Anda di halaman 1dari 18

ISSN : 2087-8850

MAKNA DI BALIK TEKS DAYAK SEBAGAI ETNIS HEADHUNTER

R. Masri Sareb Putra


Universitas Multimedia Nusantara
Jl. Boulevard, Gading Serpong
Telp: 021-5422 0808, 37039 777, E-mail: masrisareb@yahoo.com

Abstrak

Ngayau atau head hunting ialah tradisi etnis Dayak di masa lampau untuk mencari kepala
musuh sebagai tanda bukti kekuatan. Para pelancong dan antropolog barat tertarik
mengeksploitasi sisi-sisi eksotik penduduk Borneo tersebut, salah satu di antaranya adalah
praktik ngayau. Pembingkaian ngayau oleh pelancong dan antropolog barat, berakibat
pada pencitraan yang hingga kini masih melekat pada etnis Dayak. Citra Dayak sebagai
suku bangsa pengayau kembali muncul, ketika terjadi konflik etnis di Kalimantan, padahal
secara de facto praktik ngayau sudah lama ditinggalkan. Labeling etnis Dayak sebagai
headhunter sudah semestinya ditanggalkan sebab praktik ngayau disepakati untuk
dihentikan pada tahun 1894 dalam musyawarah besar Dayak se-Borneo di Tumbang Anoi,
Kalimantan Tengah, yang difasilitasi pemerintah kolonial. Metode hermeneutika dapat
membongkar mitos dengan mencari hakikat dari sebuah teks atau realitas, dengan mengacu
pada sejarah dan tradisi pada waktu teks itu ditulis. Usaha rasional menemukan true
conditions (sensus plenior) yang ditawarkan hermeneutika, sesungguhnya termasuk
penelitian komunikasi. Artikel ini berupaya mencari hakikat makna dari teks yang ditulis
para pelancong dan antropolog asing dari abad 18 hingga masa kemerdekaan. Para penulis
mencoba mengonstruksi & membingkai tulisan mereka dengan mengacu pada sejarah
dan tradisi pada masa itu.Ternyata, di balik teks-tertulis terdapat realitas yang tidak ditulis
atau dinafikan dan inilah titik awal dari bias yang dilakukan penulis dan media yang
menyebarkannya.

Kata Kunci: hermeneutika, makna, ngayau, pembingkaian

Abstract

Ngayau or headhunting used to be a Dayak ethnic tradition in the past to hunt for the
enemy’s head as a proof of strength. The western travelers and anthropologists had been
interested in exploiting the exotic side of the Borneo inhabitants. One of the exotic side
was the practice of ngayau. Framing had been done by the western travelers and
anthropologists contributed in forming the present image of ngayau that has retained
among the Dayak ethnic. Image depicting the tribe of Dayak as headhunters re-emerge to
the surface again when an ethnic conflict occurred in Kalimantan whereas as de facto the
practice of head hunting practice or ngayau in the local language had been abandoned. 
The labeling to the Dayak ethnic as headhunters should have been removed as it had long
time ago been agreed to cease the practice in 1894 through a convention  of  the Borneo
Dayak in  Tumbang, Anoi, Central Kalimantan  which were facilitated by the colonial
government. Hermeneutic method is able to dismantle the myth by finding the essence of
a text or reality, referring to the history and tradition when the text was written. Rational
effort to find true conditions offered by hermeneutics is the real nature of any research
method including communications research. This article is in an effort to seek the essence
of the meaning of texts written by the western travelers and anthropologists of the 18th
century until independence. Referring to the history and tradition when the text was

109
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

written, the writer is trying to construct how the authors framed articles/ compositions.
Evidently, there are unwritten realities behind written texts and it has been considered as
the starting point of bias by the authors and the media that disseminated it.

Key words: hermeneutic, meaning, headhunter, framing

Pendahuluan lain, di salah satau pulau besar selain


Citra primitif dan peyoratif etnis Dayak, Kalimantan.
sesungguhnya berasal dari ulah para pelancong
Barat yang menginjakkan kaki di bumi Borneo Tinjauan Pustaka
sejak pengujung abad 18 untuk mencari “nilai
berita” dan menjual keunikannya. Salah satu Saunders (1993) melihat bahwa laporan-
keunikan yang dianggap laku untuk dijual laporan para pelancong Barat ke Borneo luar
sebagai komoditas ialah praktik pengayauan biasa pengaruhnya. Citra sebagai suku bangsa
(headhunting) di kalangan etnis Dayak pada yang primitif melekat kuat dalam benak dunia
waktu itu. Akibatnya, hingga kini pencitraan luar sebagai dampak langsung (direct impact)
tersebut masih melekat kuat terutama di benak maupun sebagai akumulasi dari dampak
masyarakat di luar etnis Dayak, padahal praktik (cumulative impact) publikasi tersebut. Sanders
pengayauan itu sendiri sudah disepakati untuk kemudian menunjuk sejumlah penulis, seperti:
tidak dilanjutkan lagi pada pertemuan besar Belcher, Keppel, Hugh Low, dan Frank Marrat
masyarakat Dayak se-Borneo di Tumbang Anoi, yang turut membangun dan menyebarluaskan
Kalimantan Tengah, pada tahun 1894 yang citra orang Dayak sebagai suku bangsa primitif,
difasilitasi pemerintah kolonial. pemburu kepala manusia, hidup tidak sehat
karena tinggal di rumah panjang, tidak
Pasca 1894, di Borneo masih beberapa kali berpendidikan, dijajah oleh sultan-sultan
terjadi konflik antara Dayak sebagai Melayu, serta tertinggal dari segi perekonomian.
indigeneous people dengan beberapa etnis Penjajahan berlapir-lapis ini diafirmasi oleh
pendatang yang jika dilihat dari casus belli serta peneliti etnis Dayak, Stepanus Djuweng dalam
modus-nya terdapat kesamaan. T idak Manusia Dayak: Orang Kecil yang Terperangkap
mengherankan, jika kemudian banyak pihak Modernisasi (1993 : 26-27).
menghubung-hubungkannya dengan tradisi
ngayau. Akan tetapi, dilihat dari segi motif, jelas Salah satu buku yang secara luas
berbeda. mencitrakan dan menyebarluaskan Dayak
sebagai pemburu kepala manusia adalah karya
Apa hakikat ngayau? Faktor-faktor dan
Bock, The Headhunters of Borneo yang
motif-motif apa sajakah yang mendorong etnis
diterbitkan di Inggris (1881). Kemudian, Miller
Dayak melakukan praktik pengayauan? Artikel
(1942) melalui Black Borneo semakin
ini menjawabnya dengan metode kritis
mengukuhkan citra Dayak sebagai suku bangsa
menggunakan pisau analisis hermeneutika yang
pengayau. Menurutnya, praktik memburu kepala
berupaya mencari sensus plenior atau true
manusia hanya bisa dijelaskan dalam kerangka
conditions lewat teks yang ditulis para
kekuatan supranatural yang oleh orang Dayak
pelancong dan antropolog barat. Tinjauan
kekuatan tersebut diyakini berada dalam otak
hermeneutis tersebut secara saksama
atau bagian kepala manusia (Miller, hlm. 121).
memaparkan bagaimana para penulis di luar
etnis Dayak membingkai penduduk asli pulau Selanjutnya, McKinley (1976 : 95, 124)
Borneo tersebut, sehingga membentuk citra berusaha memahami ngayau lewat semiotika,
sebagai etnis pengayau atau headhunter. dalam hal ini struktur dan makna ritual yang
Padahal, sejarah mencatat bahwa Dayak berkaitan dengan praktik pengayauan. Freeman
bukanlah suku bangsa terakhir di Nusantara (1979 : 234) yang meneliti praktik ngayau di
yang melakukan praktik headhunting, tapi suku kalangan Dayak Iban mencatat bahwa ritual

