Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PRINSIP – PRINSIP DASAR EPISTEMOLOGI ISLAM

Disusun guna Memenuhi Tugas


Mata kuliah: Metodologi Studi Islam
Dosen Pengajar: Riza Zahriyal Falah, M.Pd.I

Disusun Oleh
Kelompok 5
1. Sakinatun Najah Nur (2211010039)
2. Ainul Fatma (2211010051)
3. M. Arsyad Aban Syihab (2211010063)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKUTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Atas kehadiran Allah SWT, sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik.
Maksud dan tujuan menghasilkan karya ini adalah untuk melakukan tugas-tugas yang
ditujukan untuk memenuhi nilai dan totalitas bukti pembelajaran. Karena bantuan berbagai
pihak baik moril maupun materil yang menggugah semangat penulis, artikel ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Majalah ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:

1. Bapak Riza Zahriyal Falah M. Pd.I, selaku dosen pengampu mata kuliah Metodologi
Studi Islam
2. Semua anggota kelompok yang turut membantu dalam penyusunan makalah

Penulis mencatat bahwa makalah ini jauh dari sempurna, baik secara penulisan maupun
isi. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca, dan semoga artikel ini bermanfaat bagi teman-teman.

Kudus, 30 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1

C. Tujuan.............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2

A. Nalar berpikir Arab.........................................................................................................2

B. Dasar epistemologi islam................................................................................................2

C. Karakteristik epistemologi islam.....................................................................................3

BAB III PENUTUPAN............................................................................................................14

A. Kesimpulan...................................................................................................................14

B. Saran..............................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epistemologi Islam dapat dilihat dari perkembangan sejarah Islam, khususnya pada masa awal
peradaban Islam. Pada masa tersebut, pengetahuan dan ilmu pengetahuan menjadi fokus utama dalam
perkembangan Islam. Islam memandang pengetahuan dan ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan akhir hidup manusia, yaitu mencari ridha Allah dan memperoleh kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat.

Epistemologi Islam juga dipengaruhi oleh konsep keesaan Tuhan (Tawhid) dalam Islam, yang
menganggap bahwa Tuhan adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan mutlak. Oleh
karena itu, pengetahuan manusia harus selalu diselaraskan dengan ajaran Tawhid, sehingga tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.

Selain itu, Epistemologi Islam juga dipengaruhi oleh konteks historis dan budaya Islam. Pada masa
awal Islam, dunia Islam menjadi pusat peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan. Banyak tokoh-
tokoh terkenal dalam sejarah Islam, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rushd, yang
berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam.

Secara keseluruhan, latar belakang prinsip Epistemologi Islam dapat dilihat dari pengaruh konsep
keesaan Tuhan dalam Islam, perkembangan sejarah Islam, dan konteks budaya Islam pada masa
tersebut. Hal ini menjadikan Epistemologi Islam memiliki pandangan yang holistik dan utuh terhadap
pengetahuan, yang menggabungkan unsur-unsur keilmuan dengan nilai-nilai Islam yang fundamental.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan nalar berpikir arab?


2. Apa yang dimaksud dasar epistemology Islam?
3. Apa yang dimaksud karakteristik epistemology Islam ?

C. Tujuan

1. Menjelaskan nalar berpikir arab


2. Menjelaskan dasar epistemology islam
3. Menjelaskan karakteristik epistemology islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

D. Nalar berpikir Arab (bayani, burhani, irfani)

Nalar Bayani
Dikatakan jelas apabila ia berbeda dari dan memiliki keistimewaan disbanding dengan
yang lain. Menurut Abid Al-jabiri, pengertian yang pertama secara mendasar terkait
dengan wujud ontologis, sementara pengertian yang kedua terkait dengan wujud
epistemologis.1 Dalam peradaban Arab-Islam, diskusi mengenai kajian-kajian bayani
dikelompokkan menjadi dua. Pertama, terkait dengan aturan dalam menafsirkan
wacana, dan kedua terkait dengan syarat mem-produksi wacana. Tradisi untuk
menafsirkan wacana sudah muncul sejak zaman Rasulullah saw, yaitu ketika para
sahabat meminta penjelasan tentang makna lafadz atau ungkapan yang terdapat di
dalam al-Qur’an. Sementara itu, terkait dengan syarat pemroduksian wacana maka
tradisi bayani baru dimulai seiring dengan munculnya faksi-faksi politik dan aliran-
aliran teologi setelah peristiwa “majlis tahkim” dimana wacana dan debat teologis
menjadi instrument untuk menebarkan pengaruh dan propaganda kepada ‘yang lain’,
dan bahkan menaklukkan musuh. Menurut Abid Al-jabiri, nalar bayani terdapat dalam
kajian ilmu kebahasaan, nahwu, fiqih (yurisprudensi Islam), teologi (ilmu kalam) dan
ilmu balaghah. Nalar bayani bekerja dengan menggunakan mekanisme yang sama
berangkat dari dikotomi antara lafadz/ al-makna, al-ashl/al-far’ dan al-jauhar/al-ardl.

