Anda di halaman 1dari 15

PEMIKIRAN FILSAFAT IKHWAN AL SHAFA

Diajukan untuk memenuhi mata kuliah

“Filsafat Islam”

Dosen Pengampu

Dr. Afiful Ikhwan,M.Pd.I

Disusun Oleh:

Edi Sumanto M.Ag

PAI E- SMT 3

1
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga
dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam.

Kemudian dari pada itu, saya sadar bahwa dalam penyusunan tugas makalah ini
banyak yang membantu terhadap usaha saya, mengingat hal itu dengan segala hormat saya
sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dosen pengampu mata kuliah Filsafat Islam Dr. Afiful Ikhwan,M.Pd.I


2. Pihak manapun yang telah membantu menyelesaikan tugas makalah ini.

Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut saya hanya dapat berdo'a dan memohon
kepada Allah SWT semoga amal dan jerih payah mereka menjadi amal soleh di sisi Allah
SWT. Aamiin.

Akhirnya saya tetap berharap semoga tugas makalah ini menjadi butir-butir amalan kami
dan bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi seluruh pembaca. Aamiin

Ponorogo, 5 Oktober 2018


Penyusun,

(Lukman Ilham Tajudin)

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
LATAR BELAKANG 4
RUMUSAN MASALAH 5
TUJUAN MASALAH 5
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
PEMIKIRAN FILSAFAT IKHWAN AL SHAFA 6
BIOGRAFI IKHWAN AL-SHAFA 6
PEMIKIRAN FILSAFAT IKHWAN AL-SHAFA 10
BAB III 14
PENUTUP 14
KESIMPULAN 14
DAFTAR PUSTAKA 15

3
BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Zaman telah berganti seiring berjalannya waktu dari detik menuju menit, dari menit
menuju jam begitulah perkembangan zaman ini. Perkembangan ilmu semakin maju dalam
bidangnya masing-masing tak terkecuali ilmu filsafat. Manusia selalu mencari dan berusaha
untuk menemukan kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis
dan melalui pengalaman-pengalaman atau empiris. Struktur pengetahuan manusia
menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat
pengetahuan dalam struktur tersebut menujukkan tingkat kebenaran yang berbeda.
Pengetahuan indrawi merupakan struktur terendah. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi
adalah pengetahuan rasional dan intuitif yang biasa disebut dengan filsafat. Filsafat
mengajarkan kesadaran, kemauan kemampuan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai
makhluk hidup, makhluk sosial, dan makhluk tuhan untuk diaplikasikan dalam hidup. Secara
umum, studi filsafat bertujuan untuk menjadikan manusia yang berilmu.

Perbedaan orang yang berfilsafat dengan yang tidak berfilsafat terletak pada sikap
seseorang terhadap hidupnya. Karena filsafat akan mengajarkan kepada kita tentang
kesadaran, kemauan, dan kemampuan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai
makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk tuhan untuk diaplikasikan dalam hidup.
Dalam perjalanan ilmu filsafat banyak mengalami perkembangan-perkembangan yang terjadi
dari masa ke masa, perkembangan yang terus berlanjut sampai sekarang. Mulai dari masa
yunani hingga masa modern. Dalam perkembangan itu islam sebagai salah satu agama
terbesar ikut turut berperan besar dalam kemajuan filsafat sebagai ilmu, sehingga hal ini patut
dipejari dan dipahami, oleh karena hal ini lah yang melatar belakangi pembuatan makalah ini
selain sebagai tugas perkuliahan yang telah diberikan oleh dosen pembimbing.

