PSIKOLOGI DZIKIR:
Studi Fenomenologi
ISBN: 978-602-8479-36-3
YOGYAKARTA
2009
3
DAFTAR ISI
JUDUL
DAFTAR ISI
PENGANTAR
BAB SATU
PSIKOLOGI AGAMA: PERKEMBANGAN DAN PENELITIAN
BAB DUA
TRANSFORMASI RELIGIUS: PERSPEKTIF PSIKOLOGI AGAMA
2.1. DASAR-DASAR PSIKOLOGIS MUNCULNYA AGAMA
2.2. PERKEMBANGAN KEHIDUPAN BERAGAMA
2.2.1. Kehidupan Beragama Masa Kanak-Kanak
2.2.2. Kehidupan Keagamaan Selama Masa Remaja
2.2.3. Kehidupan Keagamaan Masa Dewasa
2.3. TRANSFORMASI RELIGIUS
2.3.1. Pengertian Transformasi Religius
2.3.3. Meditasi dan Transformasi Religius
BAB TIGA
AMALAN DZIKIR DAN TRANSFORMASI RELIGIUS
3.1. MAKNA KATA ISLAM DAN MUSLIM
3.2. STRUKTUR KEYAKINAN DALAM AGAMA ISLAM
3.2.1. Beriman Kepada Allah
3.2.2. Beriman Kepada Malaikat
3.2.3. Beriman Kepada Nabi dan Rasul
3.2.4. Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah
3.2.5. Beriman Kepada Hari Kiamat
3.2.6. Beriman Kepada Qadha dan Qadar
3.3. STRUKTUR PERIBADATAN
3.3.1. Syahadat
3.3.2. Shalat
3.3.3. Puasa
3.3.4. Zakat
3.3.5. Haji
3.4. AMALAN DZIKIR DALAM AGAMA ISLAM
3.4.1. Perintah Berdzikir
3.4.2. Amaliah Dzikir Pengajian Ikhlas
3.4.3. Praktek Dzikir Ikhlas
3.5. AMALAN DZIKIR DAN TRANSFORMASI RELIGIUS
4
BAB EMPAT
TEMA-TEMA PENGALAMAN TRANSFORMASI RELIGIUS
4.1. PARTISIPAN HANDONO
4.2. PARTISIPAN SANTI
4.3. PARTISIPAN SUGENG
4.4. PARTISIPAN ARMAN
4.5. PARTISIPAN MARTA
4.6. PARTISIPAN NARDI
4.7. PARTISIPAN BADINI
4.8. PARTISIPAN MINAH
4.9. PARTISIPAN ENDI
4.10. SINTESIS TEMA DALAM SETIAP EPISODE
BAB LIMA
REFLEKSI TRANSFORMASI RELIGIUS
5.1. TRANSFORMASI RELIGIUS
5.1.1. Transformasi Diri
5.1.2. Pengalaman Penderitaan (Suffering)
5.1.3. Dzikir dan Pengalaman Mistik
5.1.4. Dua Model Pemahaman Ajaran Agama
5.1.5. Hambatan Transformasi Religius
5.1.6. Transformasi Kesadaran
5.2. MEDITASI DAN AMALAN DZIKIR
5.3. GAGASAN UNTUK PENELITIAN SELANJUTNYA
5.4. KESIMPULAN
PUSTAKA
LAMPIRAN
5
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan
kesungguhan sehingga setelah melalui proses yang cukup lama, akhirnya buku ini dapat
terselesaikan dengan baik. Buku ini merupakan terjemahan dari thesis yang saya ajukan untuk
mendapatkan gelar M.A. (Master of Arts) pada Faculty of Social Sciences, Queensland University
of Technology, Brisbane, Australia. Semula, saya ingin menerbitkan buku ini dalam bentuk
aslinya, yaitu dalam bahasa Inggris, tetapi mengingat jangkauan pembaca akan menjadi terbatas,
maka saya menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Mengingat bahwa minat para akademisi
maupun masyarakat luas untuk mempelajari agama (khususnya Islam) sangat tinggi, di dalam
buku ini, saya menyajikan berbagai bentuk pengalaman beragama yang menarik dan unik pada
umat Islam yang melaksanakan dzikir.
Buku ini juga saya harapkan dapat menambah literatur di bidang Psikologi Agama,
maupun Psikologi Islami. Sebagian besar buku-buku yang terbit di bidang Psikologi Agama
merupakan kajian terhadap literatur-literatur yang bersifat teoritik. Buku yang merupakan hasil
penelitian empiris di bidang Psikologi Agama sangat jarang ditemui. Padahal, penelitian-
penelitian psikologi yang berkaitan dengan perilaku beragama sudah banyak sekali dilaksanakan
di Fakultas Psikologi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, saya berharap penerbitan buku dapat
memicu terbitnya buku-buku lain di bidang Psikologi Agama.
Dengan terbitnya buku ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Robert Sweitzer
yang sekarang menjabat sebagai staf akademik di School of Psychology, Queensland University
of Technology (QUT), Australia, yang telah memberikan bimbingan yang tidak ternilai kepada
saya. Penelitiannya tentang mimpi pada suku asli Afrika Selatan telah memberikan inspirasi bagi
model analisis fenomenologi yang saya gunakan dalam penelitian ini.
Saya juga menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pemerintah Australia melalui
AIDAB (sekarang AusAid) yang telah memberikan beasiswa bagi saya untuk melanjutkan studi
di tingkatkan master.
Rasa terima kasih yang tak terhingga juga saya sampaikan kepada Prof. Julia Howell, dari
School of Asian Studies dari Griffith University, Brisbane, Australia, yang telah memberikan
banyak masukan selama saya menyelesaikan program Master. Saya sangat berhutang budi, karena
beliaulah orang yang pertama kali membukakan pintu kepada saya untuk melihat perkembangan
masyarakat modern di negara-negara barat, baik di Australia, Amerika, maupun Eropa.
6
Saya juga mengucapkan terima kasih tak ternilai kepada koordinator Pengajian Ikhlas
yang telah mengijinkan saya untuk mengadakan penelitian ini. Demikian pula kepada seluruh
jamaah Pengajian Ikhlas umumnya dan responden dari penelitian ini. Terima kasih karena telah
bersedia berbagi pengalaman dalam melaksanakan dzikir. Tidak terlupa kepada beberapa
mahasiswa Fakultas Psikologi UGM yang telah ikut membantu menerjemahkan buku ini.
Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh teman, kolega, kerabat, yang telah
memberikan dukungan moral untuk menyelesaikan studi dan menerbitkan buku ini. Akhirnya
kepada Penerbit Mizan yang telah berkenan menerbitkan buku, saya menyampaikan terima kasih
yang tak terhingga.
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca. Amin.
BAB SATU
PSIKOLOGI AGAMA:
Sejak peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Centre pada 11 September 2001
di New York, perhatian masyarakat internasional terhadap umat beragama -khususnya Islam-
meningkat tajam. Di satu sisi, perhatian itu bersifat negatif, yaitu munculnya rasa benci dan sikap
permusuhan terhadap umat Islam. Sedangkan pada sisi lainnya, hal tersebut justru meningkatkan
rasa ingin tahu tentang Islam dan kehidupan beragama. Tidak heran bila di kemudian hari, banyak
orang mulai mengkaji Islam. Mereka ingin mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan, “Seperti
apakah Islam yang sesungguhnya? Benarkah Islam mengajarkan ‘terorisme’? Bagaimanakah
Islam memandang perkembangan kehidupan modern di negara-negara barat?”
Bagi umat Islam sendiri, peristiwa 11 September tidaklah menyurutkan semangat mereka
dalam melaksanakan agamanya. Di tengah ancaman dan diskriminasi di berbagai negara, umat
Islam justru semakin kuat memegang teguh agamanya. Tantangan berat tersebut seolah menjadi
umpan balik yang meningkatkan minat dalam mengkaji Islam secara lebih mendalam.
Peningkatan kehidupan beragama di kalangan masyarakat modern sebenarnya sudah
berlangsung lama. Bahkan, hal itu tidak hanya terjadi pada kalangan umat Islam saja, tetapi juga
terjadi pada umat agama lain. Pada 1980-an, perhatian masyarakat awam maupun para ilmuwan
sosial terhadap agama menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Saat itu, di negara
sekuler seperti Amerika Serikat, kehidupan beragama sudah menjadi trend masyarakat. Hal
tersebut dapat kita lihat pada hasil survey yang dilakukan oleh The Princeton Religion Research
Centre. Dari sampel yang mewakili sekitar 1500 penduduk Amerika, ditemukan bahwa sebanyak
34 persen (diproyeksikan mencapai 50 juta orang) mengaku pernah mengalami perasaan
‘dilahirkan kembali’, 31 persen (diproyeksikan mencapai 47 juta orang) merasakan pengalaman
religius ataupun mistis (lihat Paloutzian, 1984). Penelitian lain yang dilakukan oleh organisasi
Gallup menemukan bahwa 73 persen dari sampel yang diteliti dapat digolongkan sebagai pribadi
yang religius, 22 persen nonreligius, dan 2 persen mengaku atheis (Spilka et al. 1985).
Di Indonesia, perhatian orang muslim terhadap agamanya meningkat secara signifikan
8
sejak 1980. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya antusiasme para muslim muda dalam
mengikuti aktivitas religius. Vatikiotis (1990) menemukan “ … rasa kepercayaan diri baru,
muncul pada umat muslim mayoritas di Indonesia. Sebuah kebangkitan dalam kepercayaan dapat
ditemukan pada generasi muda dalam beberapa tahun terakhir (h.25).” Fenomena itu terus
berkembang sampai memasuki abad dua puluh satu. Berbagai indikator dapat kita lihat antara lain:
semakin banyaknya jumlah jamaah pengajian di masjid-masjid, bertebarannya nuansa agama
dalam berbagai media seperti televisi, radio, majalah, dan buku-buku, serta bertambahnya jumlah
jamaah haji Indonesia dari tahun ke tahun. Perlu diketahui pula bahwa peningkatan jumlah jamaah
haji tersebut tidak hanya terjadi pada kalangan santri, tetapi juga pada masyarakat yang dulunya
dikenal sebagai kalangan ’abangan’. Dean (1994) menggambarkan bahwa umat muslim,
khususnya di Jawa, sedang mengalami proses ‘santrinisasi’. Mereka sedang bergerak ke arah
pendalaman keberagamaan. Di berbagai kampus di seluruh Indonesia, marak dengan berbagai
aktivitas keagamaan. Para muslimah yang berjilbab tidak hanya ditemui di kalangan masyarakat
awam saja, tetapi juga banyak ditemui di kalangan selebritis (Brenner, 1996). Sementara itu
Howell dkk (1989, 1997) mendokumentasikan secara demografis perkembangan keanggotaan
sebuah tarekat Sufi di Indonesia, yaitu tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyah yang berbasis di
Pondok Pesantren Suryalaya. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa sejak tahun 1980-an
terjadi peningkatan jumlah keanggotan tarekat yang sangat dramatis. Ini menunjukkan bahwa
semakin banyak umat Muslim yang bergabung dengan kelompok Sufi. Lebih jauh lagi terlihat
adanya peningkatan spiritualitas di Indonesia.
Di kalangan para ilmuwan barat, khususnya psikologi, peningkatan perhatian terhadap
kajian di bidang agama ditunjukkan dengan bangkitnya kembali bidang Psikologi Agama sebagai
suatu kajian ilmiah, setelah sekian lama sering ditinggalkan. Dalam sejarah perkembangannya,
tepatnya pada awal abad dua puluh, bidang Psikologi Agama termasuk bidang kajian yang banyak
diminati oleh tokoh-tokoh psikologi besar seperti William James, G. Stanley Hall, dan Carl
Gustav Jung. Sayangnya, dominasi pengaruh paradigma psikologi behavioural telah membuat
kajian di bidang agama sebagai salah satu kajian ilmiah terdesak ke pinggiran. Selama masa
penurunan itu, agama dianggap sebagai topik yang tabu untuk dikaji dalam psikologi (lihat Beit-
hallahmi, 1977; Spilka et al., 1985). Kebangkitan kembali Psikologi Agama yang terjadi pada
pertengahan 1950-an, ditandai dengan munculnya jurnal ilmiah baru yang memfokuskan diri
hanya pada penelitian-penelitian ilmiah bidang agama saja. Jurnal-jurnal tersebut antara lain
Journal for the Scientific Study in Religion, Journal of Religion and Health, dan Journal for
9
Psychology and Theology. Sementara itu, sejumlah besar paper dan buku literatur di bidang
Psikologi Agama juga telah dipublikasikan, bahkan tidak hanya di Amerika, tetapi juga di
Skandinavia, Belanda, Jerman, India, dan Jepang (Wulff, 1991). Di Indonesia, minat penelitian-
penelitian di bidang Psikologi Agama juga sangat tinggi (Subandi, 1999). Bahkan sebagian
psikolog mencoba mengembangkan Psikologi Islam sebagai sebuah alternatif dari Psikologi Barat
yang sekuler.
Topik yang paling banyak dikaji dalam Psikologi Agama adalah fenomena perubahan
kehidupan beragama yang dramatis, yang sering disebut sebagai konversi agama (religious
conversion) (Jones, 1937; Scroggs & Douglas, 1977; Byrne, 1984). Topik konversi agama ini juga
mendapat perhatian istimewa dari para pendahulu Pikologi Agama termasuk di antaranya James
(1902), Coe (1916), dan Jones (1937), juga sejumlah peneliti mutakhir seperti Paloutzian (1981),
Ullman (1982, 1988), dan Thumma (1991). Akan tetapi, penelitian mutakhir konversi agama
ternyata mengalami keterbatasan-keterbatasan, terutama materi yang dikaji dan metodologi yang
digunakan.
Materi penelitian konversi agama pada umumnya hanya memfokuskan diri pada apa yang
oleh Thouless (1936) dianggap sebagai konversi biasa (ordinary conversion), yaitu konversi pada
orang yang semula tidak percaya dengan agama menjadi orang yang memiliki keyakinan penuh
dan taat beribadah. Atau konversi dari pemeluk agama satu ke agama lain (Ullman, 1988, 1989).
Tetapi, topik konversi mistik (mystical conversion), yaitu konversi dari kehidupan beragama
orang pada umumnya ke arah kehidupan beragama yang berdimensi mistikal / transendental,
teranyata kurang mendapat perhatian dari para peneliti mutakhir. Keterbatasan yang lain adalah
karena sumber data yang digunakan dalam penelitian-penelitian konversi agama itu tidak lain
berangkat dari Judeo-Christian tradition (Ullmann, 1982; Cooley, 1984). Sangat sedikit penelitian
yang menggunakan subjek di luar agama tersebut, termasuk juga pada tradisi agama Islam.
Dalam buku ini, saya mencoba mengisi kekosongan literatur di bidang Psikologi Agama,
khususnya yang menyangkut keterbatasan penelitian konversi agama seperti yang disebutkan di
atas. Saya tidak memfokuskan diri pada pengalaman konversi yang umum (ordinary conversion),
tetapi pada pengalaman konversi mistik (mystical conversion). Adapun pengertian konversi mistik
itu sendiri adalah suatu proses perubahan kehidupan beragama yang dramatis, dari keberagamaan
orang kebanyakan (biasa-biasa saja) menuju kehidupan beragama yang bersifat mistik, yang
mempunyai komitmen sangat tinggi. Istilah yang saya gunakan untuk menyebut fenomena itu
10
adalah ‘transformasi religius’ (religious transformation). Ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi penggunaan istilah tersebut, antara lain:
(a) Istilah konversi religius (religious conversion) sering dianggap memiliki makna yang tidak
jelas (ambiguous in meaning). Pada penelitian-penelitian sebelumnya, istilah itu
digunakan untuk menggambarkan proses peralihan afiliasi keagamaan dari agama satu
kepada agama lain. Selain itu, istilah tersebut juga digunakan untuk menunjukkan
perubahan pada orang-orang yang mulanya tidak memiliki latar belakang agama sama
sekali (nonreligious background) menuju ke arah penghayatan dan komitmen agama yang
intens. Jadi, perubahan yang dimaksud masih dalam kerangka afiliasi agama yang sama
dari orang tersebut (James 1902, Jones, 1937, Johnson, 1945). Tetapi, pada penelitian-
penelitian terakhir, istilah itu hanya digunakan untuk menjelaskan proses perubahan
afiliasi keagamaan saja (Meadow & Kahoe, 1984; Ullman, 1989).
(b) Istilah ‘transformasi religius’ dipandang mampu mencakup keluasan pengalaman-pengalaman
beragama, termasuk di antaranya adalah peningkatan komitmen beragama, transformasi
diri (transformation of the sense of self) dan transformasi kesadaran (transformation of
consciousness).
Di dalam buku ini, istilah ‘transformasi religius’ diartikan sebagai suatu proses perubahan
orientasi keberagamaan, dari orientasi beragama orang kebanyakan (ordinary religious life) ke
arah kehidupan beragama yang bersifat mistik (mystical religious life) sebagai dampak dari
pelaksanaan amaliah dzikir dengan metode dzikir ikhlas. Istilah dzikir ikhlas yang dimaksud
adalah sebuah amalan dzikir yang mirip dengan latihan meditasi, yang dilaksanakan oleh sebuah
kelompok pengajian yang di dalam buku ini saya sebut Pengajian Ikhlas68.
Penelitian-penelitian di bidang psikologi agama sebagian besar menerapkan metode
kuantitatif (Ullman, 1982, 1988). Hal ini dapat dimengerti karena psikologi secara umum memang
cenderung mengadopsi pendekatan kuantitatif yang berasal dari pendekatan ilmu-ilmu alam
(natural sciences). Karena kesuksesan metode kuantitatif eksperimental bidang ilmu fisika dan
kimia, kalangan psikolog percaya bahwa dengan turut menerapkan metode tersebut,
kredibilitas psikologi dapat dibangun dalam komunitas akademik (Bullington & Karlton,
1984).
68 Sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah, maka seluruh nama, baik nama orang maupun nama kelompok
pengajian ini merupakan nama samara. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga netralitas sikap peneliti dan
pembaca dan mencegah timbulnya hal-hal yang tidak tidak diinginkan.
11
Bullington & Karlton (1984) menunjukkan bahwa tujuan metode ilmiah yang berasal
dari metode ilmu-ilmu alam adalah menjelaskan fenomena dalam pemikiran hukum sebab-
akibat (kausal) dan mengikuti prinsip-prinsip yang diletakkan oleh ilmu alam. Suatu fenomena
dapat dianggap relevan dengan penelitian hanya jika ia dapat diukur dan diuji (observable and
measurable). Dengan kata lain, suatu fenomena harus dapat diamati, dapat diukur, dan dapat
direplikasi seperti dalam laboratorium ilmu-ilmu alam secara umum (Collaizi, 1978). Selain
itu dengan mengadopsi pandangan positivisme mengenai realitas, psikologi cenderung untuk
melihat suatu fenomena sebagai ‘dunia-objektif’ (Giorgi, 1975). Berbagai fenomena yang ada
di dunia dianggap merupakan objek-objek yang sudah ada sebelumnya atau fakta-fakta murni
yang menunggu penjelasan. Semua itu terlepas dari subjek atau orang yang mengamati.
Aplikasi pendekatan kuantitatif yang berasal dari ilmu-ilmu alam tersebut sebenarnya
sudah banyak menuai kritik. Metode kuantitatif cenderung hanya terfokus pada perilaku yang bisa
diobservasi dan diukur saja. Padahal manusia merupakan fenomena yang sangat komplek yang
tidak mungkin hanya bisa dilihat dari hal-hal yang bisa diukur dan diobservasi saja. Jika yang
dilihat hanya hal-hal yang bisa diobservasi saja maka hal itu menyiratkan bahwa manusia
dianggap sebagai satu benda di antara benda-benda lain, terlepas dari status kejiwaan yang
unik. Manusia juga punya pengalaman pribadi yang tak bisa diamati dan dikuantifikasi.
Pendekatan kuantitatif tidak mampu memotret pengalaman-pengalaman bermakna yang tidak
terbatas, khususnya berbagai pengalaman religius umat beragama (Wulff, 1991).
Bakan (1967), menggambarkan para psikolog sedang bermain-main dalam ilmu
pengetahuan, seperti anak-anak bermain jadi cowboy dengan meniru setiap aspek dari
kehidupan cowboy kecuali satu hal yang tidak dilakukan, yaitu menggembala sapi itu sendiri.
Psikologi diaktakan telah kehilangan ‘jiwa’nya. Psikologi yang secara harfiah berarti ilmu
mengenai jiwa (psyche=jiwa) , akhirnya menjadi ilmu perilaku (behavioral science) (Valle &
King, 1978).
Untuk memberikan alternatif bagi penelitian dalam psikologi yang lebih bersifat
kualitatif, beberapa pendektan baru muncul. Misalnya, model penelitian grounded theory dari
Glasser & Strauss (1967) yang berfokus pada pendekatan induktif sistematis dalam
pengembangan teori (theory building). Selain itu juga muncul pendekatan ilmu-ilmu
kemanusiaan (human sciences) yang lebih menekankan pada ‘pengalaman’ manusia yang unik
sebagai kajian pokok (Giorgi, 1970; Barrell dkk., 1980). Salah satu bentuk penelitian alternatif
12
di dalam pendekatan ilmu pengetahuan manusia (human science) adalah metode fenomenologi
(Barrell dkk., 1980).
Fenomenologi merupakan penelitian sistematis tentang subjektivitas yang berfokus
pada pengalaman manusia (Bullington & Karlton, 1984). Dengan kata lain, fenomenologi
mempelajari fenomena seperti yang dialami oleh manusia. Metode ini tidak dikendalikan oleh
pemikiran hukum sebab-akibat dan tidak berkaitan dengan usaha menjelaskan, memprediksi,
dan mengontrol fenomena (Valle & King, 1978).
Berkebalikan dengan pendekatan ilmu alam, pendekatan fenomenologi berusaha
memahami kondisi manusia sebagaimana ia mewujudkan diri dalam situasi yang konkret dan
nyata. Hal itu sesuai dengani gagasan Husserl tentang “kembali ke hal-hal itu sendiri” (back to
the things themselves) (Valle & King, 1978). Tujuan utamanya adalah menghasilkan sebuah
gambaran yang jelas, tepat, dan sistematis atau menjelaskan makna struktur dari hal yang
diteliti itu melalui refleksi yang ketat atas data deskriptif (Valle & King, 1978; Polkinghorne,
1989). Meskipun fenomenologi bersifat kualitatif, pendekatan ini tidak menekankan deskripsi
mengenai tindakan dan perilaku lahiriah. Lebih dari itu, metode ini lebih memfokuskan pada
‘makna’ suatu fenomena bagi subjek yang mengalami.
Pendekatan fenomenologi menjauhkan diri dari aktivitas-aktivitas seperti pengujian
hipotesis, penalaran inferensi deduktif, kesimpulan dini, dan pertimbangan nilai (Wertz & van
Zuuren, 1988). Makna psikologis yang akan ditemukan tidak ditetapkan dalam hipotesis
sebelum penelitian. Pendekatan ini memungkinkan intuisi peneliti untuk memilah-milah bahan
yang secara tematis relevan di dalam penelitian yang dilakukan. Peneliti memakai prinsip
‘epoche’ yang berarti menyingkirkan atau mengurung semua persangkaan dan pengetahuan
mengenai fenomena yang sedang diselidiki. Dengan melakukan hal itu, peneliti mampu
kembali ke hal-hal itu sendiri.
Berdasarkan pada berbagai pertimbangan di atas, maka dalam penelitian ini saya memilih
untuk menggunakan pendekatan kualitatif, khususnya pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini
tampaknya adalah yang paling sesuai untuk menganalisis pengalaman transformasi religius
pada orang-orang Islam yang melaksanakan dzikir Ikhlas. Pendekatan ini memungkinkan
peneliti untuk mendapatkan deskripsi tentang pengalaman transformasi secara mendetail.
Lebih penting lagi adalah bahwa dengan pendektan fenomenologi seorang peneliti dapat
memahami makna yang paling mendasar dari pengalaman transformasi sesuai dengan
persepektif partisipan yang mengalami sendiri.
13
Data-data yang dijadikan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini dikumpulkan dari
anggota cabang jamaah Pengajian Ikhlas. Kriteria untuk memilih partisipan adalah:
(a) bahwa mereka adalah anggota aktif jamaah Pengajian Ikhlas, yaitu, mereka berdzikir
dan aktif terlibat dalam kelompok dzikir pada waktu data dikumpulkan.
(b) bahwa mereka siap berpartisipasi dalam penelitian ini.
(c) bahwa mereka mampu mengartikulasikan pengalaman-pengalaman mereka.
Di awal penelitian lapangan, saya mendapat izin dan dukungan untuk mengumpulkan
data dari koordinator jamaah Pengajian Ikhlas. Saya diberi kesempatan untuk memberikan
penjelasan kepada para anggota Pengajian Ikhlas yang menghadiri jamaah dzikir di rumahnya.
Saya mengungkapkan minat saya di bidang dzikir, menjelaskan bahwa tujuan saya adalah
untuk mempelajari fenomena pengalaman dzikir. Saya meminta calon partisipan untuk
menuliskan nama mereka pada sebuah daftar bila mereka siap berpartisipasi dalam penelitian
ini. Dari 75 anggota yang menghadiri amalan dzikir itu, 45 orang siap diwawancarai. Hal
tersebut menunjukkan semangat dan kerjasama mereka dalam kegiatan penelitian ini.
Selanjutnya partisipan dipilih dari daftar tersebut untuk memperoleh variasi subjek berdasarkan
jenis kelamin, usia, dan lama pengamalan dzikir. Akhirnya terpilih sembilan orang partisipan
yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini.
Untuk mengumpulkan data saya menggunakan teknik wawancara dialogis (Colaizzi,
1978). Istilah dialogis sangat ditekankan di sini karena dalam wawancara ini peneliti tidak
berfokus pada daftar pertanyaan yang diarahkan pada partisipan. Meskipun panduan
wawancara telah dikembangkan, fokus wawancara adalah pada dialog di antara dua orang,
yaitu peneliti dan partisipan. Alasan menggunakan metode ini adalah bahwa data deskriptif
yang diperoleh dari wawancara dialogis itu berpotensi cukup banyak. Metode ini
memungkinkan peneliti untuk dapat menggali suatu pengalaman sedang diteliti secara lebih
detail dan kaya. Menurut Colaizzi (1978), karakteristik utama dari metode wawancara dialogis
adalah bahwa peneliti harus hadir pada partisipan dengan cara khusus. Yaitu, peneliti haruslah
menyadari bahwa partisipan itu lebih dari sekadar sumber data. Partisipan adalah orang yang
hidup di dalam suatu dunia makna dan pengalaman yang disampaikan secara lisan, yang
dihasilkan dari struktur maknanya, yang dapat dicapai hanya jika peneliti mendengarkan
dengan totalitas keber-ada-an (being) dan kepribadian-(personality)-nya. Di samping itu,
peneliti bukan hanya berfokus pada artikulasi lisan (komunikasi lisan), melainkan harus
memperhatikan nuansa pembicaraan dan sikap tubuh partisipan (komunikasi non-verbal).
14
Prinsip wawancara dialogis yang dinyatakan di atas dapat dicapai dengan hubungan
saling percaya antara peneliti dan partisipan. Karena itulah, Schweitzer (1983) mengusulkan
bahwa data sebaiknya dikumpulkan hanya setelah hubungan yang baik telah terbentuk dengan
partisipan dan bila sudah ada keadaan saling percaya yang memadai untuk memungkinkan
penggalian makna dari data yang diberikan oleh partisipan.
Agar bisa membentuk hubungan yang baik dan hubungan saling percaya dengan
partisipan, saya telah secara teratur terlibat dan menghadiri amalan dzikir di rumah coordinator
atau di Masjid Pengajian Ikhlas. Identitas saya sebagai seorang muslim yang juga
mengamalkan dzikir, memungkinkan saya mencapai kualitas hubungan yang baik tanpa
mengalami kesulitan. Selanjutnya, ketika saya mewawancarai partisipan di rumah mereka
masing-masing, saya disertai anggota Pengajian Ikhlas yang dikenal seluruh partisipan.
Kondisi itu mengembangkan pengertian tentang dialog ‘internal’ di antara para anggota dekat
Pengajian Ikhlas
Semua wawancara direkam dengan tape audio. Fokus dialog-dialog yang dilakukan
adalah mengumpulkan data pengalaman transformasi religius partisipan dan maknanya dari
perspektif partisipan.
Untuk menganalisis (eksplikasi) data dalam penelitian ini saya menggunakan model
yang dikembangkan Von Eckartsberg (1985, 1989), Wertz (1985), dan Schweitzer (1983).
Tahap-tahap eksplikasi data beserta contohnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
15
BAB DUA
TRANSFORMASI RELIGIUS:
PERSPEKTIF PSIKOLOGI AGAMA
Pada bab ini, saya akan membahas literatur yang berhubungan dengan fenomena
yang dramatis dari kehidupan beragama orang kebanyakan (ordinary religious life) menuju
kehidupan beragama yang mempunyai unsur mistis (mystical religious life). Di dalam buku ini,
proses perubahan beragama yang dramatis itu disebut dengan istilah transformasi religius
(religious transformation). Kemudian, akan saya bahas bagaimana peran praktek meditasi dalam
proses transformasi religius. Akhirnya, saya akan mengkaji fenomena proses transformasi religius
Kata ‘agama’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, bisa bermakna
tradisi, atau peraturan hidup, atau sesuatu yang tidak bergerak atau tidak adanya kekacauan.
Ini berarti bahwa agama memberikan berbagai aturan pada manusia yang diterapkan melalui
tradisi kehidupan sehari-hari. Tradisi tersebut tidak akan berubah selamanya, sehingga
membuat hidup manusia tidak kacau (a = tidak, gama= kacau).
Kata agama dalam bahasa Inggris religion, memiliki pengertian yang juga beraneka.
Sebagian ahli studi keagamaan beranggapan bahwa kata ‘religion’ berasal dari bahasa latin
‘religio’ yang digunakan untuk menggambarkan keyakinan adanya kekuatan yang luar bisa
yang berada di luar diri manusia. Ahli lain berpendapat bahwa istilah ‘religio’ mengacu pada
perasaan yang muncul ketika manusia menyadari adanya kekuatan yang lebih besar dari
16
dirinya (Wulff, 1991), misalnya perasaan takut, harap dan cinta. Adanya keyakinan disertai
dengan perasaan tersebut selanjutnya mendorong manusia untuk melakukan berbagai ritual
agar terhindar dari berbagai konsekuensi negatip, seperti penyakit, musibah, malapetaka, atau
bencana alam. Rasa takut ini seakan mendorong manusia menjauhkan manusia dari kekuatan
yang luar biasa tersebut. Tetapi sebaliknya rasa harap dan cinta yang justru menarik manusia
manusia untuk senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut. Dengan
demikian seakan ada perekat yang mengikat manusia untuk selalu berhubungan dengan
kekuatan tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat Paloutzian (1984), yang mengatakan bahwa
kata ‘religion’ berasal dari kata latin “legare” yang berarti ‘mengikat’ atau ‘menghubungkan’.
Dengan agama manusia melakukan pengikatan diri dan senantiasa berusaha menjalin
hubungan dengan kekuatan lain, sehingga dapat merasakan kehidupan yang lebih utuh,
lengkap, dan menyeluruh.
Psikologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan modern telah memberi perhatian
yang cukup serius pada fenomena-fenomena keagamaan sejak awal perkembangannya.
Sejumlah teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal mula munculnya agama ditinjau
dari dimensi psikologis. Di bawah ini, saya akan menyajikan secara singkat beberapa teori
biologis maupun psikologis yang dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana munculnya
agama.
Menurut teori sifat dasar manusia, agama dianggap sebagai sebuah ekspresi dari salah
satu insting manusia (Spink, 1963). Teori insting beragama ini sangat populer pada masa awal
perkembangan psikologi agama. Hal itu tidak lepas dari pengaruh perkembangan psikologi
secara umum. Pada waktu itu, para psikolog cenderung menjelaskan seluruh perilaku manusia
dalam kerangka pemikiran tentang ‘insting’, misalnya insting makan, minum, mengasuh anak,
belajar, bekerja dsbnya .
Seperti halnya insting yang lain, insting beragama pada diri manusia dianggap
merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir. Pandangan ini dilandaskan pada faktor biologis
maupun psikologis. Dasar biologis kehidupan beragama yang paling awal dikemukakan
mengacu pada adanya fungsi dua belahan otak manusia. Belahan kiri otak berkaitan dengan
kemampuan manusia berpikir rasional dan analitis sementara belahan otak sebelah kanan
berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya intuitif, emosional, bahkan cenderung ‘irasional’.
Termasuk juga mkunculnya pengalaman-pengalaman mistis. Dengan demikian dapat dianggap
17
bahwa berdasarkankan faktor neurofisiologis, belahan otak kanan manusia secara alamiah
memberi kemungkinan manusia untuk mengembangkan kehidupan beragama.
Dasar biologis kecenderungan manusia beragama yang paling mutakhir berkaitan
dengan ditemukannya God Spot (titik Tuhan) dalam otak manusia. Pada awal tahun 1990-an,
Michael Persinger dan V.S. Rama Chandran dari Center for Brain and Cognition, California
University, menemukan sebuah titik di dalam otak yang berkaitan dengan kehidupan
spiritualitas manusia yang terletak pada lobus temporal. Melalui pengamatan terhadap otak
dengan topografi emisi, dapat diketahui bahwa titik tersebut akan bersinar apabila subyek
penelitian sedang mendiskusikan masalah agama atau mendapatkan pengalaman-pengalaman
spiritual. Dari sini para ilmuwan beranggapan bahwa God Spot ini merupakan pusat kehidupan
beragama pada jaringan syaraf otak.
Dr. Taufik Pasiak, seorang ahli neurosains dari Universitas Sam Ratulangi Manado,
mengemukakan bahwa selain teori tentang God Spot, masih ada dua teori lain yang mencoba
melihat hubungan otak dengan spiritualisme dan kehidupan beragama secara umum, yaitu teori
circuit dan teori katalisator. Berbeda dengan teori God spot yang memandang bahwa aktivitas
otak yang terkait dengan spiritualitas merupakan sebuah modul (God Module), teori circuit
memandang bahwa di dalam otak terdapat sebuah sirkuit, yaitu beberapa komponen yang
saling berhubungan. Jika salah satu komponen sirkuit tersebut dipicu atau distimulasi dari
dalam maupun dari luar diri seseorang, maka orang tersebut akan mendapatkan pengalaman
spiritual. Sementara itu teori katalisator memandang bahwa di dalam diri manusia terdapat
enzim yang fungsinya adalah mengkatali sebuah perubahan kimia dalam tubuh.
Berbeda dengan dasar biologis dari kehidupan beragama yang mempunyai bukti
empirik yang dapat dilacak, dasar-dasar psikologis spiritualitas pada umumnya merupakan
teori-teori spekulatif yang didasarkan pada pengamatan kehidupan beragama seluruh umat
manusia sejak jaman dahulu kala. Menurut teori kognitif, agama muncul ketika manusia
mencoba menjelaskan berbagai pengalaman kompleks dalam kehidupan mereka yang sulit
dipahami. Saat awal orang-orang berpikir tentang kematian, penyakit, dan mimpi, mereka
menyimpulkan bahwa ada eksistensi wujud yang bersifat immaterial (roh) yang mempengaruhi
kehidupan mereka. Ide tentang roh selanjutnya mengarahkan pemikiran manusia tentang
adanya Tuhan (Meadow & Kahoe, 1984).
Carl Gustav Jung (1959), seorang ahli psikologi analitik, menyatakan bahwa struktur
pengalaman religius berakar secara mendalam pada jiwa manusia. Teori Jung ini menganggap
18
bahwa selain memiliki ketidaksadaran individual, seperti dikemukakan oleh Sigmund Freud,
umat manusia secara bersama memiliki ketidaksadaran kolektif. Jung menjelaskan bahwa
ketidaksadaran kolektif adalah "segala endapan pengalaman nenek moyang yang diturunkan sejak
berjuta tahun yang tak dapat disebut yang sepenuhnya mengendalikan, gema peristiwa dari dunia
prasejarah, yang oleh zaman selanjutnya ditambah sedikit demi sedikit penganekaragaman dan
pembedaan-pembedaan" (lihat Crapp, 1993, h.76). Dalam ketidaksadaran kolektif inilah kehidupan
beragama umat manusia berakar. Melalui simbol-simbol religius yang dikembangkan, manusia
bisa memasuki alam ketidaksadaran kolektif yang sangat kaya dengan materi-materi dan
gagasan-gagasan kehidupan bergama.
Teori psikologis lain tentang munculnya agama yang banyak dibahas para ahli
psikologi agama adalah teori psikoanalisa dari Sigmund Freud. Menurut Freud (1929), agama
muncul dari keengganan manusia untuk menerima kenyataan-kenyataan kehidupan yang
kejam. Ketika orang-orang mengalami kesulitan, mereka cenderung lari dari kenyataan dan
mencari bayangan seorang ‘ayah’ yang mampu mengendalikan kekuatan-kekuatan yang
berbahaya. Freud menyimpulkan bahwa agama merupakan suatu ‘neurosis obsesional’ yang
bersifat universal (universal obsessive neurosis). Anggapan ini didasarkan pada fakta bahwa
terdapat beberapa kemiripan antara orang yang menderita gejala kompulsif neurotik dengan
orang yang menjalankan ritual-ritual keagamaan. Misalnya ada orang yang mengalami
gangguan kompulsip selalu merasa bahwa tangannya kotor, sehingga dia selalu berusaha
mencuci berkali-kali. Hal ini sangat mirip dengan perilaku orang beragama (umat Islam) yang
melakukan wudhu setiap akan melakukan sholat. Di sini Freud memang tidak salah karena dari
pengamatan memang kedua perilaku tersebut mirip, tetapi motivasi keduanya berbeda.
Kesimpulan yang dibuat Freud ini mengakibatkan munculnya kritikan-kritikan pedas dari para
teolog dan psikolog lain. Misalnya, Clark (1958) mengkritik Freud karena kecenderungannya
melihat agama hanya pada aspek infantil (kekanakan) saja. Wulff (1991) berpendapat bahwa
teori Freud lebih banyak didasarkan pada spekulasi daripada fakta-fakta ilmiah.
Termasuk dalam teori emosi adalah pendapat tentang adanya kecemasan eksistensial
(existensial anxiety) pada diri manusia sebagai faktor munculnya agama. Terutama adanya
kecemasan manusia ketika tidak mampu menghindari kematian. Royce (1973) berpendapat
bahwa agama muncul dari hasil pemahaman manusia yang menganggap kehidupan di dunia
ini penuh dengan persoalan dan kesedihan. Barangkali ide ini pula yang mendorong Pruyser
(1971) beranggapan bahwa agama “...lahir dari situasi dimana seseorang menangis : “Tolong!”
19
(Pruyser, 1971, p.80). Agama merupakan tempat berlabuh bagi manusia ketika menghadapi
berbagai persoalan kehidupan yang tidak bisa diatasi.
Pandangan eksistensial-fenomenologis tentang dasar-dasar psikologis munculnya
agama dapat ditelusuri dari kebutuhan manusia untuk mendapatkan makna kehidupan. Agama
dipandang sebagai cara orang mencari makna. Rudolf Otto (1971), menganggap bahwa agama
merupakan apresiasi manusia secara langsung terhadap adanya kekuatan lain yang
Mahasempurna (Wholly Others). Hal itu secara tidak langsung menyatakan bahwa manusia
pada umumnya memiliki kapasitas khusus, sejenis ‘indera keenam’, yang membuat mereka
dapat berhubungan dengan hal hal-hal yang bersifat Ketuhanan. Suatu kondisi mental yang
timbul ketika seseorang berhubungan dengan sesuatu yang bersifat Ketuhanan disebut
“numinous”, yaitu sebuah pengalaman keterpesonaan yang luar biasa atau “kekaguman
absolut” (Wulff, 1991). Sementara itu kajian fenomenologis tentang dasar-dasar psikologis
agama diarahkan pada kemampuan psikis manusia untuk mendapatkan pengalaman
transendental, yaitu kemampuan untuk mendaki ke atas, di luar batas (the climbing beyond)
(Wulff, 1991). Kapasitas itu diindikasikan dengan kemungkinan individu untuk merefleksikan
masa lalu dan mengantisipasi masa depan. Agama dipahami sebagai “transendensi dunia secara
menyeluruh (transcendence of the world as a whole)” (Wulff, 1991, p. 521).
Teori-teori yang dibahas di atas, baik teori biologis maupun psikologis, menunjukkan
bahwa tidak ada satu teori yang utuh yang dapat digunakan untuk memahami fenomena yang
kompleks seperti agama. Walaupun terdapat beberapa perbedaan antara satu teori dengan yang
lainnya, teori-teori tersebut ternyata juga memiliki kesamaan mendasar, yakni agama
merupakan sesuatu yang sifatnya bawaan (inherent) dan menjadi satu dalam kehidupan
manusia baik secara fisik maupun psikologis.
Para ahli psikologi agama berusaha mengidentifikasi beberapa karakteristik yang menjadi
ciri dari kehidupan beragama pada masa kanak-kanak, antara lain imitatif, superfisial, ritualistik,
autoritatif, konkrit dan antropomorphis.
Karakteristik psikologis kehidupan beragama pada masa kanak-kanak yang sangat
menonjol adalah bersifat imitatif (Clark, 1958). Seperti halnya perkembangan aspek-aspek
psikologis dan kemampuan lainnya yang berkembang melalui proses peniruan, pada mulanya
anak beragama karena meniru orang tuanya. Artinya, anak-anak hanya mengikuti apa yang
diyakini dan dilakukan orangtuanya.
Pengaruh lingkungan, terutama keluarga, sangat dominan bagi perkembangan
keberagamaan seorang anak. Jika seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang religius
kemungkinan besar dia akan berkembang menjadi lebih religius dibandingkan dengan anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang sekuler. Demikian juga arah afiliasi seorang anak pada kelompok
agama tertentu, sangat ditentukan oleh afiliasi orang di sekitarnya. Dalam kelompok agama itulah
anak mengembangkan potensi keagamaannya yang dibawa sejak lahir. Anak yang dilahirkan
dalam keluarga yang beragama Islam, secara otomatis religious instinct yang dimiliki berkembang
dalam tradisi Islam dan kemungkinan besar dia akan menjadi seorang muslim. Demikian juga jika
seorang anak dilahirkan dalam keluarga Kristen, Hindu, atau Buddha. Meski demikian, tidak
tertutup kemungkinan adanya perkecualian dalam proses perkembangan keberagamaan yang
dianggap ‘menyimpang’ dari pengaruh lingkungan (keluarga). Misalnya, pada kasus konversi
agama, yaitu proses perpindahan afiliasi agama dari satu agama satu ke agama yang lain. Di sini
seseorang berkembang ke arah yang berbeda dengan afiliasi keagamaan orang-orang di
sekitarnya. Namun pada umumnya fenomena konversi keagamaan ini lebih banyak terjadi pada
masa remaja dan dewasa awal.
21
Melalui proses imitatif ini anak belajar melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Mereka
berdoa, pergi ke masjid, ke gereja, sembahyang atau menolong orang lain hanya karena meniru
orang-orang di sekitarnya. Akibatnya belum ada satu keseriusan dalam diri anak-anak untuk
melakukan ritual keagamaan seperti orang dewasa. Mereka beragama hanya bersifat superfisial
semata (Clark, 1958). Meskipun ada beberapa anak-anak yang seakan menunjukkan perilaku yang
sangat religius, misalnya rajin melaksanakan ritual keagamaan seperti sholat dan puasa dalam
Islam, sebenarnya apa yang mereka lakukan itu pada umumnya hanya sebatas suatu kebiasaan
saja. Pemahaman dan penghayatan secara mendalam tentang ajaran agama masih belum ada.
Mereka menjalankan ajaran agama masih bersifat ritualistik semata. Namun demikian, bagi
pendidikan agama hal itu merupakan proses belajar yang sangat baik agar orang menjadi religius.
Selain tampak pada peribadatan ritual suatu agama, proses imitasi dalam kehidupan
beragama anak-anak juga tampak pada penerimaan keyakinan agama yang diajarkan pada
mereka. Thun (lihat Wulff, 1991) mengemukakan bahwa kehidupan beragama anak-anak sangat
tergantung pada faktor lingkungan. Anak-anak menerima agama bukan berdasarkan
pertimbangan rasional atau teologis, melainkan semata-mata ditentukan oleh hubungan anak-anak
dengan orang dewasa di sekitarnya. Clark (1958) menyebut ciri kehidupan beragama anak-anak
semacam ini sebagai bersifat autoritatif. Keberagamaan anak-anak masih didominasi oleh
keberagamaan orang dewasa di sekitarnya, terutama orangtuanya.
Meskipun anak-anak menerima ajaran agama secara apa adanya, tanpa memikirkan lebih
jauh tentang kebenarannya, tetapi hal tersebut bukan berarti anak-anak tidak pernah mengajukan
pertanyaan tentang masalah agama. Dalam penelitiannya Zeligs (1974) mengumpulkan sejumlah
pertanyaan yang sering diajukan anak-anak berkaitan dengan kehidupan beragama, terutama
tentang konsep Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan itu antara lain: Apakah Tuhan
itu seperti manusia biasa? Bagaimana Tuhan membuat diri-Nya sendiri? Bagaimana Tuhan
bangun di langit? Berapa umur-Nya? Apakah Dia seorang Kristen atau Yahudi? Apakah Tuhan
seperti manusia? Bisa didekap?
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak seperti yang terungkap dalam
penelitian Zeligs (1974) di atas, menurut Paloutzian (1984) bukanlah merupakan pertanyaan yang
‘serius’, dalam arti bahwa anak-anak bukannya menanyakan tentang kebenaran ajaran yang
diterimanya, melainkan lebih banyak didorong oleh rasa ingin tahu (curiosity) belaka. Ketika
mereka telah diberi jawaban yang memuaskan sesuai dengan pemahaman mereka, maka mereka
akan bisa menerima.
22
Selain dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, kehidupan beragama pada masa kanak-
kanak juga banyak dipengaruhi oleh perkembangan kognisinya. Pada masa ini, anak memahami
segala sesuatu yang abstrak akan diinterpretasikan secara konkret. Misalnya pengertian kasih
sayang akan dipahami sebagai pemberian hadiah ulang tahun. Hal itu juga berpengaruh pada
kehidupan beragama mereka. Anak-anak sering memahami konsep-konsep abstrak dalam agama
sebagai suatu bentuk yang konkret. Misalnya ketika memahami konsep-konsep supranatural
dalam agama (surga, neraka, malaikat, Tuhan, dsb-nya), mereka akan menginterpretasikannya
sebagai suatu bentuk yang konkret seperti yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, tidak heran jika ada seorang anak muslim yang sedang mengaji tiba-tiba pulang ke rumah dan
berusaha melihat telapak kaki ibunya sambil berkata: “Mana surganya? Kata ustadz surga ada di
telapak kaki ibu?” Ada juga anak yang menggambarkan surga seperti sebuah supermarket, di
mana anak-anak dapat mengambil es krim, permen atau makanan kesukaan mereka sesuka hati
mereka. Ketika seorang anak mendapat pelajaran bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu, maka
ia segera pulang dan meminta ibunya tiduran supaya dia bisa melihat surga di bawah telapak kaki
ibunya.
Berkaitan dengan perkembangan kognisi, masa kanak-kanak adalah masa yang penuh
dengan imajinasi. Anak-anak sangat senang cerita-cerita fantasi, terutama yang bersifat magical.
Mereka senang sekali mendengar kisah-kisah keagamaan yang mengandung unsur supranatural.
Misalnya, cerita tentang bidadari dan taman surga yang penuh dengan aneka kenikmatan, cerita
tentang kehebatan Nabi Musa yang tongkatnya bisa menjadi ular dan dapat membelah Laut
Tengah.
Karakterisitik kehidupan beragama masa kanak-kanak yang juga sangat menonjol adalah
sifat egosentris. Anak-anak pada umumnya mengartikan agama sesuai dengan kebutuhannya.
