RUMAH IBADAT SEBAGAI MEDAN KONTESTASI BERAGAMA: STUDI KASUS PENDIRIAN RUMAH IBADAT DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 357
Abstract Abstrak
In the last few years, the issues of house Rumah ibadat menjadi fenomena menarik
of worship have become an interesting dalam konteks hubungan antar umat
phenomenon in the context of inter- beragama di Indonesia dalam beberapa
religions relationship in Indonesia. It is tahun terakhir. Kelompok agama yang
difficult for the religious minority groups to berjumlah sedikit cenderung kesulitan
build or to renovate their houses of worship mendirikan atau merenovasi rumah ibadat
because of the pressure of the majority. karena mendapatkan tantangan dari
This includes the cases of Yasmin Church kelompok mayoritas. Sebagai contoh, kasus
in Bogor and Al-Khairiyah Mosque in Gereja Yasmin di Bogor dan kasus Masjid
Manado. This research aims at describing Al-Khairiyah di Manado. Penelitian ini
several cases related to houses of worship bertujuan untuk menggambarkan berbagai
building in East Kalimantan. This research kasus pendirian rumah ibadat di Kalimantan
employs qualitative method through Timur. Penelitian menggunakan metode
interviews and observations, as well as penelitian kualitatif dengan wawancara
document study. The result of research dan observasi, termasuk studi dokumen.
shows 1) a house of worship cannot be built Hasil penelitian menunjukkan beberapa
because of rejection of majority group. This hal diantaranya 1). Ada rumah ibadat
includes the cases of Toraja Church and yang tidak bisa berdiri sama sekali karena
GKII in Samarinda, as well as a mosque of mendapatkan penolakan dari kelompok
Salafi community; 2) a house of worship mayoritas, seperti kasus Gereja Toraja dan
can be built after relocation, in the case of GKII di Samarinda. Pun, masjid kelompok
St. Yoseph Church of Bontang; 3) a house yang dianggap salafi. 2). Ada rumah ibadat
of worship can be built well without any yang bisa berdiri setelah mengalami proses
rejection in the case of Gereja Masa Depan penolakan dari posisi semula dengan
Cerah in Samarinda. cara merelokasi posisi gereja seperti
kasus Gereja St. Yosep Bontang. 3) Ada
Keywords: House of Worship, Majority, pula rumah ibadat yang berdiri tanpa ada
Minority, Rejection, Relocation. masalah seperti kasus Gereja Masa Depan
Cerah di Samarinda.
Kata kunci: Rumah ibadat, Mayoriras,
Minoritas, Penolakan, Relokasi.
data ulang terhadap beberapa KTP yang dari Kelompok Salafi (Pesantren
dianggap tidak valid dan tidak cukup Ainurrafiq). Kelompok warga ini pun
kuat untuk dijadikan alat pendukung menggalang tanda-tangan penolakan
kelengkapan administrasi untuk dan diserahkan kepada Wali Kota Sofyan
mendapatkan IMB. Hingga saat ini, pihak Hasdem (wawancara dengan H. Umar,
gereja tidak mengajukan kelengkapan Hadi Siswoyo, dan Pastor Moses). Pihak
administrasi tersebut. Katolik yang merasa dirugikan tidak
tinggal diam. Mereka tetap berupaya
Kasus 3: Gereja Santo Yosep di Bontang, 2008 mendirikan gereja itu apapun resikonya.
Gereja Santo Yosep yang berdiri Bahkan umat Katolik pun telah siap
megah di kawasan PT. Pupuk Kaltim perang jika itu memang diperlukan.
