Anda di halaman 1dari 4

DEUTEROKANONIKA

Mungkin tidak semua dari kita menyadari bahwa Alkitab yang menjadi pegangan umat Katolik
dengan Alkitab yang menjadi pegangan umat Kristen Protestan memiliki sedikit perbedaan dari
segi jumlah kitab-kitab yang ada di dalam Alkitab secara keseluruhan. Alkitab (bible) yang
menjadi pegangan umat Katolik memiliki kelebihan dari segi isi, yaitu adanya kitab-kitab yang
disebut Deuterokanonika, yang kemudian menjadi ciri dari Kitab Suci pegangan umat Katolik.

Istilah Deuterokanonika dipakai untuk menyebut tujuh kitab dan tiga tulisan tambahan yang
tidak terdapat dalam daftar Kitab Suci Ibrani, tetapi terdapat dalam daftar Kitab Suci Yunani
(Septuaginta), yakni: Tobit, Yudit, Barukh, 1-2 Makabe, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin
Sirakh, Surat Nabi Yeremia (Barukh 6), Tambahan pada Kitab Ester (Est. 10:4-16:24), dan
Tambahan pada Kitab Daniel (Dan. 13-14).

Setelah jatuhnya Yerusalem pada tahun 70 M, para rabi Yahudi mengadakan Konsili Jamnia
(90-100). Di situ mereka menetapkan kitab-kitab mana saja yang mereka anggap sebagai Kitab
Suci mereka. Pada masa itu, masih terdapat kontroversi atas “Kitab Deuterokanonika”
meskipun kitab-kitab tersebut tetap dimasukkan, secara keseluruhan atau setidaknya sebagian
dalam Septuaginta, yaitu terjemahan resmi Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (100 SM).
Sebagian dari alasan kontroversi itu adalah karena kitab-kitab tersebut merupakan
tulisan-tulisan terakhir Perjanjian Lama dan ditulis dalam bahasa Yunani, bukan bahasa Ibrani;
sementara kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya - “Kitab-kitab Protokanonik” - lebih tua umurnya
dan aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani.

Gereja-gereja reformasi (Kristen Protestan) menyebut kitab-kitab Deuterokanonika sebagai


tulisan-tulisan apokrif dan tidak menerimanya sebagai bagian dari Kitab Suci mereka. Kata
apokrifa berasal dari bahasa Yunani yang artinya tersembunyi, terselubung, rahasia. Yang
dimaksud sebagai kitab-kitab apokrif adalah kitab-kitab yang ditulis dan beredar, tetapi tidak
diterima sebagai tulisan yang terinspirasi dari roh kudus dan tidak termasuk dalam kanon.

Sedangkan Gereja Katolik dan Gereja Yunani Ortodoks menerimanya sebagai bagian dari Kitab
Suci. Dalam sejarah terbentuknya kanon, kitab-kitab ini pernah disangsikan apakah termasuk
dalam Kitab Suci atau tidak, sampai akhirnya Konsili Trente (1546) menetapkan dan
menerimanya sebagai bagian dari Kitab Suci. Istilah Deuterokanonika (artinya: kanon kedua)
dikenakan pada bagian kitab-kitab yang pernah disangsikan oleh jemaat-jemaat tertentu itu.
Sedangkan kitab-kitab yang tidak pernah diragukan kedudukannya sebagai bagian dari Kitab
Suci disebut Protokanonik (artinya: kanon pertama).

Bagaimana sejarahnya?

Ada yang menuduh orang Katolik telah menambahkan jumlah Kitab Suci. Tetapi tuduhan ini
sama sekali tidak benar. Bahkan tuduhan seperti itu menunjukkan bahwa orang yang
menyampaikan hal tersebut tidak mengetahui sejarah terbentuknya Kitab Suci. Perbedaan ini
sebenarnya memiliki latar belakang dalam sejarah agama Yahudi.

Sejak zaman pembuangan Babel (abad 6 SM) tidak semua orang Yahudi tinggal di Palestina.
Banyak di antara mereka yang tinggal di luar negeri Palestina, seperti di Mesir, Yunani, Roma,
Babel dan sebagainya. Orang Yahudi di Palestina memiliki daftar kitab yang disebut sebagai
Kitab Suci, demikian pula orang Yahudi di luar Palestina memiliki daftar mereka sendiri. Pada
tahun 100 M, orang Yahudi yang tinggal di Palestina menetapkan daftar kitab-kitab yang
diterima sebagai Kitab Suci. Daftar ini mulanya hanya berlaku di Palestina dan baru kemudian
diterima oleh semua orang Yahudi.

Daftar Kitab Suci yang dipakai oleh orang Yahudi di luar Palestina lebih luas dari yang dipakai
di Palestina, karena mencakup juga kitab-kitab yang sekarang digolongkan sebagai kitab-kitab
Deuterokanonika. Umat kristiani mengikuti daftar Kitab Suci yang berlaku dikalangan orang
Yahudi di luar Palestina itu. Mereka tetap mengakui kitab-kitab yang tidak lagi diterima oleh
orang-orang Yahudi. Gereja-gereja Protestan, yang kemudian memisahkan diri dari Gereja
Katolik, menyesuaikan diri dengan daftar Kitab Suci orang Yahudi di Palestina, sehingga
muncullah perbedaan antara Katolik dan Protestan mengenai daftar Kitab Suci.

