Anda di halaman 1dari 13

Kebangkitan Badan dan Immortalitas Jiwa

(oleh: Benardus Teguh Raharjo, MSC)

Pendahuluan

Setiap manusia pasti akan mengalami kematian. Hal ini menjadi akhir kehidupan
manusia di dunia ini. Tubuh jasmani akan rusak, hancur sementara jiwa manusia memasuki
suatu dunia yang berbeda dengan kehidupan di dunia ini. Suatu misteri menyelimuti
mengenai apa yang akan dialami manusia pada dunia lain itu. Setiap agama memiliki
pandangan mengenai keadaan manusia setelah kematian dan apa yang dialami manusia pada
jaman akhir. Paper ini secara khusus menampilkan pandangan, ajaran Gereja Katolik
mengenai kebangkitan badan dan imortalitas jiwa.

1. Pandangan Kitab Suci


Di dalam Perjanjian Lama, tampak adanya pandangan tentang

kebangkitan orang mati. Berkaitan dengan situasi manusia pada akhir

zaman, Daniel memperoleh nubuatan “Dan banyak dari antara orang-orang

yang telah tidur dalam debu tanah akan bangun, sebagian untuk mendapat

hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang

kekal.” (Dan 12:2). Ayat ini jelas menyatakan pandangan bahwa orang mati

akan bangkit kembali. Pada ayat selanjutnya nyata bagaimana keadaan

orang benar yang telah bangkit itu. “Dan orang-orang bijaksana akan

bercahaya seperti cahaya cakrawala dan yang telah menuntun banyak orang

kepada kebenaran, seperti bintang-bintang, tetap untuk selamanya.” (Dan

12:3).

Pandangan mengenai kebangkitan orang mati terdapat pula dalam Kitab

Makabe. Keyakinan akan kebangkitan badan terungkap dalam kisah tujuh

orang bersaudara serta ibunya yang disiksa oleh raja karena

mempertahankan iman mereka pada Yahwe (2 Mak 7:1-42). Setelah

menyaksikan kematian saudara yang pertama, yang kedua mendapat siksa

pula. Ketika hendak mati ia mengatakan “…Raja alam semesta akan

1
membangkitkan kami untuk kehidupan kekal oleh karena kami mati demi

hukum-hukumnya” (2 Mak 7: 9). Dalam penyiksaan anak ketiga meyakini

bahwa tubuhnya yang telah ia terima dari Allah, semua akan didapatkan

kembali dari Allah (bdk. 2 Mak 7:11). Saudara berikutnya juga memiliki

keyakinan bahwa Allah akan membangkitkan kembali dirinya (2 Mak7:14).

Keyakinan yang sama terungkap pula dari mulut sang ibu setelah

menyaksikan kematian tujuh anaknya. “Dengan belas kasihan-Nya Tuhan

akan memberikan kembali roh dan hidup kepada kamu, justru oleh karena

kamu kini memandang dirimu bukan apa-apa demi hukum-hukum-Nya” (2

Mak 7:23).

Iman akan kebangkitan dapat pula ditemukan dalam Injil Perjanjian Baru.

Ketika berhadapan dengan orang Saduki yang berpendapat tidak ada

kebangkitan, Yesus menyatakan bahwa Allah itu bukan Allah orang mati

melainkan orang hidup (Mrk 12:18-27). Saat memberi kesaksian mengenai

diri-Nya, Yesus mengatakan bahwa orang yang mendengar perkataan-Nya

dan percaya pada Dia yang telah mengutusNya, orang itu akan mempunyai

hidup yang kekal dan tidak turut dihukum (Yoh 5:24). Bahkan Yesus sendiri

mengatakan menjelang akhir hidup di dunia ini, Ia akan disiksa, dibunuh,

namun diri-Nya akan bangkit kembali pada hari ketiga (Mrk. 10:34). Dalam

kisah Lazarus dibangkitkan, Marta mengatakan kepada Yesus bahwa Lazarus

akan bangkit pada waktu orang- dibangkitkan pada akhir zaman. Namun

Yesus berkata “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-

Ku ia akan hidup walau sudah mati” (Yoh 11:24-25). Yohanes juga

menggambarkan diri Kristus yang telah bangkit dapat menembus pintu yang

tertutup. Yesus datang di tengah para murid meski rumah tempat mereka

berada pintu-pintunya terkunci (Yoh 20:19, 26).