110
R. Masri Sareb Putra, Makna di Balik Teks Dayak...

paling penting dalam upacara perburuan kepala Padahal, orang Dayak baik-baik saja, tidak
musuh ialah pada saat ngelampang, yakni mengancam atau berusaha untuk
memotongnya menjadi bagian-bagian kecil. membunuhnya. Kisah mengenai percobaan
Upacara ritual ini merupakan representasi atau pembunuhan dirinya justru dikisahkan Windsor
kenangan akan Singalang Burong, dewa perang pada bagian sebelumnya, ketika ia menceritakan
orang Dayak, yang melakukan hal yang sama seorang nelayan di pantai pulau Jawa coba
dahulu kala. Dengan memotong-motong kepala mengakhiri nyawanya di atas kapal.
menjadi bagian kecil, akan mengalirkan benih- Meski menyebut penduduk asli Borneo
benih kehidupan yang apabila ditaburkan sebagai “wild”, sama sekali tidak ada niat,
nantinya akan tumbuh menjadi sosok manusia. apalagi upaya, penduduk asli Borneo untuk
Kepercayaan yang sama juga terdapat pada membunuh Windsor, meski ia dilihat sebagai
etnis Dayak di Malaysia, mereka membuat orang asing yang berani-beraninya masuk tanah
patung Tenyalang menjelang Begawai Dayak. Padahal, bagi orang Dayak, masuk ke
Kenyalang (Morrison, 1957 : 235). kampung orang tanpa terlebih dahulu
The Begawai Kenyalang was originally mengutarakan maksud atau niatan dapat
connected with headhunting and was in dianggap sebagai mata-mata atau bahkan
honour of Sengalang Burong, the Ruler of memunyai niat jahat. Lebih jauh, memasuki
the Spirit World and the God of War whose kampung orang tanpa jelas tujuan dan
particular bird in the Rhinoceros Horbbill. A maksudnya dianggap sebagai perbuatan
great feast is given which last for three days menyerang, menantang, dan mengajak
to drinking of immense quantities of tuak, berperang. Oleh karena itu, tamu yang tidak
at the conclusion of the feast, elaborate diundang tersebut pantas untuk dicurigai,
carved representations of the Hornbill are ditanyai maksud kedatangannya, dan jika dirasa
erected on the tops of high poles. Here perlu patut untuk diadili. Jika terbukti bersalah,
Penghulu Ningkan, who gave such a feast tamu yang tidak diundang tersebut dapat
to celebrate a good harvest and the return dikenai hukum adat, mulai dari yang paling
of many Sarawak Rangers from fighting ringan hingga yang paling berat bergantung
Communist rebels in Malaya, attaches a kepada kasusnya.
length of newly flayed pigskin as an offering Labeling “wild” yang ditempel Windsor pada
in the bill of one of Hornbill images. etnis Dayak tersebut, perlu untuk ditafsirkan
Di tempat lain, pengarung samudera dengan mengacu kepada realitas (sosial) pada
ternama, George Windsor (1837 : 181-199) waktu itu, tradisi, dan konteks lahirnya. Menurut
bahkan secara simbolis menggambarkan orang ensiklopedi Merriam-Webster, terdapat tujuh
Dayak pada awal abad 18 sebagai “manusia macam pengertian “wild”. Akan tetapi, yang
liar ”. Hal ini dengan jelas dapat dilihat paling mendekati apa yang dimaksudkan
bagaimana Windsor ketika mengurutkan Windsor dua pengertian berikut ini. Pertama,
prioritas siapa yang harus dikunjunginya setelah living in a state of nature and not ordinarily
berlabuh, dan kemudian mendarat. Setelah tame or domesticated, misalnya “wild ducks”.
mengunjungi residen kompeni Belanda di Kedua, having no basis in known or surmised
Sambas dan sekitarnya, ia kemudian sowan ke fact, misalnya a wild guess.
istana Sultan Sambas, baru “...interview with Dengan demikian, Windsor mencitrakan
some wild Dayaks.” etnis Dayak sebagai penduduk yang masih perlu
Menurut teori simbolik interaksionisme untuk dimanusiakan. Mereka tinggal di alam
(Blumer, 1969), urutan kunjungan ini bebas, liar, dan tidak memunyai pemukiman
menunjukkan bahwa orang Dayak dipandang yang tetap sebagaimana layaknya bebek liar.
sebelah mata, bahkan dianggap belum beradab Karena tinggal di betang yang terbuat dari kayu,
dengan menyebutnya sebagai “manusia liar”. bambu, dan diikat dengan rotan pada waktu itu

111
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

sesuai dengan tradisi orang Dayak yang hidup ihwal tentang Dayak harus ditulis orang Dayak
komunal, oleh orang barat tidak dianggap sendiri. Mengapa? Karena mereka yang paling
sebagai rumah karena pola permukiman dan paham sejarahnya dan tahu bagaimana cara
bentuknya tidak sama dengan yang ada di menulisnya dengan benar. Sebagai contoh,
negeri mereka. betapa banyak ketidakakuratan penulis asing
Orang Dayak tidak dianggap “jinak” karena menulis tentang Dayak yang hingga kini salah
tinggal di perumahan yang menurut kategori kaprah.
pelancong dan penulis barat tidak layak huni. Ngayau di kalangan etnis Dayak, bukanlah
Tidak ada WC dan kamar mandi di betang. semata-mata dilatari oleh motif ritual. Yang jauh
Desain dan bentuk betang berbeda dengan yang lebih penting dipahami ialah bahwa ngayau
ada di barat. Di benak para pelancong dan penuls merupakan bentuk mekanisme pembelaan diri
barat, orang Dayak tidak ubahnya seperti bebek: terhadap ancaman dan serangan dari luar. Inilah
siang hari keluar rumah mencari makan ke ladang perbedaan headhunting di kalangan suku
dan berburu. Sore hari pulang masuk betang. bangsa Dayak dengan suku primitif lain di dunia,
misalnya suku Ilongot di Filipina (Rosaldo, 1989)
Konsep seperti itulah yang ada di kepala
dan suku Jivaro di Ekuador yang menamakan
pelancong dan penulis barat sehingga
tradisi headhunting sebagai tsantsa.
kendatipun merupakan penduduk asli Borneo,
Headhunting di kalangan suku Ilongot menurut
etnis Dayak tidak dianggap bukan sebagai
Rosaldo (1989) “...rage, born of grief, impels
penduduk, bahkan dianggap sebagai orang
him to kill his fellow human beings... the act of
asing di negerinya sendiri. Pencitraan seperti
several and to sing away the victims head
itu nantinya berimpak pada bagaimana sultan-
enables him, he says, to vent and, he hopes
sultan Melayu memperlakukan orang Dayak
throw away the anger of his bereavement (p.
hingga masa kemerdekaan, dan setelah
1). Selanjutnya dikemukakan bahwa,
merdeka, yang memimpin mereka (gubernur,
“Headhunting resulted from the way that one
bupati, camat) adalah orang asing, bukan dari
death canceled out the other.” (........?)
kalangan etnis Dayak sendiri.
Dari internal etnis Dayak sendiri, terutama
Demikian pula, pelancong dan antropolog
melalui tokoh politik, penggiat LSM maupun
asing yang tinggal bersama dan sambil lalu
kalangan intelektual, ada upaya -meskipun
mengamati cara berada (modus essendi) dan
belum sistematis—untuk coba mengoreksi dan
cara hidup (modus vivendi) etnis Dayak tertarik
menghapus stigma dan pencitraan Dayak
mengangkat keahlian mereka dalam hal
sebagai suku bangsa primitif. Tampilnya tokoh
berburu. Oleh karena nature-nya adalah
Dayak, dimulai dari tokoh pergerakan Borneo
menangkap buruan dalam sekejap dan tidak
dan diteruskan tokoh masa kini ke panggung
boleh lepas, orang Dayak ke mana-mana akan
regional, lokal, bahkan internasional, secara
membawa alat berburu seperti sumpit, panah, perlahan-lahan mampu membantu pencitraan
dan tombak. Kebiasaan ini tidak selalu dilandasi Dayak menjadi positif. Mereka gencar
motif berperang atau ngayau, alat berburu tadi memaklumkan bahwa etnis Dayak berubah
dalam keadaan normal digunakan untuk total, tidak seperti dahulu lagi, koevolusi dan
menangkap binatang buruan. Sama halnya koeksistensi dengan perkembangan teknologi
dengan orang ke sawah membawa sabit atau dan dinamika mayarakat global. Lewat
pacul dan di zaman sekarang orang ke kantor publikasi, misi kesenian dan kebudayaan,
membawa laptop. Jadi, sumpit, panah, dan seminar, dan diskusi; para tokoh Dayak
tombak bukan untuk berperang, melainkan berupaya mematahkan argumen penulis dan
sarana bekerja dan alat mencari nafkah. antropolog asing yang cenderung miring dan
Itu sebabnya, citra suku bangsa pengayau coba mengubah stereotip yang selama ini
oleh penulis asing haruslah diubah. Selain terlanjur tertanam bahwa etnis Dayak suku
sudah lama tidak ada lagi praktik ngayau, hal bangsa pengayau.