Walaupun tidak mengakui kitab-kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari Kitab Suci,
Martin Luther (pendiri Kristen Protestan) juga menerjemahkan kitab-kitab itu dan
menempatkannya sebagai kumpulan tersendiri (1543). Ia menempatkan kumpulan ini di antara
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan keterangan: ”Baik dan berguna untuk dibaca,
tetapi tidak termasuk dalam Kitab Suci.” Terjemahan-terjemahan Alkitab yang dilakukan pada
zaman itu dan sesudahnya melakukan hal yang sama. Sampai pada akhirnya pada tahun 1826,
British and Foreign Bible Society memutuskan untuk menolak mendistribusikan Alkitab yang
memuat kitab-kitab Deuterokanonika. Sejak itu, sebagian besar terjemahan Alkitab modern
yang dibuat oleh Gereja-gereja Protestan, termasuk cetak ulang dari King James Bible,
mengabaikan bagian Deuterokanonika. Walaupun demikian, beberapa edisi dari Alkitab
Revised Standard Version mencantumkan juga Deuterokanonika.

Dengan latar belakang ini, kita sekarang dapat mengetahui mengapa Kitab Suci Protestan
memiliki lebih sedikit kitab daripada Kitab Suci Katolik. Pada tahun 1534, Martin Luther
menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman. Ia mengelompokkan ketujuh kitab
Deuterokanonika dari Perjanjian Lama sebagai “Apocrypha” dengan memaklumkan, “Inilah
kitab-kitab yang tidak sejajar dengan Kitab Suci, namun demikian berguna dan baik dibaca.”

Perbedaan pandangan

Sejak zaman para bapa Gereja sudah terjadi perbedaan pandangan mengenai kitab-kitab
Deuterokanonika. Perbedaan pandangan antara Hieronimus dan Agustinus dapat
menggambarkan hal ini. Menarik bahwa Santo Hieronimus, yang terjemahannya dalam Bahasa
Latin (Vulgata) menjadi terjemahan resmi Gereja Katolik, tidak ingin memasukkan kitab-kitab
Deuterokanonika. Itu dapat dipahami karena Hieronimus tinggal di Palestina dan banyak
berdiskusi dengan para ahli kitab Yahudi. Ia dipengaruhi oleh pandangan mereka dan tidak
dapat mempergunakan kitab-kitab Deuterokanonika sebagai dasar untuk beragumentasi.
Sementara itu Agustinus yang hidup pada masa yang sama berpendapat berdasarkan tradisi,
bahwa kitab-kitab itu harus dimasukkan kedalam Vulgata. Setelah berbicara dengan Paus
Damasus yang memberinya tugas dan menyadari bahwa sebagian besar orang berpihak pada Agustinus,
Hieronimus memutuskan untuk memasukkan kitab-kitab Deuterokanonika ke dalam
terjemahannya. Berbagai Konsili yang diadakan sesudahnya (Konsili Roma, Hippo, dan
Kartargo pada akhir abad 4) menegaskan bahwa kitab-kitab Deuterokanonika termasuk dalam
Kitab Suci dan diperlakukan sebagai Kitab Suci.
Ketika para reformator yang dipelopori oleh Marthin Luther melancarkan reformasi, tujuan
utamanya adalah memeriksa dan mengoreksi praktik dan ajaran Gereja zaman itu dalam terang
Alkitab. Dalam kaitan dengan tujuan ini, disadari kebutuhan untuk menentukan kitab-kitab mana
saja yang otoritantif untuk menjadi dasar ajaran Gereja dan mana yang tidak. Luther
menentang ajaran Gereja tentang purgatorium (api penyucian) , serta doa dan perayaan
ekaristi bagi orang mati. Ia sadar bahwa hal tersebut dinyatakan dalam 2Mak. 12:43-45.
Demikian juga beberapa kitab dalam Deuterokanonika menekankan manfaat yang diperoleh
melalui perbuatan-perbuatan baik (Tob.12:9; Sir. 3:30), padahal Marthin Luther sangat
menekankan gagasan sola fide, yang berarti ”hanya iman yang menjadi dasar keselamatan”.
Hal tersebut menjadi alasan bagi Luther untuk tidak memasukan kitab-kitab Deuterokanonika
ke dalam daftar Kitab Suci dan memutuskan untuk mengambil alih kanon Yahudi.
Menghadapi sikap Luther, Gereja Katolik dalam Konsili Trente melihat kembali pada tradisi dan
menegaskan bahwa yang diterima oleh Gereja Katolik sebagai Kitab Suci adalah kitab-kitab
yang terdaftar dalam Vulgata. Dengan kata lain, konsili tersebut menegaskan kembali tradisi
Gereja mengenai kanon Kitab Suci.