Ajaran tentang kebangkitan badan dapat kita temukan pula dalam

pewartaan para rasul. Ketika berada di Atena, Paulus mewartakan mengenai

2
Yesus, kebangkitan-Nya serta kebangkitan orang mati walaupun orang-

orang tidak tertarik mendengarnya (Kis 17: 18,32). Kepada jemaat di

Korintus, Paulus juga memberitakan mengenai kebangkitan. Ia mengatakan

bahwa dasar kebangkitan badan adalah kebangkitan Kristus, “Kristus telah

dibangkitkan dari orang mati sebagai yang sulung dari orang- orang yang

telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang karena satu orang

manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang

manusia. Karena satu orang mati dalam persekutuan dengan Adam,

demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan

dengan Kristus. Tetapi tiap- tiap orang menurut urutannya: Kristus sebagai

buah sulung; sesudah itu mereka yang menjadi milik-Nya pada waktu

kedatangan-Nya…..” (1 Kor 15:20-23).

Pewartaan kebangkitan itu berlanjut dengan pengajaran mengenai

keadaan tubuh orang yang bangkit kembali nanti. Paulus mengatakan

demikian:
“Tetapi mungkin ada orang yang bertanya: "Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan
tubuh apakah mereka akan datang kembali?" Hai orang bodoh! Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak
akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu. Dan yang engkau taburkan bukanlah tubuh tanaman
yang akan tumbuh, tetapi biji yang tidak berkulit, umpamanya biji gandum atau biji lain… Ada tubuh
sorgawi dan ada tubuh duniawi, tetapi kemuliaan tubuh sorgawi lain dari pada kemuliaan tubuh duniawi…
Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan
dalam ketidakbinasaan…Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh
rohaniah…Sama seperti kita telah memakai rupa dari yang alamiah, demikian pula kita akan memakai rupa
dari yang sorgawi…Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati
semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah…Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak
dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati. (1 Kor 15: 35-37, 40, 42,
44, 49, 51,53).

2. Perkembangan Ajaran Gereja.


Pada bagian ini, dipaparkan mengenai ajaran Gereja tentang kebangkitan badan dan
imortalitas jiwa yang dihasilkan dari sinode, pernyataan yang terdapat dalam berbagai
dokumen-dokumen gereja.
a. Credo
Pernyataan iman kristiani dalam “Aku Percaya” secara jelas menyebutkan
ajaran, keyakinan Gereja “…Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang

3
kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan
kekal”. Pada Syahadat Konsili Nicea-Konstantinopel (325-381), pernyataan itu
sedikit berbeda, namun memiliki arti yang sama. “…aku mengakui satu pembaptisan
akan penghapusan dosa. Aku menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di
akhirat”. Rumusan iman akan kebangkitan badan serta kehidupan kekal ini amat
mendasar bagi umat Katolik.
Penegasan iman Gereja akan kebangkitan juga tampak dalam Statuta
Ecclesiae Antiqua (akhir abad V). Terdapat satu bagian tentang pemeriksaan iman
untuk pentahbisan uskup. Salah satu hal yang perlu ditanyakan kepada calon uskup
ialah: apakah dia percaya pada kebangkitan daging ini yang kita tanggung dan bukan
dari yang lain; jika dia percaya pada penghakiman yang akan datang dan bahwa
setiap individu akan menerima hukuman atau kemuliaan atas apa yang telah dia
lakukan dalam daging ini (DH 325)1. Dapat dikatakan bahwa Gereja tidak
menginginkan adanya kekeliruan paham, keyakinan iman dari gembala umat
tersebut.
Sinode Toledo IV yang dimulai 5 Desember 633 menghasilkan pernyataan
iman Kredo Tritunggal dan Kristologis. Berkaitan dengan kebangkitan badan
dikatakan bahwa “Dibersihkan oleh kematian dan darah-Nya, kita telah memperoleh
pengampunan dosa untuk dibangkitkan oleh-Nya pada hari-hari terakhir di dalam
daging yang kita hidupi sekarang dan juga dalam bentuk di mana Tuhan
dibangkitkan.” (DH 485)2.

