah gerbang untuk semua sakramen dan
berkat-berkat yang lain. Persyaratan yang lain adalah tidak terkena
ekskomunikasi, dan dalam kondisi rahmat pada waktu melaksanakan
indulgensi yang ditetapkan.

4) Yang benar-benar siap menerimanya, di bawah persyaratan yang jelas: Ini


berarti Gereja tidak mengharuskan seseorang untuk menerima indulgensi.
Namun Gereja memberikan kesempatan yang begitu banyak, sehingga umat
beriman dapat menarik manfaatnya dari berkat ini. Dan Gereja juga
memberikan persyaratan yang jelas tentang bagaimana untuk memperoleh
indulgensi.

5) Dengan bantuan Gereja: Telah dibahas di atas bahwa Yesus sendiri yang
memberikan kuasa kepada Gereja untuk memberikan indulgensi kepada umat
Allah melalui Gereja. Indulgensi ini hanya dapat diberikan oleh Paus dan orang-
orang yang mempunyai kuasa oleh hukum yang diberikan oleh Paus.

6) Sebagian atau seluruhnya: Lama dari siksa dosa sementara di purgatorium


tidak dapat ditentukan jangka waktunya. Gereja Katolik hanya memberikan
indulgensi kepada umat sebagian atau seluruhnya, di mana sebagian berarti
mengurangi waktu yang harus dijalankan di purgatorium, sedangkan
seluruhnya berarti dibebaskan dari purgatorium.

Karena begitu pentingnya indulgensi dalam mencapai tujuan akhir, maka


Gereja mengharuskan seluruh umat beriman untuk percaya akan dogma
indulgensi. Konsili Trente mengatakan “Terkutuklah kepada siapa yang
mengatakan bahwa indulgensi adalah tidak berguna atau mengatakan bahwa
Gereja tidak mempunyai kuasa untuk memberikannya.”

Kan. 995 menggariskan siapa saja yang dapat memberi indulgensi. Orang-orang
yang dapat memberi indulgensi selain Otoritas tertinggi Gereja adalah orang-
orang yang diakui memiliki kuasa itu oleh hukum, atau yang diberi oleh Paus.

Gereja berkuasa memberikan indulgensi karena Tuhan Yesus Kristus sendiri


telah memberikan kuasa kepada Gereja untuk melepaskan dan mengampuni
orang berdosa. Agar seseorang dapat memperoleh indulgensi haruslah ia
sudah dibaptis, tidak di ekskomunikasi, dalam keadaan rahmat sekurang-
kurangnya pada akhir perbuatan-perbuatan yang diperintahkan dan
hendaknya bermaksud memperoleh dan melaksanakan perbuatan-perbuatan
yang diwajibkan (kan. 996). Indulgensi dapat kita mohonkan baik untuk diri
sendiri maupun untuk diri orang lain yang sudah meninggal. [44]

Kepustakaan

Bakok, N. Lalong. Menuju Dunia Baru. Ende: Nusa Indah, 2004.

Douglas, J.D. et al., (ed.). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid I. Judul asli: The
New Bible Dictionary). Diterjemahkan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992.
Farrugia, O’Collins-Gerald-, Edward G. Kamus Teologi. Judul asli: A Concise
Dictionary of Theology. Diterjemahkan oleh I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius,
1996.

Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan oleh Herman Embuiru. Ende:


Arnoldus, 1995.

Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Komisi Internasional untuk Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan


(KPKC). Buku Pegangan bagi Promotor Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan
Ciptaan. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Martasudjita, E. Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan


Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Schlink, Basilea. Hidup yang Dikuasai Roh. Malang: Gandum Mas, 1969.

Suryanugraha, C. H. “Perayaan Sakramen Rekonsiliasi”, dalam Liturgi, Vol. 20,


no. 4, Juli-Agustus 2009. Jakarta: Komisi Liturgi KWI, 2009.

Tim SKP Jayapura. Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi. Jayapura:


Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, 2006.