Tuhan sering dipersepsikan sebagai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dirinya. Hal itu
tampak jelas pada waktu anak-anak berdoa. Penelitian Long, dkk (1968) menunjukkan bahwa
bagi anak-anak doa senantiasa dikaitkan dengan suatu aktivitas konkret tertentu yang sesuai
dengan kebutuhan pribadinya. Anak-anak ternyata banyak berdoa untuk hal-hal yang bersifat
egosentris, misalnya untuk mendapatkan mainan atau kesenangannya yang lain. Kesadaran untuk
melaksanakan doa sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan tampaknya masih jauh dari
jangkauan mereka.
23
2.2.2. Kehidupan Beragama Masa Remaja
Thun (lihat Wulff, 1991) mengadakan penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi
perubahan kehidupan beragama yang terjadi pada masa remaja. Dia menemukan bahwa
ternyata ada beberapa karakteristik kehidupan beragama pada masa anak-anak yang masih
dibawa sampai pada masa remaja, antara lain perilaku ritualistik dan sifat egosentris. Beberapa
subjek dalam penelitian tersebut memang mengalami kehidupan beragama yang lebih intensif
dan lebih mendalam yang ditunjukkan oleh pengalaman batin yang cukup kuat pada masa
remaja. Namun demikian, sebagian besar dari mereka masih merasa bahwa pengalaman
beragama yang murni merupakan hal yang asing. Sebagian dari mereka justru mengalami
konflik dan keraguan beragama, sementara yang lainnya bersikap hipokrit, bahkan banyak pula
yang bersikap tidak peduli dengan agama.
Menurut Paloutzian (1984), remaja ternyata tidak konsisten dengan komitmen terhadap
agama. Mereka sangat religius tetapi sekaligus tidak religius. Pada satu sisi, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa minat terhadap agama maupun pelaksanaan ritual agama cukup menonjol
pada masa remaja. Di sisi lain, banyak penelitian yang mengindikasikan bahwa remaja kurang
memiliki tendensi untuk percaya pada ajaran agama, bahkan menunjukkan peningkatan
tendensi untuk mempertanyakan beberapa ajaran agama.
Kondisi psikologis remaja sendiri mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
kehidupan beragama mereka. Perkembangan kognitif remaja yang sudah mencapai taraf formal
operational menurut teori Piaget, memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak, teoritik, dan
kritis. Sikap kritis dalam kehidupan beragama tampak pada kecenderungan remaja
mempertanyakan agama melalui pemikiran abstrak dan logis. Mereka berusaha untuk menukar
kehidupan religius pada masa anak-anak yang bersifat autoritatif dengan pemahaman yang
lebih rasional. Mereka tidak lagi menerima begitu saja ajaran-ajaran agama yang diberikan oleh
orangtuanya. Bahkan pelajaran-pelajaran agama yang pernah mereka dapatkan pada waktu masih
kanak-kanak mulai dipertanyakan, sehingga menimbulkan keraguan beragama.
Clark (1958) menegaskan bahwa munculnya keragu-raguan (religious doubt) dan
konflik adalah karakteristik paling umum sebagai ciri kehidupan beragama pada remaja yang
sangat menonjol. Hal-hal yang diragukan dapat menyangkut ibadah ritual. Misalnya, remaja
beragama Islam sering mempertanyakan mengapa harus sholat lima kali, mengapa sholat harus
menghadap kiblat, bukankah Tuhan ada dimana-mana? Mengapa Tuhan menciptakan manusia
24
bergama macam-macam sehingga timbul peperangan? Mengapa haji harus ke Mekah, bukankah
itu akan menguntungkan orang Arab karena devisa negara menjadi sangat banyak? Bahkan, tidak
jarang yang diragukan oleh remaja adalah esensi tentang Tuhan sendiri. Apakah Tuhan itu
memang ada? Bukankah alam semesta ini ada secara evolutif? Kalau Tuhan itu satu mengapa
menciptakan agama yang bermacam-macam?
Keraguan bergama yang ditunjukkan dengan munculnya berbagai pertanyaan seperti di
atas sering menimbulkan konflik pada diri remaja itu sendiri, antara percaya dan tidak percaya
dengan ajaran agama yang dianutnya. Sering juga konflik tersebut menimbulkan kebimbangan
loyalitas terhadap institusi agama yang dianutnya, yang selanjutnya menimbulkan konversi
(perpindahan) agama.
Selain perkembangan kognitif, yang ikut andil dalam timbulnya keraguan beragama pada
remaja adalah adanya informasi ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan melalui pelajaran di
sekolah maupun berbagai media lain. Tidak jarang penjelasan-penjelasan ilmiah dari ilmu
pengetahuan dipersepsikan oleh remaja sebagai suatu hal yang kontradiktif. Contoh yang sering
terjadi adalah pertentangan antara teori evolusi Darwin, yang mengatakan bahwa asal-usul
manusia adalah dari kera, dengan ajaran agama (tradisi Semitis: Yahudi, Kristen, dan Islam) yang
mengatakan bahwa manusia pertama adalah Adam.
Pertentangan-pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan tidak hanya
menimbulkan keragu-raguan beragama saja, tetapi juga menimbulkan konflik pada diri remaja.
Terlebih pada remaja yang berada pada lingkungan agama yang ketat. Di satu sisi, remaja dituntut
lingkungan untuk tetap melakukan ritual, sedang di sisi lain remaja tidak percaya sepenuhnya
tentang ajaran agamanya.
Keraguan dan konflik beragama (religious doubt and conflict) juga terjadi dalam
kaitannya dengan ajaran agama lain. Remaja pada umumnya telah memiliki pergaulan sosial yang
semakin luas, sehingga kemungkinan mendapatkan informasi-informasi tentang keyakinan dari
agama-agama lain cukup besar. Adanya perbedaan bahkan pertentangan antara ajaran agama yang
satu dengan yang lain dapat menimbulkan keraguan dan konflik beragama. Apalagi jika ditambah
oleh adanya perbedaan antara ajaran agama yang selalu mengajarkan kebaikan, tetapi dalam
kenyataan justru bertentangan. Perbedaan antara idealitas dan realitas merupakan salah satu lahan
yang subur bagi pemikiran kritis remaja.
Dalam menyikapi konflik dan keraguan beragama pada masa remaja para teolog atau
agamawan pada umumnya melihatnya sebagai sebuah rintangan terhadap perkembangan
25
menuju keimanan yang matang. Bahkan ada yang menganggap sebagai sesuatu yang
membahayakan bagi perkembangan kehidupan beragama di masa yang akan datang. Sering juga
dianggap sebagai godaan dari syetan yang harus segera dihilangkan dari pikiran. Namun para
ahli psikologi agama mempunyai pandangan yang berbeda. Konflik dan keraguan merupakan
suatu hal yang wajar dalam proses perkembangan kehidupan beragama seseorang. Pertanyaan-
pertanyaan kritis yang dilontarkan remaja bukanlah sebuah pemberontakan terhadap agama
yang dianutnya. Dengan mempertanyakan, mengevaluasi, dan membanding-bandingkan ajaran
agama yang satu dengan lainnya, remaja akan mendapatkan landasan pemahaman rasional yang
kuat dalam kehidupan beragama. Tidak lagi hanya mengikuti secara membabi buta apa yang
diberikan oleh orangtuanya. Keraguan dan konflik bergama yang terjadi pada masa remaja
merupakan faktor penting dalam pertumbuhan kehidupan beragama yang matang (Clark,
1958).
Kehidupan beragama pada masa remaja juga banyak diwarnai oleh timbulnya konversi
beragama (religious conversion). Secara umum gejala itu diartikan sebagai berpindahnya afiliasi
keagamaan seseorang (Paloutzian, 1984). Tetapi, sebenarnya esensi dari konversi beragama
adalah adanya perubahan kehidupan beragama yang sangat drastis. Misalnya, seseorang yang
semula memusuhi suatu agama kemudian justru menjadi pemeluk yang taat. Kasus Umar bin
Khattab dalam sejarah Islam dan St. Paulus dalam tradisi Kristen merupakan contoh yang sangat
populer yang berkaitan dengan konversi beragama.
Perubahan drastis dalam kehidupan beragama dapat juga terjadi tanpa pindah afiliasi
keagamaan, melainkan adanya peningkatan intensitas penghayatan kehidupan beragama. Gejala
itulah yang banyak terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Hal tersebut tampak jelas di kalangan
mahasiswa. Kegiatan-kegiatan keagamaan di kampus-kampus begitu semarak. Dari sudut
pandang psikologi perkembangan, gejala ini bisa dilihat sebagai proses pencarian identitas diri
remaja. Karena pada umumnya remaja masih memiliki emosi yang labil yang sering disebut
sebagai masa penuh badai dan topan (storm dan stress) maka jalan kembali kepada agama
merupakan solusi yang wajar. Agama dapat memberikan alternatif untuk menghadapi goncangan-
goncangan emosional. Meskipun demikian, emosi yang kuat memang masih mewarnai kehidupan
beragama remaja. Mereka demikian bersemangat dalam menjalankan agamanya, sehingga ada
kecenderungan ke arah fanatisme dan sektarianisme.
26
2.2.3. Kehidupan Beragama Masa Dewasa
Pada masa dewasa, umumnya seseorang telah mencapai kemantapan dan kedewasaan,
baik secara psikologis, sosial, maupun ekonomis. Namun tidak demikian halnya dengan
kehidupan beragama. Clark (1958) mensinyalir bahwa masih sangat banyak orang-orang dewasa
yang belum matang kehidupan beragamanya. Hal itu dapat diketahui dengan melihat adanya ciri-
ciri kehidupan beragama pada masa kanak-kanak yang dibawa ke masa remaja dan ternyata masih
menetap pada masa dewasa, yaitu egosentris dan pola perilaku beragama yang ritualistik dan
superfisial. Perilaku ritualistik dan superfisial tampak pada pelaksanaan ritual keagamaan. Masih
banyak orang dewasa yang melaksanakan ritual itu sebagai suatu bentuk kebiasaan yang dibawa
sejak masa kanak-kanak belaka. Sedangkan kecenderungan egosentris terlihat pada doa mereka
yang masih terpusat pada kebutuhan dan keinginan diri sendiri. Termasuk juga kebutuhan
keluarga dan kelompoknya.
Ciri kehidupan beragama pada masa kanak-kanak yang masih tetap ada pada orang
dewasa mengindikasikan suatu bentuk kurang matangnya kehidupan beragama. Dalam hal ini,
Gordon Allport (1950), seorang psikolog yang banyak mengkaji masalah-masalah keagamaan
mengajukan enam kriteria sebagai indikasi kehidupan beragama yang matang, yaitu:
terdiferensiasi dengan baik, dinamis, konsisten, komprehensif, integral, dan heuristik.
Yang dimaksud dengan kehidupan beragama yang terdiferensiasi dengan baik adalah
bahwa seseorang menerima agama yang dipeluknya secara kritis. Hal itu merupakan kebalikan
dari sifat kehidupan beragama yang kekanak-kanakan, yaitu menerima agama secara apa adanya
tanpa disertai pemahaman rasional. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa seluruh ajaran
agama dapat dirasionalisasikan. Seseorang yang memiliki kehidupan beragama yang
terdiferensiasi mampu menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragamanya
selain dari segi emosional, sosial, maupun spiritual.
Kehidupan beragama yang dinamis, menurut Allport (1950) merupakan ciri yang penting
yang membedakan kehidupan beragama yang matang dan yang tidak. Kehidupan beragama
dikatakan dinamis apabila agama mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitas
individu. Aktivitas-aktivitas keagamaan tidak lagi dilaksanakan sebagai alat untuk memenuhi
kepentingan dirinya sendiri, tetapi semuanya itu dilaksanakan demi kepentingan agama itu sendiri,
atau kepentingan umat manusia pada umumnya. Di sini, sifat egosentris sudah tidak ada lagi.
27
Selain itu, agama mampu mengubah kehidupan seseorang, menjadi motivator dalam
melaksanakan seluruh aktivitas kehidupannya.
Yang dimaksud kehidupan beragama yang konsisten adalah adanya keselarasan antara
tingkah laku seseorang dengan nilai-nilai moral dalam agamanya. Hal tersebut berarti bahwa
moralitas agama telah menyatu dalam seluruh aspek kehidupan seseorang. Agama telah
memberikan arah bagi perilaku seseorang di mana saja secara konsisten.
Kehidupan beragama yang komprehensif berarti bahwa agama yang dianut seseorang
mampu menjadi filsafat hidupnya (philosophy of life). Segala sesuatu yang terjadi pada seseorang
senantiasa dikembalikan kepada Tuhan. Di sini seseorang juga mulai dapat menerima adanya
berbagai perbedaan dalam kehidupan beragama maupun adanya berbagai keyakinan dalam
masyarakat. Mereka tidak lagi berorientasi hanya pada kelompoknya, tetapi dapat melihat
kehidupan dalam spektrum yang lebih luas. Mereka mulai menyadari bahwa keberaneragaman
merupakan suatu keniscayaan.
Kehidupan beragama yang matang tidak hanya komprehensif, tetapi juga mempunyai sifat
integral. Artinya, bahwa kehidupan beragama telah dijadikan sebagai bagian yang integral dengan
seluruh aspek dalam kehidupan seseorang. Dalam hal ini, Allport menekankan integrasi antara
agama dan ilmu pengetahun (sains). Agama dianggapnya bukan sebagai pro atau kontra dengan
ilmu, melainkan keduanya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Agama bahkan menjadi
motivator dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sementara itu ilmu pengetahuan
memperdalam dan memperluasa wawasan keberagamaan.
Ciri terakhir dari kehidupan beragama yang matang menurut Allport adalah sifatnya yang
heuristik. Yaitu, seseorang menyadari adanya keterbatasan dalam kehidupan beragamanya.
Orang-orang yang matang dalam beragama tidak pernah menganggap keberagamaan mereka
telah mapan. Sebaliknya mereka justru selalu menyadari keterbatasannya. Mereka menganggap
diri mereka masih belum baik, belum mengerti apa-apa dan masih banyak ajaran agama yang
belum bisa dikerjakan. Oleh karena itu, mereka akan selalu berusaha meningkatkan pemahaman
dan pengahayatan agama yang dianutnya.
Konsep kematangan kehidupan beragama yang dikemukakan Allport (1950) di atas
memberikan gambaran yang ideal tentang kehidupan beragama. Tetapi tentu saja untuk mencapai
kondisi tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Yang penting perlu disadari bahwa kondisi
kehidupan beragama yang tidak matang dan yang matang bukan merupakan dua hal yang terpisah
secara jelas. Keduanya merupakan suatu hal yang berkesinambungan. Perubahan dari kehidupan
28
beragama yang tidak matang menuju kematangan merupakan sebuah proses panjang. Usaha untuk
mencapai kematangan kehidupan beragama merupakan perjalanan yang tak ada akhirnya
sepanjang kehidupan seseorang, seperti diungkapkan oleh Clark (1958): "... the process of
religious development is never complete."
Fokus kajian dalam buku ini adalah perubahan dramatis kehidupan beragama. Istilah
yang sering digunakan dalam literatur psikologi agama untuk mendeskripsikan fenomena
perubahan tersebut adalah ‘konversi beragama’. Namun, dalam buku ini digunakan istilah
‘transformasi religius’. Penggunaan isitilah itu akan dijelaskan di bawah ini.
Dalam psikologi agama, istilah ‘konversi agama’ mengacu pada suatu tipe
perkembangan keberagamaan yang diwarnai oleh perubahan kehidupan secara dramatis, baik
berkaitan dengan ideologi maupun perilaku beragama (Clark, 1958; James, 1902). Perubahan
tersebut dapat termanifestasikan dalam tiga hal. Pertama, perubahan afiliasi keagamaan di
mana seseorang berpindah dari agama satu ke agama lain (Meadow & Kahoe, 1984; Ullman,
1989). Kedua, peningkatan penghayatan keagamaan orang-orang yang semula tidak peduli
agama atau tidak percaya dengan agama (agnostic) menjadi orang yang sangat religius. Ketiga,
perubahan atau peningkatan komitmen dan keyakinan beragama dalam konteks agama yang
sama (James, 1902; Byrnes, 1984; Ullman, 1988, 1989). Dalam konteks agama Islam di
Indonesia, model konversi agama yang ketiga ini dapat dilihat pada fenomena perubahan orang
muslim abangan yang kemudian berubah menjadi ‘santri’.
Berdasarkan perubahan arah konversi agama di atas, Thouless (1936) membedakan
antara ‘konversi biasa’ (ordinary conversion) dan ‘konversi mistis’ (mystical conversion).
Istilah ‘konversi biasa’ digunakan untuk perubahan kehidupan bergama dari agnostik (tidak
percaya Tuhan dan kehidupan setelah mati) menuju kehidupan beragama yang serius.
Termasuk dalam hal itu adalah perubahan dari satu agama ke agama lain. Sementara itu,
Thouless mendefinisikan ‘konversi mistis’ sebagai perubahan religius yang dramatis dari
kehidupan beragama yang dilaksanakan orang pada umunya menuju kepada kehidupan
beragama yang mencakup dimensi mistis dalam konteks agama yang sama. Istilah ‘mistis’ di
sini diartikan sebagai pengalaman transendental terutama berkaitan dengan hubungan personal
langsung dengan Tuhan.
29
Klasifikasi Thouless di atas menurut saya memiliki kekurangan. Ada dua alasan yang
bisa dikemukakan untuk mendukung pandangan ini. Pertama, pengalaman mistis tidak hanya
dialami oleh orang-orang yang mengalami konversi mistis. Ada banyak contoh mengenai
pengalaman mistis yang juga memainkan peranan yang penting bagi orang-orang yang berubah
dari agnostik menuju ke kehidupan religius. Kedua, pengalaman mistis tidak hanya terjadi
secara alamiah sebagai pengalaman yang tidak diperkirakan oleh individu, tetapi pengalaman
mistis dapat juga terjadi sebagai dampak dari disiplin spiritual yang khusus, misalnya meditasi
atau puasa yang rutin. Terlepas dari kekurangan tersebut, klasifikasi Thouless tentang konversi
beragama di atas dapat dijadikan sebagai pemahaman dasar tentang fenomena yang dikaji
dalam buku ini.
Walaupun buku ini menekankan pada fenomena konversi agama, khususnya konversi
mistis, tetapi istilah transformasi religius tetap digunakan. Alasan utamanya adalah karena
istilah transformasi religius dianggap dapat mencakup pengalaman beragama yang lebih luas,
mulai dari meningkatnya komitmen terhadap agama yang dianut, transformasi kesadaran
(transformation of consciousness), dan transformasi diri (transformation of the sense of self).
Pengalaman-pengalaman seperti itu sering ditemukan pada orang-orang yang melaksanakan
praktek meditasi (Meadow & Kahoe, 1984).
Dengan demikian, istilah transformasi religius di sini didefinisikan sebagai perubahan
orientasi beragama dari kehidupan beragama orang kebanyakan menuju kehidupan bergama
yang bersifat mistis sebagai dampak dari suatu praktek meditasi. Dalam konteks ini, istilah
kehidupan beragama orang kebanyakan mengacu pada kehidupan beragama yang pada
umumnya ditemukan pada orang dewasa, yang ditandai oleh kedangkalan ritualitas dan
tendensi egosentris. Sementara itu, kehidupan bergama yang bersifat mistis merupakan suatu
kehidupan beragama yang disertai dengan pengalaman mistis dan hubungan personal dengan
Tuhan.
Sejak pertengahan abad ke-20 yang lalu, praktek meditasi telah mendapat perhatian
signifikan dari masyarakat barat. Di Amerika sendiri, jutaan orang dilaporkan melakukan
meditasi setiap hari dalam kehidupannya. Dengan demikian, meditasi menjadi sarana bantu
(self-help) untuk mengatasi atau mengurangi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari, mulai
dari masalah fisik, psikologis, dan masalah sosial. Hal tersebut didukung oleh sejumlah besar
30
penelitian ilmiah yang dilakukan untuk mendokumenkan berbagai pengaruh dari praktek
meditasi. Misalnya, Orme-Johnson & Farrow (1976) menampilkan hampir 100 paper
penelitian ilmiah yang menguji efikasi dari program meditasi transedental (transendental
meditation) di berbagai bidang. Selain itu, sejumlah teori dan penelitian psikologis telah
digunakan untuk menjelaskan proses mental yang terkait dalam meditasi (Naranjo & Ornstein,
1971; Van der Lans, 1987; Ornstein, 1986).
Esensi praktek meditasi adalah usaha untuk mengikat kesadaran menuju satu objek
yang tidak berubah dalam waktu tertentu (Ornstein, 1986). Terdapat banyak macam teknik
meditasi , namun semua melibatkan pemfokusan kesadaran pada suatu pola visual
(penglihatan), atau auditori (pendengaran). Dalam Budhisme aliran Zen, seorang murid disuruh
menghitung pernafasannya dari 1-10 dan mengulang hitungan tersebut secara terus menerus.
Teknik meditasi visual ditemukan dalam tradisi yoga dan melibatkan suatu ‘pandangan
menetap’ pada objek eksternal seperti sebongkah batu, sebuah vas, atau sebuah lilin. Objek
tersebut digunakan sebagai fokus bagi titik konsentrasi tetap.
Bentuk paling umum dari praktek meditasi adalah meditasi auditori yang melibatkan
penggunaan mantra, yaitu kata-kata atau frasa tertentu yang dianggap sakral. Pengalaman
meditatif dapat dicapai melalui pengucapan mantra secara berirama dan berulang-ulang. Dalam
tradisi yoga, mantra paling umum adalah Om atau Om mani padme hum (Ornstein, 1986).
Sebagian umat Kristen menggunakan Doa Yesus sebagai sarana meditasi, “Tuhan Yesus
Kristus, berikan belas kasih pada kami, orang-orang yang berdosa” (Meadow & Kahoe, 1984,
p.148). Dalam tradisi Islam terdapat beberapa fomula yang sering digunakan untuk mencapai
kesadaran meditatif antara lain: laa illa ha illallah (Tiada Tuhan Selain Allah) atau
astaghfirullah-al-adzim (Aku berrlindung kepada Allah). Praktek meditasi dalam tradisi Islam
akan dibahas lebih lanjut pada Bab 3.
Teknik meditasi auditori terkadang dikombinasikan dengan gerakan tubuh secara
kinestetik atau repetitif. Contoh konkret untuk metode itu adalah praktek Sufi tarekat
Mawlawiyah di Turki yang dikembangkan oleh Jalaludin Rumi, yang di Barat dikenal sebagai
whirling dervishes. Di sini para sufi berputar-putar secara berirama diiringi dengan musik
sambil mengucapkan kalimat tertentu.
Telah banyak penelitian yang mendokumentasikan pengaruh latihan meditasi sebagai
metode yang potensial untuk mendapatkan transformasi kesadaran secara radikal, dari
kesadaran normal-sadar (normal waking consciousness) menuju kesadaran yang berubah
31
(altered stated of consciousness) yang selanjutnya menimbulkan pengalaman mistis (Le Shan,
1914; Ornstein, 1986; Walsh, 1983). Pengalaman mistis di sini diartikan sebagai pengalaman
spiritual atau pengalaman rohani dimana orang merasakan bersentuhan dengan ‘sesuatu’ yang
bersifat Ketuhanan atau merasakan penyatuan seluruh dimensi dalam diri dan kehidupannya.
Para ahli Psikologi Agama telah mengidentifikasikan beberapa karakteristik pengalaman mistis
yang sering ditemukan pada berbagai tradisi keagamaan. Dibawah ini adalah beberapa
karakteristik-karakteristik pengalaman mistis yang dapat ditemukan pada beberapa literatur
(lihat James, 1902; Meadow & Kahoe, 1984; Spilka, 1991; Stace, 1966).
Pertama, pengalaman mistis mempunyai kualitas noetik. Artinya, bahwa pengalaman ini
tidak hanya hanya berupa pengalaman emosional saja dimana orang merasakan keterdekatan
dengan Tuhan, tetapi lebih daripada itu pengalaman mistis ini berfungsi juga sebagai sumber
inspirasi, insight, pengetahuan, dan pencerahan. Di sini pengalaman mistis dapat memberikan
stimulus bagi fungsi kognitif sehingga dapat merangsang timbulnya ide-ide baru yang tidak
pernah terpikirkan sebelumnya. Dalam tradisi Islam dikenal adanya ‘ilmu ladduni’, yaitu
sebuah ilmu yang cara memperolehnya tidak melalui metode kognitif melainkan secara intuitif
yang berkaitan dengan pengalaman mistis. Misalnya sebagian besar karya puisi Jalaludin Rumi
yang penuh dengan makna dan pengetahuan didapat ketika ia sedang melaksanakan gerakan
meditatif berputar-putar, yang kemudian dituliskan oleh para muridnya.
Kedua, pengalaman mistis tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata (ineffable), sehingga
pengalaman mistis sulit dideskripsikan secara verbal seutuhnya. Karakteristik ini terkait
dengan dimensi emosional. Seperti halnya pengalaman-pengalaman emosional yang lain
(misalnya pengalaman jatuh cinta) pengalaman mistis tidak mungkin dapat di ekspresikan
secara verbal dengan utuh. Ini menunjukkan bagaimana kedalaman pengalaman mistis yang
hanya bisa dapat dipahami oleh orang yang bersangkutan atau oleh orang yang pernah
mengalami. Oleh karena itu sebagian besar pengalaman mistis diekspresikan dalam ungkapan-
ungkapan simbolis. Misalnya, para Sufi banyak menggunakan metafora gelas dan anggur untuk
menggambarkan perasaan cinta kepada Tuhan yang bergelora dalam jiwa.
Ketiga, pengalaman mistis mempunyai kualitas kesatuan (quality of unity). Artinya bahwa
orang yang mendapatkan pengalaman mistis dapat merasakan keutuhan dan kesatuan (oneness)
segala sesuatu; bahwa hakekatnya semua manusia itu merupakan satu kesatuan; bahwa segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini sebenarnya adalah ‘satu’. Bahkan tidak jarang dalam
pengalaman mistis orang merasakan kesatuan dengan Yang Absolut, dengan Tuhan, seperti
32
pernah diungkapkan oleh Sufi Al Hallaj: “Ana al-Haq” (Saya adalah Kebenaran). Dalam
bentuk yang lebih umum, pengalaman mistis meliputi pengalaman berhubungan langsung
dengan Yang Suci (holy). Aspek religius dalam pengalaman mistis melibatkan rasa kesakralan
yang menimbulkan rasa kagum dan terpesona.
Keempat, pengalaman mistis adalah sebuah pengalaman yang nyata (real). Sering orang
menganggap bahwa pengalaman mistis merupakan hasil dari imajinasi, khayalan atau bahkan
halusinasi. Bagi yang mengalami, pengalaman mistis sama sekali bukan khayalan atau
halusinasi. Meskipun dalam pengalaman tersebut sering disertai dengan pandangan visual atau
orang mendengar suara-suara yang tidak bisa didengar oleh orang lain, seperti yang sering
dialami oleh orang yang mengalami gangguan jiwa psikotik. Bahkan dalam pengalaman
psikotik kadang juga muncul ‘semacam’ pengalaman mistis. Di sini memang orang harus hati-
hati untuk bisa membedakan mana pengalaman mistis yang real, dan mana yang merupakan
gejala psikotik. Karena kemiripan itu, tidak jarang orang yang mendapat pengalaman mistis
justru dianggap sebagai orang gila. Salah satu indikator yang bisa digunakan adalah melihat
dampak pengalaman itu bagi kehidupan orang tersebut maupun orang-orang di sekitarnya.
Pengalaman psikotik bisanya berdampak destruktif, misalnya orang tersebut mendengar suara
yang menyuruhnya untuk bunuh diri atau membunuh orang lain. Sementara itu pengalaman
mistis selalu disertai dengan efek positif. Pengalaman mistis menimbulkan perasaan positif
yang dalam. Orang merasakan pengalaman kebahagiaan, merasa mendapat keberkahan dan
kedamaian.
Kelima, pengalaman mistis mempunyai unsur keterlepasan dengan dimensi ruang dan
dimensi waktu (timelessness and spacelessness). Keterlepasan dengan dimensi ruang terjadi
ketika orang merasakan bahwa dia tidak lagi berada di tempatnya saat itu. Dia merasa seperti
berada di alam lain. Demikian juga dalam pengalaman mistis tidak jarang orang mendapatkan
pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari. Atau
pengalaman memasuki kehidupan masa lalu. Pengalaman-pengalaman ini boleh jadi mirip
dengan pengalaman paranormal. Tetapi bagi orang yang mendapatkan pengalaman mistis
pemahaman tentang masa depan bukan merupakan tujuan utama. Bahkan hal ini sering
dianggap sebagai godaan atau halangan dalam mencapai tujuan kehidupan spiritual.
Keenam, pengalaman mistis mempunyai kualitas paradoksal. Artinya bahwa orang yang
berada dalam pengalaman mistis sering membuat pernyataan yang kontradiktif, tetapi dapat
diterima secara logis. Misalnya, ketika orang merasakan bahwa Tuhan itu jauh, dikatakan
33
bahwa sebenarnya dia justru dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, ketika orang merasa dekat
dengan Tuhan, justru sebenarnya dia jauh dengan Tuhan. Demikian juga ketika orang selalu
berusaha mensucikan diri, dia justru akan semakin merasakan banyak dosa. Sebaliknya ketika
orang bertanya “dosa saya apa sampai saya harus menanggung penderitaan semacam ini.” Ini
justru menunjukkan bahwa dia mungkin banyak berbuat dosa tetapi tidak menyadari. Dalam
literatur-literatur mistik sering digambarkan bahwa ketika mendapatkan suatu musibah, orang
yang mempunyai wawasan mistis justru akan bersyukur, karena dia mengetahui bahwa di balik
musibah itu ada hikmah besar. Sebaliknya ketika mendapatkan rejeki yang banyak, dia justru
merasa takut karena menganggap bahwa hal itu sebagai ujian keimanannya.
Karakteristik terakhir dari pengalaman mistis adalah bersifat pasif. Artinya bahwa orang
yang mendapatkan pengalaman mistis tidak mau mengklaim bahwa apa yang diperolehnya
merupakan hasil dari usahanya, melainkan merupakan karunia dari Tuhan. Di sini rasa ke-aku-
an telah hilang. Bahkan lebih jauh lagi sering orang merasakan bahwa pikiran, perasaan,
maupun seluruh perilakunya bukan berasal dari dirinya sendiri. Dia hanyalah sebagai sarana
atau media bagi kekuatan Tuhan bekerja dalam dirinya.
Secara keseluruhan pengalaman mistis mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perkembangan kehidupan beragama seseorang. Pengalaman tersebut secara potensial dapat
membuat perubahan yang dramatis dalam orientasi beragama seseorang. Hal itu terlihat jelas
dalam kehidupan banyak pemimpin-pemimpin agama besar. Dalam berbagai riwayat, mereka
diceritakan mempunyai pengalaman mistis sebelum mereka mengubah kehidupan mereka
sendiri maupun mengubah masyarakat di sekitarnya (Jones, 1937; Clark, 1958). Penelitian ini
mencoba untuk mengungkapkan bagaimana perubahan kehidupan beragama pada orang-orang
yang melakukan dzikir (semacam meditasi dalam tradisi Islam) setelah meraka mendapatkan
pengalaman-pengalaman mistis. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa pengalaman
mistis tidak hanya diperoleh oleh pemimpin atau tokoh-tokoh spiritual saja. Orang biasa dapat
juga mencapai kondisi tersebut, baik melalui usaha ritual yang sungguh-sungguh maupun
dengan melaksanakan praktek meditasi atau yang lain sesuai dengan tradisi agama masing-
masing.
34
BAB TIGA
Di dalam bab ini saya akan membahas masalah amaliah dzikir sebagai fokus kajian ini
yang mempunyai potensi sebagai sarana untuk mencapai transformasi religius. Karena amaliah
dzikir ini dilaksanakan dalam konteks agama Islam, maka saya akan membahas tentang dasar-
dasar agama Islam secara umum, mulai dari struktur keimanan dan struktur peribadatan.
Pembahasan ini diperlukan karena pengalaman-pengalaman dzikir yang di dapatkan oleh
partisipan dalam penelitian banyak mengungkap keyakinan-keyakinan dasar dalam agama
Islam dalam persepektif yang berbeda. bahkan beberapa mempertanakan konsep medasar
tentang bagaimana menjadi seorang muslim, bagaimana melaksanakan sholat, puasa, haji
dalam perspektif yang berbeda dengan orang Islam kebanyakan. Pada bagian akhir dari bab
ini saya akan membahas tentang amaliah dzikir dalam sistem peribadatan agama Islam. Secara
khusus saya akan mefokuskan perhatian pada alamiah dzikir yang dilaksanakan oleh kelompok
Pengajian Ikhlas yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini.
Secara etimologis akar kata dari kata "Islam" adalah huruf sin lam mim. Dari ketiga
huruf itu terbentuk beberapa kata yang mempunyai makna yang saling bertautan. Misalnya
Mujahid (2007) menyebutkan beberapa kata yang berasal dari huruf sin lam mim antara lain
kata aslama yang berarti menundukkan atau menghadapkan wajah, sallama yang berarti
berserah diri, salaama yang artinya kesejahteraan dan keselamatan, siliim artinya kedamaian,
dan sullam artinya tangga. Sementara Ahmad (1974) mengatakan bahwa dari tiga huruf sin lam
mim terbentuk dua kata pokok yaitu ‘salaam’dan ’silm’ yang bermakna damai, berserah diri,
tunduk, pasrah, atau menyerahkan diri. Dua kata itu menjadi dasar para sarjana Islam untuk
memahami agama Islam dalam dua makna yang tidak terpisahkan. Pertama, Islam dipahami
sebagai "... memasuki perdamaian" dan kedua adalah "...penyerahan diri atau kepatuhan
mutlak kepada Allah" (Maudodi, 1958, h. 5). Dari dua pengertian itu, Ahmad (1974)
35
menyimpulkan bahwa kata "Islam" mengandung arti bahwa seseorang dapat mencapai kondisi
damai yang sesungguhnya, baik lahiriah maupun batiniah, jiwa maupun raga, hanya melalui
penyerahan diri dan kepatuhan kepada Allah.
Seseorang yang menganut agama Islam disebut sebagai Muslim. Dari sudut pandang
etimologis di atas, Shaltout (1958) memahami bahwa seorang Muslim adalah orang yang telah
‘berdamai’ dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Damai dengan Tuhan berarti
bahwa dia telah menyerahkan seluruh dirinya dan kehendaknya kepada kehendak Tuhan.
Sementara itu, berdamai dengan sesama manusia berarti berbuat baik kepada sesama manusia.
Sejalan dengan pengertian di atas, Maudodi (1958) mengartikan kata ‘Muslim’ pada
dasarnya adalah seseorang yang berserah diri dan patuh pada Tuhan. Patuh pada Tuhan berarti
patuh dengan hukum-hukum dan aturan yang telah Dia turunkan. Menurut Maudodi (1958)
hukum Tuhan itu sangat luas. Tidak hanya terbatas kepada ‘hukum agama’, tapi juga mencakup
‘hukum alam’. Oleh karena itu, dia menyatakan bahwa kata ‘Muslim’ tidak hanya digunakan
bagi orang yang beragama Islam, tapi juga semua makhluk, baik manusia, binatang, tumbuhan
maupun benda-benda di bumi dan alam semesta. "Semua isi alam semesta ini adalah Muslim
karena mereka tunduk dan patuh pada hukum-hukum Tuhan" (Maudodi, 1958, h.7).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim adalah orang
yang beragama Islam dan yang patuh serta menyerahkan diri dan kehendaknya kepada
kehendak Allah.
Sebagai sebuah agama, Islam berkembang melalui dua macam struktur, yaitu struktur
keyakinan dan struktur ritual peribadatan. Dalam struktur keyakinan, ada enam dasar yang
sering disebut sebagai ‘rukun iman’, yang terdiri dari: iman kepada Allah, iman adanya
malaikat, iman kepada para Nabi dan utusan Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, dan iman
kepada hari akhir serta iman kepada qada dan qodar. Dasar-dasar keimanan ini disebutkan
dalam Al Qur’an,
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
36
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah
sesat sejauh-jauhnya. [An Nisaa’ (4):136]
Sebagai muslim, para partisipan dalam penelitian ini mempunyai keyakinan yang sama
seperti keyakinan orang Islam pada umumnya.
Inti sari Islam adalah percaya kepada adanya eksistensi Tuhan (Allah). Lebih spesifik
lagi, keyakinan tentang ke-Esa-an Allah, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Tidak ada
tuhan lain yang wajib disembah kecuali Allah. Hal itu tercermin dalam pernyataan syahadat:
Asyhadu an laa illaha illAllah (Tidak ada Tuhan selain Allah). Umat Islam sangat menekankan
ajaran ke-Esa-an Tuhan (monothesisme atau tauhid) tersebut, sehingga Islam tidak mengenal
kompromi dengan keyakinan dan perilaku yang menyekutukan Allah. "Monotheisme dalam
Islam adalah ke-Esa-an Tuhan yang sangat mutlak" (Jomier, 1989, p.40).
Lawan dari tauhid adalah syirik yang berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu yang
lain. Seorang muslim meyakini bahwa syirik adalah perbuatan dosa besar yang tidak bisa
diampuni. Menurut Al Qur’an, ada beberapa bentuk syirik. Pertama, menyembah sesuatu
selain Allah, misalnya batu-batuan, pepohonan, patung, berhala, roh, jin, atau manusia yang
dianggap sebahai tuhan. Hal itu adalah bentuk syirik yang paling jelas. Kedua, yaitu
menganggap benda-benda atau makhluk-makhluk lain memiliki sifat-sifat ketuhanan, selain
Allah. Ketiga, seseorang yang memperlakukan orang lain sebagai tuannya dan secara membabi
buta mengikuti perintahnya. Mirip bentuk syirik itu adalah ketika seseorang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhan dan menuruti keinginannya. Tauhid dan syirik dalam Islam bukan
hanya sekedar konsep semata, tetapi perlu dialami secara langsung. Nasr (1972) meyakini
bahwa para Sufi adalah orang yang mengikuti jalan mistis dalam Islam dan menerima
pengetahuan Ketuhanan, yang dapat merasakan pengalaman tauhid karena mereka mampu
memahami bentuk paling halus dari syirik.
Menurut Islam nama ‘Allah’ adalah nama personal (ismu-dzat) dari Tuhan yang sering
juga disebut sebagai nama yang paling Agung (ismu-adzom). Selain nama ‘Allah’, Tuhan juga
memiliki nama-nama lain yang menggambarkan sifat-sifat-Nya. Nama-nama sifat itu disebut
sebagai asma-al-sifat atau yang lebih dikenal dengan asma-ul-husna (nama-nama Allah Yang
37
Indah). Berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits, nama-nama Allah Yang Baik atau Indah ini
berjumlah sembilan puluh sembilan. Baik ismu-dzat maupun asma-ul-husna selalu digunakan
orang Islam sebagai sarana untuk melaksanakan dzikir (mengingat Allah), yaitu dengan
menyebut nama-nama tersebut berulang-ulang.
Kata malaikat adalah bentuk jamak dari kata bahasa Arab yaitu ‘malak’ yang artinya
utusan (Murata, 1989). Malaikat adalah makhluk yang hidup di alam yang tidak kelihatan (alam
gaib). Sebagai makhluk supernatural yang dipercaya diciptakan dari cahaya, secara umum
malaikat tidak hadir di dunia materi, kecuali mendapat perintah langsung dari Allah (Shaltout,
1958).
Sifat malaikat adalah tunduk dan patuh secara mutlak kepada perintah Allah. Mereka
tidak mungkin menetang perintah Allah. Malaikat juga bertingkat-tingkat sesuai dengan derajat
kedudukan maupun fungsinya. Sebagian malaikat tidak berbuat apapun kecuali menyembah
dan beribadah kepada Allah, seperti bertasbih, bertahmid, bertakbir sepanjang masa. Tetapi,
beberapa malaikat mempunyai tugas untuk terlibat dalam kehidupan manusia, misalnya
membagi rezeki, menyampaikan wahyu, dan sebagainya (Tritton, 1951). Menurut Islam,
malaikat mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan kehidupan manusia sejak manusia
berada di kandungan ibunya sampai manusia meninggal, bahkan setelah manusia berada di
alam kubur, khususnya mempunyai hubungan yang dekat dengan kondisi rohani manusia.
Moniuddin (1985) mengutip sebuah hadits yang menggambarkan kedekatan hubungan
antara orang yang melaksanakan dzikir dan keimanan kepada malaikat :
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah s.w.t.
mempunyai malaikat yang ditugaskan mencari majelis zikir. Begitu mereka
menemukannya, mereka duduk bersama dengan orang-orang yang berzikir itu serta
memanggil malaikat-malaikat yang lain. Mereka akan datang mengelilingi majlis zikir
itu dengan sayap-sayapnya sehingga memenuhi ruang antara mereka dengan langit
dunia.
Beberapa hadist lain juga menunjukkan bahwa jamah dzikir senantiasa dikelilingi malaikat.
38
Misalnya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim Nabi Muhammad saw bersabda:
“Tidaklah sekali-kali sebuah kaum duduk dengan berdzikir kepada Allah kecuali
mereka akan dikelilingi malaikat dan akan disirami rahmat dan akan turun kepada
mereka ketenangan. Allah akan menyebutkan tentang mereka pada malaikat yang ada
di sisi-Nya.”
Di dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar disebutkan bahwa Rasulullah
bersabda :
“Jika kalian melewati kebun-kebun surga maka mampirlah di tempat itu! Para sahabat
berkata, Apa yang dimaksud dengan kebun-kebun surga itu wahai Rasulullah? Nabi
bersabda, Kelompok manusia yang berdzikir. Karena sesungguhnya Allah memiliki
malaikat-malaikat yang senantiasa keliling mencari kelompok manusia yang berdzikir
dan jika mereka datang ke tempat mereka malaikat itu dan mengitarinya.
Iman kepada malaikat juga terkait dengan kepercayaan orang Muslim akan adanya
makhluk-makhluk supernatural (gaib) yang lain, misalnya kepercayaan akan adanya jin. Kalau
malaikat dalam riwayat dikatakan diciptakan dari cahaya, maka jin diciptakan dari api.
Menurut Al Qur’an, jin adalah makhluk seperti manusia yang berkelompok bersama
membentuk komunitas masyarakat. Sebagian jin bersifat baik dan sebagian yang lain
berkrakter jahat (Jomier, 1989; Shaltout, 1958). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa
malaikat selalu mengajak manusia ke arah sifat kebaikan spiritual manusia dan mencegah
manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Sementara itu, jin digambarkan kadang memberikan
bisikan atau provokasi untuk berbuat jahat kepada manusia. Dalam kaitannya dengan
perkembangan kehidupan spiritual, kaum muslimin mempercayai bahwa jin yang jahat
merupakan salah satu penghambat manusia untuk mendekatkan diri kepada manusia. Apalagi
setan dan iblis, akan senantiasa mencegah manusia untuk taat beribadah kepada Allah SWT.
Seringkali orang yang melaksanakan dzikir menceritakan kalau mereka juga
mendapatkan godaan dan rintangan dari makhluk-makhluk gaib, baik jin maupun setan. Hal
itu dapat dilihat dari pengalaman beberapa partisipan dalam penelitian ini.
39
2.2.3. Beriman kepada Nabi dan Rasul
Islam membedakan antara Nabi (Prophet) dan Rasul atau utusan (Messanger). Setiap
Rasul harus seorang Nabi yang mengemban tugas atau misi, sementara seorang Nabi belum
tentu juga seorang Rasul (Jomier, 1989).
Umat Islam meyakini bahwa Allah mengirimkan para Rasul sebagai utusan-Nya pada
setiap masa dan kepada semua umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang benar.
Dengan demikian, manusia dapat mengatur seluruh kehidupannya sehari-hari di dunia
sehingga mereka hidup dengan baik dan benar. Al Qur’an mengajarkan kepada setiap Muslim
untuk percaya kepada semua nabi yang telah diturunkan, baik yang namanya dicantumkan
dalam Al Qur’an atau tidak. Menurut sebuah hadits ada sekitar 124.000 nabi di seluruh dunia,
tapi hanya 25 orang yang namanya dicantumkan dalam Al Qur’an. Sebagian nama-nama nabi
tersebut juga dicantumkan dalam Injil, sebagian tidak.
Menurut agama Islam, ajaran yang dibawa oleh semua nabi pada dasarnya adalah satu
dan sama, meskipun secara detail terdapat perbedaan bahkan cenderung berevolusi secara
perlahan-lahan mengarah kepada kesempurnaan wahyu (Gibb, 1951; Jomier, 1989). Umat
Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul yang terakhir, yang menjadi
contoh dan suri teladan atau prototipe seorang manusia paling sempurna. Pengalaman Nabi
Muhammad saw dalam peristiwa isra dan mi’raj di mana beliau naik ke langit menuju ke
hadirat Ilahi merupakan sebuah model bagi orang-orang yang berusaha mendekatkan diri
kepada Allah. Sebagian orang muslim meyakini bahwa untuk sampai kehadirat Allah swt
diperlukan seorang pembimbing, seperti halnya Nabi Muhammad saw yang dibimbing oleh
malaikat Jibril.
Menurut agama Islam, Tuhan telah menurunkan berbagai Kitab Suci kepada sejumlah
rasul tertentu. Kitab-kitab terdahulu yang tidak disebutkan siapa nabi yang membawanya
disebut dengan sukhf, sedangkan yang disebutkan nama dan rasul yang membawanya ada
empat, yaitu Tawrah (Torat) yang diberikan kepada Nabi Musa a.s.; Zabur diberikan kepada
Nabi Dawud a.s.; Injil diberikan pada Nabi Isa a.s. dan kitab yang terakhir, diberikan kepada
Nabi Muhammad saw adalah Al Qur’an. Seorang Muslim tidak hanya meyakini semua nabi-
40
nabi yang telah diturunkan Allah, tapi juga meyakini kitab-kitab yang telah diturunkan kepada
mereka.
Umat Islam meyakini bahwa Al Qur’an secara verbatim adalah wahyu perkataan
langsung dari Allah (the Word of God) yang diturunkan dalam bahasa Arab melalui malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad. Karena secara aktual Al Qur’an adalah kata-kata Allah sendiri,
maka tidak hanya isi dari Al Qur’an itu yang dianggap suci, tetapi juga bentuk fisiknya (Nasr,
1989).
Peranan Al Qur’an sebagai wahyu yang terakhir adalah sangat penting bagi umat Islam.
Al Qur’an adalah sumber utama petunjuk seluruh aspek kehidupan manusia, baik kehidupan
rohani maupun jasmani. Amaliah dzikir yang dilakukan oleh partisipan dalam penelitian ini
juga didasarkan kepada ayat-ayat Al Qur’anic. Disamping itu, sebagian besar dari kalimat-
kalimat yang dibaca berulang-ulang dalam dzikir adalah juga berasal dari Al Qur’an. Lebih
penting lagi beberapa partisipan dalam penelitian ini menggunakan Al Qur’an sebagai sarana
untuk berkomunikasi dengan Allah berkaitan dengan problematika kehidupan sehari-hari.
Menurut agama Islam, seluruh kehidupan di bumi akan berakhir. Hanya Tuhan yang
tahu kapan hal itu akan terjadi. Al Qur’an menggambarkan beberapa peristiwa penting yang
terjadi pada hari kiamat itu, misalnya ditiupkannya terompet, langit yang terpecah-belah,
gunung-gunung beterbangan seperti debu, kebangkitan kembali seluruh umat manusia dari
dalam kubur, pengadilan terakhir, seluruh buku yang mencatat kehidupan manusia dibuka,
perhitungan amal baik dan amal buruk, kemudian sebagian manusia masuk surga dan sebagian
lain masuk neraka (Jomier, 1989).
Termasuk dalam iman kepada hari akhir adalah beriman akan adanya kehidupan setelah
kematian (life after death). Menurut Al Qur’an, kematian bukanlah akhir dari kehidupan
manusia. Kematian baru merupakan awal atau pembuka dari kehidupan lain yang lebih tinggi.
Di dalam kehidupan yang akan datang nanti, manusia akan merasakan seluruh akibat dari
perbuatan yang pernah dilakukan di dunia. Perbuatan baik di dunia akan mendapatkan
ganjaran, sedangkan perbuatan jahat akan mendapatkan hukuman. Tidak ada satu perbuatan
sekecil apapun yang terlepas dari hisab.
41
3.26. Beriman kepada Qadha dan Qadar
Keimanan kepada Qadha dan Qadar biasa disebut keyakinan pada takdir dan nasib.
Orang Islam percaya bahwa manusia ketika dilahirkan di dunia telah ditetapkan batas usianya,
rezeki, jodoh, dan sebagainya. Keyakinan itu sering disalahtafsirkan sebagai fatalisme di mana
orang pasrah begitu saja dengan nasib dan takdirnya. Tetapi sebenarnya Islam juga
mengajarkan umatnya untuk melakukan usaha untuk mengubah nasib dan takdir. Misalnya
dalam surat Ar Ra’du (13): 11 Allah berfirman:“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Ayat
itu sangat populer untuk memberikan motivasi seseorang mengubah kehidupannya, meskipun
mereka tetap percaya kepada takdir.
Struktur keyakinan yang sering disebut dengan rukun iman seperti yang dijelaskan di
atas dapat digambarkan sebagai fondasi dasar dari seluruh bangunan agama Islam. Sementara
itu, struktur peribadatannya yang terdiri dari lima bentuk ritual ibadah merupakan pilar atau
tiang-tiang penyangga bangunan tersebut. Kelima bentuk ritual ibadah yang wajib
dilaksanakan adalah: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Bagi orang Muslim, seluruh ritual
peribadatan itu dimaksudkan untuk menyucikan diri, baik pada dimensi lahir, batin, individu,
maupun sosial kemasyarakatan. Tujuan akhirnya tidak lain adalah untuk mendekatkan diri pada
Allah.
3.3.1. Syahadat
Syahadat adalah pernyataan keyakinan yang paling mendasar pada diri seorang
Muslim, yang berbunyi: “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi
bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah” (Jomier, 1989, h.78). Kalimat itu merupakan
karakteristik seorang muslim, sehingga seseorang yang telah mengucapkan syahadat secara
resmi telah menjadi seorang yang menganut agama Islam. Bagi orang yang baru masuk Islam
ketika dewasa (sebelumnya non-muslim) pada umumnya ada upacara khusus pembacaan
syahadat dengan dihadiri oleh beberapa orang saksi dan juga ada penyataan tertulis secara
formal. Tetapi bagi orang yang beragama Islam karena mengikuti kedua orangtuanya, tidak
42
dikenal upacara seperti itu. Tidak ada upacara seperti pembabtisan pada seorang anak dari
keluarga agama Katolik. Hal itu dikarenakan pernyataan syahadat ini telah menjadi satu dalam
pelaksanaan shalat sehingga setiap kali seorang Muslim melaksanakan shalat, mereka telah
mengucapkan syahadat secara otomatis.
Kalimat pertama dari syahadat yaitu laa illa ha illallah yang dikenal sebagai syahadat
tauhid sering digunakan orang Islam sebagai kalimat yang diulang-ulang dalam melaksanakan
dzikir. Kalimat itu dipercaya sebagai kalimat yang memiliki kekuatan yang luar biasa yang
mampu mengubah kehidupan seorang Muslim (Chishti, 1989).
3.3.2. Shalat
Shalat termasuk ibadah yang paling esensial dalam agama Islam. Sejak seorang muslim
mencapai pubertas (akil baligh), baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari.
Berbeda dengan ritual ibadah dalam agama-agama lain, pelaksanaan shalat melibatkan
seluruh dimensi dalam kehidupan manusia. Secara lahiriah shalat dilaksanakan dengan
berbagai posisi tubuh. Dimulai dengan berdiri, mengangkat tangan ketika takbir, posisi
membungkuk ketika ruku’, berdiri lagi, dilanjutkan dengan bersujud di mana kepala harus
ditempelkan ke tanah, kemudian duduk dan bersujud lagi, lalu dilanjutkan dengan berdiri lagi.
Satu seri gerakan tersebut disebut sebagai satu rakaat. Masing-masing shalat lima waktu
mempunyai jumlah rakaat yang berbeda. Shalat subuh dua rakaat, shalat dzuhur empat rakaat,
shalat ashar empat rakaat, shalat maghrib tiga rakaat, dan shalat isya’ empat rakaat. Total sehari
semalam seorang muslim melaksanakan shalat wajib sebanyak tujuh belas rakaat. Pengalaman
para partisipan dalam penelitian ini sangat menarik untuk dicermati, di mana ketika
melaksanakan dzikir, beberapa orang mengalami gerakan badan yang di luar kendali mereka
dan gerakan itu menyerupai orang sedang shalat.
Pada setiap posisi dalam sholat, seorang muslim harus mengucapkan doa-doa dan
membaca ayat-ayat Al Qur’an. Bacaan doa-doa dan ayat-ayat suci Al Qur’an dalam shalat
dianggap sebagai suatu bentuk dzikir. Hal itu sesuai dengan firman Allah swt dalam Al Qur’an
surat Thahaa (20): 14: “ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat (dzikir pada)Ku."
43
Di dalam Islam, ibadah shalat dibedakan menjadi dua, yaitu shalat wajib dan shalat
sunnah. Shalat wajib harus dikerjakan setiap muslim dewasa lima kali sehari semalam.
Sementara shalat sunnah dikerjakan bagi siapa yang ingin melaksanakan sebagai suatu ibadah
tambahan. Pada umumnya, shalat sunnah yang dikerjakan adalah pada malam hari (tahajjud).
Shalat tersebut diutamakan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Shalat juga dianggap sebagai suatu bentuk penyucian rohani. Oleh karena itu,
penyucian jasmani sebagai persiapan untuk penyucian rohani merupakan salah satu hal yang
wajib dilakukan. Seorang Muslim harus mengambil wudhu sebelum melaksanakan shalat.
Beberapa bagian tubuh harus dibersihkan dalam ritual wudhu ini yaitu: mulut, hidung, muka,
tangan sampai lengan, sebagian kepala, telinga, dan kaki sampai mata kaki. Yang menarik
untuk disimak dari penelitian ini adalah bahwa beberapa partisipan yang sedang melaksanakan
dzikir ternyata melakukan gerakan-gerakan di luar sadar yang menirukan derakan orang
berwudhu. Pengalaman ini diinterpretasikan sebagai sebuah bentuk pensucian diri secara
rohani.
Secara literal, kata ‘shaum’ berarti menahan diri (abstaining). Di dalam ritual agama
Islam, shaum berarti puasa atau menahan diri untuk tidak makan, minum, dan hubungan seks
sejak waktu subuh hingga maghrib. Puasa lahiriah seperti itu harus disertai dengan puasa
batiniah, yaitu menahan diri dari segala macam hawa nafsu, pikiran yang negatif, perbuatan,
dan perkataan yang tidak baik.
Ibadah puasa wajib dilaksanakan pada waktu bulan suci Ramadhan (bulan ke sembilan
dari penangggalan Islam) bagi Muslim yang sudah baligh dan sehat. Anak-anak di bawah umur
tidak diwajibkan, tetapi pada umumnya mereka melaksanakan puasa sebagai sarana
pembelajaran. Sementara itu, bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan boleh tidak puasa,
tetapi harus mengganti di hari lain. Sedangkan bagi orang yang sudah berusia lanjut dan tidak
mampu berpuasa maka bisa diganti dengan mambayar fidyah berupa uang dengan jumlah
tertentu yang diberikan kepada fakir miskin.
Seperti halnya shalat, selain puasa wajib, ada juga puasa yang dianjurkan sebagai
ibadah sunnah. Termasuk diantaranya puasa enam hari di bulan syawal, puasa pada hari Senin
dan Kamis setiap pekan, puasa di bulan Rajab dan Sya'ban. Puasa dipercaya sebagai suatu
44
amaliah yang mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk menyucikan rohani dari pengaruh
hawa nafsu. Oleh karena itu, sebagian umat Islam melaksanakan puasa sunnah bersamaan
dengan shalat-shalat sunnah dan amaliah dzikir sebagai suatu bentuk latihan spiritual
(riyadhoh) untuk mendekatkan diri kepada Allah.
3.3.4. Zakat
Secara literal zakat bermakna membersihkan. Tetapi, secara teknis zakat merupakan
suatu amaliah di mana seorang Muslim memberikan sebagian dari harta bendanya kepada
orang miskin. Ada beberapa macam bentuk zakat, antara lain zakat fitrah dan zakat maal. Zakat
fitrah yang sering juga disebut sebagai zakat jiwa dilaksanakan setelah seorang Muslim selesai
melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Sementara itu zakat maal sering disebut sebagai zakat
harta benda yang harus dibayarkan setelah memenuhi kriteria tertentu. Ketentuan pelaksanaan
zakat maal adalah jika seseorang telah mempunyai sejumlah harta dengan nilai tertentu selama
satu tahun. Mereka harus mengeluarkan zakat minimal dua setengah persen. Ada berbagai
bentuk zakat lain yang semuanya merupakan ibadah yang wajib dilakukan bagi Muslim yang
mampu. Selain itu, ada bentuk amalan yang disebut infaq dan shodaqoh, yang bersifat sunnah,
di mana seorang Muslim memberikan harta yang dimiliki kepada orang lain.
Meskipun tujuan pokok amalan zakat ini adalah untuk membersihkan harta benda
seorang Muslim, tetapi juga mempunyai nilai spiritual. Antara lain untuk menghilangkan rasa
kikir dan mementingkan diri sendiri, egois (Shaltout, 1958).
3.3.5. Haji
Jika ibadah shalat lima waktu wajib dilaksanakan setiap hari, puasa Ramadhan
dilaksanakan sebulan penuh dalam setahun, maka ibadah haji merupakan ibadah yang wajib
dilaksanakan seumur hidup sekali bagi seorang Muslim yang mampu, baik mampu secara fisik
maupun mampu secara material untuk membiayai perjalan ke Mekah. Sudah barang tentu
dengan syarat kondisi perjalanan dijamin aman.
Waktu melaksanakan ibadah haji adalah bulan Dzulhijah, yaitu bulan ke dua belas dari
kalender Islam. Inti dari ritual haji adalah wukuf, yaitu ketika umat Islam dari berbagai penjuru
dunia berkumpul bersama di padang Arafah mulai waktu dzuhur sampai maghrib. Setelah itu,
45
ritual ibadah haji yang lain berkaitan erat dengan riwayat kehidupan Nabi Ibrahim a.s.,
terutama ketika Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih putranya, Ismail.
Peristiwa ketika Nabi Ibrahim berjuang melawan godaan setan dilaksanakan umat Muslim
dengan melempar jumroh, yaitu melempar batu-batu kecil ke tiga tempat yang dipercaya
sebagai tempat Nabi Ibrahim mendapat godaan setan. Untuk menirukan pelaksanaan perintah
Allah kepada Nabi Ibrahim agar menyembelih Ismail, umat Islam melaksanakan
penyembelihan hewan kurban. Ritual itu tidak hanya dianjurkan untuk umat Islam yang
melaksanakan ibadah haji, tetapi juga umat Islam di seluruh penjuru dunia. Ritual
penyembelihan hewan kurban menandai salah satu hari besar umat Islam, yaitu Hari Raya Idul
Adha.
Ritual haji yang lain adalah sya’i yaitu berlari-lari kecil dari Bukit Showa ke Bukit
Marwah. Hal itu dilaksanakan dengan maksud menirukan bagaimana istri Nabi Ibrahim, Hajar,
mencari air untuk anaknya, Ismail, ketika mereka berdua ditinggal di lembah yang tandus,
Bakkah. Salah satu ritual haji yang sangat penting adalah thawaf, di mana umat Islam berjalan
mengelilingi Ka’bah tujuh kali putaran.
Meskipun melibatkan kegiatan fisik, ibadah haji mempunyai makna spiritual yang
sangat dalam. Banyak pengalaman-pengalaman spiritual yang diperoleh oleh umat Islam yang
melaksanakan ibadah haji. Selama melaksanakan ibadah haji, umat Muslim melantunkan dzikir
berulang kali dengan ucapan yang keras: Labbaik Allahumma labbaik (Ya Allah, aku penuhi
panggilan Mu).
Dari diskusi di atas, terlihat jelas bahwa dzikir yang secara literal berarti mengingat,
pada dasarnya merupakan amaliah yang selalu terkait dengan berbagai ibadah ritual dalam
Islam. Dalam pengertian ini, dzikir berarti "...suatu bentuk kesadaran yang dimiliki oleh
seorang makhluk akan hubungan yang menyatukan seluruh kehidupannya dengan Sang
Pencipta" (Michon, 1989, p.275). Ketika orang melaksanakan shalat, dia banyak mengingat
Allah. Ketika puasa juga terjadi peningkatan kesadaran terhadap Allah. Zakat dilaksanakan
karena orang mengingat perintah Allah. Ketika melaksanakan haji orang diperintahkan untuk
mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Meskipun demikian, dalam ajaran Islam juga dikenal
suatu ibadah ritual khusus yang disebut dzikir. Amalan dzikir seperti itu dapat dibagi menjadi
46
dua bentuk. Pertama, dzikir yang dipahami dan dilaksanakan oleh orang Muslim pada
umumnya. Di sini dzikir dianggap sebagai ibadah sunnah yang dilaksanakan setelah shalat
lima waktu dalam bentuk kegiatan pengajian berjamaah. Kedua, amalan dzikir yang
dilaksanakan oleh umat Islam yang tergabung dalam kelompok tarekat atau sufi sebagai
kelompok ‘mistik’ dalam Islam.
Ada banyak cara yang dilakukan untuk berdzikir. Membaca ayat-ayat suci dalam kitab
suci Al Qur’an merupakan bentuk dzikir yang paling umum. Sebagian kaum muslim berdzikir
dengan menyebut nama Allah berulang-ulang, baik ismu dzat (nama Allah), maupun nama-
nama yang baik dan indah (asma-ul-husna). Sebagian menggunakan sholawat kepada Nabi
Muhammad, membaca astaghfirullohal adzim (Ya Allah ampunilah dosa-dosaku), Allahu
akbar (Allah Mahabesar), Subhanallah (Mahasuci Allah), Alhamdulillah (segala puji bagi
Allah), laa khaula wa la quwwata illa billah (tiada daya dan upaya selain dari kekuatan Allah),
atau laa illa ha illAllah (tiada tuhan selain Allah).
Bacaan-bacaan dzikir ini tidak hanya diucapkan berkali-kali setelah seorang muslim
melaksanakan shalat, tetapi juga banyak diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya
setiap seorang muslim mengawali suatu kegiatan, membaca bismillahir-rahmanir-rahim
(dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) dan setelah selesai
melaksanakan suatu pekerjaan, membaca alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Ucapan
insyaAllah (jika Allah berkehendak) diucapkan ketika merencanakan suatu kegiatan dan
berjanji.
Bagi umat Islam yang mengikuti suatu kelompok tarekat atau kelompok sufi atau
kelompok mistik yang lain, amalan dzikir dipandang sebagai suatu bentuk latihan rohani atau
spiritual untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian itu, amalan dzikir
dilaksanakan dengan menggunakan teknik tertentu yang mirip dengan latihan meditasi di
dalam tradisi agama lain.
Ada dua macam metode dzikir yang umum dilakukan di kalangan sufi, yaitu dzikir jahr
dan dzikir khofi. Dzikir jahr juga disebut sebagai dzikir lisan, di mana orang membaca kalimat-
kalimat dzikir secara lahiriah dengan suara yang jelas (kadang cukup keras). Sebaliknya, dzikir
khofi atau disebut juga dzikir qolbi dilakukan dengan menyebut nama Allah berulang-ulang
secara batiniah di dalam hati, jiwa, dan ruh. Sebagian kelompok sufi melaksanakan dzikir jahr
disertai dengan gerakan-gerakan tubuh yang ritmis seperti yang dilaksanakan oleh pengikut
tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyah pesantren Suryalaya di tasikmalaya. Bahkan, sebagian
47
menggunakan musik dan gerakan berputar-putar seperti yang dilakukan pengikut tareka
Mawlawiyah di Turki. Sementara itu, dalam melaksanakan dzikir khofi sebagian menggunakan
konsep badan halus (latifah) yang mirip dengan konsep chakra dalam tradisi meditasi.
Bagi muslim kebanyakan maupun yang mengikuti jalan mistik, keduanya menekankan
pentingnya melaksanakan dzikir, baik dalam pengertian kesadaran, ingatan kepada Allah, atau
dalam arti menyebut nama Allah, mengucap suatu kalimat berkali-kali. Banyak ayat-ayat
dalam Al Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan dzikir, di antaranya
adalah sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah), dzikir
yang sebanyak-banyaknya.” [Al Ahzab (33): 41, Lihat juga surat Ali Imran (3): 41]
“Apabila kamu telah selesai shalat, maka ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk, dan di waktu berbaring.” [An Nisaa’ (4) : 103]
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka
berteguh hatilah kamu dan sebutlah/ingatlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar
kamu beruntung.” [Al Anfaal (8) : 45]
“Dan sebutlah nama Tuhanmu di waktu pagi dan petang.” [Al Insaan (76) : 25]
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”
[Ar-Ra’d (13) : 28]
“Karena itu ingatlah (berdzikirlah) kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula)
padamu...” [Al Baqarah (2) : 152]
48
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung” [Al Jumu’ah (62) : 9-10]
“Sesungguhnya dalam pencipataan langit dan bumidan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau mencipatakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” [Ali Imran (3) : 190 – 191]
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk
mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” [Az Zumar (39) : 22]
“Barangsiapa yang berpaling dari mengingat (dzikir) Yang Maha Pemurah, kami
adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya.” [Az-Zukhruf (43) : 36]
“Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka
itulah golongan setan.” [Al Mujaadilah (58) : 19].
“Barangsiapa yang tidak mau mengingat (berdzikir) kepada Aku, dia akan
mendapatkan kehidupan yang sulit dan di akhirat akan dikumpulkan sebagai orang
buta.” [Thaahaa (20) : 124]
Selain ayat-ayat Al Qur’an di atas, banyak sekali hadits Nabi Muhammad saw yang
Berfirman Allah SWT.: “Aku menurut keyakinan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku selalu
bersamanya selama dia berdzikir, mengingat akan Aku.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Berfirman Allah SWT: “Apabila seorang hamba berdzikir mengingat akan Aku pada
hati (jiwanya) niscaya Aku mengingatnya pada diri-Ku. Dan apabila dia menyebut
akan Aku di hadapan jamaah (yang ramai), niscaya Aku akan menyebutnya di hadapan
orang ramai lebih baik dari jamaahnya (H.R. Bukhari – Muslim).
Tidaklah duduk suatu kaum di suatu majelis, lantas mereka berdzikir, menyebut nama
Allah dalam majelis itu, melainkan malaikat mengelilingi mereka dan rahmat menutupi
mereka; dan Allah menyebut mereka di hadapan orang-orang yang di sisi-Nya (H.R.
Ibn Abi Syaibah)
Perumpamaan orang yang berdzikir dengan orang yang tidak berdzikir adalah seperti
orang yang masih hidup dengan orang yang mati (H.R. Bukhari).
Pada bagian ini, saya akan menjelaskan bagaimana praktek amaliah dzikir yang
dilaksanakan oleh kelompok Pengajian Ikhlas. Sebelum itu, saya akan menjelaskan tentang
organisasi Pengajian Ikhlas. Data-data tersebut saya peroleh berdasarkan wawancara dengan
koordinator kelompok Pengajian Ikhlas ditambah dengan observasi partisipatif dan beberapa
makalah dan dokumen yang dikeluarkan oleh Yayasan Ikhlas.
Istilah pengajian secara harfiah dapat mempunyai dua makna. Pertama, berkaitan
dengan aktivitas untuk belajar ilmu agama Islam. Kedua, pengajian dapat berarti sekompok
50
orang yang terorganisasi untuk melaksanakan berbagai aktivitas keagamaan. Dalam kedua
pengertian tersebut, pengajian merupakan salah satu tradisi penting pada muslim di Indonesia.
Hampir setiap masjid atau organisasi keagamaan melaksanakan pengajian rutin di mana orang
mempelajari dan mengkaji agama Islam. Program dan metode suatu pengajian berbeda dari
satu kelompok dengan kelompok lain. Terkadang suatu kelompok pengajian juga memiliki
nama khusus. Pengajian Ikhlas merupakan salah satu nama dari suatu kelompok pengajian
yang dijadikan pokok kajian dalam penelitian ini
Pengajian Ikhlas terorganisasi secara nasional. Kelompok ini didirikan di Jakarta pada
tahun 1974, seorang mantan ABRI. Kelompok ini berkembang cukup baik dan memiliki
banyak cabang di beberapa kota lain. Pengajian Ikhlas di mana penelitian ini dilakukan mulai
beraktivitas pada Juli 1977. Seperti cabang Pengajian Ikhlas lainnya, kegiatan utama Pengajian
Ikhlas adalah melakukan dzikir. Kegiatan ini sebelumnya dipusatkan di rumah koordinator.
Pada tahun 1992, setidaknya enam kelompok lain melakukan dzikir Ikhlas69. Namun demikian
tidak terdapat jumlah yang pasti tentang anggotanya karena orang-orang dipersilakan untuk
mengikuti pelaksanaan dzikir dan meninggalkan kelompok dengan bebas. Setelah membangun
sebuah masjid sendiri di tahun 1988, kelompok Pengajian Ikhlas memperluas kegiatannya,
tidak hanya melakukan kegiatan dzikir dan kegiatan religius saja, tapi juga mengoperasikan
klinik medis atau kesehatan.
Di bawah ini, saya akan mendeskripsikan kegiatan utama dalam kelompok Pengajian
Ikhlas yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu praktek dzikir dan praktek sujud mutlak.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, dzikir merupakan amalan yang banyak
dianjurkan dalam Al Qur’an dan hadist. Amalan ini banyak dilakukan oleh orang-orang Islam
yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah secara lebih intensif. Karena ini bukan
merupakan kewajiban ritual, seperti kewajiban shalat yang harus sesuai dengan aturan Al
Qur’an dan Hadist, maka metode pelaksanan dzikir memiliki banyak variasi.
Metode dzikir yang dipraktekkan dalam kelompok Pengajian Ikhlas biasanya disebut
dzikir qolbi atau dzikir batin di mana orang menyebut nama Allah secara berulang-ulang di
dalam hati atau jiwa. Dalam menerapkan metode ini, kelompok Pengajian Ikhlas mengacu pada
69
Istilah dzikir Ikhlas mengacu pada dzikir yang dipraktekkan oleh kelompok Pengajian Ikhlas
51
ayar Al Qur’an surat Al A’raf (7): 205: “Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
Praktek dzikir Ikhlas dapat dilaksanakan dalam kelompok atau secara individual.
Dalam pelaksanaan dzikir secara kelompok, selalu ada seseorang yang berperan sebagai
pembimbing. Tugas dari pembimbing dzikir ini adalah memimpin dan memandu amalan dzikir
dengan membaca ayat-ayat suci Al Qur’an atau nama-nama Allah secara lisan, sementara
jamaah menirukannya di dalam hati.
Anggota Pengajian Ikhlas diwajibkan untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum
melakukan dzikir. Pembimbing dzikir akan selalu mengingatkan supaya para jamaah
meluruskan niat dalam berdzikir, yaitu hanya karena Allah, selalu pasrah, dan Ikhlas hanya
kepada Allah. Praktek dzikir dilakukan dengan duduk bersila dan tubuh menghadap kiblat.
Pada umumnya amaliah dzikir diawali dengan membaca syahadat, yaitu asyhadu an
laa illa ha illallah, wa asyhadu anna Muhamadar Rasulullah” yang berarti “Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya”. Kalimat ini diucapkan
secara lisan oleh pembimbing dzikir dan para jamaah harus mengikuti ucapan itu dalam hati
dan jiwa mereka. Ucapan kedua adalah shalawat kepada Nabi Muhammad saw diikuti dengan
pembacaan beberapa ayat suci dalam Al Qur’an.
Inti dari pelaksanaan dzikir dalam Pengajian Ikhlas adalah menyebut nama-nama Allah
berulang-ulang, baik nama “Allah” (ism-ul-dzat) atau nama Allah yang indah (asma-ul-husna).
Menurut Islam, Allah memiliki 99 (sembilan puluh sembilan) nama-nama yang baik dan indah.
Setiap nama mencerminkan karakteristik atau sifat Ketuhanan. Seorang Muslim dianjurkan
untuk banyak menggunakan nama-nama yang indah itu ketika berdoa atau melaksanakan
dzikir. Dengan menyebutkan asma-ul-husna, seorang muslim mampu menginternalisasikan
sifat-sifat Ketuhanan itu di dalam dirinya.
Tujuan utama dalam melakukan dzikir adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah
melalui pencapaian kondisi jiwa yang penuh kepasrahan, penyerahan diri, atau Ikhlas kepada
Allah. Kondisi itu dapat dicapai ketika anggota Pengajian Ikhlas dapat melaksanakan ‘dzikir
di seluruh tubuh’. Hal itu berarti bahwa seluruh bagian tubuh, bahkan seluruh sel-sel dalam
tubuh ikut mengucapkan nama Allah. Untuk mencapai tujuan tersebut, kelompok Pengajian
52
Ikhlas menggunakan tujuh channel70 (saluran) yang terletak pada bagian tubuh tertentu, yaitu:
di pusat dada; dua jari di atas dan di bawah dada sebelah kiri; dua jari di atas dan di bawah
dada sebelah kanan; di atas genital dan di dahi. Namun demikian dari kebanyakan kesempatan
praktek dzikir yang saya amati, lebih sering pengucapan nama Allah ditempatkan pada pusat
dada. Hal tersebut dilakukan dengan menvisualisasikan mulut ada di dalam dada (atau ke enam
saluran lain) kemudian mengucap nama “Allah” seperti yang diperintahkan pembimbing.
Selain nama “Allah”, asma ul husna yang sering diucapkan secara berpasangan adalah Ya
Rahman-Ya Rahim (Wahai Allah Yang Maha Pengasih, Wahai Allah Yang Maha Penyayang),
Ya Malik-Ya Qudus (Wahai Allah Yang Maha Kuasa, Wahai Allah Yang Maha Suci), Ya
Ghafur-Ya Rakhim (Wahai Allah Yang Maha Pemaaf, Wahai Allah Yang Maha Pengasih), Ya
‘alim-Ya ‘adzim (Wahai Allah Yang Maha Mengetahui, Wahai Allah Yang Maha Sempurna),
Ya Fatah-Ya Rozak (Wahai Allah Yang Maha Pembuka, Wahai Allah Yang Maha Penopang),
dan Ya Hayyu-Ya Qoyyum (Wahai Allah Yang Maha Hidup, Wahai Allah Yang Maha Abadi).
Amalan dzikir di Pengajian Ikhlas pada umumnya berlangsung selama satu atau dua
jam. Sebelum menutup amalan dzikir, pembimbing memerintahkan jamaah untuk menarik
nafas dalam-dalam dan menahannya sekuatnya sambil membaca surat Al Fatihah. Setelah itu
setiap orang mengeluarkan nafas perlahan-lahan disertai dengan mengucap Alhamdulillah
(segala puji bagi Allah) dan kemudian mengusapkan tangan ke seluruh tubuh.
Setelah selesai praktek dzikir, pertemuan selanjutnya dengan pengajian singkat yang
disampaikan oleh pembimbing dzikir atau koordinator Pengajian Ikhlas. Hal itu diikuti dengan
program tetap yang disebut ‘pesan dan kesan’ di mana anggota Pengajian Ikhlas yang telah
mengikuti dzikir saat itu diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman yang diperoleh ketika
melaksanakan dzikir dengan angota lain.
Dari tahun 1977 sampai 1984, Pengajian Ikhlas bersama banyak cabang lain,
menekankan pengunaan tujuh chanel pada waktu melakukan dzikir, khususnya pada waktu
dzikir khusus yang disebut sebagai sujud mutlak71. Sujud72 secara harfiah berarti menempelkan
dahi ke tanah seperti yang dilaksanakan pada waktu orang Islam melaksanakan shalat. Mutlak
berarti total, absolut, komplet. Praktek sujud mutlak sebenarnya mirip dengan praktek dzikir
70
Istilah saluran digunakan dalam kelompok Pengajian Ikhlas mirip dengan latifah (badan halus)
dalam tradisi sufi atau chakra dalam tradisi Yoga.
71
Sering juga disebut dengan dzikir mutlak.
72
Dalam Pengajian Ikhlas istilah sujud kadang juga mengacu pada praktek dzikir.
53
ikhlas seperti biasa, tetapi waktu pelaksanaan sujud mutlak lebih lama daripada dzikir ikhlas
biasa. Perbedaan lainnya adalah dalam praktek dzikir ikhlas biasa terkadang jamaah masih
teringat atau mempunyai keinginan-keinginan tertentu. Sementara dalam sujud mutlak, mereka
secara total menyerahkan diri kepada Allah. Oleh karena itu tidak semua anggota Pengajian
Ikhlas boleh melaksanakan sujud mutlak. Hanya beberapa anggota yang dianggap cukup
matang secara spiritual oleh koordinator Pengajian Ikhlas atau pembimbing dzikir, yang boleh
melaksanakan sujud mutlak.
Selama praktek sujud mutlak, jamaah harus berserah diri secara total kepada Allah dan
mengikuti segala apa yang terjadi pada mereka. Sering terjadi bahwa pada saat anggota
Pengajian Ikhlas melaksanakan sujud mutlak, tiba-tiba secara otomatis muncul gerakan-
gerakan yang mereka tidak bisa mengendalikan, 73 atau menangis, bahkan jatuh tertidur.
Praktek itu biasanya diikuti oleh perubahan dramatis dalam kehidupan jamaah, yang mereka
sebut sebagai masa transisi. Kadang-kadang praktek sujud mutlak ini mempunyai dampak pada
kehidupan religius partisipan yang bersifat ekstrem, misalnya meninggalkan kehidupan dunia.
Setelah mengevaluasi berbagai efek negatif dari praktek ini, maka koordinator Pengajian Ikhlas
memutuskan untuk menghentikan amalan sujud mutlak sejak tahun 1985. Namun demikian,
ada beberapa partisipan dalam penelitian ini yang telah menjadi anggota kelompok Pengajian
Ikhlas sebelum tahun 1985, yang melakukan sujud mutlak dan menceritakan pengalaman-
pengalaman khusus yang berhubungan dengan praktek ini.
Penelitian ini berkaitan dengan amalan dzikir yang dilaksanakan dengan menggunakan
teknik khusus yang mirip dengan meditasi. Dzikir dengan cara ini mempunyai kekuatan yang
besar yang dapat mengarahkan terjadinya transformasi religius. Menurut Trimingham (1971),
dzikir merupakan inti dari mistisisme dalam Islam. Penyebutan nama Allah secara berulang-
ulang dianggap sebagai suatu cara untuk membersihkan jiwa dan menyembuhkan penyakit-
penyakit di dalamnya. Dzikir dapat mengubah tendensi jiwa dari orientasi ke dunia luar (lahir)
ke arah dunia dalam (batin), mengubah jiwa yang masih kacau karena memikirkan beraneka
73Contohnya, beberapa orang secara spontan melakukan shalat tanpa mereka kehendaki. Mereka tidak dapat
mengendalikan gerakan walaupun mereka secara total sadar atas apa yang terjadi.
54
persoalan dunia, menuju ke arah penyatuan jiwa dan akhirnya dapat merubah kehidupan
religius dari yang berorientasi kepada diri sendiri (self-centred) ke arah kehidupan beragama
yang berorientasi pada Tuhan (God-centred) (Nasr, 1972; Trimingham, 1971).
Selama proses penyucian diri dan perjalanan mendekatkan diri kepada Allah, orang
yang melaksanakan dzikir sering mendapatkan pengalaman-pengalaman mistis atau
pengalaman Altered States of Consciousness (ASC), yaitu suatu bentuk kesadaran yang
berubah, yang berbeda dengan kesadaran orang normal pada umumnya. Howell (1989)
mendokumentasikan berbagai bentuk pengalaman ASC yang dialami oleh para ahli mistik di
Jawa, termasuk di dalamnya dalah orang-orang Islam yang melaksanakan dzikir dalam tarekat-
tarekat Sufi. Seperti halnya dalam tradisi-tradisi keagamaan yang lain, peranan dari
pengalaman-pengalaman mistis seperti ini sangat vital dalam membawa seseorang ke arah
proses transformasi keagamaan. Pengalaman-pengalaman mistis sebagai hasil dari dzikir dapat
mengubah karakteristik religiusitas seorang muslim, dari religiusitas yang sifatnya umum ke
arah religiusitas yang sifatnya mistis.
Sejumlah riwayat dalam sejarah Sufisme telah mencatat peranan dari amaliah dzikir
untuk mencapai transformasi religius. Yang paling terkenal adalah riwayat Al Ghazali yang
meninggal pada 1111 M (Arasteh & Sheikh, 1989). Pada mulanya, Al Ghazali adalah seorang
Teolog Islam dan Filsuf di Universitas Baghdad. Pada umur 39 tahun, Al Ghazali mengalami
pergulatan batin di mana dia merasakan adanya kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan
dalam dirinya ketika dia mencari kebenaran. Akibatnya, dia meragukan semua pengetahuan
yang telah dimilikinya. Hidupnya menjadi tidak berarti dan dia mengalami depresi karena
persoalan pencarian eksistensial. Kemudian dia memutuskan untuk mengikuti jalan Sufi,
melepaskan seluruh jabatan keduniaan yang disandangnya di Universitas Bagdad. Selanjutnya
Al Ghazali mengembara ke beberapa negeri termasuk Syria dan ke Mekah. Selama dalam
perjalanan itu, dia melaksanakan dzikir sendiri secara intensif dengan bimbingan seorang
Mursyid (guru spiritual). Pengalaman-pengalaman spiritual yang di dapatkan Al Ghazali
selama dalam pengembaraan itu telah mentransformasikan kehidupan religiusnya. Setelah
selesai melaksanakan latihan spiritual tersebut akhirnya Al Ghazali kembali ke profesinya
sebagai pengajar di Universitas Baghdad dan menjadi sangat produktif. Karyanya yang
terkenal berjudul “Ihya Ulumuddin” (Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama). Dalam
bukunya yang berjudul “Al Mungkidu Minad Dholal” (Pembebas dari Keseasatan), Al Ghazali
55
menceritakan pengalaman pribadinya dalam mencari kebenaran lewat jalan sufi (Arasteh &
Sheikh, 1989).
Dokumentasi tentang pengalaman-pengalaman transformatif para tokoh spiritual amat
sulit untuk ditemukan. Oleh karena itu hasil dari penelitian ini akan memberikan gambaran
yang sangat berharga mengenai proses transformasi religius. Meskipun kelompok Pengajian
Ikhlas tidak mengklaim sebagai sebuah kelompok sufi, tetapi amaliah dzikir yang mereka
laksanakan mempunyai banyak kemiripan dengan amaliah dalam kelompok tarekat Sufi. Saya
akan memfokuskan analisis pada makna dari pengalaman transformasi religius bagi partisipan,
menurut perspektif mereka sendiri dengan menggunakan pendekatan fenomenologis. Berikut
ini saya sajikan beberapa konsep dasar fenomenologi secara singkat sebagai dasar analisis
pengalaman transformasi religius partisipan dalam penelitian ini.
Intensionalitas
Istilah ‘intensionalitas’ berasal dari bahasa latin ‘intendere’ yang berarti ‘merentang ke
depan’. Istilah itu pertama kali digunakan oleh Brentano untuk mendeskripsikan: “fundamental
action of the mind reaching out to the stimuli which make up the real world in order to translate
them into its realm of meaningful experience" (Spinelli, 1989, h. 11). Secara sederhana, dapat
dikatakan bahwa intensionalitas merupakan tindakan dari pikiran untuk mengarahkan diri kepada
suatu objek sehingga dapat menerjemahkannya menjadi pengalaman yang bermakna.
Dengan mengadopsi ide Brentano, Edmund Husserl menekankan bahwa kesadaran
manusia bersifat intensional. Artinya, semua kesadaran selalu merupakan kesadaran terhadap
‘sesuatu’. Metafora yang sering digunakan untuk menggambarkan proses ini adalah seperti
sebuah lampu senter yang diarahkan pada suatu benda sehingga benda tersebut tampak jelas. Atau
sebuah anak panah yang diarahkan pada suatu benda (intensional arrow). Atau keterbukaan
terhadap dunia (Von Eckartsberg, 1981, 1986). Dalam hal ini berarti bahwa kesadaran itu selalu
mempunyai objek, baik yang bersifat konkret seperti kursi, mobil, atau orang lain. Atau dapat
juga berupa ide atau konsep abstrak. Oleh karena itu, ketika membicarakan tentang kesadaran,
kita selalu mengacu kepada objek yang diarahkan, baik secara implisit ataupun eksplisit (Vale
dan King 1978).
Noema Noesis
Lebenswelt merupakan kata dari bahasa Jerman yang menunjukkan adanya hubungan
saling berkait secara mutlak (total interrelatedness) atau saling ketergantungan (mutual
dependence) dari aspek phenomenon yang berbeda. Dengan kata lain, ‘orang’ dan ‘dunia’-nya
saling bergantung. Yang satu menjadi bagian (co-constitute) dari yang lain (Valle & King, 1978).
Terjemahan bahasa Inggris dari istilah lebeswelt adalah ‘life-world’ (dengan tanda penghubung)
yang mengaju pada dunia yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Yang dimaksud dunia di sini
adalah ‘dunia kehidupan’ yang berbeda dan terpisah dengan dunia yang dipahami oleh ilmu
pengetahuan (science). Contohnya, kita mengalami bahwa matahari selalu terbit di timur dan
tenggelam di barat. Hal tersebut adalah dunia-kehidupan kita yang berbeda dari penjelasan
ilmiah bahwa matahari tidak bergerak, melainkan bumilah yang berotasi pada porosnya.
‘Dunia kehidupan’ (life-world) dikatakan sebagai fondasi atau tempat untuk refleksi
pemikiran. Dengan cara tersebut ‘dunia kehidupan’ tidak tergantung pengetahuan, tetapi justru
dunia-kehidupanlah yang merupakan titik awal (starting point) dari semua pengetahuan (Valle
dan King, 1978). Husserl menggarisbawahi tiga karakteristik dunia kehidupan. Pertama, dunia
kehidupan berada pada tempat dan waktu (dimensi spasio-temporal). Kedua, dunia kehidupan
mempunyai berbagai keteraturan. Ketiga, dunia kehidupan tampil dalam relativitas tertentu
pada subjek yang mengalaminya.
Being-in-the-world (Mengada-di-dunia)
Martin Heidegger yang merupakan murid dari Husserl, secara khusus memperhatikan
isu ontologis tentang keberadaan. Dalam bukunya ‘Being and Time’, dia berargumentasi bahwa
58
eksistensi manusia tidak bisa dipisahkan dengan dunia (Spinelli, 1989). Bagi Heidegger,
manusia adalah dasein. Istilah itu secara harfiah berarti ‘ada-di-sana’ (being-there), namun
biasanya diterjemahkan sebagai ‘ada-di-dunia’ (being-in-the-world). Hal tersebut berarti
bahwa secara esensial manusia berorientasi pada dunia. Manusia dan dunia tidak dapat
dipisahkan dan selalu dalam proses dialog satu sama lain. Yang satu tidak dapat hidup tanpa
yang lain. Karena itulah, orang dan dunia dikatakan selalu berdampingan (co-constitute) (Valle
& King, 1978). Dengan kata lain, menjadi manusia berarti berada-di-dunia (Schweitzer, 1983).
59
BAB EMPAT
Tema-tema pengalaman transformasi religius yang dibahas dalam bab ini merupakan
hasil analisis-eksplikasi data pada setiap partisipan. Tema-tema tersebut akan disajikan sesuai
dengan pengalaman partisipan satu demi satu. Agar pembaca bisa mendapat pemahaman yang
lebih komprehensif tentang kehidupan setiap partisipan, khususnya mengenai pengalaman
trasnformasi religius, maka tema-tema tersebut disusun secara kronologis. Dimulai dengan
kehidupan partisipan sebelum mengikuti Pengajian Ikhlas, kemudian bagaimana mereka
bergabung dengan kelompok tersebut, sampai dengan pengalaman-pengalaman religius yang
diperoleh partisipan selama menjalankan dzikir, akhirnya bagaimana kehidupan partisipan
berubah setelah mendapatkan pengalaman-pengalaman religius. Pada bagian akhir dari bab ini
akan dibahas sintesis atau rangkuman tema-tema untuk keseluruhan partisipan, sehingga dapat
diperoleh gambaran secara menyeluruh bagaimana esensi dan karakteristik dari pengalaman
transformasi religius tersebut.
Untuk mempermudah mengidentifikasi sebuah pengalaman, maka dalam penyajian
tema-tema pengalaman religius akan dicantumkan juga nama setiap partisipan, meskipun
nama-nama tersebut bukanlah nama sesungguhnya. Sembilan orang partisipan dalam
penelitian ini antara lain Handono, Santi, Sugeng, Arman, Marta, Nardi, Badini, Minah, dan
Endi.
Partisipan yang saya sebut dengan Handono ini adalah seorang laki-laki berusia 48
tahun. Dia bekerja sebagai seorang pegawai negeri dan sudah mengikuti Pengajian Ikhlas
selama lima belas tahun. Dia berasal dari latar belakang kehidupan keluarga yang
mengamalkan agama Islam yang cukup kuat, tetapi juga memiliki pengaruh kehidupan
bangsawan Jawa yang memfokuskan diri pada masalah-masalah supra natural. Sejak kecil
Handono senang sekali melaksanakan disiplin spiritual dan mengikuti bela diri tenaga dalam
untuk memperoleh kekuatan supernatural, sehingga dia mencapai gelar sebutan sebagai
60
seorang pendekar. Kemampuan supernatural ini sering dijadikan kebanggaan yang berlebihan.
Handono merasa dirinya orang yang paling hebat. Sampai akhirnya dia bertemu dengan
pimpinan kelompok Pengajian Ikhlas dimana dia tidak mampu mengetahui kemampuan
supernatural yang dimiliki oleh pimpinan tersebut. Karena rasa penasaran yang sangat kuat dia
mengikuti Pengajian Ikhlas.
Selama melaksanakn dzikir Handoko mendapatkan berbagai pengalaman spiritual yang
terfokus pada pengalaman penyucian diri, baik penyucian pada dimensi fisik, terutama dimensi
spiritual. Pengalaman dzikir memberikannya jawaban yang jelas mengenai berbagai
pertanyaan tentang ajaran agama yang sejak lama dipendam. Transformasi religius pada
handono tampak ketika dia merasakan kehilangan ke-aku-an yang selama ini terlalu kuat,
sehingga sekarang dia merasa tidak bisa apa-apa dan bukan apa-apa dibandingkan dengan
kekuasaan Allah. Berikut adalah penjabaran tema-tema pengalaman transformasi Handono
secara lebih detail
Perasaan menjadi orang yang memiliki kekuatan hebat semakin berkembang ketika
Handono berhasil mencapai status sebagai seorang pendekar. Gelar tersebut bagi Handono
merupakan sebuah kebanggaan yang luar biasa. Tidak semua orang mampu mencapai posisi
tersebut, sehingga orang yang berhasil mendapatkannya akan mendapatkan status sosial yang
sangat tinggi di dalam masyarakat. Tetapi justru kondisi itulah yang memberikan dampak
negatif bagi perkembangan spiritualnya. Ketika menengok kehidupannya di masa itu Handono
menyadari bahwa kebanggaannya menjadi seorang pendekar sebuah perguruan bela diri tenaga
62
dalam yang ternama justru merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya perasaan
mementingkan diri sendiri (self centered) atau egois. Dia akhirnya sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa “… [kemampuan] bela diri dan mementingkan diri adalah dua hal yang
identik,” (Handono, 25).
Handono selanjutnya menceritakan bahwa waktu itu dia merasa dirinya sebagai orang
paling hebat sehingga dia melihat masa depannya dengan sikap yang terlalu optimis. Dia
menganggap bahwa dengan kekuatan yang diperolehnya, dia mampu mengontrol masa
depannya.
Proses Handono bergabung dengan Pengajian Ikhlas cukup unik. Handono bercerita
bahwa dalam sebuah pertemuan, dia berjumpa dengan pimpinan Pengajian Ikhlas. Pertemuan
itu digambarkan tidak hanya dalam bentuk pertemuan fisik semata, tetapi juga kontak batin
atau hubungan spiritual. Melalui kemampuan supranatural yang dimiliki, Handono bisa
‘merasakan’ bahwa pimpinan Pengajian Ikhlas tersebut mempunyai kemampuan supranatural
khusus (ngelmu). Ia juga mampu merasakan bahwa pimpinan tersebut mengetahui kalau
dirinya juga memiliki kemampuan supranatural. Ia menggambarkan kontak ini sebagai berikut
:
“Saya juga dapat merasakan bahwa dokter ini (pimpinan Pengajian Ikhlas ini)
mempunyai ‘sesuatu’. Nampaknya ia juga dapat merasakannya [bahwa saya juga
memiliki kemampuan supranatural]. Sehingga seperti suatu kontak batin,” (Handono,
29-31).
Selama kontak batin tersebut, Handono merasakan seperti adanya sebuah pertarungan
antara kemampuan supranatural yang dimilikinya dengan kemampuan spiritual pimpinan
Pengajian Ikhlas. Dia mencoba untuk ‘mendeteksi’ kemampuan supranatural jenis apa yang
dimiliki pimpinan Pengajian Ikhlas. Namun, dia tidak berhasil. Dia seakan terhalang oleh
sebuah ‘tabir’ yang menutupi tubuh dokter tersebut.
63
“Di situ, hanya nampak sebuah tabir [menutupi pimpinan Pengajian Ikhlas], seperti
asap atau kapas atau kertas kosong. Saya mencoba mendeteksi ‘ngelmu’-nya dari
beberapa sisi, tetapi selalu ada tabir. Dari sisi lain juga ada,” (Handono, 34-37).
“Saya menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, tetapi saya tidak dapat menahan
gerakan yang muncul. Gerakan itu mirip seperti ketika saya berlatih bela diri. Tubuh
saya berkeringat dan terasa panas,” (Handono, 46-48).
Penyucian eksistensial pada diri Handono ketika melakukan sujud mutlak tidak hanya
pada dimensi fisik, tetapi juga penyjian pada dimensi spiritual.
Penyucian pada dimensi fisik terlihat pada dua hal. Pertama munculnya gerakan-
gerakan bela diri secara spontan. Gerakan-gerakan itu timbul beberapa kali, tetapi lama
kelamaan semakin pelan dan akhirnya hilang. Tema pembersihan diri secara fisik lebih jauh
terlihat ketika tiba-tiba Handono merasakan ada kekuatan yang menggerakkan anggota
tubuhnya, sehingga dia menirukan gerakan-gerakan orang berwudlu. Ia membasuh tangan,
wajah, lengan, kepala, dan kakinya. Dalam agama Islam, ritual wudhu dengan membersihkan
beberapa anggota badan merupakan persiapan seorang muslim secara fisik untuk melakukan
shalat. Dalam pemahaman yang sama, pengalaman Handono melakukan gerakan-gerakan
wudhu ketika dia melaksanakan dzikir menunjukkan pembersihan eksistensi secara fisik.
Handono juga mengisahkan bahwa ketika menirukan gerakan-gerakan wudhu itu, dia
juga merasakan pengalaman penyucian eksistensi diri pada dimensi spiritual. Ia
menggambarkan pengalamannya sebagai berikut:
“… Saya dapat melihat tangan saya sangat kotor. Banyak kotoran yang menempel di
tangan, seperti kotoran manusia dan beberapa hewan ’kotor’. Ketika saya membasuh
tangan seperti dalam wudhu, kemudian saya melihat tangan saya mengeluarkan
kilauan cahaya,” (Handono, 63-65).
Sebenarnya sejak lama Handono telah menyadari bahwa ajaran agama Islam dan ritual-
ritualnya bukanlah sekedar dogma. Ia yakin bahwa pasti ada ‘rahasia tersembunyi’ di balik
semua ritual-ritual yang diwajibkan. Ia telah mencoba untuk memperoleh pemahaman rasional
tentang ‘rahasia tersembunyi’ tersebut. Ketika masih remaja dia sering mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kritis kepada orangtuanya: mengapa sebelum sholat seorang muslim
harus berwudu? Mengapa shola harus menghadap kiblat? Mengapa sholat subuh hanya dua
rokaat sementara sholat Isya’ empat rokaat? Tetapi orangtua Handono tidak memberikan
penjelasan yang memuaskan.
Jika ditinjau dari perspektif psikologi perkembangan kehidupan beragama yang telah
dibahas pada Bab Dua, terlihat bahwa Handono mengalami suatu bentuk keraguan beragama
(religious doubt). Perkembangan kognitif yang telah sampai pada tahap formal operational
dalam teori Piaget, memungkinkan Handono untuk berpikir dan bersikap kritis terhadap ajaran
agama yang diterima dimasa kanak-kanak. Dia tidak puas dengan keberagamaan yang
didasarkan pada dogma semata. Dia membutuhkan dasar rasional yang kuat dari keyakinan dn
ritual agama yang dilaksanakannya.
Pengalaman-pengalaman religius yang diperoleh Handono selama melaksanakan sujud
mutlak, ternyata telah memberikan berbagai pencerahan pemahaman terahadap ajaran agama.
Dia seakan memperoleh kemungkinan untuk memasuki makna ‘dibalik’ ajaran dan ritual
Islam. Makna-makna rahasia tersebut tersingkap melalui pencerahan yang diperoleh dari
pengalaman-pengalaman selama dzikir. Pengalaman pencerahan ini digambarkan sebagai
“….jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar,” (Handono, 85) yang telah dipikirkan
sejak lama.
Salah satu pertanyaan mendasar yang muncul terkait dengan urutan ritual wudhu.
Ketika masih remaja Handono bertanya kepada orangtuanya, mengapa pelaksanaan ritual
wudhu harus dimulai dengan membersihkan telapak tangan, berkumur, membersihkan hidung,
66
membasuh muka, membasuh kedua lengan, membasuh sebagian kepala, telinga dan diakhiri
dengan membasuh kedua kaki. Orang tua Handono dalam memberikan jawaban ternyata
bersifat otoritarian dengan mengatakan bahwa hal itu sudah menjadi ‘aturan’ dari agama.
Apabila ia melaksakan dengan urutan yang berbeda, wudhu-nya dianggap tidak diterima (tidak
sah). Artinya tidak diterima oleh Allah. Semua ibadah ritual harus sesuai dengan syariat yang
sudah ditetapkan.
Ketika melaksanakan sujud mutlak, dimana Handono betul-betul berpasrah diri secara
total dan menghilangkan kemauan egoismenya, muncul gerakan yang tidak bisa dia
kendalikan, yaitu melakukan gerakan wudhu secara ‘berurutan’ sesuai dengan syariat.
Handono betul-betul meyakini bahwa gerakan-gerakan itu bukan atas kemauannya sendiri.
Semua gerakan itu berasal dari Allah sebagai jawaban langsung dari pertanyaan yang selama
ini dipendamnya. Pengalaman ini memberikan pencerahan terhadap pemahaman Handono
tentang urutan ritual wudhu.
Bagi Handono wudhu tidak hanya sekedar bersifat ritualistik semata, tetapi mempunyai
makna yang lebih dalam. Dia menyimpulkan:“Semua ini memiliki falsafah,” (Handono, 75).
Di sini Handono menggunakan istilah falsafah bukan dalam arti ‘filosofi’ sebagai sebuah ilmu,
tetapi lebih menggambarkan kebijaksanaan atau rahasia dibalik sesuatu hal, baik rasional
maupun transendental.
Ajaran Islam lainnya yang mendapat pencerahan ketika Handono melaksanakan sujud
mutlak adalah pengalaman Nabi Muhammad SAW ketika menerima wahyu. Handono
menyebutkan sebuah hadits yang meriwayatkan bagaimana pengalaman Nabi Muhammad saat
menerima wahyu Al Qur’an. Disitu digambarkan bahwa badan beliau bergetar dan peluh
bercucuran. Pengalaman ini mirip dengan apa yang dirasakan Handono ketika melaksanakan
sujud mutlak yaitu “panas, dingin, dan gemetar”. Tetapi Handono tidak menyatakan bahwa
dia menerima ‘wahyu’. Hanya ada kemiripan yang menggambarkan bahwa pengalaman
spiritual dapat terwujud dalam gejala-gejala fisiologis. Ia bahkan menekankan bahwa
pengalaman pribadinya tersebut mempertebal keyakinannya bahwa turunnya wahyu Allah
kepada Nabi Muhammad sama sekali bukanlah suatu kebohongan. Pengalaman ini
mengarahkan Handono menuju keteguhan keyakinannya bahwa wahyu Al Qur’an adalah
benar.
“Ka’bah bukanlah sekedar sebuah batu. Saya mengalaminya sendiri bahwa ka’bah itu
mempunyai cahaya yang luar biasa (nur),” (Handono, 80-81).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Handono tidak hanya ‘memahami’ Ka’bah ‘bukanlah
sekedar sebuah batu’, tetapi ia juga ‘mengalami’ atau merasakan sendiri bahwa Ka’bah diliputi
oleh cahaya yang luar biasa. Walaupun secara fisik Handono dan Ka’bah dipisahkan oleh jarak
yang jauh, tetapi dia dapat ‘merasakan’ adanya cahaya tersebut.
Bagi Handono, nur yang dimiliki Ka’bah tidak hanya memiliki kualitas memberikan
cahaya, tetapi juga memilik kekuatan magnetik yang mampu untuk menarik orang ke arah
Ka’bah. Dia menceritakan bahwa tubuhnya senantianya tertarik untuk menghadap ke arah
Ka’bah
“Ketika saya berputar ke arah yang berbeda, tubuh saya tertarik oleh suatu kekuatan
magnet ke arah Ka’bah,” (Handono, In. 82-83).
68
Kekuatan magnetik yang dimiliki oleh Ka’bah digambarkan Handono sebagai sesuatu
kekuatan yang dahsyat. Dia berargumentasi bahwa umat Islam seluruh dunia menghadap ke
arah Ka’bah ketika sholat sehingga titik temu itu menjadi pusat tenaga magnetik yang tak
terhingga. Apalagi ketika orang melaksanakan ibadah haji. Berjuta-juta umat manusia
melaksanakan thawaf, berputar-putar mengelilingi Ka’bah, sehingga membuat cahaya Ka’bah
semakin benderang.
Dampak dari perasaan menjadi orang yang paling benar dan paling baik adalah sikap
‘ekstrem’ terhadap orang lain. Handono menilai kerabat dekat dan teman-teman dan orang-
orang lain berada dalam jalan yang salah dan ia menyuruh mereka mengikuti jalan spiritualnya,
yaitu melaksanakan dzikir. Sikap itu ternyata menimbulkan konfrontasi dengan orang-orang
yang berada di sekitar Handono, sehingga dia sendiri menyatakan bahwa pengalaman tersebut
sebagai sebuah ‘transisi’ menuju ke arah perkembangan yang lain.
“Saya merasa sangat kecil. Saya seperti titik di alam semesta yang tidak bisa dilihat,”
(Handono, 98-100).
Melalui pengalaman sebagai ‘makhluk’ dan ‘perasaan kecil’ dihadapan Yang Maha
Besar membawa Handono kedalam hubungan dengan Allah yang lebih dekat. Hubungan ini
ditandai oleh munculnya perasaan ambivalensi. Di satu sisi timbul perasaan cinta pada Allah,
tetapi pada saat yang sama juga muncul perasaan takut.
Partisipan yang saya sebut sebagai Santi adalah seorang wanita berusia empat puluh
tahun yang berprofesi sebagai seorang dokter. Dia telah empat tahun mengikuti kelompok
Pengajian Ikhlas. Sejak kecil dia telah menjalankan agama dengan baik, tetapi belum ada
penghayatan sama sekali. Agama yang dianutnya merupakan produk keturunan semata. Fokus
keberagamaannya adalah pada afiliasi dengan organisasi Islam. Agama belum memiliki
relevansi dengan kehidupannya sehari-hari. Bahkan dia menceritakan bahwa perilakunya
sehari-hari kadang tidak konsisten dengan nilai-nilai moral Islam. Proses transformasi yang
dialami Santi berawal ketika ia mengalami berbagai penderitaan, baik fisik, terutama
penderitaan psikologis sampai kemudian dia mengikuti Pengajian Ikhlas. Berbagai pengalaman
religius dirasakan Santi ketika melaksanakan dzikir, terutama sebagai bentuk penyeimbangan
diri. Misalnya dulu hatinya selalu sedih, tidak bisa tertawa, sehingga ketika masih baru
melaksanakan dzikir malah timbul dorongan untuk tertawa, tanpa bisa dikendalikan.
Selnajutnya Santi merasakan kedekatan hubungan dengan Allah melalui mediasi Al Qur’an.
Dia senantiasa berkonsultasi kepada Allah mengenai berbagai persoalan kehidupan sehari-hari
yang dihadapi. Akhirnya Santi dapat merasakan rasa syukur tidak hanya ketika dia
mendapatkan nikmat dari Allah, tetapi juga ketika dia mendapatkan musibah. Berikut adalah
tema-tema pengalaman transformasi Santi secara detail.
Meskipun Santi memiliki loyalitas yang sangat kuat terhadap kelompok Muslim, tetapi
perilaku kesehariannya tidak konsisten dengan nilai-nilai moral Islam. Ia bahkan menyebut
dirinya sendiri sebagai seorang munafik. Contoh dari kemunafikan Santi terlihat dari perilaku
seksualnya ketika dia masih menjadi mahasiswa. Ia menceritakan bahwa ia sudah berpacaaran
ketika masih kuliah dan hampir saja mendekati hubungan seksual di luar nikah (zina).
Meskipun ia sadar bahwa perzinaan adalah perbuatan yang termasuk dosa besar menurut nilai-
nilai Islam, tetapi Santi tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal tersebut. Di sini
terlihat bahwa nilai-nilai Islam pada Santi saat itu hanya terbatas pada pemahaman kognitif,
belum sampai pada penghayatan dan perwujudan dalam perilaku yang nyata.
Santi mengisahkan bahwa dia mengalami penderitaan batin yang luar biasa sebelum
bergabung dengan kelompok Pengajian Ikhlas. Suaminya yang sangat dicintainya ternyata
minta supaya diijinkan untuk menikah lagi. Suaminya menggunakan dalil kisah Nabi Ibrahim
yang mengawini Hajar karena Sarah tidak punya anak. Santi memang tidak menyebutkan kalau
73
dia tidak punya anak, tetapi dari pembicaraan tersebut kemungkinan besar suaminya ingin
menikah lagi karena Santi tidak punya anak. Inilah penderitaannya. Baginya sebgai seorang
wanita yang tidak bisa memeberikan keturunan dari suaminya merupakan beban psikologis
yang berat. Apalagi kemudian suaminya memaksa dia untuk mengijinkan menikah lagi.
Akhirnya dengan sangat terpaksa dia memberikan ijin secara tertulis dan akhirnya suaminya
punya istri lagi.
Penderitaan Santi tidak hanya sampai di situ saja. Setelah suaminya menikah lagi, Santi
juga merasa terus menerus diteror. Berkali-kali suaminya mengancamnya akan membunuhnya
tanpa ada alasan yang jelas. Akibat semua penderitaan itu Santi akhirnya mengalami stres berat
dan kesediahan yang luar biasa. Bahkan kemungkinan sudah mengarah kepada bentuk
gangguan “depresi”. Ia seringkali mengalami mimpi-mimpi buruk, yaitu suaminya seakan mau
membunuhnya. Gejala gangguan depresi juga muncul dalam bentuk berbagai macam penyakit
fisik. Meskipun dia sendiri adalah seorang dokter medis, tetapi tidak mampu untuk
menghilangkan penyakitnya sendiri.
Bagi Santi, berbagai penderitaan yang dialami mempunyai makna yang sangat penting
sekali dalam kehidupannya. Penderitaan itu telah membuat Santi merefleksikan kembali
seluruh kehidupannya masa lalu. Sekaligus juga menjadikan dia berusaha menata dan
memperbaiki kembali kehidupannya sekarang. Ketika melihat masa lalunya, Santi merasa
bahwa dia telah banyak berbuat dosa.
“Saya pernah membaca buku Dua Puluh Tujuh Dosa Besar, ternyata hampir semuanya
sudah saya lakukan, meskipun hanya sedikit-sedikit. Jadi, rasanya saya banyak dosa,”
(Santi , 17-19).
“Mungkin kesedihan saya selama ini tidak [bisa] keluar. Dengan istighfar itu,
kesedihan saya keluar. Saya menangis sampai saya kejang,“ (Santi, 34-35).
“… yang membuat tertawa dan menangis itu Allah. Dulu hati saya merengut terus.
Ketika sudah tersentuh [nama] Allah, lalu bisa tertawa,” (Santi , 41-43).
Santi menjelaskan bahwa setelah menjalankan dzikir dia merasa hidupnya tidak bisa
lepas dari Al Qur’an. Padahal sejak kecil dia selalu membaca Al Qur’an, tetapi sikap dan
‘hubungan’-nya dengan Al Qur’an menjadi sangat berbeda. Sebelum melaksanakan dzikir ia
merasa bahwa hubungan dengan Al Qur’an bersifat ‘monolog’. Dalam arti bahwa dia
senantiasa membaca Al Qur’an, tetapi dia tidak merasa bahwa Al Qur’an tersebut mempunyai
relevansi dengan kehidupannya. Al Qur’an dipandang sebagai sebuah otoritas yang
memberikan perintah dan larangan. Al Qur’an tidak ‘berbicara’ apapun untuk mengatasi
berbagai masalah nyata dalam kehidupan Santi sehari-hari. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika waktu itu kegiatan membaca Al Qur’an adalah suatu hal yang sangat
membosankan.
Setelah melaksanakan dzikir, Santi menggambarkan hubungannya dengan Al Qur’an
sebagai ‘dialogis’. Dia merasakan bahwa Al Qur’an tidak hanya memberikannya perintah
mengenai apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan, tetapi Al Qur’an mempunyai
peran penting dalam mengarahkannya untuk menghadapi masalah-masalah konkret setiap hari.
Al Qur’an menjadi sebuah media bagaimana Santi berkomunikasi langsung dengan Allah.
Berikut ini adalah beberapa ilustrasi mengenai dialog Santi dengan Al Qur’an. Santi
mengisahkan bahwa pada suatu saat suaminya melarangnya mengikuti pengajian dzikir dalam
Pengajian Ikhlas. Ia kemudian ‘berkonsultasi’ (memohon petunjuk Allah) melalui Al Qur’an.
Cara yang dilakukan agak unik. Pertama, ia memegang Al Qur’an di tangannya, kemudian ia
melaksanakan dzikir sampai khusuk dan betul-betul berserah diri, pasrah dan Ikhlas kepada
76
Allah. Selanjutnya dia berdoa untuk mendapatkan petunjuk dari Allah melalui ayat-ayat al
Qur’an. Selanjutnya Santi membuka Al Qur’an secara acak atau random, tanpa bermaksud
mencari suatu ayat tertentu. Dia yakin bahwa ayat al Qur’an yang akan ditemukan secara tidak
sengaja itu adalah petunjuk dari Allah, karena bukan atas kemauan tangannya sendiri untuk
membuka suatu ayat melainkan semua digerakkan oleh Allah. Santi menceritakan bahwa ia
menemukan ayat berikut ini:
"Mereka menghalangi di jalan yang benar…. Kalau kamu ikut mereka, berarti sama
dengan mereka," (Santi, 59-61).75
Bagi Santi, ayat yang ditemukan secara ‘kebetulan’ diluar kemauannya sendiri tersebut
mempunyai makna yang sangat dalam. Ayat tersebut seakan ‘berbicara’ mengenai problem
yang sedang dihadapinya. Ia menginterpretasikan kata ‘mereka’ dalam ayat itu adalah termasuk
suaminya dan ‘jalan yang benar’ itu sebagai ‘melaksanakan dzikir’. Dengan demikian usaha
suaminya untuk melarang Santi melaksanakan dzikir mengandung arti bahwa suaminya
mencegahnya mengikuti jalan yang benar. Santi menjadi semakin yakin bahwa amalan dzikir
yang dilaksanakannya telah diakui oleh Al Qur’an sebagai ‘jalan yang benar’.
Ketika Santi membaca ayat di atas, timbul perasaan yang bertentangan dalam dirinya.
Di satu sisi ia merasa gembira karena amalan dzikir Pengajian Ikhlas telah dikonfirmasikan
oleh Al Qur’an sebagai amalan yang benar. Di lain sisi, ia merasa sangat sedih karena jika ia
mengikuti suaminya, itu berarti bahwa ia termasuk orang-orang yang tidak percaya. Untuk
menyelesaikan konflik ini, ia perlu melanjutkan dialognya dengan Al Qur’an dengan
‘bertanya’: apa yang seharusnya ia lakukan? Santi kemudian melaksanakan metode yang
sama: pertama berdzikir dan berdoa kepada Allah, kemudian membuka Al Qur’an tanpa berniat
menemukan suatu ayat. Ayat yang ditemukan, diyakini sebagai jawaban dari Allah. Dia
bercerita:
“Yang keluar: "Jangan kau hiraukan orang kafir dan munafik," (Santi , 63).
Santi mendiskusikan dua modus (bentuk) pendekatan untuk mengerti ajaran agama
Islam, yaitu bentuk ‘pengetahun’ (knowing) dan ‘pemahaman’ (understanding)76. Perbedaan
dari kedua modus itu adalah bahwa ‘pengetahuan’ berkaitan erat dengan pengertian yang
bersifat ‘rasional’, sedangkan model ‘pemahaman’ sangat terkait dengan adanya ‘pengalaman’
(experiential). Kedua modus tersebut dianggap sebagai sebuah tahapan. Santi mengartikan
tahap ‘pengetahuan’ sebagai pengertian suatu ajaran agama dari perspektif luar (outer
perspective). Tahap ‘pemahaman’ digambarkan sebagai suatu pengertian yang berasal dari
dalam diri individu, di mana orang tersebut dapat menangkap arti atau makna yang esensial
dari suatu ajaran agama. Hal itu disebabkan ajaran agama tersebut telah terbukti dalam
pengalaman hidup orang tersebut. Santi memberikan satu contoh sebagai berikut:
“Dulu saya sudah ‘tahu’ tentang penyakit-penyakit hati, seperti hasad, dengki dsbnya.
Tapi sekarang ‘mengerti’[dan memahami] kalau yang namanya benci itu begitu,” (BS,
93-95).
“Sekarang saya bisa mengerti dan menghayati bahwa hanya Allah tempat berlindung ,”
(Santi , 96-97).
Santi menceritakan bahwa sikapnya dalam merespon problem yang harus dihadapi
sehari-hari telah berubah setelah mempraktekkan dzikir. Sebelumya, ketika mendapatkan
problem dalam kehidupan sehari-hari ia selalu menjadi stres, sedih dan depresi. Setelah
mempraktekkan dzikir sikapnya berubah penuh dengan rasa syukur. Ia menginterpretasikan
problem sehari-hari dengan cakrawala religiusitas yang baru.
“Kalau "asma" Allah hilang "asma" yang lain timbul“, (Santi , 135-136).
Dialog Santi dengan Al Qur’an seperti yang telah dijelaskan pada tema 5 di atas
menunjukkan adanya hubungan yang dekat dengan Allah. Dialognya dengan Al Qur’an
dipahami sebagai dialognya dengan Allah. Dengan kata lain, hubungan Santi dengan Allah
dilaksanakan dengan cara berdialog dengan Al Qur’an. Hubungan dekat Santi dengan Allah
diwujudkan dengan ungkapan bahwa dia selalu “bertanya kepada Allah” terhadap berbagai
masalah yang dihadapinya. Melalui Al Qur’an, Santi juga merasa “menerima perintah dari
Allah”, bahkan kadang “dimarahi oleh Allah” dan “dihibur” ketika dia merasa sedih.
Ketika Santi mengajukan pertanyaan tentang suatu masalah yang sedang dihadapi, dia
menerima jawaban dari Allah melalui Al Qur’an. Misalnya, Santi meminta petunjuk kepada
Allah dengan doa apa yang harus ia laksanakan sehubungan dengan permasalahan yang
dihadapi.
80
“Saya mohon petunjuk pada Allah doa apa [yang harus saya amalkan]. Alhamdulillah
diberi petunjuk. Doa itu saya hapal dan saya catat,” (Santi , 112-114).
Melalui Al Qur’an Santi merasa menerima perintah dari Allah untuk melaksanakan
sesuatu. Misalnya, Santi menceritakan bahwa ketika menghadapi permasalahan dengan
suaminya, ia berdoa dan kemudian membuka Al Qur’an secara acak. Santi kemudian
menemukan ayat-ayat yang diinterpretasikannya bahwa Allah memerintahkan untuk
‘berperang’ melawan suaminya.
“Jadi [lewat Quran] saya seolah-olah disuruh [Allah] berperang [dengan suami saya].
Mungkin yang diperangi kekafiran dan kedzalimannya,” (BS, 78-79).
Perasaan dekat Santi dengan Allah juga diindikasikan oleh hubungannya yang bersifat
personal di mana ia mempersepsikan bahwa Allah pernah marah padanya.
“Saya dimarahi Allah karena seolah saya merasa aman dari siksa-Nya,” (Santi, 84-85).
Dalam situasi yang lain ia memahami bahwa Allah memberikannya dukungan dan
simpati ketika ia “berperang” dengan suaminya.
“Ketika saya dilarang mengikuti Pengajian Ikhlas oleh suami saya, saya membaca
dalam Quran: ‘Jangan kau hiraukan orang munafik dan kafir. Orang beriman itu lebih
tinggi derajadnya.’ Lalu saya baca ayat-ayat tentang surga, bidadari-bidadari. Saya
seakan sudah di sana. Saya senang sekali,” (Santi , 105-109).
Sugeng menggambarkan masa kanak-kanaknya sebagai seorang anak yang tidak peduli
dengan ajaran agama Islam. Sebenarnya dia berasal dari keluarga yang cukup perhatian dalam
beragama. Orangtuanya selalu mendatangkan guru mengaji ke rumahnya untuk memberikan
pelajaran agama. Namun dia tidak pernah menghiraukan perintah dan nasehat orang tuanya.
Dengan kata lain kemungkinan Sugeng untuk berkembang menjadi seorang yang religius
sebenarnya sangat besar, tetapi dia tidak mengikutinya. Ia justru merasa jengkel ketika orang
tuanya memerintahnya untuk mempelajari ajaran Islam. Bagi Sugeng , tidak ada ruang untuk
agama dalam masa kanak-kanaknya. Agama dipandang tidak menarik karena pusat
perhatiannya adalah pada aktivitas-aktivitas fisik, bermain sepak bola dan berkumpul bersama
teman-temannya.
Tema 3 : Kontak fisik dan spiritual sebagai proses bimbingan dalam dzikir.
Sugeng menggambarkan apa yang dia rasakan ketika mendapatkan pengalaman dzikir
‘di seluruh tubuhnya’:
“Rasanya seluruh pori-pori atau sel-sel [tubuh] itu ikut dzikir. Yang menyebut nama Allah
itu tidak hanya di hati [Sugeng memegang dada], tapi dari ujung kaki sampai ujung
rambut ikut menyebut [nama Allah], tidak ada putusnya,” (Sugeng, 26-28).
Ketika Sugeng mencoba memberikan gambaran tentang pengalaman dzikir ‘di seluruh
tubuh’, ternyata dia mengalami kesulitan menceritakannya. Dia lebih banyak menggunakan
ekspresi yang menggambarkan bahwa pengalaman seperti itu sulit untuk digambarkan dengan
kata-kata. Ia mengungkapkan :
“seperti apa ya...[tubuh saya] enteng. Rasanya enak seperti ‘los’,” (Sugeng , 25-26).
Di sini Sugeng menggambarkan pengalaman dzikir di seluruh tubuh itu sebagai perubahan
terhadap sensasi tubuh. Dia merasakan tubuhnya menjadi ‘ringan’ dan timbul perasaan
‘nyaman’. Namun Sugeng mengalami kesulitan menggambarkan lebih jauh, sehingga dia
menggunakan kata ‘los’. Kata ini sebenarnya tidak mempunyai makna yang spesifik, tetapi
sering digunakan orang sebagai ungkapan ekspresif untuk menggambarkan kondisi ‘lepas’ atau
‘bebas’. Sugeng menggunakan kata ‘los’ larena dia mengacu pada makna ‘lepas’ atau ‘bebas’.
Kemungkinan yang lain adalah sebagai sebuah ekspresi untuk menggambarkan sebuah kondisi
yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang
menemukan bahwa pengalaman religius dan pengalaman mistis seringkali tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata (ineffable) karena terkait dengan dimensi emosional.
“Pernah saya mimpi makan sampai tambah, lalu saya menderita sakit berat. Tapi suatu
ketika saya mimpi begitu lagi, lalu saya bangun meludah ke kiri dan kanan dan mohon
perlindungan [pada Allah] lalu shalat. Ternyata saya tidak jadi sakit,” (Sugeng , 42-45).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa cara Sugeng berusaha mencegah penyakit yang
kemungkinan akan terjadi adalah dengan memohon perlindungan Allah dan melaksanakan
shalat.
Antisipasi Sugeng karena adanya suatu mimpi tidak hanya berhubungan dengan
penyakit yang akan diderita, tetapi juga peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di berbagai
tempat yang berbeda. Ia menceritakan sebuah mimpi di mana ia melihat keluarganya yang
tinggal di kota lain sedang mengalami suatu musibah. Apa yang dilihat dalam mimpi tersebut
kemudian terjadi satu hari berikutnya.
Mimpi-mimpi yang mempunyai makna antisipasi peristiwa yang akan terjadi seperti
yang dialami Sugeng bisa disejajarkan dengan salah satu karakteristik pengalaman mistis yang
telah dibahas pada Bab Dua, yaitu hilangnya ikatan dengan dimensi waktu (timelessness).
Sementara itu pengalaman Sugeng melihat peristiwa yang akan terjadi di tempat lain juga
mengindikasikan hilangnya dimensi ruang (spacelessness). Sebagai seorang intelektual yang
86
banyak membaca buku-buku spiritual, Sugeng juga mengetahui permasalahan ini. Dia juga
bertanya-tanya:
“Saya berpikir, apakah ini yang namanya batas antara ruang dan waktu itu hilang. [Di
situ] Allah memperlihatkan kebesaran-Nya,” (Sugeng , 50-52).
Dengan demikian apa yang selama ini diketahui oleh Sugeng dalam beberapa buku yang
dibacanya, ternyata terbukti dalam pengalamannya setelah melaksanakan dzikir. Selain
berkaitan dengan kondisi hilangnya batas ruang dan waktu, pengalaman dzikir di seluruh tubuh
yang telah dibacanya dalam buku, ternyata juga dialaminya ketika dzikir.
“Tadinya saya menganggap dzikir itu sunnah, tapi lama-lama menjadi kewajiban. Kalau
tidak dzikir rasanya ada sesuatu yang kurang.” (SU, 60-61).
Selain itu Sugeng juga merasakan bahwa “Sholat sendiri sudah menjadi bagian dari
hidup saya,” (Sugeng , 62-63). Hal ini menunjukkan bahwa praktek ritual shalat tidak lagi
menjadi suatu beban atau suatu kewajiban berat bagi Sugeng. Kewajiban seringkali dimaknai
sebagai suatu bentuk keterpaksaan yang harus dilakukan karena ancaman dari pihak luar
(external motivation). Sementara kebutuhan merupakan dorongan dari dalam (internal
motivation) untuk melakukan suatu perbuatan dengan penuh kebahagiaan. Ketika shalat sudah
dianggap oleh Sugeng sebagai ‘bagian’ dari hidupnya, maka berarti dia tidak bisa hidup tanpa
shalat.
Kebutuhan Sugeng terhadap shalat pada dasarnya adalah kebutuhan untuk menjalin
komunikasi dengan Allah melalui media shalat. Ada perasaan kedekatan dan keakraban dengan
Allah ketika menjalankan shalat. Perasaan keterdekatan Sugeng dengan Allah selanjutnya
ditunjukkan oleh munculnya perasaan ketergantungan secara total. Perasaan seperti secara
khusus dirasakannya ketika melaksanakan sholat dan mencapai kondisi khusyu’. Dalam
menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari ketergantungan dengan Allah yang sangat kuat.
Terutama ketika menghadapi berbagai masalah dia selalu menyampaikan dan ‘mengeluh’
kepada Allah.
88
berumur 35 tahun. Dia sudah melaksanakan praktek dzikir dalam kelompok Pengajian Ikhlas
selama sembilan tahun. Arman mengisahkan bahwa pada masa kanak-kanaknya mengalami
konflik keberagamaan karena dia lahir dari dalam keluarga Islam, tetapi mendapatkan
pendidikan formal di sekolah Katolik. Tetapi Arman dapat menyelesaikan konflik itu dengan
baik. Sejak mahasiswa dia mempelajari agama Islam secara intensif dengan banyak membaca
buku-buku Islam. Pemahaman agama yang terfokus dari pada rasionalitas juga diimbangi
Keterlibatan Arman dengan Pengajian Ikhlas terjadi secara bertahap. Ketika pertama
kali mengenal Pengajian Ikhlas ia meragukan kalau amaln ini mempunyai dasar yang kuat
dalam agama Islam. Di tengah keraguan tersebut Arman harus membantu seorang teman yang
sedang kritis di rumah sakit karena kecelakaan lalulintas. Arman menghubungi Pengajian
Ikhlas untuk mendapatkan donor darah. Dalam waktu singkat kebutuhan darah temannya bisa
terpenuhi, sehingga hidupnya bisa terselamatkan. Peristiwa ini menjadi titik balik bagi Arman
Arman menjelaskan bahwa dia sangat antusias melaksanakan dzikir. Seperti orang
kehausan dia berdzikir secara intensif, sehingga mengalami kondisi yang oleh pengikut
Pengajian Ikhlas disebut ‘transisi’. Arman merasa amalan yang dilakukan adalah paling benar,
dan dia cenderung meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang mahasiswa karena
terfokus pada kehidupan akhirat. Dia selalu berusaha menginternalisasikan sifat-sifat Allah
yang terdapat dalam asmaul husna dalam dirinya. Akhirnya setelah mendeapatkan berbagai
89
pengalaman hidup, Arman mulai bisa membuat kehidupannya lebih seimbang, antara dunia
dan akhirat; antara berdzikir dan berpikir.
“Orang Katolik itu [sikapnya selalu] baik dengan saya. Kalau saya tidak masuk sekolah,
guru saya datang ke rumah saya sambil membawa oleh-oleh. Saya senang sekali,”
(Arman , 2-4).
Di lain pihak Arman merasakan hubungan antar sesama manusia yang kurang baik di
antara kaum muslim di lingkungan sekitarnya. Mereka kurang simpatik dan ketika ada orang
meminta bantuan, mereka cenderung menghindar. Bahkan Arman sempat merasa ‘benci’
terhadap orang-orang Islam karena tindakan yang kurang baik.
Arman tidak hanya mengekspresikan sikap negatifnya terhadap orang muslim, tetapi
juga mempertanyakan ritual-ritual dalam agama Islam secara kritis. Ia membandingkan antara
kewajiban dalam agama Islam untuk melaksanakan shalat dengan cara beribadah dalam agama
Katolik.
[Saya juga mempertanyakan], kenapa sholat sampai lima kali, kenapa [harus] berdiri,
ruku', sujud segala. [Apakah tidak lebih] enak orang Kristen yang seminggu sekali ke
gereja,” (Arman , 6-8).
Antipati Arman terhadap orang Muslim dan Islam di satu pihak dan rasa simpatinya
terhadap agama Khatolik di lain pihak memperlihatkan adanya konflik dan keraguan beragama
(religious doubt and conflict). Sumber dari keraguan dan konflik itu bukannya karena ada
90
pertentangan antara pelajaran agama dengan pelajaran ilmu pengetahuan alam, seperti yang
diungkapkan dalam beberapa literatur. Tetapi konflik itu berangkat karena dia mendapatkan
pendidikan agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Ketika menginjak remaja dia
mulai bersikap dan berpikir kritis. “Saya rasional betul,” katanya. Dia membandingkan
pengikut dan ajaran kedua agama yang berbeda. Di situ Arman menemukan beberapa
kontradiksi. Islam yang dianggap sebagai agama yang paling benar, tetapi sikap dan perilaku
orang Islam justru menggambarkan kondisi yang sebaliknya. Sebaliknya agma Katolik yang
dianggap orang Islam menyimpang justru orang-orangnya sangat baik.
Akibat dari konflik dan keraguan tersebut Arman tidak pernah memiliki perasaan
menjadi seorang Muslim, meskipun agama yang dianutnya adalah Islam. Ia seakan merasakan
adanya jarak antara eksistensi dirinya dengan Islam. Ia menggambarkan dirinya sebagai orang
‘Islam KTP’, yang berarti beragama Islam hanya sebatas namanya saja. Ia merasakan Islam
bukan sebagai eksistensi dirinya sendiri, melainkan Islam adalah ‘di luar sana’, ada dalam
‘kartu identitas’-nya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Arman melaksanakan
kewajiaban agama hanya karena perasaan ‘rikuh’ atau tidak enak dengan PakDe (kakak dari
orangtuanya) karena waktu itu dia tinggal bersama mereka. Shalat itupun dilaksanakan hanya
kalau dia ‘berling’ (kalau ingat saja) atau hanya kadang-kadang saja melaksanakan shalat.
Karena Arman mengamati tidak adanya keselarasan antara ajaran agama dan perilaku
orang yang memeluknya, maka muncul sikap apatis terhadap agama. Dia berkesimpulan
bahwa agama itu hanyalah aturan-aturan saja. Seperti halnya aturan lalulintas yang sering
dilanggar orang, maka aturan agama juga bisa dan banyak orang melanggarnya. Anggapan
yang lebih parah lagi adalah bahwa agama itu mungkin tidak diperlukan oleh manusia. Ia
berulangkali mempertanyakan: “Apakah agama itu perlu?”
“Saya lalu memakai logika saja: kalau perahu mempunyai nakhoda lebih dari
satu tentu kacau. Jadi Tuhan itu mesti satu,” (Arman , 29-30).
Kesimpulan Arman mengarahkannya pada keyakinan teguh terhadap agama Islam yang
mengajarkan Keesaan Tuhan secara mutlak. Keyakinan itu diperkuat oleh pengetahuannya
tentang alam semesta yang mengikuti hukum-hukum tertentu secara teratur. Arman berpikir:
“pasti [semua ini] ada satu aturan main”. Dengan mempelajari tentang alam semesta, Arman
juga menyimpulkan bahwa inti dari kehidupan adalah pergerakan yang dinamis. Oleh karena itu,
ia menyimpulkan bahwa ‘agama yang benar’ adalah yang hidup dan dinamis. Dia
menemukanhal itu dalam Islam
“Menurut logika saya, Islam itu [agama yang hidup dan selalu bergerak, maka Islam
adalah agama] yang benar,” (Arman , 32-33).
Keyakinan teguh Arman terhadap ajaran Islam lebih jauh diperkuat oleh penghayatan
emosional terhadap kehidupan Nabi Muhammad dan Al Qur’an. Ia menceritakan bahwa buku
biografi Nabi Muhammad yang dibacanya dengan sungguh-sungguh mempunyai pengaruh
yang besar terhadap perasaannya. Ia sangat terkesan oleh cara Nabi Muhammad
memperlakukan orang-orang yang melukainya. Arman sangat terharu ketika membaca cerita
bahwa Nabi Muhammad tetap mendoakan orang-orang yang memperlakukan dia dengan
semena-mena. Di situ tergambar bagaimana Nabi Muhammad menunjukkan kasih sayang yang
92
besar pada orang-orang yang justru menyakitinya. Sentuhan kasih sayang yang dirasakan
Arman berkembang ketika dia membaca Al Qur’an, khususnya surah Ar Rahman, yang berarti
‘kasih sayang’. Arman menghayati ayat-ayat itu dalam tingkat keterlibatan emosional yang
mendalam. Dia merasa ‘disindir’ oleh Allah dalam ayat-ayat surat Ar Rahman yang artinya
‘Nikmat tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.’ Di situ dia menangis teringat dosa-
dosanya.
Keterlibatan Arman dalam amalan dzikir di Pengajian Ikhlas melalui beberapa proses.
Ketika pertama kali mengenal pengajian ini timbul keraguan dan ketidakpercayaan. Ia
mempertanyakan praktek dzikir:
“mengapa [harus] tutup mata, [mengapa] ada yang menangis [dan] ada yang tertawa,”
(Arman , 18-19).
“Saya jadi berpikir, kalau bukan karena Allah yang Maha Pengatur, tidak mungkin hal
ini terjadi,” (Arman , 62-63).
Krisis yang dialami oleh teman Arman ternyata berdampak pada kehidupannya sendiri.
Arman mengungkapkan keterbukaan hatinya ketika menyaksikan peristiwa di rumah sakit itu.
“Allah membukakan hati saya waktu itu,” (Arman , 55).
Pernyataan itu mengimplikasikan bahwa sebelum kejadian di rumah sakit Arman mengalami
‘ketertutupan’ hati. Meskipun ia telah mengetahui sebelumnya tentang amaliah dzikir di
Pengajian Ikhlas, tetapi ia tetap tidak mau ikut melaksanakan dzikir. Dengan terlibat pada
situasi genting kehidupan temannya yang mengalami kecelakaan Arman dapat mengalami
‘keterbukaan’ hati yang mengarahkannya untuk melaksanakan dzikir secara intensip.
“Pada waktu awal-awalnya [aktif di PT] saya sering menangis kalau dzikir. Teringat
dosa-dosa masa lalu dan takut pada Allah. Ada juga rasa kenikmatan. Perasaan saya
seperti ‘plong’,” (AG, 65-67).
“Rasanya saya ingin dzikir terus. Tiada hari tanpa dzikir. Saya seperti orang kehausan.
Begitu minum terasa enak, lalu ingin minum terus sampai lupa diri,” (Arman, 78-80).
"Ya Allah ternyata saya tidak cukup hanya dengan dzikir saja. Sekarang saya ingin lulus
dengan rahmat dan Kasih sayang-Mu. Saya ingin seperti orang lain. Tapi tetap di jalan-
Mu," (Arman , 99-101).
Doa di atas menggambarkan keinginan Arman untuk hidup ‘seperti orang lain’, tetapi tetap
berada di jalan Allah.
“Saya merasakan kita ini diatur oleh Allah. Walaupun kita merencanakan gerak kita, tapi
ada yang Maha Pengatur dan Perencana,” (Arman , 104-105).
“Jadi tampaknya Allah membolak-balikkan dan membanting saya karena dosa-dosa saya
yang lalu. Saya dipaksa untuk [mengenal agama],” (Arman , 110-111).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa bagi Arman , semua peristiwa yang telah dialami itu
bermakna supaya dia “dapat memahami agama” yang memungkinkannya untuk mendapat
petunjuk dalam kehidupannya. Dia menegaskan bahwa jika dia tidak terlibat pada krisis teman
yang akan meninggal dan tidak terlibat dalam kegiatan Pengajian Ikhlas , mungkin dia akan
menjalani kehidupan yang jauh dari agama.
Kebermaknaan hidup Arman dipertegas dengan usahanya untuk selalu
mentransendensikan diri di mana ia mempersepsikan bahwa semua peristiwa hidup sehari-
harinya adalah peringatan dari Allah. Semua hal yang terjadi padanya direspon secara
transendental, yaitu dengan ‘istighfar’ dan ‘syukur’. Jika ada hal yang buruk terjadi padanya
maka dia akan istighfar, sementara jika ia mendapatkan suatu kenikmatan, maka dia akan selalu
bersyukur.
Partisipan Marta adalah seorang laki-laki berumur lima puluh tahun. Dia bekerja sebagai
seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta dan sudah mengikuti kelompok
Pengajian Ikhlas selama 25 tahun. Seperti partisipan yang lain, Marta menggambarkan kehidupan
bergamanya sebelum melaksanakan dzikir sebagai sebuah warisan atau hanya bersifat keturunan
dari orangtuanya saja. Dia melaksanakan kewajiban agama selalu dalam paksaan atau hanya
karena takut hukuman atau siksa di akhirat. Oleh karena itu ketika pertama kali mengenal
Pengajian Ikhlas Marta mengira para jamaah dibawah tekanan atau pengaruh hipnotis dari
pembimbing. Namun anggapan ini berubah ketika ia melaksanakan dzikir sendiri dan merasakan
berbagai pengalaman spiritual. Antara lain dia merasakan adanya pengalaman penyucian diri,
menghilangkan dosa-dosa masa lalu, sehingga dia mengalami transformasi sebagai ‘orang baru’.
Dia dapat merasakan kedekatan dengan Allah. Namun ketika dia berusaha lebih dekata dengan
Allah, ada mahluk lain yang selalu berusaha mengganggu, baik melalui tipu daya maupun
langsung mengadakan intervensi secara fisik. Gangguan ini dapat diatasi dengan melaksanakan
dzikir secara intensif. Pengalaman religius yang lain adalah hilangnya rasa ke-aku-an dimana
99
Marta mersakan tidak bisa apa-apa tanpa pertolongan Allah. Perasaan ini penting terutama ketika
dia berusha membantu menyembuhkan orang sakit dengan dzikir. Ketika rasa ‘aku’ nya muncul,
usaha tersbut tidak berhasil.
menerima pendidikan agama secara tradisional yang mengajarkan ilmu agama dari satu
Sejak masih muda Marta aktif melaksanakan ritual Islam, sholat lima waktu sehari.
kehidupan beragamanya selalu berada dalam tekanan, terutama dalam melakukan sholat lima
waktu. Dia tidak memahami sholat sebagai satu cara beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah, ia melaksanakan ritual itu sebagai respon terhadap ancaman akan dimasukkan ke dalam
neraka.
“Andai kata tidak ada ancaman mungkin saya banyak melalaikan,” (Marta , 3-4).
Bagi Marta , melaksanakan sholat merupakan urusan penampilan formal secara fisik.
Ia mengaku tidak dapat menghayati makna sholat dalam kehidupannya sehari-hari.
“Sebelum dan sesudah sholat itu tidak ada bedanya,” (Marta , 4-5).
“karena waktu dzikir tangan yang membimbing itu bergerak-gerak seperti orang
menghipnotis,” (Marta , 12-13).
Keraguan Marta terhadap amalan dzikir itu mendorongnya tidak mau bergabung
dengan kelompok Pengajian Ikhlas . Namun, dialognya dengan pimpinan Pengajian Ikhlas
akhirnya ‘membuka’ kemungkinan ia bergabung dan melaksanakan amalan dzikir itu. Ia
diyakinkan oleh pimpinan Pengajian Ikhlas bahwa amalan dzikir didasarkan pada ajaran Islam
di dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi.
“Rasanya saya berubah menjadi orang baru. Begitu sehat dan tak ada masalah. Pikiran
dan hati saya tidak ada rasa macam-macam. Tadinya mungkin suka iri, dengki. Itu hilang
semua. Lapang sekali dada ini,” (Marta, 35-37).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa pengalaman Marta menjadi orang baru itu
menjadikan dia merasakan adanya kesejahteraan (well-being). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia makna dari kata kesejahteraan ini adalah “keadaan sejahtera; keamanan,
keselamatan, ketenteraman.” Pengertian di atas tampaknya hanya mengacu pada dimensi
psikologis dan sosial, belum mencakup kesejahteraan fisik (misalnya kesehatan) dan
102
kesejahteraan spiritual (misalnya ketakwaan). Pada pengalaman Marta, dia dapat merasakan
kesejahteraan itu mulai pada dimensi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Pada dimensi fisik,
ia merasakan tubuhnya lebih ‘sehat’. Pada dimensi psikologis, ia merasa seperti tidak memiliki
masalah apapun.
Kesejahteraan yang dirasakan Marta pada dimensi sosial terlihat pada perubahan yang
dia rasakan ketika berhubungan dengan orang lain. Dia menceritakan bahwa sebelum
mendapatkan pengalaman itu Marta sering merasa rendah diri kalau berhubungan dengan orang
lain, terutama ketika berhubungan dengan orang yang lebih tinggi dengannya. Misalnya dengan
orang yang lebih tinggi posisinya (pimpinan), atau orang yang lebih pandai atau lebih kaya.
Setelah mendapatkan pengalaman itu Marta mersakan bahwa
“...semua manusia itu sama... [Sekarang] saya menganggapnya mungkin dia dilebihkan
dalam satu hal, tapi ada kekuarangannya dalam hal lain. Jadi kalau berhubungan dengan
orang lain itu bisa saling melengkapi, sehingga kalau berbicara itu bisa bebas, tidak ada
rikuh dan takut. Itu sangat menolong dalam kehidupan saya.” (Marta, 52-57)
Sementara itu, pada dimensi spiritual, Marta merasakan ‘dada’nya lapang. Penggunaan
kata ‘dada’ di sini tidak mengacu pada makna literal secara fisik, tetapi ‘dada’ sebagai pusat
dari kehidupan spiritual. Seperti dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Nabi Muhammad
SAW menjelaskan tentang taqwa, beliau bersabda: “taqwa itu di sini...taqwa itu di sini...taqwa
itu di sini,” sambil beliau menepuk dada tiga kali. Dengan demikian kata ‘dada’ yang
digunakan oleh Marta di atas tampaknya lebih mengacu pada dimensi spiritual, ketakwaan,
keimanan, kebersihan hati. Oleh karena itu setelah mendapatkan pengalaman ‘kelapangan
dada’ tersebut, Marta mengatakan “... tidak lagi memiliki rasa iri maupun dengki.”
pencerahan tentang ritual sholat secara langsung. Marta memahami bahwa gerakan-gerakan
sholat itu bersifat ‘universal’. Artinya bahwa semua manusia akan melakukan gerakan yang
sama, ketika mereka menyebut nama Allah dalam hatinya, yaitu melakanakn dzikir. Jadi
gerakan shalat itu bukan dibuat-buat, “bukan karangan Rasululllah.” Marta berpandangan
bahwa sholat itu merefleksikan suatu fitrah atau respon manusiawi ketika dia di hadapan
eksistensi Allah, Tuhan Penguasa Alam Semesta. Pemahaman seperti ini diperkuat ketika
Marta menyaksikan ada seorang Tionghoa yang mungkin baru saja masuk Islam kemudian
ikut melaksanakan dzikir. Ketika sudah betul-betul k husus’, tiba-tiba dia juga melakukan
gerakan-gerakan sholat, yang sebelumnya belum dikenal. Oleh karena itu Marta mempunyai
Marta menceritakan sebuah pengalaman ketika ia diganggu oleh makhluk halus ketika
berusaha mendekatkan diri pada Allah dengan mengamalkan dzikir dan sholat secara intensif.
Mahluk halus itu kemungkinan adalah jin atau syetan yang disebut Marta sebagai ‘pihak lain’
yang tidak suka jika ada manusia berusaha mendekatkan diri pada Allah.
Marta menjelaskan bahwa ada dua macam cara atau strategi yang digunakan makhluk
halus untuk mengganggunya, yaitu pertama melalui tipu daya dan kedua melalui intervensi.
Strategi tipu daya yang dilaksanakan oleh mahluk halus itu diawali ketika suatu hari tiba-tiba
Marta mendengar ada suatu ‘suara’ yang memperkenalkan diri sebagai orang yang juga
menjalani disiplin spiritual di jalan Allah. Suara itu berjanji akan membantu Marta untuk
meningkatkan kehidupan spiritualnya. Marta menjelaskan bahwa suara mahluk halus itu selalu
mengingatkan dia untuk mengerjakan sesuatu yang baik. Misalnya bagaimana ia sebaiknya
melakukan wudhu yang tidak hanya membersihkan disik saja, tetapi juga membersihkan
104
dimensi spiritual. Secara perlahan Marta kemudian mulai ‘percaya’ dan mengikuti perintah
suara itu. Pada tahap ini, ia menganggap mahluk halus itu sebagai malaikat yang mengajarkan
dan mengingatkan manusia kepada hal-hal yang baik. Namun suatu saat Marta mulai menaruh
curiga ketika suara itu tiba-tiba melarang Marta untuk berdoa. Menurut mahluk halus itu Marta
dianggap masih penuh dosa, sehingga doanya tidak akan dikabulkan. Sebagai gantinya, maka
mahluk itu yang akan berdoa untuk Marta. Di sini Marta mulai mempertanyakan kebenaran
suara itu, apakah suara itu akan menolong dia atu justru akan menjerumukan dia. Tiba-tiba
Marta teringat nasehat pendiri Pengajian Ikhlas untuk mengecek dengan Al Qur’an dan Hadits
jika ada kejadian-kejadian aneh yang dialami ketika dzikir. Marta menyimpulkan:
“Bisikan itu saya anggap tidak sesuai dengan Quran dan hadits, karena sekotor-kotornya
orang tetap diperintahkan berdoa langsung,” (Marta, 68-69).
Pengalaman Marta diganggu oleh jin ternyata merupakan indikasi bahwa dia memiliki
potensi yang memungkinkan dia mengakses dunia jin. Ia menceritakan bahwa dirinya menjadi
sensitif dan dapat ‘merasakan’ kehadiran makhluk halus, khususnya jin. Ia menggambarkan
bahwa teknik untuk mengetahui jin itu adalah dengan melakukan dzikir dan memohon kepada
Allah untuk memberinya tanda. Tanda itu bisa berupa penglihatan, gerak, atau rasa. Marta
mengatakan bahwa ia menerima ‘tanda’ itu melalui ‘perasaan’-nya. Dia berkata: “kalau ada
jin saya bisa merasakan. Ada perasaan lain,” (Marta , 79-80). Pernyataan ini menunjukkan
bahwa Marta mempunyai kepekaan rasa yang bisa mengetahui apakah di sekitarnya ada
mahluk halus atau tidak.
Kepekaan Marta untuk mengetahui adanya mahluk halus divalidasi oleh seorang
kawannya yang memiliki kemampuan paranormal yang bahkan mampu ‘melihat’ kehadiran
jin. Marta menceritakan bahwa ‘perasaan’-nya tentang kehadiran jin itu selalu sesuai dengan
pandangan spiritual dari paranormal tersebut.
Selain memiliki kepekaan terhadap adanya mahluk halus, Marta juga menceritakan
sejumlah pengalaman dimana ia harus ikut membantu menyembuhkan penyakit seseorang.
Salah satu pengalaman itu terjadi ketika ia mengikuti sebuah pelatihan dan tinggal satu asrama
dengan anggota Pengajian Ikhlas lainnya. Ia menceritakan bahwa ketika ia melintas di depan
106
suatu ruangan di mana anggota Pengajian Ikhlas sakit, tiba-tiba ia merasakan kehadiran suatu
‘kekuatan’ yang ‘menarik’-nya duduk di samping si sakit. Meski tak bermaksud mengunjungi
anggota yang sakit itu, perasaan persaudaraan mendorongnya untuk mendoakan si sakit. Marta
mengisahkan bahwa ketika mendoakan anggota yang sakit itu, ia merasakan adanya semacam
‘aliran listrik’ di tangannya. Aliran listrik itu kemudian menjalar di tangannya, kemudian
mengalir ke tangan si sakit. Akhirnya si sakit itu bisa sembuh.
Marta memahami bahwa proses penyembuhan yang terjadi itu bukan atas
kehendaknya, melainkan sudah ‘jatah’ atau takdir si sakit bisa sembuh melalui perantaraan
dirinya. Hal itu menunjukkan bahwa Marta berkeyakinan bahwa Allah yang menyembuhkan
teman yang sakit. Marta tidak mengklaim bahwa ia memiliki kemampuan untuk
menyembuhkan si sakit; ia hanya menganggap dirinya sebagai mediator dalam proses
penyembuhan itu.
Pemahaman Marta tentang ‘jatah’, yaitu semacam takdir, juga berlaku pada
penyembuhan atas diri sendiri. Ia percaya bahwa ketika penyakitnya sembuh, berarti ia sudah
menerima ‘jatah’ dari Allah. Di sisi lain, ketika ia gagal, berarti ia harus menggunakan metode
menjadi lebih dekat dan ditandai dengan hilangnya rasa ke-aku-an. Ciri hilangnya ke-aku-an
tersebut sangat penting ketika ia harus bertindak sebagai pemimpin dzikir dan sebagai mediator
Marta menceritakan bahwa ia diangkat oleh pimpinan Pengajian Ikhlas untuk menjadi
pembimbing dalam praktek dzikir, walaupun sebenarnya ia tidak pernah diajari bagaimana cara
memandu orang lain berdzikir. Akan tetapi pengalaman ini memungkinkan ia untuk memahami
apa yang dilakukan oleh seorang pembimbing dzikir. Sebelum bergabung dengan kelompok
107
PI, Marta beranggapan bahwa pembimbing dzikir adalah seorang ahli hipnotis. Baru sekarang
Marta menyadari bahwa persepsi ini benar-benar keliru.
Marta menjelaskan perbedaan utama antara amalan dzikir dan hipnotisme. Pada
umumnya ahli hipnotis akan meningkatkan ke-aku-an supaya dapat menguasai ‘aku’ orang
lain. Sebaliknya, pembimbing dzikir justru harus ‘menekan’ egoismenya. Ia harus merasakan
‘ketidak-mampuan’ tanpa pertolongan Allah. Kondisi hilangnya ke-aku-an ini penting bagi
Marta ketika ia bertindak sebagai pembimbing dzikir.
“… melenyapkan ‘aku’-nya dengan menyadari bahwa kita tidak bisa apa-apa tanpa kasih
sayang Allah,” (Marta , 143-144).
Menghilangkan ke-aku-an juga penting dalam peran mediasi Marta dalam proses
penyembuhan. Ia menceritakan bahwa bila ia berdoa untuk seseorang yang sedang sakit, tetapi
disertai dengan nafsu dan keinginan untuk menyembuhkan, maka tindakan penyembuhan itu
tidak akan bisa berhasil. Salah satu contoh kegagalannya dalam membantu proses
penyembuhan itu terjadi ketika ia mencoba menyembuhkan ibunya dari kelumpuhan.
Sebenarnya ia sudah pernah berhasil menyembuhkan seorang kawannya dari kelumpuhan yang
sama, tetapi justru ketika ia akan menyembuhkan dirinya sendiri, malah gagal. Marta
menafsirkan kegagalan ini disebabkan oleh kuatnya nafsu keinginannya untuk dapat
menyembuhkan ibunya. Hal itu berarti bahwa ia tidak mempunyai perasaan hilangnya ke-aku-
an dalam hubungannya dengan Allah.
Partisipan Nardi adalah seorang laki-laki berumur lima puluh tahun, bekerja di bidang
swasta dan sudah mengikuti kegiatan Pengajian Ikhlas selama enam belas tahun. Nardi dibesarkan
dalam lingkungan keluarga yang memperhatikan masalah agama, sehingga sejak kecil dia rajin
melaksanakan ritual-ritual sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan sampai remaja dan dewasa
kehidupan beragamanya hanya sebatas pada keterlibatan lahiriah saja. Sejak usia muda Nardi justru
lebih tertarik mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dunia supranatural, misalnya telepati,
magnetisme, ilmu kebal atau tenaga dalam. Dengan mendapatkan ilmu-ilmu tersebut, Nardi merasa
aman karena pada saat itu di masyarakat dimana ia tinggal sering terjadi konflik dan perkelahian.
108
Selain menekankan ilmu supernatural, Nardi juga mengakui bahwa ia banyak melakukan perbuatan
yang melanggar moral. Namun semua itu berubah ketika Nardi mengalami berbagai cobaan hidup.
Satu demi satu anggota keluarganya secara bergiliran jatuh sakit. Nardi merasa bahwa semua itu
adalah akibat perbuatannya sendiri. Akhirnya dia bertobat dan menjalankan dzikir dengan khusuk.
Hal pertama yang ditemui Nardi ketika melaksanakan dzikir adalah pengalaman
penyucian. Ia merasa semua dosa-dosa yang pernah dilakukan, termasuk ilmu-ilmu supernatural
yang dimilikinya keluar semua. Selanjutnya Nardi kemudian merasa mendapatkan ‘ilmu’ yang
bersih, dari Allah. Dia diperlihatkan karakter asli dari orang yang ditemui, misalnya orang yang
rakus wajahnya berubah jadi babi. Selain itu dia juga dapat melihat mahluk-mahluk halus dan dapat
memberikan kesembuhan pada orang lain melalui amalan dzikir. Semua kemampuan itu dianggap
oleh Nardi sebagai pemberian dari Allah. Dia sendiri merasa tidak memiliki apa-apa dan tidak bisa
apa-apa tanpa pertolongan Allah
“Waktu kecil saya disuruh mengaji oleh mbah saya di langgar dan disuruh sholat. Segala
perintah agama harus saya laksanakan. [Tapi], waktu itu agama tidak begitu berkait
[dengan kehidupan saya]. Agama sekedar melaksanakan perintah saja. Saya beribadat
itu [hanya] ngambang,” (ND, 1-4).
Kehidupan beragama yang diceritakan oleh Nardi di atas tidak hanya melukiskan
kehidupan beragamanya di masa kanak-kanak saja, tetapi juga menggambarkan kehidupan
beragamanya pada masa remaja dan dewasa sebelum mengamalkan dzikirnya. Gambaran
tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan Nardi secara personal dalam agama hanya bersifat
lahiriah semata. Ada jarak antara agama dan eksistensi dirinya. Penghayatan agama secara
personal seakan berada di luar eksistensinya. Hal tersebut disimbolkan dengan personifikasi
kakeknya yang selalu memberi perintah kepadanya untuk “belajar ilmu agama” dan
“melakukan sholat”. Bagi Nardi, agama berarti pelaksanaan ritual-ritual yang ditandai dengan
ada perasaan kewajiban. Agama tidak mempunyai makna yang signifikan dalam
109
kehidupannya. Nardi lebih tertarik pada usaha untuk mendapat kemampuan supranatural
ketimbang melaksanakan aktivitas-aktivitas keagamaan. Dalam struktur eksistensinya, dunia
Islam dan dunia-kehidupan pribadinya adalah dua dunia yang berkaitan hanya bagian
permukaan (superficial) saja.
“…Saya [juga] belajar [berbagai ilmu] seperti magnetisme, telepati, sugesti, kebal,
tenaga dalam. Bahkan pernah mau belajar "menghilang" dan ilmu hitam seperti tenung,”
(Nardi , 7-9).
Karena Nardi hanya memfokuskan diri pada kemampuan supranatural dan kurang
memperhatikan kehidupan beragama, maka tidak heran jika kemudian dia menceritakan bahwa
kehidupan sehari-harinya sebelum mengamalkan dzikir itu sangat berlwanan dengan nilai-nilai
110
moral Islam. Hampir semua tindakan jelek dilakukan. Dia menggambarkan hal itu sebagai
berikut:
“Saya sudah melakukan "mo-limo", minum, main, merokok, mencuri, tapi tidak sampai
main perempuan,” (Nardi , 15-17).
“Saya banyak melakukan perbuatan dosa,” (Nardi , 40).
terus-menerus selama dua tahun sebelum mengikuti kelompok Pengajian Ikhlas. Dia
penderitaan yang dialami itu mempunyai makna yang signifikan dalam kehidupannya. Paling
“Saya memberi makan anak saya dengan ‘batu, pasir, semen, dan kapur’ yang saya curi
dari proyek. Logikanya [kalau] perut diisi [barang] seperti itu, mestinya [akan] membikin
sakit,” (Nardi , 40-42).
Dalam pernyataan di atas, Nardi tidak menunjuk pada aspek fisik dari ‘semen, pasir,
dan batu’, melainkan pada hakikatnya. Ia memberi makan anak-anaknya itu dengan makanan
yang haram. Cara ia memperoleh uang untuk membeli makanan untuk anak-anaknya adalah
dengan mencuri semen, pasir, dan batu. Makanan haram itu kemudian dipahami sebagai
penyebab penyakit tersebut.
Dalam konteks itu, Nardi memahami adanya hubungan antara perbuatan moral dan
kesehatan fisik. Baginya, dosa besar dapat menimbulkan penderitaan, sementara perbuatan
baik dapat menimbulkan kebahagiaan.
Terkait dengan ajaran Islam tentang memakan makanan haram, Nardi tidak hanya
menghubungkan makan haram sebagai perbuatan dosa yang mempunyai konsekuensi di
112
akhirat kelak, namun ia memahami perbuatan dosa itu juga punya efek di dunia sekarang ini,
yaitu menimbulkan sakit. Pemahaman ini dipertegas oleh pengalaman Nardi di kemudian hari.
Setelah mengubah dan menyelaraskan hidupnya dengan nilai-nilai moral Islam, ia merasa
kehidupannya jadi tenang dan bahagia. Meskipun dia masih harus menghadapi berbagai
persoalan dan penderitaan. Jadi, hidup yang sesuai dengan nilai-nilai moral Islam memberi
kekuatan kepadanya untuk dapat menghadapi penderitaan. Bahkan, penderitaan itu diubah
menjadi suatu kebahagiaan.
“Waktu itu saya dibersihkan. Karena kotoran saya banyak, pencuciannya juga keras.
Gerakan-gerakan silat saya keluar semua. Saya meloncat, lari-lari, menendang, dan
memukul. Waktu itu saya sadar sepenuhnya, tapi semua gerakan itu tak bisa ditahan,”
(Nardi , 30-33).
“dengan dzikir qolbi, hati menjadi bersih laksana kaca. Kalau hati bersih akan dapat
[digunakan] untuk melihat [alam] ‘sana’,” (ND, 88-90).
Nardi menggambarkan fungsi amalan dzikir sebagai cara untuk membersihkan hati. Di
sini ia tidak mengacu pada ‘hati’ secara fisik-biologis (liver), tetapi pada ‘hati’ sebagai pusat
dari dimensi spiritual. Nardi menggunakan metafora dalam menjelaskan tentang hati yang
dibersihkan, yaitu ibarat kaca sebuah jendela yang dibersihkan, maka ketika kaca itu sudah
bersih orang akan dapat melihat dunia di ‘luar’. Dalam konteks ini, ‘hati’ itu berhubungan
dengan kemampuan pandangan spiritual melalui mata hati (basyirah) atau indera keenam. Bila
hati bersih, maka basyirah itu memiliki kemampuan memasuki realitas spiritual. Nardi
menceritakan bahwa dia mampu memahami esensi dari karakter manusia dan mampu melihat
dunia spiritual atau dunia roh.
Kemampuan Nardi untuk dapat mengetahui esensi dari karakter seseorang ditunjukkan
dengan pengalaman berikut:
“Pernah saya bertemu dengan orang yang wajahnya berubah jadi anjing atau babi. Itu
sebenarnya hanya watak atau sifat saja. Kalau orang itu rakus kelihatan [mukanya]
terbentuk [suatu mahluk tertentu],” (Nardi , 77-79).
Bagi Nardi, amalan dzikir berperan sebagai sumber dari kemampuan supranatural.
Selain dari kemampuan melihat esensi karakter manusia dan mahluk halus, Nardi juga
menyebut beberapa kemampuan yang diberikan Allah setelah mengikuti dzikir. Ia menyebut
semua kemampuan itu sebagai ilmu ladduni, yakni ilmu yang didapatkan dari Allah tanpa dia
bermaksud dan berusaha memperolehnya. Satu contoh dari ilmu ini adalah kemampuan untuk
‘menghilang’ atau “tidak terlihat” oleh orang lain. Ia menceritakan bahwa sebelum
mengamalkan dzikir ia pernah belajar bagaimana caranya supaya bisa ‘menghilang’. Tapi
ternyata tidak berhasil. Justru setelah mengamalkan dzikir ia menceritakan beberapa
pengalaman di mana orang lain seperti tidak menyadari akan kehadirannya. Nardi memahami
hal itu sebagai bentuk dari kemampuannya untuk ‘menghilang’.
Suatu hari anak saya dicari polisi ke rumah. Saya dan anak saya duduk di kursi, tapi
petugas itu tidak tahu. Juga ketika saya dan anak saya bertemu di jalan dengan polisi itu,
lalu saya membaca ayat: wa ja'alna mim baini aidiihim sadda...[surat Yasin], lalu polisi
itu tidak tahu [kalau saya lewat di depannya]. (Nardi, 97-100)
Tema 10: Kedekatan dengan Allah yang ditandai dengan hilangnya ke-aku-an.
Nardi menceritakan bahwa dia merasakan lebih dekat dengan Allah. Ia membuat
perbandingan antara kehidupannya sebelum dan setelah mengamalkan dzikir. Sebelum dzikir,
ia melakukan setiap usaha agar bisa memperoleh kemampuan supranatural. Sementara itu,
setelah mengamalkan dzikir itu ia menegaskan bahwa yang paling penting bagi dirinya adalah
adalah mempelajari bagaimana hidup yang lebih dekat dengan Allah.
“Saya sekarang mempelajari ilmu mendekatkan diri dan berserah diri pada Allah,”
(Nardi , 112).
Karakteristik kedekatan hubungan Nardi dengan Allah ditandai dengan hilangnya rasa
ke-aku-an. Meskipun setelah dzikir ia memiliki kemampuan supranatural dan penyembuhan,
ia merasakan bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan apa-apa. Ia mengungkapkan:
116
“Sekarang saya betul-betul [merasa] tidak punya ["ilmu"] apa-apa,” (Nardi , 114).
Nardi juga mengungkapkan bahwa ia tak mampu melakukan apa pun dengan usahanya
sendiri. Satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah berdoa kepada Allah. Jika seseorang
menghina dirinya, maka ia menafsirkan penghinaan itu sebagai ujian dari Allah dan karena itu
ia harus sabar.
…saya anggap ilmu yang dapatkan di PI ini adalah ilmu untuk memohon pada Allah agar
segala masalah teratasi. Sekarang saya meningkatkan permohonan-permohonan itu
untuk keselamatan dan rejeki, bukan hanya rejeki materi saja, tapi juga ketenangan dan
kebahagiaan (Nardi, 111-115).
Partisipan Badini adalah seorang ibu rumah tangga berusia 48 tahun pada waktu
penelitian ini dilakukan. Ia sudah mengikuti dzikir dalam kelompok Pengajian Ikhlas selama
lima tahun. Badini menceritakan bahwa dia berasal dari keluarga muslim, tetapi mendapat
pendidikan formal di sekolah katolik. Sejak awal Badini selalui mempunyai pandangan negatif
terhadap agama Islam karena selalu dikaitkan dengan hukuman-hukuman. Sebaliknya dia
justru merasa simpatik dengan agama Katolik yang selalu memberikan rasa cinta. Ketika
menginjak remaja dan dewasa, Badini mengalami kegoncangan jiwa, sehingga harus dirawat
oleh psikiater. Oleh karena itu untuk mendapatkan ketenangan jiwa dia mengikuti aliran
kebatinan. Dia berpendapat bahwa di dalam agama Islam tidak mungkin orang dapat
mendapatkan ketenangan, karena selalu saja menekankan masalah hukuman, dosa, neraka.
Oleh karena itu ketika Badini mengenal Pengajian Ikhlas yang mengajarkan dzikir untuk
ketenangan jiwa, dia merasa tidak percaya. Melalui proses yang berliku-liku akhirnya Badini
merasa mantap melaksnakan dzikir di Pengajian Ikhlas.
Banyak pengalaman spiritual yang ditemui Badini ketika melaksanakan dzikir. Antara
lain hilangnya dimensi ruang dan waktu, dimana ketika melaksanakan dzikir dengan khusuk
Badini merasa badannya naik ke atas seperti terbang dan masuk ke dalam bumi. Selain itu dia
juga mendapatkan kemungkinan untuk akses ke masa lalu dan kejadian di masa depan. Badini
juga menceritakan pengalaman memberikan kesembuhan, dengan syarat harus bisa
117
menghilangkan ke-aku-an dan benar-benar berserah diri pada Allah. Badini menyimpulkan
bahwa ada hubungan antara kehidupan fisik dan kehidupan spiritual. Jika hatinya bersih, maka
kehidupan jasmaninya baik. Sebaliknya ketika pikiran dan hatinya kotor, maka badannya sakit.
“Saya menjadi benci [dengan agama Islam], karena guru ngaji saya itu memarahi saya
terus. Padahal pastur di sekolah sangat menyayangi saya,” (Badini , 4-6).
Konflik beragama Badini ditunjukkan oleh niatnya untuk menjadi penganut Khatolik,
tetapi neneknya melarang keras. Badini menceritakan bahwa konflik tersebut menyebabkan
tidak adanya perasaan sebagai seorang Muslim. Walau ‘secara formal’ Badini menganut
agama Islam, tetapi ia tidak melakukan sholat. “Saya tidak melakukan sholat atau puasa dan
saya tidak merasa berdosa. Saya tidak merasa itu kewajiban saya.” (Badini, 17-18).
“Saya cepat sekali naiknya. Saya di Sumarah sangat senang dan mantap,” (Badini , 21-
22).
Di masa jeda tidak mengikuti kegitan di Sumarah, Badini mendengar informasi tentang
metode dzikir yang dilaksanakan oleh kelompok Pengajian Ikhlas. Respon Badini ketika
pertama kali mengenal kelompok Pengajian Ikhlas adalah tidak percaya dan heran. Dalam
pemahamannya, amalan dzikir merupakan metode kebatinan yang memberinya rasa tenang. Ia
tidak dapat mengenali kemungkinan memperoleh kehidupan yang tenang dan damai dalam
agama Islam. Respon itu menunjukkan adanya pandangan negatif Badini pada agama Islam
yang selalu diasosiasikan dengan adanya hukuman-hukuman. Keheranan dan keingintahuan
tentang metode dzikir yang dilaksanakan di luar Sumarah mendorongnya untuk mengenal
Pengajian Ikhlas lebih jauh.
"Gusti Allah kalau saya dapat bertemu dengan Pak Zahid, saya akan masuk Sumarah
lagi. Tapi kalau tidak bisa bertemu, baru saya akan sembahyang,” (Badini , 45-46).
“Di bawah [bumi] itu ternyata bagus sekali. Sinarnya seperti neon atau bulan purnama.
Padahal siang tapi tidak panas. Hawanya nyaman. Lalu ada taman, [ada] air mancur
bagus sekali. Saya terpesona. Saya belum pernah melihat dunia yang seperti itu,” (Badini
, 88-91).
“Sewaktu Pak Tono mau meninggal, saya sudah tahu. Saya melihat ketika dzikir, ada
ruang tamu kosong. Di situ ada peti jenazah. Saya lihat Bu Tono sendirian. Lalu ada
suara: ‘Itu Pak Tono’,” (Badini , 77-79).
Badini menyatakan bahwa apa yang dia lihat ketika sedang dzikir itu terbukti.
Beberapa waktu setelah Badini mendapatkan pengalaman itu, temannya di Pengajian Ikhlas
ternyata benar-benar meninggal.
Akses Badini ke masa lalu ketika ditunjukkan oleh pengalamannya ketika dia bertemu
dengan nenek buyutnya yang sudah meninggal ketika ia masuk ke bumi. Ini berarti bahwa
Badini mengalami waktu tidak secara linier (dulu, sekarang, nanti), tetapi dia mendapatkan
kemungkinan untuk mengalami masa lalu dan masa depan di masa sekarang. Batas-batas
dimensi waktu telah hilang.
“Saya tidak tahu bagaimana. [Tubuh saya] dari atas tiba-tiba terasa dingin. Sepertinya
dada saya itu terbuka. Rasanya seperti terbang. Tak tahulah [bagaimana saya harus
menceritakan]. Pokoknya terbuka semua. Ketika membaca ayat "Arrokhmaanirrokhim"
rasanya saya seperti terbuka. Tidak tahu saya di mana. Jadi saya merasa hilang. Lalu
[seperti ada kekuatan] mengalir ke tangan saya [terus ke tangan Bu Tono].” (Badini ,
105-110).
Perasaan keterdekatan Badini dengan Allah diperkuat oleh pengalamannya yang lain
yang digambarkan sebagai “dzikir yang diterima”. Ia menceritakan bahwa saat ia
mengamalkan dzikir di masjid Pengajian Ikhlas, ia merasakan masjid itu dipenuhi banyak
sekali pengunjung, meski sebenarnya waktu itu hanya sedikit orang di sana. Badini mengacu
pada penjelasan koordinator Pengajian Ikhlas yang menyitir sebuah hadis Nabi yang
mengatakan bahwa para malaikat akan turun mencari orang-orang yang berdzikir secara
berjamaah. Badini memahami bahwa pengalamannya merasakan masjid dipenuhi banyak
orang (padahal kenyataannya hanya sedikit) diinterpretasikan bahwa pada saat itu para
malaikat turun ikut bergabung dalam mengamalkan dzikir. Badini menyimpulkan bahwa pada
waktu itu dzikir yang mereka lakukan diterima oleh Allah.
Bagi Badini, apa yang dia hadapi dalam kehidupan sehari-hari selalu mempunyai
makna yang berkaitan dengan kehidupan spiritual. Adanya saling-hubungan antara kehidupan
sehari-hari dengan kehidupan spiritualnya ditunjukkan oleh beberapa pengalaman yang
124
ditemui. Misalnya pada suatu hari secara tiba-tiba kakinya tertusuk paku. Ia memahami tusukan
itu sebagai peringatan dari Allah karena dia mempunyai “pikiran buruk” pada orang lain.
Badini menceritakan pengalaman lain di mana kanker payudara yang telah ia alami
selama bertahun-tahun tiba-tiba berkembang jadi lebih besar. Padahal selama beberapa waktu
sempat mengecil. Badini mengkaitkan pertumbuhan kanker payudara itu dengan amalan
dzikir. Ketika ia mengamalkan dzikir secara intensif, kanker payudara itu jadi mengecil, akan
tetapi ketika ia tidak serius mengamalkan dzikir, kanker itu berkembang jadi lebih besar.
Pengalaman itu memperkuat pemahamannya bahwa ada saling-keterkaitan antara kehidupan
sehari-hari dan kehidupan spiritual.
Partisipan Minah adalah seorang ibu rumah tangga berumur 52 tahun. Dia telah
mengikuti kelompok Pengajian Ikhlas selama empat belas tahun. Minah mengungkapkan
bahwa dia tidak mendapatkan pendidikan agama waktu kecil, sehingga tidak pernah
menjalankan kewajiban-kewajiban seorang Muslim. Namun sejak kecil dia telah mendapatkan
keyakinan yang mantap tentang adanya Tuhan, walaupun keyakinan tersebut berakar pada
tradisi Jawa. Menginjak usia remaja, terjadi perubahan besar dimana Minah secara intens
mendalami ajaran agama Islam. Dia mengatakan itu semua adalah kehendak Allah. Demikian
juga keterlibatannya dengan Pengajian Ikhlas dianggapnya sebagai kehendak Allah, karena
pada awalnya menentang amalan dzikir yang yang dilaksanakan suaminya. Setelah
melaksanakan dzikir di Pengajian Ikhlas, Minah banyak mendapatkan pandangan-pandangan
spiritual (vision). Salah satu pandangan spiritual yang dilihat pada waktu dzikir adalah candi
Borobudur. Semula dia menolak atau berusaha menghilangkan pandangan itu karena dia
menganggap candi itu sebagai bentuk berhala. Namun akhirnya dia belajar toleran terhadap
agama lain, karena Allah memberikan bakat kepada manusia untuk membuat patung. Asalkan
tidak disembah. Selain itu Minah juga melihat mahluk halus yang berusaha mengganggu
usahanya melaksanakan dzikir. Dia berkesimpulan bahwa ada kaitan antara kehidupan fisik
dan dan kehidupan spiritual. Dengan menghilangkan rasa ke-aku-an Minah dapat mencapai
kepasrahan total kepada Allah.
“Saya berdoa kepada Tuhan dengan cara Jawa, misalnya, berpuasa pada hari Senin
dan Kamis.” (Minah , 6).
“Tanpa ikut dzikir, saya juga menangis kalau mendengarkan ceramah agama atau
mendengar ayat-ayat Al Quran (Minah, 20-22).
“Dia mengatakan, meskipun istri sendiri kalau belum dibukakan Allah tidak akan
mengerti (Minah, 16-17).
Argumen yang diungkapkan suami Minah bahwa masalah dzikir adalah kehendak
Allah, bukan keinginan manusia, justru menimbulkan rasa ingin tahu yang besar pada diri
Minah . Ia mencoba untuk mengikuti amalan dzikir. Minah merasa yakin bahwa ia akan bisa
melaksanakan dzikir juga seperti suaminya karena selama ini ia telah mempunyai keterlibatan
yang cukup intense dalam masalah agama. Tetapi ketika ia melaksanakan dzikir di Pengajian
Ikhlas pertama kali, ternyata Minah tidak berhasil melaksanakan dzikir. Bahkan Ia
mengatakan: “…Saya malah pusing kalau dzikir,” (Minah, 19)
Kegagalan dalam melaksanakan dzikir itu memberikan konfirmasi pada Minah akan
kebenaran ungkapan suaminya bahwa kehendak Allah memainkan peranan yang penting dalam
menentukan siapa yang bisa mengamalkan dzikir. Usaha manusia saja tidak akan bisa tanpa
ada pertolongan Allah.
“Sejak saat itu, hati saya terbuka. Kesombongan saya mulai terkikis.” (Minah,, 27)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa BM menghubungkan terbukanya hati dengan hilangnya
rasa ke-aku-an dan lunturnya kesombongan.
Peristiwa kedua yang membantu hilangnya ke-aku-an Minah terjadi ketika dia
menyaksikan anggota Pengajian Ikhlas yang mengamalkan dzikir dan melakukan sholat
dengan gerakan di luar kehendak mereka. Hal itu disebabkan mereka telah berhasil
membersihkan diri. Peristiwa itu membuat Minah merasa terpukul, karena selama ini justru
dia merasa dirinya adalah orang yang paling baik. Kesombongan itu dipahami sebagai indikasi
dari hati yang masih kotor. Oleh karena itu, setelah menyaksikan peristiwa tersebut, Minah
kemudian merasa dirinya " ...masih kotor dan kecil sekali di hadapan Allah." (Minah, 29)
Dengan hilangnya rasa ke-aku-an dan kesombongan itu, serta munculnya perasaan
bahwa dirinya masih kotor dan kecil di hadapan Allah, maka Minah mulai dapat menerima
petunjuk Allah dan mendapatkan pengalaman-pengalaman dalam dzikir.
Minah menceritakan pandangan spiritual yang lain saat ia sedang mengamalkan dzikir
di mana ia “melihat” sebuah titik kecil di kejauhan yang secara perlahan datang mendekati ke
arah dirinya. Ketika titik itu sangat dekat dengannya, ia segera menyadari bahwa itu adalah
Candi Borobudur. Responnya terhadap pandangan ini adalah terkejut. Ia berusaha “menolak”
pandangan ini, karena dia menganggap bahwa candi adalah lambang berhala dari agama Hindu
atau Budha. Tetapi meskipun Minah berusaha menolak, pandangan itu menjadi lebih jelas.
“Saya hampir menjerit, karena waktu itu saya benci sekali dengan [segala bentuk]
berhala.” (Minah, 53-54).
Minah menceritakan pengalaman dzikir ketika dia membaca lafadz laa ilaa ha illallah,
dan dapat mencapai kondisi pasrah, berserah diri kepada Allah secara total. Pada saat itu tiba-
tiba ia merasa bahwa ada makhluk halus yang “tidak menyukai” penyerahan totalnya kepada
Allah. Mahluk halus itu kemudian berusaha mengganggu usahanya mendekatkan diri kepada
Allah.
Minah menceritakan sejumlah gangguan yang dialaminya dari makhluk halus. Pertama,
ketika ia mengamalkan dzikir ia mendengarkan suatu suara yang memberitahunya bahwa:
“Kamu itu kok mubadzir, menyebut-nyebut nama Allah. Allah itu tidak ada, ” (Minah, 78-79).
Ketika pertama mendengar suara itu, Minah secara otomatis mempercayainya,
sehingga dia merasa putus asa dan tidak berguna. Apalagi usaha kuatnya untuk mengingat
Allah dianggap membuang waktu saja. Namun perasaan itu hilang dengan cepat setelah ia
dapat mengidentifikasi bahwa suara itu berasal dari makhluk halus yang berusaha menipu
dirinya dengan mengatakan sesuatu yang tidak benar.
Selain berusaha membuat tipu muslihat itu, Minah juga mengalami bahwa mahluk
halus juga selalu berusaha menakut-nakuti dirinya. Ia menceritakan sebuah pandangan spiritual
pada waktu dalam kondisi sadar di mana ia melihat dua sosok ‘makhluk jahat’ dalam bentuk
orang dewasa dan anak-anak datang ke rumahnya, kemudian tiba-tiba mereka hilang. Peristiwa
itu ternyata tidak berhenti sampai di situ. Selanjutnya Minah mengungkapkan bahwa dia
mendapatkan mimpi-mimpi buruk. Sepertinya mahluk halus itu menteror Minah melalui
mimpi. Akibatnya Minah menjadi sangat ketakutan ketika ia akan tidur. Setiap kali ia
memejamkan matanya, makhluk halus itu terlihat dalam banyak bentuk yang amat
menakutkan. Ia melukiskan mimpi-mimpi paling menakutkan sebagai berikut:
130
“Waktu itu saya mau tidur melihat jam, ternyata jam 12 malam. Begitu saya menutup
mata, jendela [kamar saya] terbuka lebar. Di luar ada petir menyambar dahsyat sekali.
Saya pikir dunia akan kiamat. Saya takut sekali, lalu saya membaca ayat kursi yang tiba-
tiba sudah tertulis di tembok. Tempat tidur saya lalu menjadi terang benderang. Tiba-tiba
di dekat saya ada api menyala, seperti ada bensin kena api. Kemudian ada tiga atau empat
orang kakek-kakek mengelilingi saya, tapi tubuhnya pendek-pendek. Mukanya merah-
merah. Saya seperti menolak mereka. Yang terakhir di belakang saya seperti ada suatu
sosok yang bukan main tingginya. Mahluk itu mengeram kesal, jengkel. Kakinya dibanting
ke tanah sambil berdecak kesal. Saking dahsyatnya suara itu membuat saya sangat
ketakutan. Setelah itu saya terbangun. Ternyata saya sudah membaca ayat kursi sebanyak
150 kali,” (Minah, 84-94).
Oleh karena itu, Minah merespon kejadian itu dengan membaca istigfar, meminta ampun
kepada Allah. Hal itu menunjukkan penyesalan dan taubatnya.
Tema 10: Kepasrahan total pada kehendak Allah terkait hilangnya ke-aku-an.
Partisipan Endi adalah seorang laki-laki berumur 25 tahun. Ia masih berstatus sebagai
mahasiswa sebuah perguruan tinggi Islam di Yogyakarta ketika penelitian ini dilaksanakan.
Keanggotaan Endi dalam kelompok PI relatif baru, yaitu sekitar satu tahun. Dia mengisahkan
bahwa kehidupannya sejak kanak-kanak diwarnai dengan mempelajari ajaran agama Islam
secara intensip, baik secara informal di rumah, maupun secara formal di sekolah. Karena itu
ketika remaja, muncul sedikit kebosanan belajar ilmu agama. Ia ingin belajar ‘ilmu’ lain untuk
mendapatkan kemampuan tenaga dalam. Motivasi inilah yang mendorong dia mengikuti
Pengajian Ikhlas. Endi menceritakan beberapa pengalaman yang aneh (misalnya seperti tidak
dilihat orang), atau mengalami peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Semua pengalaman itu
133
mempunyai makna yang penting dalam dirinya, yang mengembangkan kesadarannya terhadap
nilai-nilai moral. Semua itu merupakan pelajaran dari Allah supaya dia bersikap jujur, tidak
merugikan orang lain dan tidak sombong. Di sini dia memperoleh pemahaman tentang ajaran
agama Islam lebih mendalam. Bukan hanya sekedar ‘mengetahui’ saja, tetapi dia dapat
‘memahami’ makna di balik ajaran agama tersebut.
Endi mengungkapkan bahwa dia dibesarkan dalam lingkungan yang sangat kental
dengan nuansa agama. Sejak masa kanak-kanak dia rajin mengaji. Bahkan belajar agama Islam
adalah napas kehidupan sehari-harinya. Sejak SD hingga perguruan tinggi, dia belajar di
sekolah dan perguruan tinggi Islam. Di situ dia memahami bahwa ajaran Islam sebagai
pengetahuan paling tinggi dibandingkan dengan pengetahuan ilmiah, khususnya teori-teori
psikologi yang ia pelajari dari majalah-majalah psikologi.
Bagi Endi Ajaran Islam mencakup petunjuk kehidupan manusia, baik dalam kehidupan
jasmani dan spiritual. Sementara itu teori-teori psikologi hanya berhubungan dengan perilaku
manusia. Endi berkeyakinan kuat bahwa ajaran Islam jauh lebih sempurna dibandingkan
psikologi. Oleh karena itu, Endi berpendapat bahwa ketimbang mengikuti teori-teori psikologi,
ia lebih senang menerapkan ajaran Islam untuk memecahkan permasalahan kehidupan sehari-
hari.
“… untuk mengikuti perguruan itu ada syarat di mana syarat itu membuat saya
meninggalkan sholat. Saya tidak mau meinggalkan sholat hanya karena tergila-gila
dengan ilmu it.,” (Endi, 18-20).
Kontak awal Endi dengan kelompok Pengajian Ikhlas memberinya harapan tentang
kemungkinan mendapat tenaga dalam dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan
tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ia mengungkapkan dengan jelas bahwa
motivasinya bergabung dengan kelompok Pengajian Ikhlas adalah untuk memperoleh tenaga
dalam. Dia mendapat informasi bahwa di Pengajian Ikhlas orang bisa mendapatkan berbagai
kemampuan supranatural.
Endi mengisahkan sebuah pengalaman yang berkaitan dengan aspek supranatural dari
amalan dzikir, di mana ia bisa menjadi tidak terlihat oleh orang lain. Pengalaman itu terjadi
ketika Endi mengikuti perintah ayat Al Qur’an untuk menyebut nama Allah dalam hati di
setiap saat, baik ketika sedang duduk, berbaring, dan berdiri. Endi menceritakan bahwa pada
waktu itu ia sedang naik bus dan dia terus menerus berdzikir. Ternyata kemudian dia tidak
diminta untuk membayar tiket. Endi beranggapan:
“Kondekturnya sampai tidak melihat saya. Padahal saya duduk paling depan, tapi tidak
ditarik [ongkos]. (Endi, 35-36).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa Endi merasa dirinya tidak terlihat oleh kondektur bus
sehingga tidak perlu membayar. Untuk memberi keyakinan bahwa pengalaman yang ditemui
Endi adalah otentik, Endi menyebutkan salah satu anggota Pengajian Ikhlas lain yang memiliki
pengalaman serupa.
135
Pengalaman ‘menjadi tak terlihat’ menunjukkan adanya potensi amalan dzikir dalam
mempengaruhi dimensi fisik. Di sini tubuh fisik dapat dialami sebagai tubuh spiritual dengan
kemungkinan “tak terlihat” bagi orang lain.
Namun demikian, setelah mendapatkan pengalaman ‘menjadi tak terlihat’ Endi merasa
bahwa hal itu menyalahi etika moral. Ia telah merugikan orang lain. Endi juga mengisahkan
sebuah pengalaman dimana ia terpaksa harus mengeluarkan uang. Anehnya, jumlah uang yang
harus dikeluarkan itu persis sama dengan jumlah ongkos naik bus. Endi kemudian
menyimpulkan bahwa pengalaman itu adalah balasan dari Allah yang memberikan keadilan,
karena dia telah merugikan orang lain.
“Coba kita hayati: inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati 77 . [Di situ saya
menyadari] bahwa ayat itu sudah saya baca sejak kecil [kalau sholat]. Tapi tidak saya
hayati, [sehingga saya masih takut mati]. [Sekarang saya pikir] kenapa kita takut mati.
(Endi, 26-29).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa EL sudah lama mengenal ajaran Islam yang
diwujudkan dalam lafadz yang selalu dibaca dalam, namun makna lafadz itu baginya terbatas
bendahara Pengajian Ikhlas tidak pernah memeriksa keuangan. Namun saat itu tiba-tiba
bendahara tersebut memerikasa keuangan. Endi sangat terkejut. Meskipun ia tidak punya niat
sama sekali untuk mengambil uang itu untuk kepentingan diri sendiri, pemeriksaan tiba-tiba
oleh bendahara itu bagi Endi bukan merupakan suatu ‘kebetulan’ tapi merupakan peringatan
dari Allah.
Endi menjelaskan bahwa setelah melaksanakan dzikir dia memiliki ‘kemampuan’ fisik
dan supranatural yang merupakan anugerah dari Allah.
Berkaitan dengan ‘kemampuan’ fisik, Endi menceritakan sebuah pengalaman di mana
ia memiliki kesehatan dan daya tahan tubuh yang sangat baik. Dia tidak pernah sakit dalam
waktu lama. Mula-mula ia memahami kesehatan fisiknya itu disebabkan karena dia rajin
mengamalkan dzikir. Endi merasa sudah berhasil melaksanakan dzikir dan mempunyai
kekuatan fisik di atas orang kebanyakan. Kesimpulan itu ternyata digugurkan oleh pengalaman
lain. Suatu saat ketika Endi sedang ke kampus, tiba-tiba hujan lebat. Karena merasa sudah
mengetahui caranya supaya mendapatkan kekuatan fisik, maka Endi terus berdzikir menyebut
nama Allah di hatinya ketika berjalan di bawah hujan. Tetapi kenyataannya setelah sampai di
rumah justru dia sakit. Peristiwa itu membuat Endi menyadari bahwa dia telah merasa
sombong dan egois. Seakan kesehatan yang selama ini diperoleh adalah karena ‘kesuksesan’
dia dalam melaksanakan dzikir. Akhirnya Endi memahami bahwa semua itu adalah kehendak
dari Allah.
Pemahaman Endi tentang peranan kehendak Allah yang mempengaruhi kehidupannya
diperkuat oleh pengalaman lain. Suatu saat ia mencoba memberikan ramalan waktu yang tepat
kapan hujan akan berhenti. Ketika ramalannya berkali-kali benar, Endi merasa bahwa ia
mempunyai kemampuan untuk mengetahui peristiwa sebelum terjadinya. Namun, suatu saat
perasaan tersebut luntur oleh fakta bahwa peramalannya tidaklah selalu benar. Karena itu ia
menyimpulkan bahwa kemampuan apa pun yang dia miliki selalu dipahami sebagai refleksi
dari kehendak Allah. I menyimpulkan:
“Jadi bukan kita yang berkehendak. Semata-mata dari Allah. Kita tak boleh sombong,”
(Endi, 69-70).
Pada sub bab 4.1. sampai 4.9. saya telah membahas proses transformasi religius pada
setiap partisipan melalui analisis tema-tema. Dari analisis tersebut dapat dilihat bahwa
pengalaman dzikir pada setiap partisipan mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Tetapi tampak
juga beberapa kesamaan. Oleh karena itu pada bagian ini saya akan membandingkan tema-
tema pengalaman dzikir antar partisipan.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses terjadinya transformasi
religius, saya membagi tema-tema yang muncul pada seluruh partisipan ke dalam empat
kelompok tema. Setiap kelompok merepresentikan satu episode dari proses transformasi.
Episode pertama dinamakan ‘episode pra-dzikir’ yang mencakup kehidupan religius partisipan
dari masa kanak-kanak sampai ke kontak pertama mereka dengan kelompok Pengajian Ikhlas.
Episode kedua saya sebut ‘episode kontak awal dengan Pengajian Ikhlas’ yang meliputi
pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang mengawali bergabungnya partisipan ke
dalam kelompok Pengajian Ikhlas dan mempraktekkan dzikir. Episode yang ketiga dinamakan
‘episode pengalaman dzikir’. Selama episode itu kebanyakan partisipan melaksanakan dzikir
secara intensif dan melaporkan banyak pengalaman religius terkait dengan praktek dzikir.
Episode keempat adalah ‘episode pembaharuan kehidupan religius’ yang mencerminkan
kehidupan religius partisipan yang baru. Pada episode itu, praktek dzikir telah terintegrasi
dalam kehidupan religius partisipan.
Ada dua tema pokok yang muncul dalam episode ini. Pertama, kehidupan beragama
partisipan sebelum mengikuti dzikir pada umumnya bersifat ‘turunan’ dan superfisial. Hal ini
terlihat pada kehidupan beragma Handono, Nardi, Arman, dan Santi. Secara lebih spesifik
Arman menggambarkan dirinya sebagai orang Islam KTP, yang bermakna bahwa agama itu
ada hanya di kartu identitasnya, tidak ada di dalam dirinya. Sementara itu, Sugeng menyatakan
bahwa dia sebenarnya tidak mempunyai minat untuk belajar agama Islam. Ia merasa terpaksa
harus pergi mengaji karena perintah orangtuanya. Sementara itu bagi Santi lebih
mementingkan dimensi sosial dari agama Islam dibandingkan dengan dimensi ibadah sholat.
Dia menyatakan loyalitasnya yang sangat kuat terhadap organisasi Islam secara ‘fanatik’,
sedangkan komitmennya dalam melaksanakan sholat sangat ‘longgar’.
139
Sejumlah partisipan (Handono, Nardi, Arman) mengungkapkan bahwa dalam
melaksanakan sholat, mereka hanya menjalani rutinitas dan formalitas saja, tanpa merasakan
adanya hubungan dengan Allah. Motif mereka melaksanakan ritual agama pada umumnya
bersifat egosentris. Misalnya, Handono dan Nardi menyatakan bahwa mereka melaksanakan
sholat dan puasa hanya untuk mendapatkan kekuatan supranatural. Sementara itu Marta
mengungkapkan motivasinya melaksanakan sholat adalah karena takut pada hukuman masuk
neraka.
Karena kehidupan beragama mereka hanya bersifat superfisial saja, maka nilai-nilai
agama tidak tercermin dalam tindakan mereka. Perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari
bahkan kadang tidak sesuai dengan moralitas Islam. Santi dan Nardi secara terus terang
menggambarkan kehidupan mereka penuh dengan dosa. Santi menganggap dirinya sebagai
seorang munafik, karena di satu sisi dia aktif memperjuangkan organisasi Islam, di sisi yang
lain dia juga melakukan perbuatan yang dilarang agama. Santi mengatakan bahwa ia pernah
membaca buku ‘Dua Puluh Tujuh Dosa Besar,’ dan ternyata hampir semuanya sudah dilakukan,
meskipun hanya sedikit-sedikit. Hal serupa dialami oleh Nardi. Dia menjelaskan bahwa sebelum
melaksanakan dzikir dia telah melaksanakan hampir semua perbuatan dosa yang termasuk
dalam mo-limo (lima jenis perbuatan dosa besar) dalam konsep budaya Jawa, yaitu maling
(mencuri), main (berjudi), minum (mabuk minuman keras), dan madat (menghisap ganja).
Nardi mengatakan hanya madon (berzina) yang tidak dia lakukan.
Tema utama kedua dalam episode ini adalah adanya pengaruh penting dari tradisi-
tradisi lain, selain Islam, dalam kehidupan agama para partisipan. Secara khusus yang
dimaksud adalah tradisi budaya Jawa dan tradisi agama Katholik. Pada Minah, tradisi Jawa
yang terfokus pada dimensi kehidupan spiritual berhasil memberi dasar yang kuat bagi
perkembangan keyakinannya terhadap eksistensi Tuhan. Sementara itu Badini bahkan terlibat
secara intensif dalam kegiatan aliran kebatinan untuk mendapatkan ketenangan batin.
Handono dan Nardi berusaha memadukan tradisi Jawa dengan ajaran agama Islam. Meskipun
sebagai orang Islam, mereka juga banyak melakukan kegiatan yang terkait dengan tradisi Jawa.
Misalnya mereka mengikuti perguruan ilmu tenaga dalam dan berusaha memperoleh
kemampuan supranatural dengan melaksanakan puasa.