berdiri sejak tahun 2008. Lokasinya Beberapa pemuda Katolik disiagakan
strategis. Halaman depan sangat lapang. untuk mengantisipasi kemungkinan
Gereja ini merupakan gereja Paroki buruk yang akan terjadi. Situasi saat itu
Bontang. Sebelum gereja ini berdiri, ada cukup menegangkan karena kedua pihak
beberapa gereja kapel yang menampung sudah siap untuk perang. Pemuda Katolik
jemaat Katolik Bontang. Akan tetapi, tidak yang kebanyakan berasal dari Timor pun
ada yang menduga kalau lokasi tersebut turut bersiap-siap sedangkan di sisi lain
sebenarnya lokasi alternatif terakhir umat Islam juga siaga jika kemungkinan
akibat dari penolakan warga muslim atas terjadi penyerangan (wawancara dengan
rencana pembangunan gereja Katolik di Hadi Siswoyo dan Hendrikus). Untuk
wilayah Pisangan (saat ini menjadi lokasi mengantisipasi hal tersebut, beberapa
perpustakaan daerah). Di wilayah itu, ada pertemuan dilakukan untuk mengambil
sebidang tanah milik umat Katolik yang jalan terbaik. Setelah beberapa kali
hendak dijadikan sebagai gereja Paroki. pertemuan yang melibatkan unsur
Pembangunan gereja ini menjadi penting tokoh agama dari kedua pihak (Katolik-
bagi umat Katolik mengingat selama ini, Islam), pemerintah, dan pihak keamanan,
wilayah Bontang tidak memiliki gereja ditemukan solusi alternatif, yaitu pihak
paroki. Jumlah umat yang semakin walikota membeli tanah tersebut dan
bertambah menyebabkan kebutuhan mempersilahkan umat Katolik mencari
terhadap hadirnya sebuah gereja Paroki, tanah lain.
tempat pastor bekerja melayani umat Padamulanya, umat Katolik
menjadi sangat penting. Gereja kapel mendapatkan sebidang tanah pengganti
yang ada tidak bisa dikembangkan di daerah Betlehem (disini ada satu
menjadi gereja Paroki karena lokasinya sekolah Kristen) yang padat penduduk.
yang tidak memadai (berada di lokasi namun entah kenapa, warga setempat
perusahaan). Atas dasar itu, pihak Gereja juga ternyata menolak pembangunan
Katolik memilih lokasi di Pisangan yang gereja. Diduga sebagai bagian dari kasus
sebelumnya milik salah seorang umat. penolakan warga di daerah sebelumnya
Rencana ini semula berjalan lancar. (Pisangan). Akhirnya, pihak Katolik
Namun, semuanya berubah ketika mendapatkan sebidang tanah di wilayah
ada sekelompok warga yang menolak. perusahaan PKT (Pupuk Kaltim) Bontang.
Akibat dari itu rencana peletakan batu Tempatnya jauh dari pemukiman warga
pertama oleh Gubernur Kaltim tidak termasuk pemukiman karyawan PKT.
jadi dilakukan pada tahun 2005. Alasan Disitulah, umat Katolik bisa mendirikan
penolakan karena jumlah umat Katolik sebuah gereja megah yang diberinama
yang berada di wilayah itu tidak banyak gereja Santo Yoseph. Gereja ini menjadi
dan di lokasi yang berdekatan dengan pusat kegiatan pelayanan umat di wilayah
itu akan dibangun sebuah pesantren Paroki Bontang.
Kasus 4: Gereja Kasih Sayang Allah Bontang, gereja bisa memenuhi seluruh persyaratan
2011 yang disyaratkan dalam aturan PBM, 90
pengguna dan 60 pendukung (dokumen
Pembangunan rumah ibadat GKSA FKUB Kota Samarinda, 2013). Bangunan
(Gereja Kasih Sayang Allah) Bontang ruko yang sejak tahun 2006 digunakan
bermula dari ‘persoalan’ internal gereja sebagai tempat ibadah dan aktivitas
Bethel. Beberapa pendeta keluar dari keagamaan pun berubah menjadi
kepengurusan gereja dan berencana bangunan gereja.
membangun gereja sendiri. Seluruh
persyaratan administrasi terpenuhi. GMDC menjadi potret dari gereja
Selain karena warga sekitar tidak yang dapat berdiri tanpa ada ‘persoalan’
mempersoalkan juga karena jumlah sama sekali. Proses pengumpulan tanda
jemaat yang akan menggunakan gereja tangan warga sekitar tidak mengalami
tersebut mencapai ratusan orang hambatan sama sekali (bandingkan
(Wawancara dengan Hadi Siswoyo). dengan kasus gedung serba guna GKII
Dengan kondisi seperti itu, tidak sulit yang lokasinya masih satu kelurahan
bagi pengurus untuk mendapatkan dengan GMDC). Ada dua hal yang
kelengkapan administrasi pembangunan menjadi alasannya; 1). Ruko ini memang
sebagaimana yang diatur dalam PBM N0 sudah dijadikan sebagai tempat ibadah
9 dan 8 tahun 2006.Akan tetapi, rencana sementara sejak tahun 2006. Artinya,
itu ternyata mendapatkan tantangan dari mindset masyarakat sekitar terhadap
pengurus gereja lama. Mereka berhasil ruko ini sudah sebagai “tempat ibadah”.