4
A. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana biografi ikhwan al- shafa ?


2. Bagaimana pemikiran-pemikiran filsafat ikhwan al-shafa ?

B. TUJUAN MASALAH

1. Mengetahui biografi ikhwan al-shafa.


2. Mengetahui dan memahami pemikiran-pemikiran filsafat ikhwan
al-shafa.

5
BAB II

PEMBAHASAN

PEMIKIRAN FILSAFAT IKHWAN AL SHAFA

1. BIOGRAFI IKHWAN AL-SHAFA

Ikhwan al-shafa adalah perkumpulan dari para mujtahidin dalam ilmu bidang filsafat
yang lebih fokus memperhatikan bidang pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada akhir
abad kedua Hijriyah di kota Bashrah, Irak. Perkumpulan ini antara lain mengajarkan tentang
dasar-dasar agama islam yang memperkokoh ukhuwah islamiyah, dengan sikap pandangan
bahwa “iman seorang muslim tidak sempurna sampai ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.” Sebagai sebuah perkumpulan mereka memiliki semangat dakwah
dan tabligh yang militan terhadap orang lain. Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi
pengajar atau mubaligh terhadap orang lain dalam masyarakat. Perkumpulan ini didirikan
sejak abad ke -4 H./10 M. Di kota Basrah. Disebut juga brethem of purity and brethren of
sincerity(Islam, 2002), khullan al-wafa, ahl ‘adl, abna al-hamdi (the brethreen of purity the
faithful friends, the men of justice and the sons deserving praiseworthy conduct) atau dengan
sebutan singkat ikhwanuna atau juga auliyya Alloh. Organisasi ini berasal dari Shi’ah
ismailiah.(Hitti, 1970)

Kerahasiaan gerakan ikhwan al-shafa disebabkan oleh banyak faktor yang menjadikan
gerakan ini tidak berani menampakkan anggota-anggotanya demi keberlangsungan gerakan
ini sehingga tak heran lagi apabila gerakan ikhwan al-shafa ini seringkali diidentikan dengan
organisasi eksklusif. Eksklusivisme adalah pandangan atau persepsi masyarakat luas bahwa
mereka hanya mau bergaul dengan kaumnya sendiri.(Tan, 1995) Akan tetapi meskipun tetap
mempertahankan kerahasiannyannya, gerakan mereka dapat diketahui melalui tulisan-
tulisannya yang terhimpun dalam sebuah buku yang berjudul Risalah Ikhwan al-Shafa, yang
disebarluaskan melalui pendidikan ekslusif di masjid-masjid, kuttab dan tempat-tempat
pendidikan lainnya.

6
Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan oleh kelompok masyarakat
yang terdiri dari para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki
misi politis. Hingga sekarang, siapa-siapa anggota ikhwan al-shafa masih belum terungkap.
Sumber-sumber Arab mempunyai ragam pendapat mengenai nama-nama mereka. Para
peneliti ada yang mencoba menerka nama-nama seperti al-Majriti, Jabir bin Hayyan, dan Ibnu
Khalikan, sebagai eksponen utama dalam kelompok Ikhwan al-Shafa. Ikhwan memang
bermaksud menyelubungi jati dirinya. Mereka sangat tidak ingin dikenal atau populer di mata
masyarakat.

Namun bersamaan dengan itu ada pula yang mengatakan bahwa organisasi ini lebih
bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang
berkenaan dengan pembetukan pribadi, jiwa dan akidah.(Nata, 1997) Sebagian sejarawan
kotemporer menyimpulkan bahwa Ikhwan al-Ashafa merupakan kelompok terorganisir,
terdiri dari para filosof moralis yang beranggapan bahwa pangkal perseteruan sosial, politik
dan keagamaan terdapat pada keragaman agama, aliran agama dan etnik kesukuan dalam
kekhalifaan Abbasiyah. Mereka berusaha keras menghilangkan ragam perselisihan dan
mewadahinya ke dalam satu madzab yang ekslusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang
disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.(Farukh, 1972) Penulisan risalah Ikhwan al-
Shafa berasal dari perasaan tidak puas terhadap pelaksanaan pendidikan dan gaya hidup
ummat islam pada saat itu. Ajaran-ajaran Ikhwan al-Shafa dapat diketahui melalui risalah-
risalahnya yang berjumplah 52 risalah dan terbit tanpa diketahui identitas pengarangnya.

Kandungan risalah Ikhwan al-Shafa meliputi pemikiran filsafat dan sains, terdiri dari 52
naskah, disusun menjadi empat kelompok:

a. Tentang matematika, terdiri dari empat belas naskah, meliputi : Geometri, Astronomi,
Musik, Geografi, Seni teoritis dan praktis, Moral dan logika.
b. Tentang ilmu alam dan fisika, terdiri dari tujuh belas naskah, meliputi fisika,
mineralogi, botani, alam kehidupan dan kematian, dan batas-batas kemampuan
pemahaman manusia.
c. Sains tentang pemikiran dan psikologi, terdiri dari sepuluh naskah yang meliputi
antara lain metafisika dan pemikiran tentang edar dan waktu, tabiat cinta, dan tabiat
kebangkitan kembali pada hari kiamat.
d. Ilmu tentang agama dan ketuhanan, terdiri dari sebelas naskah yang meliputi
keimanan dan upacara ritual, peraturan tentang hubungan manusia dengan tuhan,

7
upacara-upacara Ikhwan al –Shafa, ramalan dan keadaan mereka, entitas
(perwujudan) spiritual dan tindakan (aksi), tipe perundangan politik, takdir, ilmu
ghoib, dan ‘azimat (jimat). Secara garis besar, pemikiran Ikhwan al-Shafa bersifat
liberal, meski tetap ingin memadukan dengan agama islam(Islam, 2002).

Corak pergerakan dengan model tersembunyi tersebut menjadikan Ikhwan al-Shafa


seringkali dianggap sebagai penganut ideologi shiah ismailiyah dimana salah satu ajaran
shiah adalah taqiyah sehingga ada sebagian pendapat mengatakan bahwa diantara tokoh-
tokoh dari Ikhwan al-Shafa adalah Imam Ahmad b'in Abdullah. Kelompok lain mempunyai
pendapat bahwa pergerakan Ikhwan al-Shafa adalah “semi sirriyah”artinya tidak murni
tersembunyi karena mereka berhasil menyebarkan ajaran-ajarannya di masjid-masjid dan
dibeberapa selebaran serta mengutus dai nya ke beberapa negara. Pergerakannya tersebut
sempat menjadi topik pembicaraan yang heboh dikalangan masyarakat Baghdad dan Basrah
pada paroh kedua abad IV H.

pemikiran Ikhwan al –Shafa yang menonjol adalah dalam bidang filsafat. Mereka
memandang bahwa syariat itu hanya cocok untuk orang awam, bagaikan obat-obatan untuk
jiwa yang lemah dan sakit. Pengaruh risalah Ikhwan al-Shafa cukup besar dalam kelanjutan
transformasi filsafat Yunani ke dunia Islam, meskipun mendapat reaksi cukup keras dari
golongan agama dan kalangan filsuf. Mereka memandang filafat yang dikembangkan oleh
Ikhwan al-Shafa aneh dan hanya cocok untuk orang awam(Islam, 2002).

Jama’ah Ikhwan al-Shafa adalah jama’ah yang pintar berda’wah kebatinan akan tetapi
mereka berbeda dengan corak kebatinan yang dimiliki oleh kaum Qaramitah dan Isma’iliyah
meski Ikhwan al-Shafa sering diakui sebagai penganut faham shi’ah ism’liyah di mana kaum
Qaramitah dan Isma’liyah ini ketika berdakwah mereka melawan penguasa setempat dan
tidak segan-segannya dengan cara mengangkat senjata. Hal ini berbeda dengan cara yang
ditempuh oleh Ikhwan al-Shafa, mereka berdakwah secara pelan dan tenang dengan
mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan dengan menggunakan metode perpaduan antara
filsafat dan agama islam. Menurutnya, filsafat adalah satu-satunya cara untuk mensucikan
agama. Barangkali inilah salah satu faktor yang mendorong Ikhwan al-Shafa untuk
menyembunyikan identitas jama’ahnya, karena mereka tidak menginginkan adanya
perlawanan dan hujatan dari ahli-ahli fiqh, jikalau Ikhwan al-Shafa memilih jalur filsafat.

Tujuan utama yang ingin dicapai oleh gerakan Ikhwan al-Shafa yaitu mencapai
kebahagiaan jiwa yang abadi dengan cara saling tolong-menolong antara sesamanya

8
khususnya melalui jalur pendidikan. Pendidikan adalah satu-satunya cara untuk
membersihkan jiwa.

Dalam sejarah islam kelompok ikhwan al-shafa tampil “eksklusif” dengan gerakan
reformatif pendidikannya. Karena itu mereka adalah ta’limiyyun (bermisi pegajaran) dalam
melangsungkan kegiatan keilmuan dan politiknya. Kecenderungan ta’limiyyun ini sangat
tampat dalam praktek politiknya, yaitu dalam relasi dan organisasi antar mereka berada pada
penjejangan da’wah (penyebaran misi). Penjenjangan da’wah dan aksinya mengikuti empat
lapisan :

a. Kelompok remaja dan pemuda yang berkisar usia antara 15-30 tahun. Kelompok usia
ini, pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan fitrah. Yang
diharapkan dari mereka adalah pemikiran yang imajinatif terhadap makna-makna
yang dapat dirasa. Mengingat kelompok usia ini berstatus murid, sepantasnya bila
mereka mengikuti para guru mereka. Kelompok usia ini dijuluki dengan “al-abrar ar-
ruhama” (yang baik pengasih).
b. Kelompok orang dewasa yang berkisar usia antara 30-40 tahun. Kelompok ini sudah
mengetahui wisdom atau hakikat keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan
melalui “simbol”. Yang diharapkan dari posisi ini adalah mereka yang dianggap
mampu dalam mengatur strategi. Hal yang lebih dibutuhkan adalah dalam posisi ini
kemampuan mengambil kebijakan daripada kemampuan imajinatif. Mereka yang
sudah sampai pada taraf ini dinamakan “al-akhyar al-fudala” (orang-orang yang
terpilih mulia).
c. Kelompok individu yang berkisar usia antara 40-50 tahun. Kelompok usia ini
bercirikan otoritatif, direktif dan pemersatu atas pertentangan yang ada dengan cara
bijak, santun dan rekonstruktif. Mereka sudah dapat mengetahui nama silahiy
(malaikat tuhan) secara sempurna sesuai dengan tingkatan mereka. Ini adalah
tingkatan para nabi. Mereka disebut juga dengan al-ikhwan al-fudala al-kiram (yang
mulia terhormat).
d. Kelompok individu yang sudah mencapai usia 50 tahun keatas. Kelompok ini telah
mampu menyaksikan ralitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya yang dimiliki para
malaikat terdekat (muqarrabun). Dimana mereka telah mempunyai kekuatan untuk
memisahkan diri dari hal-hal duniawi dan hatinya telah terfokus untuk selalu
menghadapkan diri kepada zat sang pencipta yaitu Alloh SWT. Sehingga mereka
mampu melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi diakhirat nantinya. Mereka adalah

9
orang-orang yang mempunyai derajat tertinggi dalam struktural keanggotaan ikhwan
al-shafa(Amin, 1969). Kelompok ini mempunyai sebutan dengan al-balighun
malakutallahi (yang mencapai malakut alloh).

Bagi ikhwan al-shafa hal yang terpenting untuk dilaksanakan adalah sumbangsih untuk
mengajak masyarakat kembali pada kedalaman agama. Sikap ini didasarkan pada sikap
taqiyyah (penyembunyian diri) yang diteladani dari tradisi dan doktrin dalam faham
syiah. Dan ikhwan al-shafa memang cukup intensif dipengaruhi oleh pemikiran syiah,
terutama syiah ismliyah, walupun ikhwan al-shafa sendiri sulit untuk diidentikan secara
penuh dengan syiah. Dalam konteks ini, bisa jadi benar ungkapan Al Tibawi (ikhwan al-
safa and their rasail:1955) bahwa ikhwan al-shafa ibarat “medan yang masih diliputi
tanda tanya dan disana-sini terdapat sudut-sudut yang belum pernah dijejaki”

2. PEMIKIRAN FILSAFAT IKHWAN AL-SHAFA

Anak manusia lahir dalam keadaan lemah. Ia belum dapat beradaptasi sendiri dengan
lingkungan sekitarnya, baik fisik maupun sosial. Namun, kelemahan ini memberi indikasi
sosial-padagogis. Kelemahan ini menjadi dasar untuk mempersiapkan dan membentuknya
bagi kepentingan masyrakat, di samping melakukan tranformasi dari fase individualitas-
biologis kepada fase personalitas-humanis. Proses transformasi inilah disebut proses
pendidikan.

Pendidikan merupakan persoalan penting bagi semua ummat manusia. Pendidikan


selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat.
Pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat dan
membuat generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka. Pendidikan tidak berada
dalam ruang hampa. Artinya, pendidikan selalu berada dalam konteks. Pendidikan
merupakan wahana, sarana, dan proses serta alat untuk mentranfer warisan ummat dari nenek
moyang kepada anak cucu dan dari orang tua kepada anak. Pendidikan ikut memainkan peran
dalam mengembangkan peradaban melalui pengembangan ilmu dan pengetahuan secara
terus-menerus sejalan dengan visi dan misi hidup ummat(Hery Noer Aly, 2003).

