Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |1

IKONOKLASME
Advento Masinda, MSC

1. PENGANTAR
Penghormatan terhadap gambar-gambar
dan patung religius dalam tradisi Gereja
Katolik, Gereja Timur maupun Gereja Barat,
kerap menjadi pertanyaan ‘serangan’ bagi
kalangan lain yang tidak memahaminya. Pertanyaan yang
sering lontarkan adalah mengapa Gereja Katolik menyembah patung? Atau mengapa Gereja
berdoa kepada patung? Pertanyaan itu kadang-kadang membuat orang-orang tertentu, yang
belum mengerti, merasa syok bahkan ‘mungkin’ mempertanyakan kembali makna imannya
melalui patung-patung yang dipampang dalam gereja-gereja. Benarkah demikian, seperti
gambaran dari kalangan lain, yang menyebut kita penyembah berhala? Bahwa Gereja
menyembah patung? Sesungguhnya, pertanyaan ini menjadi penting bagi mereka untuk
dijawab dengan benar agar lebih dipahami dengan baik maksud dari patung-patung yang
ditaruh dalam gereja atau dirumah-rumah. Ikonoklasme Bisantin pada abad-9.
Di pihak lain, pertanyaan yang sama juga
seringkali ditanyakan oleh kalangan umat Katolik yang belum mengerti dengan benar. Untuk
itu, apakah benar bahwa Gereja Katolik menyembah ikon-ikon religius? Apakah Gereja juga
menyembah patung seperti yang dikatakan oleh kalangan-kalangan agama lain? Tulisan ini
akan memberikan penjelasan dan penghayatan iman Gereja mengenai tradisi penghormatan
ikon-ikon religius tersebut.

2. APA ITU IKONOKLASME


2.1. Pengertian Ikonoklasme
Ikonoklasme berasal dari kata Yunani: eikonomakhia, yang berarti sebuah gerakan atau
tindakan yang memerangi atau menghancurkan ikon/gambar (seni) religius. Bahasa Yunani
ikon adalah eikon yang artinya gambar.  Ikon-ikon religius banyak dipakai oleh Gereja
Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma. Ikon-ikkon religius dihayati Gereja karena
mempunyai peran penting dalam liturgi, terutama dalam kehidupan orang beriman.
Persoalan mengenai kontroversi gambar-gambar seni religius secara teologis muncul
akibat konflik pandangan Kristologis dari abad ke-5 hingga abad ke-8. Ikonoklasme dikaitkan
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |2

dengan perkembangan monofisitisme1 yang berkembang dalam lingkungan kekaisaran


sejak Konsili Khalsedon (451). Krisis mengenai ikonoklasme berlangsung dari tahun 725
hingga 843.2

Ikon atau gambar dimengerti dalam dua pengertian. Pertama, ikon dalam arti sempit,
yakni sebagai gambar-gambar suci yang dibuat pada papan (kayu). Sedangkan Ikon dalam
arti yang lebih luas dipahami sebagai semua jenis gambar suci, lukisan, patung, monumen,
dan mosaik dari emas atau perak yang dibuat dalam rangka kegiatan kerohanian-peribadatan
dalam Gereja Timur.3

2.2. Makna Ikon bagi Gereja Katolik Timur

Penggunaan ikon dalam ibadah di Gereja Timur jauh lebih berkembang dibanding di


Gereja Barat (Gereja Katolik Roma). Segi itulah yang membedakan tata ibadah keduanya.
Melalui ikon-ikon, tokoh-tokoh suci dalam sejarah ditampilkan kembali dengan maksud
memberikan gambaran spiritual bagi Gereja. Bagi mereka, ikon-ikon bagaikan "jendela
menuju surga" yang menjadi media/perantara untuk
berkomunikasi dengan Tuhan. Di samping itu, makna lain
dari ikon-ikon religius adalah agar jemaat memperoleh
rahmat dari Tuhan. Di sisi lain diyakini bahwa para Orang
Kudus dapat dengan mudah dilihat dan didatangi lewat
ikon-ikon. Dalam sejarahnya, ikon-
ikon santo dan santa dalam ukuran kecil yang disimpan di
Ikon Rusia: Tritunggal Mahakudus
dalam rumah-rumah anggota jemaat Kristen Timur bahkan
dibawa setiap kali melakukan perjalanan. Para tentara pun
menggunakannya sebelum bertempur dengan tujuan agar mereka memperoleh berkat
keselamatan.