112
R. Masri Sareb Putra, Makna di Balik Teks Dayak...

Pustaka dan publikasi yang dimaksudkan, mempunyai keunggulan kompetitif. Mereka


antara lain Manusia Dayak: Orang Kecil yang terbukti sebagai salah satu suku bangsa di
Terperangkap Modernisasi (1993), Kebudayaan Nusantara ini yang ternyata memiliki
Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (1994), Daya kemampuan adaptif.
Taman (1996), Masyarakat Dayak Menatap Hari
Esok (1998), Dayak Sakti (1999), Ulu Mahakam Metode
(2005), dan Dayak Djangkang (2010).
Grand theory yang dipakai untuk
Kemudian, Institut Dayakologi yang berbasis menjelaskan fenomena headhunting atau
di Pontianak dengan gencar melakukan ngayau ialah hermeneutika Hans-Georg
pemberdayaan orang Dayak, salah satu di Gadamer (1900-2002). Gadamer adalah salah
antaranya menerbitkan cerita-cerita rakyat, satu filsuf penting abad 20. Ia terkenal karena
pantun, serta kesenian dan kebudayaan Dayak, mahakaryanya (magnum opus) Wahrheit und
dan yang paling menonjol ialah menerbitkan Methode (Kebenaran dan Metode/Truth and
majalah Kalimantan Review secara ajeg tiap Method) yang terbit pada 1960.
bulan, media yang menjadi sarana komunikasi
bagi komunitas Dayak di mana pun berada. Hermeneutika secara etimologi berasal dari
kata Yunani “hermeneutike” yang berarti:
Di era digitalisasi, orang Dayak pun penafsiran. Kata ini diambil dari nama dewa
memanfaatkan dunia maya untuk berkomunikasi “Hermes” yang terkenal karena mahir
bukan hanya internal mereka, tetapi juga menasfirkan (kembali) tanda-tanda yang
berkomunikasi dengan dunia luar. Dapat disebut diberikan dewa-dewa. Hermeutika kemudian
cukup menonjol media digital yang dimaksud, sangat terkenal untuk studi-studi Alkitab: teks-
antara lain http://suaraborneo.com/ yang teks ditafsirkan dan direkonstruksi asal usul serta
memaklumkan diri sebagai “Koran digitalnya latarnya pada saat teks itu lahir untuk dicarikan
Orang Kalimantan”, http://www.ceritadayak. maknanya dan coba dipahami. Hermeneutika kini
com/ yang mengusung moto “The New dipahami sebagai “seluruh usaha rasional
Generation of Dayak”, Komunitas Blogger Dayak manusia untuk memahami realitas ada (being)
dengan moto “Bersama Membangun dan dan upaya untuk melakukan reinterpretasi”
Mengenalkan Identitas Dayak pada Dunia”, milis dengan mencari makna atau true conditions dari
serta media sosial dan jejaring sosial lainnya segala sesuatu. Adapun metodologi
yang mengusung visi dan misi yang sama. Isi hermeneutika ialah menafsirkan teks atau
media analog maupun media digital yang realitas untuk mencari hakikatnya (sensus
dihasilkan dan disistribusikan oleh etnis Dayak, plenior), dengan memerhatikan konteks sejarah
jika diperhatikan dengan seksama berupaya dan tradisi dengan clue pengetahuan dan
mengikis stereotip dan memupus citra negatif pengalaman yang dipunyai si penafsir (vorurteil).
etnis Dayak sebagai suku bangsa primitif dan
Gadamer menekankan apa yang disebut
headhunter. Di zaman baheula, memang
dengan “pengalaman dan refleksi”. Ia menyebutkan
demikianlah keadaannya. Akan tetapi, kini
bahwa “We can reach the truth only by
segalanya berubah. Etnis Dayak koeksistensi dan
understanding or even mastering our experience.”
koevolusi dengan peradaban modern dan
Menurut Gadamer, pengalaman adalah tidak tetap,
kemajuan ilmu dan teknologi.
tapi berubah, dan selalu menunjukkan perspektif
Di bidang politik, sosial, dan ekonomi, orang baru. Gadamer menunjukkan bahwa kita tidak
Dayak sudah menjadi tuan di negeri sendiri. pernah bisa melangkah keluar dari tradisi kita, yang
Komodifikasi seni dan budaya etnis Dayak pun bisa kita lakukan adalah mencoba untuk
tidak seperti dahulu lagi, sudah berubah total. memahaminya. Individu dalam satu kesatuan
Tampilnya seniman dan budayawan yang dengan tradisi dan pengalaman kolektif merupakan
menekuni industri kreatif, telah mengangkat titik awal Gadamer menguraikan ide lingkaran
citra etnis Dayak sebagai suku bangsa yang hermeneutika.

113
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Dalam konteks metodologi artikel ini, meletakkan teks dalam satu kesatuan dengan
hermeneutika dimaksudkan sebagai metode jiwa dan spiritnya yang jika digambarkan persis
untuk menjelaskan fenomena ngayau di seperti bangun segitiga yang berikut ini.
kalangan etnis Dayak sebagai sebuah teks atau
realitas yang sarat dengan simbol. Menurut Power (spirit)
Womack (2005 : 1-2), simbol pada hakikatnya
adalah komunikasi:
“Symbols are, above all, a means of
communication. In general term, symbol
are images, words, or behaviors that have
multiple levels of meaning. Symbol stand
for concept that are too complex to be
stated directly in words.”
Mengacu pada pengertian di atas maka Tubuh (teks) Jiwa (makna)
ngayau pada aras konsep yang paling kompleks
ialah simbol komunikasi di kalangan etnis Gambar 1. Bangun Segitiga Makna
Dayak. Banyak pihak kurang memahami makna
simbol tersebut dan merasa heran, mengapa Mengacu kepada metode hermeneutika,
setelah Perjanjian Tumbang Anoi masih saja maka teks-teks mengenai Dayak yang ditulis
terjadi praktik headhunting? Pasti motif pelancong dan antropolog asing abad 18 hingga
headhunting pascaperjanjian Tumbang Anoi kemerdekaan, dan terakhir pasca peristiwa
bukanlah ritual, melainkan mekanisme Sambas (1999) oleh Richard Lloyd Parry,
pertahanan diri. Ketika semua saluran sudah wartawan berkebangsaan Inggris yang menulis
buntu maka etnis Dayak berkomunikasi dengan In The Time of Madness (2005), haruslah dilihat
ngayau. Hal ini sesuai dengan apa yang dalam konteks sejarah dan tradisi pada waktu
dikemukakan Deetz (1976) dan Boldonova teks itu ditulis. Bisa saja teks ditulis bukan dalam
(2008), bahwa makna adalah inti dari seluruh arti denotatif, melainkan dalam pengertian
rangkaian lingkaran hermeneutika. konotatif. Artinya, teks tidak berdiri sendiri, teks
tersebut ditulis dan ada-bersama (koeksistensi)
…hermeneutic circle provide the serta menyatu dengan sejarah dan tradisi pada
explanation of the circular movement of
waktu itu. Di balik teks yang tertulis, terdapat
understanding, which runs from the part of
teks (realitas) yang tidak ditulis atau dinafikan
the conversation to the whole conversation,
dan penafian atas realitas yang tidak ditulis ini
and back. The interlocutor calls the
menurut Cirino (1971) merupakan awal dari bias
expectation of meaning a force-conception
atau keberpihakan penulis dan media yang
of completeness: this solve the problem of
menyebarluaskannya. Pendekatan hermeneutika
contradiction between something unknown
tidak puas hanya mendeskripsikan apa yang
and the familiar.
tampak di permukaan (teks), akan tetapi
Dikaitkan dengan pokok studi ini maka berupaya untuk mengungkapkan true conditions
realitas yang ada di balik teks tentang (sensus plenior) yang menjadi makna hakiki dari
pencitraan etnis Dayak menjadi penuh setiap penelitian kualitatif, termasuk studi ilmu
pemahamannya apabila dilihat dalam komunikasi.
“lingkaran hermeneutika”. Apa yang tertulis
dalam teks, haruslah dipahami dalam konteks
sejarah dan tradisi pada waktu teks itu ditulis. Hasil dan Pembahasan
Menurut prinsip-prinsip hermeneutika yang Ngayau yang dipraktikan etnis Dayak
dipraktikkan Origenes (185–254), untuk dapat primitif, tidak dapat dilepaskan dari sejarah
menangkap sebuah teks, perlu terlebih dahulu dan tradisi pada waktu itu. Melepaskannya

