IKONOKLASME
Advento Masinda, MSC
1. PENGANTAR
Penghormatan terhadap gambar-gambar
dan patung religius dalam tradisi Gereja
Katolik, Gereja Timur maupun Gereja Barat,
kerap menjadi pertanyaan ‘serangan’ bagi
kalangan lain yang tidak memahaminya. Pertanyaan yang
sering lontarkan adalah mengapa Gereja Katolik menyembah patung? Atau mengapa Gereja
berdoa kepada patung? Pertanyaan itu kadang-kadang membuat orang-orang tertentu, yang
belum mengerti, merasa syok bahkan ‘mungkin’ mempertanyakan kembali makna imannya
melalui patung-patung yang dipampang dalam gereja-gereja. Benarkah demikian, seperti
gambaran dari kalangan lain, yang menyebut kita penyembah berhala? Bahwa Gereja
menyembah patung? Sesungguhnya, pertanyaan ini menjadi penting bagi mereka untuk
dijawab dengan benar agar lebih dipahami dengan baik maksud dari patung-patung yang
ditaruh dalam gereja atau dirumah-rumah. Ikonoklasme Bisantin pada abad-9.
Di pihak lain, pertanyaan yang sama juga
seringkali ditanyakan oleh kalangan umat Katolik yang belum mengerti dengan benar. Untuk
itu, apakah benar bahwa Gereja Katolik menyembah ikon-ikon religius? Apakah Gereja juga
menyembah patung seperti yang dikatakan oleh kalangan-kalangan agama lain? Tulisan ini
akan memberikan penjelasan dan penghayatan iman Gereja mengenai tradisi penghormatan
ikon-ikon religius tersebut.
Ikon atau gambar dimengerti dalam dua pengertian. Pertama, ikon dalam arti sempit,
yakni sebagai gambar-gambar suci yang dibuat pada papan (kayu). Sedangkan Ikon dalam
arti yang lebih luas dipahami sebagai semua jenis gambar suci, lukisan, patung, monumen,
dan mosaik dari emas atau perak yang dibuat dalam rangka kegiatan kerohanian-peribadatan
dalam Gereja Timur.3
1
Monofisitisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu mono dan
phusis yang berarti kodrat atau hakikat. Dengan demikian, monofisitisme merupakan sebuah
gerakan atau paham yang meyakini bahwa Kristus hanya memiliki satu kodrat, yaitu kodrat
ilahi, karena kodrat kemanusiaan-Nya terserap dalam keilahian-Nya. (Lih.
https://id.wikipedia.org/wiki/Monofisitisme). Di unduh pada tanggal 29 Mei 2019.
2
Lih. https://id.wikipedia.org/wiki/Ikonoklasme. Diunduh tanggal 21 februari 2019.
3
Bdk. Paper Stefanus Adi Budi Kristianto, Ikonoklasme (STF-SP, 2018), hlm.1-2.
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |3
Pada tahun 726 dan 730, Kaisar Leo III pernah mengesahkan dua maklumat yang
memerintahkan penghancuran terhadap ikon-ikon religius, ikon santo dan santa. Ada
beberapa faktor yang diduga memengaruhi kaisar sehingga akhirnya membuat keputusan
tersebut.
Pertama, hal itu berkaitan erat dengan usaha kaisar untuk memperlemah pengaruh
para biarawan yang pada waktu itu semakin berperan penting sebagai pemuka spiritual
jemaat. Kedua, sudah menjadi kebiasaan bagi para kaisar untuk memaklumkan keputusan
yang menyangkut persoalan keagamaan. Ketiga, memang kaisar mempunyai maksud untuk
menghilangkan praktik kultus terhadap ikon yang makin lama makin tersebar luas.5
b. Aspek Doktriner
Penelusuran lebih jauh memperlihatkan bahwa dalam kontroversi ikonoklasme
terdapat aspek doktriner. Sasaran-sasaran iman Kristen dan sifat dalam ibadah Kristen baik
yang dilakukan secara pribadi atau pun bersama-sama merupakan persoalan mendasar dari
ikonoklasme. Munculnya ikonoklasme dipandang sebagai akibat dari sikap permusuhan
terhadap bentuk-bentuk dan seni keagamaan. Sikap seperti ini bukan hal yang baru lagi
karena sudah ada sejak zaman Gereja kuno dari sinagoge seperti yang ada tertulis dalam
Keluaran 20:4.6 Pada abad VIII permusuhan cepat menyebar di Asia Kecil dan diduga
4
Bdk. Ibid. https://id.wikipedia.org/wiki/Ikonoklasme.
5
Ibid.
6
Kel. 20:4: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di
langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.”