1
Monofisitisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu mono dan
phusis yang berarti kodrat atau hakikat. Dengan demikian, monofisitisme merupakan sebuah
gerakan atau paham yang meyakini bahwa Kristus hanya memiliki satu kodrat, yaitu kodrat
ilahi, karena kodrat kemanusiaan-Nya terserap dalam keilahian-Nya. (Lih.
https://id.wikipedia.org/wiki/Monofisitisme). Di unduh pada tanggal 29 Mei 2019.
2
Lih. https://id.wikipedia.org/wiki/Ikonoklasme. Diunduh tanggal 21 februari 2019.
3
Bdk. Paper Stefanus Adi Budi Kristianto, Ikonoklasme (STF-SP, 2018), hlm.1-2.
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |3

Di sisi lainnya, Gereja-gereja Ortodoks Timur juga kerap menggunakan layar lebar


untuk menutupi tempat kudus dari pandangan umum. Kebiasaan itu mereka sebut
ikonostatis. Layar tersebut dipenuhi dengan berbagai ikon religius. Selama ibadah
dilangsungkan, ikon-ikon itu diberi dupa berupa wewangian kemenyan bahkan layar ini
sering dicium untuk menunjukkan sikap hormat kepada para Orang Kudus. Sampai saat ini,
setiap kali berkunjung ke gereja, kita menemukan jemaat Kristen di Timur masih melakukan
penciuman terhadap ikon-ikon tersebut dan berdoa kepada santo dan santa yang ditampilkan
oleh ikon.4

2.3. Latarbelakang Munculnya Ikonoklasme


Ada dua penyebab munculnya ikonoklasme, antara lain:
a. Aspek Sosial dan Ekonomi

Pada tahun 726 dan 730, Kaisar Leo III pernah mengesahkan dua maklumat yang
memerintahkan penghancuran terhadap ikon-ikon religius, ikon santo dan santa. Ada
beberapa faktor yang diduga memengaruhi kaisar sehingga akhirnya membuat keputusan
tersebut.

Pertama, hal itu berkaitan erat dengan usaha kaisar untuk memperlemah pengaruh
para biarawan yang pada waktu itu semakin berperan penting sebagai pemuka spiritual
jemaat. Kedua, sudah menjadi kebiasaan bagi para kaisar untuk memaklumkan keputusan
yang menyangkut persoalan keagamaan. Ketiga, memang kaisar mempunyai maksud untuk
menghilangkan praktik kultus terhadap ikon yang makin lama makin tersebar luas.5

b. Aspek Doktriner
Penelusuran lebih jauh memperlihatkan bahwa dalam kontroversi ikonoklasme
terdapat aspek doktriner. Sasaran-sasaran iman Kristen dan sifat dalam ibadah Kristen baik
yang dilakukan secara pribadi atau pun bersama-sama merupakan persoalan mendasar dari
ikonoklasme. Munculnya ikonoklasme dipandang sebagai akibat dari sikap permusuhan
terhadap bentuk-bentuk dan seni keagamaan. Sikap seperti ini bukan hal yang baru lagi
karena sudah ada sejak zaman Gereja kuno dari sinagoge seperti yang ada tertulis dalam
Keluaran 20:4.6 Pada abad VIII permusuhan cepat menyebar di Asia Kecil dan diduga

4
Bdk. Ibid. https://id.wikipedia.org/wiki/Ikonoklasme.
5
Ibid.
6
Kel. 20:4: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di
langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.”
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |4

muncul untuk menjawab tantangan dari kaum Muslim yang tidak menggunakan ikon dalam
ibadah.7

2.3.1. Ikonoklasme Byzantium


Penggunaan ikon sesungguhnya sudah mewarnai bidang keagamaan dan bidang
politik sebelum ikonoklasme meluas wilayah kekaisaran Byzantium. Semisal, Kaisar
Yustinianus II pada tahun 695 menaruh gambar penuh wajah Yesus Kristus pada bagian
muka koin emasnya. Hal ini menyebabkan Khalifah Abdul al-Malik tidak lagi mau
mengadopsi jenis-jenis koin Byzantium.8 Seperti ditulis oleh Patriarkh Konstantinopel,
Germanus, sebelum tahun 726, tindakan Kaisar ini menimbulkan gejolak besar dalam
seluruh kota dan sangat banyak penduduk terhasut perkara ini. Oleh sebab itu,
ikonoklasme yang timbul di kekaisaran Byzantium dibagi dalam dua periode.