Pemikiran pendidikan adalah aktivitas pemecahan masalah yang terkait dengan


persoalan-persoalan yang ikut mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Pemikiran
pendidikan dalam islam lahir akibat dari ideologi islam yang digambarkan oleh al-quran dan

10
as sunnah serta suasana baru yang muncul dalam dunia islam. Pemikiran pendidikan islam
cepat membuat respon bagi semua perubahan dan perkembangan itu.(Langgulung, 1987)

Menurut ikhwan al-shafa aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran, sebab
kondisi diri bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilan dan
kesehatan sang ibu hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus sudah diberikan
sejak masa janin dalam rahim karena janin yang berada dalam rahim selama sembilan bulan
itu adalah agar sempurna bentuk dan kejadiannya. Penelitian yang dilakukan oleh world book
menyatakan apabila disingkronkan dengan pemikiran ikhwan al-shafa ternyata mempunyai
banyak kesamaan. Pola pendidikan yang dilakukan ikhwan al-shafa hanya difokuskan mulai
usia remaja yaitu sekitar 15 tahun. Artinya, pendidikan anak usia 0-15 tahun diserahkan
sepenuhnya kepada kedua orang tuannya sedangkan untuk pendidikan selanjutnya ikhwan al-
shafa merasa ikut bertanggung jawab untuk mengarahkan para remaja ke jalan yang diridhoi
Alloh.

Menurut ikhwan al-shafa, perumpamaan orang yang belum dididik dengan ilmu
aqidah, ibarat kertas putih yang masih bersih, belum ternoda apa pun juga. Apabila kertas ini
ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak akan mudah
dihilangkan.(Nata, 1997) Ungkapan ini sebagaimana yang termaktub dalam risalah yang
berbunyi: “ketahuilah bahwa perumpamaan jiwa bayi sebelum terisi oleh suatu pengetahuan
apapun, laksana kertas putih dan bersih, tidak ada tulisan apapun. Sewaktu jiwa telah diisi
oleh suatu pengetahuan atau kepercayaan, baik yang benar maupun yang bathil, maka berarti
sebagian darinya telah tertulisi dan sulit untuk dihapuskan. Tidak seorangpun dari manusia
bisa mencapai kepada tujuan malakut sama’ (istana di langit) dan bisa masuk kepada alam
malaikat kecuali apabila ia telah mampeunyai perhatian penuh terhadap pendidikan jiwannya
dan telah mempunyai keyakinan dan ketetepan hati yang selalu lurus kepada kebajikan.

Pendidikan jiwa yang senantiasa dilakukan oleh anggota ikhwan al-shafa dalam
meraih kesempurnaan untuk bisa mencapai kepada malakut sama’ dilakukan dengan cara
saling tolong menolong antar sesama anggota jama’ah, maka dalam kerangka pembelajaran
ilmu-ilmu filsafat mereka selalu konsisten untuk menjauhi perilaku-perilaku yang tercela,
menurut akal sehat mereka kemudian disingkronkan dengan petunjuk-petunjuk yang datang
dari para nabi.

Upaya untuk saling tolong menolong antar sesama dalam meraih derajat
kesempurnaan tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan loyalitas anggota ikhwan al-

11
shafa yang selanjutnya diharapkan dapat menarik simpati orang lain untuk bergabung dengan
gerakan ikhwan al-shafa. Maka, pendidikan dalam prespektif ikhwan al-shafa berasaskan
pada nilai-nilai dan ilmu-ilmu yang hanya dikaji oleh anggota ikhwan al-shafa yang
disandarkan kepada semangat para remaja untuk mendirikan dan merealisasikan daulat al-
khair.

Pendidikan jiwa yang dimaksudkan oleh ikhwan al-shafa tidak akan berhasil dalam
satu waktu akan tetapi dilakukan secara bertahap. Hakikat pendidikan ikhwan al-shafa tidak
memandang manusia sebagai makhluk secara keseluruhan yang terdiri dari jiwa dan raga,
akan tetapi mereka hanya memfokuskan pada pendidikan jiwa manusia yaitu pendidikan jiwa
dan pembersihan hati untuk meraih harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci.
Demikian juga pendidikan yang mereka lakukan tidak untuk mempersiapkan peserta didik
menjadi makhluk sosial melainkan untuk mencetak anggotanya menjadi makhluk individualis
yang bermoral tinggi.(Jamaluddin, 1983)