Pada umumnya partisipan dalam penelitian ini dapat memadukan secara harmonis
tradisi Jawa dengan agama Islam, sehingga tidak terjadi pertentangan. Sementara itu, pengaruh
agama Katholik dalam kehidupan partisipan mengandung potensi untuk menimbulkan konflik
140
batin. Tema konflik beragama ini terlihat pada Arman dan Badini. Meskipun keduanya berasal
dari keluarga yang beragama Islam, tetapi mereka mendapatkan pendidikan formal di sekolah
Katolik. Mereka selalu membandingkan kondisi umat Islam dan umat Katolik. Dalam
pandangan mereka umat Islam itu kurang simpatik, selalu membicarakan masalah hukuman,
kemarahan, dosa, dan dalam hubungan antar sesama manusia kurang baik. Akibatnya kedua
partisipan tersebut selalu bersikap negatif. Bahkan mereka sempat mengungkapkan rasa
kebenciannya terhadap umat Islam pada waktu itu. Sebaliknya mereka cenderung lebih
bersimpati pada pemeluk agama Katolik. Arman dan Badini mendapatkan pengalaman yang
mengesankan dalam menjalin hubungan dengan pengikut agama Katholik, yang digambarkan
sebagai hubungan yang penuh cinta dan kepedulian. Di situlah tempat konflik batin bagi
partisipan. Umat satu agamanya sendiri dibenci, sementara umat agama lain dicintai.
Dari tema-tema yang telah dibahas, ada empat tema pokok yang bisa dikategorikan
pada episode ini, yaitu (1) secara intensif mendalami Islam, (2) pengalaman penderitaan, (3)
rasa ingin tahu, (4) peranan penting pimpinan Pengajian Ikhlas
Pada episode ini para partisipan sudah mengalami keterlibatan intensif dalam agama
Islam, baik pada dimensi rasional maupun dimensi emosional. Keterlibatan rasional partisipan
pada agama Islam ditunjukkan dengan semangat mereka untuk mengkaji ajaran Islam. Minah
sangat rajin membaca al-Qur’an. Sugeng banyak membaca buku-buku agama Islam. Sementara
Arman menggunakan pemikiran logis dan pengetahuan ilmiah dalam memahami agama Islam.
Kedua partisipan tersebut mengatakan bahwa mereka ‘haus’ untuk mempelajari agama. Pada
dimensi emosional, keterlibatan partisipan dalam agama Islam ditunjukkan dengan keseriusan
dalam melaksanakan ibadah, seperti yang dialami oleh Santi. Minah dan Arman menjadi sangat
peka dan memiliki responsivitas emosional yang tinggi dengan ayat-ayat al-Qur’an. Hati
mereka sangat mudah tersentuh ketika mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan.
Tema umum kedua dalam episode ini adalah adanya pengalaman penderitaan
(suffering) di mana mereka mengalami krisis kehidupan. Santi sempat mengalami depresi
karena suaminya kawin lagi dan sering mengancamnya akan membunuhnya. Nardi
menngisahkan bahwa satu persatu anggota keluarganya jatuh sakit pada waktu yang berurutan.
Sementara itu Badini sempat harus dirawat oleh psikiater karena jiwanya tidak stabil
menghadapi berbagai macam masalah kehidupan. Arman mempunyai pengalaman yang agak
141
lain. Dia tidak mengalami sendiri krisis kehidupan, tetapi dia harus bertanggung jawab
terhadap situasi krisis dan kritis temannya yang mengalami kecelakaan sangat fatal.
Bagi partisipan, pengalaman suffering yang terjadi menjelang mereka bergabung
dengan kelompok Pengajian Ikhlas mempunyai makna yang sangat dalam. Umumnya mereka
menganggap pengalaman suffering tersebut sebagai peringatan dari Allah atas apa yang telah
merekalakukan sebelumnya. Lebih jauh lagi, pengalaman tersebut mengakibatkan perubahan
kehidupan partisipan yang dramatis, yaitu dari kehidupan yang jauh dari Allah, bahkan
kehidupan yang bertentangan dengan ajaran agama (Santi, Nardi), menuju kehidupan yang
penuh pengabdian kepada Allah.
Tema yang ketiga pada episode ini berkaitan dengan timbulnya rasa ingin tahu yang
mendorong mereka untuk melakukan kontak dengan kelompok Pengajian Ikhlas. Partisipan
yang menyebutkan adanya rasa ingin tahu ini antara lain Sugeng, Arman, Marta, Badini dan
Minah. Mereka penasaran, khususnsya untuk mengetahui tentang amalan dzikir dan umumnya
tentang kelompok Pengajian Ikhlas. Handono juga menyatakan rasa penasaran dan ingin
tahunya. Tetapi lebih terfokus pimpinan Pengajian Ikhlas. Dia ingin mengethui ‘ilmu’ apa yang
dimiliki oleh pimpinan Pengajian Ikhlas itu sehingga dia tidak mampu mendeteksinya dengan
‘ilmu’ yang dimilikinya.
Setelah mengenal Pengajian Ikhlas dari dekat, tiga orang partisipan, yaitu Handono,
Minah dan Sugeng langsung bisa memahami dan menerima amalan dzikir khas Pengajian
Ikhlas, meskipun agak lain dengan amalan dzikir yang dilakukan pada umumnya orang Islam.
Beberapa partisipan yang lain, yaitu Arman, Marta, dan Badini justru mengalami perasaan
tidak percaya, dan ragu-ragu untuk mengikuti lebih lanjut. Mereka umumnya mempertanyakan
apakah amalan dzikir seperti itu merupakan ajaran Islam atau tidak. Arman mengkaitkan
amalan dzikir Pengajian Ikhlas dengan praktek meditasi, ilmu mistik supranatural. Marta
menghubungkannya dengan hipnotisme. Sementara itu Badini menganggap bahwa amalan
dzikir Pengajian Ikhlas itu adalah metode dari kelompok kebatinan Jawa.
Tema penting lainnya yang muncul pada episode ini adalah adanya peran penting dari
pimpinan Pengajian Ikhlas. Arman, Marta, dan Nardi menyatakan bahwa pimpinan Pengajian
Ikhlas dapat memberikan penjelasan mengenai dasar-dasar Al Qur’an dan Hadist dari amalan
dzikir. Juga menganalisis secara rasional dan logis mengenai pengalaman-pengalaman dzikir,
sehingga dapat membawa partisipan yang ragu dapat menerima. Mereka akhirnya meyakini
bahwa amalan dzikir Pengajian Ikhlas mempunyai dasar agama Islam yang sangat kuat.
142
Peranan pimpinan Pengajian Ikhlas untuk mempengaruhi pengikut yang baru tidak
hanya pada level rasional dan teologis semata, tetapi juga berpengaruh pada level spiritual. Dua
orang partisipan mengalami kontak batin atau kontak spiritual dengan pimpinan Pengajian
Ikhlas. Handono mengisahkan bahwa sejak awal pertemuannya dengan pimpinan Pengajian
Ikhlas ia merasakan ada kontak batin. Dengan kemampuan ‘pandangan batin’ yang dimiliki,
Handono mencoba ‘mendeteksi’ kemampuan supranatural dari koordinator Pengajian Ikhlas
tersebut. Tetapi Handono gagal karena dia justru ‘melihat’ ada tabir yang meliputi tubuh
koordinator Pengajian Ikhlas tersebut. Di sini Handono dan pimpinan Pengajian Ikhlas
langsung mengalami kontak spiritual. Sementara itu Sugeng harus mengalami kontak fisik
terlebih dulu supaya bisa mengalami kontak spiritual. Sugeng menceritakan bahwa di awal
mengikuti dzikir dia tidak bisa merasakan apa-apa, tetapi suatu saat ketika dzikir dia duduk
berdekatan dengan pimpinan Pengajian Ikhlas dengan lutut saling bersentuhan. Kontak fisik
ini langsung diikuti dengan kontak spiritual sehingga Sugeng dapat merasakan dzikir di seluruh
tubuh.
Tema-tema yang termasuk dalam episode ini antara lain: pengalaman penyucian diri,
pencerahan ajaran agama Islam, masa ‘transisi’, dzikir sebagai pengalaman jasmaniah, dan
berbagai bentuk pengalanan spiritual, termasuk diantaranya adalah pengalaman penyembuhan.
a) Tema Penyucian
Tema pengalaman penyucian diri pada umumnya berkaitan dengan amalan dzikir
khusus yang disebut sujud mutlak. Hal ini dialami oleh partisipan Handono, Nardi, dan Marta.
Ada kesamaan manifestasi dari pengalaman penyucian tersebut antara ketiga partisipan.
Mereka semua mengungkapkan adanya gerakan-gerakan fisik otomatis yang muncul tanpa
mereka kehendaki sendiri. Pada Handono dan Nardi, gerakan-gerakan otomatis tersebut mirip
dengan gerakan bela diri. Sementara pada Marta muncul gerakan membersihkan badan secara
berulang-ulang. Hal ini juga dialami oleh Handono, dimana ketika dzikir dia melakukan
gerakan-gerakan seperti orang berwudhu.
Penafsiran terhadap gerakan-gerakan yang muncul tanpa dapat dikendalikan pada
umumnya mengacu pada penjelasan dari pimpinan Pengajian Ikhlas. Dikatakan bahwa dzikir
143
berfungsi untuk membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh dan kecintaan-kecintaan terhadap
selain Allah. Oleh karena itu kalau sebelum dzikir orang mempunyai ‘ilmu-ilmu’ lain, seperti
ilmu silat, tenaga dalam atau ilmu supernatural lain, maka ilmu tersebut akan dikeluarkan.
Orang yang bersangkutan akan melakukan berbagai gerakan silat. Dalam konteks ini Handono
menjelaskan bahwa dzikir merupakan metode untuk mengaktifan kekuatan Illahi dalam
dirinya. Aktifnya kekuatan Ilahi itu berlawanan secara diametral dengan kekuatan supranatural
yang diperoleh dari perguruan bela diri. Handono beranggapan bahwa kekuatan supranatural
yang telah diperolehnya dari perguruan bela diri tenaga dalam dahulu merupakan kekuatan
kotor. Di sini Handono menginterpretasikan gerakan-gerakan tersebut sebagai sebuah
penyucian eksistensial. Pengalaman serupa juga ditemukan pada Nardi
Termasuk dalam proses penyucian adalah membersihkan bekasan-bekasan perbuatan
syirik. Hal ini tampak pada pengalaman Marta. Setelah melaksanakan dzikir justru dia
mendapatkan penyakit kulit, seluruh badannya gatal semua. Dia mengaitkan peristiwa ini
dengan perbuatannya di masa lalu. Ia kemudian menyadari bahwa dahulu ia pernah belajar
tentang ‘ilmu kebal’ sebagai sarana untuk keselamatan dirinya yang kemungkinan termasuk
syirik
Pengalaman penyucian partisipan tidak hanya terjadi pada dimensi fisik, tetapi juga
sampai pada dimensi psikologis, sosial dan spiritual. Penyucian dalam dimensi psikologis dan
sosial terlihat dalam pengalaman Marta. Dia mengungkapkan pengalaman seperti menjadi
‘orang baru’ dimana semua beban pikiran dan hati yang mengganggu kehidupannya di masa
lalu seperti tiba-tiba lenyap. Selain itu hubungannya dengan orang lain juga menjadi lebih baik.
Sebelum mendapatkan pengalaman itu Marta sering merasa rendah diri kalau berhubungan
dengan orang lain, terutama ketika berhubungan dengan orang yang lebih tinggi dengannya.
Misalnya dengan orang yang lebih tinggi posisinya (pimpinan), atau orang yang lebih pandai
atau lebih kaya. Setelah mersakan pengalaman pembersihan diri dia merasa lebih berani dan
percaya diri.
Penyucian spiritual ditunjukkan oleh pengalaman partisipan Handono di mana ketika
melaksanakan sujud mutlak dia justru ‘melihat’ tangannya penuh dengan kotoran tinja dan
binatang-binatang kotor lain. Selanjutnya tanpa dikehendaki tubuhnya bergerak seakan-akan
dia sedang melaksanakan wudhu. Saat itu juga Handono melihat kedua tangannya putih
berkilau.
144
Pengalaman penyucian diri yang digambarkan di ataas selanjutnya mengarahkan
partisipan untuk melaksanakan sholat secara spontan, tanpa mereka kehendaki. Pengalaman
ini umumnya dilakukan oleh partisipan yang melakukan sujud mutlak. Tiga orang partisipan,
yaitu Handono, Marta, dan Nardi melaksanakan sholat tersebut secara ‘lengkap’ dari awal
hingga akhir. Sementara itu Minah dan Arman hanya melaksanakan ‘sebagian’ saja dimana
mereka langsung bersujud tanpa mereka kehendaki sendiri. Semua partisipan di atas
memahami timbulnya gerakan sholat sebagai indikator bahwa mereka telah sepenuhnya larut
dalam melaksanakan dzikir, benar-benar berserah diri kepada Allah.
d). Pencerahan
Tema penyucian juga berhubungan dengan tema lain, yaitu pencerahan ajaran agama.
Sejumlah partisipan (Handono, Arman, Minah, Marta dan Endi) mengalami pencerahan di
mana mereka sampai pada pemahaman makna dasar dari ritual-ritual agama Islam, dan juga
pemahaman mendasar dari ayat-ayat al-Qur’an Partisipan sampai pada pemahaman tentang
aspek ‘batiniah’ dari agama. Misalnya, Handono memahami bahwa ritual wudlu yang
dilakukan sebelum melaksan sholat sebagai sebuah proses pembersihan secara menyeluruh.
Tidak hanya pembersihan tubuh fisik saja tapi juga sampai pada tubuh spiritual. Sementara itu
Marta memahami ritual shalat sebagai sebuah ritual yang bersifat ‘universal’. Artinya bahwa
gerakan-gerakan fisik dari sholat merupakan respon alamiah ketika secara spiritual orang
menyerahkan diri kepada Allah dengan menyebut nama-Nya di dalam hati.
Arman dan Minah mengungkapkan bahwa pemahaman mereka mengenai ayat-ayat al-
Qur’an juga semakin dalam.
b) Tema Transisi
Munculnya keyakinan yang sangat kuat pada ajaran Islam (haqqul yakin) pada
beberapa partisipan menimbulkan kondisi yang disebut oleh pengikut Pengajian Ikhlas sebagai
‘masa transisi’. Tema transisi yang ditandai dengan kondisi ekstrem, tampaknya hanya dialami
oleh partisipan yang melaksanakan sujud mutlak, misalnya ditemukan pada Handono, Minah,
Marta, Arman, dan Nardi. Pada partisipan yang melaksanakan dzikir biasa, kondisi ekstrem
tersebut tidak ditemukan.
antara lain .
145
Pengalaman transisi itu ditandai oleh beberapa karakteristik, antara lain motivasi yang
kuat untuk mengamalkan dzikir dan mempelajari serta menyebarkan agama Islam. Ini terlihat
pada Arman dan Santi. Mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang yang ‘haus agama’.
Bagi Handono, pengalaman transisi juga ditandai dengan perasaan menjadi orang ‘paling
benar’, dalam pengertian bahwa mengamalkan dzikir dalam jamaah Pengajian Ikhlas itu
dipercaya sebagai satu-satunya jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan yang paling benar.
Bagi Arman, transisi itu ditandai dengan penolakan kehidupan duniawi. Dia memusatkan
seluruh perhatian dan kegiatan sehari-harinya pada masalah-masalah agama. Sementara itu
kegiatan-kegiatan yang bersifat duniawi diabaikan, karena ia memahami bahwa kehidupan di
dunia ini ‘tidak punya nilai’ dibandingkan dengan kehidupan akhirat.
Kondisi transisi ini pada umumnya berlangsung sementara waktu saja. Setelah
mendapatkan pengalaman dzikir lebih banyak dan pengalaman kehidupan yang lebih luas,
partisipan dapat kembali dalam kehidupan yang normal dan seimbang. Hal ini jelas terlihat
pada Handono dan Arman.
Empat tema umum muncul dalam episode ini, yang menandai pembaruan kehidupan
religius partisipan. Pertama, partisipan mengalami hubungan dekat dengan Allah yang ditandai
oleh hilangnya ke-diri-an (selflessness), ketergantungan dan kepasrahan total pada kehendak
Allah. Kedua, partisipan mengalami keterlibatan total di dalam agama Islam yang mencakup
dimensi rasional, emosional, sosial dan juga mistikal. Ketiga, partisipan mengalami pentingnya
al-Qur’an dalam dunia-kehidupan (life-world) mereka. Tema yang teakhir adalah partisipan
mengalami kehidupan sehari-hari yang memperlihatkan adanya saling hubungan yang erat
antara kehidupan sehari-hari dan kehidupan spiritual.
Setelah melaksanakan dzikir dan mendapatkan berbagai macam pengalaman seperti
diuraikan di atas, partisipan umumnya menyatakan bahwa mereka merasa mempunyai
hubungan yang lebih dekat dengan Allah. Bagi mereka, eksistensi keberadaan mereka di dunia
(being-in-the world) dipahami sebagai keberadaan bersama Allah (being-with-God). Artinya
bahwa mereka selalu merasa bersama-sama dengan Allah, seperti yang diungkapan oleh Badini
dan Minah. Sementara itu Handono dan Arman mengatakan bahwa seluruh aktivitas kehidupan
149
mereka selalu berkaitan dengan Allah. Mereka selalu merasa bahwa Allah selalu hadir bersama
mereka di mana saja mereka berada.
Hubungan dekat dengan Allah yang dirasakan partisipan ditandai dengan munculnya
perasaan hilangnya ke-aku-an (selflessness). Handono, Marta, dan Nardi mengungkapkan
bahwa mereka ‘tidak mengerti apa-apa’, ‘tidak mempunyai apa-apa’, dan ‘tidak bisa apa-apa’,
kecuali dengan kehendak dan kekuatan dari Allah. Oleh karena itu muncul perasaan
ketergantungan total pada Allah yang sangat kuat, seperti diungkapkan oleh Sugeng. Sementara
Minah selalu merasakan kepasrahan total terhadap kehendak Allah dalam kehidupan sehari-
hari. Handono secara khusus menyatakan bahwa dia mengalami adanya kesadaran tentang ke-
makhluk-an nya di hadapan Sang Pencipta, yang mengarahkan dirinya sampai pada
pengalaman penyangkalan diri (self-denial), hilangnya ke-diri-an (self annihilation), dan
mentransendensikan seluruh kehidupannya.
Manifestasi kedekatan hubungan partisipan dengan Allah dapat berwujud beberapa hal.
Dua partisipan, yaitu Badini dan Minah memahami bahwa pengalaman-pengalaman spiritual
yang mereka dapatkan selama amalan dzikir menunjukkan bahwa Allah mencintai mereka.
Bagi Santi, Minah dan Arman hubungan dekat dengan Allah termanifestasikan dalam
hubungan dekat dengan ayat-ayat al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an tersebut dipahami sebagai
‘firman’ atau ‘kata-kata Allah’ yang memiliki makna penting dalam kehidupan partisipan.
Hubungan dengan al-Qur’an ini ditandai dengan adanya ‘dialog’. Dalam pengertian bahwa al-
Qur’an senantiasa memberikan jawaban dalam memecahkan persoalan kehidupan mereka
sehari-hari. ‘Dialog’ ini dipahami merupakan suatu bentuk komunikasi partisipan dengan
Allah.
Amalan dzikir Pengajian Ikhlas, bagi partisipan, mempunyai potensi untuk
membangun kehidupan beragama yang lebih kokoh. Agama tidak dialami sebagai sesuatu ‘di
luar’ diri mereka, yang berasal dari orang tua atau yang berakar pada kehidupan sosial
kemasyarakatan. Pada saat ini agama telah berada ‘di dalam’ atau teriternalisasi dalam diri
participan. Agama merupakan bagian integral dari eksistensi mereka. Handono, Arman, Santi,
Badini, dan Marta secara jelas menyatakan bahwa agama termanifestasikan dalam kehidupan
sehari-hari mereka, menjadi motivator dan memberi arah dan dalam setiap perbuatan mereka.
Pemahaman partisipan tentang agama yang lebih inklusif muncul sebagai tema yang
berkaitan dalam episode ini. Dalam konteks ini Santi, Endi dan Handono menggambarkan
adanya dua model pemahaman ajaran agama Islam pada umumnya, yaitu model ‘mengetahui’
150
dan model ‘memahami’. Model ‘mengetahui’ berkaitan dengan pemahaman rasional. Orang
hanya mengerti ajaran agama pada taraf kognitif-intelektual saja. Mereka mengerti melalui
pelajaran di sekolah, di dalam pengajian atau membaca buku-buku agama. Keyakinan yang
didasarkan pengertian pada level ini sering juga disebut sebagai ilmul yaqin. Sementara itu,
model ‘memahami’ melibatkan pemahaman intuitif yang berbasis pada pengalaman. Orang
bisa mengerti makna yang ada di balik ajaran agama itu setelah mereka mengalami sendiri
dalam kehidupan nyata. Keyakinan yang didasarkan pada pengertiam level ini sering disebut
dengan haqqul yaqin.
Walau partisipan yakin bahwa kehidupan di akhirat lebih penting daripada kehidupan
dunia, mereka tidak hanya terfokus untuk menjalankan berbagai ritual agama sebagai
manifestasi peribadatan, tetapi mereka juga menghayati bahwa aktivitas duniawi juga
merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah. Hal ini dialami oleh Handono dan Arman yang
pada episode sebelumnya sempat mengalami kondisi yang mereka sebut sebagai ‘masa
transisi’. Pada episode ini mereka telah mencapai kehidupan yang lebih seimbang, antara
kehidupan dunia dan akhirat, antara kepentingan pribadi dan orang lain.
Tema selanjutnya dalam episode ini adalah pengalaman partisipan tentang kehidupan
yang lebih bermakna setelah melaksanakan dzikir. Hal ini diungkapkan oleh Arman, Santi.
Minah dan Endi. Mereka memahami bahwa semua kejadian yang mereka temui dalam
kehidupan sehari-hari bukannya sesuatu yang terjadi kebetulan. Segala sesuatu yang ada di
dunia dipahami sebagai wujud ekspresi dari kehendak Allah. Partisipan juga mampu
menghayati saling keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan kehidupan spiritual. Aktivitas
kehidupan sehari-hari mereka ditransendensikan sehingga mempunyai makna yang lebih
dalam. Misalnya Arman mengungkapkan pemahaman transendentalnya tentang aktivitas tidur
yang dilakukan setiap hari sebagai peringatan dari Allah bahwa manusia akan mati.
Berkaitan dengan makna hidup ini, partisipan menjelaskan bahwa mereka dapat
memahami berbagai hikmah (wisdom) di balik kejadian-kejadian buruk yang menimpa mereka.
Misalnya, ketika Badini, Minah dan Nardi sedang mendapat musibah berupa penyakit, mereka
justru bersyukur dan memuji Allah, karena mereka memahami penyakit tersebut sebagai
peringatan dari Allah supaya mereka mengamalkan dzikir lebih intensif.
151
152
BAB LIMA
Di dalam bab ini, saya akan membahas proses transformasi religius di kalangan Muslim
yang mengamalkan dzikir tawakkal dengan menyajikan temuan-temuan dari penelitian yang
saya analisis secara koheren. Saya memperbandingkan beberapa tema penting yang sudah
muncul dalam penelitian ini dengan literatur yang sudah diulas secara luas dalam literatur
psikologi agama khususnya dan studi-studi agama pada umumnya. Saya juga
memperbandingkan amalan dzikir dengan meditasi sebagaimana dilakukan di masyarakat
Barat. Akhirnya, saya akan mengusulkan sejumlah gagasan untuk penelitian di masa
mendatang
egosentrisme pada partisipan, misalnya merasa dirinya paling hebat, (lihat diskusi pada sub
bab 6.1.1). Juga adanya inkonsistensi antara nilai-nilai moral partisipan dengan perbuatan
yang superfisial dan ritualistik, semuanya merupakan menggambarkan ciri-ciri dari kehidupan
154
beragama pada masa kanak-kanak. Hal ini seperti diungkapkan oleh Clark (1958) dan Crapps
(1986). Satu hal penting yang perlu ditegaskan di sini bahwa walaupun sebagian besar
partisipan sudah berusia sekitar empat puluh tahun ketika mereka untuk pertama kalinya
mengalami kontak dengan jamaah PI, karakteristik kehidupan religius mereka masih belum
beragamanya.
Tahap awal dari transformasi religius pada partisipan terungkap dalam episode kedua,
yaitu periode kontak awal dengan PI. Di dalam episode ini, sebagian besar partisipan
menceritakan bahwa mereka telah terjun ke dalam kehidupan beragama Islam pada level
emosional dan rasional. Bagi sebagian partisipan, keterlibatan mereka dalam agama didorong
oleh adanya pengalaman penderitaan (suffering) yang disebabkan oleh berbagai persoalan
kehidupan, baik secara pribadi maupun persoalan hidup orang lain (lihat diskusi pada 6.1.2.).
Kebanyakan partisipan mengungkapkan bahwa adanya rasa ingin tahu yang besar (curiosity)
tentang amalan dzikir adalah salah satu faktor yang telah mendorong mereka bergabung
dengan jamaah PI. Pada tahap ini, peran koordinator sangat penting dalam membawa partisipan
yang mengalami keraguan dan ketidakpercayaan pada amalan dzikir menuju ke arah
kemantapan dan keyakinan yang sangat penting sebagai kesiapan untuk dapat mengamalkan
dzikir secara intensif.
Pada fase transformasi berikutnya, partisipan terlibat secara aktif dalam amalan dzikir
yang memungkinkan mereka mendapatkan pengalaman spiritual atau mistikal (lihat diskusi
pada sub bab 6.1.3.). Karena sebagian besar partisipan menceritakan pengalaman-pengalaman
yang berhubungan dengan amalan dzikir, maka episode ini disebut ’periode pengalaman
dzikir’.
Pengalaman spiritual yang berkaitan dengan amalan khusus sujud mutlak adalah:
pengalaman penyucian diri, pengalaman pencerahan yang mempunyai pengaruh penting
terhadap pemahaman partisipan tentang ajaran agama (lihat diskusi sub bab 6.1.4.), dan
pengalaman gangguan oleh makhluk halus (jin) yang dipahami sebagai rintangan menuju
transformasi religius (lihat diskusi pada sub bab 6.1.5.). Pengalaman-pengalaman tersebut
menimbulkan perubahan radikal dalam kehidupan beragama para partisipan yang dipahami
155
sebagai transisi. Pada masa transisi itu, beberapa partisipan menenggelamkan diri secara total
dalam agama dan meninggalkan kehidupan duniawi. Bagi partisipan yang tidak mengamalkan
sujud mutlak, transformasi religius dilukiskan bersifat tahap demi tahap (gradual). Namun
pengalaman dzikir mereka sama dengan pengalaman orang-orang yang mengamalkan sujud
mutlak, yaitu pengalaman merasa lebih dekat dengan Allah, pengalaman pandangan spiritual
(spiritual vision), pengalaman hilangnya dimensi ruang dan waktu, dan pengalaman
penyembuhan. Berbagai perubahan yang muncul dalam periode pengalaman dzikir ini
menunjukkan bahwa partisipan mengalami transformasi kesadaran (lihat diskusi pada sub bab
6.1.6).
Tahap keempat atau terakhir dari transformasi religius yang dijelaskan pada penelitian
ini disebut periode pembaruan kehidupan religius. Tema-tema yang muncul dalam periode ini
ternyata sesuai dengan sejumlah karakteristik kehidupan religius yang sudah matang (mature)
sebagaimana dijelaskan oleh Allport (1950) dan dikembangkan Clark (1958). Ciri-ciri tersebut
antara lain: terdiferensiasi, dinamis, konsisten, komprehensif, heuristik, integral dan
mengalami hubungan keterdekatan secara langsung dengan Tuhan. Karakteristik
terdiferensiasi dengan baik dari kehidupan religius partisipan ditunjukkan oleh pengalaman
religius yang mencakup seluruh dimensi eksistensi partisipan, yaitu dimensi rasional,
emosional, sosial, dan mistikal. Karakter dinamis kehidupan religius yang matang ditunjukkan
pada peran amalan dzikir yang mampu meningkatkan kehidupan beragama partisipan dan
merestrukturisasi pandangan mereka terhadap dunia. Konsistensi kehidupan religius partisipan
ditunjukkan dengan munculnya perasaan menjadi seorang Muslim sejati dan penerapan nilai-
nilai moral Islami di dalam kehidupan sehari-hari. Karakteristik komprehensif terefleksi dalam
peran yang jelas dirasakan dari agama Islam dalam memberi partisipan arah bagi kehidupan
mereka. Pemahaman langsung mengenai Allah terungkap di dalam hubungan dekat partisipan
dengan Allah yang ditandai dengan hilangnya egosentrisme (lihat diskusi pada sub bab 6.1.1.).
Tema-tema yang muncul dalam periode pembaruan kehidupan religius ini
menunjukkan bahwa kehidupan religius berkembang dalam diri partisipan. Jadi, penelitian ini
menunjukkan bahwa partisipan yang mengamalkan dzikir tawakkal mengalami transformasi
religius dari kehidupan religius ’orang kebanyakan’ menjadi kehidupan beragama yang bersifat
’mistis-transendental’. Hal itu bisa juga dikatakan bahwa kehidupan beragama partisipan
berkembang dari kehidupan religius yang tidak matang menuju yang lebih matang. Atau dapat
pula digambarkan adanya perubahan dari keyakinan imitatif menuju keyakinan intuitif. Dalam
156
bahasa agama disebutkan sebagai perubahan dari keyakinan berdasarkan ilmu (ilmul yaqin)
menuju keyakinan yang berdasarkan pengalaman (haqqul yaqin). Akhirnya bisa dijelaskan
bahwa partisipan mengalami perubahan dari pemahaman diri sebagai seorang Muslim dari
’berada-bersama-Muslim-lain’ (being-with-other-Moslem) menuju pemahaman ’berada-
bersama-Allah” (being with God).
Gambaran di atas tampak sekilas memberi kesan bahwa partisipan telah mencapai suatu
kondisi ideal dalam kehidupan beragama. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Perlu
ditegaskan di sini adalah bahwa semua ini bukan berarti partisipan sudah bisa mencapai tujuan
atau kesempurnaan kehidupan religius, karena pada dasarnya “... perkembangan religiusitas
tidak pernah sempurna,” (Clark 1958, hlm. 240). Sifat tak-pernah-selesai dari proses
transformasi itu jelas dinyatakan oleh seorang partisipan: “... kesempurnaan [dari kehidupan
beragama saya] masih amat jauh. Masih ada jalan panjang yang harus saya lalui...”.
” … (Misalnya saja) ada seseorang tidak pernah melihat kucing. Dia melihat melalui
satu celah sempit di sebuah pagar dan di balik pagar itu ada seekor kucing sedang
melintas. Dia pertama kali melihat kepala, kemudian batang tubuh yang berbulu
lembut, dan kemudian ekornya. Luar biasa! Kucing itu berbalik melingkar dan berjalan
lagi; dan sekali lagi orang itu melihat kepalanya, dan sebentar kemudian ekornya.
160
Urutan ini mulai tampak seperti sesuatu yang teratur dan reliabel. Sekali lagi, kucing
itu berputar, dan dia menyaksikan urutan teratur yang sama: pertama kepala dan
kemudian ekor. Berdasarkan itu, dia berpendapat bahwa kejadian kepala itu tidak
berubah-ubah dan menjadi sebab yang diperlukan untuk timbulnya ekor, yang
merupakan akibat dari kepala itu. Hubungan yang absurd dan membingungkan ini
bersumber dari kegagalan orang itu untuk melihat bahwa kepala dan ekor itu
merupakan suatu kesatuan: keduanya adalah bagian dari seekor kucing” (Alan Watts,
1962, h.26).
Oleh karena itu dari perspektif fenomenologi, penderitaan yang dialami oleh partisipan
dalam penelitian ini perlu dipahami sebagai bagian yang sangat bermakna dari munculnya
proses transformasi religius dan bagian penting dari kehidupan partisipan. Bukan hanya dalam
kerangka pikir sebab-akibat semata.
Penelitian ini menemukan bahwa transformasi religius dapat dipahami sebagai proses
perkembangan agama menuju kehidupan beragama yang lebih matang. Di sini partisipan
mengalami hubungan dekat dengan Allah. Namun perjalanan untuk menjadi lebih dekat
dengan Allah ini dialami partisipan sebagai suatu proses yang berat dan menuntut komitmen
personal yang tinggi. Di samping mereka mengalami penderitaan yang terjadi dalam episode
awal dari transformasi religius, mereka juga menghadapi hambatan lain selama proses
transformasi.
Salah satu penghambat yang nyata dari transformasi religius sebagaimana yang sudah
ditunjukkan dalam data penelitian ini, adalah gangguan makhluk halus yang kadang dianggap
164
sebagai sebagai jin. Seorang partisipan menceritakan bahwa ketika sedang mengamalkan dzikir
secara intensif dengan membaca kalimat laa-ilaa-ha-illallah, dia mengalami gangguan
makhluk halus, baik dalam kondisi sadar maupun tidur. Ia melihat makhluk menyeramkan yang
berusaha menakut-nakutinya.
Bentuk-bentuk gangguan makhluk halus sebagaimana dialami partisipan yang dibahas
di atas ternyata juga sudah telah banyak dibahas dalam literatur penelitian meditasi dan
psikologi agama. Pempel (lihat Meadow & Kahoe, 1988) mengidentifikasi berbagai jenis
bentuk ’gangguan jin’. Gangguan ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian orang yang
melakukan meditasi sehingga dia tidak dapat mencapai tingkat kesadaran yang lebih dalam. Di
antara pengalaman gangguan ini adalah pengalaman melihat monster, ketakutan tentang
kematian, dan keputusasaan mendalam.
Gangguan makhluk halus juga dapat berbentuk tipu daya. Seorang partisipan diperdaya
dengan ’suara’ ketika dia membaca nama Allah di dalam hatinya. ’Suara’ tersebut memberitahu
bahwa Allah itu sebenarnya tidak ada. Partisipan lain yang juga mendengar ’suara’
mengidentifikasi suara itu berasal dari jin. Pada awalnya suara itu memperkenalkan diri
sebagai pembimbing spiritual, namun kemudian suara tersebut menghalangi partisipan uamtuk
berdoa kepada Allah. Jin itu kemudian berusaha mencegah partisipan supaya tidak
menjalankan sholat dengan mempengaruhi tumbuhnya sehingga berputar seperti gasing. Jenis
godaan ini sudah dibahas Vikler & Vikler (1977). Didasarkan pada tradisi Kristen, para peneliti
itu menunjukkan beberapa bentuk keterlibatan jin dalam menggoda manusia, mulai dari
memberikan kepada manusia perasaan berdosa, tekanan, dan kemasukan jin. Jadi, fenomena
adanya gangguan mahluk lain yang menggoda manusia merupakan fenomena yang umum
ditemukan pada berbagai tradisi agama.
Berbagai literatur juga mengungkapkan bahwa godaan tersebut bukan hanya dialami
oleh orang biasa yang sedang berusaha mendekatkan diri pada Tuhan, tetapi juga dialami oleh
para pemimpin agama. Misalnya, ketika Sidharta Gautama sedang bermeditasi, beliau melihat
berbagai bayangan yang menggoda, mulai dari wanita yang cantik sampai mahluk yang
menakutkan. Di dalam Injil disebutkan bahwa Jesus secara langsung digoda oleh syetan
(Schumann, 1973). Bahkan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa
ketika beliau sedang sholat ada jin yang berusaha menggoda.
Fenomena munculnya gangguan jin dan mahluk halus lain yang sudah dibahas di atas
dapat dianggap sebagai penghambat eksternal, yang berasal dari ’makhluk’ yang lain.
165
Koordinator jamaah PI di Yogyakarta menambahkan beberapa bentuk rintangan dari dalam
batin orang yang melaksanakan dzikir itu sendiri. Termasuk dalam rintangan batin tersebut
adalah perasaan tersembunyi berupa takabur (sombong) yang muncul setelah mengamalkan
dzikir. Bentuk hambatan itu dialami oleh seorang partisipan di mana dia merasa bahwa dia
adalah orang yang ’paling benar’ dan banyak menuntut orang lain mengikuti jalannya.
Rintangan batin lain ialah tendensi untuk mengamalkan dzikir secara intensif kemudian
mengabaikan aktivitas duniawi. Pengabaian aktivitas duniawi yang diakibatkan oleh
pengamalan dzikir secara intensif tersebut ditunjukkan dalam pengalaman partisipan lain di
mana dia terlibat secara intensif pada aktivitas-aktivitas religius (termasuk mengamalkan
dzikir) dan tidak mau menyelesaikan pendidikannya di Universitas.
Penelitian ini menunjukkan bahwa hambatan-hambatan dan godaan-godaan dalam
transformasi religius, baik hambatan dari luar maupun dari dalam diri mereka ternyata dapat
diatasi oleh partisipan dengan cara tetap melaksanakan dzikir secara terus menerus (istiqamah)
dan menghadiri pertemuan-pertemuan jamaah mingguan Pengajian Ikhlas. Dukungan dan
pengarahan dari orang lain, terutama yang lebih senior, sangat diperlukan agar orang tersebut
tidak mengalami kesesatan.
Sejumlah partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan pengalaman yang tidak biasa
dialami oleh orang normal pada umumnya. Misalnya mendengar suara dan melihat sesuatu
yang tidak ada wujudnya. Dalam perspektif psikologi klinis, seseorang yang mendengarkan
suara tanpa ada sumber suara secara fisik disebut sebagai halusinasi. Hal ini sering ditemukan
pada orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Sebaliknya dalam perspektif psikologi
transpersonal, yang banyak mempelajari fenomena-fenomena spiritual, pengalaman
mendengarkan suara atau melihat sesuatu yang tidak ada wujudnya merupakan pengalaman
yang banyak ditemukan pada orang-orang yang melakukan disiplin spiritual. Perbedaan
perspektif inilah yang menyebabkan orang awam sering mengatakan bahwa orang-orang yang
menjalani disiplin spiritual bisa menjadi orang gila. Anggapan seperti itu dilandari paa adanya
kesamaan gejala antara pengalaman orang yang mengalami ganggun jiwa dan pengalaman
orang-orang yang menjalani disiplin spiritual, yaitu mendengar suara tanpa bentuk atau melihat
sesuatu yang tidk dilihat orang lain. Bahkan di jaman dahulu banyak Nabi-nabi yang disebut
166
sebagai orang gila oleh kaumnya. Padahal secara esensial kedua pengalaman tersebut sangat
berbeda, meskipun penampilan luarnya sama. Perbedaan mendasar adalah bahwa pengalaman
psikotik pad orang yang mengalami gangguan cenderung berdampak destruktif, baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sementara itu pengalaman spiritual mempunyai efek
yang positif atau konstruktif.
Pengalaman-pengalaman di atas juga dapat dilihat dari persepektif perubahan
kesadaran. Dalam literatur psikologi telah banyak dibahas bahwa meditasi, termasuk
diantaranya adalah dzikir, merupakan metode potensial untuk mengubah kesadaran yang
disebut ASC (Altered States of Consciousness), yaitu kesadaran yang berubah atau perubahan
kesadaran (Shapiro 1980; Walsh, 1983; Meadow & Kahoe, 1984; Ornsrein, 1986). Penelitian-
pneelitian ASC pada umumnya terfokus pada proses mental-psikologis dan fisiologis yang
dapat menimbulkan perubahan kesadaran, faktor-faktor psikologis yang berkorelasi dengan
ASC, faktor-faktor pemicu (trigger) dari ASC, dan karakteristik dari ASC. Di antara
karakteristik yang terungkap dari penelitian sebelumnya tentang ASC antara lain: berubahnya
sensasi tubuh, perubahan emosi, pikiran, persepsi, perasaan tentang waktu, perasaan tentang
diri, dan pemahaman tentang realitas (Ludwig, 1969; Walsh, 1983).
Penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan mengalami perubahan kesadaran ketika
mengamalkan dzikir maupun dalam keadaan sadar sehari-hari. Perubahan-perubahan itu
ternyata mempunyai kesamaan dengan pengalaman ASC. Pada level fisik, sejumlah partisipan
melaporkan perubahan sensasi tubuh mereka ketika mengamalkan dzikir, seperti ketegangan
urat, panas, dingin, dan tubuh ringan. Beberapa partisipan juga menceritakan pengalaman yang
berkaitan dengan jasmani seperti timbulnya gerakan-gerakan tubuh spontan dan ”menyebut
nama Allah di sel-sel seluruh tubuh”.
Perubahan suasana emosi partisipan pada saat melakukan amalan dzikir terefleksi
dalam munculnya perasaan positif yang mendalam seperti cinta, gembira, dan bahagia yang
kadang disertai dengan perasaan takut, sedih, dan sesal. Partisipan juga melaporkan
berubahnya pengertian tentang diri sebagaimana telah dibahas sebelumnya (lihat 6.1.1.)
Selanjutnya, banyak partisipan menceritakan pengalaman pandangan batin (vision),
mendengarkan ’suara’ yang mungkin tidak di dengar oleh orang lain, dan kemampuan
menyaksikan sesuatu di balik realitas fisik. Misalnya, seorang partisipan mengalami wudhu
spiritual di mana dia dapat melihat tangannya penuh ’barang-barang kotor’ dan kemudian
menjadi ’berkilau’ ketika dia mulai berwudhu. Hal itu menunjukkan berubahnya persepsi
167
partisipan. Demikian juga dengan beberapa pastisipan yang menceritakan tentang pengalaman
melihat mahluk halus.
Bukti lebih lanjut yang mendukung bahwa partisipan mendapatkan pengalaman ASC
selama melaksanakan dzikir ialah munculnya pengalaman perubahan perasaan tentang waktu
(kejadian masa lalu dan masa depan dialami pada masa sekarang) dan berubahnya perasaan
tentang ruang (terbang di udara atau masuk ke dalam bumi).
Dengan demikian terdapat bukti yang cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa
partisipan dalam penelitian ini mendapatkan pengalaman perubahan kesadaran yang di dalam
literatur disebut dengan ASC (altered states of consciousness). Berbeda dengan banyak
penelitian mengenai ASC yang didasarkan pada perspektif paradigma ilmu alam (natural
sciences), penelitian ini menunjukkan pentingnya makna berbagai pengalaman ASC bagi
partisipan. Misalnya, pengalaman seorang partisipan “masuk ke dalam bumi” sangat berkaitan
dengan ketakutannya pada kematian. Partisipan lain mengungkapkan keyakinannya yang kuat
(haqqul yakin) pada ajaran Al Qur’an setelah dia mengalami perubahan persepsi penglihatan
dan pendengaran. Jadi, bagi partisipan, berbagai pengalaman ASC itu bukanlah menjadi tujuan
utama mereka, tetapi semua pengalaman mereka dipahami sebagai bagian dari proses
transformasi religius secara keseluruhan.
Dalam membahas temuan dari penelitian ini, saya mencoba membandingkan amalan
dzikir dalam Pengajian Ikhlas dengan meditasi dalam tradisi agama lain dan meditasi yang
dilakukan di masyarakat barat kontemporer.
Seperti dibahas secara luas dalam Bab Dua, amalan dzikir, khususnya dzikir yang
dilaksanakan oleh Pengjian Ikhlas, merupakan suatu metode meditasi di dalam tradisi Islam.
Amalan ini dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan amalan meditasi dari tradisi-tradisi
agama lain. Salah satu kesamaannya adalah bahwa amalan dzikir dan meditasi dilakukan
sebagai latihan spiritual untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi atau agar lebih
dekat dengan Allah. Seperti ditunjukkan dalam penelitian ini, dzikir ikhlas dianggap menjadi
sarana untuk mencapai transformasi religius, yaitu transformasi dari kehidupan religius orang
168
kebanyakan menuju kehidupan beragama yang mempunyai dimensi mistis di mana Allah
menjadi pusat kehidupan partisipan.
Kesamaan lain berhubungan dengan peran meditasi dalam konteks sistem agama.
Ornstein (1988) menyatakan bahwa sebagian besar meditasi merupakan bagian integral dari
ritual agama. Demikian juga dengan penelitian ini yang menunjukkan bahwa amalan dzikir
hanya merupakan satu bagian kecil dari ritual agama Islam. Di samping mengamalkan dzikir,
partisipan juga mengamalkan ritual agama yang lain, seperti sholat, puasa, dan kewajiban
agama yang lain.
Ada perbedaan mendasar antara meditasi yang diamalkan dalam masyarakat Barat
kontemporer dengan amalan dzikir. Jika amalan dzikir dilaksanakan di dalam konteks agama,
amalan meditasi yang diadopsi orang Barat dari Timur cenderung dipisahkan dari fondasi
metafisik atau agama di mana tradisi itu berasal. Hal tersebut didukung oleh Wulff (1992) yang
menegaskan bahwa meditasi dilakukan dalam konteks sekular tanpa gagasan apa pun tentang
kekuatan atau kekuasaan Tuhan.
Orientasi sekular dari praktik meditasi tersebut terbukti dalam penggunaan meditasi
sebagai metode self-help untuk mengatasi berbagai permasalahan kehidupan sehari-hari, baik
masalah fisik, psikologis, dan sosial (Walsh, 1983). Meskipun efek jangka pendek dari meditasi
ini berguna untuk kehidupan sehari-hari, tanpa konteks metafisik dan struktur keyakinan
agama, pengalaman meditasi tidak bisa dipahami dengan tepat. Maslow (1964) menunjukkan
bahwa sejumlah orang Barat mempunyai pengalaman mistis, namun gagal memahami dan
mengenali pengalaman mereka karena mereka kekurangan basis metafisik. Tanpa sistem
agama yang mengandung nilai-nilai spiritual, pengalaman-pengalaman itu menjadi kurang
bermakna. Pandangan tersebut diperkuat oleh temuan dari penelitian ini. Karena partisipan
mengamalkan dzikir dalam konteks agama Islam, mereka dapat memahami dan mengerti
makna dari berbagai pengalaman dzikir yang kemudian memberikan arti bagi kehidupan
mereka. Jadi, konteks metafisik dan religius tersebut sangat penting bagi orang-orang yang
melakukan praktek meditasi, apapun bentuknya.
5.4. KESIMPULAN
Ahmad, K. (1975). Islam: Basic Principles and Charachteristics. In K. Ahmad (Ed), Islam, Its
meaning and Message. London: Islamic Council of Europe.
Arasteh, A.R. (1980). Growth to Selfhood: The Sufi Contribution to Islam. London: Arkana.
Arasteh, A. R. & Sheikh, A. A. (1989). Sufism: The Way to Universal Self. In A. A. Sheikh &
K. S. Sheikh (Eds.), Eastern Approaches to Healing: Ancient Wisdom and Modern
Knowledge. New York: John Wiley & Sons, pp. 146-178.
Anthony, D. (1982). The Role of Outer Master as the inner Guide: Authonomy and Authority in
the Process of Transformation. In Journal of Transpersonal Psychology. 14 (1), 1-36.
Barrell, J.J., Aantoos, C., Arons, M. (1987). Human Science Research Methods. Journal of
Humanistic Psychology. 27 (4), 424-457.
Beit-hallahmi, B. (1977). Curisity, Doubt and Devotion: The Beliefs of Psychologist and the
Psychology of Religion. In H. N. Malony (Ed.), Current Perspectives in the Psychology
of Religion. Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, pp. 381-391.
Brenner Brenner, S. (1996). Reconstructing self and society: Javanese Moslem women and
‘the veil’. American Ethnologist, 23(4), 673-697.
Chisthi, S. K. K. (1989). Female Spirituality in Islam. In S.H. Nasr (Ed.). Islamic Spirituality:
Foundation. New York: SCM Press, pp. 199- 299.
Coe, G. A. (1916). The Psychology of Religion. Chicago: The University of Chicago Press.
Colaizzi, P. F. (1978). Psychological Research a phenomenologist views it. In R. Valle & M. King
(Eds.), Existential-phenomenological Alternatives for Psychology. New York: Oxford
University Press, pp. 48-71.
172
Crapps, R. W. (1986). An Introduction to Psychology of Religion. Macon, Georgia: Mercer.
Crapps,R.W (1993) Dialog Psikologi dan Agama sejak William James hingga Gordon W. Allport,
Yogyakarta: Kanisius.