2.3.1.1. Tahap Awal Munculnya Ikonoklasme

Pada suatu waktu di antara tahun 726-730, Kaisar Byzantium Leo III Isaurius
(717-741) memulai kampanye penghancuran ikon-ikon. Kampanye ini menimbulkan
perpecahan politis dan ekonomis dalam masyarakat Byzantium. Dalam pandangan Leo
III, pemujaan terhadap ikon-ikon merupakan pemujaan terhadap berhala. Dalam tahun
730, dia mengeluarkan sebuah dekrit yang melarang pemujaan ikon-ikon keagamaan.9
Menyaksikan tindakan itu, Patriarkh Konstantinopel, Germanus segera memohon
kepada Paus Gregorius III karena dekrit yang dikeluarkan Leo III. Maka, Paus
Gregorius III menempuh jalur diplomasi. Ia mengirimkan surat dan banyak utusan
berkali-kali kepada Leo III. Sayangnya, para utusan Paus justru ditahan sang kaisar.
Menanggapi hal ini, Bapa Suci menggelar dua Sinode di Roma tahun 731. Dua sinode
itu mengutuk perbuatan yang menodai, melecehkan, dan merusak tradisi penghormatan
kepada benda-benda suci. Sinode juga menyebut para ikonoklas sebagai heretik.
Menanggapi sikap Paus, Leo III menyita tanah-tanah luas milik kepausan di
Kalabria dan Sicilia, juga di Illirikum, sehingga tak berada di bawah kekuasaan Paus
lagi dan menempatkannya di bawah kekuasaan Patriarkh Konstantinopel. Setelah Leo
III wafat, dekritnya diperteguh sebagai dogma oleh puteranya, Kaisar Konstantinus V
7
Ibid.
8
Bdk. Ioanes Rakhmat, "Ikonoklasme dalam Kekristenan", hlm. 2. Terkutip dalam Paper
Stefanus Adi Budi Kristianto, Ikonoklasme (STF-SP, 2018), hlm. 5.
9
Lih. Paper Stefanus Adi Budi Kristianto, Ikonoklasme (STF-SP, 2018), hlm. 5-6.
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |5

Capronimus (741-775). Pada tahun 754 Konstantinus V memanggil Sinode Hieria yang
dihadiri antara 380 uskup yang mendukung posisi ikonoklas. Biara-biara dan para rahib
membangun perlawanan atas sikap kaisar. Germanus, Yohanes dari Damaskus, dan
Theodorus Studite menjadi lawan-lawan utama terhadap ikonoklasme.
Putera Konstantinus V, Leo IV Khazarus (775-780), berusaha mendamaikan
kedua belah pihak yang sedang bertikai. Tetapi menjelang akhir hidupnya, dia
mengambil tindakan keras terhadap ikon-ikon dan mau melarang isterinya, Irene, yang
seorang ikonolater. Sayangnya, Leo IV segera wafat, maka Ratu Irene mengambil
kekuasaan sebagai wali puteranya, Konstantinus VI (780-797). Irene berinisiatif untuk
memanggil konsili ekumenis, yang dinamakan Konsili Nicaea Kedua. Pertemuan
pertama diadakan di Konstantinopel pada tahun 786 untuk membahas masalah
ikonoklasme. Irene mengajukan permohonan kepada Paus Adrianus (772-795) di Roma.
Meski sempat diserang oleh pasukan ikonoklas, dekrit Konsili Nicaea Kedua (787)
akhirnya bisa disetujui oleh kepausan Roma. Konsili ini menghasilkan pernyataan-
pernyataan teologis yang melawan pernyataan-pernyataan ikonoklas. Pemujaan ikon-
ikon terus berlangsung di sepanjang pemerintahan pengganti Irene, Nikephoros (802-
811), dan dua pemerintahan lain sesudahnya yang berlangsung singkat.

2.3.1.2. Periode Kedua Ikonoklame, tahun 815.

Kaisar Leo V (813-820) yang berasal dari Armenia, melancarkan kampanye


ikonoklastis periode kedua pada tahun 815. Kampanye ini digencarkannya karena
menyusul kekalahan-kekalahan militer yang dianggapnya sebagai tanda-tanda
kemurkaan Allah atas pemerintahannya. Orang Byzantium telah menderita serangkaian
kekalahan yang memalukan. Tak lama setelah naik takhta, Leo V mulai melakukan
pembahasan mengenai kemungkinan menghidupkan kembali ikonoklasme, bersama
banyak dan beragam orang, termasuk para imam, rahib, dan anggota senat.
Leo V kemudian mengangkat sebuah “komisi” para rahib dengan tugas
“mempelajari kitab-kitab kuno” dan mencapai suatu keputusan mengenai pemujaan
ikon-ikon. Segera mereka menemukan keputusan-keputusan Sinode Ikonoklastis tahun
754. Debat pertama timbul di antara para pendukung Leo V dan kaum klerus ikonolater
yang dipimpin Patriarkh Nikephoros, dengan tidak menghasilkan keputusan apapun.
Namun Leo V sangat meyakini kebenaran posisi ikonoklas. Pada tahun 815
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |6

kebangkitan kembali ikonoklasme diabsahkan oleh suatu sinode yang diadakan di


Hagia Sophia.
Leo V digantikan oleh Mikhael II Balbus (820-829), yang dalam sebuah
suratnya yang ditulis tahun 824 dan ditujukan kepada Kaisar Carolingian Louis Si
Saleh. Mikhael II juga mengkonfirmasi keputusan-keputusan Konsili Ikonoklastis tahun
754. Waktu berselang, Mikhael II digantikan oleh puteranya, Theophilus (829-842).
Ketika Theophilus wafat, dia meninggalkan isterinya Theodora sebagai wali anaknya
yang masih kecil, Michael III. Seperti tokoh Irene sebelumnya, Theodora memobilisasi
kalangan ikonolater dan memproklamasikan pemulihan pemujaan ikon-ikon pada 843,
dengan sebuah syarat Theophilus tidak dikutuk. Dia menetapkan penghormatan
terhadap ikon atau gambar-gambar, bahkan memegang teguh ajaran tentang kebaktian
terhadap gambar-gambar melalui Sinode Konstantinopel. Pada hari Minggu Pertama
Prapaskah,19 Februari, 842, ikon dibawa kembali ke gereja dalam prosesi yang
khidmat. Hari itu menjadi kenangan abadi tentang kemenangan ortodoksi di akhir
penganiayaan yang panjang dari ikonoklas.

3. PEMBELAAN GEREJA MENENTANG IKONOKLASME


3.1. The Sacred Images (Tentang Gambar-Gambar Suci)

Perihal gambar-gambar suci telah ada sejak awal mula kekristenan. Orang-orang
kristiani mulai mengenal dan memberi penghormatan khusus. Hal itu ditemukan dalam
katakombe-katakombe yang melukiskan ikon-ikon suci di dinding-dinding. Oleh karena
munculnya gerakan penghancuran ikon-ikon kudus pada abad-abad awal kekristenan,
Gereja tidak tinggal diam. Gereja membela penghormatan terhadap benda-benda suci yang
kemudian dibahas dalam konsili-konsili suci. Dalam Konsili Nikea yang Kedua,
menyatakan dengan sangat indah tentang bentuk-bentuk karya seni yang dihasilkan dan
dihormati dalam Gereja:
“sangat sejalan dengan sejarah persebaran Injil, karena karya-karya seni ini
mengkonfirmasi sang Firman Allah yang sudah menjadi manusia sebagai
pribadi yang riil dan bukan khayalan…. Figur seperti salib yang dimuliakan
dan memberi kehidupan, juga ikon-ikon kudus yang dimuliakan, entah yang
dilukis atau yang dibuat dari mosaik atau dari bahan material lain yang cocok,
haruslah dinampakkan di dalam gereja-gereja Allah yang kudus…; ini semua
adalah gambar-gambar Tuhan kita, Allah dan Juruselamat, Yesus Kristus, dan
Ibu kita yang tak bernoda, Bunda Allah yang kudus, dan malaikat-malaikat
yang dimuliakan dan semua orang suci yang dimuliakan. Semakin sering
semua figur ini tampak dalam wujud karya-karya seni, semakin orang yang
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |7

melihat mereka ditarik untuk terus mengingat mereka dan merindukan


mereka sebagai model-model yang patut dicontoh, dan untuk memberi
penghormatan dan pemuliaan dan pemujaan yang penuh respek kepada
mereka semua. Tentu saja ini bukanlah pemujaan dan penghormatan yang
sepenuh-penuhnya menurut iman kita, yang sudah sepantasnya diberikan
hanya kepada kodrat ilahi (Yesus Kristus), tetapi ini sama dengan pemujaan
dan penghormatan yang diberikan kepada figur salib yang dimuliakan dan
memberi kehidupan, dan kepada kitab-kitab Injil yang suci dan kepada
benda-benda kultis kudus lainnya.” (DH. 600-601).

Tentang gambar-gambar suci, terutama mengenai penghormatan kepada Perawan


Suci, Maria, dan benda-benda suci lainnya, bukanlah sebuah tindakan yang gegabah dan
berbahaya seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang menentang penggunaanya. Justru,
Allah sendiri menghendakinya, jika penggunaanya untuk menumbuhkan kesalehan umat
beriman. Oleh sebab itu, melalui Konstitusi Auctorem Fidei to All the Faithful ditegaskan
bahwa:

“Karena sifatnya yang umum, terburu-buru dan bertentangan dengan


kebiasaan saleh yang umum di seluruh Gereja, seolah-olah tidak ada
gambar-gambar Tritunggal Mahakudus yang ada yang secara umum
disetujui dan diizinkan secara rahasia.
Demikian juga, doktrin dan resep yang, secara umum, menolak pengabdian
khusus yang umat beriman harus membuat gambar tertentu dan yang
mereka miliki lebih banyak bantuan daripada yang lain,
(Apakah) gegabah, berbahaya, dan menyinggung kebiasaan saleh yang
lazim di seluruh Gereja dan juga terhadap disposisi pemeliharaan yang
dengannya “Allah, yang membagikan hal-hal yang pantas bagi masing-
masing sesuai kehendaknya, tidak ingin hal-hal ini terjadi dalam semua
peringatan itu, pada orang-orang kudus.
Demikian juga, ajaran yang melarang bahwa gambar, khususnya Perawan
yang Terberkati, dibedakan dengan gelar apa pun selain dari denominasi
yang terkait dengan misteri tentang yang disebutkan secara tegas dibuat
dalam Kitab Suci,
Seolah-olah gelar saleh lainnya tidak dapat diberikan kepada gambar-
gambar yang memang disetujui dan dipuji Gereja dalam doa-doa
publiknya,
Gegabah, menyinggung telinga yang saleh, dan khususnya mencemaskan
pemujaan Santa Perawan.
Demikian juga, salah satu yang akan diberantas sebagai penyalahgunaan
kebiasaan di mana gambar tertentu disimpan terselubung,
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |8

(Apakah) gegabah dan bertentangan dengan kebiasaan yang lazim di


Gereja dan (yang) diperkenalkan untuk menumbuhkan kesalehan umat
beriman.”10

Pada pihak lain Konsili Trente (tahun 1563) juga menyatakan hal yang kurang
lebih sama. Konsili menegaskan bahwa:
“Patung dan gambar-gambar Kristus, Santa Perawan Maria Bunda Allah dan para
kudus lainnya sepatutnya disimpan dan ditempatkan di tempat-tempat khusus doa;
dan kepada mereka hendaklah disampaikan penghormatan yang khidmat, bukan
karena dianggap terdapat sesuatu yang adikodrati atau kuasa tertentu di dalamnya
sehingga mereka dihormati, bukan pula karena sesuatu diminta dari mereka atau pun
kepercayaan buta kepada patung seperti yang dilakukan oleh kaum kafir yang
menaruh harapan mereka pada berhala-berhala; melainkan karena penghormatan
kepada patung atau gambar tersebut ditujukan kepada pribadi-pribadi asli yang
diwakilinya. Dengan demikian, melalui gambar-gambar ini, yang kita cium dan di
hadapannya kita berlutut serta menyelubungi kepala kita, kita menyembah Kristus dan
menyampaikan penghormatan kepada para kudus yang diwakili oleh gambar-gambar
tersebut.” (Bdk. DH. 1823)

3.2. The Veneration of Sacred Images (Pemujaan Gambar Suci)


Klaim bahwa Gereja menyembah orang-orang kudus seperti para martir yang
disebut sebagai wujud penyembahan kepada dewa oleh Kaisar Leo III, paus Gregorius III

10
“Because of its generality, (is) rash and contrary to the pious custom common
throughout the Church, as if no images of the Most Holy Trinity exist that are commonly
approved and savely permitted.
Likewise, the doctrine and the prescription that, in a general manner, rejects any
special devotion that the faithful are accustumed to render to some image in particular and
to which they have more recourse than to another,
(is) rash, dangerious, and offensive to the pious custom prevalent throughout the
Church and also to that disposition of providence by which “God, who distributes things
proper to each as he wills, did not wish these things to happen in all the memorial of the
saints.
Likewise, the teaching that forbids that images, especially of the Blessed Virgin, be
distinguished by any title other than the denominations thaat are related to the mysteries
about ehich express mention is made in Holy Scripture,
As if other pious titles could not be given to images that the Church indeed approves
and commends in her public prayers,
(is) rash, offensive to pious ears, and especially injurious to the due veneration of the
Blessed Virgin.
Likewise, the one that would eradicate as an abuse the custom by which certain
images are kept veiled,
(is) rash and contrary to the custom prevalent in the Church and (which was)
introduced to foster the piety of the faithful.” Bdk. Constitution Auctorem Fidei to All the
Faithful, August 28, 1974. DH. 2669-2672. Hlm. 548-549.
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |9

berusaha meluruskan dan menulis surat kepadanya. Paus Gregorius III membela apa yang
dihayati oleh Gereja dan mengatakan demikian:
"Dan Anda mengklaim bahwa kami memuja tembok dan panel kayu. Bukan
seperti yang Anda katakan, Kaisar; melainkan, untuk mengenang bagian kita
dan membangunkan kita,, untuk mengangkat pikiran kita, lamban dan lemah
apa adanya - itulah alasan untuk nama dan doa serta gambar; dan bukan
sebagai dewa, seperti yang Anda klaim. Jauh dari itu! Karena harapan kita
tidak berdasarkan pada mereka. Dan jika ada gambar Tuhan, kita berkata,
“Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, tolonglah kami dan selamatkanlah kami.”
Atau jika ada salah satu dari Ibu-Nya yang kudus, kita berkata, “Pembawa
Tuhan yang Kudus, Bunda Tuhan, perantara kepada putra Anda, Allah kita
yang sejati, untuk keselamatan jiwa kita. "Atau jika itu adalah salah satu
martir:" St. Stefanus sang Protomartir, yang mencurahkan darahmu demi
Kristus, menjadi perantara bagi kita, sebagai orang yang dapat berbicara
dengan mudah dengannya. ”Dan dalam kasus setiap martir yang memberikan
kesaksian, kita berbicara dengan cara ini; kami mengirimkan doa semacam
ini melalui mereka. Dan bukan itu masalahnya, seperti yang Anda klaim,
Kaisar, bahwa kami menyebut para martir sebagai dewa.11

Melalui surat itu, Paus Gregorius III menegaskan bahwa orang-orang Kristen tidak
menyembah gambar atau patung religius yang diklaim sebagai penyembahan kepada
dewa-dewa, melainkan untuk dihormati dan menjadi pengantara bagi keselamatan jiwa-
jiwa orang-orang Kristen di dalam doa-doa umat beriman kepada wujud asli mereka.
Penghormatan terhadap orang-orang kudus, kepada Bunda Maria, orang-orang kudus
lainnya seperti para martir Gereja, dihayati sebagai pribadi yang mampu mengantarkan
manusia kepada Allah, dan mereka tidak dianggap sebagai dewa yang menggantikan
posisi Allah. Sesungguhnya tidaklah demikian. Oleh karena itu, menjadi lebih jelas
bahwa tujuan dari ikon-ikon hanya sebagai pengantara untuk menuju sampai kepada
Allah apa yang didoakan atau diminta oleh manusia.

11
“And you claim that we worship rocks and walls and wooden panels. It is not as you
say, Emperor; rather, it is for remembrance on our part and to rouse us,, for the liftingup of
our mind, sluggish and weak as it is – that is the reason for the names and the invocation and
the images; and not as gods, as you claim. Far from it! For our hopes are not base on them.
And if there is an image of the Lord, we say, “Lord Jesus Christ, Son of God, help us and
save us.” Or if there is one of his holy Mother, we say, “Holy God-bearer, Mother of the
Lord, intercede with your son, our true God, for the salvation of our souls.” Or if it is one of
a martyr: “St. Stephen the Protomartyr, who poured out (your) blood for the sake of Christ,
intercede for us, as one who can speak easilywith him.” And in the case of every martyr who
gave witness, we speak in this way; we send up prayers of this sort through them. And it is
not the case, as you claim, Emperor, that we callthe martyrs gods.” Letter “Tà ypàuuata” to
Emperor Leo III, between 726 and 730. Bdk. DH. 581. Hlm. 203.
S E J A R A H D O G M A : “ I K O N O K L A S M E ” | 10

3.3. The Right of the Faithful to Venerate Images of the Saints (Hak Orang Beriman
untuk Memuliakan Gambar para Orang Suci)