Kriteria yang dipergunakan untuk menentukan apakah suatu kitab termasuk dalam Kitab Suci
atau tidak mencakup tiga hal:

1. Apakah isinya benar-benar mengungkapkan iman Gereja, dan tidak sekadar perasaan atau
iman seseorang ?;
2. Apakah kitab tersebut diterima sebagai Kitab Suci oleh seluruh Gereja ?;
3. Apakah kitab tersebut dari awal diterima sebagai Kitab Suci oleh seluruh Gereja ?.

Pernyataan Konsili Trente itu menunjukkan bahwa konsili mengakui bahwa kitab-kitab itu ditulis
juga dengan inspirasi Roh Kudus, dan dengan demikian diterima sebagai sabda Allah yang
tertulis.

Sesungguhnya Luther juga mengungkapkann keraguannya atas ”kekanonikan” kitab-kitab


tertentu dari Perjanjian Baru (yakni Surat Ibrani, Yakobus, Yudas dan Wahyu), tetapi tidak
menempatkannya dalam bagian terpisah. Ia hanya menempatkannya di bagian akhir Perjanjian
Baru.

Walaupun telah jelas alasan Luther untuk tidak memasukkan Deuterokanonika ke dalam daftar
Kitab Suci, sebagian orang Protestan dimasa sesudahnya - sampai sekarang, berusaha
mencari-cari penjelasan untuk membenarkan bahwa kitab-kitab itu memang tidak layak masuk
dalam daftar Kitab Suci. Salah satu argumennya ialah bahwa kitab-kitab itu mengajarkan
praktik amoral, seperti berbohong, bunuh diri, dan pembunuhan, sehingga tidak layak
dipandang sebagai sabda Allah. Pandangan ini biasanya dikenakan pada kitab Yudit yang
menceritakan bagaimana Yudit menyalahgunakan kecantikannya untuk membunuh.

Seandainya benar bahwa kitab Yudit mengandung ajaran-ajaran moral yang keliru, hal ini perlu
dicermati lebih lanjut. Ajaran moral yang terkandung dalam satu kitab tidak menjadi patokan
apakah kitab tersebut termasuk dalam daftar Kitab Suci atau tidak. Sebab, jika hal ini memang
diterapkan, bukan hanya kitab Yudit yang harus dikeluarkan dari daftar Kitab Suci. Kitab
Kejadian mengisahkan bagaimana Abraham yang takut kehilangan nyawa, membiarkan istrinya
diambil oleh orang lain. Dengan sengaja ia menyembunyikan kebenaran untuk kepentingan
sendiri (Kej, 12:10-20). Kitab Hakim-hakim mengisahkan bagaimana seorang perempuan
bernama Yael memperdaya Sisera sampai akhirnya membunuhnya dengan cara yang kejam
(Hak. 4:1-24). Dalam 1Sam.15 Tuhan bahkan memerintahkan agar Israel menumpas habis
seluruh bangsa Amalek. Ketika Saul ternyata membiarkan Agag, raja Amalek yang
ditaklukkannya itu, tetap hidup, Samuel mempersalahkan Saul dan membunuh Agag dengan
tangannya sendiri.

Jika ajaran moral dalam suatu kitab menjadi patokan penentuan Kitab Suci, kitab-kitab tersebut
dan kitab-kitab lain yang mengandung ajaran moral yang keliru seharusnya juga harus dicabut
dari daftar Kitab Suci.

Memang ada perbedaan antara Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci Protestan. Namun, harus
diingat bahwa Allah tidak pernah menyerahkan suatu Kitab Suci yang lengkap kepada siapa
pun dan mengatakan, “Ini, ambillah.” Melainkan, selama berabad-abad sejarah keselamatan,
Roh Kudus mengilhami penulis-penulis Kitab Suci agar menuliskan wahyu-wahyu Tuhan
kepada manusia. Dengan berlalunya waktu, Gereja menyusun kitab-kitab ini menjadi suatu
Kanon - suatu daftar resmi Kitab Suci - dan memaklumkannya sebagai “Sabda Allah”.

Alkitab adalah buku utama bagi mereka yang menjadikannya sebagai topangan hidup dan
tenaga hidup, kekuatan iman, makanan bagi jiwa, sumber murni dan kekal hidup rohani mereka
(Bdk Dei Verbum no. 2, Konsili Vatikan II). Alkitab, sudah seharusnya menjadi buku yang utama
dan pertama bagi kita, umat kristiani. Karena apa? Dari sanalah kita mengetahui sejarah
penyelamatan umat manusia dari dosa. Lalu apa artinya kita menyebut diri kita sebagai
pengikut Kristus tetapi tidak tahu mengapa Ia menyelamatkan kita; tidak pernah membaca surat
cintanya yang berupa Alkitab. Mengapa kita tidak berusaha mengenalnya lebih baik ? “Tak
Kenal Maka Tak Sayang”. Kitab yang telah diwariskan itu wajib dibaca, diresapi, dipahami, dan
diamalkan. Dalam Alkitablah terdapat jawaban dari segala permasalahan hidup kita. Jika dalam
doa, kita berbicara dan memohon pada Tuhan maka dengan membaca Alkitab, kita
mendengarkan jawaban Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai