SPIRITUALITAS GEREJA
PERSAHABATAN
Linna Gunawan
Eklesiologi Kont emporer di Indonesia Menyimak Model-Model Relasi Gereja, Masyarakat dan T …
Ebenhaizer Nuban T imo
“Gereja merupakan komunitas yang berproses, sebuah tempat dimana
manusia belajar seni hidup melalui doa, discernment, kearifan, dan cerita
kehidupan Kristen seiring dengan karunia Allah. Komunitas ini merupakan
implementasi iman yang penuh kasih. Sebuah kehidupan yang tidak
ditentukan oleh doktrin yang ketat dan kepastian moral namun yang hidup
melalui persahabatan sejati dan implementasi iman setiap hari” (Bass, The
Practicing Congregation 2004).
Spiritualitas Gereja Persahabatan: Nilai dan Bentuk.
Edward C. Zaragosa dalam No Longer Servants, but Friends mengajak kita
untuk menjadi sahabat bagi diri sendiri, sahabat bagi Allah, dan sahabat bagi
sesame (Zaragoza 1999, 69). Ajakan Zaragosa menginspirasi saya untuk
menggali lebih dalam nilai‐nilai persahabatan yang menjadi spiritualitas gereja
persahabatan (Gunawan 2014).
Terbuka. Gereja saat ini dihadiri beragam orang dari suku, ras, tempat
tinggal, latar belakang keluarga, pendidikan, ekonomi, prinsip hidup, dll.
Gereja harus berani terbuka menerima siapa saja yang datang. Setiap
orang mendapat pelayanan yang setara tanpa dibedakan. Siapapun
diterima masuk dalam komunitas Gereja sekalipun mereka berbeda
termasuk mereka yang cacat secara fisik dan mental, serta berbeda
orientasi seksualnya. Gereja persahabatan yang terbuka juga berarti siap
terbuka terhadap masukan dari siapa saja. Gereja juga berani terbuka
terhadap perubahan dunia, termasuk terbuka untuk berubah sesuai
dengan konteks di mana Gereja berada. Tanpa keberanian untuk
terbuka terhadap perubahan, Gereja akhirnya hanya menjadi “museum”
yang dikagumi karena masa lampaunya saja.
Menerima. Gereja Persahabatan membutuhkan penerimaan dari seluruh
anggotanya. Dengan keterbukaan terhadap semua orang masuk dalam
komunitas Gereja, maka Gereja menerima orang apa adanya.
Penghargaan terhadap talenta, bakat atau karunia setiap anggotanya
menjadi salah satu ciri kasih yang menerima, dan hal ini perlu
dikembangkan oleh Gereja. Pengampunan kepada mereka yang
melakukan dosa dan kesalahan pun mendapat tempat utama dalam
persekutuan Gereja Persahabatan sebab persahabatan Kristus adalah
menerima semua orang yang berdosa.
Otentik. Dalam komunitas gereja, orang dapat bebas menjadi dirinya
secara otentik. Otentisitas memperlihatkan kejujuran hidup, menjadi
diri sendiri bahkan penghargaan terhadap Allah yang telah menciptakan
manusia sebagaimana adanya. Otentisitas juga menunjukkan bahwa
kasih, yang menjadi dasar persahabatan, melenyapkan ketakutan untuk
menjadi diri sendiri, bahkan menerima orang lain (1 Yoh. 4: 18). Gereja
persahabatan membuat setiap anggotanya mendapatkan kebahagiaan
karena kejujurannya dan kebebasan menerima dirinya sendiri serta
orang lain. Keotentikan ini membuat orang berani untuk memiliki iman
yang berantakan (messy spirituality).11 Kita mengakui iman kita tidak
selalu baik, tetapi kadang iman kita sedang menukik turun sehingga kita
membutuhkan tangan Tuhan dan tangan sesama untuk menolong kita
yang rapuh.