Konteks penghormatan terhadap gambar-gambar atau orang-orang kudus adalah


katekese iman yang praktis dan mudah dipahami oleh jemaat kristiani yang belum mengenal
tulisan12. Peran gambar-gambar suci itu mengajarkan jemaat untuk memperdalam iman
mereka. Penghormatan kepada benda-benda suci itu tidak dimaksudkan untuk didewakan.
Adalah hak mereka untuk memuliakan gambar-gambar suci tersebut. Oleh karena itu, Uskup
Serenus dari Marseille, dalam pembelaannya tentang penghormatan ikon-ikon dan atau
patung-patung santo-santa, ia menulis demikian:
“Telah ... dilaporkan kepada Kami bahwa ... Anda telah merusak
gambar orang-orang kudus di bawah alasan yang seharusnya bahwa
mereka (ikon dan orang-orang kudus) tidak harus dipuja. Memang,
Kami sepenuhnya memuji Anda (kaisar) karena telah melarang mereka
untuk dipuja; tetapi Kami menegur kamu karena mereka telah
dirusak .... memang satu hal untuk mengagumi gambar; itu adalah hal
lain untuk mempelajari apa yang harus dipuja oleh apa yang
berhubungan dengan gambar. Untuk apa Kitab Suci bagi mereka yang
membaca, maka gambar itu melayani orang-orang sederhana yang
menatapnya, karena di dalamnya orang yang tidak terpelajar
memahami apa yang harus mereka ikuti, dan di dalamnya orang-orang
yang tidak mengenal huruf membaca, dan karenanya, dengan cara
yang khusus, gambar mengambil tempat membaca untuk orang-
orang .... Jika ada yang ingin membuat gambar, tidak berarti
melarangnya, tetapi dalam segala hal, untuk memastikannya, hindari
pemujaan gambar. Tetapi biarlah Persaudaraan Anda menegur dengan
hati-hati, sehingga dari visi tentang apa yang telah terjadi (orang-
orang) dapat merasakan pembakaran kesunyian dan bersujud dengan
rendah hati dalam pemujaan terhadap Tritunggal Mahakudus yang
Mahakuasa" 13 (Bdk. DH. 477.)

12
Catatan: Kita mengetahui bahwa masalah ‘buta huruf’ baru dapat dikurangi secara
signifikan di Eropa pada abad ke-12; bahkan untuk negara-negara Asia dan Afrika baru pada
abad 19/20. Jadi, tentu selama 12 abad, bahkan lebih, secara khusus, gambar-gambar dan
patung mengambil peran untuk pengajaran iman, karena praktis, mayoritas orang di dunia
pada saat itu tidak dapat membaca.

“It has been... reported to Us that... you have broken images of the saints under the
13

supposed excuse that they should not be adored. Indeed, We fully commend you for having
forbidden them to be adored; but We rebuke you for having them broken.... it is indeed one
thing to adore a picture; it is something else to learn what should be adored by what the
picture relates. For what Scripture is for those who read, so the picture serves the simple
ones who gaze upon it, since in it the unlearned perceive what they should follow, and in it
those who know not letters read, and wherefore, in a special way, the picture takes the place
of reading for the people.... If anyone wishes to make images, by no means prohibit it, but in
every way, to be sure, avoid adoring the images. But let Your Fraternity admonish carefully,
S E J A R A H D O G M A : “ I K O N O K L A S M E ” | 11

3.4. Definition concerning Sacred Images (Definisi tentang Gambar Suci)


Pengertian yang benar mengenai penghormatan gambar-gambar suci atau santo-
santa perlu ditegaskan kembali tentang makna yang sebenarnya dari penghormatan itu.
Oleh sebab itu, pada tanggal 13 Oktober 787, dalam sebuah sesi menyatakan sebagai
berikut:

“Bahkan, semakin sering ini dilihat melalui representasi ikonik,


semakin banyak orang yang merenungkannya tergerak untuk
mengingat dan merindukan model asli mereka dan untuk memberi
mereka salam hormat dan penghormatan penuh hormat. Namun, ini
bukan ibadat yang sebenarnya, yang, menurut iman kita, hanya milik
kodrat ilahi. Tetapi seperti yang dilakukan untuk sosok Salib yang
mulia dan yang memberi kehidupan, Injil suci, dan semua benda
figure lainnya, biarkan gambar-gambar ini dihormati dengan
persembahan dupa dan cahaya, menurut kebiasaan saleh yang sudah
lama ada. Karena “kehormatan yang diberikan pada gambar
berlanjut ke aslinya”, dan dia yang memuliakan gambar memuliakan
orang yang diwakilkan oleh gambar itu. Oleh karena itu, mereka
yang berani berpikir atau mengajar sebaliknya, atau yang, mengikuti
bidat-bidat terkutuk, membenci tradisi Gereja, atau yang menemukan
sesuatu yang baru atau menolak benda-benda suci yang
dipersembahkan kepada Gereja: baik Injil atau figure Salib, gambar
lukisan atau relik suci seorang martir; atau yang merancang cara-cara
curang dan licik untuk membatalkan salah satu tradisi Gereja Katolik
yang sah; atau yang bahkan menggunakan bejana suci atau tempat-
tempat suci yang tidak sopan: jika itu adalah uskup atau ulama, kami
memerintahkan untuk digulingkan; namun, jika mereka adalah
bhikkhu atau orang awam, mereka harus dikucilkan.” 14
so that from the vision of what has happened (the people) may feel the burning of
compunction and prostrare themselves humbly in adoration of the sole almighty Holy
Trinity.” Bdk. Letter Litteranum tuarum primordia to Bishop Serenus of Marseille,
October 600. Lih. DH. 477. Hlm. 164.