meyakinkan warga untuk menolak Ketika ada upaya mengubahnya menjadi
pembangunan gereja tersebut. Beberapa gereja tidak lagi menimbulkan ‘beda
warga menarik kembali tanda tangan persepsi’ bagi warga sekitarnya. 2). Lokasi
dukungan pembangunan gereja tersebut. gereja ini berada di tengah wilayah niaga
Hal ini menyebabkan pembangunan Cenderawasih Trade Center (Jl. Ahmad
gereja menjadi terhambat. FKUB lalu Yani), bukan di tengah pemukiman warga.
bertindak proaktif dengan memberikan Sehingga kehadiran gereja tersebut tidak
penjelasan kepada warga tersebut terlalu mencolok bagi warga (muslim)
dengan melakukan musyawarah dengan di sekitarnya. Apalagi bentuk ruko
melibatkan seluruh unsur yang terkait. tidak diubah sama sekali kecuali papan
Kesepahaman pun bisa ditemukan. Pihak nama yang menyertakan nama gereja.
gereja kembali mengumpulkan tanda 3). Proses pengumpulan tanda tangan
tangan dukungan warga. Gereja Kasih 60 warga pendukung dilakukan dengan
Sayang Allah bisa dibangun dan telah komunikasi yang baik. Sebagiannya
digunakan oleh warga jemaat gereja pemilik ruko.
hingga saat ini.
Kasus yang relatif sama adalah
Kasus 5 : Gereja Masa Depan Cerah gedung serba guna HKBP (Huria
Samarinda, 2013 dan Gereja HKBP Merak, Kristen Batak Protestan) Resort Merak
2011 Kota Samarinda. Gedung serba guna
telah berdiri sejak tahun 1986. Tujuan
Gereja Masa Depan Cerah (GMDC) pembangunannya memang sejak awal
dari denomonasi GKBP (Gereja Kristen untuk pelaksanaan ibadah bagi jemaat
Perjanjian Baru) Surya Kebangkitan gereja HKBP Resort Merak. Pada 27
Samarinda adalah gereja yang berdiri Juni 2011, pengurus Gereja HKBP
tanpa ada penolakan sama sekali. Seluruh mengirimkan permintaan kepada FKUB
proses administrasi berjalan dengan untuk diberikan rekomendasi pengalihan
lancar. FKUB dan Kementerian Agama bentuk dari gedung serba guna menjadi
memberikan rekomendasi setelah pihak
gereja. Alasan pihak gereja adalah suasana yaitu Masjid Al-Musyawarah, yang
kondusif yang terbangun dalam internal jaraknya tidak sampai 90 meter.
jemaat gereja dan warga sekitar tidak
pernah ada komplain atas kegiatan yang 2. Sangat berpotensi terjadinya
persaingan yang tidak sehat diantara
dilakukan oleh jemaat HKBP (Dokumen
masjid yang jaraknya sangat
FKUB Kota Samarinda, 2011).
berdekatan. Misalnya persaingan
Kasus gereja lain yang berdiri pengeras suara atau sound system
tanpa hambatan adalah Kerajaan Allah yang akhirnya mengganggu warga
(Bontang) milik aliran Saksi Yehova. sekitar.
Kemampuan kelompok ini memenuhi
3. Peruntukan masjid menurut hemat
seluruh unsur administrasi yang
kami (warga, pen) bukan diutamakan
disyaratkan oleh PBM membuat FKUB
untuk warga sekitar tetapi
Kota Bontang untuk mengeluarkan
diperuntukkabn bagi kelompok
rekomendasi. Meski hal ini ditentang
jamaah salafi yang tempat tinggalnya
oleh kelompok gereja mainstream (PGI)
jauh dari wilayah masjid. Mengapa
karena menganggap rekomendasi
kami berpendapat begini? Mengingat
tersebut tidak tepat mengingat aliran
karena warga asli sekitar bahkan
Saksi Yehova dianggap bukan bagian dari sesepuh warga tidak dilibatkan dalam
Kristen (Wawancara dengan H. Umar dan kepanitiaan pembangunan masjid.