Pada tahun 1053, ketika Petrus, Patriarkh Antiokhia meminta suatu pernyataan
iman, Paus Leo IX memberikan pernyataan imannya. Dalam Letter Congratulamur
vehementer, 13 April 1053, pada salah satu bagian Leo IX menyatakan “Saya percaya
bahwa gereja yang kudus, katolik dan apostolik adalah satu-satunya gereja yang
benar, di mana diberikan satu baptisan dan pengampunan yang benar dari semua dosa.
Saya percaya juga pada kebangkitan sejati dari daging yang sama yang saya miliki
sekarang dan dalam kehidupan yang kekal” (DH 684).

Pernyataan iman akan kebangkitan badan dinyatakan pula oleh Durandus dari
Osca atau Huesca (Aragon). Ia adalah seorang penganut Waldensian yang menjadi
Katolik. Dalam Letter Eius exemplo yang ditujukan kepada Uskup Agung Tarragona

1
Ibid., hlm. 117.
2
Ibid., hlm. 167.

4
tertanggal 18 Desember 1208, Durandus menyatakan imannya. Salah satu pokok iman
yang dinyatakannya ialah “di dalam hati kita, kita percaya dan dengan bibir kita
mengakui kebangkitan daging yang kita miliki dan bukan milik orang lain. Kami
sangat percaya dan menegaskan bahwa akan ada penghakiman oleh Yesus Kristus dan
bahwa individu akan menerima hukuman atau penghargaan, sesuai dengan apa yang
mereka lakukan dalam daging” (DH 797)3.

Pada Konsili Lateran IV yang berlangsung pada 11-30 November 1215, bapa
konsili mendefinisikan iman katolik untuk melawan ajaran Albigensian dan Katars.
“Akhirnya, satu-satunya Putra Tuhan yang tunggal, Yesus Kristus yang
penjelmaannya adalah karya umum dari seluruh Trinitas, diciptakan dari Maria yang
masih perawan dengan kerja sama roh kudus, menjadikan manusia sejati, terdiri dari
jiwa yang rasional dan tubuh manusia, satu orang dalam dua kodrat, menunjukkan
cara hidup lebih jelas....Dia akan datang pada akhir zaman untuk menghakimi yang
hidup dan yang mati dan memberikan kepada masing-masing sesuai dengan
pekerjaannya, kepada kaum reprobat dan juga untuk memilih. Mereka semua akan
bangkit kembali dengan tubuh mereka sendiri, yang sekarang mereka tanggung untuk
menerima sesuai dengan pekerjaan mereka, apakah ini baik atau jahat, yang terus-
menerus dihukum dengan iblis dan yang lain kemuliaan abadi dengan Kristus” (DH
801).
Pada tahun 1274, Kaisar Mikael Paleologus menulis surat kepada Paus
Gregorius. Dalam surat itu, kaisar menyatakan iman katolik. “Kami percaya pula
pada kebangkitan tubuh ini yang saat ini kami kenakan dan kehidupan abadi…” (DH.
854)4.
Bagi jiwa-jiwa orang yang telah menerima pembaptisan, ia meyakini bila jiwa-jiwa
itu tidak mengalami noda dosa apa pun dan jiwa-jiwa yang, setelah mengontrak noda
dosa, telah dibersihkan, entah tetap tinggal di tubuh mereka atau setelah telah
melepaskan mereka seperti yang disebutkan di atas, mereka diterima ke surga (DH
857). Sebaliknya bagi jiwa orang yang mati dalam dosa berat atau hanya dengan dosa
asal, mereka segera turun ke neraka, untuk dihukum, dengan hukuman yang berbeda
(DH 858).