Orientasi pendidikan yang dilakukan oleh ikhwan al-shafa mengarah kepada


pembentukan sebuah negara baru yang mereka sebut dengan istilah daulat al-khair. Mereka
sangat ambisi sekali untuk mendrikan daulat al-khair ini sebagai simbol atas ketidakpuasan
mereka terhadap sistem pemerintahan yang sedang berlaku yang menurut ikhwan al-shafa
telah menyimpang dari syariat agama islam. Atas dasar politis tersebut, mereka semakin
gencar berdakwah dan mengajak masyarakat untuk bergabung dengan kelompok ikhwan al-
shafa. Mereka bergerak dengan sembunyi-sembunyi tanpa melakukan tindakan yang anarkis
ataupun anti pemerintahan.

Dalam konteks demikian, dapat kita kemukakan bahwa kelompok ikhwan al-shafa
pada kenyataannya adalah organisasi yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan
tranformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal revolusioner, melainkan melalui cra
transformasi pola pikir masyarakat luas. Sebab, mereka sepakat bahwa fenomena kelaliman,
otoriterisme dan tiranisme politik tidak akan berlangsung kontonyu kecuali akibat
merebaknya kebodohan dan kelalaia mayoritas masrakat. Dengan diubahnya pola pikir dan
disadarkan mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka, maka akan sulit
terjadi kelaliman, otoritarisme dan tiranisme.(Rida, 2002) Berikut pandangan-pandangan
ikhwan Al-Shafa mengenai hakikat ilmu pengetahuan:

a. Hakikat pengetahuan dalam penjelasan pengertian pengetahuan yakni yang dimaksud


dengan pengetahuan adalah tidak lain dari keberadaan gambaran objek pengetahuan

12
pada jiwa seseorang. Dan juga sebaliknya kejahilan adalah ketiadaan gambaran dalam
jiwa.
b. Metode untuk mendapatkan pengetahuan dikelompokkan menjadi dua kelompok:
a. Ma’rifat al-aql al-gharizy, yakni pengetahuan yang dimiliki manusia tanpa
proses belajar. Pengetahuan ini dimiliki setiap manusia.
b. Al-ilm al-mustafad, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar-
mengajar. Jenis pengetahuan inilah yang biasanya disebut al-ma’rifat.

13
BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN

a. Ikhwan al-shafa adalah perkumpulan dari para mujtahidin dalam ilmu bidang filsafat
yang lebih fokus memperhatikan bidang pendidikan.
b. Perkumpulan Ikhwan al-Shafa ini didirikan sejak abad ke -4 H./10 M. Di kota Basrah.
c. Gerakan kelompok ini secara sembunyi-sembunyi namun dapat diketahui melalui
karyanya.
d. Penjenjangan da’wah dan aksinya mengikuti empat lapisan : ( 1. Kelompok remaja
dan pemuda yang berkisar usia antara 15-30 tahun, 2. Kelompok orang dewasa yang
berkisar usia antara 30-40 tahun, 3. Kelompok individu yang berkisar usia antara 40-
50 tahun, 4. Kelompok individu yang sudah mencapai usia 50 tahun keatas.)
e. Pemikiran filsafat yang dilakukan yakni melalui jalur yang difokuskan yakni
pendidikan yang dianggap sangat penting untuk merubah kondisi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Amin, A. (1969) Zuhr al-Islam. beirut: Dar al-Kitab al-’Arabi.

Farukh, U. (1972) Tarikh al-Fikr al-Arab. beirut: Dar al-’Ilm li al-Malayin.

Hery Noer Aly, dan M. S. (2003) Pendidikan Islam Kini dan Mendatang.
Jakarta: CV Triasco.

Hitti, P. K. (1970) History of Arabs. London: The Macmillan Press.

Islam, T. R. E. (2002) Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven.

Jamaluddin, N. (1983) Falsafah al-Tarbiyah Inda Ikhwan al-Safa. kairo:


AlSihafah, Al-Markaz al-‘Arabi li.

Langgulung, H. (1987) Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna.

Nata, A. (1997) Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Rida, M. J. (2002) Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam perspektif


Sosiologis-Filosofis. yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Tan, M. G. (1995) Golongan Etnis Tionghoa dalam Pembangunan. Jakarta:


Bumi Aksara.

15

Anda mungkin juga menyukai