114
R. Masri Sareb Putra, Makna di Balik Teks Dayak...

dari konteks, menyebabkan pemahaman (sensus divinitas) di kalangan etnis Dayak. Masih
tentang ngayau tidak utuh menyeluruh, dan lemahnya sistem komunikasi karena sarana
makna hakiki dari ngayau itu sendiri tidak transportasi yang belum memadai, di masa lalu,
ditemukan. Oleh karena itu, sebelum masuk turut ambil bagian membentuk pemikiran religi
ke pokok bahasan, lebih baik jika etnis Dayak. Keterbatasan mobilitas yang
dideskripsikan dulu konsepsi dan interaksi disebabkan bentuk dan kondisi geografis, mau
etnis Dayak dengan alam, dalam hal ini pulau tidak mau, melahirkan konsepsi bahwa jagad
Kalimantan, yang pada abad 18 hingga raya ini pasti ada penunggunya. Penunggu,
kemerdekaan Indonesia masih merupakan sekaligus pemilik jagad raya ini akan murka
hutan perawan yang di satu pihak memberikan apabila hutan Kalimantan dengan segenap isi
penghidupan bagi etnis Dayak, sedangkan di dan penghuninya dirusak atau tidak seimbang.
pihak lain tampak angker dan menyeramkan
sehingga dianggap memiliki kekuatan gaib. Liku-liku konsepsi etnis Dayak mengenai
Realitas Mutlak, sejatinya dapat ditelusuri
dengan mengamati sejauh manakah alam ini
Latar Permasalahan menguasai segi-segi tertentu dan sejauh mana
Situasi kondisi Pulau Borneo di masa lampau, intensitasnya merasuki kehidupan mereka.
turut mewarnai lahirnya perasaan religius (sensus Kondisi alam pulau Borneo yang serba angker
religiosus) dan perasaan akan “Ada yang Illahi” menyimpan misteri yang tidak perlu dijawab.

Gambar 2. Peta Borneo


(Sumber: http://maps.grida.no/library/files/extent-of-deforestation-in-borneo-1950-2005-and-
projection-towards-2020.jpg)

115
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Dalam konteks kebersatuan dan hubungan anasir-anasir alam raya dalam sistem
yang harmonis dengan jagad raya inilah seluruh kepercayaan Dayak merupakan unsur-unsur
siklus kehidupan etnis Dayak harus utama. Emosi keagamaan ini kemudian
ditempatkan. Pada peta di atas terlihat mengkristal, membangun sistem kepercayaan.
bagaimana kondisi pulau Kalimantan yang Sebagai contoh, betapa isi jagad raya
berangsur-angsur menjadi gundul dan dipercayai memunyai roh dan kehidupan yang
mengancam segenap biomenya, termasuk etnis merupakan emanasi atau pancaran (napas) dari
Dayak. Dalam konteks ini, dapat dimengerti jika Yang Illahi. Bahkan tumbuhan pun dipercayai
etnis Dayak mati-matian melawan perusakan mempunyai hidup, sehingga janganlah asal
hutan dan lingkungan oleh HPH, perkebunan menebang atau merusak tumbuhan.
kelapa sawit, perusahaan pertambangan, serta Oleh karena itu, kepercayaan tersebut
transmigrasi yang tidak terencana. Kasus lantas dibakukan dalam sistem kepercayaan.
perlawanan penduduk lokal terhadap Orang Dayak tidak boleh menebang pohon
perusahaan tertentu dan penambangan yang tertentu, terutama pohon yang memberikan
merusak lingkungan yang berujung pada amuk buah dan mendatangkan manfaat serta yang
massa, sesungguhnya merupakan ujud dari memberikan energi hidup bagi manusia. Untuk
upaya mempertahankan kelestarian alam. itulah ditetapkan larangan untuk tidak
Meski mengakui adanya kekuatan gaib, menebang atau memotong dahan pohon buah
agama asli Dayak yang sesungguhnya tertentu jika hendak mengambil atau memanen
merupakan “agama alam” karena untuk sampai buahnya. Sebagai contoh, pohon durian tidak
ke kekuatan gaib, mereka terlebih dahulu boleh dirusak. Buahnya hanya boleh diambil jika
berkomunikasi melalui alam. Realitas Mutlak jatuh. Atau jika ingin mengambil semuanya dan
yang dinamakan “Penompa” atau “Jubata” dibagi-bagi, dipanjat dan jika pohonnya besar
diyakini memancarkan kekuatan pada alam hanya dipasak, untuk dijolok buahnya dengan
semesta, termasuk pada pohon, batu, dan galah. Pohon peluntan, mentawa, atau tasam
tempat tertentu yang dianggap kudus atau hanya boleh diambil buahnya dengan memetik
punya kekuatan magis. Kontak fisiologis dan (menjolok) tangkainya dengan galah. Jenis
psikologis dengan jagad raya yang melahirkan rambutan dianjurkan dipetik tangkainya. Jika
perasaan religi dianggap sebagai perjumpaan sangat terpaksa, maka dahannya yang ada buah
tidak langsung dengan Yang Illahi. Alam raya dapat dipotong (istilah Dayak Jangkang di-tija.
dengan segala tanda dan misteri yang Dengan cara me-nija ini, maka nantinya akan
meliputinya, merupakan sarana perjumpaan keluar tunas-tunas baru. Tahun depan, dari
dengan sang penguasa dan pemiliknya. Karena tunas ini akan keluar bunga yang menghasilkan
itu, sistem kepercayaan mereka pun buah.
berhubungan, dan sangat bergantung, pada Sistem kepercayaan yang demikian itu
alam. melahirkan keyakinan dan memunculkan
Sensus Divinitas Dayak akan muncul, bayangan manusia akan sifat-sifat Illahi, ujud
manakala masuk dan menyatu dengan alam alam gaib, dewa-dewa, dan makhluk-makhluk
raya. Mereka dapat merasakan emosi halus lainnya yang mendiami alam raya dan
keagamaan tatkala berinteraksi dengan alam alam gaib. Sebagai konsekuensinya, komunikasi
raya dan segenap anasirnya. Sementara bagi sosio-religius-kebudayaan etnis Dayak hanya
orang luar, alam raya yang sama biasa-biasa terjadi di kalangan internal mereka saja.
saja, tidak memunculkan emosi keagamaan, Sementara ke luar, komunikasi tersebut mungkin
bahkan berperasaan dingin. Ini karena bagi hanya terjadi dengan komunitas lain, yang
manusia Dayak, anasir-anasir alam ini adalah secara geografis berdekatan. Ciri-ciri alamiah
“benda-benda kebudayaan” yang Borneo yang masih asli turut mewarnai
menggelorakan emosinya. Hal ini disebabkan keyakinan etnis Dayak. Mereka yakin bahwa