3
Ibid., hlm. 262.
4
Heinrich Denzinger, Compendium of Creeds, Definitions, and Declarations on Matters of Faith and
Morals, edited by Peter Hünermann (San Fransisco: Ignatius Press, 2012), hlm. 283.

5
Pada Sinode Toledo XI, yang dimulai tanggal 7 November 675 diungkapkan
pernyataan iman katolik mengenai nasib setelah kematian. Berkenaan dengan nasib
manusia setelah kematian, sinode mengakui bahwa ada kebangkitan daging yang
benar untuk semua orang mati. Namun kebangkitan ini dipercaya bukan kebangkitan
dalam daging yang halus atau yang lain, seperti yang dibayangkan oleh beberapa
orang, tetapi di dalam daging ini di mana manusia hidup, berada dan bergerak. Setelah
memberikan contoh kebangkitan suci ini, Yesus Kristus dengan kenaikannya kembali
ke tahta Bapa-Nya yang darinya dalam sifat ilahi-Nya, Dia tidak pernah pergi. Di sana
duduk di sebelah kanan Bapa, Ia ditunggu hingga akhir zaman sebagai hakim bagi
semua yang hidup dan yang mati (DH 540).

Sinode Toledo XVI, 25 April 693 juga menghasilkan suatu pernyataan iman.
Pengakuan iman ini sebagian besar bertolak dari Sinode Toledo XI. “Sama seperti Dia
memberi kita contoh dengan kebangkitannya sendiri dan, ketika memberi kita
kehidupan, setelah dua hari Ia bangkit pada hari ketiga, hidup dari kematian, kami
percaya setiap saat bahwa pada akhir zaman ini kita juga akan dibangkitkan, bukan
sebagai udara tipis atau hantu bayangan, seperti pendapat terkutuk dari beberapa
penegasan (ditujukan terhadap Patriark Eutychius dari Konstantinopel), tetapi dalam
substansi daging nyata di mana kita sekarang berada dan hidup; dan pada saat
penghakiman, berdiri di hadapan Kristus dan para malaikat kudus, masing-masing
akan memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah ia lakukan dalam
tubuhnya, apakah baik atau buruk, dan akan menerima darinya sebuah kerajaan
kebahagiaan tanpa akhir untuk tindakan baik atau hukuman abadi mereka untuk
perbuatan jahatnya (DH 574).

b. Konstitusi “Benedictus Deus”5


Pada tahun 1336, Paus Benediktus XII mengeluarkan Konstitusi “Benedictus
Deus”. Paus menetapkan bahwa kebangkitan badan tidak terjadi segera sesudah
kematian. Hal ini menandakan adanya suatu “situasi antara”. Dalam dokumen
tersebut beliau menyatakan bahwa semua orang yang ada di surga dianugerahi
tatapan yang membahagiakan (visio beatifica).
Paus menyebutkan bahwa setiap jiwa dari para kudus yang meninggalkan
dunia sebelum sengsara Kristus, para rasul yang kudus, para martir, para pengaku
iman, para perawan, dan semua orang beriman lainnya yang meninggal sesudah
5
Ibid., hlm. 302-303.

6
menerima baptisan suci dari Kristus, yang di dalamnya tidak perlu dimurnikan lagi
ketika mereka meninggal dunia atau yang sesudah kematian bila dalam diri mereka
ada sesuatu yang harus disucikan dulu maupun mendatang. Juga kepada jiwa-jiwa
anak-anak yang telah dilahirkan kembali dengan pembaptisan Kristus yang sama atau
mereka yang telah meninggal sebelum menggunakan kehendak bebas mereka, semua
jiwa mereka yang telah meninggal sebelum menggunakan kehendak bebas mereka,
semua jiwa mereka ini secara langsung sesudah kematian, segera atau sesudah api
penyucian itu, orang-orang itu sudah atau sedang atau akan ada di surga.
Lebih lanjut, “Benedictus Deus” menyebutkan bahwa jiwa orang benar yang
masuk ke kerajaan surga ketika sebelum jiwanya bersatu kembali dan sebelum
penghakiman umum, bergabung dengan para malaikat yang suci. Selanjutnya saat
penderitaan dan wafat Yesus Kristus, jiwa-jiwa ini telah melihat dan memandang
hakekat yang ilahi dengan suatu vision yang intuitif dan bahkan dari muka ke muka,
tanpa suatu mediasi atau pengantaraan suatu ciptaan. Hakekat ilahi itu secara
langsung memanifestasikan dirinya kepada mereka ini dengan apa adanya, jernih dan
terbuka. dalam vision ini mereka mengalami dengan kegembiraan hakekat ilahi itu.
Dengan demikian jiwa yang mengalami dan menikmati hakekat ilahi sungguh
bahagia dan telah mengalami kehidupan dan istirahat abadi. Penglihatan (vision) dan
kegembiraan memandang dan berjumpa dengan hakekat ilahi membuat actus iman
dan harapan hilang dala.m jiwa-jiwa ini, sejauh iman dan harapan merupakan
keutamaan teologal. Begitulah vision dan perjumpaan dari muka ke muka dan
kenikmatan memandang hakekat ilahi secara terus menerus tanpa adanya interupsi
dan tanpa akhir sampai pengadilan terakhir dan sampai selamanya.
Berkenaan dengan jiwa orang yang tidak benar, “Benedictus Deus”
menyebutkan bahwa jiwa-jiwa yang meninggal dalam keadaan dosa berat, secara
langsung masuk neraka. Di sana mereka mengalami penderitaan dan siksaan neraka.
Namun demikian, pada hari penghakiman datang semua manusia akan tampil dengan
tubuh mereka di depan kursi pengadilan kristus dan memberikan
pertanggungjawaban atas tindakan pribadi mereka.

c. Dokumen “Letter on Certain Concerning Eschatology”6

6
Ibid., hlm. 1027-1028.

7
Pada tanggal 17 Mei 1979, Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman mengeluarkan
suatu dokumen yang berjudul “Letter on Certain Concerning Eschatology”.
Dokumen ini menyatakan pandangan Gereja mengenai pertanyaan-pertanyaan
eskatologi antara kematian orang kristiani dan kebangkitan umum. Kongregasi
menegaskan ajaran-ajaran Gereja sebagai berikut:

1) Gereja percaya akan kebangkitan orang mati.


2) Gereja memahami kebangkitan itu sebagai kebangkitan seluruh manusia; bagi
orang terpilih kebangkitan ini tidak lain daripada perluasaan kebangkitan Kristus
kepada umat manusia.
3) Gereja menegaskan kelestarian dari kehidupan pribadi sesudah kematian, dari
unsur rohani yang mempunyai kesadaran dan kemauan sehingga “pribadi manusia”
–biarpun tanpa perlengkapan tubuhnya- tetap berdiri sendiri. Menunjuk pada unsur
rohani ini, Gereja memakai kata “jiwa”, terminologi yang diterima pemakaiannya
dalam Kitab Suci dan tradisi. Walaupun disadari terminologi ini mempunyai
banyak makna dalam Kitab Suci, Gereja berpendapat bahwa tidak ada alasan yang
meyakinkan untuk membuang terminologi itu; apalagi Gereja mempunyai
keyakinan bahwa sarana verbal ini sungguh perlu untuk mempertahankan iman
Kristiani.
4) Gereja menolak setiap cara berpikir ataupun berbicara yang menyebabkan doa-
doanya, ritus kematian, dan ibadat bagi orang mati tidak masuk akal atau tidak
dapat dimengerti lagi, sebab semua itu pada inti pokoknya merupakan sumber-
sumber berteologi.
5) Selaras dengan Kitab Suci, Gereja mengharapkan “penampakan mulia Tuhan kita
Yesus Kristus”, namun percaya bahwa saat itu terbedakan dan tidak terjadi secara
bersamaan dengan keadaan manusia segera sesudah kematian.
6) Dalam ajaran mengenai nasib manusia sesudah kematian, Gereja menolak segala
keterangan bahwa yang menghilangkan keunikan makna Perawan Maria diangkat
ke surga, yakni fakta bahwa tubuh Sang Perawan adalah sebuah antisipasi dari
kemuliaan yang ditakdirkan bagi semua orang terpilih lainnya.
7) Dengan berpegang teguh pada Perjanjian Baru dan Tradisi, Gereja percaya akan
kebahagiaan orang-orang benar yang kelak akan hidup bersama Kristus. Gereja
percaya bahwa kelak akan ada hukuman abadi bagi para pendosa yang tidak
diperkenankan memandang rupa Allah dan bahwa hukuman ini akan terasa dalam