Hadi Siswoyo, 2014).
4. Jika dipandang agama lain selain
Kasus 6: Masjid Minhajussunah, 2014 Islam, seperti terjadi kotak-kotak atau
Permasalahan rencana kelompok-kelompok dalam agama
pembangunan masjid bermula ketika Islam itu sendiri (tidak ada persatuan
pihak yayasan Minhajussunnah dan kesatuan dalam agama Islam).
mengajukan surat permohonan IMB 5. Panitia seharusnya mengedepankan
(Izin Mendirikan Bangunan) ke pihak “etika” dalam membangun masjid
pertanahan Kota Samarinda. Berdasarkan yang mempunya jarak yang
aturan PBM, proses pembangunan rumah sangat berdekatan atau sebagai
ibadat harus memenuhi persyaratan bakal masjid baru, seyogyanya
teknis tertentu sebagaimana yang tertera panitia pembangunan permisi atau
dalam aturan tersebut. Berdasarkan meminta izin kepada pengurus
ini, pihak yayasan kemudian meminta masjid yang terlebih dahulu sudah
tanda tangan warga sekitar. Bukannya ada, apalagi jaraknya sangat
mendapatkan dukungan tanda tangan, berdekatan, serta pihak yayasan
warga setempat justru mengumpulkan dan panitia pembangunan tidak
tanda tangan yang berisi penolakan atas pernah melakukan sosialisasi atau
rencana pembangunan masjid tersebut. pemberitahuan terlebih dahulu
Penolakan tersebut dibuat dalam bentuk dengan warga sekitar, tapi ternyata
surat yang ditandatangani empat ketua bangunan sudah menjadi pancangan
RT (sebagai perwakilan warga) dan yang siap dibangun. Dalam hal ini,
seorang tokoh agama dengan lampiran dari awal pembangunannya saja
tanda tangan warga dari keempat RT sudah tidak benar dan melanggar
tersebut. Alasan penolakan sebagaimana aturan-aturan, tata krama, sopan
tertuang dalam surat tersebut adalah: santun serta etika. Dan kami
berkeyakinan kedepannya pasti akan
1. Masjid yang akan dibangun sangat tidak benar dan mungkin malah
dekat dengan masjid yang sudah ada lebih parah lagi. Sehingga kami takut
2. Daftar pengguna ada 95 warga, ada 15 kerajaan Jawa Kuno. Pun, kehadiran
orang yang diragukan identitasnya. masjid-masjid mewah di seluruh Kota di
tanah air (yang mayoritas penduduknya
3. Daftar pengguna dan pendukung beragama Islam) merepresentasikan
belum dilegalisir oleh pejabat kebanggaan dan kebesaran penganutnya
setempat di wilayah tersebut. Hal yang sama
Berdasarkan temuan ini juga terjadi pada masyarakat Kristen di
FKUB Kota Samarinda belum dapat Sulawesi Utara dan Papua.
menindaklanjuti penyelesaiannya Pemaknaan artifisial tanpa disadari
sebelum keraguan warga yang menjadikan rumah ibadat sebagai
dimaksud diclearkan.Tentu saja, kehati- ekspresi kemanusiaan, bukan ekspresi
hatian FKUB dalam menindaklanjuti ketuhanan. Itu berarti, rumah ibadat
kepentingan administrasi adalah menjadi salah satu elemen kebudayaan
bagian dari mekanisme pencegahan yang imanen dan dengan sangat mudah
kemungkinan terjadinya protes warga akan memasuki ruang pertentangan
setempatdikemudian hari. Hal ini tidak ideologis antar agama. Masjid akan
menjadi kendala bagi GPMII untuk dimaknai sebagai “ancaman” bagi
melanjutkan pengurusan adminsitrasi. dominasi masyarakat Kristen. Sebaliknya,
Meski sempat tertunda 3 tahun karena gereja dimaknai sebagai “ancaman”
ada kendala teknis, namun pengumpulan bagi eksitensi dan dominasi masyarakat
tanda tangan warga pengguna dan muslim di suatu tempat. Perluasan rumah
pendukung bisa dipenuhi (dokumen ibadat dianggap sebagai “ketidakpekaan”
Panitia Pembangunan GPMII Jemaat terhadap agama lain atau dianggap
Bukit Baithani 2014). Setelah semuanya sebagai “perlawanan simbolik” terhadap
terpenuhi, FKUB mengeluarkan surat agama lain, terutama kelompok agama
rekomendasi. Pihak GPMII memperoleh yang mengalami sinndrom mayoritas.
IMB dan gereja itu pun kini berada dalam
tahap renovasi. Bahkan, ketika renovasi Temuan lapangan diatas
mulai dilakukan seluruh warga (termasuk mengindikasikan bahwa rumah ibadat
yang beragama Islam) termasuk FKUB memang menjadi salah satu sumber konflik
diundang untuk syukuran (Wawancara yang fundamental dalam masyarakat
dengan Muhayat Sibur). Indonesia. Selalu saja ada kelompok
masyarakat yang belum bisa menerima
kehadiran bangunan rumah ibadat
Mengapa Kehadiran Rumah ibadat umat lain. Gereja yang berdiri di tengah
Selalu Dipersoalkan? pemukiman warga muslim mendapatkan
tantangan. Apalagi bangunan tersebut
Rumah ibadat dalam konteks sosial didirikan berseberangan dengan masjid,
tidak lagi bisa dipahami sebagai tempat penolakan akan lebih dahsyat (lihat
beribadah semata. Kesederhanaan cara kasus 1 dan kasus 3). Gereja bisa berdiri
pandang itu mulai terevisi sejak rumah dengan damai apabila terletak ‘jauh’ dari
ibadat dijadikan sebagai simbol artifisial lokasi pemukiman, di tengah pertokoan
yang paling jelas terlihat. Masjid, gereja, (GMDC) atau di daerah tanpa penduduk
vihara, klenteng, pura, dan jenis rumah (Gereja Santo Yosep). Dalam konteks
ibadat lainnya adalah ekspresi simbolik internal umat beragama pun gejala serupa
yang merepresentasikan eksistensi sudah mulai muncul. Kelompok yang
para penganutnya. Kehadiran Candi dianggap ‘berbeda’ paham keagamaan
Borobudur misalnya menjadi ekspresi dari pun mendapatkan penolakan. Gejala
sejarah masa silam yang menunjukkan ini muncul seiring dengan munculnya
kuatnya pengaruh agama Buddha dalam
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2
368 SAPRILLAH
sosial yang saling berkelindan satu sama Pola konflik gradual yang melibatkan
lain. Kelompok mayoritas memang dua etnik yang sama, Bugis-Dayak
memiliki akses yang lebih kuat dalam sejak tahun 2010-2013 menunjukkan
menentukan determinasi sosial. Hal ini adanya pertentangan yang laten antara
biasanya diperparah dengan kelompok dua kelompok suku ini. Kebetulan
minoritas yang menutup kecenderungan sekali, kedua suku ini berbeda anutan
untuk berdialog dengan baik. agama. Kelak, apabila pertentangan
pembangunan rumah ibadat melibatkan
Kedua, masyarakat (ternyata) belum dua etnik ini, peluang untuk lahirnya
siap untuk hidup berdampingan secara konflik sosial sangat besar. Gejala itu
simbolik. Penolakan terhadap gereja di sudah terlihat ketika kelompok ormas
tengah pemukiman muslim menunjukkan berbasis suku Dayak ‘mengancam’ akan
adanya endapan kecurigaan dalam melakukan penyerangan kepada warga
nalar masyarakat yang bersifat laten. di RT 19 sebagai respon atas penolakan
Pengaturan sosial sedang bergerak kearah terhadap gedung GKII (lihat kasus 1) 2).
keterpisahan bukan penyatuan. Identitas Kelompok Islam (baru) dengan orientasi
berbangsa mengalami proses subordinasi. keagamaan yang ekslusif dan puritan
Kesatuan sosial tidak bisa dirayakan mulai muncul di Kaltim sejak beberapa
karena agama dijadikan sebagai simbol tahun terakhir. Kehadiran mereka (dengan
perbedaan. Simbol agama tertentu tidak ideologi keagamaan yang fundamentalis)
bisa dianggap sebagai bagian dari properti ikut memengaruhi pola hubungan antar
sosial yang ‘dimiliki’ bersama-sama tetapi umat beragama baik internal maupun
milik ‘individu’ yang harus dipisahkan eksternal. Bukan kebetulan kalau
pertentangan yang terjadi pada kasus 1,
dari ‘individu’ lainnya (Bryan S Turner,
3, dan 6 melibatkan kelompok ini, baik
2003, h.280). Kelompok mayoritas-lah
sebagai bagian dari subyek yang menolak
yang berhak untuk menentukan dimana,
(pada kasus 1 dan 3) atau sebagai subyek
kapan, dan bagaimana kelompok yang
yang tertolak dalam kasus 6.