Percaya. Zaragosa menyebutkan bahwa persahabatan membangun kepercayaan
(Zaragoza 1999, 90‐92). Membangun Gereja Persahabatan membutuhkan rasa
percaya dari seluruh anggotanya. Pertama, percaya kepada Tuhan yang
menciptakan dan memelihara hidupnya. Tanpa rasa percaya kepada Tuhan,
Gereja selalu dipenuhi dengan kekuatiran menghadapi masa depan, dan
ketakutan untuk melakukan perubahan dunia serta membawa Injil Kristus
keluar dari gedung gereja. Kedua, percaya kepada diri sendiri bahwa mereka
memiliki kemampuan, serta layak masuk dalam pekerjaan ladang pelayanan
Tuhan. Ketiga, percaya kepada sesama anggota bahwa mereka pun layak
menjadi rekan sekerja. Dalam membangun kepercayaan bersama anggota gereja,
proses regenerasi menjadi salah satu program yang perlu serius dikerjakan
dalam kehidupan Gereja Persahabatan. Regenerasi secara tidak langsung
memperlihatkan pemberian kepercayaan kepada orang lain. Sementara itu
pemulihan luka‐luka masa lalu, maupun luka‐luka/trauma pelayanan ketika
berinteraksi dengan orang lain dan Tuhan, menjadi program penting pula dalam
rangka membangun kultur kepercayaan bagi Gereja Persahabatan.
Diana Butler Bass mengenai perubahan orang Amerika dalam kehidupan
berimannya. Pada tahun 1999 sebanyak 72% orang Amerika menyebut dirinya
sebagai “spiritual but not religious.” Mereka mendefinisikan “spiritualitas”
sebagai pengalaman hubungan dengan Allah dan sesama. Praktek dari iman.
Sedangkan religius dikategorikan sebagai lembaga agama. Oleh karena itu orang
Amerika pada waktu itu tidak tertarik dengan lembaga agama manapun
walaupun mereka tetap percaya kepada Tuhan (Bass, Christianity After Religion
2012, 92) . Namun pada tahun 2009 terjadi perubahan, orang Amerika menganut
“spiritual and religious.” Religius tidak lagi dipahami secara sempit, hanya
“religion,” tetapi keterbukaan untuk mempraktekkan iman walaupun dilakukan
dengan ritual (Bass, Christianity After Religion 2012, 93).
Seringkali ketika kita berbicara tentang praktek spiritualitas, kita terjebak
pada bentuk. Beberapa kali dalam pembinaan ibadah kaum muda, saya selalu
diminta untuk memberikan bentuk ibadah yang cocok untuk kaum muda. Oleh
karena itu barangkali saat ini kita pun terjebak pada pertanyaan bagaimana
bentuk gereja persahabatan, bagaimana prakteknya, bagaimana model
ibadahnya, dll.
Bass mengatakan dalam konteks gereja masa kini, kita jangan terjebak
pada bentuk program ketika berbicara tentang praktek spiritualitas. Anggaplah
praktek spiritualitas sebagai sebuah karya seni yang harus kita rancang sesuai
dengan diri kita dan dapat dinikmati oleh banyak orang. Oleh karena itu Bass
mengajak kita untuk memahami praktek spiritualitas melalui tiga hal: the art of
intention, the art of imitation, the Reign of God and the art of anticipation.
The art intention berbicara tentang praktek spiritual yang beragam
bentuknya dan kita memilih secara bebas bentuk yang kita ingin praktekkan
(Bass, Christianity After Religion 2012, 145‐152). Gary Thomas dengan Sacred
Pathway, misalnya, mengusulkan sembilan bentuk ibadah selain bentuk
tradisional berdoa dan membaca Alkitab. Selain itu dalam the art intention
terbuka terhadap pencampuran berbagai praktek spiritualitas dari berbagai
tradisi dari agama dan kepercayaan lain. Misalnya, doa labirin yang
menggabungkan mythology Yunani dengan doa Kristen; meditasi Kristiani yang
menggabungkan meditasi Kristen dengan Buddhist.