8
seluruh keadaan pendosa itu. Gereja percaya pula akan suatu penyucian bagi
mereka yang dipilih sebelum mereka melihat Allah, suatu penyucian seluruhnya
berbeda dari hukuman orang terkutuk. Inilah yang dimaksudkan oleh Gereja ketika
berbicara tentang neraka dan api penyucian.

Selain ketujuh poin di atas, dokumen ini menyebutkan bahwa bila berbicara
mengenai situasi manusia setelah kematian, kita harus sangat berhati-hati dengan
representasi yang berdasarkan fantasi dan pikiran liar. Tindakan berlebihan terhadap
hal ini merupakan persoalan besar yang seringkali dihadapi umat Kristiani. Namun
demikian, kita perlu menghormati apa yang digambarkan dalam Kitab Suci. Harus
dicari arti yang dalam dari makna ini dan mesti menghindarkan resiko dari bahaya
mau terlalu memperlemahnya karena seringkali kenyataan yang ditunjuk dengan
gambaran itu menjadi kosong. Baik Kitab Suci maupun teologi tidak memberikan
terang yang cukup untuk menggambarkan yang tepat tentang hidup setelah kematian.
Oleh karena itu, orang-orang Kristiani mesti berpegang erat pada dua hal pokok ini: di
satu sisi percaya bahwa pada dasarnya, berkat kekuatan Roh Kudus, kehidupan
sekarang dalam Kristus akan diteruskan dalam hidup yang akan datang (kasih adalah
hukum Kerajaan Allah dan keikutsertaan kita dalam kemuliaan ilahi di surga akan
diukur menurut kasih kita di dunia); di sisi lain, orang-orang Kristiani harus sadar
secara jelas akan pemutusan radikal antara kehidupan sekarang dan kehidupan yang
akan datang. Sebab kita akan bersatu dengan Kristus dan “kita akan melihat Allah”.
Kita percaya akan janji dan misteri-misteri yang mengagumkan, bahwa harapan
secara esensial akan terwujud. Imajinasi kita mungkin tidak mampu untuk meraih itu,
tetapi hati kita dapat melakukan secara naluriah dan lengkap.

d. Gaudium et Spes
Pada tanggal 7 Desember 1965, Konsili Vatikan II menetapkan satu dokumen
Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini “Gaudium et Spes”. Pada
Bab I tentang Martabat Pribadi Manusia dalam art.14 tertuang pandangan Gereja
mengenai kodrat manusia. Gereja menyatakan bahwa:
Manusia, yang satu jiwa raganya, melalui kondisi badaniahnnya sendiri menghimpun
unsur-unsur dunia jasmani dalam dirinya, sehingga melalui unsur-unsur itu mencapai
tarafnya tertinggi, dan melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan Sang
Pencipta. Oleh karena itu manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya;
melainkan sebaliknya, ia wajib memandang baik serta layak dihormati badannya
sendiri, yang diciptakan oleh Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir.

9
Dari pernyataan di atas, tampak bahwa pandangan Gereja tidak berubah mengenai
manusia yang satu jiwa raganya. Selain itu juga Gereja menegaskan agar manusia
tidak meremehkan hidup jasmaninya. Perlakuan, sikap hormat manusia pada
kebertubuhannya tetap perlu dijaga. Lebih jauh, Gereja tetap meyakini bahwa tubuh
jasmani ini akan dibangkitkan pada hari terakhir.