lain hidup. Dalam konteks ini, agama
telah menjadi bagian dari pertentangan
sosial. Fenomena ini tentu saja
PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 sebagai
bertentangan dengan tujuan dasar dan
Solusi?
falsafah bangsa Indonesia. Bangsa ini
dihadirkan dan diimajinasikan sebagai Pengaturan pendirian rumah
bangsa yang satu, dengan tujuan yang ibadat dalam hal ini menjadi sangat
sama. Agama, etnisitas, dan budaya yang kontekstual. Kehadiran PBM N0 9 dan 8
beragam menjadi elemen sosial yang tahun 2006 menjadi sangat penting dalam
diikat dalam kesatuan ide yang disebut rangka mengatur kehadiran rumah
Pancasila. Salah satu ide dasarnya adalah ibadat agar tidak menimbulkan konflik
persatuan. Agama di Indonesia harus sosial. Temuan penelitian menunjukkan
menjadi bagian dari ide integrasi itu, kehadiran PBM bisa menjadi solusi bagi
bukan sebaliknya. kelompok masyarakat untuk mendirikan
rumah ibadat. Solusi yang dimaksud
Ketidaksiapan hidup berdampingan adalah perlindungan hukum terhadap
pada gilirannya menjadi ancaman rumah ibadat yang berdiri sesuai dengan
bagi kehidupan kerukunan antar umat mekanisme peraturan yang ada. Misalnya
beragama di Indonesia. Kelak, apabila kasus rumah ibadat Saksi Yehova di
tidak diatur dengan baik, rumah ibadat Bontang. Kelompok ini bisa mendirikan
akan menjadi sumber kerusuhan di rumah ibadat dan mendapatkan
Kaltim. Alasannya sebagai berikut; 1). perlindungan hukum (karena memenuhi
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2
370 SAPRILLAH
persyaratan PBM) meski ada penentangan ayat tentang ketentuan pengguna yang
dari gereja mainstream. terbatas dalam kelurahan dan kecamatan.
Hal ini menyulitkan bagi denominasi
Harus diakui PBM memiliki Kristen yang memiliki minimal dua
sejumlah kelemahan-kelemahan yang gereja di kecamatan yang sama. Misalnya
kelihatan menyulitkan bagi kelompok gereja Toraja di Samarinda Seberang.
tertentu untuk mendirikan rumah Secara defacto, jumlah pengguna gereja
ibadat, terutama dari kalangan kelompok ini di kelurahan tersebut hanya 4 orang.
masyarakat minoritas. Ini karena PBM Padahal, pengguna gereja ini tidak berasal
disusun dalam skala nasional. Pilihan dari kelurahan dan kecamatan ini saja
90 pengguna dan 60 pendukung adalah tetapi di beberapa tempat lain. Mereka
ijtihad yang paling rasional di tengah tidak bisa menaikkan skala geografis
beberapa pilihan yang ada. Karena dari kelurahan ke kecamatan karena di
bersifat nasional, ada beberapa konteks kecamatan yang sama sudah ada beberapa
lokal yang tidak berkesuaian dengan gereja Toraja. Karena ketidakmampuan
konteks PBM. Misalnya, di beberapa desa itu, mereka tidak bisa membangun gereja
di Kabupaten. Kutai Barat, ada kelompok hingga sekarang. Konteks ini-lah yang
umat Islam yang kesulitan membangun menyebabkan beberapa pihak menilai
masjid (jika menggunakan persyaratan PBM menjadi alat politik untuk menekan
PBM) di desanya karena jumlah yang kebebasan mereka.