116
R. Masri Sareb Putra, Makna di Balik Teks Dayak...

lahan pertanian akan mendatangkan kapan dimulai dan bagaimanakah sejarahnya,


penghidupan jika diolah secara arif dan agaknya masih simpang siur dan sering muncul
bijaksana dan dijaga keseimbangan dan dalam berbagai versi. Hal ini disebabkan belum
kelestariannya. ada studi dan catatan sejarah mengenai asal
Demikian pula, hutan yang kaya dengan flora mula ngayau secara detail dan kronologis.
dan fauna menyediakan bermacam ragam Hanya ada catatan mengenai kesepakatan
keperluan hidup. Akan tetapi, di pihak lain, alam bersama seluruh etnis Dayak Borneo Raya
ini sekaligus juga bisa mendatangkan bencana. untuk mengakhirinya. Ini terjadi pada pada 22
Tersesat di hutan, sampar, banjir, penyakit, dan Mei - 24 Juli 1894, ketika diadakan Musyawarah
berbagai malapetaka menyadarkan mereka bahwa Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi
ada kekuatan lain di atas kuasa manusia. Hanya Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah.
saja, bagaimana bentuknya, esa ataukah kolektif, Ngayau, sebagaimana juga mangkok merah
apakah kekuasaan tersebut hierarkial; mereka (tanda atau pekik perang disertai dengan
belum menemukan jawaban yang meyakinkan. sejumlah simbol yang diedarkan secara berantai
Dalam konteks itu, kepercayaan Dayak atau dari kampung ke kampung ), tidak boleh
populer disebut “agama lokal” atau Kaharingan dilakukan sembarangan dan harus melalui
harus dimengerti karena persebaran penduduk mufakat. Harus ada alasan kuat dan masuk akal
yang sporadis, dan saluran komunikasi yang untuk ngayau. Dari penuturan dan kesaksian
masih primitif, interaksi sosial juga terbatas. para tokoh dan pelaku ngayau yang masih hidup
Terjadi perbedaan penyebutan nama dewa dan hingga saat ini, dapat disimpulkan terdapat
juga bentuk pemujaan yang beragam. Namun, empat alasan mengapa etnis Dayak ngayau.
jika diteliti dengan seksama, sebenarnya Secara tertulis, tata cara mengedar dan
terdapat kesamaan yakni jagad raya ini ada memaklumkan pekik perang ini diatur dalam
pemilik dan penunggunya. Sang pemilik dan Hukum Adat salah satu subsuku Dayak
sang penunggu jagad yang menyelenggarakan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan
keberadaan dan keberlanjutan alam ini. Barat dalam Bab 41 tentang “Mangkok Merah”
sebagai berikut:
Hukum adat ditetapkan dengan
memerhatikan hukum keseimbangan manusia Mangkok merah pada hakikatnya adalah
dengan alam. Komunitas sebetang atau satu sarana komunikasi antarkampung untuk
ketemenggungan oleh ikatan adat istiadat menyampaikan berita adanya bahaya/ancaman
dianggap dapat bersama-sama menjaga melanda sebuah kampung/komunitas tertentu.
keseimbangan tersebut. Akan tetapi, Mangkok merah terdiri atas beberapa unsur,
keseimbangan perlu terus-menerus dijaga dan seperti:
dipertahankan. Di pihak lain, restu dari pemilik - Mangkok
dan penjaga alam raya tidak boleh dinafikan, - Darah ayam
untuk itu harus dilaksanakan upacara terutama - Abu
jika ada tanda-tanda bahwa ia murka, salah satu - Daun kajangk
di antaranya ialah upacara notongk atau gawai - Batang korek api dan
burong. Oleh sebab itu harus ada korban untuk - Bulu ayam
dipersembahkan, dan korban itu didapat dengan
ngayau yang lazimnya diadakan ketika padi di Mangkok merah disampaikan berantai dari
ladang mulai menguning. satu kampung ke kampung lain, tidak boleh
menginap. Pembawa mangkok merah yang
Alasan Ngayau menyampaikannya wajib menerangkan maksud
mangkok merah itu kepada penerima, sehingga
Asal usul kata ngayau umumnya terdapat warga kampung dapat segera menanggapinya.
kesepakatan di kalangan suku Dayak. Namun, Berikut ada tiga pasal sebagai aturannya:

117
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

Pasal 1 untuk sampai pada perang itu sendiri tidak


Mengedarkan Mangkok Merah tidak mudah, dirapatkan, dipertimbangkan masak-
boleh sembarangan, harus masak untung rugi atau baik buruknya.
Sebaliknya, jika setelah dipertimbangkan tidak
dipertimbangkan alasan-alasan
ada alasan yang cukup kuat dan masuk akal
yang masuk akal, dan untuk itu,
untuk itu, maka seseorang atau kelompok yang
perlu meminta pertimbangan tokoh/
mengedarkan “mangkok merah” justru
tetua adat.
dikenakan tindak hukum tentang “Pomomar
Pasal 2 Darah” karena berbohong kepada publik.
Mengedarkan Mangkok Merah Dengan demikian, ngayau tidaklah merupakan
haruslah dilandasi alasan yang kuat, tindakan yang sembarangan, apalagi spontan.
yakni alasan yang menyangkut Ngayau menjadi tindakan bersama etnis Dayak,
kepentingan umum serta karena itu, disebut juga dengan “tradisi”. Tentu
berdampak luas pada tatanan sosial saja, untuk memahami true conditions dari
yang hakiki. ngayau, perlu diselami apa yang menjadi
motifnya.
Pasal 3
Lontaan (1975 : 533-537) mencatat
Seseorang/kelompok yang setidaknya terdapat empat motif ngayau.
mengedarkan Mangkok Merah Pertama, melindungi pertanian. Kedua,
tanpa alasan yang masuk akal, mendapatkan tambahan daya (rohaniah).
dapat dikenakan pasal hukum adat Ketiga, balas dendam. Keempat, sebagai
tentang Pomomar Darah karena penambah daya tahan berdirinya bangunan.
berbohong kepada publik. Sesungguhnya, masih ada motif lain di balik
ngayau –dan ini jauh lebih penting— yakni upaya
Dari pasal-pasal hukum adat mengenai atau mekanisme mempertahankan diri. Boleh
“mangkok merah” dan ngayau di atas dapat dikatakan bahwa motif mempertahankan diri ini
ditarik simpulan bahwa haruslah ada argumen lebih sering mengemuka daripada motif-motif
yang rasional atau dalam bahasa hukum adat lain, terutama pascaperjanjian Tumbang Anoi.
setempat “alasan yang kuat, yakni alasan yang Motif inilah yang lebih mengemuka dari
menyangkut kepentingan umum serta peristiwa konflik penduduk lokal Kalimantan
berdampak luas pada tatanan sosial yang dengan Madura dari 1950-2001 seperti
hakiki” untuk memaklumkan pekik perang. Jalan diperlihatkan dalam tabel yang berikut ini.

Tabel 1. Kronologi dan Akar Konflik antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan

Tahun Akar Konflik

1950 Pertama kalinya perkelahian massal antara pendatang Madura dan etnis Dayak pecah.
Pertikaian ini menelan korban dalam jumlah besar. Tidak jelas diketahui apa penyebabnya.
1968 Sani, Camat Sungaipinyuh, Kabupaten Pontianak dibunuh oleh petani Madura. Petani itu
kecewa karena Sang Camat menolak melayani urusan pembuatan surat jual beli tanahnya.
Si petani yang tak bisa menerima alasan yang dikemukakan, langsung menikam Sani
hingga tewas.
1976 Kerusuhan besar antara Dayak-Madura pecah untuk kedua kalinya di Sungaipinyuh.
Kerusuhan ini dipicu pembunuhan Cangkeh, petani Dayak, yang dilakukan beberapa orang