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |4
muncul untuk menjawab tantangan dari kaum Muslim yang tidak menggunakan ikon dalam
ibadah.7
Pada suatu waktu di antara tahun 726-730, Kaisar Byzantium Leo III Isaurius
(717-741) memulai kampanye penghancuran ikon-ikon. Kampanye ini menimbulkan
perpecahan politis dan ekonomis dalam masyarakat Byzantium. Dalam pandangan Leo
III, pemujaan terhadap ikon-ikon merupakan pemujaan terhadap berhala. Dalam tahun
730, dia mengeluarkan sebuah dekrit yang melarang pemujaan ikon-ikon keagamaan.9
Menyaksikan tindakan itu, Patriarkh Konstantinopel, Germanus segera memohon
kepada Paus Gregorius III karena dekrit yang dikeluarkan Leo III. Maka, Paus
Gregorius III menempuh jalur diplomasi. Ia mengirimkan surat dan banyak utusan
berkali-kali kepada Leo III. Sayangnya, para utusan Paus justru ditahan sang kaisar.
Menanggapi hal ini, Bapa Suci menggelar dua Sinode di Roma tahun 731. Dua sinode
itu mengutuk perbuatan yang menodai, melecehkan, dan merusak tradisi penghormatan
kepada benda-benda suci. Sinode juga menyebut para ikonoklas sebagai heretik.
Menanggapi sikap Paus, Leo III menyita tanah-tanah luas milik kepausan di
Kalabria dan Sicilia, juga di Illirikum, sehingga tak berada di bawah kekuasaan Paus
lagi dan menempatkannya di bawah kekuasaan Patriarkh Konstantinopel. Setelah Leo
III wafat, dekritnya diperteguh sebagai dogma oleh puteranya, Kaisar Konstantinus V
7
Ibid.
8
Bdk. Ioanes Rakhmat, "Ikonoklasme dalam Kekristenan", hlm. 2. Terkutip dalam Paper
Stefanus Adi Budi Kristianto, Ikonoklasme (STF-SP, 2018), hlm. 5.
9
Lih. Paper Stefanus Adi Budi Kristianto, Ikonoklasme (STF-SP, 2018), hlm. 5-6.
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |5
Capronimus (741-775). Pada tahun 754 Konstantinus V memanggil Sinode Hieria yang
dihadiri antara 380 uskup yang mendukung posisi ikonoklas. Biara-biara dan para rahib
membangun perlawanan atas sikap kaisar. Germanus, Yohanes dari Damaskus, dan
Theodorus Studite menjadi lawan-lawan utama terhadap ikonoklasme.
Putera Konstantinus V, Leo IV Khazarus (775-780), berusaha mendamaikan
kedua belah pihak yang sedang bertikai. Tetapi menjelang akhir hidupnya, dia
mengambil tindakan keras terhadap ikon-ikon dan mau melarang isterinya, Irene, yang
seorang ikonolater. Sayangnya, Leo IV segera wafat, maka Ratu Irene mengambil
kekuasaan sebagai wali puteranya, Konstantinus VI (780-797). Irene berinisiatif untuk
memanggil konsili ekumenis, yang dinamakan Konsili Nicaea Kedua. Pertemuan
pertama diadakan di Konstantinopel pada tahun 786 untuk membahas masalah
ikonoklasme. Irene mengajukan permohonan kepada Paus Adrianus (772-795) di Roma.
Meski sempat diserang oleh pasukan ikonoklas, dekrit Konsili Nicaea Kedua (787)
akhirnya bisa disetujui oleh kepausan Roma. Konsili ini menghasilkan pernyataan-
pernyataan teologis yang melawan pernyataan-pernyataan ikonoklas. Pemujaan ikon-
ikon terus berlangsung di sepanjang pemerintahan pengganti Irene, Nikephoros (802-
811), dan dua pemerintahan lain sesudahnya yang berlangsung singkat.