Epistemologi bayani yang Fokusnya berpusat pada hubungan antara al-lafdz dan al-
ma’na seperti itu juga terdapat dalam ilmu nahwu. Dalam kajian ilmu nahwu,
persoalan al-lafdz dan al-ma’na dapat dilihat secara jelas dalam mendiskusikan

1
Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiah), h. 18

2
tentang asal-usul bahasa: apakah wahyu Tuhan atau konvensi masyarakat? Terdapat
dua aliran dalam mensikapi teori tentang asal-usul bahasa. Pertama, aliran rasional
yang dimotori oleh Muktazilah yang berpendapat bahwa bahasa adalah konvensi
masyarakat (al-muwadla’ah). Kedua, aliran non-rasional (ahl al-hadits) yang dimotori
oleh kalangan ahlussunnah, yang menyatakan bahwa bahasa adalah wahyu Tuhan.
Baik Muktazilah maupun ahlussunnah, keduanya sama-sama mengakui bahwa bahasa
itu pasti ada yang menciptakannya: hanya saja kalangan Muktazilah mengatakan
penciptanya adalah masyarakat, sementara kalangan ahlussunnah menyatakan Tuhan
melalui wahyu. Yang menjadi perdebatan tidak lain adalah sosok pencipta bahasa,
antara masyarakat (muwadha’ah) atau Tuhan (tauqifiy).2

Nalar Irfani
Kata itu dikenal dalam kalangan sufi muslim (al-Mutas}awwifah al-Islamiyyin) untuk
menunjukkan jenis pengetahuan yang paling luhur yang hadir di dalam kalbu melalui
kasyf atau ilham. Kaum sufi membedakan pengetahuan ke dalam tiga kategori, yaitu
pengetahuan yang dihasilkan oleh sense (al-hiss), akal dan atau keduanya, dan
pengetahuan yang dihasilkan lewat al-kasyf dan al-iyan. Lebih jauh, kaum sufi
membagi pengetahuan sesuai dengan tingkatannya: burhaniyah, bayaniyah, dan
irfaniyah, sebagaimana disebut dalam qur’an dimana kata yaqin dipersandingkan
dengan kata haq. Pucaknya Suhrawardi membedakan dengan tegas antara alburhan
dan al-irfan: yang pertama disebut dengan al-hikmah albahtsiyah yang berpijak pada
argumentasi, pencermatan dan rasio, sedangkan yang kedua disebut dengan al-
Hikmah al-Isyraqiyah yang berpijak pada al-kasyf dan al-isyraq. Bagaimanapun,
perbedaan antara istilah burhani dan irfani sudah dikenal oleh masyarakat jauh
sebelum Islam datang. Ia merupakan fenomena semua zaman, lebih-lebih dalam
agama-agama samawi (Yahudi, Masehi, dan Islam).3

Dalam bahasa asing, irfan disebut dengan gnose (al-ghanhus), berasal dari bahasa
Yunani yaitu gnosis, yang berarti pengetahuan (al-ma’rifah) atau kadang juga
bermakna al-ilm dan al-hikmah. Dalam hal ini, irfan diartikan dengan pertama,
pengetahuan tentang masalah-masalah keagamaan, kedua pengetahuan paling tinggi
yang hanya dimiliki oleh orang beriman atau tokoh agama (ulama) yang bersandar