118
R. Masri Sareb Putra, Makna di Balik Teks Dayak...

Madura yang marah karena pendatang Madura dihardik Cangkeh hanya karena menyabit
rumput di halaman rumahnya.
1977 Bentrokan kedua etnis kembali terjadi. Kali ini di Singkawang, Kabupaten Sambas. Robert
Lonjeng, seorang polisi dari suku Dayak dibantai seorang pemuda Madura. Si pemuda
rupanya gelap mata setelah perang mulut dengan Robert, yang menegur si pemuda,
marah karena adik perempuannya diajak pergi sampai larut malam. Robert tewas seketika
oleh sabetan celurit Madura yang memacari adiknya.
1979 Dua tahun berikutnya, di Salamantan, Kabupaten Sambas, Sidik, seorang petani Dayak
tewas disabet celurit Asmadin etnis Madura. Asmadin marah ketika dilarang menyabit
rumput di halaman rumah milik Sidik. Perkelahian massal, saling membunuh pun terjadi.
Sebanyak 21 orang tewas dan 65 rumah terbakar. Untunglah, perang ini tak bertambah
besar. Bala bantuan dari Madura yang dikabarkan terdiri dari dua kapal penuh lelaki,
sempat disusul dandiminta kembali ke darat oleh Bupati dari etnis Madura ketika itu.
Mencegah peristiwa terulang, didirikanlah Tugu Perdamaian di Kecamatan Salamantan,
Kab. Sambas.
1983 Di Sungaienau, Ambawang, Pontianak, meledak perkelahian antaretnis Madura dan Dayak.
Pemicunya, terbunuhnya Djaelani, petani Dayak oleh petani Madura yang berseteru soal
tanah.
1993 Perkelahian antarpemuda di Pontianak menelan banyak korban jiwa. Kerugian juga jatuh
akibat dibakarnya Gereja Maria Ratu Pecinta Damai dan Sekolah Kristen Abdi Agape oleh
sekelompok orang karena dianggap sebagai simbol Dayak.
1996- Perkelahian kedelapan meledak di Sanggauledo, Sambas. Aksi anti-Madura ini berawal
1997 dari insiden perkelahian antarpemuda kedua suku pada sebuah pertunjukan dangdut di
Ledo, 20 kilometer dari Sanggauledo. Sekelompok pemuda Madura menggoda pemudi-
pemudi. Bakrie, anak pasangan Dayak dan Madura, tersinggung dan mencelurit Yokundus
dan Takim, pemuda Dayak, sehingga masuk rumah sakit. Teman-teman Yokundus pun
mengamuk dan menyerang daerah transmigrasi sosial Lembang dan Marabu. Penghuni
daerah transmigrasi tersebut terlanjur kabur. Pemuda-pemuda yang marah itu lalu
membakar rumah-rumah yang dikosongkan sebagai pelampiasan amarah. Selanjutnya,
kerusuhan terjadi ketika sekelompok orang bertopeng membakar kantor dan Koperasi
Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih yang dimiliki dan dikelola etnis Dayak. Saling bunuh
pun terjadi setelah Sartinus Nyangkot, Kepala Desa Maribas, Tebas, tewas dibantai
sekelompok pemuda Madura yang menghadangnya sekembali mengikuti upacara wisuda
anaknya, Maria Ulfa, di Pontianak. Peristiwa ini menewaskan hampir 200 orang.
1999 - Pertikaian antara Madura, Melayu, Bugis, yang kemudian juga melibatkan Dayak,
pecah di Sambas, Kalimantan Barat. Sebanyak 265 orang telah tewas (252 Madura,
12 Melayu, seorang Dayak), 38 luka berat, sembilan luka ringan. Harta yang musnah:
lebih dari 2.330 rumah hangus terbakar dan 164 dirusak massa, empat mobil dibakar
dan enam dirusak, sembilan sepeda motor dibakar dan satu dirusak.- Kasus ini
dimulai dari serangan balasan ratusan orang Madura dari Desa Rambaian dan
sekitarnya ke Desa Paritsetia, Kecamatan Jawai. Insiden ini menewaskan tiga orang
dan tiga lainnya luka-luka berat di pihak suku Melayu. Anehnya, yang ditahan aparat
keamanan justru seorang suku Melayu, bukan warga penyerang. Sebelumnya ada
kasus pula, Rudi, pemuda asal Madura, menyerang Bujang Labik yang Melayu dengan
celurit. Rudi tersinggung dipelototi kernet angkutan kota itu lantaran tak membayar
ongkos. Setelah itu, konflik pun meletus antara etnik Dayak dan Madura. 

119
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

- Muncul pula kasus baru. Ibrahim, pemuda Madura, menenteng senjata api rakitan di
Pasar Pemangkat. Dianggap petentengan, ia ditegur beberapa orang. Ibrahim tak
senang dan terjadilah cek-cok. Setelah itu, Ibrahim pulang. Entah siapa pelakunya,
tiba-tiba ditemukan empat warga Madura tewas, tiga di Desa Perapakan dan seorang
di Desa Sinam. Keterlibatan orang Dayak dalam konflik etnis ini dipicu terbunuhnya
Martinus Amat, karyawan perkebunan kelapa sawit asal Salamantan oleh seorang
pemuda. Mobil yang ditumpanginya pun dibakar.
- Etnis Bugis juga terlibat dalam clash sosial dengan Madura. Berawal dari perang
mulut antara pemuda Madura dan Bugis karena Madura ingin menonton gratis road
race di terminal induk Singkawang. Ia mengancam hendak menyerang
Kualasingkawang. Etnis Bugis pun ikut angkat senjata dan larut dalam kerusuhan
massal.
2001 Konflik antara Dayak dan Madura meletus di Sampit, Kalimantan Tengah. Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia mencatat bahwa korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa. Menurut
data kepolisian, 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya dirusak. Muncul banyak
versi yang memicu kasus perseteruan antar-etnis kesepuluh ini. Dari kisah terbunuhnya
ibu hamil sampai balas dendam warga Madura atas kerusuhan di Kerengpangi, Kabupaten
KotawaringinTimur.

Benar adanya bahwa sebelum perjanjian dilakukan pada anak-anak di bawah umur dan
Tumbang Anoi disepakati, terjadi praktik wanita yang baru saja melahirkan.
headhunting bahkan di kalangan sesama Dayak. Pantangannya juga ada. Jika memasuki sebuah
Praktik ngayau antar sesama Dayak ini sukar kampung dan di jalan hendak masuk kampung
dibantah dan memang demikianlah adanya. itu rombongan yang mengayau menemukan
Dayak Jangkang misalnya, dahulu kala tempayan berisi tuak, daging ayam/babi, kue
bermusuhan dengan Dayak Ribunt. Ditilik dari ketan yang dimasak dalam bambu muda
asal usul, keduanya dari satu moyang yang (lemang/sobangkangk) dan disajikan dengan
sama. Dayak Ribunt merupakan pecahan dari rapi dalam sebuah kerancak (altar) maka
Kopa, terbukti dari kesamaan dialek dan bahasa. kampung tersebut tidak boleh dikayau. Sesajen
Meski satu asal usul, pada zaman pengayauan, tersebut adalah petanda (signifier) yang
kedua suku saling bermusuhan. Saat itu, berlaku menunjuk pada pesan bahwa kampung tersebut
hukum rimba: yang kuat memangsa yang sedang dalam suasana berkabung atau ada
lemah. Sebagai contoh, di kalangan Dayak wanita yang baru melahirkan (signified). Dalam
Djangkang, panglima perang yang kerap muncul bahasa Dayak Jangkang, sesajen yang memberi
dalam kisah-kisah epos adalah Macan Gaingk. pesan “minta maaf” ini disebut sirok somah.
Dikisahkan tiap kali padi di ladang sudah mulai Sirok berarti tiarap atau menunduk dan somah
menguning, di bawah pimpinan Macan Gaingk, berarti menyembah.
Dayak Jangkang ngayau ke luar wilayah Saling mengayau di antara sesama Dayak,
Jangkang. Hasil kayauan nantinya ditarikan bukanlah semata-mata mencari kepala musuh
dalam pesta gawai yang disebut dengan sebagai tanda bukti kekuatan dan kebanggaan.
notongk. Gawai tidak akan meriah, dan terasa Namun, dilatari juga oleh nafsu balas dendam
hampa, manakala dalam pengayauan tidak dan sebagai cara mempertahankan diri:
didapatkan hasil seperti yang diinginkan. menyerang lebih dulu sebelum diserang. Ini
Meski ngayau merupakan perang mirip dengan pepatah Latin si vis pacem, para
antarsuku, ada juga aturan-aturan adat yang bellum (jika Anda menginginkan damai, siap
harus dipatuhi. Misalnya, ngayau tidak boleh sedialah untuk perang). Masuknya misionaris