Perihal gambar-gambar suci telah ada sejak awal mula kekristenan. Orang-orang
kristiani mulai mengenal dan memberi penghormatan khusus. Hal itu ditemukan dalam
katakombe-katakombe yang melukiskan ikon-ikon suci di dinding-dinding. Oleh karena
munculnya gerakan penghancuran ikon-ikon kudus pada abad-abad awal kekristenan,
Gereja tidak tinggal diam. Gereja membela penghormatan terhadap benda-benda suci yang
kemudian dibahas dalam konsili-konsili suci. Dalam Konsili Nikea yang Kedua,
menyatakan dengan sangat indah tentang bentuk-bentuk karya seni yang dihasilkan dan
dihormati dalam Gereja:
“sangat sejalan dengan sejarah persebaran Injil, karena karya-karya seni ini
mengkonfirmasi sang Firman Allah yang sudah menjadi manusia sebagai
pribadi yang riil dan bukan khayalan…. Figur seperti salib yang dimuliakan
dan memberi kehidupan, juga ikon-ikon kudus yang dimuliakan, entah yang
dilukis atau yang dibuat dari mosaik atau dari bahan material lain yang cocok,
haruslah dinampakkan di dalam gereja-gereja Allah yang kudus…; ini semua
adalah gambar-gambar Tuhan kita, Allah dan Juruselamat, Yesus Kristus, dan
Ibu kita yang tak bernoda, Bunda Allah yang kudus, dan malaikat-malaikat
yang dimuliakan dan semua orang suci yang dimuliakan. Semakin sering
semua figur ini tampak dalam wujud karya-karya seni, semakin orang yang
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |7
Pada pihak lain Konsili Trente (tahun 1563) juga menyatakan hal yang kurang
lebih sama. Konsili menegaskan bahwa:
“Patung dan gambar-gambar Kristus, Santa Perawan Maria Bunda Allah dan para
kudus lainnya sepatutnya disimpan dan ditempatkan di tempat-tempat khusus doa;
dan kepada mereka hendaklah disampaikan penghormatan yang khidmat, bukan
karena dianggap terdapat sesuatu yang adikodrati atau kuasa tertentu di dalamnya
sehingga mereka dihormati, bukan pula karena sesuatu diminta dari mereka atau pun
kepercayaan buta kepada patung seperti yang dilakukan oleh kaum kafir yang
menaruh harapan mereka pada berhala-berhala; melainkan karena penghormatan
kepada patung atau gambar tersebut ditujukan kepada pribadi-pribadi asli yang
diwakilinya. Dengan demikian, melalui gambar-gambar ini, yang kita cium dan di
hadapannya kita berlutut serta menyelubungi kepala kita, kita menyembah Kristus dan
menyampaikan penghormatan kepada para kudus yang diwakili oleh gambar-gambar
tersebut.” (Bdk. DH. 1823)
10
“Because of its generality, (is) rash and contrary to the pious custom common
throughout the Church, as if no images of the Most Holy Trinity exist that are commonly
approved and savely permitted.
Likewise, the doctrine and the prescription that, in a general manner, rejects any
special devotion that the faithful are accustumed to render to some image in particular and
to which they have more recourse than to another,
(is) rash, dangerious, and offensive to the pious custom prevalent throughout the
Church and also to that disposition of providence by which “God, who distributes things
proper to each as he wills, did not wish these things to happen in all the memorial of the
saints.
Likewise, the teaching that forbids that images, especially of the Blessed Virgin, be
distinguished by any title other than the denominations thaat are related to the mysteries
about ehich express mention is made in Holy Scripture,
As if other pious titles could not be given to images that the Church indeed approves
and commends in her public prayers,
(is) rash, offensive to pious ears, and especially injurious to the due veneration of the
Blessed Virgin.
Likewise, the one that would eradicate as an abuse the custom by which certain
images are kept veiled,
(is) rash and contrary to the custom prevalent in the Church and (which was)
introduced to foster the piety of the faithful.” Bdk. Constitution Auctorem Fidei to All the
Faithful, August 28, 1974. DH. 2669-2672. Hlm. 548-549.
SEJARAH DOGMA: “IKONOKLASME” |9
berusaha meluruskan dan menulis surat kepadanya. Paus Gregorius III membela apa yang
dihayati oleh Gereja dan mengatakan demikian:
"Dan Anda mengklaim bahwa kami memuja tembok dan panel kayu. Bukan
seperti yang Anda katakan, Kaisar; melainkan, untuk mengenang bagian kita
dan membangunkan kita,, untuk mengangkat pikiran kita, lamban dan lemah
apa adanya - itulah alasan untuk nama dan doa serta gambar; dan bukan
sebagai dewa, seperti yang Anda klaim. Jauh dari itu! Karena harapan kita
tidak berdasarkan pada mereka. Dan jika ada gambar Tuhan, kita berkata,
“Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, tolonglah kami dan selamatkanlah kami.”
Atau jika ada salah satu dari Ibu-Nya yang kudus, kita berkata, “Pembawa
Tuhan yang Kudus, Bunda Tuhan, perantara kepada putra Anda, Allah kita
yang sejati, untuk keselamatan jiwa kita. "Atau jika itu adalah salah satu
martir:" St. Stefanus sang Protomartir, yang mencurahkan darahmu demi
Kristus, menjadi perantara bagi kita, sebagai orang yang dapat berbicara
dengan mudah dengannya. ”Dan dalam kasus setiap martir yang memberikan
kesaksian, kita berbicara dengan cara ini; kami mengirimkan doa semacam
ini melalui mereka. Dan bukan itu masalahnya, seperti yang Anda klaim,
Kaisar, bahwa kami menyebut para martir sebagai dewa.11
Melalui surat itu, Paus Gregorius III menegaskan bahwa orang-orang Kristen tidak
menyembah gambar atau patung religius yang diklaim sebagai penyembahan kepada
dewa-dewa, melainkan untuk dihormati dan menjadi pengantara bagi keselamatan jiwa-
jiwa orang-orang Kristen di dalam doa-doa umat beriman kepada wujud asli mereka.