Elkind, D. (1970). The Origin of Religion in the Child. Review of Religion Research. 12, 35-42.
Frager, R. (1989). Transpersonal Psychology: Promise and Prospects. In R.S. Valle & S. Halling
(eds.), Existential-phenomenological Perspective in Psychology, Exploring the Breadth
of Human Experience. New York & London: Plenum Press, pp. 289-309.
Freud, S. (1959). Obsessive Actions and Religious Practices. In J. Strachey (Ed. & Trans.), The
Standart Edition of the Complete Psychologicl Works of Sigmund Freud. (Vol. 9).
London: Hogarth, pp. 115-127.
Giorgi, A. (1970). Psychology as Human Science. New York: Harper and Row.
Glasser, B. G. & Strauss, A. (1967). The Discovery of Grounded Theory: Strategy for qualitative
Research. Chicago: Aldine.
Hayes, V.C. (1980) Religious Experience in the World of Religion. Bedford Park: The Association
for the study of Religion.
Howell, J. D., Subandi, M.A., Nelson, P. (2001). New faces of Indonesian Sufism: A demographic
profile of Tarekat Qodiriyyah-Naqsyabandiyyah, Pesantren Suryalaya, in 1990s. Rima:
Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 35(2), 33-59
Hycner, R. H. (1985). Some Guidelines for the Phenomenological Analysis of Interview Data.
Human Studies. 8, 279-330.
173
James, W. (1902). Varieties of Religious Experience. New York: Longman, Green.
Jung, C. G. (1959). The Archetypes and Collective Conscious, Collected Works. Trans. R. F. C.
Hull. New York: Phanteon Books.
Long, D., Elkind, D., & Spilka, B. (1967). The Child Conception of Prayer. Journal for the
Scientific Study of Religion. 6, 101-109.
Maslow, A. H. 1964. Religions, Values and Peak Experiences. Columbus, Ohio: Ohio State
University Press.
Meadow, M. J. & Kahoe, R. D. (1984). Psychology of religion: religion in Individual Lives. New
York: Harper & Row Publisher.
Michon, J. (1989). The Spiritual Practices of Sufism. In S. H. Nasr (Ed.), Islamic Spirituality:
Foundation. London: SCM Press Ltd, pp. 263-293.
Moinuddin, S. H. A. A. G. (1985). The Book of Sufi Healing. New York: Inner Traditions
International, Ltd.
Moss, D. (1989). Brain, Body, and World: Body image and the Psychology of the Body. In R.S.
Valle & S. Halling (eds.), Existential-phenomenological Perspective in
Psychology, Exploring the Breadth of Human Experience. New York & London:
Plenum Press, pp. 63-81.
Moss, D. (1981). Transformation of Self and World in Johannes Tauler's Mysticism. In R. Valle
& R. Von Eckartsberg (Eds.). The Methapor of Consciousness. New York: Plenum Press,
pp. 325-357.
Murata, S. (1989). The Angels. In S. H. Nasr (ed.). In S.H. Nasr (Ed.). Islamic Spirituality:
Foundation. New York: SCM Press, pp. 324-344.
Naranjo, C. & Ornstein, R. E. (1971). On the Psychology of Religion. London: George Allen &
Unwin Ltd.
174
Nasr, S. H. (1972). Sufism and the Integration of Man. In C. Malik (ed), God and Man in
Contemporary Islamic Thought. Beirut: American University of Beirut, Contennial
Publiction, pp. 144-151.
Nasr, S. H. (1989). The Qur'an as the Foundation of Islamic Spirituality. In S. H. Nasr (ed.). In
S.H. Nasr (Ed.). Islamic Spirituality: Foundation. New York: SCM Press, pp. 3-21.
Ornstein, R. E. (1986). The Psychology of Consciousness (3rd Ed,). New York: Penguin.
Otto, R. (1923). The Idea of Holy. New York: Oxford University Press.
Paloutzian, R. F. (1983). Invitation to the Psychology of Religion. Glenview, Illinois: Foreman &
Company.
Philips, A. B. B. (1989). Ibn Taymiyyah's Essays on the Jinn (Demons). Riyadh: Tawheed
Publication.
Pruyser, P. W. (1971). A Psychological View of Religion in the 1970's. Bulletin of the Menninger
Clinic. 35, 77-97.
Royce, J. R. (1971). The Present Situation in Theoretical Psychology. In B.B. Wolman (Ed).
Handbook of General Psychology. Engelwood Cliff, N.Y: Printice Hall, pp.
Scroggs, J. R. & Douglas, W. G. T. (1977). Issues in the Psychology of Religious Conversion. In.
H. N. Malony (Eds.), Current Perspective in The Psychology of Religion. Mich:
William B. Fernandes Publishing Company, 254-265.
Shafii, M.M.D. (1985). Freedom from the Self: Sufism, Meditation and Psychotheraphy. New
York: Human Sciences.
Shaltout, M. (1958). Islamic Beliefs and Code of Laws. In K. W. Morgan (Eds), Islam, the Straight
Path. New York: The Ronald Press Company, pp. 87-143.
175
Spinks, G. S. (1963). Psychology and Religion: an Introduction to Contemporary Views. London:
Methuen & Co, Ltd.
Spilka, B.; Hood, R. W. & Gorsuch, R. L. (1985). The Psychology of Religion: an Empirical
Approach. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Subandi, M.A. (1999). Analisis Penelitian-penelitian Religiusitas diu Fakultas Psikologi UGM.
Laporan penelitian (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Tesch, R. (1991). Software for Qualitative Researcher: Analysis Needs and Program Capabilities.
In N.G. Fielding & R.M. Lee (Eds.), Using Computer in Qualitative Research.
London:Sage publication, pp. 17-37.
Tritton, A. S. (1951). Islam, Belief and Practices. London: Hutchinson's University Library.
Ullman, C. (1989) The Transformed Self: The Psychology of Religious Conversion. New York,
London: Plenum Press.
Van der lans, J. (1987). The Value of Sunden's Theory Demonstrated and Tested with Respect to
Religious Experiences in Meditation. Journal for the Scientific Study in Religion. 26 (3)
401-412.
Vatikiotis (1990). Far Eastern Economic Review. June 14th, pp. 25.
176
Vikler, H. A. & Vikler, M. B. (1977). "Demonic Involvement in Human Life and Illness. Journal
of Psychology and Theology. 5, 95-102.
Von Eckartsber, R. (1981). Maps of the Mind, the Carthography of consciousness. In R.S.
Valle & R. Von Eckartsberg (Eds.). The Methapors of Consciousness. New York: Plenum
Press.
Von Eckartsberg, R. (1989). The Social Psychology of Person Perception and the Experience
of Valued Relationship. In R.S. Valle & S. Halling (eds.), Existential-phenomenological
Perspective in Psychology, Exploring the Breadth of Human Experience. New York &
London: Plenum Press, pp. 137-153.
Watts, A. W. (1966). The Book, on the Taboo Against Knowing Who You Are. New York: Collier.
Walsh, R. (1983). Meditation Practice and Research. Journal of Humanistic Psychology. 23 (1),
18-50.
Wulff, D. M. (1991). Psychology of Religion: Classic and Contemporary Views. New York: John
Wiley & Sons.
Zeligs, R. (1974). Children Experience With Death. Springfield, Ill: Charles C. Thomas.
177
LAMPIRAN 1
...Tapi saya sudah bisa merasakan [bahwa] orang ini ada ‘apa-apannya.’ Rupanya beliau
juga [merasakan] begitu. Jadi seperti ada ‘kontak batin.’ Beliau hanya ketawa-ketawa.
P: Apa yang dimaksud dengan ada ‘apa-apa’ nya?
R: Saya tidak tahu. Saya duga Pak Amri punya ngelmu. Ada tabir [menutupi tubuh dokter
Amri]. Ini sulit diceritakan. Saya mencoba untuk melihatnya. Melihat dalam tanda
petik.
R: Bisa dijelaskan?
P: Melihat dengan mata batin. Saya mencoba melihat ngelmu-nya [Pak Amri itu] apa? Tapi
tidak bisa. Ada sesuatu yang masih merupakan tabir. Saya mau nonjok ke sini ada tabir,
mau di sini ada tabir. Biasanya kalau orang punya suatu ngelmu itu kelihatan dengan mata
batin [saya]. Tapi Pak Amri kok aneh.
R: Apa perkiraan tentang sesutu dibalik tabir?
P: Itulah yang ingin saya cari, karena nggak kelihatan apa-apa. Bersih,
kosong, blank. Jadi berupa tabir, kayak asap atau seperti kertas itu nggak ada tulisannya.
Semacam kapas. Dugaan saya [Dr. Amri] pasti punya ngelmu.
Rasa ingin tahu saya jadi timbul. Saya penasaran. Tapi perasaan saya itu saya hilangkan,
karena [beliau sedang merawat istri saya dan] itu adalah [masalah] medis. Terus saya datang
178
[ke rumah dokter Amri] sengaja ikut pengajian. Saya tertarik untuk menyelidiki, mengapa
[ngelmu-nya Pak Amri] kok sulit saya lihat. Saya merasakan [pasti] ada sesuatu [di balik itu].
Saya ingin mencarinya (Ref. HE).
Langkah (d): Mengelompokkan dan menata kembali unit-unit makna yang relevan sehingga
dapat dibaca dan dipahami dengan lebih mudah.
“Saya juga dapat merasakan bahwa dokter ini (pimpinan Pengajian Ikhlas) mempunyai
‘sesuatu’. Nampaknya ia juga dapat merasakannya (bahwa saya juga memiliki kemampuan
supranatural). Sehingga seperti suatu kontak batin” (Handono , 29-31).
Selama kontak batin tersebut, HE merasakan seperti adanya sebuah pertarungan antara
kemampuan supranatural yang dimilikinya dengan kemampuan spiritual pimpinan Pengajian Ikhlas . Dia
mencoba untuk ‘mendeteksi’ kemampuan supranatural jenis apa yang dimiliki pimpinan Pengajian
Ikhlas. Namun, dia tidak berhasil. Dia seakan terhalang oleh sebuah ‘tabir’ yang menutupi tubuh dokter
pimpinan Pengajian Ikhlas itu.
“Di situ, hanya nampak sebuah tabir (menutupi pimpinan Pengajian Ikhlas), seperti asap atau
kapas atau kertas kosong. Saya mencoba mendeteksi ‘ngelmu’-nya dari beberapa sisi, tetapi
selalu ada tabir. Dari sisi lain juga ada” (Handono, 34-37).
Handono menjadi sangat penasaran terhadap kegagalan yang dialaminya itu. Perasaannya
sebagai orang yang memiliki kekuatan besar tiba-tiba menjadi tergoyahkan karena ketidak-mampuannya
unyuk mendeteksi kemampuan supranatural pimpinan Pengajian Ikhlas. Handono menceritakan bahwa
kegagalan itu telah membangkitkan rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Didorong oleh rasa penasaran,
kemudian HE mengikuti pengajian dan akhirnya menjadi anggota Pengajian Ikhlas .
181
Tahap 5: Sintesis dari penjelasan tema-tema dalam setiap episode
Sintesis pada dasarnya adalah semacam ringkasan dan perpaduan yang koheren dari
seluruh tema-tema yang muncul pada setiap partisipan. Di sini peneliti menjelaskan tema-tema
umum yang muncul pada setiap partisipan maupun tema-tema yang unik, yang muncul pada
partisipan tertentu.
182
LAMPIRAN 2
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Keluarga saya muslim semua dan termasuk penggerak pesantren di Gontor. Dari
2 kecil, saya mendapat pendidikan agama dan telah melaksanakan shalat dan puasa
3 selama bulan Ramadhan. Saya melakukan apa yang dilaksanakan orang Islam
4 lainnya. [Tapi] yang namanya kehidupan agama itu hanya rituil dan kulitnya saja.
5 Hanya terbatas pada cara-cara untuk mendapatkan kemampuan kanuragan.
6
7 Saya memang masih punya darah keraton. Makanya saya suka sekali hal-hal yang
8 magis. Saya suka yang namanya nglakoni seperti puasa. Di samping puasa secara
9 Islam, juga puasanya orang Jawa. Sifat saya itu suka mencari-cari [tentang dunia
10 supernatural] dan suka bertanya-tanya segala sesuatu yang saya temukan di rumah.
11 Karena rasa ingin tahu saya besar, saya masuk berbagai perguruan mulai saya SD.
12 Selain SH, [di mana] kakek saya termasuk salah seorang pendiri, saya juga ikut
13 perguruan-perguruan lain yang semuanya menjurus ke kanuragan dan dasarnya
14 agama [Islam].
15
16 Saya ikut berbagai perguruan kanuragan yang dilandasi spiritual dan agama [Islam]
17 sampai saya mendapat banyak [kemampuan fisik maupun supernatural] dan disebut
18 pendekar. Untuk menjadi pendekar, tahapannya banyak. [Saya harus melakukan]
19 banyak amalan-amalan. [Contohnya] sebelum diwisuda, harus puasa ngebleng78 dan
20 dicoba.
21
22 Tapi dengan dengan kehidupan keagamaan yang hanya kulitnya dan rituil saja, saya
23 sudah menjadi pendekar. Satu hal yang saya rasa negatif [dari kemampuan fisik dan
24 supernatural] adalah ‘aku’-nya besar. Saya merasa bisa semuanya. Saya memandang
Puasa Kejawen di mana seseoarang tidak boleh makan apapun selama siang dan malam.
78
183
25 hari esok itu sudah lenggang kangkung. Jadi, [saya pikir] ilmu kanuragan itu identik
26 dengan ‘aku’.
27
28 Suatu saat, istri saya sakit liver. Istri saya dirawat di rumah sakit di mana Dr. Amri
29 [pimpinan Pengajian Ikhlas] merawatnya. Saya konsultasi dengan beliau [mengenai
30 penyakit istri saya]. Saya punya kesan, orang ini kok angkuh, tapi saya sudah bisa
31 merasakan orang ini ada apa-apanya. Rupanya beliau juga [merasakan] begitu
32 [bahwa saya punya kekekuatan supranatural]. Jadi seperti ada induksi.
33
34 Dugaan saya, pasti Dr. Amri punya ngelmu 79, tapi saya tidak tahu itu apa. Saya
35 mencoba melihat ngelmunya Dr. Amri dengan mata batin, tapi tidak bisa. Ada
36 sesuatu yang masih merupakan tabir [menutupi tubuh dokter Amri], kosong, kayak
37 asap atau kapas, atau kertas nggak ada tulisannya. Saya mau nonjok ke sini ada tabir,
38 mau di sini ada tabir.
39
40 Rasa ingin tahu saya jadi timbul lagi: mengapa [ngelmunya Dr. Amri] kok sulit saya
41 lihat. Terus, saya sengaja datang [ke rumah Pak Amri] ikut pengajian. Tapi orangnya
42 baru sedikit [dan] saya hanya didiamkan saja. Karena saya hanya disuruh duduk,
43 saya tambah penasaran. Saya bertanya-tanya apa ini klenik? Minggu berikutnya saya
44 datang lagi dan baru ngerti [kemudian] kalau itu pengajian tawakkal.
45
46 Setelah empat atau lima bulan datang ke pengajian, suatu malam, saya dijatah sujud
47 mutlak. Ketika saya sujud, tiba-tiba tubuh saya bergerak. Saya sadar sesadar-
48 sadarnya, tapi tak bisa menahan gerakan-gerakan yang timbul. Gerakannya seperti
49 saya bersilat. Badan saya gobyos dan panas sekali. Lama-lama seperti kena es, dingin
50 sekali. Pengalaman ini mengingatkan saya pada apa yang dialami oleh Nabi
51 Muhammad ketika beliau menerima wahyu [menurut hadis] Nabi Muhammad
52 merasakan panas bergetar. Ternyata saya rasakan itu. Makanya saya yakin sekali
53 yang ada di Quran nggak bohong.
54
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Saya mendapat pendidikan agama yang cukup baik dari keluarga. Waktu kecil saya
2 juga suka mengaji dan shalat. Waktu mahasiswa saya dan suami saya aktif di HMI.
3 Kalau Pemilu saya pasti memilih orang Islam. Saya sangat fanatik. Tapi shalat saya
4 sering lobang-lobang. Saya ternyata juga masih mau berpacaran dan hampir-hampir
5 berbuat zina.
6
7 Dari dulu suami saya ingin kawin lagi. Waktu itu hubungan saya sebenarnya sedang
8 baik. Kami pergi ke pengajian. Di situ diceritakan tentang Nabi Ibrahim [yang kawin
9 lagi karena istrinya tidak punya anak]. Setelah pengajian suami saya berkata: "Kan
10 [menurut] pengajian itu boleh [kawin lagi]." Kemudian suami saya membuat
11 pernyataan [supaya saya mengijinkan dia kawin lagi]. Mulanya saya menolak
12 menandatangani pernyataan itu. Tapi setelah dibujuk saya mau juga. Akhirnya suami
13 saya kawin lagi. Suami saya juga sering mengancam [akan membunuh saya]. Saya
14 sedih sekali, tapi saya tekan. Saya betul-betul depresi waktu itu. Saya sering sakit-
15 sakitan dan mimpi buruk.
16
17 Dengan adanya musibah itu saya jadi berpikir, mungkin ini karena saya banyak berbuat
18 dosa. Saya pernah membaca buku ‘Dua Puluh Tujuh Dosa Besar,’ ternyata hampir
19 semuanya sudah saya lakukan, meskipun hanya sedikit-sedikit. Jadi rasanya saya
20 banyak dosa. Oleh karena itu saya mulai mendekatkan diri pada Allah. Saya mulai
21 banyak dzikir dengan membaca apa saja yang saya bisa, misalnya ayat kursi. Saya
22 mengadu pada Allah. Karena saya diperlakukan tidak adil [oleh suami saya]. Saya
23 minta pindah [pekerjaan] ke Yogya saja. Alhamdulillah ternyata urusan kepindahan
24 saya tidak banyak mendapat kesulitan.
25
26 Setelah saya ke Yogya [ke rumah bapak saya] saya merasa agak senang. Saya merasa
27 Allah banyak menolong. Segalanya rasanya mudah. [Di sini] saya tahu Pengajian
188
28 Ikhlas dari seorang teman dokter. Saya [lalu] ingin ikut Pengajian Ikhlas , karena saya
29 pikir itu pengajian biasa.
29
30 Waktu datang [ke Pengajian Ikhlas yang] kedua [yang membimbing] Bu Amri. Begitu
31 duduk saya langsung [membaca] istighfar. Meskipun disuruh menyebut nama Allah,
32 tapi saya tetap istighfar di dalam hati. Saya tidak tahu [mengapa demikian]. Itu karunia
33 Allah yang keluar [secara tidak saya sadari]. Minggu ke tiga saya juga masih istighfar
34 terus sambil menangis. Mungkin kesedihan saya yang selama ini tidak tersalurkan
35 [bisa] keluar. Dengan istighfar itu kesedihan saya keluar. Saya menangis sampai tubuh
36 saya kejang. Akhirnya saya disuruh dzikir [membaca] alhamdulillah. [Dengan begitu]
37 saya mulai banyak bersyukur.
38
39 Suatu saat ada peningkatan di masjid Plemburan. Waktu dzikir [bersama] saya tertawa
40 keras tidak mau berhenti. Teman-teman lain ada yang menangis, ada yang olahraga tapi
41 saya malah tertawa terpingkal-pingkal. Komentar Pak Amri, yang membuat tertawa
42 dan menangis itu Allah. Dulu hati saya merengut terus. Ketika sudah tersentuh [nama]
43 Allah, lalu bisa tertawa.
44
45 Sejak saya ikut pengajian, saya suka membaca buku-buku agama. Juga ada peningkatan
46 shalat. Sekarang shalatnya sudah komplit, bahkan ingin tepat waktu dan selalu
47 berjamaah. Lama-lama kesedih saya hilang. Saya [merasa] banyak ditolong Allah.
48 Rejeki tidak kurang [dan] anak-anak saya tidak mengalami trauma, [meskipun berpisah
49 dengan bapaknya].
50
51 Kalau saya ingin apa-apa itu saya bertanya pada Al Qur'an. Sambil berdzikir, saya
52 mohon petunjuk [Allah] lewat al Qur'an, karena Qur'an itu adalah petunjuk bagi orang-
53 orang yang beriman. Berkat karunia Allah, petunjuk itu selalu cocok. Misalnya, selama
54 beberapa waktu saya mulai tenang tinggal di Yogya. Tapi sejak suami saya mengajak
55 hidup bersama lagi, saya jadi kacau.
56
57 Suatu hari saya mendapat surat dari suami yang isinya menghalangi saya tidak boloeh
58 ikut dzikir di Pengajian Ikhlas. Lalu saya Kemudian saya mohon petunjuk. Di [dalam
189
59 Al Qur'an] itu ditunjukkan [ayat]: "Mereka menghalangi di jalan yang benar." [Itu jelas]
60 suami saya menghalangi [saya untuk dzikir di Pengajian Ikhlas]. [Ayat itu seterusnya
61 berbunyi:] "Kalau kamu ikut mereka, berarti sama dengan mereka." Saya jadi takut
62 [kalau saya termasuk orang yang menghalangi jalan yang benar itu]. Karena itu saya
63 mohon petunjuk lagi dalam Al-Qur'an. Yang keluar: "Jangan kau hiraukan orang kafir
64 dan munafik." Waktu itu saya menganggap Bapak saya munafik karena menolong saya
65 tapi diundat-undat dan orang kafir [yang dimaksud dalam Al Qur'an itu] adalah suami
66 saya, karena dia menghalangi saya di jalan Allah. Oleh karena itu saya selalu
67 mendo'akan Bapak dan suami saya supaya Allah memberi petunjuk mereka. Saya
68 kemudian membaca Qur'an: "Orang yang diberikan petunjuk adalah orang yang suka
69 memakmurkan masjid." Orang tua saya suka ke masjid [berarti beliau mendapat
70 petunjuk]. Alhamdulillah kemudian tidak ada masalah lagi dengan Bapak saya.
71
72 Suatu hari saya menulis surat pada suami saya dengan saya kutipkan ayat-ayat Qur'an,
73 tapi banyak saya bumbui supaya dia tidak sakit hati. Sebelum mengeposkan saya
74 mohon petunjuk lewat Qur'an, apakah surat itu sudah betul. Saya malah dimarahi [oleh
75 Allah]. Saya baca dalam Qur'an]: "Orang-orang yang menyembunyikan ayat-ayat Allah
76 nanti kalau sakratul maut akan mendapat siksaan." Saya takut sekali disiksa Allah, lalu
77 saya sujud. Saya tidak jadi mengeposkan surat itu. Kemudian saya mendapat ganti ayat-
78 ayat tentang perang Uhud. Jadi [lewat Qur'an] saya seolah-olah disuruh [Allah]
79 berperang [dengan suami saya]. Mungkin yang diperangi kekafiran dan
80 kedzalimannya. Jadi saya disuruh bertawakkal. Dengan musibah itu saya bisa
81 bertawakkal.
82
83 Pernah [seakan] saya sudah dijanjikan menang dalam perang Uhud dengan suami saya
84 itu. Terus saya ingin memiliki harta milik kami bersama. Ternyata itu tidak boleh.
85 Dalam berperang itu saya harus karena Allah semata. Saya dimarahi Allah, karena
86 seolah saya merasa aman dari siksa-Nya. Tapi [saya juga bersyukur] karena itu juga
87 karunia Allah. Saya ditunjukkan [lewat Qur'an] apa yang boleh dan tidak boleh. Setelah
88 saya berangan-angan [akan mendapatkan harta] saya membaca dalam Qur'an: "Bila
89 orang sudah diberi petunjuk dengan Qur'an dan berpaling dari ayat-ayat itu, syetan
90 memudahkan dia berbuat dosa dan memanjangkan angan-angan." Betul-betul ini
190
91 petunjuk [dari Allah]. Jadi angan-angan itu syetan yang menghalangi manusia di jalan
92 yang lurus.
93
94 Dulu kalau saya mendengarkan ceramah itu hanya masuk telinga kanan dan keluar
95 telinga kiri. Tapi sekarang saya mengerti. Dulu saya sudah tahu tentang penyakit-
96 penyakit hati, seperti hasad, dengki dsbnya. Tapi sekarang mengerti kalau yang
97 namanya benci itu begitu. Jadi dulu tahu artinya tapi tidak mengerti. Misalnya dulu tahu
98 kalau hanya Allah tempat berlindung. Tapi saya masih takut dengan keris. Sekarang
99 saya bisa mengerti dan menghayati bahwa hanya Allah tempat berlindung.
100
101 Saya betul-betul merasa mendapatkan karunia yang besar karena sudah diberi mengerti
102 Qur'an. Qur'an bagi saya tidak ada keraguan di dalamnya. Dia adalah petunjuk bagi
103 orang yang beriman dan pelajaran bagi orang yang bertaqwa. Kalau kita ingin bertakwa
104 lihat Qur'an. Kalau ingin mendapat petunjuk, lihat Qur'an. Sebelum ikut Pengajian
105 Ikhlas saya membaca Qur'an itu bosan, karena artinya monoton. Sekarang saya senang
106 sekali membaca Qur'an. Dari Qur'an itu saya bisa dimarahi. Kalau saya sedih bisa
107 dihibur. Qur'an juga peringatan dan berita gembira bagi orang yang beriman. Misalnya
108 ketika saya dilarang mengikuti Pengajian Ikhlas oleh suami saya, saya membaca dalam
109 Qur'an: "Jangan kau hiraukan orang munafik dan kafir. Orang beriman itu lebih tinggi
110 derajadnya." Lalu saya baca ayat-ayat tentang surga, bidadari-bidadari. Saya seakan
111 sudah di sana. Saya senang sekali.
112
113 Sebelum ikut Pengajian Ikhlas saya tidak mengerti tentang do'a-do'a sesudah sholat.
114 Sekarang banyak do'a yang saya hafal. Sejak saya suka membaca Qur'an, saya mohon
115 petunjuk pada Allah do'a apa [yang harus saya amalkan]. Alhamdulillah diberi
116 petunjuk. Do'a itu saya hapal dan saya catat.
117
118 Sekarang saya mendapat musibah alhamdulillah, mendapat nikmat juga alhamdulillah.
119 Itu adalah yang terbaik untuk saya. Pernah anak saya kehilangan sepeda. Itu sebenarnya
120 musibah. [Tapi] saya merasa bersyukur sepeda anak saya hilang, karena kalau tidak
121 anak saya itu akan main sepeda terus sampai maghrib. Ternyata itu nikmat. Saya sendiri
191
122 tidak tahu bagaimana caranya mendidik anak supaya jangan nakal, saya hanya berdo'a
123 pada Allah.
124
125 Jadi sekarang saya memandang musibah itu juga rahmat. Misalnya saya punya penyakit
126 asma. Sering kalau dzikir saya menurun, asma saya kumat. Padahal dulu [sebelum ikut
127 Pengajian Ikhlas] tidak punya asma. Kata Pak Amri [itu sebagai peringatan], kalau
128 ‘asma’ Allah hilang ‘ashma’ yang lain timbul. Alhamdulillah saya merasa asma itu
129 sebagai peringatan. Sekarang saya bisa mengatakan bahwa semua ini dari Allah.
116
192
DESKRIPSI FENOMENA INDIVIDUAL (DFI)
PARTISIPAN SUGENG
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Ayah dan ibu saya Islam. Sejak SMP ibu saya memanggil guru ngaji. Tapi saya tidak
2 begitu perhatian. Saya ingin cepat selesai lalu sepak bola. Saya lebih senang senang
3 olah raga.
4
5 Di SMA saya mulai tertarik dengan agama karena guru agamanya punya kharisma.
6 Saya juga banyak mengenal tokoh-tokoh agama. Di Perguruan Tinggi saya sering
7 membaca buku-buku agama. Buku yang sangat mengesankan adalah ‘Manusia
8 menurut Al Ghazali’. Di situ dijelaskan kalau sesorang sudah sampai pada taraf tertentu
9 bisa melihat [kejadian yang akan datang]. Jadi agama [Islam itu] saya pelajari sendiri.
10 [Waktu] saya tugas di Puskesmas [yang tempatnya] sepi, saya bawa buku-buku agama.
11 Rupanya banyak hadist mengenai dzikir sampai seluruh tubuh. Saya lalu berpikir:
12 bagaimana kalau [rasanya dzikir seluruh tubuh itu] dilaksanakan. Kemudian saya ikut
13 Pengajian Ikhlas .
14
15 Waktu awal-awal melaksanakan dzikir agak susah mengikuti petunjuk Pak Amri
16 menyebut [nama Allah] di dada, pindah ke ubun-ubun. [Lama kelamaan] saya [bisa]
17 merasakan. Mungkin itu untuk latihan. Jadi mulai dari dada tengah lalu menyebar ke
18 seluruh tubuh. Sampai akhirnya saya betul-betul bisa merasakan dzikir seluruh badan.
19 Saya heran, [mengapa] dzikir saya sudah seluruh tubuh. Mungkin [itu] karena pengaruh
20 Pak Amri. Waktu itu saya duduk [di] sebelah Pak Amri. Lutut saya dipegang beliau
21 [sehingga] saya lalu bisa dzikir seluruh badan. Memang menurut senior-senior ada
22 orang yang dipegang [dulu] baru bisa dzikir. Tapi kalau sudah tinggi [spiritualitasnya]
23 dari jauh saja sudah bisa dibimbing.
24
25 [Waktu dzikir seluruh badan itu] rasanya enak sekali. Jadi yang saya baca di hadist
26 Qudsi itu begitu rasanya. Rasanya sangat individual, seperti apa ya...[tubuh saya]
27 enteng. Rasanya enak sperti ‘los’. Rasanya seluruh pori-pori atau sel-sel [tubuh] itu ikut
193
28 dzikir. Yang menyebut nama Allah itu tidak hanya di hati =[partisipan memegang
29 dada]=, tapi dari ujung kaki sampai ujung rambut ikut menyebut [nama Allah] tidak
30 ada putusnya.
31
32 Sesudah [mendapat pengalaman] itu saya ingin [lagi, tapi tidak bisa]. Itu menyangklut
33 kebersihan. Mungkin saya tidak wudlu atau niatnya tidak lurus. Hanya pernah beberapa
34 kali ketika shalat bisa khusu' seluruh badan itu [ikut] membaca Al Fatihah.
35
36 Setelah mendapat pengalaman itu itu shalat lebih enak. Kalau shalat sendirian rasanya
37 ingin membaca surat yang panjang. Kemudian senang shalat sunnat. Tadinya kalau
38 mau kerja hanya membaca surat-surat saja, tapi lama-lama rasanya tidak cukup, lalu
39 shalat dluha.
40
41 Saya terkesan dengan tidur yang bermutu, [yaitu] kalau tidurnya setelah shalat dan
42 dzikir sampai tertidur. Pada waktu itu saya kadang melihat sesuatu [peristiwa] yang
43 akan terjadi. Saya baru tahu kalau mimpi itu ada artinya, karena terjadi berkali-kali.
44 Misalnya kalau saya mimpi makan, itu artinya saya akan sakit. Pernah saya mimpi
45 makan sampai tambah, lalu saya menderita sakit berat. Tapi suatu ketika saya mimpi
46 begitu lagi. lalu saya bangun meludah ke kiri dan kanan dan mohon perlindungan [pada
47 Allah] lalu shalat. Ternyata saya tidak jadi sakit.
48
49 Mimpi saya yang paling berkesan adalah ketika saya tidur lalu niat [mohon petunjuk
50 pada Allah] tentang apa yang terjadi dengan keluarga saya di Jakarta, karena saya punya
51 firasat yang kurang baik. Di dalam mimpi itu saya melihat keluarga saya [sedang
52 menghadapi suatu masalah]. Saya mimpi hari Sabtu, kejadiannya hari Minggu. Saya
53 berpikir, apakah ini yang namanya batas antara ruang dan waktu itu hilang. [Di situ]
54 Allah memperlihatkan kebesaran-Nya. Mungkin karena saya dzikir shalat tahajut.
55
56 Kalau ada pasien di gawat darurat saya juga tidak tahu sakitnya apa. Lalu tiba-tiba saya
57 ingin memberi [obat] tertentu. Mungkin itu namanya feeling atau firasat. Setelah
58 dilakukan pemeriksaan macam-macam ternyata dugaan saya itu betul. Itu saya rasakan
59 setelah saya intens melaksanakan dzikir. Sebelum itu saya banyak meraba-raba dan
194
60 sering salah.
61
62 Dzikir itu bagi saya suatu kebutuhan. Tadinya saya menganggap dikir itu sunnah, tapi
63 lama-lama menjadi kewajiban. Kalau tidak dzikir rasanya ada sesuatu yang kurang.
64 Dzikir [bisanya saya] lakukan setelah shalat dan shalat sendiri sudah menjadi bagian
65 dari hidup saya.
66
67 Saya lebih ingin belajar agama terus. [Selain itu] rasanya saya menjadi dekat dengan
68 Allah. Terutama pada waktu shalat khusu'. Saya baru tahu yang namanya rasa dekat itu
69 bagaimana. Rasanya ada ketergantungan penuh. Terutama [kalau] sedang ada problem
70 lalu mengeluh kepada Allah, rasanya menjadi ringan. Saya baru merasakan kalau
71 mengeluh pada Allah itu enak. Karena itu kalau punya masalah rasanya tidak terlalu
72 berat.
195
----------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Bapak ibu saya Islam. Waktu kecil saya disuruh ngaji, dan shalat [dengan] dipanggilkan
2 guru. [Tapi] saya [juga] dididik di sekolah Katolik. Orang Katolik itu [sikapnya selalu]
3 baik dengan saya. Kalau saya tidak masuk sekolah, guru saya datang ke rumah saya
4 sambil membawa oleh-oleh. Saya senang sekali. [Sebaliknya] saya membenci orang-
5 orang Islam, karena di lingkungan saya [orang-orang] Islam itu kalau diminta tolong
6 sulit sekali. [Saya juga mempertanyakan], kenapa shalat sampai lima kali, kenapa
7 [harus] berdiri, ruku', sujud segala. [Apakah tidak lebih] enak orang Kristen yang
8 seminggu sekali ke gereja.
9
10 Tamat SMA saya kuliah di Yogya. Pakde dan Bude [yang saya ikuti] aktif menjalankan
11 shalat. Saya melaksanakan shalat [juga, tapi hanya] karena rikuh. Saya merasa Islam
12 saya itu hanya di KTP saja. Waktu itu saya menganggap agama itu peraturan saja,
13 seperti peraturan polisi yang bisa dilanggar. Saya pikir, apakah agama
14 itu perlu? Saya rasional betul.
196
15
16 Tahun 1978 Ibu saya dari Palembang datang ke Yogya dan kehilangan dompet. Ada
17 tetangga yang pernah ngaji di tempat Pak Amri menyarankan supaya kami ke sana.
18 Waktu datang ke pengajian, saya bertanya-tanya: mengapa [harus] tutup mata,
19 [mengapa] ada yang menangis [dan] ada yang tertawa. Setelah itu saya mendengar
20 kabar Pak Amri dijuluki ‘Terkun’ [dokter dukun], karena itu saya tidak pernah datang
21 lagi ke pengajian.
22
23 Waktu itu saya sering diajak teman ke pengajian [umum]. Saya senang mendengar
24 ceramahnya Pak Sahirul Alim [seorang intelektual Muslim di Yogyakarta], karena
25 dikaitkan dengan ilmu pengetahuan [dan saya] mendapatkan kepuasan logika.
26 [Meskipun demikian] sholat saya masih ‘berling’ [kadang-kadang tidak sholat].
27
28 Saya mulai bertanya-tanya, mengapa agama itu macam-macam? Yang benar itu mana?
29 Saya lalu memakai logika saja: kalau perahu mempunyai nakhoda lebih dari satu tentu
30 kacau. Jadi Tuhan itu mesti satu. Di samping itu karena saya mempelajari Ilmu Bumi
31 dan Fisika, [saya berpikir] pasti [semua ini] ada satu aturan main. [Saya juga berpikir
32 bahwa] intinya [kehidupan ini] ternyata gerak. Menurut logika saya Islam itu [agama
33 yang hidup dan selalu bergerak, maka Islam adalah agama] yang benar.
34
35 Saya mulai membaca buku-buku agama. Saya membaca [buku] ‘Riwayat Hidup Nabi
36 Muhammad’ sampai terharu, karena Nabi Muhammad dilempari sampai luka-luka
37 [oleh orang kafir], tapi tetap mendo'akan mereka. Waktu orang yang melempari kotoran
38 sakit, malah dijenguk. Saya berpikir [bahwa] Nabi Muhammad ini hebat betul.
39
40 Saya semakin tergerak mempelajari Islam. Mulai ada rasa ingin dekat [pada Allah] serta
41 ingin sholat khusu'. Tapi saya masih tidak mau ikut Pengajian Ikhlas [meskipun ada]
42 teman yang mengajak. [Tapi] saya sudah mulai menilai positip tentang Pengajian Ikhlas
43 .
44
45 Saya ikut PKMS [Pendidikan Kader Masjid Syuhada] tahun 1984, karena ingin tahu
46 Islam, terutama tentang Qur'an. Setelah ikut PKMS saya mulai tertarik membaca
197
47 Qur'an. Suatu saat saya membaca surat Ar-Rahman. Di situ ada ayat yang diulang-
48 ulang: fa biayyi'ala irobbikuma tukadz dzibaan [Maka nikmat Tuhanmu yang manakah
49 yang engkau dustakan]. Sindiran Allah itu sangat tajam [sehingga] saya menangis
50 karena teringat dosa-dosa saya di masa lalu.
51
52 Suatu saat saya datang ke rumah seorang teman yang ikut PKMS, ternyata dia sedang
53 di rawat di rumah sakit karena kecelakaan. Saya langsung pergi ke Rumah Sakit.
54 Katanya dia butuh darah. Saya langsung donor. Ibunya memasrahkan pada saya untuk
55 mencari darah. Pada saat itu saya merasa bertanggungjawab atas keselamatannya. Saya
56 dzikir langsung menangis. Allah membukakan hati saya waktu itu.
57
58 Saya dan seorang teman berusaha cari darah ke Pengajian Ikhlas . Setelah diumumkan,
59 Pak Amri memimpin do'a. Saya sampai menangis. Kemudian banyak ikhwan yang
60 dengan suka rela donor darah. Saya jadi kagum. Padahal biasanya untuk mencari darah
61 itu sulit sekali, sekarang tampaknya mudah, sehingga nyawa Komaryati dapat
62 diselamatkan. Kontras dengan pasien lain di situ yang juga butuh darah. Keluarganya
63 mencari darah seharian sulit mendapatkan, sehingga meninggal. Saya jadi berpikir,
64 kalau bukan karena Allah yang Maha Pengatur, tidak mungkin hal ini terjadi.
65
66 Sejak kejadian itu saya aktif mengikuti Pengajian Ikhlas . Pada waktu awal-awalnya
67 [aktif di Pengajian Ikhlas ] saya sering menangis kalau dzikir. Teringat dosa-dosa masa
68 lalu dan takut pada Allah. Ada juga rasa kenikmatan. Perasaan saya seperti ‘plong’.
69 Ada rasa takut ditinggalkan Allah lagi, seperti do'a di Al Qur'an: "Janganlah Engkau
70 sesatkan lagi setelah aku Kau beri petunjuk." Saya merasa [ayat] itu benar sekali.
71 Tadinya saya sudah pernah membaca ayat itu tapi hanya sampai di otak. Tapi sekarang
72 saya bisa merasakan kebenaranya.
73
74 Banyak saya menemukan kebenaran ayat-ayat Al Qur'an. Misalnya: "Hanya dengan
75 mengingat Allah hati menjadi tenteram." Itu benar saya alami setelah saya menjalankan
76 dzikir di Pengajian Ikhlas . Firman Allah: "Dunia ini hanya panggung sandiwara." Itu
77 memang benar sekali. Jadi mungkin itu hidayah dari Allah. Allah memasukkan ilmu ke
78 dalam diri saya, sehingga saya bisa memahami ayat-ayat itu.
198
79
80 Saya semakin tertarik pada Pengajian Ikhlas. Rasanya saya ingin dzikir terus. Tiada
81 hari tanpa dzikir. Saya seperti orang kehausan. Begitu minum terasa enak, lalu ingin
82 minum terus sampai lupa diri. Saya acuh [terhadap hal-hal yang duniawi]. Saya tidak
83 ingat sekolah saya, tidak ada minat dengan wanita, tidak mau nonton film atau
84 mendengarkan musik. Saya merasa seolah-olah dunia ini tak ada artinya. Saya senang
85 dzikir. Kalau mendengar adzan sering menangis. Saya banyak menolong orang lain
86 dengan ikhlas. Saya merasa kalau berbuat sesuatu ada unsur duniawinya rasanya tidak
87 enak. Semua untuk Allah.
88
89 Saya pernah melakukan riyadloh dengan mengamalkan 7 pasang asmaul husnah selama
90 seminggu. Suatu hari saya mengamalkan dzikir ‘Ya Rahman Ya Rahim’ sebanyak-
91 banyaknya. Kemudian motor saya dipinjam teman lalu tabrakan. Sebenarnya saya
92 [akan] marah, tapi [saya harus bersikap] ‘Rahman dan Rahim’. Lalu Suatu saat
93 dimarahi tukang becak. [Saya harus bersikap] ‘Rahman dan Rahim’.
94
95 [Karena saya terlalu menekuni agama], saya disorot oleh keluarga, terutama karena
96 sekolah saya belum selesai. Saya sendiri merasa tenang dan menerima. Tapi
97 ketenangan saya itu tidak bisa dipahami oleh keluarga saya. Mereka melihat dari sisi
98 lain, [yaitu] saya belum punya materi. [Akhirnya saya menganggap sorotan keluarga]
99 itu juga ayat-ayat Allah untuk introspeksi. Saya mulai menyadari posisi saya sebagai
100 khalifah Allah di bumi. Dunia ini tempat bercocok tanam. Selain itu saya melihat
101 teman-teman kuliah saya sudah bekerja dan punya anak. Saya mulai merasakan bahwa
102 saya juga membutuhkan materi. Akhirnya saya putusakan untuk menyelasikan sekolah.
103 Terus saya berdo'a: "Ya Allah ternyata saya tidak cukup hanya dengan dzikir saja.
104 Sekarang saya ingin lulus dengan rahmat dan Kasih sayang Mu. Saya ingin seperti
105 orang lain. Tapi tetap di jalan Mu." Saya berdialog dengan Allah. Lama kelamaan
106 kehidupan saya menjadi normal lagi.
107
108 Saya merasakan kita ini diatur oleh Allah. Walaupun kita merencanakan gerak kita, tapi
109 ada yang Maha Pengatur dan Perencana. Semua yang terjadi di dunia ini adalah
110 kebijaksanaan-kebijaksanaan Allah.
199
111
112 Jadi tampaknya Allah membolak-balikkan dan membanting saya karena dosa-dosa
113 saya yang lalu. Saya dipaksa untuk [mengenal agama]. Kalau sampai sarjana [kuliah
114 saya] lancar terus mungkin malapetaka yang lebih berat [datang pada diri saya], yaitu
115 saya tidak tahu agama dan jadi orang tidak karuan. Sekarang saya melihat hal-hal
116 keduniaan itu merupakan hal yang wajar.
117
118 Sekarang saya berusaha hidup ini bersyukur dan istighfar. Saya selalu mohon jangan
119 disesatkan lagi. Saya selalu minta tolong pada Allah supaya selalu mendekatkan diri
120 pada-Nya dan supaya mati yang khusnul khotimah.
200
200
201
28 Setelah menndapat pengalaman dzikir sambil membersihkan diri, saya malah penyakit
29 kulit. Seluruh badan saya gatal. Ini berbeda dengan pada umumnya orang ikut
30 Pengajian Ikhlas yang justru bisa sembuh penyakitnya setelah dzikir. Menurut teman
31 saya sekantor itu mungkin merupakan pembersihan diri saya dari syirik-syirik kecil.
32 Setelah saya ingat-ingat mungkin benar juga, karena saya pernah diberi minum kapas
33 yang dikasih minyak sehingga saya bisa kebal. Itu mungkin syirik kecil.
34
35 Menjelang akan timbul gerakan shalat, ada perubahan yang luar biasa yang saya
36 rasakan. Pada waktu itu saya merasakan 'plong'. Rasanya saya berubah menjadi orang
37 baru. Begitu sehat dan tak ada masalah. Pikiran dan hati saya tidak ada rasa macam-
38 macam. Tadinya mungkin suka iri, dengki. Itu hilang semua. Lapang sekali dada ini.
39 Sesudah itu tiba-tiba saya ingin berdiri. Tapi yang ingin itu bukan otak, kelihatannya
40 menyeluruh. Tiba-tiba otot kaki menyebabkan saya berdiri, sehingga berdiri rasanya
41 ringan. Waktu itu saya dalam keadaan sadar penuh. Lalu rasanya tangan saya
42 mengangkat sendiri seperti orang shalat. Pada saat akan membungkuk, badan itu
43 membungkuk sendiri, lalu sujud. Karena dalam keadaan dzikir, maka meskipun
44 geraknya shalat ucapannya dzikir saja. [Dengan demikian] saya menjadi semakin
45 mantap bahwa shalat itu bukan karangan Rasululloh. Gerakan sholat itu kelihatannya
46 universal. Orang yang tidak beragama Islam, asal dia menyebut nama Allah, dia akan
47 sampai pada gerakan shalat. Saya pernah menyaksikan sendiri gadis Tionghoa yang
48 seperti itu.
49
50 Setelah kejadian itu saya menjadi senang shalat. Tadinya shalat lima waktu saja seperti
51 beban, sekarang menjadi nikmat kemudian timbul keinginan shalat sunnat. Disamping
52 shalat saya menjadi lebih enak, saya mulai merasakan bahwa semua manusia itu sama.
53 Kalau tadinya berhadapan dengan pimpinan atau teman yang lebih pandai atau lebih
54 kaya ada rasa minder. [Sekarang] saya menganggapnya mungkin dia dilebihkan dalam
55 satu hal, tapi ada kekuarangannya dalam hal lain. Jadi kalau berhubungan dengan orang
56 lain itu bisa saling melengkapi, sehingga kalau berbicara itu bisa bebas, tidak ada rikuh
57 dan takut. Itu sangat menolong dalam kehidupan saya.
58
201
202
59 Kalau kita dzikir dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, rupa-rupanya ada
60 ‘pihak lain’ yang kurang suka. Mungkin mahluk halus. Tadinya saya tidak berpikir
61 seperti itu. Ketika saya mulai senang shalat, tiba-tiba ada suara yang memperkenalkan
62 diri sebagai mahluk yang sama-sama berjalan di jalan Allah. Dia berjanji akan
63 meningkatkan saya ke hal-hal yang halus. Misalnya ketika saya berwudlu dia
64 membisiki macam-macam doa yang memperhalus wudlu. Tadinya saya senang, karena
65 saya mendapat bimbingan walau tidak kelihatan. Saya kira itu malaikat, karena yang
66 disampaikan yang baik-baik. Tapi pada suatu hari [ketika] saya akan berdo'a ada
67 bisikan yang melarang saya berdo'a. Alasannya saya belum bersih. Dia saja yang akan
68 mendoakan. Pada waktu itu saya teringat pesan Pak Permana yaitu kalau saya
69 mengalami hal-hal baru harus dicek dengan Qur'an dan Hadis. Kalau sesuai boleh
70 diikuti, tapi kalau tidak jangan ragu untuk menolak. Bisikan itu saya anggap tidak sesuai
71 dengan Qur'an dan hadist, karena sekotor-kotornya orang tetap diperintahkan berdo'a
72 langsung. Lalu waktu itu saya jawab: "Aku tidak percaya lagi dengan kamu!" Begitu
73 saya berkata seperti itu mulai ada gangguan. [Ketika] saya takbir akan meneruskan
74 shalat dluha, badan saya diputar seperti gangsingan. Saya tidak bisa melawan, karena
75 kuat sekali. Esok harinya ketika saya akan mengambil air wudlu untuk shalat subuh,
76 timbanya melilit beberapa kali. Saya mulai khawatir ketika pagi-pagi subuh itu gelas-
77 gelas yang ada di rak piring pecah meledak. Lalu saya ceritakan pada Pak Dirman.