2
Abed al-Jabiri, Bunyah..., h. 42.
3
Abed al-Jabiri, Bunyah..

3
pada penalaran akal. Inilah pengertian yang berkembang pada abad dua dan tiga
Masehi, yang dikukuhkan oleh pihak gereja. Oleh karena itu, gnosticisme (al-
ghanushiyah atau al-irfaniyah) berarti sejumlah aliran-aliran keagamaan yang secara
global menyatakan bahwa pengetahuan yang hakiki tentang Tuhan dan masalah
keagamaan merupakan pengetahuan yang berpijak pada hikmah dan pendalaman
kehidupan ruhani. Jadi, irfani itu ingin menjadikan kehendak (al-iradah) sebagai ganti
dari akal. Sebagai fenomena umum, irfan menurut Al-Jabiri dibedakan menjadi dua,
yaitu irfan sebagai sikap dan teori. Sebagai sikap, irfan merupakan pandangan
seseorang terhadap dunia secara umum. Secara umum sikap ini lebih cenderung lari
dari dunia dan menyerah pada hukum positif manusia, bahkan cenderung pada
mementingkan individu dan diri: orang yang arif lebih mementingkan pada ego-nya.

Nalar Burhani
Menurut al-Jabiri, epistemologi burhani merupakan cara berpikir masyarakat Arab
yang bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiric dan
penilaian akal, dalam mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu. Sebuah
pengetahuan bertumpu pada hubungan sebab akibat. Cara berpikir seperti ini tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh ‘gaya’ logika Aristoteles.

Jika epistemologi bayani merupakan nalar yang tumbuh dari dalam rahim kebudayaan
Arab, dan jika epistemologi irfani pada awalnya merupakan manifestasi dari
perlawanan politik terhadap otoritas sekelompok kaum yang disebut dengan
ahlussunnah waljamaah, maka tidak demikian dengan epistemology burhani.
Kehadiran epistemologi burhani ke tengah peradaban Arab-Islam dapat dikategorikan
sebagai upaya untuk menyelaraskan antara epistemologi burhani itu sendiri dengan
epistemologi bayani. Tidak seperti epistemologi irfani yang secara nyata mengambil
sikap ‘permusuhan’ dengan bayani. Hal ini mengingat para pegiat burhani (al-burhan)
menyadari sepenuhnya bahwa epistemologi bayani merupakan satu-satunya nalar
yang ‘genuine’ dalam rahim ke-budayaan Arab-Islam.

E. Dasar Epistemologi Islam

Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan merupakan kajian yang bermanfaat dan berguna,
karena didalamnya membahas aspek kehidupan manusia yang fundamental yaitu ilmu

4
pengetahuan. Epistemologi mengkaji secara filosofis tentang asal, struktur, metode, validitas
dan tujuan ilmu pengetahuan. Epistemologi menjelaskan apa yang disebut kebenaran serta
kriterianya dan menjelaskan cara yang dapat membantu diperolehnya kebenaran itu.

Epistemologi mempunyai tempat yang cukup sentral dalam bangunan filsafat ilmu, sehingga
epistemologi telah menarik perhatian para pemikir baik di Barat maupun di bangunan
pemikiran Islam modern.

Pertama, Di dunia Barat, epistemologi menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang
dipelopori oleh Descartes (1596-1650), dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716),
kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris. Epistemologi berkembang sejak
gagasan renaissance dibangkitkan, Renaissance adalah produk dari gerak individualisme yang
kuat yang menggoncang tatanan yang sudah mapan pada abad k-14 dan ke-15.

Kedua, Permasalahan epistemologi dalam filsafat Islam tidak dibahas secara tersendiri, akan
tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok
pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa. Begitu pula hal-hal
yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek
akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran dan kekeliruan suatu
proposisi. Dalam perkembangan filsafat Islam, epistemologi menjadi suatu bidang disiplin
baru ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia sesuai dengan
hakikat, objek luar, dan realitas eksternal.