120
R. Masri Sareb Putra, Makna di Balik Teks Dayak...

Katolik di tengah-tengah etnis Dayak, terutama perlengkapan menjadi penting; dan


dengan datangnya misi Katolik ke pulau Borneo keterampilan ini dilatih pada anak laki-laki sejak
pada pengujung abad 18, membawa pengaruh kecil. Terutama teknik melindungi diri dari
positif. Ajaran Kristen yang radikal untuk tidak serangan musuh menggunakan perisai (kolaok)
balas dendam dengan hukum “mata ganti mata, dan disertai dengan gerakan bersilat atau
tulang ganti tulang” segera merasuk etnis menangkis pukulan. Pertahanan diri ini kadang
Dayak. Ajaran cinta kasih ini menyadarkan diperlukan, manakala menghadapi lawan yang
masyarakat Dayak untuk segera menghentikan seimbang; untuk menjaga stamina jangan
tradisi mengayau. Musyawarah dihadiri para sampai menghambur-hamburkan tenaga
kepala adat se-Borneo Raya yang berkumpul percuma tanpa hasil. Teknik bertahan kerap
dan bersepakat untuk menghentikan diperlukan dalam pengayauan. Namun, jika
pengayauan antarsesama Dayak. Namun, menghadapi lawan yang lebih ringan, akan
pertemuan yang berbuah kesepakatan Tumbang digunakan teknik menyerang. Keterampilan
Anoi sendiri diprakarsai pemerintah Hindia memainkan mandau menjadi keharusan, kapan
Belanda tahun 1894. harus diayun (gerakan memancung atau
Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti memenggal) dan kapan menusuk (namok).
“musuh”. Terdapat berbagai versi etimologi Kerap pula berperang menggunakan tangan
ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam kosong. Sesudah musuh roboh, barulah di-ayau.
Tantang Jawab Suku Daya (1971) menyebut Jadi, dalam pertempuran sekalipun, orang
bahwa ngayau berarti pergi berperang. Dayak punya tata karma sekaligus tata cara.
Sementara bagi Dayak Lamandau dan Dayak Jangan sampai musuh menanggung rasa sakit
Delang di Kalimantan Tengah, ngayau berasal terlalu lama akibat luka parah. Karena itu,
dari kata “kayau” atau “kayo’ yang berarti: langsung dihabisi dengan cara dipenggal. Itulah
mencari. Mengayau memang berarti makna mengayau sesungguhnya. Akan tetapi,
memanggal kepala (musuh) namun, perlu serta merta perlu diberikan catatan pada apa
ditambahkan bahwa khusus Dayak Jangkang yang disebutkan perbuatan dan tindak-budaya
kata “ngayau” sudah merupakan bentukan atau ini. Kedengarannya aneh di telinga untuk saat
derivasi. Pastilah kata dasarnya ayau atau yau ini. Namun, jika menyelami keyakinan etnis
yang mengandung arti bayangan, kelebat, atau Dayak lebih mendalam maka kita akan segera
jelmaan. Kebenaran asal usul ini dapat ditelusuri menjadi mafhum di balik tradisi mengayau ini.
dari ungkapan yang berikut ini. Jika seseorang Ngayau tidak terlepas dari keyakinan
pergi berburu, atau menangkap ikan, sepulang komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal
ke rumah ditanyakan, “Ada tangkapan?” ini dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi
Jawabnya dalam bahasa Jangkang, “Saja aba yang diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut
yao neh dek kidoh” (Jangankan dapat, bayang- keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak
bayangnya pun tidak ada!” yakin mereka adalah keturunan makhluk langit.
Berdasarkan bukti tersebut, dapat ditarik Ketika turun ke dunia ini, menjadi makhluk yang
kesimpulan bahwa ngayau dalam bahasa paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa
Jangkang berasal dari kata dasar ayau atau yau. bumi (Borneo). Keyakinan ini pada gilirannya
Dengan demikian, ngayau identik dengan membawa konsekuensi, orang Dayak lalu
berburu, sebab mencari ayau belum tentu memandang rendah entis lain (pendatang). Jika
berhasil. Banyak faktor menentukan, misalnya mengganggu dan mengancam keberadaan dan
peruntungan, nasib baik, dan sasaran tangkapan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat
yang memang ada. Yang tidak kalah penting disingkirkan. Akan tetapi, harus ada alasan yang
adalah keterampilan si pemburu di medan laga, kuat untuk itu. Darah hewan tertentu, apalagi
atau dia yang terkayau, atau musuh. manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai
Keterampilan mengunakan alat dan terjadi, mereka akan menuntut balas. Prinsip

121
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

bahwa mata ganti mata, gigi ganti gigi benar- All eyes focused on the sturdy and
benar diterapkan. Meski mengalami handsome Lasa Kulan. He smiled while glancing
penyempurnaan dan penyesuaian, sisa-sisa at Kunang, Chief Kenyau’s daughter. Lasa
praktik “mata ganti mata, gigi ganti gigi” ini Kulan’s smile widened as he puffed out his
masih diteruskan sub etnis Dayak tertentu chest, displaying his handsome body while
hingga hari ini. firmly holding his bakin in one hand and the hilt
Pasal-pasal hukum adat Kecamatan of the ilang sheathed at his waist in the other.
Jangkang, misalnya hingga hari ini masih terasa The smile was still on his lips when Kumang
kental nuansa penuntutan atas pertumpahan Raja returned. However, the smile soon faded
darah ini. Terbukti dari diaturnya secara detail along with the memory of Kunang, his
pasal-pasal yang menetapkan pengadilan atas sweetheart.
perkara dari mulai yang terkecil kasus “They are Melanau,” Kumang Raja reported.
pertumpahan darah hingga mengakibatkan
kematian, yang dalam bahasa Dayak Jangkang “How many of them are there?” asked Lasa
disebut dengan “Adat Pati Nyawa”. Satuan untuk Kulan calmly.
menghitung ganti atas pertumpahan darah unik, “Non many – only seven.”
disebut dengan tael. Di masa lampau,
“Good, we can easily defeat them,” said
menghilangkan nyawa manusia meski tidak
Lasa Kulan, patting his companion on the
sengaja (misalnya tertembak waktu berburu)
shoulder.
maupun secara sengaja maka si pelaku akan
mengalami kesulitan membayarnya. Seisi Kisah heroik para pahlawan Dayak di
keluarga dan sanak saudara akan turut terlibat medan perang menumpas musuh dan hikayat
membantu. Bahkan, bukan tidak mungkin sampai mengenai ngayau dikisahkan hampir semalam
seumur hidup pelaku menunaikan kewajibannya suntuk pada upacara gawai (panen padi).
untuk membayar Adat Pati Nyawa. Tujuannya ialah agar pendengar terkesan,
tersentuh perasaannya, dan akhirnya terdorong
untuk melakukan seperti yang dilakukan nenek
Makna Hakiki Ngayau
moyangnya. Citra lelaki Dayak yang gagah
Apa yang dipaparkan di atas hanya berlaku perkasa dan disukai wanita pun dibentuk dan
dalam situasi normal. Akan tetapi, ngayau lain diturunkan dari kisah heroik dari ngayau.
lagi. Mitos lain ialah bahwa setiap kali Tujuannya agar setiap lelaki Dayak gagah berani
membangun jembatan atau membangun betang, dan rela mati demi mempertahankan tanah
pondasinya akan kokoh kuat apabila ada leluhurnya. Para kstaria Dayak yang berangkat
tumbalnya. Seperti digambarkan Amil Jaya (2009 dan pulang ngayau selalu dilepas dan disambut
: 5-6) dalam novel berikut ini: dengan meriah. Begitu rombongan turun ngayau
“This longhouse needs human blood. The dan meninggalkan kampung, mereka dilepas
foundation pillar cannot be created without the oleh keluarga dan para wanita dengan upacara
khusus. Sambil minum tuak, menyanyi, dan
sacrifice,” said Chief Kanyau, referring to the
menari, para kstaria akan berteriak menyerukan
ngayau ritual.
pekik perang. Dayak Jangkang menyebutnya
“But this task of obtaining humans for the “nyoru somangat”, Dayak Kanayant
sacrifice is going to be very difficult,” exclaimed menyebutnya “basaru samangat”, tetapi
his assistant, Tuai Rumah Janting. “Our warriors lazimnya disebut dengan tariu.
are still not trained foe battle.”
Itulah makna hakiki (true conditions) di balik
“I have pondered upon the matter and mitos ngayau. Para penulis Barat dan penulis
appointed Lasa Kulan to lead this headhunting dari luar etnis Dayak pada umumnya –karena
team. I am convinced that he is the best warrior tidak memiliki apa yang oleh Gadamer disebut
to perform the task.” dengan vorurteil— telah keliru menangkap

122
R. Masri Sareb Putra, Makna di Balik Teks Dayak...

makna ngayau. Peristiwa Sambas (1999) dan produktivitas setempat.