Penghormatan terhadap orang-orang kudus, kepada Bunda Maria, orang-orang kudus
lainnya seperti para martir Gereja, dihayati sebagai pribadi yang mampu mengantarkan
manusia kepada Allah, dan mereka tidak dianggap sebagai dewa yang menggantikan
posisi Allah. Sesungguhnya tidaklah demikian. Oleh karena itu, menjadi lebih jelas
bahwa tujuan dari ikon-ikon hanya sebagai pengantara untuk menuju sampai kepada
Allah apa yang didoakan atau diminta oleh manusia.
11
“And you claim that we worship rocks and walls and wooden panels. It is not as you
say, Emperor; rather, it is for remembrance on our part and to rouse us,, for the liftingup of
our mind, sluggish and weak as it is – that is the reason for the names and the invocation and
the images; and not as gods, as you claim. Far from it! For our hopes are not base on them.
And if there is an image of the Lord, we say, “Lord Jesus Christ, Son of God, help us and
save us.” Or if there is one of his holy Mother, we say, “Holy God-bearer, Mother of the
Lord, intercede with your son, our true God, for the salvation of our souls.” Or if it is one of
a martyr: “St. Stephen the Protomartyr, who poured out (your) blood for the sake of Christ,
intercede for us, as one who can speak easilywith him.” And in the case of every martyr who
gave witness, we speak in this way; we send up prayers of this sort through them. And it is
not the case, as you claim, Emperor, that we callthe martyrs gods.” Letter “Tà ypàuuata” to
Emperor Leo III, between 726 and 730. Bdk. DH. 581. Hlm. 203.
S E J A R A H D O G M A : “ I K O N O K L A S M E ” | 10
3.3. The Right of the Faithful to Venerate Images of the Saints (Hak Orang Beriman
untuk Memuliakan Gambar para Orang Suci)
12
Catatan: Kita mengetahui bahwa masalah ‘buta huruf’ baru dapat dikurangi secara
signifikan di Eropa pada abad ke-12; bahkan untuk negara-negara Asia dan Afrika baru pada
abad 19/20. Jadi, tentu selama 12 abad, bahkan lebih, secara khusus, gambar-gambar dan
patung mengambil peran untuk pengajaran iman, karena praktis, mayoritas orang di dunia
pada saat itu tidak dapat membaca.
“It has been... reported to Us that... you have broken images of the saints under the
13
supposed excuse that they should not be adored. Indeed, We fully commend you for having
forbidden them to be adored; but We rebuke you for having them broken.... it is indeed one
thing to adore a picture; it is something else to learn what should be adored by what the
picture relates. For what Scripture is for those who read, so the picture serves the simple
ones who gaze upon it, since in it the unlearned perceive what they should follow, and in it
those who know not letters read, and wherefore, in a special way, the picture takes the place
of reading for the people.... If anyone wishes to make images, by no means prohibit it, but in
every way, to be sure, avoid adoring the images. But let Your Fraternity admonish carefully,
S E J A R A H D O G M A : “ I K O N O K L A S M E ” | 11
“In fact, the more frequently these are seen through iconic representation, the more
14
those who contemplate them are moved to remember and long for their original models and
to give them salutation and respectful veneration. This, however, is not actual worship,
which, according to our faith, is reserved to the divine nature alone. But as it is done for the
figure of the glorious and life-giving Cross, the holy Gospel, and all other sacred objects, let
these images be honored with an offering of incense and light, according to long-standing
pious custom. For “the honor rendered to the image passes on to the original”, and he who
venerates an image venerates in it the person whom the image represents.” – “Those,
therefore, who dare to think or teach otherwise, or who, by following the accursed heretics,
despise the traditions of the Church, or who invent some novelty or reject any of the
consecrated objects offered to the Church: either the Gospel or the figure of the Cross, a
paintied image or the sacred relics of a martyr; oe who devise perverse and cunning ways of
overturning any of the legitimate traditions of the Catholic Church; or who even
makeprofane use of sacred vessels or venerable monateries: these, if they are bishops or
S E J A R A H D O G M A : “ I K O N O K L A S M E ” | 12
4. SUMBER BUKU
clerics, we order to be deposed; if, however, they are monks or layman, they are to be
excommunicated.” Session 7, October 13, 787. Bdk. DH. 601 dan 603. Hlm. 207-208.
15
“Tidak diizinkan seorang Kristen untuk menempatkan sebuah gambar dari Allah
Bapa (the seated) dalam sebuah Gereja. Bdk. Decree of the Holy Office, December, 1690.
DH. 2325.
S E J A R A H D O G M A : “ I K O N O K L A S M E ” | 13