Dinamika epistemologi dalam pemikiran keagamaan di dunia Islam telah berlangsung sejak
periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800-
sekarang).4 Periode perkembangan pemikiran modern sebagai periode ketiga dipandang
sebagai periode kebangkitan kembali umat Islam setelah tenggelam selama abad pertengahan.
Namun demikian, kehadiran modernisme telah menyebabkan respons yang beragam dan
memunculkan ketegangan di kalangan umat Islam. Dengan adanya modernisasi di segala
bidang di beberapa Negara, seperti Mesir memasuki masa liberal (liberal age). Paham
liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah gagasan tentang
pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik5. Dengan berkembangnya pemahaman

4
Harun nasution, Pembaharuan dalam islam: sejarah Pemikiran dan aliran (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), hlm. 12-14.
5
Ibrahim M. Abu Rabi’. “Islam Liberalism in The Muslim Middle East Viable ?” dalam Hamdard Islamicus
(Baltimore: The John s Hopkins University Press, 1991) vol. XII, no. 4, hlm. 50.

5
liberatif di Mesir, lahirlah apa yang disebut An-nahdah (Renaissance), yang kemudian
melahirkan beberapa trend pemikiran.

(1) pemikiran ke arah tradisionalisme ini disebut The Islamic Trend (kecenderungan pada
Islam). Pandangan ini dimulai sejak pengajaran-pengajaran Ibn Hanbal yang
mengalami keberhasilan puncak melalui Muhammad ibn Abd al-Wahhâb (1703-
1992).
(2) Kelompok The Syntetic and The Rational scientific and Liberal Trend (sintesa secara
rasional ilmiah dan pemikiran bebas), kelompok yang berusaha memadukan antara
Islam dan kebudayaan Barat. Kelompok ini diwakili oleh Qâsim Amîn (1865-1908),
dan ‘Ali ‘Abd. Ar-Râziq (1888-1966), Tâha Husein (1883-1973), Lutfî as-Sayyid
(1872-1972), Zakî Najîb Mahmûd (1905-1993), Salamah Mûsa, Farag Fawdah, Fu’ad
Zakariya, Hassan Hanafî (1935), Mohammed Arkoun, Muhammad Syahrur, Seyyed
Hosein Nasr dan Nasr Hâmid Abû Zaid.
Dalam perspektif epistemologi Islam, tidak dikenal adanya dikhotomi antara ilmu
agama dengan ilmu non-agama (umum). Ilmu adalah ilmu, Ia berasal dari sumber
yang sama, kemudian berkembang sesuai dengan wilayah obyeknya masing-masing,
baik menyangkut obyek material maupun obyek forma. Ia terus bersentuhan dengan
fenomena alam, manusia dan apapun yang berada di luar keduanya. Melalui
persentuhan itulah ilmu pengatahuan terus berkembang memasuki ruang sejarah dari
waktu ke waktu.

Jika sains dan teknologi ini ditelusuri kembali ke masa-masa pertumbuhannya, hal itu
tidak lepas dari sumbangsih para ilmuwan muslim. Tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa asal-usul sains modern atau revolusi ilmiah berasal dari peradaban Islam.
Memang sebuah fakta, umat Islam adalah pionir sains modern. Jikalau mereka tidak
berperang di antara sesama mereka, dan jika tentara kristen tidak mengusirnya dari
Spanyol, dan jika orang-orang Mongol tidak menyerang dan merusak bagian-bagian
dari negeri-negeri Islam pada abad ke-13, tentulah mereka akan juga mampu
melahirkan seorang Descartes, seorang Gassendi, seorang Hume, seorang Copernicus,
dan seorang Tycho Brahe, karena kita telah menemukan bibit-bibit filsafat mekanika,
emperisisme, elemen-elemen utama dalam heliosentrisme dan instrumen-instrumen
Tycho Brahe dalam karya-karya al-Ghazali, Ibn al-Shatir, para astronom pada
observatorium margha dan karya-karya Takiyudin.

6
Peradaban Islam pernah memiliki khazanah ilmu yang sangat luas dan menghasilkan
para ilmuwan yang begitu luar biasa. Ilmuwan-ilmuwan ini ternyata jika kita baca,
mempunyai keahlian dalam berbagai bidang. Sebut saja Ibnu Sina. Dalam umurnya
yang sangat muda, dia telah berhasil menguasai berbagai ilmu kedokteran. Magnum
opusnya al-Qanun fi al-Thib menjadi sumber rujukan primer di berbagai universitas
Barat.6 Selain Ibnu Sina, al-Ghazali juga bisa dibilang ilmuwan yang representatif
untuk kita sebut di sini. Dia teolog, filosof, dan sufi. Selain ia juga ahli fiqih terkenal
sebagai orang yang menganjurkan ijtihad kepada orang yang mampu melakukan itu.
Al-Mushtasfa adalah bukti keahliannya dalam bidang ushul fiqih. Tidak hanya itu, al-
Ghazali juga ternyata mempunyai paradigma yang begitu modern. Dia pernah
mempunyai proyek untuk menggabungkan, tidak mendikotomi, ilmu agama dengan
ilmu umum. Baginya, kedua jenis ilmu tersebut sama-sama wajib dipelajari
oleh umat Islam.7