The art of imitation, menurut Bass, adalah tujuan dari praktek spiritualitas
yang kita lakukan. Kita perlu tahu alasan mengapa kita melakukan praktek atau
ritual ini. Kelalaian gereja pada masa lalu adalah praktek spiritualitas menjadi
suatu ‘keharusan’ yang dipaksakan tanpa kita mengerti tujuan dari praktek
tersebut. Praktek spiritualitas semestinya pertama‐tama bertujuan untuk
mencontoh (imitasi) Yesus. Setelah itu, menurut Bass, kita lebih luas mencontoh
para rasul, tokoh‐tokoh Alkitab, tokoh‐tokoh agama, orang terdekat dengan kita
dan orang lain yang dapat kita jadikan contoh. Kita menangkap nilai hidup dari
praktek yang dilakukan oleh tokoh‐tokoh tersebut (Bass, Christianity After
Religion 2012, 153‐157).
Dalam the Reign of God and the art of anticipation Bass mengingatkan kita
tentang hasil dari praktek spiritualitas yang kita lakukan jangan hanya untuk diri
kita sendiri. Orang yang melakukan praktek spiritualitas yang tertuju kepada
Tuhan sebenarnya dia akan melakukan apa yang diajarkan Tuhan bagi dunia ini.
Karena itu praktek spiritualitas membuat kita melakukan tindakan keadilan,
perdamaian, memelihara keharmonisan dan keutuhan ciptaan (Bass, Christianity
After Religion 2012, 157‐160).
Penutup: Model Gereja Persahabatan
Semasa studi beberapa tahun yang lalu, saya membantu sebuah gereja
kecil beranggotakan 70‐an orang Indonesia yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia. Satu hal yang membuat saya kagum saat pertama kali datang ke
gereja tersebut adalah saya menyaksikan persekutuan yang hangat dan
bersahabat. Seorang opa duduk dan bercakap santai dengan beberapa remaja
dan pemuda. Beberapa ibu paruh baya sedang ngobrol asyik dengan pasangan
kekasih. Beberapa orang remaja sedang bermain dengan sekelompok anak‐anak
usia 4 – 9 tahun. Begitu pula dua orang homeless ikut makan dan duduk satu
meja dengan beberapa orang lanjut usia. Semua itu terjadi dalam satu ruangan
besar dan terjadi setiap minggu.
Saya memimpikan gereja persahabatan adalah komunitas yang cair,
hangat dan menjadi tempat pemulihan. Dalam perkembangan gereja belakangan
ini muncul model intergenerational ministry sebagai kritik (lawan) dari model
age‐segregated ministry yang membagi pelayanan secara kategorial. Gereja di
Indonesia umumnya masih memakai model age‐segregated ministry. Salah satu
kritik terhadap model pelayanan kategorial adalah pemisahan umat berdasarkan
usia berdampak sistemik terhadap proses regenerasi. Hilangnya kaum muda
dalam gereja merupakan akibat dari model pelayanan kategorial sebab selama
ini telah meminggirkan umat golongan usia muda dari kehidupan gereja.
Harkness dalam pendekatan intergenerational ministry‐nya
menyebutkan bahwa model ini memberikan nilai yang tinggi terhadap
komunitas yang mutualistik dan setara diantara anggota gereja. Pada model ini
terjadi komunitas yang saling berbagi pengetahun dan pengalaman iman antar
tiap generasi sehingga pertumbuhan iman komunitas terjadi secara holistik.
Pada model ini, sikap saling menerima, terbuka untuk memberi diri, saling
(Zaragoza 1999)percaya terjadi pada seluruh lapisan usia (Harkness 2012, 131‐
132).
Pertanyaannya, apakah model intergenerational ministry (atau church)
dapat dikembangkan pada gereja‐gereja di Indonesia dengan konteks budaya
Timur yang ketat dengan hirarki dan senioritas? Apakah model gereja
persahabatan mungkin terjadi pada gereja‐gereja di Indonesia yang telah lama
hidup dalam tradisi ‘dari dulu sudah begitu?’ Tulisan ini menyisahkan
pertanyaan yang perlu dijawab dalam studi lebih lanjut mengenai gereja
persahabatan sebagai model gereja dalam konteks masa kini.