Waskito, J. Terpanggil untuk Menjadi Kudus. Medan: Bina Media Perintis, 2005.

Catatan kaki :
[1] N. Lalong Bakok, Menuju Dunia Baru (Ende: Nusa Indah, 2004), hlm. 278-
279.

[2] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis,


dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 309.

[3] E. Martasudjita, Sakramen–sakramen ..., hlm. 312.

[4] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 313.

[5] J.D. Douglas et al., (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid I (judul asli: The
New Bible Dictionary), diterjemahkan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih
(Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992), hlm. 486.

[6] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 313.

[7] .D. Douglas et al., (ed.), Ensiklopedi i…, hlm. 486.

[8] J.D. Douglas et al., (ed.), Ensiklopedi i…, hlm. 486.

[9] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius,


1996), hlm. 430.

[10] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 316.

[11] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 317.

[12] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 319-320.


[13] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 321-322.

[14] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman …, hlm. 433-434.

[15] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 322-323.

[16] C. H. Suryanugraha. “Perayaan Sakramen Rekonsiliasi”, dalam Liturgi, Vol.


20, no. 4, Juli-Agustus 2009 (Jakarta: Komisi Liturgi KWI, 2009), hlm. 15.

[17] C. H. Suryanugraha. “Perayaan Sakramen …, hlm. 15.

[18] Bdk. OP 31-32.

[19] SC No. 7A

[20] C. H. Suryanugraha. “Perayaan Sakramen …, hlm. 15.

[21] C. H. Suryanugraha. “Perayaan Sakramen …, hlm. 16.

[22] Bdk. OP 12.


[23] Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende:
Arnoldus, 1995), nomor 1420.

[24] Dosa adalah setiap pikiran, kata-kata, dan tindakan yang menolak Allah.
Dalam Perjanjian Lama, dosa dikenal sejak kejatuhan manusia pertama yakni
Adam dan Hawa. [Lihat O’Collins-Gerald-Farrugia, Edward G. Kamus Teologi
(Judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.59-60.]

[25] Sakramen rekonsiliasi adalah salah satu dari ketujuh sakramen Gereja
yang diadakan oleh Yesus Kristus demi pengampunan dosa yang dilakukan
sesudah dibaptis. Lewat sakramen ini umat diampuni dan diperdamaikan
kembali dengan Allah. Dalam Injil, Kristus berhak mengampuni dosa (Mrk 2:5-
11; Luk 7:36-50). Dan kuasa itu telah diberikan kepada para murid (Yoh 20:19-
23). [Lihat O’Collins-Gerald-Farrugia, Edward G., Kamus Teologi …, hlm. 286.]

[26] KGK no. 1422; bdk. LG no. 11.

[27] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 243; bdk. KGK no. 1441-


1442.

[28] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 324.

[29] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 325.

[30] LG no. 11.

[31] KGK no. 1422; bdk. LG no. 11.


[32] Tim SKP Jayapura, Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi (Jayapura:
Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, 2006), hlm. 50; bdk. E. Martasudjita,
Sakramen-sakramen …, hlm. 326.

[33] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 326.

[34] Tim SKP Jayapura, Membangun …, hlm. 13.

[35] Komisi Internasional untuk Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan


(KPKC), Buku Pegangan bagi Promotor Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan
Ciptaan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 16.

[36] Tim SKP Jayapura, Membangun …, hlm. 52.

[37] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 326.

[38] Tim SKP Jayapura, Membangun …, hlm. 51.

[39] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 326

[40] J. Waskito, Terpanggil untuk Menjadi Kudus (Medan: Bina Media Perintis,
2005), hlm. 68.

[41] Basilea Schlink, Hidup yang Dikuasai Roh (Malang: Gandum Mas, 1969),
hlm. 80.

[42] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 329.


[43] Lih. KGK no. 1471.

[44] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen …, hlm. 331.

Anda mungkin juga menyukai