Anda di halaman 1dari 124

Bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan

Peninggalan Kolonial Belanda (Studi Arsitektur Tradisional & Etno Desain)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Sosial dalam Bidang Antropologi Sosial

Oleh:

Trisha Agnes Naibaho

160905033

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021
3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan Peninggalan


Kolonial Belanda (Studi Arsitektur Tradisional & Etno Desain)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah
ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti lain dan
tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan
siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juli 2021

Trisha Agnes Naibaho

i
ABSTRAK
Trisha Agnes Naibaho, 160905033, “Bangunan Gereja Kristen Indonesia
(GKI) Sumut Medan Peninggalan Kolonial Belanda (Studi Arsitektur
Tradisional & Etno Desain)”. Skripsi Program Sarjana Departemen
Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini membahas tentang arsitektur dan etno desain Gereja Kristen
Indonesia (GKI) tersebut. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan
melihat apa saja yang terbentuk dari arsitektur gereja yang merupakan
peninggalan kolonial Belanda tersebut sebagai bangunan yang sakral dengan etno
desainnya yang tetap selalu berusaha dipertahankan hingga saat ini.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan arsitektur tradisional dan etno
disain, menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan
data yang dilakukan yaitu dengan melakukan observasi di dalam gereja,
wawancara dan studi dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan
menggunakan catatan-catatan atau dokumentasi yang ada di lokasi penelitian yaitu
gereja.
Hasil penelitian terhadap bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut
Medan dapat diperoleh suatu gambaran bahwa secara struktur dan etno desainnya
pada gereja ini sangat unik karena menunjukkan bangunan tersebut ada unsur
arsitektur kolonial Belanda, berfungsi sebagai tempat ibadah, bertemu dan
berinteraksi pada umat kristiani. Gereja tersebut juga memiliki jemaat yang terdiri
dari berbagai suku/ multietnis.

Kata Kunci: Arsitektur, Gereja, Bentuk, Fungsi, Makna.

ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan Syukur Peneliti sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
kasih dan anugerah-Nya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi dengan judul : Bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut
Medan Peninggalan Kolonial Belanda (Studi Arsitektur Tradisional & Etno
Desain). Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana dalam bidang Antropologi Sosial pada Departemen Antropologi
Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Selama proses penulisan skripsi, peneliti banyak menerima bimbingan dan
masukan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penghargaan terbesar saya persembahkan kepada kedua orangtua tercinta yaitu
Alm Bapak P. Naibaho dan Ibu R. Sirait yang memenuhi kebutuhan saya,
mendudukung pendidikan saya dari awal hingga sampai saat ini. Biarlah kiranya
Tuhan yang membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan untuk
pendidikan penulis. Tidak lupa kepada saudara-saudari penulis serta semua
keluarga yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu terimakasih
telah memberikan semangat, dukungan serta doa untuk saya dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Ucapan terimakasih juga Peneliti sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu politik beserta jajarannya, kepada ketua Departemen Antropologi
Bapak Dr. Fikarwin Zuska, MA lalu Bapak Drs. Agustrisno, M.SP selaku
sekretaris Departemen Antropologi Sosial. Peneliti menyampaikan rasa
terimakasih kepada Ibu Dra. Rytha Tambunan M.Si selaku dosen pembimbing
dan dosen penasehat akademik atas waktunya dalam membimbing peneliti mulai
dari pengajuan judul, penyusunan proposal hingga skripsi ini berhasil
diselesaikan. Semoga Tuhan memberikan umur yang panjang, kesehatan, dan
rezeki kepada Ibu agar tetap mampu memberikan pendidikan dan pengajaran bagi
mahasiswa/i. Kepada Bapak Drs. Yance, M.Si selaku dosen penguji 1, kemudian
kepada Bapak Drs. Lister Berutu, MA selaku ketua penguji. Penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya atas saran dan ilmu yang di berikan kepada
penulis.

iii
. Kepada seluruh dosen pengajar Program Studi Antropologi Sosial yaitu
Bapak Dr. Zulkifli Lubis, MA, Bapak Drs. Zulkifli Rani, MA, Bapak Prof. Dr. R.
Hamdani Harahap, M.Si, Bapak Dr. Farid Aulia, M.Si, Alm Bapak Drs.
Ermansyah, M.Hum, Ibu Dra. Sabariah Bangun, M.Soc, Sc, Ibu Dr. Asmyta
Surbakti M.Si, terimakasih kepada seluruh dosen pengajar karena telah
mengajarkan ilmu antropologi dan dengan berbagai pengalaman yang berbeda-
beda. Terimakasih juga kepada seluruh staff pegawai Kak Nur dan Kak Sri yang
selalu membantu saya.
Peneliti juga berterimakasih kepada Bapak Anung Gunawan, Bapak
Jurnalis Buloeloe, Bapak Pendeta Nuran Ady Suyatno, Bapak Elia Masa Ginting,
Ibu Marsiria Sebayang dan pihak gereja yang tidak bisa disebutkan satu per satu
yang menemani dan membantu saya dalam melakukan penelitian selama di
lapangan sampai selesainya skripsi peneliti. Pada kesempatan ini, Peneliti juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa/i Antropologi FISIP
USU dari berbagai angkatan, atas pengalaman, cerita yang tak pernah terlupakan
selama masa perkuliahan. Terkhusus Mondang Sigiro, Senangi Masa Lase, Hetty
Lumbantoruan, Yola Siagian, Antriyani Saragih, Ribka Malau, Kak Defri
Mendrofa, Agus Salim Hasibuan, Asdani Daulay, dan lainnya yang tidak bisa
saya ucapkan satu per satu.
Peneliti juga berterima kasih terkhusus buat teman-teman terbaik peneliti:
Yohanna Sinaga, Ricardo Chen Purba, Kak Ria Sinabutar, Ance Hutapea yang
siap membantu, memberikan arahan, tenaga, motivasi serta mau meluangkan
waktu untuk peneliti selama mengerjakan skripsi. Akhir kata Peneliti menyadari
masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu kritik, saran
dan masukan peneliti akan menerimanya agar skripsi ini menjadi lebih baik lagi
kedepannya dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu Antropologi sekian dan
terimakasih.
Medan, Juli 2021
Penulis

Trisha Agnes Naibaho

iv
RIWAYAT HIDUP

Trisha Agnes Naibaho, lahir di Bengkulu pada tanggal 21 Januari 1998.


Penulis adalah anak dari pasangan Alm P. Naibaho dan R.Sirait. Penulis dapat
dihubungi melalui alamat email : trishanaibaho@gmail.com
Peneliti telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD SW ST
Fransiskus Pandan pada tahun 2010. Pada tahun 2010-2013 peneliti melanjutkan
pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 3 Pandan. Pada tahun 2013-
2016 peneliti melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA SW
YAPIM Taruna Pandan. Kemudian pada tahun 2016 peneliti melanjutkan
pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi Negeri dengan Jalur Ujian Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan diterima di jurusan
Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.
Beberapa organisasi dan kegiatan yang diikuti peneliti selama masa kuliah
adalah sebagai berikut:
1. Peserta Mengikuti kegiatan PKKMB pada tahun 2016 di FISIP
(Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik).

v
2. Workshop Bank Indonesia Goes To Campus Bersama NET, Medan
2016
3. Workshop The Best Way To Be Smart, Active, and Creative In
University, Medan 2016
4. Panitia Natal jurusan Antropologi pada tahun 2017
5. Anggota dalam UKM Fotografi USU pada tahun 2018
6. Panitia dalam kegiatan penyambutan mahasiswa baru Departemen
Antropologi Sosial, FISIP USU pada tahun 2018
7. Anggota dalam organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Sibolga- Tapteng
(KAMISTA) pada tahun 2018
8. Workshop Pemilihan Sampah Menuju Kampus Bersih Oleh Go Green
And Art (GGArt) FISIP USU, Medan 2018
9. Workshop Visual Antropologi/Film Etnografi, Medan 2018
10. Seminar Nasional Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Medan
2018
11. TOEFL Preparation Class, by the Language Center USU (September-
Oktober 2018)
12. Peserta Pada Pelatihan Jurnalistik “Splash Your Dream With A
Writing” Medan, 2018
13. Seminar Pengenalan Arkeologi, Medan 2019
14. Tahun 2020, sebagai peserta Praktek Kerja Lapangan-Tinggal Bersama
Masyarakat (PKL-TBM) di Desa Sarimarrihit, Samosir

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur peneliti sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan

skripsi ini yang berjudul Bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut

Medan Peninggalan Kolonial Belanda (Studi Arsitektur Tradisional & Etno

Desain). Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar

sarjana sosial (S.1) dalam bidang Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Bab I dengan bab selanjutnya merupakan satu kesatuan. Bab I merupakan

bab pendahuluan yang berisi kerangka teoristis dan permasalahan itu terdiri dari,

latar belakang masalah, tinjauan pustaka, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan dan rangkuman

pengalaman lapangan penelitian.

Bab II berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian, struktur kerja dan

hubungan kerja dan visi misi gereja tersebut.

Bab III menjelaskan tentang sejarah, bagan pelayanan dan jemaat gereja.

dan menjelaskan tahapan pembangunan gereja tersebut.

Bab IV merupakan hasil dan pembahasan mengenai arsitektur dan

etnodisain gereja, menjelaskan tentang komponen-komponen gereja, deskripsi

bangunan ibadah, perlengkapan dan ornamental bangunan gereja tersebut.

Bab V merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan hasil penelitian

dan penyelesaian masalah tentang semua persoalan yang diajukan serta saran.

vii
Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar kepustakaan

sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya.

Peneliti telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga waktu

dalam penyelesaian skripsi ini. Namun peneliti menyadari masih banyak

kekurangannya. Dengan kerendahan hati, peneliti mengharapkan kritik dan saran

yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari peneliti, agar skripsi ini

dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Medan, Juli 2021

Penulis,

Trisha Agnes Naibaho

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSETUJUAN
PERNYATAAN ORIGINALITAS .................................................................... i
ABSTRAK .......................................................................................................... ii
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... ..1
1.2 Tinjauan Pustaka ................................................................................. . 7
1.3 Rumusan Masalah ............................................................................... 20
1.4 Tujuan Penelitian................................................................................. 20
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................... 20
1.6 Metode Penelitian ................................................................................ 21
1.7 Pengalaman Penelitian ........................................................................ 25

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


2.1 Lokasi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan ....................... 29
2.2 Struktur Kerja dan Hubungan Kerja.................................................... 32
2.3 Visi dan Misi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan ............ 33
2.3.1 Visi Gereja.................................................................................. 34
2.3.2 Misi Gereja ................................................................................. 35

BAB III DESKRIPSI GEREJA KRISTEN INDONESIA (GKI) SUMUT


MEDAN

3.1 Sejarah Singkat Gereja ........................................................................ 36


3.2 Bagan Pelayanan dan Jemaat Gereja ................................................... 40
3.3 Tahapan Pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI)
Sumut Medan ...................................................................................... 43

ix
BAB IV ARSITEKTUR DAN ETNO DESAIN GEREJA KRISTEN
INDONESIA (GKI) SUMUT MEDAN
4.1 Komponen Dasar Bangunan Gereja .............................................. 49
4.1.1 Denah dan Fondasi ............................................................... 49
4.1.2 Tiang ..................................................................................... 51
4.1.3 Dinding ................................................................................. 53
4.1.4 Atap ...................................................................................... 54
4.1.5 Pintu ...................................................................................... 57
4.1.6 Jendela .................................................................................. 58
4.1.7 Lubang Angin ....................................................................... 60
4.2 Ruang Bangunan Ibadah ................................................................. 61
4.2.1 Narthex ................................................................................ 61
4.2.2 Ruang Jemaat ....................................................................... 65
4.2.3 Ruang Mimbar ..................................................................... 66
4.2.4 Menara ................................................................................ 67
4.3 Perlengkapan Ruang Ibadah ........................................................... 70
4.3.1 Mimbar ................................................................................. 70
4.3.2 Bangku Majelis ..................................................................... 74
4.3.3 Bangku Jemaat...................................................................... 75
4.3.4 Bangku Pendeta .................................................................... 77
4.3.5 Alas Untuk Berlutut .............................................................. 77
4.3.6 Papan Pujian dan Bacaan...................................................... 78
4.3.7 Lampu Gantung .................................................................... 79
4.4 Ornamental atau Simbol Dalam Ruang Ibadah .............................. 80
4.4.1 Logo Gereja ......................................................................... 80
4.4.2 Pilaster ................................................................................. 81
4.4.3 Relung Semu ........................................................................ 82
4.4.4 Motif Geometris ................................................................... 83
4.4.5 Motif Floral .......................................................................... 89
4.5 Analisa Ornamental ........................................................................ 93

BAB V PENUTUP
5.1Kesimpulan .............................................................................................. 99
5.2 Saran ................................................................................................ 100

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 101


LAMPIRAN.........................................................................................................103

x
DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Gambar 1. Relasi Tiga Aspek Dalam Arsitektur .................................................. 12


Gambar 2. Peta Lokasi Gereja ............................................................................. 31
Gambar 3. Struktur Kerja dan Hubungan Kerja.................................................... 32
Gambar 4. Bagan Pelayanan Jemaat ..................................................................... 40
Gambar 5. Komplek Gereja Gereformeerde(1918) .............................................. 45
Gambar 6. Denah Rumah Ibadah .......................................................................... 50
Gambar 7. Tiang.................................................................................................... 53
Gambar 8. Atap Kombinasi................................................................................... 56
Gambar 9. Atap Berbentuk Limas dan Pelana ...................................................... 56
Gambar 10. Clerestory .......................................................................................... 59
Gambar 11. Lubang Angin Deretan Panjang ........................................................ 60
Gambar 12. Lubang Angin Berbentuk Tiga Lingkaran ........................................ 60
Gambar 13. Tampak Keseluruhan Gereja ............................................................. 61
Gambar 14. Tampak Samping Gereja ................................................................... 62
Gambar 15. Tampak Pintu Utama ......................................................................... 63
Gambar 16. Tangga Menuju Balkon ..................................................................... 64
Gambar 17. Pintu Dinding Samping ..................................................................... 64
Gambar 18. Pintu Belakang .................................................................................. 66
Gambar 19. Tampak Mimbar ................................................................................ 67
Gambar 20. Tampak Menara Gereja ..................................................................... 68
Gambar 21. Balkon ............................................................................................... 69
Gambar 22. Clerestory .......................................................................................... 69
Gambar 23. Mimbar Gereja .................................................................................. 71
Gambar 24. Hiasan Pada Bagian Atas Sisi Mimbar ............................................. 72
Gambar 25.Hiasan Pada Tengah Mimbar ............................................................. 73
Gambar 26. Labarum ............................................................................................ 73
Gambar 27. Bangku Majelis ................................................................................. 75
Gambar 28. Bangku Jemaat Tipe Panjang ............................................................ 76
Gambar 29. Bangku Jemaat Tipe Individu ........................................................... 76
Gambar 30. Bangku Pendeta ................................................................................. 77
Gambar 31. Alas Untuk Bersujud ......................................................................... 78
Gambar 32. Papan Pujian dan Bacaan .................................................................. 79
Gambar 33. Lampu Gantung ................................................................................. 79
Gambar 34. Logo GKI .......................................................................................... 80
Gambar 35. Pilaster ............................................................................................... 82
Gambar 36. Relung Semu ..................................................................................... 83
Gambar 37. Motif berbentuk persegi pada mimbar dan kanan ............................. 84
Gambar 38. Bidang persegi Panjang dengan pelengkung ..................................... 85
Gambar 39. Kotak-kotak kecil pada tiang............................................................. 85
Gambar 40. Garis berbentuk setengah lingkaran .................................................. 86
Gambar 41. Garis-garis zig-zag ............................................................................ 86
Gambar 42. Bidang Lingkaran .............................................................................. 87

xi
Gambar 43. Motif Spiral Pada Balustrade Altar................................................... 87
Gambar 44. Motif Spiral Pada Tangan Tangga Mimbar....................................... 87
Gambar 45. Tangga Mimbar ................................................................................. 88
Gambar 46. Hiasan Deretan Kotak-Kotak Pada Atap Ruang Mimbar ................. 88
Gambar 47. Hiasan pada atap ruang mimbar ........................................................ 88
Gambar 48. Hiasan Deretan Kotak-kotak persegi jendela berderat di tingkat II .. 89
Gambar 49. Bagian atas jendela berderet .............................................................. 89
Gambar 50. Hiasan Bunga ................................................................................... 89
Gambar 51. Hiasan Daun ...................................................................................... 90
Gambar 52. Hiasan pada Pelengkung ................................................................... 94
Gambar 53. Hiasan Pada Pemisah tingkat ............................................................ 95
Gambar 54. Motif Ipon-Ipon ................................................................................. 95
Gambar 55. Hiasan menyerupai Bunga ................................................................ 96
Gambar 56. Column Pilaster Tuscan ..................................................................... 96

xii
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 1. Lokasi Penempatan Ornamen pada Bangunan Gereja Kristen


Indonesia (GKI) Sumut Medan……………………………………….91

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Gereja adalah suatu tempat untuk melakukan ibadah bagi umat Kristen dan

sekaligus terdapat di dalamnya juga hubungan interaksi sosial antar sesama

manusia. Sebagai sebuah karya budaya manusia pendukungnya, bangunan gereja

ini juga memiliki tanda-tanda khas. Demikianlah dapat disebutkan unsur-unsur

yang membentuk keseluruhan bangunan gereja ini tidak hanya saja susunan

bangunannya, melainkan juga hiasan yang dipilih, simbol dan juga terdapat

fungsinya (Koestoro, 2015:94).

Dalam hal arsitektur, untuk memandangnya dengan persepsi budaya, terdapat

dua hal pokok yang saling berkaitan yaitu arti dan fungsi dari arsitektur yang

dihasilkan. Arsitektur harus bermakna positif. Arti atau makna dari arsitektur

sebagai benda budaya, konsep, pola dan wujudnya, adalah interpretasi dan

simbol-simbol emosi yang dapat ditemukan di dalam pikiran manusia yang

memberikan tanggapan terhadap arsitektur. Sebuah bangunan dengan konsep

tradisional misalnya, belum tentu dinilai dengan persepsi yang sama, karena bisa

saja disebut sebagai ketinggalan zaman, dianggap anti modernisme, atau berarti

lainnya.

Fungsi dari suatu arsitektur sebagai benda budaya ditentukan pula oleh

persepsi pengamat, bukan oleh pembawa budaya, yang akan semakin positif bila

fungsi yang ditampung juga semakin kaya. Suatu bangunan yang dekat dengan

1
kegiatan publik misalnya, dituntut memiliki ruang dan akses publik yang

memadai agar fungsi interaksi sosial dapat terwadahi secara optimal. Sebagai

contoh, ruang antar bangunan akan tetap tak berfungsi positif bila hanya sekedar

sebagai jarak antar bangunan, tetapi akan lebih kaya fungsi apabila dimanfaatkan

sebagai ruang positif bagi kegiatan manusia (Budihardjo, 1997:3).

Dalam dunia arsitektur hubungan masa lampau, masa kini dan masa yang

akan mendatang itu saling berkesinambungan satu sama lain karena dapat

menciptakan karya-karya arsitektur yang bermutu karena belajar dari arsitektur

terdahulunya.

Salah satu objek arsitektur yang sarat akan makna adalah arsitektur rumah

ibadah, yaitu: arsitektur mesjid, gereja, klenteng, dan sebagainya. Objek arsitektur

rumah ibadah seperti bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan ini

menjadi sarat akan makna karena tidak sekadar mengandung makna

pragmatik/fungsional saja, tetapi juga mengandung makna-makna keagamaan

yang dihasilkan suatu peradaban manusia selama ratusan bahkan ribuan tahun.