78 Setelah tempat itu dilihat [Pak Dirman, beliau mengatakan] memang itu gangguan jin.
79 Untuk mengatasinya, dzikir saja yang banyak. Benar juga, akhirnya gangguan itu
80 hilang sendiri.
81
82 Sejak saat itu saya ada tambahan kepekaan baru, yaitu kalau ada jin saya bisa
83 merasakan. Ada perasaan lain. Saya cocokkan dengan orang paranormal memang
84 benar. Jadi saya hanya mohon petunjuk pada Allah. Logikanya, Allah Maha tahu dan
85 kalau Allah berkenan saya akan diberitahu [dengan isyarat]. Isyarat itu bisa gerak,
86 penglihatan atau rasa.
87
88 Ada juga orang yang merasa terganggu dengan saya berdzikir. Ketika saya dan anak
89 istri jalan-jalan, kami melihat demonstrasi orang jual obat. Waktu itu sudah terbiasa
90 selalu dzikir. Saya tidak berniat mengganggu, tapi mungkin dzikir itu mengganggu
202
203
91 permainan orang itu. Waktu itu tukang obat itu mengikat temannya dengan rantai lalu
92 dimasukkan kotak. Katanya nanti bisa lepas. Ternyata sampai beberapa kali dibuka
93 tidak bisa lepas. Akhirnya dia merasa ada penonton yang mengganggu. Dia marah-
94 marah, sambil matanya melihat pada saya. Kami segera pergi dari arena itu. Tapi baru
95 beberapa langkah, tiba-tiba lutut saya jadi lemas, hampir jatuh. Anehnya reaksi dzikir
96 saya berubah dengan sendirinya. Tadinya menyebut Allah, lalu tiba-tiba ganti
97 menyebut asma'ul husna secara tidak saya sengaja. Setelah dzikirnya berubah, rasa
98 lemasnya berkurang. Lama-lama bisa berdiri tegak kembali dan bisa jalan.
99
100 Saya pernah juga tergelitik untuk mengganggu orang lain. Waktu itu saya pegi ke Jatim.
101 Setelah kerja di lapangan, saya dan teman jalan-jalan melihat kelenteng Khong Hu Cu.
102 Sebelum masuk ada penjaga yang menceritakan tentang kelenteng itu, terutama tentang
103 patung kecil yang berat sekali. Katanya waktu patung itu akan dimasukkan, tidak kuat
104 diangkat sampai 10 orang. Menurut dia patung itu dihuni dua jin. Mendengar cerita itu
105 saya tergelitik untuk menjajagi seberapa kuatnya jin itu. Saya dzikir diam-diam,
106 sehingga jin itu pergi. Rupanya penjaga itu merasa, tapi dia tidak bisa mencegah. Lalu
107 dia menjadi tidak seramah tadi. Esok harinya karena di lapangan ada kerusakan alat,
108 saya harus ke Surabaya. Saya mendapat cerita dari teman katanya malam harinya ada
109 teman lain yang tidur di tempat tidur saya. Baru saja melepaskan lelah, teman itu
110 melihat ada dua orang datang akan menombak dia. Tapi yang satu mencegah: "Jangan,
111 itu bukan orangnya." Teman itu sampai tidak berani tidur di sana. Ada teman lain lagi
112 yang tidur di tempat saya, juga mengalami hal itu.
113
114 Suatu saat saya mendapat kesempatan untuk mengikuti penataran di Jakarta. Banyak
115 kejadian aneh yang saya temukan. Misalnya peserta disuruh makan rujak tengah
116 malam. Padahal perut saya gampang terganggu. Tapi ternyata tidak apa-apa. Selain itu
117 tidurnya sangat sedikit karena latihan intensiv. Tapi rasanya fisik itu segar terus.
118 Bahkan suatu ketika saya sedang berjalan di depan kamar seorang peserta yang sedang
119 sakit. Saya merasa seperti ada kekuatan yang menyedot sampai saya duduk di samping
120 orang itu. Lalu saya membantunya melakukan dzikir pengobatan. Padahal saya tidak
121 diajari bagaimana cara melakukannya. Waktu itu saya hanya membantu mendoakan,
203
204
122 tapi tiba-tiba seperti ada aliran listrik yang keluar dari tangan saya lalu memancar ke
123 tangan orang yang sakit. Saya menjadi mengerti kalau itu yang dinamakan menyinari.
124
125 Dzikir pengobatan yang kedua saya alami ketika saya di Lombok. Waktu saya pulang
126 ada anak tetangga yang sudah dua hari menangis tidak berhenti. Tiba-tiba ada rasa ingin
127 menolong. Saya hanya mengajak ayah dan ibunya dzikir bersama. Belum sampai
128 setengah jam anaknya sudah bisa tidur. Tapi dzikir untuk pengobatan itu tidak mesti
129 bisa. Kalau keinginan membantu itu timbul dari nafsu justru tidak bisa. Misalnya waktu
130 di luar negeri saya [dapat] menolong anak orang Malaysia yang sakit tidak bisa jalan.
131 Tapi ibu saya sendiri sampai sekarang lumpuh tidak bisa saya tolong. Jadi kalau pada
132 keluarga dekat kita terlalu bernafsu untuk menolong, sehingga do'a kita malah menjadi
133 penodongan. Kadang dzikir pengobatan itu terjadi untuk diri saya sendiri, meskipun
134 tidak selalu. Kalau ada jatahnya juga bisa self-healing. Misalnya suatu saat ambeien
135 saya kumat. Lalu saya coba dzikir sendiri. Setelah dzikir khusu' badan saya bergerak
136 [sendiri] seperti orang melakukan olahraga. Alhamdulillah kemudian bisa sembuh.
137
138 [Dari pengalaman menjadi pembimbing dzikir] saya menjadi mengerti apa saja yang
139 dilakukan pembimbing. Tugas pembimbing antara lain adalah mengingatkan yang
140 dibimbing untuk menyebut nama Allah, kalau dia mulai ke bawah sadar. Tugas yang
141 lain adalah mendo'akan supaya Allah berkenan membuka hati peserta itu supaya bisa
142 dzikir. Jadi yang semula saya curigai sebagai hipnotis itu tidak ada. Bedanya, kalau
143 orang menghipnotis itu memberi perintah orang lain supaya takluk, kalau dzikir
144 pembimbing cuma mendoakan. Perbedaan lainnya, kalau orang menghipnotis itu
145 berusaha memupuk ‘aku/ego’-nya supaya bisa mengalahkan ‘aku’ orang lain, sedang
146 pembimbing di Pengajian Ikhlas justru melenyapkan ‘aku’-nya dengan menyadari
147 bahwa kita tidak bisa apa-apa tanpa kasih sayang Allah.
204
205
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Waktu kecil saya disuruh mengaji oleh mbah saya di langgar dan disuruh sholat. Segala
2 perintah agama harus saya laksanakan. [Tapi] waktu itu agama tidak begitu berkait
3 [dengan kehidupan saya]. Agama sekedar melaksanakan perintah saja. Saya beribadat
4 itu [hanya] ngambang.
5
6 Di samping belajar agama saya juga banyak belajar ‘ilmu-ilmu’ lain. Saya dididik
7 ‘ilmu’ kebal oleh mbah. Saya [juga] belajar [berbagai ilmu] seperti magnetisme,
8 telepati, sugesti, kebal, tenaga dalam. Bahkan pernah mau belajar ‘menghilang’ dan
9 ilmu hitam seperti tenung. Waktu masih muda saya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk
10 mermbela diri dan main-main. Misalnya saya pernah bermain sepak bola dengan
11 durian, atau serabut api. Tapi akhirnya [ilmu-ilmu itu banyak yang] saya buang, lalu
12 saya belajar Yoga asanas dan meditasi. Saya juga masuk aliran-aliran kebatinan [dan]
13 melaksanakan dzikir.
14
15 Waktu itu ‘ilmu’ saya sudah banyak, tapi sholat saya hanya ‘berling’ [kadang-kadang
16 saja]. Saya lebih membanggakan ‘ilmu’ saya daripada agama. [Bahkan] saya sudah
17 melakukan ‘mo-limo’, minum, main, merokok, mencuri, tapi tidak sampai main
18 perempuan. [Karena itu] Meskipun ‘ilmu’ saya sudah banyak, tapi tak bisa [digunakan
19 untuk] mengatasi musibah [yang saya alami] selama 2 tahun berturut-turut. Waktu itu
20 hampir semua anggota keluarga saya sakit bergantian.
21
22 Lalu ada teman memberitahu [kalau] ada pengajian [di rumah Pak Amri] tapi seperti
23 kebatinan. Saya kemudian [pergi] ke tempat Pak Amri dengan niat untuk menyelidiki
24 apakah itu kebatinan atau bukan. Waktu itu saya hanya diajak omong-omong oleh Pak
25 Amri. Kemudian saya bertanya [caranya] untuk mengatasi musibah. Kata Pak Amri itu
26 gampang. Kalau mau berserah diri pada Allah, musibah apa saja akan teratasi. Pak
27 Amri membacakan [surat] Al Baqarah [ayat] 155, tentang musibah dan perintah untuk
28 berserah diri pada Allah. Tapi Saya masih belum menerima untuk berserah diri.
29
205
206
30 Meskipun saya berontak disuruh berserah diri, tapi sejak itu saya ikut pengajian. Waktu
31 datang ke dua kali saya disujudkan [sujud mutlak] oleh Pak Amri. Waktu itu saya
32 dibersihkan. Karena kotoran saya banyak, pencuciannya juga keras. Gerakan-gerakan
33 silat saya keluar semua. Saya meloncat, lari-lari, menendang, dan memukul. Waktu itu
34 saya sadar sepenuhnya, tapi semua gerakan itu tak bisa ditahan. Setelah timbul gerakan-
35 gerakan itu saya jadi rajin shalat dan dzikir.
36
37 Setelah ikut dzikir beberapa kali saya mulai introspeksi. Apa sebenarnya yang menjadi
38 penyebab sakitnya anak saya? Apa salah saya [sehingga saya mendapatkan musibah
39 berturu-turut]?. Saya mulai berpikir tentang dosa. [Menurut saya] orang yang berdosa
40 itu pasti susah. Karena saya terus mendapat kesusahan, pasti saya berdosa. Baru
41 kemudian saya sadari kalau saya banyak melakukan perbuatan dosa. Saya memberi
42 makan anak saya dengan ‘batu,pasir, semen dan kapur’ yang saya curi dari proyek.
43 Logikanya [kalau] perut diisi [barang] seperti itu, mestinya [akan] membikin sakit.
44
45 [Dengan adanya musibah itu] saya berpendapat bahwa setiap perbuatan itu ada
46 hasilnya. [Hasil] itu tergantung perbuatannya apakah baik apa jelek. Dulu saya tak
47 pernah bersyukur pada Allah. Setiap mendapat uang untuk bersenang-senang. Itu hanya
48 satu cara Allah supaya uang saya habis. Ternyata saya belum menyadari. Lalu saya
49 diperingatkan dengan musibah. Karena saya tak pernah bayar zakat, sodaqoh, infaq,
50 maka oleh Allah uang itu diambil dengan cara anak dan istri saya sakit. Setelah saya
51 makan apa adanya rejeki [selalu] ada.
52
53 Setelah melaksanakan introspeksi itu saya mulai berhenti melakukan ‘mo-limo’.
54 Ternyata dengan tidak melaksanakan ini saya mendapatkan ketenangan. Walaupun
55 musibah belum berakhir, tapi saya merasa tenang. Suatu malam, saya teringat kata Pak
56 Amri [supaya] kalau ada musibah membaca innalillahi inna ilaihi roji'un seperti dalam
57 surat Al Baqarah. Lalu saya dzikir seperti disarankan Pak Amri. Waktu itu [saya]
58 mendapat suara: "Jangan diberi bubur". Lalu saya putuskan bahwa anak saya tidak saya
59 beri bubur, tapi [saya beri] nasi. Padahal makanan mereka harus bubur halus. [Tapi]
60 apapun yang terjadi [setelah itu adalah] karena Allah. Alhamdulillah kondisi mereka
61 justru semakin baik.
206
207
62
63 Setelah berhenti ‘mo-limo’ saya bersumpah, tidak mau ada waktu yang lepas dari
64 dzikir, [meskipun] dalam pekerjaan sekalipun. Setiap ada kesulitas saya dzikir, sampai
65 terselesaikan. Peribadatan dan penghayatan agama saya meningkat. Saya jadi ingin ikut
66 berdakwah. Mungkin itu masa transisi saya. Saya rajin sekali dzikir, lalu
67 menyampaikan kemana-mana.
68
69 Pada waktu itu saya mulai mendapatkan yang aneh-aneh. Saya pernah tiga periode
70 hujan tidak kehujanan. Misalnya saya [akan] pergi ke Karangwaru [naik sepeda motor].
71 Waktu berangkat di sini [tempat saya] belum hujan, sampai di sana baru selesai hujan.
72 Pernah juga suatu hari saya menunggu pekerjaan ngecor, tinggal sedikit [selesai, tapi]
73 mendung sudah tebal. Saya mohon pada Allah supaya diberi perlindungan dari
74 keseluruhan, termasuk hujan. Lalu terjadi keanehan. Di sekitar saya semua hujan, hanya
75 ditempat kerja saya saja yang tidak.
76
77 [Saat] itu saya [juga] diberi Allah ketajaman bashiroh [mata hati]. Saya bisa ‘melihat
78 orang’. Pernah saya bertemu dengan orang yang wajahnya berubah jadi anjing atau
79 babi. Itu sebenarnya hanya watak atau sifat saja. Kalau orang itu rakus kelihatan
80 [mukanya] terbentuk [suatu mahluk tertentu]. Saya juga bisa mengetahui mahluk halus.
81 Kalau masuk ke tempat yang angker, saya bisa mengetahui mahluk-mahluk yang ada
82 di situ. Saya pernah disuruh menghilangkan mahluk halus di Fakultas Pertanian UGM,
83 karena suatu hari mahasiswa yang sedang praktikum kacau balau melihat ada wanita
84 berurai rambut menggendong anaknya. Saya kemudian minta dibuatkan skema ruangan
85 itu. Dari situ saya bisa melihat ada bak di dekat situ yang merupakan tempat lewat
86 mahluk itu menmbus ke alam manusia. Saya kemudian datang ke sana bersama dengan
87 teman-teman Pengajian Ikhlas. Saya menyuruh teman-teman membaca ayat kursi, lalu
88 dihantamkan ke arah getaran mahluk itu. Ternyata mahluk itu hanya menghindar. Lalu
89 saya mendekatinya dan ‘memagari’ tempat itu. Mahluk itu hanya melihat saja. [Jadi]
90 dengan dzikir qolbi, hati menjadi bersih laksana kaca. Kalau hati bersih akan dapat
91 [digunakan] untuk melihat [alam] ‘sana’.
92
207
208
93 Saya mendapatkan ilmu ladduni banyak sekali. Dulu saya pernah belajar ingin
94 menghilang tidak bisa. Tapi setelah saya dzikir saya punya pengalaman seperti
95 ‘menghilang’. Suatu hari anak saya dicari polisi ke rumah. Saya dan anak saya duduk
96 di kursi, tapi petugas itu tidak tahu. Juga ketika saya dan anak saya bertemu di jalan
97 dengan polisi itu, lalu saya membaca ayat: wa ja'alna mim baini aidiihim sadda...[surat
98 Yasin], lalu polisi itu tidak tahu [kalau saya lewat di depannya].
99
100 Kalau saya membimbing orang, selalu minta kepada Allah supaya saya selamat dan
101 juga dibukakan mata hatinya, semoga Allah menyembuhkan orang ini. [Disitu]
102 kelihatan kalau orang ini kena tenung. [Misalnya] seperti bau kemenyan, atau ada yang
103 melintas keluar dari orang itu, [atau] orang itu keluar asapnya dan wajahnya jadi hitam.
104
105 Sejak ikut Pengajian Ikhlas anak dan istri saya tidak pernah sakit lagi. Sekarang kami
106 tidak pernah banyak pikiran dan dapat mensyukuri segala rahmat. Setelah saya dzikir
107 saya memang banyak mendapat kenikmatan-kenikmatan, tapi juga banyak cobaannya.
108 Sekarang saya juga tidak bisa mengatasi musibah. Tapi saya anggap ilmu yang
109 dapatkan di Pengajian Ikhlas ini adalah ilmu untuk memohon pada Allah agar segala
110 masalah teratasi. Sekarang saya meningkatkan permohonan-permohonan itu untuk
111 keselamatan dan rejeki, bukan hanya rejeki materi saja, tapi juga ketenangan dan
112 kebahagiaan.
113
114 Saya sekarang mempelajari ilmu mendekatkan diri dan berserah diri pada Allah.
115 [Dengan begitu] sekarang saya merasa mempunyai ilmu yang tidak seperti dulu. Dulu
116 sengaja dicari, sekarang tidak. Sekarang saya betul-betul [merasa] tidak punya [‘ilmu’]
117 apa-apa. Kalau dimarahi orang, lebih baik minggir saja. Saya anggap sebagai ujian
118 saja.
208
209
1 Kedua orangtua saya tidak mengenal agama sama sekali. Saya sekolah [di] SD Katolik
2 [dan] saya tak pernah ikut pelajaran agama Islam. Kalau sore saya disuruh mengaji
3 [oleh mbah saya] pada seorang Kyai. Tapi anak Kyai nakal sekali. Kalau bertengkar,
4 kami tidak diajari ngaji malah dimarahi. Saya menjadi benci [dengan agama Islam],
5 karena guru ngaji saya itu memarahi saya terus. Padahal pastur di sekolah sangat
6 menyayangi saya. Hampir saja saya dibabtis. Tapi mbah buyut saya melarang [keras].
7
8 Waktu di SMP saya pernah mengalami goncangan jiwa karena saya merasa tertekan
9 sekali tidak bisa mengikuti suatu pelajaran di sekolah, sampai menjadi pasien seorang
10 psikiater di Semarang. [Sejak itu] saya selalu mencari [cara] yang bisa membuat hati
11 saya tenang, [karena] kalau ada pikiran sedikit saja, saya lalu tidak bisa tidur, tidak mau
12 makan. [Pertama] saya ikut kursus kesehatan jiwa. Lalu ada teman yang menyarankan
13 supaya ikut Pangestu. Saya [lalu] ikut Pangestu juga. Sama sekali saya tidak
14 memikirkan tentang agama. [Bahkan] waktu itu saya [masih] benci dengan agama
15 Islam. [Meskipun suami saya Islam, tapi] saya tidak merasa sebagai orang Islam. Saya
16 tidak melakukan sholat atau puasa dan saya tidak merasa berdosa. Saya tidak merasa
17 itu kewajiban saya.
18
19 Setelah ikut Pangestu, saya pindah ke Sumarah. Sebetulnya Sumarah itu lebih baik dari
20 Pangesu, karena lebih diarahkan bagaimana caranya untuk pendekatan pada Gusti
21 Allah. Waktu di Sumarah saya banyak sekali melihat macam-macam. Begitu menutup
22 mata kelihatan gambar macam-macam. Saya cepat sekali naiknya. Saya di Sumarah
23 sangat senang dan mantap. Tapi kemudian saya harus pindah ke Yogya. Di Sumarah
24 Yogya kalau dzikiran ternyata hanya sebentar. Saya belum bisa merasakan ketenangan,
25 ternyata sudah selesai. Padahal itu yang saya cari. Akhirnya saya tak mua datang.
26
27 [Agak] lama saya tidak ikut Sumarah, Pangestu dan tidak juga Islam. Lalu saya
28 mendengar informasi bahwa ada pengajian yang melaksanakan dzikir. Mulanya saya
29 heran, kok ada amalan dzikir dalam Islam. [Saya jadi ingin tahu] barangkali ini yang
30 saya cari, [maka] saya datang ke Pengajian Ikhlas .
31
209
210
32 Waktu pertama kali dzikir saya melihat ada semacam kolam atau kamar mandi. Saya
33 melihat ada Pastur, Buddha, Kyai semua bermain air di kolam itu. Langsung saya
34 beritahukan hal itu pada Bu Amri. Bu Amri marah, karena orang dzikir di Pengajian
35 Ikhlas bukan mencari [penglihatan-penglihatan] itu. Saya kira seperti di Sumarah kalau
36 ada penglihatan-penglihatan seperti itu lalu diceritakan.
37
38 Hampir setiap dzikir saya mendapatkan penglihatan. Kalau [menurut] Pak Amri apapun
39 yang kita alami [waktu dzikir] itu baik dan betul, sehingga saya senang. Saya ingin
40 terjun dalam dzikir dengan sunguh-sungguh. Saya merasa dzikir seminggu sekali itu
41 kurang.
42
43 Meskipun sudah setahun saya ikut Pengajian Ikhlas, tapi saya belum melaksankan
44 shalat. Saya belum memikirkan tentang Islam sama sekali. Saya menganggap pengajian
45 tawakkal itu seperti Sumarah. Kalau ada persoalan [kemudian dzikir] terus bisa hilang.
46 Suatu hari saya mendapat kabar kalau Pak Zahid, ketua Sumarah, akan datang ke RS
47 Sarjito. Waktu itu saya berkata: "Gusti Allah kalau saya dapat bertemu dengan Pak
48 Zahid saya akan masuk Sumarah lagi. Tapi kalau tidak bisa bertemu, baru saya akan
49 sembahyang". Saya betul-betul kurang ajar [pada Allah] waktu itu.
50
51 Sebenarnya saya punya banyak peluang untuk bertemu dengan Pak Zahid. Tapi
52 ternyata sewaktu saya akan menemui beliau, tiba-tiba saya menstruasi, sehingga saya
53 hanya duduk di pojok [ruangan] dan tak bisa bergerak. Dari kejadian ini sebenarnya
54 saya sudah mendapat jawaban [dari Allah] bahwa saya tidak boleh lagi mengikuti
55 Sumarah dan saya harus melakukan shalat dan menjadi orang Islam. Tapi saya masih
56 menunda-nunda [untuk melakukan shalt]. Tiga bulan kemudian tiba-tiba suami saya
57 dipensiun dengan mendadak tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Kejadian itu sangat
58 memukul saya. [Saya merasa] betul-betul kurang ajar pada Allah. Saya merasa sangat
59 berdosa, karena sudah diberi jawaban sungguh-sungguh, tapi mengingkari janji.
60 [Karena itu] saya berniat betul-betul untuk menjadi orang Islam. Saya merasa sudah
61 waktunya untuk mengenal Allah. Saya menjadi mantap [bahwa Islam] adalah jalan
62 saya. Sekarang saya menjadi [orang] Islam beneran. Sejak itu saya tidak pernah
63 keinggalan melaksanakan sholat.
210
211
64
65 [Pada waktu itu] setiap dzikir saya selalu melihat gambar macam-macam, [meskipun]
66 saya tidak pernah ingin mencari penglihatan-penglihatan seperti itu. Saya kira itu
67 adalah indera ke enam. Saya percaya ada indera ke enam, tapi tidak selalu [bisa saya
68 gunakan]. Jika Allah menghendaki [akan bisa].
69
70 Pernah saya melihat Bu War [salah seorang anggota Pengajian Ikhlas] memakai
71 pakaian putih-putih. Wajahnya juga putih mencorong. [Dia] menggandeng orang yang
72 hitam kelam yang wajahnya persis dengan Bu War. Rupanya Bu War sudah bisa
73 menundukkan si hitamnya.
74
75 Waktu ibunya Bu War akan meninggal, saya dzikir melihat orang sedang kenduri, ada
76 'engkung'-nya. Sepertinya ada surua: "Engkung-nya segera dimakan." Lalu tangan saya
77 hendak mengambil engkung itu. Tapi tiba-tiba saya ingat sedang dzikir, lalu tidak jadi
78 mengambil. Ternyata kemudian Bu War kecelakaan dan ibunya meninggal. Saya
79 sampai sekarang bertanya-tanya suara siapa itu. Apa suara ibunya Bu Warno? Itu
80 adalah firasat. Sewaktu Pak Tawar mau meninggal, saya sudah tahu. Saya melihat
81 ketika dzikir, ada ruang tamu kosong. Di situ ada peti jenazah. Saya lihat Bu Warno
82 sendirian. Lalu ada suara: "Itu Pak Warno".
83
84 Saya pernah mengalami terbang. Setelah maghrib saya dzikir di masjid agak lama.
85 Tiba-tiba [saya] sudah sampai di atap. Saya melihat diri saya di bawah sedang dzikir
86 sambil duduk. Saya terkejut dan takut. Tapi akhirnya saya bisa kembali. Saya juga
87 pernah masuk ke bumi. [Ceritanya] suatu hari saya melayat dua orang [mati]. Setelah
88 shalat saya berpikir, ternyata orang meninggal itu gampang sekali. Saya tidak mau mati
89 dulu karena saya masih merasa kotor. Kemudian saya dzikir dengan masih membawa
90 persoalan [tentang kematian itu]. Lalu saya merasa seperti 'ambles' ke bumi. Enak
91 sekali seperti film ‘journey to the centre’. Di bawah [bumi] itu ternyata bagus sekali.
92 Sinarnya seperti neon atau bulan purnama. Padahal siang tapi tidak panas. Hawanya
93 nyaman. Lalu ada taman, [ada] air mancur bagus sekali. Saya terpesona. Saya belum
94 pernah melihat dunia yang seperti itu. Tiba-tiba saya ditepuk mbah buyut saya [yang
95 sudah meninggal]: "Mengapa kamu di sini? ini bukan tempatmu." Saya berkata: "Wah
211
212
96 bagus sekali ya mbah. Simbah pasti senang sekali di sini." [Simbah saya berkata]:
97 "[Makanya] kamu tidak usah takut mati. Percayalah, kamu nanti umur panjang seperti
98 simbah, 98 tahun, dan berguna. Kamu [akan] banyak dicari orang. Sudah cepat
99 kembali." [Tapi] saya tidak mau kembali. Tapi kemudian suami saya masuk ke rumah
100 sambil mengucapkan salam. Saya kaget, langsung bangun.
101
102 Waktu Bu Mar syukuran mau naik haji saya menemani menerima tamu. Tiba-tiba Bu
103 Mar minta untuk distrom karena badannya terasa dingin semua. Saya bingung dan tidak
104 tahu harus diapakan. Saya bertanya kepada Dik Jaelani apa yang harus saya lakukan.
105 Dia menyarankan sebisanya saja. Kemudian tangan Bu War saya pegang. Lalu saya
106 menyerahkan pada Allah: "Ya Allah saya tidak bisa apa-apa, tapi saya kasihan dengan
107 teman saya ini. Kalau Allah berkenan saya bersedia jadi perantara." Lalu saya baca Al
108 Fatihah sambil tetap membuka mata. Saya tidak tahu bagaimana. Dari atas tiba-tiba
109 terasa dingin. Sepertinya dada saya itu terbuka. Rasanya seperti terbang. Tak tahulah
110 [bagaimana saya harus menceritakan]. Pokoknya terbuka semua. Ketika membaca
111 [ayat] ‘Arrokhmaanirrokhim’ rasanya saya seperti terbuka. Tidak tahu saya di mana.
112 Jadi saya merasa hilang. Lalu [seperti ada kekuatan] mengalir ke tangan saya [terus ke
113 tangan Bu Mar].
114
115 Setelah itu saya merasa sudah bisa [menyembuhkan orang] dengan hanya membaca
116 Fatihah. Tapi setelah saya coba berulang-ulang ternyata tidak bisa. Menurut Pak Amri
117 karena [waktu itu] saya merasa tidak bisa apa-apa. Betul-betul berserah diri pada Allah.
118 Tujuannya untuk menolong teman. Tapi kalau [kemampuan seperti itu sengaja] dicari
119 tidak akan bisa. Menurut saya dzkir itu bisa menghilangkan penyakit kalau kita bisa
120 menghampa [dengan berserah diri pada Allah]. Kalau saya sakit atau pusing saya dzikir
121 dulu, baru minum obat kalau belum sembuh.
122
123 Jadi saya merasa mantap. Kalau begitu Allah itu menyayangi saya dengan memberikan
124 ilmu pada saya. Pada waktu riyadloh saya dzikir setelah sholat ashar, lalu saya
125 merasakan orang yang dzikir itu banyak sekali. Padahal cuma lima belas orang.
126 Rasanya penuh berjejal. Ketika saya beritahukan Pak Amri, [katanya] berarti dzikir itu
212
213
127 diterima [Allah], [karena kalau dzikir itu diterima] akan datang 70 ribu malaikat
128 memenuhi tempat dzikir. Saya merasakan banyak malaikat datang.
129
130 Menurut saya Allah itu berusaha membersihkan hamba-Nya dengan sungguh-sungguh.
131 [Maka] dzikir itu tak bisa untuk main-main. Dzikir [harus] dengan niat mendekatkan
132 diri pada Allah. Kalau saya teledor sedikit saja [dengan dzikir] ada peringatan.
133 Misalnya saya membatin yang jelek tentang tetangga, lalu saya kena paku, masuk ke
134 sandal dan tembus ke kaki. Kalau dzikir saya kacau kanker payu dara saya juga
135 membesar lagi, padahal kalau dzikirnya baik, kanker itu semakin mengecil. Bukan
136 berarti melaksankan dzikir itu ringan. Cobaannya berat, tapi mudah hilang, karena
137 kembali pada Allah. Maka [saya berdo'a]: "Jangan lupakan aku ya Alloh. kalau kotor
138 sedikit bersihkan."
213
214
DESKRIPSI FENOMENA INDIVIDUAL (DFI)
PARTISIPAN MINAH
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Saya dibesarkan dalam lingkungan kejawen. Saya tidak pernah mendapatkan
2 pendidikan agama dari orang tua, meskipun nenek saya haji. Kalau bulan Ramadhan
3 memang saya ikut puasa, tapi tidak pernah shalat. Ketika SD saya masih belum begitu
4 perhatian terhadap agama. Hanya saya merasa yakin di dalam hati bahwa Tuhan itu
5 ada, sehingga kalau akan ujian sekolah saya bermohon pada Allah dengan cara Jawa,
6 misalnya puasa Senen Kamis.
7
8 Waktu saya SMP saya punya keinginan kuat untuk belajar agama. Saya tidak tahu
9 mengapa. Allah yang memberi saya [keinginan] itu, sampai saya mengumpulkan uang
10 jajan saya untuk membayar pembantu mengajari saya ngaji. Sejak itu saya belajar
11 agama sendiri. Allah memberi saya petunjuk dan nikmat [sehingga] saya gampang
12 menangis kalau mendengar sesuatu yang berbau agama. Saya sering ikut pengajian dan
13 mendengarkan ceramah agama di TV.
14
15 Yang pertama ikut Pengajian Ikhlas suami saya. [Waktu itu] saya malah melarangnya,
16 karena [kalau] pengajian sampai subuh. Tapi suami saya tetap rajin. Dia mengatakan,
17 meskipun istri sendiri kalau belum dibukakan Allah tidak akan mengerti. Saya jadi
18 ingin tahu. Lalu saya datang ke Pengajian Ikhlas . Tapi saya menerima [dzikir] tidak di
19 hati, melainkan di otak. Saya malah pusing kalau dzikir. Hati saya sepertinya tertutup,
20 [karena] saya sombong waktu itu. Saya merasa diri saya yang paling baik. Tanpa ikut
21 dzikir, saya juga menangis kalau mendengarkan ceramah agama atau mendengar ayat-
22 ayat al Qur'an.
23
24 Suatu saat Allah memberi saya suatu kondisi [di mana] 'aku' saya itu turun. Saya
25 membaca buku tentang riwayatnya Nabi Muhammad. Saya menangis tersedu-sedu
26 karena Nabi Muhammad begitu berat penderitaannya dalam menyampaikan agama.
27 Sejak saat itu hati saya terbuka. Kesombongan saya mulai terkikis. [Selain itu] saya
28 juga melihat ada orang yang dzikir sampai berdiri, takbir lalu sujud. Barangkali saya
214
215
29 masih banyak berbohong. Saya masih kotor dan kecil sekali di hadapan Allah. 'Aku'
30 saya menjadi semakin turun. Setelah itu begitu disujudkan saya langsung terjatuh. Tapi
31 saya masih sadar. Di situ saya merasakan suatu pengalaman rohani. Saya melihat suatu
32 taman yang sangat indah. Ada bunga-bunga. Pengalaman itu betul-betul
33 mempengaruhi hidup saya.
34
35 Saya banyak mendapatkan pengalaman dalam melaksanakan dzikir. Mulai dari
36 kesembuhan penyakit maag [saya]. Kemudian saya dirajinkan dan disenangkan untuk
37 mendatangi pengajian dzikir. Itu transisi saya.
38 [Pada waktu transisi itu] saya merasa [kehidupan beragama saya] meningkat. Allah
39 membuat saya ingin selalu menambah ibadah, seperti puasa [dan] shalat. Saya
40 dipuasakan [oleh Allah]. Saya sampai kranjingan beribadah. Suatu saat saya mendengar
41 ceramah yang menyatakan bahwa mencari ilmu agama itu juga merupakan suatu
42 bentuk pertobatan, selain membaca istighfar. Kalau memang begitu, saya merasa
43 bersyukur. Semoga Allah mengampuni dosa saya, karena dosa saya banyak
44 menumpuk-numpuk.
45
46 [Pada masa transisi itu] saya sering melihat macam-macam kalau dzikir. Pernah ketika
47 dzikir tiba-tiba saya melihat ada suatu lautan, di situ banyak orang yang seperti
48 berusaha untuk keluar. Tapi matahari hampir sampai di kepala mereka. Saya menjadi
49 takut melihat pemandangan itu. Saya ingat dosa saya. Barangkali begitulah nanti di hari
50 kiamat.
51
52 Pernah juga ketika dzikir tiba-tiba saya melihat satu titik jauh sekali yang makin lama
53 makin mendekat. Ternyata itu candi Borobudur. Saya hampir menjerit, karena waktu
54 itu saya benci sekali dengan [segala bentuk] berhala. [Sepengetahuan saya] berhala itu
55 harus dienyahkan, sehingga kalau membaca majalah dan saya menemukan patung-
56 patung, langsung saya tutup. Kalau di TV ada mimbar agama Buddha langsung saya
57 matikan. Tetapi sepertinya Allah tidak berkehendak [dengan sikap saya seperti itu].
58 Sepertinya saya dijewer:"Kamu itu mengerti-lah!" Allah itu memberi nikmat pada
59 hamba-Nya. Ada yang bisa membuat patung, punya seni. Kenapa saya tidak mau?
60 Yang penting tidak disembah.
215
216
61
62 Suatu saat saya digoda mahluk yang tidak kelihatan. Kadang saya melihat wujudnya
63 yang seperti orang, tapi tidak menakutkan. Sekejap muncul, lalu hilang. Tapi kalau
64 dicari tidak ada. Setiap mau tidur, mahluk itu muncul. Di ruang tamu saya melihat
65 banyak anak-anak kecil. Suatu ketika dalam tidur saya melihat sesosok tubuh yang
66 diselimuti kain putih, seperti mayat, tapi kepalanya tidak diikat. [Mahluk itu] tinggi
67 sekali sampai menyentuh langit-langit. [Mahluk yang] sangat menakutkan itu
68 menggoda saya dalam mimpi. Saya takut sekali. Mungkin Allah memberi petunjuk,
69 sehingga hati saya berkata: Percayalah pada Qur'an, bahwa Allah juga mencitakan
70 mahluk-mahluk yang tidak kelihatan.
71
72 Sampai seberapa bulan saya ditunjukkan mahluk-mahluk yang menakutkan itu, sampai
73 saya takut tidur. Lalu saya menghayati, ternyata waktu itu dzikir saya laa illaha illallah.
74 [Kejadian seperti] ini juga dialami oleh teman yang baru masuk. Jadi tampaknya ada
75 pihak yang tidak senang bahwa kita itu bersembah sujud pada Allah.
76
77 Suatu ketika setelah selesai shalat ashar, tiba-tiba saya mendengar suara seperti orang
78 laki-laki jelas sekali: "Kamu itu kok mubadzir, menyebut-nyebut nama Allah. Allah itu
79 tidak ada." Saat itu juga saya merasa lemas. Mengapa saya bersusah payah itu
80 mubadzir? Tapi perasaan itu cuma sebentar. Hati saya [segera] kencang lagi: Allah itu
81 ada! Mahluk itu mungkin menggoda saya.
82
83 Yang paling hebat saya merasakan pengalaman spiritual yang membuat saya mantap
84 dalam beriman. Waktu itu saya mau tidur melihat jam, ternyata jam 12 malam. Begitu
85 saya menutup mata, jendela [kamar saya] terbuka lebar. Di luar ada petir menyambar
86 dahsyat sekali. Saya pikir dunia akan kiamat. Saya takut sekali, lalu saya membaca ayat
87 kursi yang tiba-tiba sudah tertulis di tembok. Tempat tidur saya lalu menjadi terang
88 benderang. Tiba-tiba di dekat saya ada api menyala, seperti ada bensin kena api.
89 Kemudian ada tiga atau empat orang kakek-kakek mengelilingi saya, tapi tubuhnya
90 pendek-pendek. Mukanya merah-merah. Saya seperti menolak mereka. Yang terakhir
91 di belakang saya seperti ada suatu sosok yang bukan main tingginya. Mahluk itu
92 mengeram kesal, jengkel. Kakinya dibanting ke tanah sambil berdecak kesal. Saking
216
217
93 dahsyatnya suara itu membuat saya sangat ketakutan. Setelah itu saya terbangun.
94 Ternyata saya sudah membaca ayat kursi sebanyak 150 kali. Begitu bangun badan saya
95 lemas seperti dilolosi.
96
97 Kejadian-kejadian itu merupakan petunjuk dari Allah bahwa Allah itu juga
98 menciptakan mahluk-mahluk lain. Jadi kembali pada Qur'an memang terbukti
99 kebenarannya. Saya lebih mantap.
100
101 Setelah diperlihatkan macam-macm itu saya lalu bermohon: "Ya Allah jangan Engkau
102 tunjukkan yang seperti itu lagi. Saya sudah yaqin semuanya. Saya tidak mau tertunda
103 hanya melihat itu-itu saja. Saya hanya ingin Engkau saja ya Allah." Kata sesepuh kalau
104 kita terlena dengan hal-hal seperti itu, hubungan dengan Allah menjadi terhambat. Saya
105 hanya ingin berbakti pada Allah saja.
106
107 Setelah saya mohon seperti itu masih diberi satu dua kali penglihatan, tapi akhirnya
108 kalau dzikir tiba-tiba timbul gerakan, lalu langsung sujud. Setiap kali dzikir di dada
109 langsung sujud. Meskipun saya datang terlambat dan tempatnya sudah penuh, Allah
110 mengatur, ada saja tempat untuk bersujud, karena memang bukan saya yang
111 menyujudkan.
112
113 Saya memang banyak mengalami jatuh bangun dalam usaha berserah diri pada Allah.
114 Suatu saat saya mengalami suatu kondisi yang semuanya terasa nikmat. Saat itu dzikir
115 saya innalillahi wainna ilaihi roji'un. Lalu saya merasa bahwa di dunia ini tidak ada
116 kesengsaraan, tidak ada sakit, tidak ada kekurangan. Saya kira itu karena dzikir saya.
117 Dengan dzikir itu saya merasakan masalah saya dimudahkan, sehingga terasa nikmat.
118 Tapi saya juga pernah mengalami suatu saat di mana saya betul-betul merasa putus asa.
119 Saya ingin supaya nyawa saya diambil saja. Tetapi begitu saya teringat bahwa saya
120 masih punya anak, lalu saya berserah diri pada Allah.
121
122 Mengahadapi masalah anak saya yang senang mengikuti gang-gang anak muda, saya
123 merasa sedih sekali. Kemudian saya mohon petunjuk pada Allah lewat Al-Qur'an.
124 Caranya berniat mohon petunjuk, kemudian Al Qur'an yang saya pegang. Lalu saya
217
218
125 dzikir. Karena kondisi betul-betul berserah diri mutlak, merasa tidak mampu dan tidak
126 dengan emosi, lalu tangan saya bergerak membuka ayat Qur'an. Ternyata yang keluar
127 ayat yang mengenai bersyukur dan bersabar. Itulah petunjuk Allah. Saya harus belajar
128 sabar dan bersyukur.
129
130 Kalau saat saya tidak berserah diri pada Allah, saya susah sendiri. Dzikirnya menjadi
131 kacau. Kalau dzikir kacau masalah-masalah mulai bermunculan tidak terselesaikan.
132 Misalnya suatu saat saya akan ikut lomba koor ibu-ibu. Waktu saya bangun anak-anak
133 masih tidur. Saya marah, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
134 Karena marah, waktu menjahit baju, tiba-tiba tangan saya terkena jarum. Saya langsung
135 sadar, lalu istighfar. Rupanya sejak tadi saya tidak dzikir pada Allah. Saya lalu seperti
136 dialog dengan Allah. Apa yang dikehendaki Allah dengan kejadian ini. Di situ saya
137 menghayati bahwa saya semestinya sabar tidak boleh marah melihat sesuatu yang
138 sesuai dengan keinginan saya. Allah Maha mengatur. Semestinya saya bersikap seperti
139 wayang yang patuh terhadap segala perintah dalang. Saya merasa betul seperti wayang.
140 Saya menganggap apa yang terjadi pada saya adalah yang terbaik untuk saya. Jadi Allah
141 memberi petunjuk sampai sekecil-kecilnya. Peristiwa yang sepele [bagi orang lain]
142 besar artinya bagi saya, karena menghasilkan petunjuk yang besar.
143
144 Akhir-akhir ini saya menghayati tentang firman Allah pada Nabi Daud [tentang
145 pentingnya berserah diri]. Saya sering mengalaminya. Saya punya kehendak, tapi saya
146 merasa kehendak Allah yang berlaku. [Semua] itu saya terima dengan rasa syukur. Saya
147 masih suka melanggar, tapi kok masih suka diberi kenikmatan-kenikmatan. Jadi saya
148 malah takut. Saya sampai bingung bagaimana harus bersyukur
218
219
DESKRIPSI FENOMENA INDIVIDUAL (DFI)
PARTISIPAN ENDI
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Sejak kecil saya belajar agama di dalam keluarga maupun di sekolah. Pagi hari saya
2 sekolah di SD, sore di Madrasah. Lalu saya masuk SMP [Islam] Cokroaminoto, PGA-
3 Islam dan sekarang IAIN. Jadi masalah agama itu sudah menjadi satu dengan
4 kehidupan saya.
5
6 Dulu saya senang membaca majalah Psikologi karena saya anggap majalah itu dapat
7 membicarakan perjalan hidup seseorang. Di situ digambarkan hubungan anak dan
8 orangtua, problem keluarga, persis seperti yang saya alami. Tapi tidak lama, karena
9 intinya semua sama, sehingga tidak menarik lagi. Saya lebih [tertarik] pada Al Qur'an
10 dan Hadist. Saya jadi yakin kalau Islam itu lebih tinggi dari [ilmu] yang lain.
11
12 Niat saya ke Pengajian Ikhlas itu untuk mencari tenaga dalam. Menurut teman saya
13 dalam Pengajian Ikhlas itu ada unsur-unsur magis, supra natural. Teman itu
14 menceritakan katanya ada orang yang ketika getol-getolnya dzikir bisa melompat
15 pagar, bisa menatap sinar matahari, bisa meniup lampu [listrik] sampai mati, menatap
16 tikus bisa jatuh. Saya tertarik itu, karena saya agak jenuh belajar agama terus. Saya
17 ingin punya ‘ilmu’, [karena] saya pernah mau dihajar orang [tapi saya tidak mampu
18 membela diri]. Sebenarnya di kampung saya banyak orang punya ilmu [dan] perguruan
19 tenaga dalam. Tapi untuk mengikuti perguruan itu ada syarat dimana syarat itu
20 membuat saya meninggalkan shalat. Saya tidak mau meinggalkan shalat hanya karena
21 tergila-gila dengan ilmu itu.
22
23 Waktu dzikir pertama kali badan saya terasa panas dan lemas. Setelah selesai dzikir ada
24 pengajian tentang agama Islam. Ada yang memberi kesan-kesan tentang perguruan-
25 perguraun bela diri. Komentar Pak Amri, semua itu intinya adalah membela diri. Kalau
26 kita sudah serahkan pada Allah [segala urusan akan terselesaikan], karena semua ada
27 dalam kekuasaan Allah. Coba kita hayati: inna sholati wanusuki wamahyaya
28 wamamati. [Di situ saya menyadari] bahwa ayat itu sudah saya baca sejak kecil [kalau
219
220
29 shalat]. Tapi tidak saya hayati, [sehingga saya masih takut mati]. [Sekarang saya pikir]
30 kenapa kita takut mati. [Saya sekarang yakin bahwa] hidup mati kan dari Allah. [Jadi]
31 sejak dulu saya banyak ilmu teori tentang agama, tapi penyadarannya belum lama
32 [setelah saya ikut Pengajian Ikhlas ] .
33
34 Suatu saat diceritakan [dalam pengajian] dzikir dalam keadaan duduk, berbaring, dan
35 berdiri. Intinya dalam segala hal. Suatu saat saya naik bis. Selama itu saya dzikir terus.
36 Kondekturnya sampai tidak melihat saya. Padahal saya duduk paling depan, tapi tidak
37 ditarik [ongkos]. [Tapi ketika] saya di Wonosobo makan, saya kira habis Rp. 300,
38 ternyata Rp.700 pas dengan uang bis itu.
39
40 Saya pernah menipu orangtua. Saya minta uang dengan alasan untuk keperluan kuliah.
41 Tapi sebelum uang itu saya gunakan, tustel yang saya pinjam rusak. Biaya untuk
42 memperbaiki [tustel itu] pas dengan uang yang saya minta dari orang tua. Kalau begitu
43 orang harus jujur benar-benar.
44
45 [Di masjid Twakkal] ada anak beli buku Iqro'. [Karena bayarnya belum penuh] uang
46 saya terima lalu saya masukkan ke dalam saku [saya]. saya tidak punya niat untuk
47 menggunakan uang itu. [Tapi] ternyata bendahara yang biasanya tidak pernah
48 mengecek datang dan mengecek uang. Saya sangat kaget. [Rupanya] semua itu Allah
49 yang mengatur.
50
51 Saya sekarang tidak banyak mengeluh. Nikmat Allah itu lebih banyak dibandingkan
52 dengan cobaan yang diberikan. Kalau habis shalat saya tidak langsung lari, tapi dzikir
53 dulu. Dzikir setiap saat. Tapi kadang saya merasa ada 'aku' nya. Jadi seolah-olah saya
54 yang paling tinggi, karena kalau ada orang ceramah tentang agama rasanya biasa, dan
55 tidak menarik lagi. [Rasa aku] itu yang menjadi kendala. Dan kalau berbicara tentang
56 Tawakkal dengan orang-orang yang belum ikut Pengajian Ikhlas saya merasa paling
57 bisa. Merasa bisa itulah syetan sudah masuk.
58
59 Saya pernah berkesimpulan bahwa saya menjadi orang tawakkal itu sudah jadi. Saya
60 tidak pernah flu atau masuk angin. Suatu saat saya jalan kaki dari kampus ke rumah
220
221
61 dalam keadaan hujan. Karena saya merasa sudah jadi dan saya merasa punya alat
62 supaya badan tidak sakit, lalu saya berdo'a. Ternyata malah sakit. Saya jadi berpikir
63 ternyata saya masih punya rasa sombong, bahwa saya itu bisa karena diri saya, bukan
64 dari Allah. Termasuk ketika naik bus tidak bayar, itu bukan kehendak saya. Suatu saat
65 saya mencoba agar kondekturnya tidak melihat, maka saya dzikir terus. Ternyata
66 melihat juga. Jadi semua itu bukan saya yang berkehendak.
67
68 Kalau kita diberi kebisaan-kebisaan itu bukan dari kita, tapi semata kehendak Allah.
69 Misalnya, saya mau ke rumah teman hujan. saya bilang nanti tunggu jam 4. Ternyata
70 jam 4 hujan berhenti. Suatu saat saya mencoba lagi, ternyata tak bisa. Jadi bukan kita
71 yang berkehendak. Semata-mata dari Allah. Kita tak boleh sombong.
221
222
222
223
223