Bibliography
Adiprasetya, Joas. GKI Pondok Indah. September 8, 2009.
www.gkipi.org/bergereja‐antara‐pelayanan‐dan‐persahabatan/ (accessed
January 30, 2014).
Bass, Diana Butler. The Practicing Congregation. Virginia: The Alban Institute,
2004.
Bass, Diana Butler. Christianity After Religion. New York: HarperCollins
Publishers, 2012.
Friedman, Thomas L. The World is Flat. New York: Picador USA, 2007.
Gunawan, Linna. "Gereja Persahabatan: Belajar dari Persahabatan Generasi Y." In
Buku Peneguhan Pnt. Yesie Irawan Lie, by GKI Kayu Putih, edited by Linna
Gunawan. Jakarta: GKI Kayu Putih, 2014.
Harkness, Allan G. "Intergenerationality: Biblical and Theological Foundation."
Christian Education Journal 9 (2012): 121‐129.
Kinnaman, David. UnChristian. Grand Rapid: Baker Books, 2007.
Kinnaman, David, and Aly Hawkins. You Lost Me. Translated by Denny Pranolo.
Bandung, West Java: PT. Visi Anugerah Bersama, 2011.
Rice, Jesse. The Church of Facebook. Colorado: David C. Cook, 2009.
Smith, Christian, and Melinda Denton. Soul Searching: The Religious and Spiritual
Lives of American Teenagers. New York: Oxford University Press, 2005.
Thomas, Gary. Sacred Pathway. Translated by Arie Saptaji. Yogyakarta: Yayasan
Gloria, 2011.
Vernon, Mark. USA Today. July 26, 2010.
www.usatoday30.usatoday.com/news/opinion/forum/2010‐07‐27‐
column27_ST_N.htm (accessed January 30, 2013).
Yaconelli, Michael. Messy Spirituality. Translated by Devi Sutarsi. Surabaya: Omid
Publishing House, 2013.
Zaragoza, Edward. No Longer Servants but Friends. Nashvile: Abingdon Press,
1999.
1 Tulisan ini merupakan makalah kuliah umum saya di (Vernon 2010)STT Jakarta pada tanggal
24 September 2014 dalam rangka HUT STT Jakarta ke‐80 tahun dengan tema” Ziarah Beragam
Rasa.” Saya terinspirasi memakai istilah “gereja persahabatan” dari rekan Joas Adiprasetya lewat
tulisannya yang berjudul “Bergereja: Antara Pelayanan dan Persahabatan,” serta model gereja
yang diusulkan oleh Diana Butler Bass yaitu Intentional Congregation dalam bukunya The
Practicing Congregation.
2 Pendeta Jemaat GKI Kayu Putih, Jakarta dan pengajar paruh waktu STT Jakarta untuk
matakuliah Homiletik dan Pembelajaran Jemaat.
3 Orang dewasa suka menyebut kaum muda sebagai generasi yang tidak mau diatur, semaunya
sendiri, tidak mau ikut aturan, dll. Karena itu kaum muda terasa asing di mana orang dewasa.
4 Ada penelitian lebih dulu tentang religiositas remaja Amerika yang dilakukan oleh tim NSYR
(National Study of Youth and Religion) dan hasilnya diterbitkan dalam buku yang berjudul
(Kinnaman, UnChristian 2007) (Thomas 2011) (Yaconelli 2013): The Religious and Spiritual Lives
of American Teenagers karya Christian Smith dan Melinda Denton. Selain itu banyak buku
bermunculan seputar youth ministry (pelayanan kaum muda) yang memberikan berbagai
kemungkinan untuk melibatkan kaum muda dalam kehidupan gereja sebab mereka bukan hanya
menjadi generasi masa depan gereja, tetapi generasi “now.”
5 Pada tanggal 30 November 2014 Komisi Pengkajian Teologi (KPT) GKI SW Jabar mengadakan
seminar “Ibadah dan Dunia Kaum Muda.” Dalam semina tersebut pengurus KPT menampilkan
data kehadiran kaum muda dalam aktivitas gereja. Dari kira‐kira enam jemaat GKI SW Jabar,
hanya GKI Maulana Yusuf, Bandung, yang mengalami peningkatan jumlah kehadiran kaum muda
dalam kegiatan Gereja. Itu pun pengunjung kaum muda kebanyakan berasal dari luar GKI
Maulana Yusuf.