tidak mencapai 90 orang. Kalaupun
mereka menaikkan skala geografis ke Pemahaman terhadap karakter
tingkat kecamatan tetap mereka sulit masing-masing agama penting
karena jarak antar satu desa dengan diperhatikan oleh FKUB dan Kementerian
desa lainnya sangat berjauhan (lihat juga Agama sebagai bagian dari pertimbangan
penelitian M. Yusuf Asri, 2010).1 mengeluarkan rekomendasi. Bagaimana
pun juga, PBM tidak dimaksudkan untuk
Kelemahan yang dimaksud menghalangi kebebasan umat beragama
bisa karena muatan PBM atau karena untuk membangun rumah ibadat tetapi
penerapan PBM. Dari segi isi, misalnya untuk mengatur kemungkinan dampak
1 Meski telah ada PBM tersebut sebagai dasar
sosial yang akan ditimbulkan. Pemahaman
regulatif yang mengatur pendirian rumah ibadat, pada terhadap karakteristik masing-masing
faktanya di lapangan masih terdapat kasus-kasus yang agama menjadi pintu masuk untuk
berkenaan dengan pendirian rumah ibadat. Pada tahun
2009, The Wahid Institut mencatat 21 kasus penyerangan, melakukan pengaturan. Masjid dan gereja
perusakan, penggerebekan rumah, bangunan, atau tentu berbeda karakternya. Masjid tidak
tempat ibadat, dan penolakan pendirian rumah ibadat.
Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS)
mungkin dibangun di luar pemukiman
melaporkan hasil pemantauannya terjadi 18 kasus warga. Masjid dikunjungi minimal 5 kali
rumah ibadat (CRCS, 2009 : 28-31). Hasil pemantauan sehari semalam. Karenanya, tidak boleh
Kepolisian antara tahun 2008-2010 kasus yang menonjol
terkait dengan masalah agama dan rumah ibadat dalam jauh dari jangkauan warga. Karena itu
bentuk pengrusakan, penyerangan dan protes dari umat pula, masjid di wilayah pemukiman yang
beragama lainnya sejumlah 196 kasus, dengan perincian:
tempat ibadat Kristiani 142 kasus (Gereja 59 kasus, rumah padat penduduk akan banyak didirikan
tinggal yang dijadikan tempat ibadat 60 kasus, ruko dan karena alasan itu. Sementara gereja bisa
gedung lainnya 23 kasus), tempat ibadat Islam 20 kasus, didirikan jauh dari penggunanya. Gereja
Hindu 6 kasus dan tempat ibadat lainnya 2 kasus.
SETARA Institute (2010) mengkritisi PBM Santo Yosep yang berdiri di wilayah yang
No 9 dan 8 tahun 2006 karena PBM tersebut telah jauh dari tempat tinggal jemaat Katolik
menjadi landasan pikir, sikap, dan tindakan warga dan
aparatus negara yang melakukan tindakan kriminal dan tidak mengurangi fungsinya sebagai
tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena tempat beribadah (khususnya ibadah
itu, keberadaan PBM No 9 dan 8 ini menurut SETARA
Institute merupakan bentuk diskriminasi terhadap
Mingguan). Artinya, sebuah gereja di
kebebasan beragama dan beribadat yang justru telah wilayah yang kurang pemeluknya (atau
diatur dalam UUD 1945 pasal 28E dan pasal 29 ayat 2. dalam istilah PBM, pengguna) pun masih
DAFTAR PUSTAKA
Kustini (ed). Efektivitas Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Laporan Hasil Penelitian Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 2009.
Liliweri, Alo.Prasangka dan Konflik:Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.
Yogkarta: LKiS, 2005.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun
2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat.
Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa Depdiknas. 2008.
Puslibtang Kehidupan Keagamaan. Kasus-kasus Rumah Ibadat di Kawasan Timur Indonesia
(Khusus Rumah Ibadat Agama Islam). Laporan Hasil Penelitian. 2011.
Saprillah dan Sabara Nuruddin. Fact Finding Kasus Demonstrasi di Masjid Al-Khairiyah,
Kampung Texas Kota Manado. Laporan penelitian. 2016.
Saprillah dkk. Implementasi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 terhadap Pembangunan
Rumah ibadat di Kawasan Timur Indonesia. Laporan Penelitian Balai Litbang
Agama Makassar. 2014.
SETARA Institute. Lokus Diskriminasi dalam PBM Dua Menteri. Laporan tahunan, 2010
Syuhudi, Moh. Irfan. Geliat Politik Identitas Di Manado. Laporan Penelitian Balai Litbang
Agama Makassar, 2016.
Turner, Bryan S.Agama dan Teori Sosial. Ircisod;Yogyakarta, 2003.