Sampit (2001) bukanlah ngayau seperti Geliat ekonomi tumbuh pesat di Kalimantan
dipersepsikan banyak orang, melainkan upaya bersamaan dengan program transmigrasi dari
dan ujud mempertahankan diri dari etnis Dayak Jawa. Dalam catatan sejarah, belum pernah
berikut wilayahnya dan karena terdapat terjadi social clash transmigran etnis Jawa
pertalian dan persamaan antara Dayak di dengan penduduk Kalimantan. Hal ini karena
Indonesia dan Malaysia maka Dayak Malaysia kearifan Jawa yang mengusung keharmonisan,
pun turut membantu saudara-saudaranya jika lemah lembut, pandai mengambil hati penduduk
terjadi pertikaian yang mendesak dan setempat, serta sikap mau mengalah dalam hal-
mengancam saudara sebangsanya. hal yang dianggap tidak terlalu prinsip. Tidak
Keterdesakan oleh program transmigrasi, ada tindak dan sikap agresitivas yang mencolok
tanah adat dijadikan areal perkebunan kelapa yang dilakukan transmigran etnis Jawa, hal yang
sawit, hutan dibabat, tanah dirusak oleh proyek oleh penduduk lokal dianggap sebagai simbol
pertambangan, dan tampilnya pemimpin politik dari sikap “di mana bumi dipijak, di sana langit
di wilayah Kalimantan yang bukan putra daerah; dijunjung”.
telah menimbulkan gejolak sosial. Akibatnya, Di mata penduduk lokal, sikap dan perilaku
penduduk asli Kalimantan merasa terdesak dan transmigran etnis Jawa sangat kontras dengan
terancam. Ketika ada pemicu, maka kekecewaan transmigran dari Pulau Madura. Selain karakter
dan kekesalan tersebut dengan mudah yang keras karena kehidupan sehari-hari orang
ditumpahkan dengan mencari tumbal “musuh” Madura yang dekat pantai dan padat penduduk,
yang paling dekat. Keterdesakan dan ancaman budaya dan kebiasaan Madura tidak selaras
tersebut di atas semakin dirasakan etnis Dayak, dengan budaya dan kebiasaan penduduk
ketika Pemerintah Orde Baru mulai program Kalimantan. Sebagai contoh, orang Madura jika
transmigrasi. Di banyak wilayah di Kalimantan, ke sawah akan membawa sabit dalam keadaan
program transmigrasi harus diakui berhasil terhunus dan tidak disarungkan, sementara
dilihat dari geliat pertumbuhan ekonomi dan orang Dayak membawa parang ke ladang atau
pembangunan sarana dan prasarana. ke mana pun dalam keadaan disarungkan.
Bersamaan dengan program transmigrasi, Orang Dayak punya persepsi jika seseorang
Pemerintah membangun juga jalan, sehingga membawa parang dalam keadaan terhunus
menjadi penghubung hasil produksi, kerajinan, berarti menantang berkelahi atau mengajak
dan kebudayaan di pedesaan masuk kota. Di untuk berperang. Itulah yang terjadi
Kalimantan Barat misalnya, program pascaperjanjian Tumbang Anoi. Dilihat dari
transmigrasi yang dapat dikatakan cukup modus-nya, memang terdapat kesamaan
berhasil adalah di Rasau Jaya di wilayah ngayau tempo dulu dan masa kini. Akan tetapi,
Kabupaten Kubu Raya, di Kecamatan Batang motif dan casus belli-nya berbeda. Untuk itu,
Tarang dan di wilayah Kecamatan Mokok dan selayaknya citra etnis Dayak sebagai
Jangkang, Kabupaten Sanggau. Bagaimana para headhunting mulai ditanggalkan karena
transmigran “menarik maju” penduduk lokal di esensinya tidak seperti dahulu lagi. Metode
bidang pertanian dan perdagangan, mirip hermeneutika dapat membongkar mitos
dengan apa yang oleh Kaname Akamatsu semacam itu dengan menunjukkan hakikat atau
disebut sebagai flying geese dalam formasi makna sesungguhnya dari realitas.
angsa terbang. Dapat dikatakan bahwa titik-titik
transmigrasi menjadi faktor penarik majunya
penduduk lokal. Selain itu, keuletan dan Simpulan
keterampilan para transmigran asal Jawa yang Praktik ngayau disepakati untuk dihentikan
umumnya petani ditransfer ke penduduk lokal. pada 1894 dalam musyawarah besar Dayak se-
Terjadi alih keterampilan dan pengetahuan yang Borneo di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah,
pada gilirannya otomatis meningkatkan yang difasilitasi pemerintah kolonial. Karena itu,

123
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

citra sebagai suku bangsa headhunter atau Hermeneutika yang pada mulanya adalah
pengayau yang melekat pada etnis Dayak tradisi filsafat masih sesuatu yang baru dalam
selayaknya ditanggalkan karena sudah tidak dunia komunikasi, meski di Amerika dan Eropa
sesuai lagi dengan kenyataan. Terdapat para ilmuwan komunikasi sudah mulai tertarik
perbedaan motif, faktor, dan makna ngayau pra dengan pendekatan ini sejak 1970-an. Karena
dan pascaPerjanjian Tumbang Anoi. dapat mengungkap makna hakiki dari realitas,
PascaPerjanjian Tumbang Anoi, ngayau ialah pendekatan hermenutika sangat cocok
upaya dan ujud mempertahankan diri, berikut diterapkan dalam penelitian komunikasi. Di
wilayahnya. Inilah makna atau sensus plenior Indonesia, masih sangat langka teks diteliti
dari ngayau seperti yang masih dipersepsikan menggunakan tradisi hermenutika. Padahal,
banyak orang. tradisi hermenutika ini penting bukan saja
Teks tidaklah berdiri sendiri, teks ditulis karena dapat mengungkap makna realitas
dan ada-bersama (koeksistensi) serta secara hakiki, melainkan juga merekonstruksi
menyatu dengan sejarah dan tradisi pada realitas dalam perspektif tradisi dan sejarah.
waktu itu. Di balik teks yang tertulis, terdapat Realitas yang dikonstruksi dalam teks belum
teks (realitas) yang tidak ditulis atau realitas yang penuh. Realitas yang penuh ialah
dinafikan dan penafian atas realitas yang gabungan makna dalam teks dan makna di luar
teks. Untuk masa-masa yang akan datang, agar
tidak ditulis ini merupakan awal dari bias
realitas etnis Dayak dikonstruksi secara utuh dan
atau keberpihakan penulis dan media yang
tidak bias, para ilmuwan dan praktisi hendaknya
menyebarluaskannya. Terkait dengan isu
mengembangkan dan menerapkan tradisi
headhunter, para penulis Barat cenderung
hermenutika dalam penelitian komunikasi.
mengangkat dan menulis hal-hal yang
sensasional daripada membeberkannya
secara utuh menyeluruh. Di balik teks yang Daftar Pustaka
ditulis, sebenarnya masih terdapat realitas
lain yang tidak tertulis tentang headhunter. Bock, Carl. 1985. The Headhunters of Borneo
Makna yang terdapat pada teks yang melabeli (cetak ulang). Singapore: Oxford
Dayak sebagai etnis headhunter adalah University Press.
pemburu kepala musuh, belas dendam, dan Cavendish, Richard dan Brian Innes. 1997. Man,
mencari kekuatan, dan gaib. Sementara Myth & Magic: The Illustrated
makna yang tidak tertulis ialah headhunter Encyclopedia of Mythology, Religion and
di kalangan etnis Dayak ialah mekanisme the Unknown. Volume 1. Marshall
pertahanan diri. Hermeneutika berupaya Cavendish.
mencari dan menemukan makna yang purna
dari realitas. Deetz, Stanley. 1976. Gadamer’s Hermeneutics
and American Communication Studies.
Untuk itu, perlu dicari makna hakiki dari Paper presented at the Annual
headhunter. Pendekatan hermeneutika dapat International Colloquium on Verbal
memberikan sumbangsih untuk mengungkap Communication.
makna yang purna karena pendekatan tersebut
tidak puas hanya mendeskripsikan apa yang Gadamer, Hans-Georg. 1975. Truth and Method.
tampak di permukaan (teks), akan tetapi London-New York: Continuum.
berupaya untuk mengungkapkan true conditions Hoskins, Janet (ed.). 1996. Headhunting and the
(sensus plenior) yang menjadi makna hakiki dari Social Imagination in Southeast Asia.
setiap penelitian kualitatif, termasuk studi ilmu Stanford, California: Stanford University
komunikasi. Press.

124
R. Masri Sareb Putra, Makna di Balik Teks Dayak...

Jaya, Amil. 2009. The Headhunter: Ngayau. History. New York: McGraw Hill.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Miller, Charles C. 1942. Black Borneo. New York:
Pustaka. Modern Age Books.
Lonsen, F.X. dan L.C. Sareb. 2002. Hukum Adat Parry, Richard Lloyd. 2005. In The Time of
Dayak Kecamatan Jangkang Kabupaten Madness. New York: Grove Press.
Sanggau Kalimantan Barat. Dewan Adat Diindonesiakan dan diterbitkan oleh
Kecamatan Jangkang. Serambi dengan judul Zaman Edan, 2008.
Manuati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Petebang, Edi. 1999. Dayak Sakti: Pengayauang,
Komodifikasi & Politik Kebudayaan. Tariu, Mangkok Merah: Konflik Etnis di Kalbar,
Yogyakarta: LKIS. 1996/1977. Pontianak: Institut Dayakologi.
McGee, R. Jon and Richard L. Warms. 2004. Putra, R. Masri Sareb. 2010. Dayak Djangkang.
Anthropological Theory: An Introductory Jakarta: UMN Press.

125
Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012

126

Anda mungkin juga menyukai