3. Sikap Gereja terhadap ajaran yang berbeda.


Dalam sejarah perjalanan Gereja, tidak semua orang, pihak sepakat dengan pandangan
Gereja. Ada berbagai kalangan yang memiliki pemikiran yang bertentangan dengan
keyakinan Gereja. Hal tersebut tentunya membahayakan bagi iman umat Kristiani.
a. Sinode Toledo I (September 400).
Pernyataan iman Gereja dalam pertentangan terhadap Priscilian. Sinode
menyatakan kepercayaan kebangkitan tubuh manusia di masa mendatang. Lebih
lanjut, jiwa manusia bukanlah substansi ilahi atau bagian Allah, namun suatu
ciptaan tidak jatuh dari kehendak ilahi. (DH 190).
Selain menentang, Sinode juga menghukum orang yang tidak percaya bahwa
tubuh manusia dibangkitkan setelah kematian. “bila ada orang yang percaya
bahwa tubuh manusia tidak dibangkitkan setelah kematian, terkutuklah ia”. Begitu
pula orang yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai jiwa manusia. “bila
ada orang yang percaya bahwa jiwa manusia itu adalah bagian atau substansi dari
Tuhan, terkutuklah ia”

b. Edik Kaisar Justinianus kepada Patriarkh Menas dari Konstantinopel 7. (Tahun


543)
Justinianus yang menganggap perannya sebagai seorang teolog di atas takhta
kekaisarannya, menentang para biarawan Yerusalem, yang menyebarkan doktrin
Origenes. Atas dasar karya Origenes De principiis, ia menyusun, antara lain
sembilan anathema yang menyimpulkan karyanya Adversus Origenem atau
Edictum (ditulis sebelum akhir 542 dan awal 543). Anathema-anathema dari
Justinianus diumumkan secara terbuka di Sinode Konstantinopel pada tahun 543.
Paus Vigilius tampaknya telah mengkonfirmasikan hal ini selama ia tinggal di
Konstantinopel (547-555).

7
Ibid., hlm. 143-144.

10
Berkenaan dengan jiwa manusia, Justinianus menyatakan: Jika ada yang
mengatakan atau berpendapat bahwa jiwa manusia memiliki keberadaan
sebelumnya, yaitu, pertama-tama mereka adalah roh atau kekuatan yang diberkati
lalu telah bosan dengan kontemplasi akan Tuhan dan berubah menjadi kejahatan,
menjadi dingin dalam cinta Tuhan dan untuk alasannya kemudian disebut jiwa-
jiwa dan begitu pula dalam hukuman berada di dalam tubuh, terkutuklah dia (DH
403).

c. Sinode Braga I (Portugal, mulai 1 Mei 561)8.


Sinode ini dilaksanakan pada masa kepausan Paus Yohanes III. Sinode
mengutuk pandangan Priscilian dan yang lain. Sehubungan dengan penciptaan dan
pemerintahan di dunia, sinode menyatakan: “jika ada yang mengatakan bahwa
jiwa manusia pertama-tama melakukan dosa di kediaman surgawi dan karena
alasan ini dilemparkan ke bumi ke dalam tubuh manusia, seperti yang dikatakan
Priscilian, terkutuklah ia” (DH 456).

d. Konsili Konstantinopel IV (5 Oktober 869 – 28 Februari 870)9.


Konsili ini diadakan untuk memutuskan sikap terhadap pertanyaan Photius
yang pada tahun 859 memprovokasi skisma. Berkenaan dengan keunikan jiwa
manusia, konsili menyatakan bahwa meskipun Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru mengajarkan bahwa manusia memiliki satu jiwa rasional dan intelektual, dan
seluruh bapa-bapa dan doktor gereja menegaskan kepercayaan yang sama,
beberapa pribadi berpendapat bahwa manusia memiliki dua jiwa dan mereka
memaksakan bidaah mereka dengan penjelasan irasional (DH 657). Lebih lanjut
konsili bersikap tegas dengan mengutuk pembuat dan penyebar pandangan itu.
“Dan bila ada orang di kemudian hari berani untuk mengatakan hal yang
bertentangan dengan ajaran gereja, terkutuklah ia” (DH 658).