“In fact, the more frequently these are seen through iconic representation, the more
14

those who contemplate them are moved to remember and long for their original models and
to give them salutation and respectful veneration. This, however, is not actual worship,
which, according to our faith, is reserved to the divine nature alone. But as it is done for the
figure of the glorious and life-giving Cross, the holy Gospel, and all other sacred objects, let
these images be honored with an offering of incense and light, according to long-standing
pious custom. For “the honor rendered to the image passes on to the original”, and he who
venerates an image venerates in it the person whom the image represents.” – “Those,
therefore, who dare to think or teach otherwise, or who, by following the accursed heretics,
despise the traditions of the Church, or who invent some novelty or reject any of the
consecrated objects offered to the Church: either the Gospel or the figure of the Cross, a
paintied image or the sacred relics of a martyr; oe who devise perverse and cunning ways of
overturning any of the legitimate traditions of the Catholic Church; or who even
makeprofane use of sacred vessels or venerable monateries: these, if they are bishops or
S E J A R A H D O G M A : “ I K O N O K L A S M E ” | 12

Jadi, pernyataan di atas sangat jelas sekali, bahwa penghormatan terhadap


gambar-gambar atau patung orang kudus adalah sebuah kebiasaan saleh yang
harus tetap dipertahankan. Kecuali, apabila mereka yang menggunakannya
dengan cara yang salah perlu “digulingkan dan dikutuk.” Sangat perlu untuk
dimaknai kembali bahwa penghormatan terhadap ikon-ikon religius tidak
menggantikan ibadat kepada Yang Ilahi. Lantas, berdoa atau menghormati ikon-
ikon religius boleh dilakukan tetapi penghormatan itu harus berlanjut kepada
pribadi yang asli,bukan tertuju pada gambar atau patungnya. Jika demikian
maka hal itu menjadi sebuah penyembahan berhala dan harus dikucilkan.
Di sini menjadi lebih jelas tentang arti dari penghormatan kepada santo-
santa melalui patung-patung atau gambar-gambar mereka. Jadi, jika ada orang-
orang yang menggunakannya atau menghormati benda-benda suci dan melawan
tradisi suci yang telah ada dengan cara yang salah maka mereka harus
dikucilkan.

3.5. Condemned: Veneration of Images (Terkutuk: Penghormatan Gambar-Gambar)


Perintah atau hukum dalam Decree Holy Office tentang penghormatan gambar-
gambar suci ditegaskan bahwa, “It is not permitted for a Christian to place an image of
(the seated) God the Father in a church.”15 Berarti, gambar-gambar suci, terutama
gambar Allah Bapa, dilarang ditempatkan di dalam sebuah gereja dengan alasan bahwa,
jika demikian maka, Gereja akan “terkutuk” atau “dihukum.”

4. SUMBER BUKU

clerics, we order to be deposed; if, however, they are monks or layman, they are to be
excommunicated.” Session 7, October 13, 787. Bdk. DH. 601 dan 603. Hlm. 207-208.
15
“Tidak diizinkan seorang Kristen untuk menempatkan sebuah gambar dari Allah
Bapa (the seated) dalam sebuah Gereja. Bdk. Decree of the Holy Office, December, 1690.
DH. 2325.
S E J A R A H D O G M A : “ I K O N O K L A S M E ” | 13

Denzinger, Heinrich., Compendium of Creeds, Definition, and Declarations on Matters of


Faith and Morals. San Francisco: Ignatius Press, 2012.

Adi Budi Kristianto, Stefanus, Ikonoklasme. STF-SP., 2018.


https://id.wikipedia.org/wiki/Ikonoklasme.

Anda mungkin juga menyukai