Makna-makna ini tertuang baik dalam wujud arsitekturnya secara keseluruhan,

maupun dalam elemen-elemen simbolik yang ada pada objek arsitekturnya.

Demikian juga pada arsitektur bangunan gereja yang tidak pernah lepas dari

fungsi yang diwadahinya. Bangunan gereja ini sebagai tempat beribadah bagi

umat Kristiani memiliki tuntutan fungsional yang mempengaruhi bentukan

arsitekturnya, yaitu berupa tuntutan kemampuan suatu bangunan untuk mewadahi

berbagai aktivitas ritual/liturgi, beserta segala aktivitas pendukungnya. Pada sisi

2
lain, konteks sosio-kultural, kondisi politik, ekonomi dan tuntutan zaman pada

saat suatu produk arsitektur dibuat juga membawa pengaruh pada perwujudan

bentukan arsitekturnya, termasuk pada bangunan gereja ini.

Keberadaan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan merupakan

suatu catatan sejarah yang unik, karena wilayah Sumatera Utara dulunya

merupakan wilayah penginjilan dari Rhemische Missions Gesellschaft (RMG)

dari Jerman, tetapi Gereja Gereformeerd yang dilakukan oleh misi Belanda yang

beraliran Calvinis, mampu juga melakukan penginjilan di wilayah Sumatera

Utara, walau diakui bahwa perjuangan berat harus dilalui oleh gereja ini agar

bisa masuk, tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara hingga saat ini.

Yang juga membuat gereja ini unik, sasaran zending Hollandsch

Gereformeerde Kerk semakin meluas : tidak hanya pada orang-orang Jawa,

tetapi juga kepada suku-suku lain, misalnya orang-orang Batak, Aceh dan

Minang. Maka hingga saat ini dapat dilihat bahwa gereja ini merupakan gereja

yang universal dengan multietnis nya tidak dibatasi oleh suku tertentu, bahkan

anggota gereja ini terdiri dari bermacam suku seperti Batak Toba, Karo,

Simalungun, Jawa, Nias, Aceh, Ambon, Timor, Toraja, Minang, Tionghoa, dan

India/Tamil.

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan tersebut sudah terdaftar pada

sistem registrasi nasional cagar budaya pada tanggal 29 September 2017

kemudian verifikasi pada tanggal 11 Juli 2018 oleh Balai Pelestarian Cagar

Budaya Aceh Jadi benda Cagar Budaya juga merupakan warisan budaya dan

3
sejarah, serta bukti sejarah kehidupan budaya bangsa yang mempunyai nilai

sangat penting bagi kebudayaan dan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia. Selain

itu, pentingnya keberadaan bangunan tua bersejarah tersebut juga sebagai saksi

bisu sejarah suatu masa yang mencerminkan identitas daerah atau masyarakatnya

pada periode tertentu. Salah satu periode dalam studi arkeologi Indonesia adalah

periode kolonial. Bentang waktu yang panjang dalam periode kolonial ini telah

meninggalkan banyak pengaruh kebudayaan bagi bangsa kita.

Bangunan menjadi saksi bisu dari berbagai kejadian pada masa digunakan

baik di dalamnya maupun di sekitarnya. Oleh karena itu, bangunan selain

mempunyai nilai arsitektural, juga mempunyai nilai sejarah. Makin lama

bangunan berdiri, makin membuktikan tingginya nilai sejarah dan budayanya.

Seperti Gereja ini merupakan salah satu gereja tertua di Kota Medan yang

dibangun pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian arkeologi yang telah dilakukan terhadap semua

peninggalan arsitektur tradisional di wilayah Nusantara, dapat diketahui bahwa

berdasarkan fungsinya, maka bangunan arsitektur tradisional dapat dibedakan atas

dua jenis, yaitu bangunan bersifat profan dan bangunan bersifat sakral. Bangunan

bersifat profan, seperti rumah tempat tinggal, tempat musyawarah dan tempat

penyimpanan. Sedangkan bangunan-bangunan yang bersifat sakral, seperti

bangunan adat dan tempat-tempat ibadah (Faisal, 2008:2) seperti Gereja Kristen

Indonesia (GKI) Sumut Medan tersebut yang termasuk kategori bangunan sakral.

Bangunan-bangunan seperti itu umumnya tahan lama karena dibuat dari material

yang lebih kuat dan tahan lama, serta sedikit mengalami perubahan karena adanya

4
keyakinan akan kesucian. Seperti halnya dengan bangunan yang bersifat sakral

yaitu tempat ibadah gereja tersebut.

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan ini merupakan salah satu objek

yang sangat menarik dan patut untuk diteliti keunikannya dari bangunannya

bersifat sakral ini yang merupakan peninggalan kolonial Belanda dengan memiliki

etno disainnya sendiri dan fungsi yang mendasarinya.

Terdapat beberapa literatur penelitian terdahulu yang menjadi referensi

peneliti dalam melakukan penelitian ini. Hal ini guna untuk memperkaya bahan

kajian dalam penelitian peneliti. Penelitian terdahulu sangat bermanfaat bagi

peneliti untuk mengetahui hasil karya ilmiah yang sudah dibuat sebelum peneliti

melakukan penelitian ini. Berikut beberapa literatur penelitian terdahulu :

Penelitian dari Kusbiantoro (2007) menyebutkan bahwa Meskipun W.C.P

Schoemaker membangun kedua bangunan ini untuk jemaat yang berbeda, ada

beberapa elemen arsitektural yang mirip bahkan cenderung terlihat berulang.

Beberapa kesamaan elemen-elemen dalam wujud arsitektur GPIB Bethel dan

gereja Katedral St. Petrus merupakan sintesis Kristianitas yang mendasar.

Sementara itu, beberapa kesamaan lainnya merupakan elemen-elemen yang

muncul sebagai adaptasi dari pengaruh zaman yang berkembang saat itu.

Kesamaan elemen pada tatanan massa dan ruang serta elemen pelingkup ruang

yang dijumpai pada objek studi memiliki makna kerohanian sebagai perwujudan

nilai-nilai Kristianitas. Sementara kesamaan elemen-elemen.

5
Penelitian selanjutnya dari Ardian (2019) menyebutkan secara estetika,

bangunan Gereja Ganjuran memiliki ciri khas tersendiri dari gereja lainnya, yaitu

karakter arsitektur kejawaannya yang kuat. Penggabungan kebudayaan Jawa

dengan kebudayaan Katolik biasa dikenal dengan istilah inkulturasi. Berbagai

unsur kejawaan gereja Ganjuran merupakan gambaran upaya inkulturasi dengan

agama Katolik yang terwujud dalam ornamen-ornamen gereja. Penggambaran

inkulturasi yang nampak dalam gereja Ganjuran dapat dilihat dengan adanya

patung-patung seperti arca Yesus, arca Maria dan patung malaikat di dalam

gereja. Perpaduan aksen Hindu-Jawa-Katolik di Candi Hati Kudus Yesus menjadi

puncak inkultuasi di Gereja Katolik Ganjuan. Unsur-unsur baru di gereja

Ganjuran dihadirkan melalui penambahan ornamen dengan simbol-simbol liturgi

pun bernuansakan Jawa. Ornamen yang digunakan pada Gereja Katolik Ganjuran

memiliki makna yang selaras dengan ajaran Katolik walaupun kehadirannya

sebagian besar hanya sebagai dekorasi.

Penelitian selanjutnya dari Riogilang et al (2015) menyatakan arsitektur

geometri merupakan struktur hidup yang sangat asimetris sehingga

memungkinkan kita untuk memulihkan sejarah, proses beragam yang dihasilkan:

membengkuk, memotong, memutar, melanggar, bergulat dan sebagainya.

Merupakan tempat penyimpanan memori yang sangat baik. Hal ini tidak

membosankan dan menyendiri dapat hidup dengan waktu karena diisi dengan

memori, hidup dengan pikiran kita. Bentuk ini baik untuk menghindari bagian

bangunan banyak menerima sinar matahari sehingga dapat mengurangi

penerimaan panas yang berlebihan pada bangunan. Dari segi estetika, tampilan

6
bangunan sangat indah, dengan mengambil bentuk bangunan dengan beranalogi

pada alam yaitu perbukitan, bentuk komposisi keseimbangan asimetris membuat

gedung ini tidak membosankan, bentuk dasar kurva yang artinya menuju ke

lingkaran memberi kesan relaks pada bangunan.

Berbeda dengan penelitian yang telah pernah dilakukan di atas, peneliti

tertarik untuk melihat bagaimana etno disain dari Gereja Kristen Indonesia (GKI)

Sumut Medan Peninggalan Kolonial Belanda tersebut beserta elemen, struktur dan

fungsi yang terbentuk.

1.2 Tinjauan Pustaka

1.2.1 Arsitektur

Arsitektur adalah sebuah hasil ciptaan manusia yang merupakan suatu produk

budaya dan peradaban manusia. Perkembangan arsitektur didasari oleh

perkembangan kebudayaan manusia dalam arti yang luas, termasuk di dalamnya

teknologi. Arsitektur dapat dipelajari dari kebudayaan manusia, yang

diterjemahkan menjadi suatu artefak (arsitektur) dan juga sebaliknya. Melalui

artefak arsitektur, dapat dipelajari kebudayaan manusia yang menciptakannya.

Oleh sebab itu, arsitektur adalah produk budaya yang sarat akan makna

(Kusbiantoro, 2007:3).

Arsitektur tradisional adalah perwujudan ruang untuk menampung aktivitas

kehidupan manusia dengan pengulangan bentuk dari generasi ke generasi

berikutnya dengan sedikit atau tanpa perubahan, yang dilatar belakangi oleh

7
norma-norma agama dan dilandasi oleh adat kebiasaan setempat dijiwai kondisi

dan potensi alam lingkungannya (Ketut dan Nyoman, 2008:1).

Rumah lebih dari sekedar struktur fisik. Rumah adalah rumah, tempat kerja,

istirahat dan peribadahan. Rumah sangat erat kaitannya dengan mereka yang

mendiami atau bekerja di dalamnya. Rumah adalah bangunan yang dihuni dan

digunakan oleh berbagai jenis individual atau kelompok seperti rumah tangga,

orang yang memiliki hubungan kekerabatan, dewa atau roh, atau benda tertentu

seperti biksu dan biksuni, anak sekolah, orang sakit, birokrat dan pebisnis.

Dengan demikian rumah diekspresikan secara simbolis melalui desain

arsitektural, dekorasi dan tata letak, tujuan dan karakteristik penghuninya. Rumah

berbicara kepada anggota komunitas tentang kategori dan nilai sosio-ekonomi

yang dipegang oleh komunitas pada umumnya dan tentang yang lebih lokal yang

relevan dengan rumah tangga itu sendiri. Rumah berbicara kepada orang luar

tentang tujuan dan status penghuninya, studi tentang rumah sebagai bangunan dan

sebagai kategori sosial, dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi fokus yang

bermanfaat untuk penelitian empiris.

Rumah adalah tempat berteduh, mereka adalah rumah, mereka adalah simbol

dan penanda status. Namun apapun bentuknya, rumah adalah bangunan gedung

yang merupakan ekspresi dari nilai-nilai sosial dan budaya; domain yang berbeda

disatukan dalam struktur tunggal. Mereka membatasi penghuninya (atau

pengguna dalam kasus bangunan umum) di dalam ruang, dan mereka adalah

perluasan yang dibatasi ke dalam ruang. Bagi para analis, bangunan itu adalah

8
tambang emas bagi simbol dan makna karena bangunan mengungkapkan gagasan

dan nilai asli tentang kehidupan dan aktivitas sosial serta, dalam banyak kasus,

rumah di Asia Tenggara menjadi contoh kasus - tentang kosmologi, kepribadian,

dan gender. Karena itu mereka tidak pernah bisa netral, faktor menjadi pembawa

makna.. Ada pendekatan untuk membaca rumah, untuk menafsirkan bentuk,

struktur, desain, penggunaan, dan lainnya. Banyak disiplin ilmu yang berbeda

memiliki sesuatu untuk diperoleh dari dan berkontribusi pada studi bangunan

rumah. Khususnya sudut atau tatapan disipliner dari arsitek, sejarawan seni,

antropolog. arkeolog, ilmuwan politik, ekonom, dan sejarawan masing-masing

dapat menyumbangkan sesuatu untuk pemahaman kita tentang apa yang harus

dicirikan sebagai manusia universal (Howell, 2003: 21).

Howell (2003) menjelaskan bangunan publik tidak perlu berhubungan

langsung dengan gaya arsitektur domestik lokal. Bangunan keagamaan, misalnya

jarang merupakan replika rumah rumah tangga. Sebaliknya, mereka sering kali

memotong ekspektasi bangunan seperti itu. Gereja, masjid, dan kuil Hindu dan

Buddha dibangun menurut kriteria yang berbeda dari yang digunakan dalam

arsitektur rumah tangga. Tujuannya sangat berbeda dan ini ditunjukkan di gedung

itu sendiri. Tentunya, rumah ibadah bukanlah tentang kekeluargaan atau tentang

organisasi sosial seperti yang dihayati oleh masyarakat. Lebih dari itu, mereka

adalah representasi dari kosmologi dan merupakan fokus material untuk ontologi

dan tatanan moral tertentu. Bangunan keagamaan menyampaikan makna khusus

yang diinginkan baik kepada penganutnya maupun orang luar.

9
Bentuk arsitektur dapat diartikan sebagai sebuah ruang yang berpelingkup

bawah, samping, dan atas, yang dapat mewadahi kegiatan manusia dalam rangka

pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pelingkup bawah berupa lantai atau alas beserta

elemen-elemen pelengkapnya, pelingkup samping berupa dinding beserta elemen-

elemen pelengkapnya, dan pelingkup atas berupa atap dan atau plafon beserta

elemen-elemen pelengkapnya. Lantai atau alas sebagai tempat berpijak dan

bertapak manusia di bumi ini memiliki sifat visible (dapat dilihat) dan touchable

(dapat diraba). Sementara dinding dan atap dapat bersifat baik visible dan

touchable maupun invisible (tidak dapat dilihat) dan untouchable (tidak dapat

disentuh atau diraba). Ketiga pelingkup tersebut (pelingkup bidang bawah,

samping, dan atas) mewujudkan bentuk arsitektur sebagai bentuk fisik tiga

dimensional (Ashadi, 2018:51).

Simbol merupakan komponen utama dalam kebudayaan karena setiap hal

yang dilihat dan dialami oleh manusia itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian

simbol yang dimengerti oleh manusia. Simbol-simbol yang ada itu cenderung

untuk dibuat dan dimengerti oleh para warga pemiliknya berdasarkan konsep-

konsep yang mempunyai arti yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu.

Dalam menggunakan simbol-simbol, seseorang biasanya melakukannya

berdasarkan atas pengetahuan mengenai pola-pola yang terdiri dari serangkaian

aturan untuk membentuk serta mengombinasikan bermacam-macam simbol, dan

menginterpretasikan simbol-simbol yang dihadapi atau yang merangsangnya.

Desain arsitektur sebagai suatu terminologi pada dasarnya dapat dilihat dalam

dua konteks pengertian. Yang pertama adalah sebagai proses dan yang kedua

10
adalah sebagai produk. Jika dipandang dalam konteksnya sebagai proses atau

aktivitas, maka pemahaman tentang desain dapat kita lakukan dalam perspektif

historis, terutama untuk melihat karakteristik proses desain dari masa ke masa.

Pemahaman ini menjadi penting dalam konteks penulisan ini, terutama dengan

asumsi bahwa dengan mengenali karakteristik proses desain dari masa ke masa.

Sudut pandang yang kedua adalah pandangan yang berorientasi pada pemahaman

bahwa desain identik dengan produk (design as product). Sudut pandang ini

memposisikan arsitektur sebagai salah satu cabang seni setara dengan bidang-

bidang seni yang lain. Pandangan ini berimplikasi pada anggapan bahwa proses

desain arsitektur merupakan hal yang tidak relevan dan tidak perlu dipersoalkan

karena yang menjadi pokok perhatian adalah aspek produk (Rogi, 2014:2).

Tujuan arsitektur adalah lebih dari sekedar fungsi tempat bernaung. Arsitektur

dapat memberikan rona bagi kegiatan-kegiatan tertentu menyatakan status, atau

hal-hal pribadi, menampilkan dan mendukung keyakinan menyampaikan

informasi, membantu menetapkan identitas pribadi atau kelompok, dan

mengiaskan sistem-sistem nilai. Apabila tempat bernaung merupakan fungsi

arsitektur satu-satunya, maka hanya sedikit ragam dalam bentuk yang akan

didapati. Padahal arsitektur telah menghasilkan bangunan yang beranekaragam

dengan tujuan yang berbeda-beda, mulai dari tempat tinggal dan kerja yang

digabung sampai kepada pemisahan tempat tinggal dan kerja, mulai dari rumah

dan bengkel yang digabung sampai pemisahan keduanya dan kemudian sampai

kepada pelataran kerja dan bengkel yang dikhususkan, dan sebagainya. Demikian

pula, kita bisa mengharapkan adanya suatu kecenderungan penggunaan bahan dari

11
kemudahan untuk mendapatkan bahan-bahan tersebut, yang rupanya bahan-bahan

tersebut memiliki makna dan memiliki fungsi-fungsi komunikatif (Ashadi,2018:

49).

1.2.2 Relasi Aspek Arsitektur

Menurut Salura & Fauzy dalam (Ashadi, 2018:44) membangun konsep

perputaran bentuk-fungsi-makna. Setiap produk disain arsitektural harus

mengutamakan unsur-unsur bentuk-fungsi-makna. Ide atau gagasan merupakan

motor penggerak terjadinya relasi aspek bentuk-fungsi- makna dalam arsitektur.

Relasi bentuk-fungsi dalam arsitektur akan dapat menjelaskan makna arsitektur.

Relasi fungsi-makna dalam arsitektur akan dapat menjelaskan bentuk arsitektur.

Relasi bentuk-makna dalam arsitektur akan dapat menjelaskan fungsi arsitektur.

Sehingga ketiga aspek tersebut saling berelasi satu sama lain. Ide atau gagasan

arsitektur adalah motor penggerak relasi-relasi tersebut.

Gambar 1 relasi tiga aspek dalam arsitektur


(Sumber: ilustrasi berdasarkan Salura & Fauzy dalam buku pengantar
antropologi arsitektur)

Bentuk arsitektur merupakan bagian dari kebudayaan fisik. Fungsi

arsitektur merupakan bagian dari sistem tingkah laku. Gagasan arsitektur

12
merupakan bagian dari sistem gagasan. Makna arsitektur merupakan nilai-nilai,

yang dalam kerangka wujud kebudayaan dapat ditempatkan setelah sistem

gagasan.

Makna arsitektur berarti arti arsitektur. Berdasarkan konsepsi arsitektur:

relasi antara bentuk, fungsi, dan makna, maka makna arsitektur adalah hasil

interpretasi relasi antara bentuk dan fungsi dalam kerangka kebudayaan. Fungsi

arsitektur meliputi fungsi insider dan fungsi outsider. Fungsi insider adalah

kegiatan-kegiatan manusia pengguna langsung suatu bentuk arsitektur sebagai

wadah kegiatan-kegiatan tersebut, sementara fungsi outsider adalah kegiatan-

kegiatan manusia sebagai respon adanya atau hadirnya suatu bentuk arsitektur.

Bentuk arsitektur adalah wadah atau ruang berpelingkup bawah, samping, dan

atas, yang mewadahi kegiatan-kegiatan manusia dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidupnya, dengan bantuan kebudayaannya. Inti dari memaknai bentuk

arsitektur adalah tindakan interpretasi. Apabila bentuk arsitektur dianggap sebagai

sebuah objek benda, maka memaknainya berarti ada seseorang (subjek) yang

menginterpretasi relasi antara fungsi arsitektur dan bentuk arsitektur. Pada

dasarnya bentuk arsitektur itu netral, tidak bermakna, sebab bentuk arsitektur itu

adalah bentuk arsitektur itu sendiri; ia berada di suatu tempat ya memang

tempatnya memang ada di situ. Hanya seseorang lah (subjek) yang kemudian

memberikan makna pada bentuk arsitektur itu. Sebuah bentuk arsitektur (objek)

dapat dikatakan bermakna karena kearifan seseorang (subjek) yang menaruh

perhatian atas bentuk arsitektur itu. Arti atau makna diberikan oleh seseorang

13
sebagai subjek kepada bentuk arsitektur sebagai objek, sesuai dengan cara

pandang subjek (Ashadi, 2018 : 127).

Jadi antropologi arsitektur dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari

manusia bagaimana ia membangun relasi bentuk-fungsi-makna, berdasarkan

kebudayaannya, dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam kaitan ini,

manusia memiliki kuasa untuk membangun relasi fungsi-bentuk-makna, atau pun

memperbaiki dengan cara melakukan perubahan-perubahan relasi fungsi-bentuk-

makna yang sudah ada, berdasarkan kebudayaanya, dalam rangka pemenuhan

kebutuhan hidupnya, mengikuti gerak perkembangan zaman (Ashadi, 2008:43).

Slogan yang kerap dipakai sebagai kaidah perancangan arsitek Jo Santosa

aliran pertama adalah bentuk mengikuti fungsi sedangkan arsitek Hasan Purbo

penganut aliran kedua lebih anyak menggunakan slogan bentuk mengikuti

budaya. Arsitektur berperan sebagai kata kerja yang aktif, mempengaruhi

kehidupan manusia (Budihardjo, 1997:32).

Menurut Budihardjo (1997:6) Ada beberapa catatan yang berkaitan dengan

kualitas ruang arsitektur yang dihasilkan para arsitek harus memenuhi beberapa

kriteria pokok sebagai berikut:

1. Ruang yang dapat memberikan keleluasaan gerak, berinteraksi, dan

berkegiatan kepada pengguna ruang itu secara mudah sesuai dengan

fungsinya, serta memberikan kesan aman.

14
2. Ruang yang diciptakan dapat memberi bentuk yang bermakna kepada

pengguna ruangnya, memberikan kejelasan, keindahan, dan kecerahan

kepada lingkungannya.

3. Jati diri arsitektur yang berkaitan dengan identitas ruang yang tercipta,

harus dapat dibedakan menurut peran sertanya di dalam budaya, yaitu

dalam memberikan ciri yang bersifat universal, spesifik, dan bersifat

alternatif.

4. Ruang yang diciptakan mampu bertahan lama, tidak tertelan zaman,

permanen mewadahi kegiatan manusia.

Sebagai negara yang telah menempuh perjalanan sejarah yang panjang,

dengan tradisi yang kuat dan beragam serta pengalaman dijajah negara lain, tak

pelak lagi kita memiliki warisan arsitektur tradisional dan peninggalan kolonial

yang tersebar di berbagai pelosok kota dan daerah. Selayaknya pengetahuan yang

berharga itu dilestarikan dan dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi yang tak

pernah kering bagi perancangan arsitektur kontemporer. Benang merah arsitektur

masa lampau disambung dengan benang emas arsitektur masa kini dan masa

depan. Sebagaimana diketahui, kesinambungan masa lampau-masa kini- masa

depan, yang menjawab dalam karya-karya arsitektur setempat, merupakan faktor

kunci dalam penumbuhan rasa harga diri, percaya diri dan jati diri atau identitas.

Keberadaan bangunan kuno yang mencerminkan kisah sejarah, budaya dan

peradaban masyarakat, memberikan peluang bagi generasi penerus untuk

menyentuh dan menghayati perjuangan nenek moyangnya. Architecture is

15
archeology for the future, begitu kata salah seorang pakar. Arsitektur kuno dan

arsitektur kontemporer bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan, melainkan

dipadukan (Budihardjo, 1997:97).

Agama kristen dibawa ke Indonesia oleh bangsa Eropa, yaitu Portugis dan

Belanda. Pengaruhnya pada arsitektur tidak banyak kecuali pada tempat

ibadahnya. Pada mulanya gereja merupakan tempat mengadakan hubungan antara

manusia dengan Allah, sehingga di buat ruang-ruang yang besar dengan langit-

langit yang tinggi dan garis-garis vertikal..

Perkembangan selanjutnya ialah: gereja bukan saja tempat untuk mengadakan

hubungan dengan Tuhan, tetapi juga tempat untuk mengadakan hubungan antara

manusia dengan manusia, di samping itu dasar ajaran agama Kristen adalah

pelayanan bantuan bagi yang terkebelakang, keadilan bagi minoritas yang

tertekan, bantuan bagi yang sakit, tua, yatim piatu, dan sebagainya. Kegiatan

seperti itu membutuhkan lebih dari hanya sebagai tempat untuk berdoa.

Perkembangan kemudian untuk menampung kegiatan adalah penambahan gedung

pertemuan ruang-ruang kelas, ruang rekreasi, ruang club, dan ruang-ruang lain di

samping ruang ibadah utama, sehingga bentuk gereja yang sekarang bukan hanya

merupakan sebuah gedung, tetapi sudah merupakan suatu kompleks.

Sebagai sebuah karya budaya manusia pendukungnya, gedung gereja juga

memiliki tanda-tanda khas. Selain fungsi praktis dan estetika, tanda-tanda khas

dimaksud dibuat antara lain juga untuk memperlihatkan keberadaan kelompok

masyarakat yang memiliki pemahaman dan aturan akan nilai budaya pada

masanya. Demikianlah dapat disebutkan unsur-unsur yang membentuk

16
keseluruhan bangunan gedung gereja meliputi tidak saja susunan bangunannya,

melainkan juga hiasan yang dipilih, dan simbol/tanda lain yang digunakan.

Riogilang et all (2015) berpendapat bahwa kreativitas dalam berarsitektur perlu

digali untuk menghasilkan karya-karya arsitektur yang memiliki nilai estetika

yang tinggi, juga fungsional, dan jaminan terhadap kekokohan bangunan. Karya

arsitektur yang demikian, terutama dari segi estetika, dapat dihasilkan dengan cara

diantaranya mengadopsi bentuk-bentuk dari benda atau dari alam yang pada

umumnya memiliki bentuk geometri.

Secara umum dapat disampaikan bahwa sejarah arsitektur di Indonesia tidak

dapat dibatasi sebagai isu formal estetika belaka, namun juga harus dipahami

sebagai isu budaya, politik, sosial, ekonomi dan teknologi yang dilematis, bahkan

kadang tragis. Pembahasan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat akibat

paparan atau perjumpaan dengan budaya baru, memberikan dampak yang sangat

jelas terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia. Harus dipahami bahwa

masuknya pengaruh sistem kepercayaan dan kebudayaan yang berasal dari India,

Cina, Arab, dan Eropa telah memungkinkan bertumbuh kembangnya ragam jenis

bangunan dan berbagai ekspresi arsitektural yang memiliki nilai historis serta

karakteristik fisik yang unik.

Penyerapan ilmu-ilmu yang berkiblat Barat, Eropa, sebetulnya membawa

kebimbangan atas pilihan sikap, termasuk dalam arsitektur. Keterpanaan akan

kokohnya bangunan semen dan beton misalnya, cenderung menciptakan

bangunan yang tertutup tanpa banyak pintu, ventilasi atau jendela. Padahal sangat

17
disadari bahwa berbeda dengan di Eropa yang mengenal empat musim, di

Indonesia jelas tidak akan ada salju yang tebal menumpuk di atap, atau angin yang

berhembus dengan temperatur membekukan yang menerobos celah jendela

(Koestoro, 2015:96).

Kembali pada bangunan-bangunan gereja di sebagian wilayah Sumatera

Utara, dapat dirasakan bahwa arsitektur modern yang dikenalkan orang-orang

Eropa itu berupa karya-karya bangunan yang kuat dan indah. Karya arsitektural

modern di Indonesia banyak berupa bangunan pemerintahan, perusahaan-

perusahaan, stasiun kereta api, bangunan-bangunan militer, sekolah dan

sebagainya. Bangunan gedung gereja adalah salah satunya.

Desain arsitektur bangunan gereja, di samping memiliki manfaat secara

praktis, juga menampilkan bentuk budaya visual yang mengandung nilai-nilai

estetika. Itu juga merupakan wahana pertautan antara budaya modern dan tradisi.

Nilai-nilai yang berkembang sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, di

samping memiliki peran dalam membangun citra modernitas pada budaya benda,

juga mengandung makna budaya yang memperkaya kehidupan masyarakat

Indonesia.

Susunan umum bangunan gereja menganut prinsip yang sama, yang berasal

dari Abad Pertengahan Eropa, seperti halnya dengan para pembawa kepercayaan

baru itu adalah orang-orang Eropa. Itu berkenaan dengan tata ruang horizontalnya.

Altar, yang merupakan ruang sakral terletak di sisi belakang dan biasanya

menghadap ke arah timur, ke arah matahari terbit. Adapun di bagian depan,

18
meliputi juga menara. Demikianlah bagian sakral itu menghadap ke arah matahari

terbit yang berasosiasi dengan terang, sedangkan bagian depan yang bersesuaian

dengan matahari terbenam berasosiasi dengan kegelapan Ide yang muncul di

dalamnya adalah: dengan memasuki gereja maka umat yang berada dalam

kegelapan akan mendapatkan terang, memperoleh kehidupan yang cerah. Selain

itu, dapat pula dirasakan bahwa desain bangunan gereja cenderung memiliki satu

pintu utama yang merupakan indeks untuk menunjukkan bahwa orang harus

memasuki gedung tersebut dari arah tertentu. Porch (kuncungan) juga menandai

keberadaan pintu utama untuk masuk ke ruangan dalam gedung gereja. Ide yang

terkandung di dalamnya adalah hanya satu jalan kehidupan menuju keselamatan

manusia.

Menurut Soekiman, Menyangkut keberadaan gedung gereja sebagai salah

satu bentuk karya budaya masa lalu, dan kita menyebutnya dengan bangunan

kolonial atau bangunan indis, hal itu sama dengan bangunan-bangunan lain yang

digunakan untuk berbagai kepentingan pada masanya. Dalam kaitannya dengan

hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan gaya hidup indis adalah

suatu fenomena sejarah, sebagai bukti hasil kreativitas kelompok atau golongan

masyarakat pada masa kekuasaan Hindia Belanda dalam menghadapi tantangan

hidup dan berbagai faktor yang menyertainya (Koestoro, 2015:109).

19
1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana etno desain arsitektur Gereja Kristen Indonesia (GKI)

Sumut Medan Peninggalan Kolonial Belanda tersebut?

2. Bagaimana struktur dan fungsi yang terbentuk dari arsitektur Gereja

Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan Peninggalan Kolonial Belanda?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah pada

penelitian ini yaitu untuk menjelaskan dan melihat Etno disain beserta struktur

dan fungsi yang terbentuk dari arsitektur gereja peninggalan kolonial Belanda

tersebut. Dan juga melihat tentang arsitektur yang dapat diartikan sebagai suatu

bangunan gereja peninggalan kolonial Belanda yang sakral, di mana bentuk,

struktur, fungsi dan etno disain yang dipertahankan sejak lama melalui proses

pewarisannya hingga saat ini.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : manfaat teoritis dan praktis dari

hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan ilmu pengetahuan

pada umumnya dan disiplin ilmu antropologi pada khususnya, terutama dalam

bidang kajian Studi Arsitektur Tradisional & Etno Disain, serta dapat dijadikan

sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut yang berkenaan dengan

masalah-masalah ini. Terutama mengenai bangunan Gereja Kristen Indonesia

(GKI) Sumut Medan peninggalan kolonial Belanda tersebut. Kemudian manfaat

20
sebagai bahan untuk melestarikan Arsitektur gereja tersebut dan bagi penulis

untuk menambah pengetahuan dan wawasan untuk mengaplikasikan pengetahuan

secara ilmiah dalam kehidupan berikutnya.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jl. KH. Zainul Arifin No.124, Petisah Tengah,

Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan. Metode penelitian yang digunakan yakni

metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini adalah

penelitian tentang arsitektural, disini peneliti melihat setiap bangunan, melihat

setiap detail ruangnya bersama dengan informan maka peneliti membangun raport

(hubungan baik) supaya dengan begitu proses mencari data akan berjalan dengan

baik. Karena hubungan baik sangatlah penting selama proses penelitian

berlangsung, sebab kurangnya hubungan baik dengan informan maka data tidak

akan dapat secara menyeluruh.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

etnografi. Etnografi ditinjau secara harfiah berarti tulisan atau laporan tentang

bangunan gereja yang ditulis oleh peneliti atas hasil penelitian lapangan (field

work) selama di lapangan. Dengan tercapainya tujuan dalam penelitian ini, maka

mempermudah bagi peneliti untuk mengetahui bangunan gereja dari informan

yang diteliti saat itu karena sudah terjalinnya raport yang baik lebih awal.

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

21
1. Observasi

Observasi langsung ini dilakukan peneliti lebih kepada pengamatan secara

mendalam mengenai bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan

Peninggalan Kolonial Belanda (Studi Arsitektur Tradisional & Etno Disain).

Penelitian ini lebih banyak berfokus melakukan pengamatan arsitektur di mana

bentuk, struktur, fungsi, etno disain, dan cara membuatnya dipertahankan sejak

lama melalui proses pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga

saat ini. Ketika melakukan observasi, peneliti juga turut ikut serta dalam ibadah

pada hari minggu karena penting juga untuk melihat bagaimana suasana dalam

proses ibadahnya sendiri selain melihat dan mengamati langsung bagaimana

indahnya arsitektur dari gereja tersebut. Ketika observasi, peneliti melakukan

pendekatan kepada informan dari gereja tersebut seperti pendeta, penatua, koster

gereja, dan beberapa jemaat lainnya yang ada di gereja tersebut.

Di dalam Antropologi, pengamatan dilakukan tidak hanya dalam hal mlihat

tapi juga mendengar dan merasakan. Pengamatan yang baik adalah pengamatan

yang mampu melibatkan semua indera yang dimiiki manusia. Dengan melakukan

observasi akan membuat peneliti mampu mendapatkan fakta-fakta yang belum

tentu didapatkan dari buku referensi maupun wawancara. Penelitian dengan

metode observasi ini digunakan dalam rangka menerapkan pendekatan yang lebih

interaksi dan intensif antara peneliti dengan informan.

Melalui metode observasi langsung memungkinkan peneliti untuk dapat

melihat segala setiap sisi bangunan gereja, sehingga observasi memudahkan

peneliti mengamati segala hal yang dapat ditangkap oleh mata selama penelitian.

22
2. Wawancara

Wawancara ini serangkaian pertanyaan yang diajukan peneliti kepada

subjek penelitian. Peneliti melakukan wawancara kepada informan dari Gereja

GKI Sumut Medan. Tujuan peneliti melakukan wawancara untuk mendapat

informasi-informasi dari informan tentang Bangunan Gereja tersebut. Awalnya

peneliti menyiapkan interview guide untuk menanyakan apa-apa saja yang perlu

dipertanyakan kepada informan.

Awalnya pertanyaan-pertanyaan untuk informan direncanakan sebelum

melakukan wawancara, tetapi ketika wawancara berlangsung dengan suasana

yang baik, maka timbul pertanyaan-pertanyaan lain dari peneliti untuk menggali

informasi yang lebih mendalam. Dengan metode wawancara mendalam peneliti

dapat melakukan tanya jawab mengenai persoalan yang diteliti, yaitu mengenai

etno disain beserta fungsi dalam bangunan Gereja tersebut. Dengan demikian dari

seorang informan diperoleh informasi-informasi yang baru dan penting untuk

menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian ini. Jawaban-jawaban yang

disampaikan oleh informan menjadi modal penting di dalam pengumpulan data.

Peneliti melakukan wawancara untuk menggali lebih dalam mengenai

informan tentang suatu fenomena yang ada. Dalam melakukan tahap wawancara,

peneliti menerapkan beberapa persyaratan dalam memlih informan yang baik.

Dalam hal ini setidaknya mencari informan yang sudah terlibat langsung dalam

lingkupan gereja tersebut.

Kemudian informan yang memiliki waktu yang cukup ketika diwawancarai.

Sebelum memulai proses wawancara, peneliti terlebih dahulu menanyakan kapan

23
waktu senggang para informan. Hal tersebut peneliti lakukan untuk mendapatkan

informasi yang jelas dan lengkap dari para informan tanpa diburu waktu dan

peneliti menghindari untuk tidak menganggu waktu para informan bekerja

ataupun sedang beristirahat dari segala aktivitasnya. Biasanya para informan yang

peneliti wawancarai berlangsung pada pagi atau siang hari.

Peneliti juga menggunakan Teknik snow ball untuk memperlengkap data

informasi. Snow ball merupakan suatu Teknik sampling dimana sampel diperoleh

dari satu informan ke informan lainnya. Dalam penelitian ini, Teknik snow ball

sangat membantu peneliti dalam menemukan beberapa informan yang peneliti

butuhkan untuk mendukung penelitian. Pada awalnya peneliti menghubungi

nomor telepon bernama Bapak Anung, yang sudah diberikan sebelumnya ketika

saya berjumpa di gereja setelah ibadah. Kemudian ketika berada di gereja beliau

tersebut mengarahkan saya untuk menjumpai informan lainnya yang bernama

Bapak Jurnalis Buloeloe yang bertugas sebagai koster di gereja tersebut, lalu

setelah itu ada Bapak Em Nuran Ady Suyatno yang merupakan pendeta di gereja

itu juga. Setelah itu diarahkan menjumpai beberapa umat yang bernama Bapak

Elia Masa Ginting, setelah itu beliau tersebut memperkenalkan istrinya juga untuk

bersedia diwawancarai, ibu tersebut bernama Marsiria Sebayang. Lalu ada juga

jemaat yang sedang beribadah kemarin bernama Lusi Sigiro dan Ance Hutapea.

3. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi ini teknik pengumpulan data dengan menggunakan

catatan-catatan atau dokumentasi yang ada dilokasi penelitian Gereja tersebut.

Metode ini merupakan salah satu jenis metode yang sering digunakan dalam

24
metodologi penelitian sosial yang berkaitan dengan teknik pengumpulan datanya.

Karena sebagian besar fakta dan data sosial banyak tersimpan dalam bahan-bahan

yang berbentuk dokumenter termasuk gereja ini. Oleh karenanya ilmu-ilmu sosial

saat ini serius menjadikan studi dokumen dalam teknik pengumpulan datanya.

Diantaranya juga dokumen dan foto, peneliti akan menggunakan kamera sebagai

alat bantu untuk pengambilan foto setiap bentuk dan bagian-bagian Gereja baik

dari luar, dalam, bagian sisi kanan kiri depan belakang dan juga bagian bawa serta

atas gereja.

1.7 Pengalaman Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di Jl. K.H. Zainul Arifin

No. 124, Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan. Sebelum

peneliti memutuskan untuk mengangkat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut

Medan ini sebagai topik dalam penyusunan skripsi saya, maka sebelumnya

peneliti mulai mengikuti ibadah di gereja tersebut. Awalnya peneliti mencari dan

mengakses informasi yang berkenaan tentang gereja ini, baik dari lokasinya,

sejarah singkat gereja ini, gambar-gambar gerejanya dan Ketika itu pertama kali

mengikuti ibadah di gereja ini, peneliti sebelumnya terlebih dahulu melihat gereja

tampak dari luar nya. Jadi gereja ini lokasinya sangat strategis karena

berseberangan dengan Mall Sun Plaza Medan. Selain itu juga sangat dekat juga

dengan Kuil Hindu tertua yang bernama Kuil Shri Mariamman, kemudian dekat

dengan Rumah Sakit Umum Materna, Adimulia Hotel Medan, Masjid Agung, dan

Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara.

25
Peneliti memandang gereja ini tampak dari luar sangat unik dengan bangunan

ibadahnya yang berwarna putih dengan berciri khas bangunan kolonial Belanda,

tidak seperti tampak gereja pada umumnya di Indonesia. peneliti pun semakin

tertarik untuk mengangkat judul tersebut. Kemudian ketika memasuki ruang

ibadahnya, peneliti melihat komponen bangunannya seperti pintu masuk, jendela,

dan dindingnya, lalu furniture gereja tersebut seperti mimbar, bangku majelis,

bangku jemaat, lampu gantung dan lainnya yang sangat menarik untuk di pandang

oleh mata dan terkagum sekali dan merasa senang bisa melihat langsung keunikan

dari gereja tersebut. Dan penelitipun mengikuti ibadahnya sampai selesai. Ketika

ibadah pun selesai, peneliti sempat mengambil beberapa foto untuk di

dokumentasikan lebih lanjut. Setelah itu, mengelilingi gereja tersebut untuk

melihat bangunan apa saja selain bangunan ibadah tersebut, ada juga terdapat

Gedung Graha, Komplek Pastori dan Gedung kesekretariatan.

Ketika peneliti berjalan dan melihat gedung kesekretariatan lalu berjumpa

dengan Bapak Anung Gunawan selaku Penatua gereja. Peneliti pun

memperkenalkan diri dan bercerita mengenai gereja tersebut, lalu pada akhirnya

menyampaikan maksud dengan ingin mengangkat gereja tersebut menjadi topik

skripsi. Kemudian Pak Anung tentu saja memberi dukungannya dan langsung

memberikan nomor telepon agar bisa di hubungi mengenai kelanjutannya,

berhubung beliau sedang terburu-buru juga.

Pada bulan Juni 2020, peneliti mulai mencoba menghubungi bapak itu melalui

via telepon, dengan maksud untuk melakukan observasi lebih lanjut, dan bapak

Anung bersedia membantu dan langsung menawarkan dengan survei terlebih

26
dahulu ke gereja tersebut. Pada tanggal 24 Juni 2020, peneliti melakukan survei

dengan ditemani oleh beliau, ketika mengambil foto dalam setiap bagian - bagian

gereja nya, Bapak Anung pun turut menjelaskan setiap sisi bangunan gereja

tersebut. Kemudian sembari tanya jawab juga mengenai gereja tersebut. Awalnya

peneliti merasa canggung karena takut mengganggu aktivitas dan takut tidak

diterima untuk melakukan sedikit tanya jawab, tetapi peneliti harus memulai

untuk melakukan pendekatan-pendekatan yang baik agar beliau juga mau

membantu peneliti dengan cara memberikan informasi-informasi yang peneliti

butuhkan.

Kelanjutannya, pada 17 Januari 2021, peneliti juga melakukan observasi dan

wawancara dengan informan yang bernama Bapak Jurnalis Buloeloe, pekerjaan

beliau sebagai koster dan tinggal di lokasi gereja tersebut. Koster merupakan yang

bertanggung jawab atas kebersihan, keindahan, pemeliharaan dan kerapian

Gedung gereja dan sekitarnya, mempersiapkan ruangan yang akan di gunakan

untuk segala bentuk pertemuan dan membantu kegiatan di gereja yang sedang

berlangsung. Penulis pun mencoba menanyakan mengenai gereja tersebut. Peneliti

sangat bersyukur bahwsanya beliau sangat ramah juga.

Pada 24 Januari 2021, setelah selesai jam ibadah peneliti di arahkan oleh Pak

Anung untuk berjumpa dengan Bapak Pendeta Em. Nuran Ady Suyatno. Peneliti

sebelumnya terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan

tujuan. Kemudian Bapak Nuran dengan senang hati bersedia membantu peneliti

dengan melakukan wawancara. Peneliti pun bertanya mengenai gereja tersebut

baik dari sejarah, bentuk gereja dan simbol dari gereja tersebut.

27
Setelah selesai berbincang-bincang dengan Bapak Nuran, saya berjumpa

dengan beberapa umat di gereja tersebut. Yang bernama Bapak Elia Masa Ginting

dan juga Ibu Marsiria Sebayang. Pada waktu yang bersamaan peneliti berkenalan

dengan para beliau dan juga beberapa umat lainnya yang sedang duduk di teras

gereja. Peneliti turut ikut serta dalam perbincangan mereka dan sembari tertawa

bercanda ria dengan bapak dan ibu yang ada di teras tersebut. Peneliti sangat

senang karena mereka ramah dan terbuka sehingga memudahkan saya untuk

berbincang-bincang mengenai gereja dalam waktu yang lama juga.

Di dalam proses mentranskip hasil wawancara juga bukanlah hal yang sangat

mudah bagi peneliti, selalu mengulangi hasil wawancara yang direkam terdahulu.

Hal tersebut dikarenakan ada saja suara yang lebih keras dari suara informan.

Pengalaman sewaktu di lokasi penelitian ada yang menyenangkan dan ada

juga tidaknya tetapi apapun itu peneliti mencoba berusaha dan menikmati setiap

proses yang ada sebagai pengalaman hidup yang harus dijalani untuk

menyelesaikan skripsi. Pengalaman yang peneliti dapatkan sewaktu di lokasi

penelitian sangat banyak dan menambah pengetahuan tentang etno desain gereja

tersebut, dan juga apa saja elemen, struktur dan fungsi yang terbentuk dari

arsitektur Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan tersebut.

28
BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Lokasi Gereja Kristen Indonesia di Kota Medan

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Medan Sumatera Utara, yang dulu bernama

Gereformeerd Medan Sumatera Utara terletak di Jl. Zainul Arifin 124, Medan.

Gereja ini berada satu kompleks dengan rumah pendeta yang berada pada halaman

sebelah timur, gedung serbaguna gereja di sebelah timur laut, dan bangunan

kantor di sebelah utara. Halaman di sekeliling bangunan gereja yang ditanami

oleh pohon palem, cemara dan pinang merah. Di sebelah utara dan barat kompleks

Gereja ini terdapat perumahan penduduk. Di sebelah timur berbatasan dengan Jl.

Candi Biara dan sebelah selatan berbatasan dengan Jl. Zainul Arifin.

Letak Gereja ini berada di pusat kota Medan dan berdiri persis di depan Mall

Sun Plaza menjadi faktor pendukung bagi perkembangan gereja. Hal ini tentunya

dapat menarik perhatian bagi orang-orang yang ingin beribadah, misalnya para

pengunjung mall Sun Plaza, semula hanya menyempatkan diri beribadah atau

sebagai partisipan, namun karena pelayanan dan keramahan yang ditunjukkan

Gereja ini membuat mereka tertarik menjadi anggota gereja yang tetap. Kompleks

Gereja dikelilingi oleh pagar keliling yang terbuat dari besi. Halaman selatan

gereja berjarak 4,8 meter diukur dari pintu masuk utama sampai gerbang gereja.

Secara keseluruhan Gereja terdiri atas dua bangunan, yaitu bangunan depan

(utama) yang terletak di selatan dan bangunan yang terletak di sebelah utara.

29
Bangunan utama merupakan bangunan gereja yang digunakan untuk ibadah.

Bangunan ini berdenah persegi panjang dengan ukuran panjang 17 meter dan

lebar 8 meter, serta tinggi 12 meter dengan orientasi selatan-utara. Bagian utara

bangunan gereja berbentuk segi delapan yang digunakan untuk meletakkan

mimbar.

Bangunan belakang merupakan bangunan baru yang terdapat di bagian

belakang dan digunakan untuk keperluan kesekretariatan gereja. Bangunan ini

berbentuk persegi panjang dan berorientasi barat-timur. Bangunan ini memiliki

tiga ruang yang digunakan sebagai ruang kantor gereja, ruang pertemuan Majelis

gereja, dan gudang. Bangunan utama gereja dan bangunan belakang ini

dihubungkan oleh dua buah koridor. Dari empat buah bangunan di dalam

kompleks gereja, yang dijadikan data penelitian adalah bangunan gereja karena

bangunan ini yang digunakan untuk beribadah.

30
Gambar 2 Peta Lokasi Gereja Kristen Indonesia Di Kota Medan
Sumber : Dokumentasi Gereja

Keterangan :

A. Gereja Kristen Indonesia Sumut Medan


B. Lokasi Gereja Kristen Indonesia Di Kota Medan

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan merupakan gereja yang telah

berusia tua (16 Agustus 2021 berusia 106 tahun) dan anggota tercatat + 2.000

jemaat dengan kebutuhan pelayanan yang kompleks dan kegiatan yang sangat

banyak, keberadaan kantor dan kerumahtanggaan semakin dituntut untuk dapat

memberikan bantuan dan informasi yang cepat dan akurat.

31
2.2 Struktur Kerja dan Hubungan Kerja

Gambar 3 Struktur Kerja dan Hubungan Kerja


Sumber : Dokumentasi Gereja

Dari terkait penjelasan peran pelayanan yang dibutuhkan dan garis besar

tugasnya di gereja tersebut yang seperti yang terdapat pada gambar 3 diatas, disini

struktur dan hubungan kerja di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan

tersebut berjalan dengan sangat baik. Harus disadari bahwa lancarnya pelayanan,

komunikasi dan kegiatan gereja perlu ditunjang oleh adanya kinerja kantor,

kerumahtanggaan dan para pekerjanya. Di saat seseorang, baik anggota,

simpatisan maupun masyarakat, membutuhkan pelayanan, informasi dan bantuan

dapat diperoleh dari kantor gereja. Karena segala bentuk pelayanan, informasi dan

bantuan datangnya pertama-tama dari kantor gereja, karena kantorlah yang

pertama-tama dapat dijumpai dan pusat informasi awal kehidupan bergereja. Oleh

32
sebab itu, kantor harus ditunjang oleh pelayan yang memahami bidang kerjanya,

suasana kerja yang disiplin, dan suasana kantor yang tidak membuat orang enggan

untuk datang baik untuk bertanya, mendapat informasi dan bantuan pelayanan.

Karena itu dari sekian banyak anggota dipilih beberapa orang untuk diberi

kepercayaan memelihara dan mengembangkan gereja. Tetapi karena tuntutan

hidup sekarang membuat orang harus berpacu dengan kesempatan dan waktu,

membuat orang sulit (bukan berarti tidak bisa) berpikir dan bertindak diluar

pekerjaannya. Situasi seperti ini pun berimbas dan harus dihadapi oleh beberapa

orang yang dipilih dan dipercaya tersebut. Karena situasi seperti inilah maka

gereja pun perlu berpikir untuk mempekerjakan orang-orang secara profesional

menurut bidang pelayanan yang dibutuhkan.

Sebuah kantor dan kerumahtanggaan gereja diharapkan dapat menunjang

pelayanan dan dirasakan manfaatnya baik oleh anggota, simpatisan dan

masyarakat perlu ditunjang oleh pelayan yang memahami dan menguasai bidang

kerjanya serta ditunjang oleh etos kerja yang disiplin.

2.3 Visi dan Misi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan

Visi merupakan tujuan atau arah utama, maka bisa dikatakan misi adalah

suatu proses atau tahapan yang seharusnya dilalui oleh suatu lembaga atau

instansi atau organisasi dengan tujuan bisa mencapai visi tersebut. Di samping itu,

misi juga dapat diartikan sebagai suatu deskripsi atau tujuan mengapa sebuah

instansi atau organisasi berada di masyarakat. Berikut penjelasan visi-misi yang di

kemukakan oleh Febrina dan Gunawan ialah sebagai berikut :

33
2.3.1 Visi Gereja

Visi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan 2017 - 2021 : "Menjadi

Gereja yang Missioner bagi Kemuliaan Allah”, Secara makna dan tujuan visi ini

sudah bagus dan merupakan visi utama dan untuk pencapaiannya perlu tahapan-

tahapan yang harus dirinci sehingga memenuhi karakteristik visi (dapat

dibayangkan, menarik, realistis / dapat dicapai, fokus, aspiratif, dan mudah

dipahami). Peranan leadership dalam mengkomunikasikan visi sangat diperlukan,

bahkan komunikasi misi dan strategi lebih sering dari pada komunikasi visi,

sehingga visi kurang dikenal oleh warga, akibatnya misi dan strategi kurang

nyambung dengan visi.

a. Gereja Yang Missioner

Gereja yang misioner harus memperhitungkan realitas hidup dan konteks

masyarakat dimana gereja berada. Gereja yang misioner harus dipahami sebagai

suatu usaha jemaat yang berbeda-beda untuk mengadakan perubahan dalam segala

aspek kehidupan dan terutama misi membawa berita keselamatan melalui Yesus

Kristus.

Gereja ini memiliki tanggungjawab dan terus berupaya untuk

memfungsikan kehidupan keberagamaannya sebagai pembebas masyarakat dalam

konteks masing-masing, sehingga kehadirannya dapat menjadi berkat dan menjadi

gereja yang hidup serta mampu memberi jawaban terhadap segala persoalan yang

dihadapi oleh masyarakat tempat dia bertumbuh. Gereja tidak boleh tutup mata

dan tutup telinga terhadap segala persoalan kehidupan yang dihadapi oleh warga

jemaat.

34
b. Bagi Kemuliaan Allah

Kata mulia di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai tiga arti : (1)

Tinggi yang dikaitkan dengan kedudukan, pangkat, martabat; (2) Luhur yang

dikaitkan dengan budi dan (3) Bermutu tinggi, berharga yang dihubungkan

dengan logam. Namun “kemuliaan” juga mengandung arti keadaan mulia;

keluhuran; keagungan; kehormatan dan diasosiasikan dengan memuji Tuhan.

2.3.2 Misi Gereja

Misi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan 2017 – 2021 tidak

terlepas dari Tri Tugas Gereja, yaitu : Bersekutu (Koinonia), Bersaksi (Marturia)

dan Melayani (Diakonia) yang merupakan misi Allah bagi Gereja di tengah

dunia yaitu: Dalam perkembangannya ketiga tugas tersebut Tri Tugas Gereja

tersebut berjalan di dalam keseimbangan yang dapat digambarkan sebagai "Segi

Tiga Utama", yang melambangkan: (a) Keseimbangan misi gereja sebagai "Gereja

yang Misioner", dan (b) Tujuan akhir misi gereja, yakni "Kemuliaan Nama

Allah".

Misi 1 : Bersaksi Sebagai Penginjilan (Evangelization)

Misi 2 : Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Persekutuan dan Ibadah

(Worship)

Misi 3 : Melayani Sebagai Respon Atas Keselamatan Dari Allah

35
BAB III

DESKRIPSI GEREJA KRISTEN INDONESIA (GKI) SUMUT MEDAN

3.1 Sejarah Singkat GKI Sumut Medan

Gereja Kristen Indonesia Sumatera Utara atau dikenal sebagai GKI Sumut

Medan ialah suatu organisasi Gereja Kristen Protestan di Indonesia yang didirikan

untuk melayani wilayah Sumatera Utara. Gereja ini berhaluan Calvinis atau gereja

reformasi. GKI Sumut sebelumnya bernama Gereja Gereformeerd Sumatera

Utara, lahir dan berkembang sebagai hasil misi Gereja Gereformeerd Kwitang –

Jakarta tahun 1877. Beberapa pendeta yang aktif melayani pada waktu itu adalah

Pdt. Harrenstein, Pdt.J.H.Baving, Pdt.W.S.Wlersings. Arsitek gedung gereja ini

adalah Tjeerd Kuipers (1857-1942), kelahiran Friesland, Belanda. Kemudian pada

tanggal 11 September 1969 nama Gereformeerd Kerk berubah menjadi Gereja

Kristen Indonesia Sumatera Utara (GKI Sumut).

Kelompok pelayanan ini dimulai 1 Januari 1904 dan terus berkembang,

hingga pada tahun 1913 meluas daerah pelayanannya di wilayah Sumatera Utara

Bagian Utara dan Sumatera Barat. Saat itu di Medan terdapat 9 kepala keluarga

(KK), di Tapanuli 3 kepala keluarga, Sumatera Timur 14 kepala keluarga dan di

Sumatera Barat 7 kepala keluarga. Pelayanan yang semakin berkembang ini, pada

tanggal 16 Agustus 1915 dilembagakan tersendiri menjadi Perkumpulan

Gereformeerd (Gereformeerd Vereniging) dengan anggota lebih kurang 60 orang.

Tanggal 16 Agustus inilah yang sekarang diperingati oleh GKI Sumut Medan

sebagai Hari Ulang Tahun.

36
Gereja ini pernah dipimpin oleh Pendeta. C. Mak yang melayani sejak

tahun 1928 hingga tahun 1946. Ia menggantikan Pdt. W.S. Wiersings yang pindah

pada 1928. Pada masa pendudukan Jepang (1942 - 1945), Pdt. C. Mak masuk

Camp. Internir sebuah kamp militer di Belawan bersama tawanan orang-orang

eropa di bawah kekuasaan Jepang. Di kamp ini banyak di antara mereka yang

sakit atau meninggal karena kelaparan. Di antara mereka yang berhasil lolos dari

kamp militer tersebut kembali pulang ke negaranya masing-masing.

Di Sumatera Utara sendiri, pelayanan perkumpulan Gereformeerd terus

berkembang dan atas persetujuan Gereja Gereformeerd Kwitang Jakarta, pada

tanggal 12 Mei 1917 didewasakan dengan anggota berjumlah 130 orang dan 80

orang merupakan anggota Sidi. Dalam perkembangannya tanggal 15 Mei 1917

Majelis mengadakan Rapat bersama Jemaat untuk pemanggilan calon Pendeta,

yaitu Harrensteins dari Belanda. Karena kesulitan transportasi dan adanya

kecamuk peperangan di Eropa, Harrensteins tiba di Jakarta pada 29 September

1918, dan kemudian tiba di Medan pada 10 Oktober 1918. Pentahbisan

Harrensteins sebagai pendeta, dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober 1918

dilayani oleh Pdt. Rutgers . Pelayanan yang dilakukan oleh Harrensteins

mencakup wilayah Medan, Aceh, Tapanuli, Simalungun, Kisaran/Asahan,

Sumatera Barat bahkan sampai Semenanjung Malaya. Mengingat pelayanan Pdt.

Harrensteins sangat luas dan berat, maka pada tahun 1919 Majelis Gereja

memanggil Bp. Bavink menjadi tenaga pembantu Pendeta. Namun Pdt. Bavink

hanya bertugas hingga 1921, karena dipanggil untuk melayani Jemaat di Bandung.

Akibatnya Pdt Harrensteins kembali melayani sendiri hingga tahun 1923 dan

37
kembali ke Belanda karena kesehatan Ibu Harrensteins tidak memungkinkan

tinggal lebih lama di Indonesia.

Pdt Harrensteins digantikan oleh WS Wiersinga yang diteguhkan tanggal 1

Juli 1923 dan dia melayani hingga 1928. Karena dia pindah, dirinya digantikan

dengan C Mak yang melayani sejak 1928 hinggal 1946. Namun pada tahun 1942-

1945, dia masuk kamp intenir.

Pada tahun 1930 Gereja Gereformeerd Medan ini mengadakan pelayanan

berbahasa Indonesia / Jawa berkat kerjasama dengan Kristen Jawa Jakarta yang

mengatas namakan Gereja Kristen Jawa Tengah. Untuk pelayanan tahun 1932

dibangun rumah ibadah yang terletak di Jalan HOS Cokrominoto Medan, dulunya

disebut Jalan Percut. Dengan demikian Gereja Gereformeerd Medan

melaksanakan pelayanan dengan bahasa Belanda dan bahasa Indonesia / Jawa.

Tahun 1935, pelayanan meluas hingga ke Pematang Siantar. Tanggal 25

Desember 1938, diteguhkan 2 orang pendeta Indonesia, yakni Cokro Susilo dan

Dhanu Pronoto di Medan. Perkembangan jemaat pada waktu itu di Pematang

Siantar 81 orang dewasa, 51 orang anak-anak dan di Medan 91 orang dewasa dan

40 orang anak-anak.

Pada masa tahun 1957, Gereja Gereformeerd Medan berbahasa Belanda

ditutup dan pengelolaan diteruskan sepenuhnya oleh Gereja Gereformeerd Medan

berbahasa Indonesia / Jawa. Sejak tahun 1962 pelayanan kebaktian dilaksanakan

di Jalan K.H.Zainul Arifin, dulunya disebut Jalan Palang Merah. Sejumlah gereja

yang telah didewasakan adalah Jalan Gn. Simanuk-Manuk Pematang Siantar,

Jalan Sinabung Pematang Siantar, Kwala Bingai, Stabat, Langkat, Nagarejo,

38
Kecamatan Galang Deli Serdang, Tanjung Rejo Medan, Medan Timur dan

Kotarih Deli Serdang, Berastagi.

Setelah jemaatnya berkembang, maka pada 11 September 1969, Gereja ini

dilembagakan menjadi satu sinode yang berdiri sendiri dengan nama Gereja

Gereformeed Indonesia Sumatera Utara. Kemudian, pada Sinode tanggal 17-19

pada tahun 1974 diputuskan untuk berubah nama menjadi "Gereja Kristen

Indonesia Sumatera Utara" (GKI Sumut).

Seperti yang dikatakan oleh informan bapak Pdt. Em. Nuran Ady Suyatno :

“Gereja ini dibangun tahun 1917. Jemaat yang sewaktu itu belum
memakai gedung ibadah ini sudah ada secara resmi katakan sudah
berkumpul menjadi satu kesatuan persekuan kesaksian dan
pelayanannya tanggal 16 agustus 1915, jadi jangka waktu kurang
lebih 2 tahun kemudian baru punya rumah ibadah. Kalau baca
sejarah gereja, khususnya indonesia khususnya juga di Sumatera
Timur ini atau lebih tepatnya di kesultanan Deli ini tahun 1917 inilah
berdiri sebagai gereja yang namanya dulu gereformeerde, ini gereja
yang masih ada di Belanda. Melalui gereja yang masih ada di
Belanda inilah pada masa Belanda”

Pada tahun 1915, jemaat tersebut resmi berkumpul untuk melakukan

pelayanannya, setelah dua tahun kemudian dibangun gedung gereja tersebut

seperti sampai sekarang ini.

39
3.2 Bagan Pelayanan Dan Jemaat Gereja

Gambar 4 Bagan Pelayanan Jemaat


Sumber : Dokumentasi gereja

Bagan ini dibuat untuk menunjukkan di mana posisi kita sebagai gereja di

tengah masyarakat dan fungsi serta peran sebagai gereja. Bagan ini dibuat tidak

mengikuti struktur organisasi garis vertikal dan atau horizontal, tetapi model

konsentrik dengan bagian inti tengahnya dan semakin keluar jumlahnya semakin

banyak dan tetap berjenjang.

40
Seperti yang dikatakan oleh informan bapak Jurnalis Buloeloe:

“Gereja ini bersifat unik, kalau kita lihat dari fisik bangunannya tidak
terlalu besar dan jemaatnya yang multi suku. Jadi kebersaman dan
saling mengerti itu yang paling saya akui kalau saya alami di gereja
ini. Jadi tidak menonjolkan pribadi lepas pribadi. Jadi gereja GKI ini
bersifat sederhana baik dalam segi pakaian tidak mencolok sekali,
yang artinya misalnya orang kaya dengan gaya yang mewah dan
tidak memandang latar belakang yang berbeda. Jadi disini siapapun
dia dan suku apapun dia kita bersama-sama karena pelayanan itu
yang penting. Jemaat yang bergereja disini sekitar 250 KK, dan
simpatisan juga banyak di gereja ini karena letaknya yang sangat
strategis. Ibadah biasanya ada 4 sesi, tetapi karena covid, Cuma
sekali pada jam 09.00 pagi. Kapasitas nya di ruang ibadah ini sekitar
menampung 130 orang, ketika tidak muat lagi selebihnya masuk ke
ruang Graha namanya, makanya kita pake infocus, jadi tetap sama
ibadahnya berjalan.

Gereja Kristen Indonesia Sumatera Utara, yang selanjutnya disebut GKI

Sumut, merupakan salah satu gereja anggota Persekutuan Gereja-gereja

Indonesia (PGI) yang terdapat di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Anggota

jemaat gereja ini mempunyai latar belakang suku, antara lain : Batak Toba,

Simalungun, Karo, Minang, Jawa, Ambon, Toraja, juga Tionghoa. Dan anggota

tercatat + 2.000 jemaat dengan kebutuhan pelayanan yang kompleks dan kegiatan

yang sangat banyak, keberadaan kantor dan kerumahtanggaan semakin dituntut

untuk dapat memberikan bantuan dan informasi yang cepat dan akurat. Berikut

penuturan oleh informan bapak Pdt. Em. Nuran Ady Suyatno:

“Ciri khas gki ini yang membedakan independency ini ditekankan.


Pelaksaan pelayanan gereja ini diatur oleh para penatua diaken
pendeta jadi satu kesatuan yang memang melaksanakan pelayanan.
Jadi kita independent, tapi tidak menutup kerja sama yang lebih luas.
Dan yang kedua keterbukaan dalam gereja, jadi di gereja ini ada
transparansi dalam anggaran apapun”

41
Gereja ini bersifat independency dan keterbukaan. independency ini diatur

langsung oleh para penatua, diaken, dan pendeta. Sedangkan keterbukaan yang

dimaksud dalam transparansi anggaran dalam gereja. Pada hakekatnya, wilayah

pelayanan gereja ini mencakup seluruh wilayah Kota Medan, karena tersebarnya

tempat tinggal jemaat, dari Belawan hingga Tanjung Mowara, dari Kampung

Lalang hingga Tembung. Dalam pelayanannnya gereja tersebut dibagi kedalam 5

(lima) wilayah pelayanan yang meliputi hampir seluruh wilayah.

Sebagai gereja yang terpanggil untuk melayani dan menjadi berkat, perlu

pengaturan kerja yang teratur untuk pelayanan itu sendiri. Karena itu, di bagan ini

diatur demikian: Majelis Jemaat berada di lingkaran paling kecil, karena dia

dipilih dan dipercaya di antara sekian banyak anggota untuk membina dan

memperlengkapi anggota untuk makin mengenal, dekat dengan Tuhan dan tahu

kehendak-Nya. Boleh dikatakan bahwa Majelis Jemaat merupakan sebagai dari

roda kehidupan bergereja. Karena tanggung jawabnya pada gereja dan kesibukan

kesehariannya di tengah masyarakat dan kehidupan pribadi, maka dia

membutuhkan orang-orang yang dapat membantu memperlancar tanggung jawab

pelayanannya. Karena itu dipekerjakan secara profesional beberapa orang sesuai

bidang kebutuhan pelayanan, dengan tanggung jawab imbal jasa/gaji dari jemaat.

42
3.3 Tahapan Pembangunan Gereja GKI Sumut Medan

Gereja Kristen Indonesia Sumatera Utara Medan (GKI Sumut Medan), yang

terletak jalan K.H. Zainul Arifin No. 124 Medan pada mulanya tumbuh dari

kelompok yang terdiri atas beberapa orang anggota Gereja Gereformeerd Kwitang

Jak arta. Kelompok ini dimulai tanggal 1 Januari 1904 dan terus berkembang,

hingga pada tahun 1913 meluas daerah pelayanannya di wilayah Sumatera Utara

Bagian Utara dan Sumatera Barat. Di Medan terdapat 9 kepala keluarga (KK), di

Tapanuli 3 kk, Sumatera Timur 14 KK dan di Sumatera Barat 7 KK. Pelayanan

yang semakin berkembang ini, pada tanggal 16 Agustus 1915 dilembagakan

tersendiri menjadi Perumpulan Gereformeerd (Gereformeerd Vereniging) dengan

anggota lebih kurang 60 orang. (Tanggal 16 Agustus inilah yang sekarang

diperingati oleh GKI Sumut Medan sebagai Hari Ulang Tahun). . Rapat Jemaat

pertama kali dilaksanakan pada 24 Oktober 1915. Untuk pembinaan, Majelis

Gereja Gereformeerd Kwitang Jakarta menugaskan W.S. de Haas sebagai Pendeta

Utusan.

WS. de Haas datang di Medan pada Juni 1916, atas permintaan Majelis

Batavia datang lagi untuk kunjungan diaspora. Meeuwse, seseorang anggota

Gereformeerd Vereniging, sudah membuat jadwal untuknya yang cukup padat.

WS. de Haas mempunyai pendapat, ia berpendapat lebih baik kalau pendeta yang

ingin dipanggil, hanya melayani Sumatera Bagian Utara, sedangkan Sumatera

Bagian Selatan lebih baik dilayani dari Batavia.

43
Tahun 1914 diadakan Sidang Sinode di Belanda. Pada sidang itu, Gereja

Batavia mengusulkan penempatan pendeta yang ketiga, yang bisa berpindah-

pindah. Dan Sinode 1914 memutuskan panitia untuk meneliti hal itu dan dua

anggota Gereformeerd Vereniging, yaitu P.A. Colijn dan J.Hogervorst berbicara

dan dapat meyakinkan panitia, bahwa pendeta itu harus ditempatkan di Medan.

Demikian juga diusulkan untuk mendewasakan gereja secepat mungkin dan

memanggil seorang pendeta. Sinode 1917 bisa memutuskan tentang subsidi. P.A.

Colijn dan J.Hogervorst juga mengumpulkan dana f 8000 untuk pembangungan

gedung gereja. Satu saudara berjanji bahwa kalau pembangungan ini memang

terjadi, ia akan memberikan f 2500.

1. Gedung Gereja

Pada tanggal 28 Februari 1917, yaitu sebelum pendewasaan, Gereformeerde

Vereniging telah memutuskan untuk pembangunan gedung gereja. Menurut data

dari dokumen gereja anggaran yang direncanakan berjumlah f 30.000, dari mana

f 16.700 untuk gereja. P.A. Colijn dan J.Hogervorst membawa f 8.100 dari

Belanda. Totalnya terkumpul f 15.910 sehingga gereja bisa dibangun tanpa

hutang. Untuk Pastori gereja akan meminjam uang atas bunga 6%. Langsung di

rapat ada f 10.250 yang dipinjamkan. Sultan Deli menyumbangkan tanah yang

luas, yang harganya f 12.000, hal ini dapat terwujud dengan perantaraan gubernur.

Banyak pemasok memasokkan barangnya dengan harga yang murah. P.A. Colijn

menghitung bahwa harga sebenarnya sampai f 50.000. Arsitek Tjeerd Kuipers dari

Belanda memberi gambar rencana dan pada tanggal 26 Mei 1918 dilakukan

penahbisan gedung gereja. Sangat menarik adalah kerjasama para petinggi.

44
Pada tanggal 26 Mei 1918 gedung gereja dipakai untuk pertama kalinya. Hari

berikut, hari Minggu, diadakan 3 (tiga) kali kebaktian. Pertama, pada pukul 09.00

diadakan upacara peresmian yang khidmat, pada saat itu hadir Gubernur,

Assisten-Residen, Wali kota dan Sekretaris Kota.

Gambar 5 Komplek Gereja Gereformeerde (1918)


Sumber : Dokumentasi Gereja

De Gereformeerde Vereniging minta bantuan pada gereja Batavia, dan

dengan senang hati bantuan yang diminta diberikan. Majelis gereja Batavia setuju

pendeta diaspora akan tinggal di Medan. Sebagai penghargaan, majelis gereja

Batavia memberikan sebuah Alkitab Terjemahan Lama kepada kring di Medan.

Kemudian klasis Den Haag memberi izin.

Pentahbisan Harrensteins sebagai pendeta, dilaksanakan pada tanggal 13

Oktober 1918 dilayani oleh Rutgers. Gereja Gereformeerd Perdana di Sumatera

diakhiri dengan datangnya Harrenstein dan pendirian sekolah Kristen di Medan.

Harrenstein merupakan perintis pelayanan diaspora. Wilayah pelayanannya

45
sangat luas, yaitu : wilayah Medan, Aceh, Tapanuli, Simalungun, Kisaran/Asahan,

Sumatera Barat bahkan sampai Semenanjung Malaya.

Setelah Harrensteins pindah, digantikan oleh W.S. Wiersings, yang

diteguhkan pada 1 Juli 1923 dan beliau melayani hingga tahun 1928. Wiersinga

melayani sebagai kandidat pendeta terlebih dahulu. Pada 13 Juni 1923 ia diuji

oleh beberapa pendeta, dan mereka sangat memberikan penilaian yang positif,

hingga H.A. Wiersinga diterima sebagai pendeta.

Sebagai Gereja Gereformeerd pertama di luar Jawa, gereja di Medan

mempunyai peran yang sangat penting dalam melayani jemaat diaspora yang

tersebar. Karena jemaat yang semakin banyak, sangat sulit mengunjungi mereka

dua kali setahun seperti yang direncanakan. Laporan visitasi 1927 tentang

kehidupan gerejawi di Medan sangat positif, dalam kurun waktu 6 bulan jumlah

orang yang kebaktian naik 30% Dan di Pematang Siantar juga sudah mulai

terbentuk „kring‟ atau kelompok , yang berkumpul setiap 2 minggu sekali.

2. Pengembangan Pelayanan : Berbahasa Belanda dan bahasa

Jawa/Indonesia

Pada 1930, Gereja Gereformeerd Medan mengadakan pelayanan

berbahasa Indonesia/Jawa berkat kerjasama dengan Gereja Kristen Jawa Jakarta

yang mengatas namakan Gereja Kristen Jawa Tengah, untuk sarana Pelayanan,

pada tahun 1934 dibangun rumah Ibadah yang terletak di Jl. H.O.S. Cokroaminoto

Medan, yang dahulu dikenal dengan nama Jalan Percut. Sejak saat itu Gereja

Gereformeerd Medan melaksanakan pelayanan kebaktian dengan bahasa Belanda

46
dan bahasa Jawa/Indonesia. Pada tahun 1935 pelayanan meluas ke Pematang

Siantar. Pada tanggal 25 Desember 1938, diteguhkan 2 (dua) orang Pendeta

Indonesia, yakni Pdt. R.Samuel Tjokrosoesilo dan Pdt R.Mardoyo Danupranoto

di Medan. Perkembangan Jemaat pada waktu itu tercatat di Pematang Siantar

terdiri dari 81 jemaat dewasa dan 51 jemaat anak-anak, sedangkan di Medan 91

jemaat dewasa dan 40 jemaat anak-anak. Pada masa pendudukan Jepang, 1942 –

1945, gereja Gereformerd Medan berbahasa Belanda di tutup sementara,

pelayanan berbahasa Jawa masih tetap berjalan, dan tahun 1946 pelayanan dibuka

kembali.

3. Era Baru : Pelayanan Berbahasa Belanda Di tutup (1952)

Pada tahun 1957 gereja Gereformeerd Medan berbahasa Belanda di tutup,

dan pengelolaan diteruskan sepenuhnya oleh gereja Gereformeerd Medan

berbahasa Jawa/Indonesia. Alasan penutupan adalah situasi politik terhadap

Belanda yang tidak memungkinkan melanjutkan pelayanan di Indonesia.

Pelayanan dan kerjasama dengan tenaga Pendeta terjalin kembali pada tahun

1962, yaitu dengan diutusnya Pdt. K.L.F. Le Grand sebagai tenaga pengkaderan.

Sejak tahun 1962, pelayanan kebaktian dipusatkan di Jl. K.H. Zainul Arifin,

dahulu Jl. Palang Merah, sedangkan kegiatan Jl. HOS Cokroaminoto ditiadakan

dan baru dibuka kembali pada tanggal 4 Juni 1989 untuk kebaktian sore.

Purnohadikawahyo terpanggil menjadi pendeta utusan di wilayah Sumatera

Utara yang berkedudukan di Medan (dahulu Jl. H.O.S. Cokroaminoto no. 26

kemudian pindah ke Jl. K.H.Z. Arifin No. 124). Saat itu, kondisi jemaat di Medan

masih berupa kelompok, belum memiliki kemajelisan, dengan nama Gereja

47
Kristen Jawa (GKJ). Namun, dalam pelayanan tetap juga diselingi dengan bahasa

Indonesia. Pada 11 September 1969 terbentuklah satu wilayah sinode yakni

Sinode Gereja Kristen Sumatera Utara (GKI Sumut).

Sebagaimana para pendeta / penginjil pendahulunya, Pdt. S.E.

Purnohadikawahyo diutus Zending ke Sumatera Utara mengemban tugas untuk

mencari, menghimpun dan melayani suku Jawa kontrak yang dipekerjakan di

perkebunan-perkebunan oleh Belanda pada masa Kolonial di Sumatera Utara.

Beliau menjalani masa pensiun (emeritus) tahun 1974.

4. Perubahan Nama

Salah satu keputusan penting Sidang Sinode II (Kedua) tahun 1974 yang

dilaksanakan di Medan adalah perubahan nama Gereja Gereformeerd Sumatera

Utara, menjadi Gereja Kristen Indonesia Sumatera Utara atau sering disingkat

GKI Sumut. Sesuai dengan keputusan tersebut maka sebutan untuk gereja lokal

juga mengalami perubahan, demikian juga GEREJA KRISTEN SUMATERA

UTARA MEDAN disingkat GKI Sumut Medan.

48
BAB IV

ARSITEKTUR DAN ETNO DESAIN

GEREJA KRISTEN INDONESIA (GKI) SUMUT MEDAN

4.1 Komponen Dasar Bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut

Medan

4.1.1 Denah dan Fondasi

Bangunan berukuran 17 meter x 8 meter dengan tinggi sekitar 12 meter

dan bergaya modern Eropa ini bangunannya berangka beton bertulang, dinding

bata, beratap genteng, dan lantai ubin. Bangunan utama gereja memiliki denah

berbentuk persegi panjang dan simetris. Bagian tengah adalah nave yang diapit

oleh aisle tunggal (satu lajur) di kiri dan kanan. Bangunan Basilika yang berdenah

persegi panjang menjadi pilihan model bangunan ibadah karena tata ibadah agama

Kristen menekankan pada prosesi yang berlangsung melalui ruang jemaat menuju

ke altar sebagai klimaksnya. Sedangkan ruang mimbar gereja berdenah poligonal

(segi banyak) yaitu segi enam. Bentuk poligonal ini tidak banyak ditemukan pada

gereja-gereja Protestan di Indonesia. Kebanyakan denah ruang mimbar yang

digunakan adalah berbentuk persegi empat.

49
Gambar 6 Denah Rumah Ibadah
Sumber : Dokumentasi gereja

Keterangan :

Bangunan gereja yang beorientasi utara-selatan ini juga dipengaruhi oleh

keadaan tropis di Indonesia. Apabila fasade ( sisi luar bangunan) bangunan berada

di bagian selatan atau utara maka akan menerima lebih sedikit panas dan cahaya

matahari. Tetapi apabila fasade bangunan berada di bagian barat atau timur maka

akan sebaliknya. Oleh karena itu faktor orientasi bangunan ini ikut mempengaruhi

kenyamanan di dalam bangunan.

50
Pengertian fondasi adalah bagian bangunan yang menghubungkan

bangunan gereja dengan tanah tempat di mana bangunan didirikan. Fondasi

bangunan gereja berfungsi sebagai struktur yang menerima dan mengalihkan

beban bangunan ke tanah. Teknik pembuatan fondasi bangunan ini adalah teknik

tidak langsung, yaitu teknik pembuatan fondasi yang sebagian tubuh fondasi

dipendam di dalam tanah. Secara teknis fungsi fondasi ini adalah agar beban

bangunan tidak langsung diterima atau disangga oleh permukaan tanah, melainkan

penerimaan atau penyanggaan beban akan dibantu oleh bagian fondasi yang

diperkeras didalam tanah. Selain peran teknis tersebut, fondasi ini juga

mempunyai peran non-teknis, yaitu struktur fondasi massif yang tebal, tinggi dan

padat member kesan suatu kemegahan dan kekuatan bagi dindingnya.

Pada umumnya bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial

mempunyai fondasi masif (kokoh). Kesan kokoh dapat dilihat dari bentuknya

yang tinggi (dari permukaan tanh), ketebalan dan kepadatan bahannya.kesan

kokoh ini terlihat pada gereja dan bangunan-bangunan lain yang dibuat pada

zaman kolonial.

4.1.2 Tiang

Bentuk-bentuk tiang pada suatu bangunan sangat tergantung kepada gaya

seni bangunan yang diterapkan. Struktur tiang-tiang bergaya seni bangunan Eropa

disebut order, yaitu komponen bangunan yang terdiri dari dasar (base), batang

tiang, mahkota tiang dan penghubung antara tiang (entablature). Tiang-tiang

berbentuk balok yaitu berbentuk empat persegi pada dasarnya. Tiang-tiang ini

secara teknis berfungsi sebagai struktur yang menopang konstruksi atap pada

51
tuang nave. Fungsi non-teknis t iang-tiang ini adalah sebagai pembatas, nave dan

aisle.

Bidang yang menghubungkan antar tiang-tiang balok berbentuk lengkung.

Di dalam sejarah gaya seni bangunan Eropa, bentuk lengkung pertama kali

digunakan sebagai unsur bentuk bangunan pintu gerbang kerajaan, yaitu tempat

berlalu lalangnya para pasukan lengkap dengan kuda-kuda dan kereta perang

mereka. Pelengkung pada arsitektur Romawi menjadi salah satu bagian yang

penting karena dapat berfungsi untuk menggantikan kolom dan balok dalam

membangun bangunan-bangunan yamg tinggi dan besar. Pelengkung atau arch

merupakan bentuk lengkung yang juga terdapat pada pintu atau jendela.

Pada bangunan gereja tersebut, bentuk lengkap ini mendominasi semua

pintu dan jendela baik itu di tingkat I maupun di tingkat II. Sedangkan pelengkung

yang berfungsi menggantikan kolom dan balok berada di tingkat I dengan bentuk

yang sama. Pelengkung – pelengkung ini juga berfungsi sebagai pembatas ruang –

ruang. Misalnya saja tiga buah pelengkung yang memisahkan narthex dengan

ruang di kiri – kanannya dan memisahkan dengan nave. Selain itu masih terdapat

10 (sepuluh) pelengkung lain yang terletak di sisi kiri dan kanan ruang ibadah

sebagai pemisah antara nave dan aisle. Kesepuluh pelengkung ini dibentuk oleh

tiang – tiang balok yang berderet.

52
Gambar 7. Tiang
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Bentuk tiang gereja berukuran lebih kecil dibandingkan dengan tiang-tiang

pada bangunan Eropa. Hal ini disebabkan ukuran bangunan gereja ini juga tidak

sebesar bangunan-bangunan yang dibangun pada zaman Kolonial. Dari

perbandingan tersebut dapat diambil suatu gambaran bahwa arsitektur atau

perancang bangunan gereja hanya ingin menonjolkan pengaruh (dominasi) gaya

seni bangunannya melalui tiang-tiangnya yang disusun berderet di bagian

samping kanan dan kiri bangunan gereja. Pemakaian gaya seni bangunan yang

ditunjukkan melalui tiang-tiang itu lebih ditekankan kepada unsur bentuk, tetapi

tidak ditampilkan pada segi (faktor) ukurannya. Jumlah tiang disesuaikan dengan

berat beban yang ditopang agar tidak terlalu berat, sehingga setiap tiang

menopang beban berat yang sama atau merata.

53
4.1.3 Dinding

Bagian badan bangunan memiliki hubungan yang erat dengan struktur

penyangga beban di atasnya. Ada dinding yang berfungsi struktural sebagai

penopang bagian atas dan ada juga dinding yang hanya berfungsi sebagai

pembentuk dan penutup ruangan. Pada bangunan gereja hanya terdapat dinding

yang secara struktural berfungsi sebagai penyangga bagian atas, yaitu penyangga

langit-langit dan atap. Langit-langit bangunan gereja yang terbentuk lekungan

menyebabkan dinding bagian dalam bangunan ada yang mempunyai bentuk

melengkung.

Dinding bangunan gereja yang tinggi dengan ketebalan ± 20 cm menjadikan

bangunan gereja tetap nampak kokoh dan mampu bertahan dalan waktu cukup

lama. Dinding yang tebal dan padat ini juga dimaksudkan untuk mengurangi

tingkat kebisingan yang berasal dari luar bangunan. Dengan tingkat kebisingan

yang kecil akan mengurangi pengaruh buruk terhadap suara-suara di dalam

ruangan, terutama bila sedang berlangsung ibadah.

Struktur dinding bangunan gereja yang tebal dan tinggi memungkinkan untuk

menunjang komponen-komponen bangunan lainnya yang juga terdapat

(ditempatkan) di dinding, seperti struktur-struktur pintu dan jendela yang masing-

masing berukuran besar. Kadang-kadang terdapat pula bentuk jendela dan pintu

semu, yaitu berupa suatu pahatan atau bagian dari hiasan dan bukan merupakan

lubang dari dinding. Balkon yang terdapat dibagian depan (selatan) bangunan

gereja sebagian bebannya juga disangga oleh struktur dinding.

54
Seperti yang dikatakan oleh informan bapak Jurnalis Buloeloe:

“Kalau dinding nya tetap cuma yang berubah cat dindingnya. Kalau
dulu cat dindingnya warna putih polos sekarang menjadi warna
kuning. Jadi karena ini masih asli dari zaman kolonial, kualitasnya itu
luar biasa dari 105 tahun yang lalu. Jadi perubahan di gereja ini
tidak signifikan, kita hanya melakukan perawatan. Gereja kita untuk
fisiknya tetap seperti dulu,tidak berubah”

Ketika pada awalnya gereja GKI ini dibangun, dindingnya tetap saja tidak

ada perubahan kecuali di warna cat dinding dalam ruang ibadah. Jadi dulu cat

dindingnya berwarna putih polos, dan sekarang terjadi perubahan menjadi warna

kuning dengan coraknya.

4.1.4 Atap

Bangunan gereja tersebut merupakan salah satu bangunan yang memakai

konstruksi atap tradisional Indonesia, yaitu konstruksi atap miring. Konsep

konstruksi atap tradisional (miring) adalah bentuk atap yang dilapisi rumbia atau

sirap. Kemudian bahan rumbia atau sirap ini digantikan oleh orang-orang

pendatang dari Eropa, khususnya orang-orang Belanda, dengan menggunakan

bahan genteng. Atap miring juga dimaksudkan agar ketika hujan maka air hujan

akan turun ke bawah. Pembuatan atap pada bangunan gereja ini juga mengikuti

prinsip atap dingin yang digunakan pada daerah- daerah tropis. Prinsip ini adalah

pembuatan atap dua lapis (lapisan struktur penutup atap dan lapisan langit-langit)

yang membantuk ruangan sehingga terdapat rongga atau bantalan udara di antara

kedua lapisan tersebut. Prinsip ini yang akan mendinginkan ruangan dibawahnya.

55
Gambar 8 Atap kombinasi
(Sumber : Dokumentasi gereja)

Konstruksi atap bangunan gereja merupakan atap kombinasi yang terdiri

dari atap limas, atap pelana, dan bentuk poligonal.

Atap pelana

Atap limas

Gambar 9 . Atap berbentuk limas dan atap berbentuk pelana


Sumber : Dokumentasi gereja

56
Atap bentuk limas, berorientasi utara-selatan dan merupakan atap yang

menaungi ruangan ibadah/bangunan utama. Atap bentuk pelana terdapat pada atap

dinding samping (barat-timur) bangunan utama. Sedangkan atap bentuk poligonal

(segi enam) merupakan atap yang menaungi ruang mimbar (utara) Atap ini

mengikuti bentuk ruang mimbar yang berdenah segi enam. Penutup seluruh

bangunan gereja terbuat dari bahan genteng berwarna coklat tua.

Kemiringan bentuk atap yang relatif curam dimaksudkan agar dapat

mengalirkan curahan air hujan dan agar memungkinkan mendapatkan cahaya

sinar matahari setiap waktu. Selain itu, bidang-bidang segi tiga juga dihubungkan

dengan sebuah kerangka lurus yang dibentangkan dari depan ke belakang atau

sebaliknya, sehingga keseluruhan konstruksi atap dapat berdiri tegak dan kuat.

Bagian terbawah konstruksi atap dan bagian puncak dinding-dinding terdapat

langit-langit yang berfungsi sebagai komponen yang menahan panas matahari

yang datang dari konstruksi atap.

Konstruksi atap pelana berada di dinding samping (barat-timur) bangunan

utama. Konstruktur atap pelana terbentuk dari susunan kerangka segi tiga yang

juga disusun berjajar. Secara teknis pembuatan kontruksi atap pelana (atap

kampung) tidak berbeda dengan konstruksi atap limas, yang membedakan

keduanya hanya pada konstruksi bidang penutup atap, dimana konstruksi atap

pelana hanya ada dua yang berbentuk persegi empat. Langit-langit pada bangunan

gereja berbentuk lengkungan. Pada ruang mimbar langit-langitnya berbentuk

kubah (dome). Bentuk kubah pada langit-langit ruang mimbar bangunan gereja

dan dipadukan dengan denah ruang ibadah yang berbentuk empat persegi panjang,

57
yang intinya adalah bentuk kubah dianggap lebih suci dibandingkan empat

persegi. Oleh karena itu ruang mimbar diberi langit-langit berbentuk kubah.

4.1.5 Pintu

Pintu adalah komponen yang dapat digerakkan dan merupakan penutup

bagian yang terbuka pada suatu bangunan. Fungsi utama pintu adalah sebagai

jalan masuk dan keluar bangunan, sedangkan fungsi lainnya adalah sebagai

pelindung, terutama ruang dalam bangunan dari cuaca buruk dan sebagainya.

Semua pintu terbuat dari kayu, yang terdiri dari dua macam, yaitu :

berdaun pintu ganda dan berdaun pintu tunggal. Pintu-pintu ini memiliki tingkat

kerapatan yang cukup memadai untuk menahan dan mengurangi kebisingan dari

luar ruangan, karena daun-daun pintunya terbuat dari papan kayu yang tebal.

Secara non-teknis, pintu besar dan tebal yang dipadukan dengan bentuk kusen

yang tebal dan juga untuk mengimbangi formasi dinding-dinding bangunan gereja

yang tebal, tinggi dan kokoh.

4.1.6 Jendela

Jendela bangunan gereja ini terdiri atas jendela-jendela yang berukuran

besar dan berbentuk persegi panjang dengan ambang atas melengkung.

Keseluruhan bentuk jendela dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu: Jendela

berdaun kaca gelap, dan jendela yang berdaun jendela kaca-kaca bening. Jendela

berdaun jendela kaca gelap diletakkan di setiap sisi banguan utama, sedangkan

jendela berdaun jendela kaca bening merupakan clerestory yang diletakkan di

dinding balkon. Pengunaan kaca gelap dimasukkan untuk sedapat mungkin

58
mengurangi intensitas panas sinar matahari yang masuk ke dalam bangunan.

Tetapi cahaya matahari masih dapat masuk ke dalam bangunan melalui jendela

berderet yang berdaun kaca bening.

Gambar 10. Clerestory


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Penempatan jendela berderet di sisi selatan pada bagian balkon,

dimaksudkan agar cahaya matahari yang menembus masuk memberikan siluet

indah di sisi dalam. Tiga jendela berderet seperti ini dapat juga ditemui pada

Gereja Kwitang Jakarta,yaitu jendela yang berada di atas pintu masuknya. Seperti

yang dikatakan dari informan yang bernama Pak Anung Gunawan, begini:

“Ada menurut tokoh Heuken, tiga buah jendela seperti ini itu ada
artinya mempunyai pengertian menunjuk kepada Allah Tri Tunggal.
Selain itu juga memberi makna bahwa Kristus sebagai Sang Matahari
rohani yang menerangi umat Kristiani. Jadi ini merupakan pokok
penting dari gereja GKI Sumut Medan ini.”.

59
4.1.7 Lubang Angin/Ventilasi

Lubang angin/ventilasi adalah sebuah komponen yang membantu sirkulasi

udara di dalam bangunan. Lubang angin/ventilasi terdapat pada hampir seluruh

bagian atas pintu dan jendela. Ada dua jenis lubang angin yang terdapat pada

bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan yaitu :

1. Berbentuk deretan persegi panjang, ada lima buah dan hanya dijumpai di

dinding samping bangunan (barat-timur) yaitu di bagian bawah dinding.

Gambar 11 Lubang angin deretan persegi panjang


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

2. Berbentuk tiga lingkaran, dua buah di dinding depan bangunan (selatan)

dan tiga buah di dinding samping bangunan (barat-timur) yang terletak di

atas jendela.

Gambar 12 Lubang angin berbentuk tiga lingkaran


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

60
4.2 Ruang Di Bangunan Ibadah

Bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan ini dilakukan secara

sistematika sebagai berikut bangunan gereja ini dibagi menjadi dua bagian secara

vertikal, yaitu bangunan ibadah dan menara. Bangunan ibadah dibagi menjadi tiga

bagian secara horizontal, yaitu ruang jemaat, narthex, dan ruang mimbar. Menara

dibagi menjadi dua bagian secara vertikal, yaitu bagian bawah menara dan bagian

atas menara.

Gambar 13 Tampak Keseluruhan Bangunan Ibadah


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Bangunan ibadah gereja ini digunakan sebagai ruang jemaat dan ruang

mimbar. Ada lima buah pintu dan 14 (empat belas) buah jendela pada bangunan,

dua buah berada di samping (timur dan barat) bangunan, dan dua buah lagi berada

di belakang (utara) bangunan.

61
Gambar 14 Tampak Samping
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.2.1 Narthex

Narthex atau pintu masuk atau lobi berbentuk persegi empat dengan

ukuran panjang 3,38 m dan lebar 2,74 m. sebuah lemari untuk menyimpan buku

kidung pujian diletakan pada ruangan ini. Lantai pada ruangan ini terbuat dari

bahan ubin dengan motif abstrak berukuran 32 x 32 cm. pintu masuk utama

terletak di dinding selatan narthex dan dua buah pintu masing – masing di

dinding samping narthex. Pintu utama bangunan ini berukuran tinggi 2,25 m lebar

1,92 m merupakan pintu berdaun ganda terbuat dari bilah kayu-kayu kecil

berwarna coklat dan disusun sejajar. Di atas pintu utama diapit oleh dua pasang

pilaster setinggi 178 cm. Di sisi kiri dan kanannya terdapat sebuah jendela

berbentuk persegi panjang yang ujung atasnya melengkung.

62
Gambar 15. Tampak Dalam Pintu masuk utama (kiri) dan tampak luar
(kanan)
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)
Pada ruangan ini terdapat sebuah tangga menuju balkon (ruangan pemain

musik dan paduan suara) yang berada di lantai 2 dan dibuat dari kayu. Tangga

membelok sehingga membentuk huruf „S‟ dan memiliki 15 anak tangga yang

masing-masing anak tangganya berukuran panjang 68 cm serta jarak tiap-tiap

anak tangga yang satu dengan yang diatasnya adalah 17 cm.

63
Gambar 16. Tangga Menuju Balkon
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Pintu di dinding samping ukurannya tidak sama dengan pintu masuk

utama, yaitu tinggi 2,15 m dan lebar 1,25 m. Pintu dinding samping ini terdiri dari

satu daun pintu yang terbuat dari kayu-kayu dan disusun sejajar. Ambang atas

pintu berbentuk melengkung. Di atas pintu terdapat sebuah hiasan bermotif

lingkaran berdiameter 28 cm dan hiasan bermotif setengah lingkaran. Di atas

pintu juga terdapat sebuah ventilasi berbentuk lingkaran yang berisi tiga

lingkaran lebih kecil.


Motif Setengah Lingkaran

Motif Lingkaran

Gambar 17. Pintu dinding samping

Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

64
4.2.2 Ruang Jemaat

Denah ruang jemaat berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 17,00

m dan lebar 8,00 m. Ruang jemaat terdiri dari nave (badan gereja) dan aisle yang

digunakan untuk tempat duduk jemaat. Antara nave dan aisle dipisahkan oleh

deretan tiang berbentuk balok. Jarak antara deretan tiang ini membentuk

lengkungan. Langit-langit di atas ruangan jemaat ini berbentuk setengah lingkaran

terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu dua menaungi aisle dan satu menaungi nave. Lantai

yang terdapat pada ruang ibadah terdapat dari marmer berbintik-bintik hitam

berukuran 20 x 20 cm. Di dinding timur dan barat terdapat masing-masing empat

buah jendela. Pada dinding ini juga terdapat ventilasi berbentuk persegi panjang.

Di dinding utara terdapat dua buah pintu masuk yang disebut pintu belakang,

karena terletak di belakang bangunan di sisi kanan dan kiri dinding belakang

bangunan. Pintu belakang di sisi kanan dan kiri dinding belakang (sisi utara)

memiliki ukuran yang lebih kecil, yaitu tinggi 2,25 m dan lebar 1,05 m. Pintu

terdiri dari satu daun pintu berbentuk persegi panjang dan ujung atasnya

berbentuk melengkung. Kedua buah pintu ini terletak berdampingan mengapit

ruang mimbar yang berbentuk segi delapan. Pintu ini menghubungkan koridor

serta ruang persiapan di belakang bangunan utama gereja.

65
Gambar 18. Pintu Belakang
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.2.3 Ruang Mimbar

Ruang mimbar berdenah segi enam terdapat di sisi utara bangunan gereja

dan ditinggikan 20 cm dari permukaan lantai. Pada ruangan ini di letakkan

mimbar berbentuk setengah lingkaran terbuat dari kayu. Lantai mimbar terbuat

dari kayu. Langit-langit di atas mimbar berbentuk setengah kubah. Di dinding

ruang mimbar ini terdapat empat buah jendela. Semua jendela pada bangunan

ibadah ini bentuk dan ukurannya sama yaitu tinggi 1,73 m dan lebar 0,8 m.

Jendela berbentuk persegi dengan ujung atasnya melengkung. Daun jendela

dibingkai oleh kerangka kayu berwarna coklat. Di atas dan bawah terdapat hiasan

geometris.

66
Gambar 19. Tampak Mimbar
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.2.4 Menara

Menara ialah sebuah struktur buatan manusia dan tingginya lebih dari

lebarnya. Menara selalu dibangun untuk menjadi sebuah mercu tanda sesebuah

organisasi. Umat kristiani sering memakai menara sebagai media untuk

menempatkan lonceng di gereja. Justru itu menara dibangun dengan indah dan

cantik. Menara terletak di bagian depan (selatan) dan tengah bangunan bangunan

gereja. Tiap sisi menara berbentuk persegi empat. Menara dibagi secara vertikal

menjadi dua bagian, yaitu bagian bawah dan bagian atas menara. Bagian bawah

menara merupakan sebuah ruangan yang menempel di dalam menara. Ruangan

yang disebut balkon ini merupakan tempat para pemain musik dan para anggota

paduan suara (choir) gereja. Di dinding atas menara terdapat masing-masing 2

(dua) buah jendela bertipe nako yang berbentuk empat persegi dengan ujung

atasnya melengkung. Di bagian atas jendela ini terdapat hiasan geometris yang

67
mengikuti bentuk ujung atas jendela. Atap menara berbentuk pelana dengan

penutup atap berupa genteng berwarna coklat tua.

Bagian Atas Menara

Balkon Pada Menara

Gambar 20. Tampak Menara gereja


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Balkon berbentuk persegi panjang dan terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu

kanan, tengah, dan kiri. Bagian kiri dan kanan merupakan tempat para anggota

paduan suara duduk sedangkan pada bagian tengah yang berukuran 9,73 x 4,3 m

diletakkan organ dan alat musik lainnya. Pada bagian tengah terdapat bagian

seperti teras yang membentuk segi enam. Lantai pada ruangan ini terbuat dari

susunan balok kayu berwarna coklat. Lebar balok kayu ini adalah 10 cm.

68
Gambar 21. Balkon
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Pada dinding selatan balkon terdapat 3 (tiga) buah jendela berbentuk

persegi panjang dengan ujung atas melengkung yang berderet (clerestory).

Clerestory adalah bagian di atas dari dinding utama gereja, di mana terdapat

jendela berderet untuk memasukkan cahaya alami. Jendela terbuat dari kaca

bening dan di bingkai oleh kayu berwarna coklat. Ketiga jendela ini berada di

dinding depan (selatan) bangunan. Langit-langit balkon ini berupa bidang miring

yang terbuat dari susunan papan-papan berwarna coklat.

Gambar 22. Clerestory


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

69
4.3 Perlengkapan Ruang Ibadah

Ada beberapa komponen pelengkap yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah

bangunan gereja. Komponen pelengkap ini berupa beberapa perlengkapan di

dalam gereja, seperti mimbar, bangku majelis, bangku jemaat, bangku pendeta,

alas untuk bersujud, papan pengumuman, dan lampu gantung. Perlengkapan di

dalam masih yang asli, artinya belum pernah diganti sejak bangunan ini berdiri.

Beberapa komponen pelengkap yang ada di dalam bangunan gereja ini adalah :

4.3.1 Mimbar

Mimbar gereja ini berada di atas sebuah altar yang berada setinggi 20 cm

dari permukaan ruang jemaat (bangunan ibadah). Peninggalan lantai ini menjadi

pembeda antara area tempat umat dan area pemimpin ibadah. Di sisi paling depan

mimbar terdapat sebuah balustrade berwarna coklat dan terbuat dari kayu yang

sebagai pembatas area ini. Mimbar terbuat dari bahan kayu jati setinggi 2.15 m

dan bentuk dasarnya adalah segi enam. Mimbar ini terbagi menjadi dua susun,

dan antara susunan pertama serta kedua dibedakan atas dasar bentuk pola hias

yang dibentuk pada masing-masing dinding mimbar tersebut.

70
Gambar 23. Mimbar Gereja
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Di kedua sisi mimbar terdapat tangga yang bentuknya agak melingkar

mengikuti bentuk mimbar dan memiliki enam buah anak tangga. Di bagian dalam

mimbar di letakkan sebuah meja berbentuk persegi empat sebagai tempat Alkitab

Pendeta. Di bagian paling belakang mimbar terdapat sebuah sandaran yang

terbuat dari bahan kayu jati dan menempel di dinding dan sandaran ini terdapat

pahatan ayat Alkitab (Mazmur 119:105) yang berbahasa Belanda yang isinya “uw

woord is een lamp voor myn voet een licht op mynpad” yang artinya “Firmanmu

adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”.

Tangga untuk naik ke atas mimbar dilengkapi oleh pegangan yang terbuat

dari bahan yang sama dengan bahan mimbar, yaitu kayu jati. Hampir di seluruh

sisi mimbar, mulai dari sandaran mimbar sampai ke kaki mimbar terdapat hiasan.

71
Pada sandaran mimbar hiasan berupa motif persegi empat dan persegi panjang.

Pada tubuh mimbar terdapat hiasan berupa motif persegi empat yang di dalamnya

terdapat motif persegi panjang berukuran kecil. Hiasan seperti ini terdapat di

keempat sisi tubuh kecuali sisi bagian tengah.

Gambar 24 Hiasan pada bagian atas sisi mimbar


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Pada sisi bagian tengah ini terdapat hiasan dua tangkai daun/bulir padi

hiasan berupa huruf (P dan X), lambing (A dan Ω), dan hiasan berupa spiral. Di

depan hiasan ini terdapat dua buah penyangga berbentuk pilaster setinggi 1,15 m

yang menopang meja Alkitab Pendeta (lihat Gambar 23). Motif P dan X ini

dikenal dengan istilah Labarum atau Chi-Rho (gambar 24). Motif ini

melambangkan Chreston, sesuatu yang baik atau pertanda baik, dan digunakan di

Yunani sebagai penanda bagian yang penting. Dalam kekristenan, Labarum

dianggap sebagai Chi-Rho, dua huruf pertama dari „Christ‟. Lambing ini juga

biasanya digambarkan pada jubah tentara perang sebagai tanda mereka di bawah

72
perlindungan Kristus. Lambang Alpha dan Omega. Lambang Alpha diartikan

sebagai permulaan atau awal. Lambang Omega diartikan sebagai akhir. Kedua

lambang ini apabila digambarkan bersama maka menggambarkan kesempurnaan :

awal dan akhir dari segalanya. A dan Ω terkadang dilukiskan sebagai rajawali dan

burung hantu, siang dan malam, dan pada kekeristenan mereka muncul sebagai

salib dan Chi-Rho.

Gambar 25. Hiasan bagian tengah mimbar Gambar 26. Labarum


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Pada kaki mimbar terdapat hiasan berupa motif persegi panjang yang di

dalamnya juga terdapat motif persegi panjang lainnya dengan ukuran yang lebih

kecil. Hiasan pada ujung atas dan bawah tangan tangga berbeda, yaitu di ujung

atas tangan tangga hiasannya berupa bunga sedangkan di bagian bawah tangan

tangga hiasannya hanya berupa spiral.

73
4.3.2 Bangku Majelis

Bangku majelis yang terdapat di banguan gereja ini ada dua buah. Di sisi

kiri maupun kanan ruang jemaat (bangunan ibadah) terletak masing-masing

sebuah bangku yang saling berhadapan. Bangku-bangku ini hanya diperuntukkan

bagi anggota majelis, apabila diadakan kebaktian di gereja ini. Bangku majelis,

apabila diadakan kebaktian di gereja ini. Bangku majelis sepanjang 3,74 m dibuat

dari bahan kayu jati berwarna coklat. bangku majelis ini memiliki sandaran

dibelakang, juga memiliki meja sepanjang ukuran bangku tersebut yang menjadi

satu dengan tempat duduknya. Meja panjang ini berfungsi untuk meletakkan

Alkitab. Bangku majelis ini terdiri dari tiga bagian dan di susun berjajar. Bagian

terdapat adalah batas bangku majelis, berbentuk persegi panjang dengan hiasan

enam buah motif segi empat dipermukaan bagian luarnya.

Di bagian dalam pembatas bangku majelis ini terdapat meja memanjang

yang digunakan untuk meletakkan Alkitab. Bagian paling belakang adalah bangku

kedua yang menyatu dengan sebuah sandaran yang tinggi. Sandaran ini

memanjang ke atas seringgi 2,12 m dan di bagian atasnya ada sebuah pelindung

mirip atap yang ditopang oleh dua buah pilaster. Pada bagian pelindung atau atap

ini diberi lampu yang member pencahayaan ke arah bangku majelis. Pada

permukaan sandaran ini terdapat hiasan berupa motif persegi panjang yang

melengkung bagian atasnya sebanyak enam buah dan berderet. Data ukuran

bangku majelis : Lebarnya bangku majelis : 16 cm, 48 cm, 48 cm. Panjang : 3,74

m. Tinggi bagian muka : 1,03 m. Tinggi bagian belakang : 1,09 m.

74
Gambar 27. Bangku Majelis
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.3.3 Bangku Jemaat

Bangku jemaat adalah bangku yang digunakan para jemaat selama ibadah

berlangsung dan di letakkan pada nave. Bangku jemaat yang berada di dalam

bangunan utama gereja sudah pernah mengalami pergantian. Namun demikian

bentuk bangku yang masih terlihat kekunoannya masih terdapat didalam gereja

ini. Ada dua jenis bangku jemaat, yaitu

1) Bangku panjang terbuat dari kayu jati sepanjang 2,52 m dan memiliki

sebuah sandaran di belakangnya. Tinggi 83 cm dan lebarnya 49 cm. Ada

18 buah bangku panjang yang dapat didudukinya oleh sekitar 10 jemaat.

75
Gambar 28. Bangku jemaat tipe panjang
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

2) Bangku individual, kerangkanya terbuat dari kayu berwarna coklat dan

alas duduknya terbuat dari bahan rotan. Panjangnya sampai 57 cm, tinggi

83 cm dan lebar mencapai 54 cm. Ada 58 buah bangku individual yang

seperti hanya dapat diduduki oleh satu orang jemaat terdapat dalam

bangunan utama.

Gambar 29. Bangku Jemaat tipe individual


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

76
4.3.4 Bangku Pendeta

Bangku pendeta adalah bangku yang diletakkan tepat di belakang meja

mimbar dan digunakan oleh pendeta pada saat memimpin ibadah. Panjang bangku

pendeta ini mencapai 59 cm, tingginya 84 cm dan lebarnya 48 cm. Di dalam

bangunan gereja hanya ada satu bangku seperti ini. Bentuknya hampir mirip

dengan bangku jemaat tipe individual, hanya saja warna bangku ini lebih terang

dan tangan bangku ini diberi hiasan kisi-kisi yang tidak dimiliki bangku-bangku

lainnya. Pada ujung kanan kiri atas sandaran bangku juga terdapat sebuah hiasan

berupa spiral.

Gambar 30. Bangku Pendeta


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.3.5 Alas Untuk Bersujud

Benda ini bentuknya seperti bangku karena memiliki sadaran, alas duduk,

dan kaki, hanya saja kaki dan alas duduknya sangat pendek. Panjangnya mencapai

1,2 meter, tingginya 74 cm dan lebarnya 40 cm. Alas yang digunakan untuk

menumpu lutut dan meletakkan tangan saat berdoa dilapisi oleh busa warna merah

77
muda. Di ujung kiri-kanan bagian atas dan bawahnya berupa hiasan berbentuk

spiral. Apabila benda ini tidak digunakan maka benda ini diletakkan dibelakang

mimbar.

Gambar 31. Alas untuk bersujud


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.3.6 Papan Pujian dan Bacaan

Papan Pujian dan Bacaan ini digunakan untuk menulis nomor-nomor lagu

pujian dan ayat-ayat Alkitab yang menjadi khotbah pada saat ibadah berlangsung.

Papan ini terbuat dari kayu berwarna coklat tua dan di letakkan di kedua sisi

dinding bagian utara ruang jemaat dan menghadap jemaat. Panjang papan nya 110

cm, lebarnya 58 cm dan lebar bagian atasnya 64 cm. Papan Pujian dan Bacaan ini

berbentuk persegi panjang dengan bagian atasnya melebar kedepan menyerupai

atap.

78
Gambar 32. Papan pujian dan bacaan
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.3.7 Lampu Gantung

Ada tiga buah lampu gantung yang indah didalam gereja. Ketiga lampu

gantung ini bentuk dan warnanya sama. Lampu ini terbuat dari dua bagian, yaitu

bagian atas yang dikelilingi oleh lampu kecil menyerupai lilin dan bagian bawah

tempat dipasang bola lampu yang berbentuk jajaran genjang.

Hiasan menyerupai
lilin

Bentuk
Jajargenjang

79
Gambar 33. Lampu Gantung
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.4 Ornamental atau Simbol Bangunan Ibadah

Pada bangunan gereja ini terdapat beberapa macam ornamen. Ornamen-

ornamen dan simbol yang ada berada seperti terdapat pada simbol logo GKI

tersebut dan juga di dalam bangunan pada dinding bangunan dan pada komponen

pelengkap bangunan seperti berikut.

4.4.1 Logo Gereja GKI Sumut Medan

Gambar 34. Logo Gereja Kristen Indonesia (GKI)


Sumber : Dokumen Gereja

Penjelasan Arti Logo:

A. Bentuk : Lingkaran/bulat dengan latar belakang lima daun bersudut lima.

- Lingkaran dengan tulisan “ GEREJA KRISTEN INDONESIA

SUMATERA UTARA” : menunjukkan adanya satu ikatan yang

mempersatukan.

80
- Huruf A dan Ω melambangkan kekekalan firman Tuhan yang menjadi

dasar kehidupan jemaat.

- Daun berjumlah lima, melambangkan kehidupan jemaat di wilayah RI

yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini menunjukkan

suatu tekad memupuk dan melestarikan kehidupan beragama dan

lingkungan hidup.

- Gambar dunia dengan warna gelap, melambangkan tujuan pelaksanaan

Tri Tugas Gereja kepada umat manusia.

- Lima garis putih di tengah bola dunia, mempunyai arti suatu tantangan

bahwa terang injil belum sepenuhnya dikenal manusia.

- Salib adalah merupakan lambang perjuangan Kristen.

B. Tulisan yang tertera di bawah salib adalah merupakan identitas (tanda

pengenal) yang merupakan satu kesatuan secara utuh dari jemaat se-GKI

Sumatera Utara.

Logo untuk stempel : dalam hal penggunaan logo untuk stempel, gambar daun

bersudut lima tidak diikutsertakan.

4.4.2 Pilaster

Pilaster adalah ragam hias arsitektur yang berbentuk pilar/tiang tetapi

menempel pada dinding. Pilaster dapat ditemukan di kanan dan kiri pintu masuk

utama serta pada jendela berderet di tingkat II. Pilaster yang terletak di kanan dan

kiri pintu masuk utama berjumlah empat buah dan pilaster pada jendela berderet

di tingkat II berjumlah dua buah. Kolom dari pilaster berebentuk silinders, berdiri

di atas sebuah alas berbentuk balok dan bagian atas sebuah alas berbentuk balok

81
dan bagian atas yang menopang bagian pintu yang melengkung berbentuk

trapesium. Pilaster pada jendela berderet di tingkat II juga memiliki bentuk yang

sama dengan pilaster pada pintu masuk utama.

Gambar 35. Pilaster pada pintu masuk utama dan clerestory


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.4.3 Relung Semu

Relung semu merupakan hiasan berupa cekungan yang dibentuk pada

dinding. Relung semu pada bangunan utama terletak di masing – masing dinding

samping bangunan sebanyak 4 (empat) buah, yaitu 3 (tiga) buah berada pada

bidang pediment (lihat Gambar 34) dan sebuah lagi berada di antara jendela di

bawah pediment. Bentuk semua relung semu ini hampir sama yaitu persegi

panjang dengan ujung atas yang melengkung. Perbedaannya hanya terdapat pada

motif yang menghiasi ujung atas relung semu. Ujung atas relung semu yang

berada pada bidang pediment lebih menonjol keluar tapi tidak diberi motif seperti

82
pada relung semu yang berada di antara jendela. Motif pada ujung atas relung

semu yang berada di antara dua jendela berebntuk deretan setengah lingkaran.

Relung semu pada


pediment

Relung semu di antara


dua jendela

Gambar 36. Relung semu


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.4.4 Motif Geometris

Yang banyak mempengaruhi desain terutama berasal dari alam, dan timbul

rangsangan dan dorongan dalam diri manusia melihat hal-hal yang ada di

sekitarnya seperti garis, pola, warna, bentuk, dan keadaan permukaan benda.

Arsitektur yang merupakan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup

juga dituntut menerapkan keteraturan. Sehingga bentuk-bentuk yang diciptakan

tidak lepas dari bentuk bentuk teratur. Tidak ada batasan dalam geometri. Akan

selalu ada momen dimana kita perlu memikirkan geometri dalam sebuah

rancangan. Seluruhnya mempunyai aturan dalam geometri. Seluruhnya selalu saja

ada alasan dan argumen mengapa sebuah bentuk memiliki bentuk yang demikian.

Keseluruhannya memberikan penjabaran bahwa arsitektur memang tidak pernah

83
bisa lepas dari geometri.Bentuk geometri muncul untuk memperkuat kesan ruang

dan menciptakan suatu keteraturan di dalamnya. Jadi motif ini memiliki makna

simbolis tentang ketertiban/keteraturan apabila dilakukan berulang sehingga

berpola serasi dan harmonis. Motif geometris yang terdapat dalam bangunan

gereja ini adalah :

a. Motif Segi Empat

Hiasan berbentuk persegi empat terdapat pada dinding balkon yang

menghadap mimbar. Bentuk hiasan ini adalah tiga buah persegi empat yang

disusun berurutan mulai dari ukuran paling kecil di bagian tengah sampai ukuran

paling besar di bagian luar. Hiasan berbentuk persegi empat juga terdapat pada

sisi kiri dan kanan dinding mimbar serta sisi atas sandaran mimbar. Motif

berbentuk persegi panjang dapat juga ditemukan pada sisi permukaan kaki

mimbar dan pada penutup bangku majelis.Motif berbentuk bidang persegi panjang

dengan pelengkung di atasnya terdapat pada sisi sandaran atas bangku majelis.

Gambar 37. motif berbentuk persegi pada mimbar (kiri) dan pada
balkon(kanan) Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Motif berbentuk bidang persegi panjang dengan pelengkung di atasnya dengan

pelengkung di atasnya terdapat pada sisi sandaran atas bangku majelis.

84
Gambar 38. Bidang persegi panjang dengan pelengkung di atasnya
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

b. Kotak – Kotak Kecil Persegi dan Segi Tiga

Hiasan yang dimaksud adalah kotak – kotak kecil berbentuk persegi dan segi

tiga yang di susun menjadi sebuah kumpulan yang beraturan. Hiasan seperti ini

dapat ditemukan pada bagian kepala tiang yang memisahkan aisle dan nave.

Gambar 39. Kotak-kotak kecil yang menghiasi bagian atas tiang


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

85
c. Setengah Lingkaran

Hiasan berbentuk setengah lingkaran dapat ditemukan di atas lengkungan

jendela dan di atas lengkungan pintu masuk samping.

Gambar 40. Garis berbentuk setengah lingkaran di atas jendela dan di atas
pintu samping Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

d. Garis Berbentuk Zig – Zag

Garis berbentuk zig-zag adalah sebuah garis yang membentuk sudut-sudut

lancip. Hiasan garis seperti ini dapat ditemukan pada bagian atas pintu masuk

utama yang melengkung dan pada pelengkung yang memisahkan aisle dan nave

(lihat Gambar 41).

Gambar 41 Garis-garis yang membentuk zig-zag pada bagian atas pintu


masuk utama dan pada pelengkung
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

86
e. Lingkaran

Hiasan berbentuk lingkaran hanya terdapat di atas kedua pintu msuk samping

di dalam sebuah bingkai berbentuk setengah lingkaran.

Gambar 42. Bidang lingkaran di atas pintu masuk samping


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

f. Spiral

Hiasan berupa spiral dapat ditemukan pada ujung kanan-kiri bagian atas dan

bawah alas untuk bersujud (Gambar 43). Ujung kanan-kiri balustrade altar (lihat

Gambar 44) dan pada ujung bawah tangga mimbar (lihat Gambar 45).

Gambar 43 dan Gambar 44 Motif berbentuk spiral pada alas


untuk berlutut (kiri) dan pada balustrade altar (kanan)

87
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Gambar 45. Motif berbentuk spiral pada tangan tangga mimbar


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

g. Deretan Kotak – Kotak Persegi

Hiasan ini berupa persegi empat membentuk kotak-kotak kecil dan menonjol

ke luar dinding. Hiasan ini terdapat pada tepian kedua anak atap dinding samping

dan tepian atap segi enam yang menaungi ruang mimbar. Hiasan yang sama juga

terdapat di bagian bawah jendela dinding depan dan dinding samping bangunan

serta di bagian atas jendela berderet di tingkat II.

Gambar 46 dan Gambar 47 Hiasan deretan kotak-kotak persegi pada tepian


anak atap dinding samping dan pada atap yang menaungi ruang mimbar
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

88
Gambar 48 dan Gambar 49 Hiasan deretan kotak-kotak persegi di bagian
bawah jendela dan di bagian atas jendela berderet di tingkat II
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

4.4.5 Motif Floral

Motif floral adalah motif berupa tumbuh-tumbuhan seperti bunga, daun,

tangkai, dan buah yang dipahatkan pada sebuah sisi bangunan atau pada sebuah

permukaan benda. Motif floral yang terdapat dalam bangunan gereja ini adalah :

a. Bunga

Hiasan menyerupai bunga ini terdiri dari empat buah kelopak bunga yang

setiap kelopaknya menghadap empat penjuru mata angin. Hiasan ini

terlihat pada sisi atas balustrade altar.

Gambar 50. Hiasan bunga


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

89
b. Daun

Ada dua jenis motif daun yang ada pada bangunan gereja ini yaitu hiasan

dengan berdaun tiga yang terdapat pada bagian bawah pintu masuk utama

yang melengkung.

Motif daun

Gambar 51. Hiasan berbentuk daun pada bagian bawah pelengkung pintu
utama
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Berikut pendapat Yohanna Sinaga mengenai tampak ornamen dari


gereja:

“Menurut saya gereja ini merupakan gereja tua , mengenai


ukurannya tidak terlalu besar, jadi bangunan ini dibuat unik terlihat
dari ornamen atau hiasannya karena kan tidak semua gereja punya
ornamen seperti ini kan, pastinya yang punya kan seperti gereja tua
lah. Dan juga sebaiknya ornamen baik juga furniture di gereja ini
juga harus bisa dirawat agar tetap menjaga keasliannya sampai
kedepannya”

90
Ornamen yang berada pada dinding dan komponen pelengkap bangunan

berupa pilaster lubang angin (ventilasi), relung semu, dan motif-motif geometris

dan floral lokasi penempatan ornamen-ornamen ini dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Lokasi Penempatan Ornamen pada Bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI)
Sumut Medan

KOMPONEN LOKASI

Pelengkung arch) Pada ruang jemaat yang memisahkan aisle


dan nave

Pilaster Kanan dan kiri pintu masuk utama,


jendela berderet di tingkat II

Relung semu Dinding samping gereja

Lubang angin Berbentuk 3 lingkaran dan persegi panjang

Motif Segi Dinding dalam balkon, permukaan tubuh


empat dan kaki mimbar, sandaran bangku majelis

Motif kotak dan segi Bagian atas tiang dalam bangunan


tiga

Motif setengah Dinding atas pintu masuk samping dan


lingkaran jendela

Motif Zig-zag Dinding atas pintu masuk utama,


dinding pelengkung pemisah nave
dan aisle

Motif Dinding atas pintu masuk samping


lingkaran

Motif Alas bersujud, tangga mimbar, balustrade


Spiral mimbar

91
Deretan kotak Tepian anak atap berbentuk pelana, bawah
persegi jendela tingkat I, atas jendela berderet
tingkat II, tepian atap yang menaungi
mimbar

Motif Bunga Di sisi atas Balustrade mimbar

Motif Daun Dinding atas pintu masuk utama

Ada beberapa pendapat dari informan mengenai bentuk gereja tersebut.

Berikut penuturan oleh informan bapak Pdt. Em. Nuran Ady Suyatno :

“Renovasi kita cuman dalam tahap misalnya penggantian plester,


tetapi kalau menjaga ornamennya itu sedikit banyaknya kita terus
pertahankan. Belum ada perubahan yang signifikan yang ada di
rumah ibadah disini. Lebih tepatnya kalau boleh tetap
mempertahankan ini selagi memang tidak ada yang hancur karena
bencana alam atau perang. Yang jelas masih bisa dipertahankan.
Yang hanya pertambahan pada teras gereja.
Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan tersebut belum mengalami

perubahan signifikan, tetap berusaha di maksimalkan pemeliharaan gedung

gerejanya agar tetap terjaga keaslian bangunan tersebut. Berikut juga dikatakan

oleh informan bapak Elia Masa Ginting mengenai perubahan yang terjadi :

“Memang unik dan asli karena gereja dari belanda, yang dulu
namanya gereformeerde kerk. Ini dulu lantainya papan, ada
kolongnya, jadi dingin dari bawah. dibawahnya itu kira-kira sampe
satu meter. Lalu kaca nya semua sudah diganti menjadi kaca patri
biasa, dulu mozaik asli.itu diganti karena rusak”.
Hal serupa juga mengenai perubahan kolong yang terdapat pada ruang

ibadah yang dikatakan oleh informan ibu Marsiria Sebayang :

“Jadi dulu ada kolongnya, jadi ibu dulu waktu kecil mainnya ke
bawah kolong ini. Jadi ini udah ditimbun dulu, jadi kayu nya di
kolong masih ada tapi udah ditimbun makanya bentuknya menjadi
seperti sekarang. Jadi dulu main-main disini , waktu anak-anak
ibadah di atas, kami semua main-main di kolong bawah,nanti kalau

92
dimarahi kami lari ke rumah pak Burno. Dan dulu diatasnya masih
ada bendera belanda, yang berwarna merah putih biru”.
Di bangunan ruang ibadah terdapat perubahan yang dahulunya masih

terdapat kolong rumah ibadah berlantai papan, kemudian seiring berjalannya

waktu akhirnya ditimbun dan direnovasi menjadi lantai seperti saat ini. Kemudian

juga dahulu masih terdapat bendera Belanda yang berwarna merah putih biru pada

atas gedung ruang ibadah ini.

4.5 Analisa Ornamental

Berbagai ornamen yang terdapat pada bangunan gereja ini tidak mempunyai

pengaruh langsung pada konstruksi bangunan. Artinya, ada atau tidaknya

ornamen tersebut tidak akan berpengaruh langsung pada keseluruhan konstruksi.

Ornament-ornamen ini merupakan bagian dari arsitektur secara keseluruhan, yang

meliputi :

a. Pelengkung (Arch)

Pelengkung (arch) pada bangunan gereja ini dapat ditemukan di beberapa

bagian yaitu: pelengkung yang dibentuk oleh tiang-tiang di dalam ruang ibadah,

pelengkung pada dinding dalam yang membatasi ruang-ruang, dan pelengkung

yang membentuk bagian atas pintu, jendela dan relung semu. Pelengkung muncul

pada zaman Romawi dan awalnya digunakan untuk pintu gerbang. Pelengkung

merupakan konstruksi berbentuk melengkung yang dapat dibuat dari bahan kayu

dan batu. Pelengkung biasanya dibentuk oleh dua buah tiang yang menopang

sesuatu di atasnya.

93
Bangunan-bangunan gereja yang dibangun pada masa Kolonial biasanya

selalu menggunakan pelengkung. Oleh karena itu digunakan pelengkung untuk

memberi batas antara ruang-ruang tersebut. Pelengkung yang ada di dalam

bangunan gereja ini digunakan sebagai pemisah ruangan, misalnya pada dinding

yang memisahkan aisle dan nave. Sedangkan pelengkung yang digunakan sebagai

penghias terdapat di atas pintu masuk utama dan di atas jendela.

b. Hiasan Bermotif Zig Zag

Hiasan ini berebentuk garis-garis yang disusun zig zag. Hiasan ini terdapat

pada dinding pelengkung di antara tiang-tiang yang memisahkan nave dan aisle.

Gambar 52. Hiasan pada pelengkung


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

c. Hiasan Bermotif Huruf ‘S’

Hiasan ini berbentuk huruf „S‟ yang saling menyambung. Hiasan ini hanya

ditemukan di dinding luar pemisah tingkat 1 dan tingkat 2.

94
Gambar 53. Hiasan pemisah tingkat I dan II
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

d. Hiasan Bermotif Daun

Hiasan ini terdapat pada lengkungan pintu masuk utama, yaitu berupa daun

yang berada di dalam persegi dan disusun berderet mengikuti bentuk lengkungan

pintu.

Gambar 54. Motif ipon-ipon pada pelengkung pintu masuk utama


Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

e. Hiasan Bermotif Bunga

Hiasan motif bunga ini diukirkan pada balustrade (palang) mimbar. Hiasan

bunga pada bangunan gereja ini memiliki pola yaitu terdiri dari empat buah

kelopak. Kelopak bunga pada balustrade mimbar gereja dibuat berlapis dan di tiap

ujung kelopak terdapat dua buah sulur.

95
Gambar 55. Hiasan menyerupai bunga
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

f. Hiasan Pilaster

Pilaster adalah ragam hias arsitektur yang berbentuk pilar/tiang tetapi

menempel pada dinding. Pilaster dapat ditetemukan di kanan dan kiri pintu masuk

utama serta pada jendela berderet di tingkat II. Pilaster yang terletak di kanan dan

kiri pintu masuk utama berjumlah empat buah dan pilaster pada jendela berderet

di tingkat II berjumlah dua buah. Kolom dari pilaster berbentuk silindris, berdiri

di atas sebuah alas berbentuk trapesium.

Gambar 56. Column pilaster berbentuk Tuscan

96
Sumber : Dokumentasi Peneliti (2020)

Adanya deretan tiang di dalam ruang ibadah dan digunakannya pelengkung

Romawi, pilaster berbentuk order Tuscan pada masa Tomawi ini semakin

menunjukkan bahwa arsitek bangunan gereja ini seolah-olah ingin menonjolkan

unsur Romawi pada bangunan ini.

Dari hasil analisis ragam hias pada bangunan gereja ini dapat dilihat adanya

unsur lokal dan unsur luar, seperti:

Unsur lokal terlihat pada atapnya yang memakai konstruksi atap

tradisional Indonesia, yaitu konstruksi atap miring. Agar dapat mengurangi atau

bahkan dapat menghilangkan gangguan-gangguan yang terjadi akibat iklim tropis

di Indonesia, seperti hujan kebawah dan tidak terjadi penggenangan pada atap.

Sehingga kegiatan ibadah di dalam bangunan dapat berlangsung dengan nyaman.

Unsur luar terlihat pada denah, pondasi, tiang dan dinding. Denah

berbentuk segi empat berasal dari bentuk bangunan Basilika di Eropa. Pondasi

masif yang kokoh juga digunakan untuk menopang bangunan besar dengan

dinding-dinding tebal diatasnya. Deretan tiang didalam bangunan juga

menunjukkan ciri khas pada masa Romawi.

Unsur luar juga terlihat pada pintu dan jendela yang berukuran besar

mengikuti bangunan pada masa Kolonial umumnya berukuran besar mengikuti

bangunan yang ada di Eropa. Oleh karena itu pintu dan jendela juga harus

menyesuaikan dengan ukuran bangunannya yang besar. Adanya clerestory pada

97
bangunannya yang menunjukkan unsur luar. Unsur luar lainnya terlihat pada

penggunaan pilaster.

98
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan di Jalan K.H Zainul Arifin

No 126, Kecamatan Medan Petisah, Medan merupakan bangunan sakral dengan

arsitekturnya masih terjaga hingga sekarang. Keberadaan gereja tersebut

merupakan suatu catatan sejarah yang unik, karena wilayah Sumatera Utara

dulunya merupakan wilayah penginjilan dari Rhemische Missions Gesellschaft

atau RMG dari Jerman, tetapi Gereja Gereformeerd yang dilakukan oleh misi

Belanda yang beraliran Calvinis, mampu juga melakukan penginjilan di wilayah

Sumatera Utara, walau diakui bahwa perjuangan berat harus dilalui oleh Gereja

ini agar bisa masuk, tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara hingga saat ini.

Dari hasil penelitian terhadap bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI)

Sumut Medan dapat diperoleh suatu gambaran bahwa unsur ornamen ini

ditemukan yang hanya menambah keindahan bangunan ini dan juga unsur

kolonialnya. Kemudian dari hasil penelitian ini dapat juga dilihat bahwa pada

bangunan gereja menunjukkan bahwa gereja ini universal dengan jemaatnya yang

multietnis dan unik dikarenakan mempunyai nilai arsitektural dan nilai sejarah

yang mendalam.

99
5.2 Saran

Keprihatinan sudah lama muncul melihat banyaknya bangunan di kawasan

kota tua di Indonesia yang dibiarkan hancur. Sebaiknya dicegah tentunya jangan

ada lagi penghancuran bangunan tua yang bersejarah dan memiliki arti bagi agama

dan kebudayaan, seperti halnya gedung Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut

Medan yang berada di kawasan kota tua di Medan agar terutama pemerintah dan

juga pihak gereja tetap bertanggung jawab dalam kelestariannya.

Bagi Pembaca dan Mahasiswa Antropologi penelitian ini masih memiliki

banyak kekurangan terkait penelitian arsitektur, hal yang bisa dilakukan

khususnya mahasiswa adalah melanjutkan penelitian ataupun memperkaya

literatur antropologi dibidang kajian arsitektur tentunya.

Gedung Gereja ini bersama dengan bangunan-bangunan lain di kawasan

ini merupakan bangunan-bangunan yang mewakili lapisan sejarah bangsa. Itu

adalah hal yang harus dilestarikan. Kita harus bangga dengan apa yang kita miliki,

terlebih akan gedung tempat kita melaksanakan peribadatan, memuji dan

memuliakan Tuhan.

100
DAFTAR PUSTAKA

Ardian, Berardus. 2019. Karakteristik Kejawaan Arsitektur Gereja Katolik

Ganjuran. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Ashadi. 2018. Pengantar Antropologi Arsitektur. Jakarta: Arsitektur UMJ Press

Budihardjo, Eko. 1997. Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Jakarta: Djambatan

Faisal. 2008. Arsitektur Mandar. Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni

dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

Kusbiantoro, Krismanto. 2007. Studi Komparasi Bentuk Dan Makna Arsitektur

Gereja W.C.P Schoemaker, Studi Kasus Gereja Katedral St. Petrus Dan

GPIB Bethel Bandung. Jurnal Desain Interior Arsitektur, 3

Koestoro, Lucas. 2015. Kilasan Sejarah dan Arkeologi Beberapa Gedung Gereja

di Sumatera Utara. Medan: Bina Media Perintis

Maryono, Irawan, et.al. 1982. Pencerminan Nilai Budaya Dalam Arsitektur Di

Indonesia. Jakarta: Djambatan

Nadia, Ketut dan Prastika, Nyoman. 2008. Arsitektur Bali. Denpasar: Widya

Dharma

Riogilang, H. et all. 2015. Penerapan Bentuk Geometri Pada Arsitektur

Bangunan, Vol. 15, 1

101
Rogi, Octavianus. 2014. Tinjauan Otoritas Arsitek Dalam Teori Proses Desain,

Vol. 11,3

Sumalyo, Yulianto. 1995. Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press

Sparkes, Stephen & Howell, Signe. 2003. The House in Southeast Asia: A

Changing Social, Economic and Political Domain. USA dan Canada:

RoutledgeCurzon

102
LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

Daftar Informan
1. Nama : Pak Anung Gunawan
Posisi : Penatua Gereja
Alamat : Tanjung Rejo,Medan

2. Nama : Pak Jurnalis Buloeloe


Usia : 49 Tahun
Posisi : Koster ( 1996-sekarang)
Alamat: Di lingkungan Gereja GKI Sumut Medan

103
3. Nama : Pdt. Em. Nuran Ady Suyatno, S.Th
Usia : 64 Tahun
Posisi : Pendeta ( Emeritus)

4. Nama : Pak Elia Masa Ginting


Usia : 63 Tahun
Posisi : Jemaat Gereja (1977-sekarang)
Alamat: Jalan Seto, Lorong Sipirok
Pekerjaan : Dosen

104
5. Nama : Marsiria Sebayang
Usia : 60 Tahun
Posisi : Jemaat Gereja (1960-sekarang)
Alamat: Jalan Seto, Lorong Sipirok

6. Nama : Yohanna Sinaga


Usia : 23 Tahun

105
Posisi : Jemaat
Alamat: Jalan Air Bersih Ujung, Teladan

7. Nama : Ance Romauli


Usia : 20 Tahun
Posisi : Jemaat
Alamat: Jalan Pasar 1 Padang Bulan

8. Nama : Lusi Sigiro


Usia : 25 Tahun
Posisi : Jemaat
Alamat: Jalan Wahid Hasyim

106
LAMPIRAN 2

INTERVIEW GUIDE

1. Siapa nama bapak/ibu ?


2. Apakah pekerjaan bapak/ibu di gereja tersebut?
3. Berapa lama bapak/ibu sebagai pendeta/penatua/jemaat/ koster di gereja
tersebut?
4. Bagaimana susunan struktur organisasi di gereja ini?
5. Apakah fungsi serta peran bapak/ibu di gereja tersebut?
6. Bagaimana sejarah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sumut Medan ?
7. Apakah visi dan misi gereja tersebut?
8. Bagaimana logo gereja GKI tersebut dan juga maknanya?
9. Berapa jumlah jemaat di gereja ini?
10. Apakah jemaat di gereja ini terdiri dari beragam etnis?
11. Apakah gaya arsitektur gereja tersebut?

107
12. Siapakah arsitek gereja ini?
13. Kapan bangunan gereja ini berdiri?
14. Bagaimana tahapan pembangunan GKI tersebut?
15. Bagaimana struktur dan fungsi yang terbentuk dari arsitektur gereja?
16. Apa sajakah unsur lokal yang termasuk dalam bangunan ibadah gereja ini?
17. Bagaimana ornamen dan makna yang terdapat dalam bangunan ruang
ibadah?
18. Apa sajakah bangunan yang terdapat selain ruang ibadah?
19. Apakah sudah ada perbaikan atau renovasi pada bangunan ruang ibadah?
20. Mengapa bangunan ruang ibadah tersebut direnovasi?

108

Anda mungkin juga menyukai