6 David Kinnaman dalam dua bukunya, hasil riset The Barna Group, yaitu UnChristian dan You
Lost Me menyimpulkan bahwa kekristenan dianggap tidak lagi menjawab pergumulan orang
Kristen dan dunia pada masa kini. Kekristenan maupun gereja dianggap terlalu kuno dan kaku
dalam ajaran dan spiritualitas, padahal dunia sudah berubah dengan cepat. Dalam You Lost Me,
kaum muda menyebut gereja sebagai penyebab dari kebingungan mereka dalam menjawab
pergumulan hidup mereka. Demikian pula, dalam UnChristian, kekristenan dianggap
menghasilkan orang Kristen yang palsu, yang mementingkan pencitraan dibandingkan
melakukan ajaran Kristus secara nyata. Penelitian Barna mencatat pandangan negative kaum
muda terhadap kekristenan: 91% menyatakan kekristenan sebagai antihomoseksual, 87%
mengatakan orang Kristen melakukan penghakiman terhadap orang lain, 85% menyebutkan
pengunjung gereja sebagai orang‐orang munafik, dan 72% menyebut kekristenan tidak
menyentuh kehidupan nyata. Hanya 41% yang mengatakan kekristenan sebagai sesuatu yang
masuk akal; dan hanya 30% menyatakan kekristenan sebagai sesuatu yang relevan bagi konteks
masa kini.
8 Oleh karena Thomas L. Friedman menggambarkan dunia yang serba cepat dan terhubung, yang
memungkinkan orang untuk ‘berpindah’ dari satu tempat ke tempat lain, mendapat informasi
dari berbagai belahan dunia dalam hitungan detik, dengan sebutan “The World is Flat” sesuai
dengan judul bukunya.
9 Tulisan menarik dari USA Today “Is True Friendship dying away,” Mark Vernon mengemukan
sejumlah survei yang menyebutkan bahwa munculnya jejaring sosial dan teknologi
menyebabkan manusia kehilangan persahabatan yang sejati – persahabatan yang ada saat ini
sangat dangkal. Orang memang punya banyak teman di berbagai tempat – kalau lihat
pertemanan kita di facebook memang bisa ribuan, tapi persabahatan tidak mendalam. Karena itu
Vernon mengatakan saat ini orang mengalami kesepian di tengah keramaian/kerumunan –
lonely in the crowd.
10 Mengapa kehadiran gereja sebagai home menjadi kebutuhan pada masa sekarang? Bass
menyebut spiritualitas yang muncul ke permukaan saat ini adalah nomadic spirituality. Orang
beragama atau keanggotaannya dalam gereja tidak menetap. Di sepanjang hidupnya, dia bisa
berganti dan berpindah gereja atau agama. Dalam hal bergereja, Bass menambahkan, kalau dulu
keanggotaan gereja menjadi hal yang mutlak; sekarang ini umat pergi ke gereja yang
membuatnya nyaman, kemudian mereka bisa dengan mudah berpindah ke gereja lain yang
dinilai lebih nyaman daripada gereja sebelumnya. Dalam satu atau dua tahun bisa saja mereka
berpindah dari satu gereja ke gereja lain. Bass menyebut orang Kristen sekarang seperti turis
yang sedang menikmati wisata ‘rohani’ yang disebut Gereja
11 Mike Yaconnelli dalam Messy Spirituality mengisahkan kerapuhan manusia saat beriman.
Menjadi otentik amat penting dalam hidup beriman sebab hidup iman kadang bergerak naik dan
turun. Saat kita menjadi otektik dalam spiritualitas, mengakui kerapuhan kita, maka kita tahu
bagaimana Tuhan berkarya secara ajaib dalam hidup ini. Kita pun dapat menghargai diri sendiri
dan orang lain.