e. Bulla Apostolici regiminis (1513)10

8
Ibid., hlm. 157.
9
Ibid., hlm. 226.
10
Ibid., hlm. 359-400.

11
Bulla ini dikeluarkan pada 19 Desember 1513 oleh Paus Leo X. Melalui bulla
ini, Gereja menolak doktrin yang terkait erat dengan Averroisme 11 yang
menyatakan tidak mungkin menunjukkan keabadian jiwa manusia dengan akal.
Pandangan Averroes ini merupakan pengaruh dari pandangan Aristoteles 12.
Aristoteles berpendapat bahwa materi dan forma tidak dapat dipisahkan dan tidak
ada dua substansi pada diri manusia. Bagi Aristoteles, jiwa sebagai forma sama
sekali terarah kepada tubuh sebagai materi sebab jiwa tidak dapat hidup terus tanpa
materi.13 Dengan demikian tidak ada imortalitas jiwa karena tubuh telah tiada.
Doktrin ini ditegakkan terutama oleh Pietro Pomponazzi dalam risalahnya De
immortalitate animae.
“sejak... penabur benih lalang, musuh kuno umat manusia (lih Mat 13:25).
Telah berani menabur dan menumbuhkan di ladang Tuhan beberapa kesalahan
yang paling merusak yang setiap saat ditolak oleh umat beriman khususnya
mengenai sifat jiwa yang rasional: yaitu, itu fana atau satu dan sama pada semua
manusia, dan beberapa orang, terburu-buru dalam berfilsafat mereka, menyatakan
bahwa ini benar setidaknya secara filosofis: Karena itu kami ingin menggunakan
penanganan yang sesuai untuk mengatasi kesalahan ini; dan dengan persetujuan
konsili, Kami mengutuk dan menegur semua orang yang menyatakan bahwa jiwa
intelektual itu fana atau bahwa itu adalah satu dan sama pada semua manusia atau
yang menimbulkan keraguan dalam hal ini. Jiwa intelektual tidak hanya benar-
benar, dengan sendirinya dan pada dasarnya, bentuk tubuh manusia, sebagaimana
dinyatakan dalam kanon Clement V, pendahulu kita dari kenangan yang diberkati,
yang dikeluarkan oleh Konsili Vienne tetapi juga abadi dan menurut sejumlah
besar tubuh di mana ia dimasukkan secara individual, itu bisa, harus dan
digandakan (DH 1440).

Penutup

11
Ajaran dari Averroes (Ibn Rushd) dan para pengikutnya, suatu trend dalam filsafat abad
pertengahan. Averroisme ini ditentang keras oleh Gereja. Ajaran yang ditentang adalah ajaran
mengenai kekekalan materi, tidak adanya kekekalan pribadi dan doktrin tentang kebenaran ganda.
(Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia: Jakarta, hlm.104-105)
12
Bdk. Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 307.
13
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 180.

12
Ajaran Gereja mengenai kebangkitan badan dan imortalitas jiwa merupakan harta
iman umat Kristiani yang patut dijaga. Dalam iman akan kebangkitan badan dan imortalitas
jiwa, setelah kematian kita meyakini bahwa jiwa tetap hidup meskipun tubuh kita akan
hancur di dunia ini. Namun demikian pada hari terakhir nanti tubuh kita seperti di dunia akan
dibangkitkan kembali. Dalam perjalanan sejarah telah terungkap adanya pandangan yang
bertentangan dengan iman Gereja ini. Sikap Gereja terhadap pandangan yang menyesatkan
begitu tegas dan jelas. Ajaran-ajaran yang sama sekali berbeda ditolak, bahkan diganjar
dengan pernyataan keras. Gereja senantiasa menjaga harta iman yang telah berkembang dan
diwariskan sejak semula oleh para rasul.

Daftar Pustaka

Denzinger, Heinrich. Compendium of Creeds, Definitions, and Declarations on Matters of Faith and
Morals, edited by Peter Hünermann. San Fransisco: Ignatius Press, 2012.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

13

Anda mungkin juga menyukai