A. Karakteristik epistemology islam

Pendidikan Islam disifati dengan karakter yang sempurna, seimbang dan


aktual, didasarkan pada sistemnya yang komprehensif dalam semua aspek yang
dibutuhkan manusia dan pada segi yang selaras dengan fitrah kemanusiaan, dan
sebagian dari fitur karakter tersebut sebagai berikut:
1. Rabbaniyah
2. Komprehensif dan saling melengkapi
3. Seimbang
4. Stabil dan berkesinambungan
5. Aktual

a) Rabbaniyah adalah bahwa hukum-hukum Islam serta pangarahannya


bersumber dan berasal dari Tuhan (Allah) ‘Azza wa Jalla dan bukan dari
watak tabiat keinginan manusia, inilah yang mengistimewakannya dari
paradigma-paradigma buatan yang berasal dari keinginan, pemikiran yang

6
Taufiq Yusuf al-Wa’i, Al-Islam fi al-‘Aqli al-‘Alami (Kairo: Dar al-Wafa li Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-
Tauzi’, 1990), hlm. 47.
7
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr sampai Nashr dan Qardhawi (Bandung: Hikmah,
2003), hlm. 163.

7
terbuka atas kritik dan lantas berubah serta diganti berdasar keinginan dan
posesi. Karakter rabbaniyah ini mengarahkan kepada Tuhan (Allah) semata
yang tiada sekutu bagi-Nya, dimana perintah dan larangan bersandar pada Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya Muhammad Saw serta niatnya yang ikhlas
karena Allah Ta’ala,

b) Sifat komprehensif eksis dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya


yang telah menciptakannya, hubungan dengan dirinya sendiri, keluarga,
tetangga serta masyarakatnya dimana ia tinggal, juga daya cakupannya pada
pengarahan Islam terhadap kaum pria, kaum wanita maupun anak-anak, juga
keseluruhan aspek kehidupan.

c) Karakter pengarahan Islam juga bahwa ia memenuhi kebutuhan fitrah dan


tabiat kemanusiaan, firman-Nya:
mewujudkan keseimbangan antara tuntutan kemanusiaan yang berupa fisik
dan spiritual, maka dengan demikian tidak perlu melampaui batas satu aspek
terhadap aspek yang lainnya dengan pertimbangan bahwa manusia berpotensi
mengalami pergulatan diri dan memiliki potensi internal dan disiapkan untuk
memenuhi kebutuhan gharizahnya yang telah Allah bukakan untuknya, maka
ketika Allah memerintahkannya untuk berperilaku dengan akhlaq yang utama,
terhindarlah manusia dari tindakan-tindakan yang rendah, serta menetapkan
cara dan sarana bagi manusia untuk menegakkan keseimbangan tersebut, maka
dalam hal ini dapat difahami (salah satunya) dari pembolehan dalam
pernikahan memiliki istri hingga empat orang serta menghindarkannya dari
tindakan-tindakan zina, dan meletakkan batasan tersebut dalam Syariat.

d) Dalam pengarahan Islam yang relatif stabil, tidak mungkin merubah atau
menganti atau membuangnya yang merupakan aturan universal serta landasan
umum dan hukum-hukum partikular yang melahirkan dalil-dalil (argumen)
tidak mengalami perubahan dan pergantian seperti kewajiban melaksanakan
amanah kepada pemiliknya yang berhak, kewajiban melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi munkar, kewajiban menolak kezhaliman dari pelakunya,
pengharaman pencurian dan penipuan, praktik riba dan praktik jual beli

8
seorang muslim atas transaksi jual beli saudaranya yang lain, maka yang
demikian tersebut tidak tersusupi perubahan dan pergantian.
e) Kontekstualitas bimbingan Islam jelas serta tampak untuk diamati dari
hakikat realitas, selaras dengan fitrah kemanusiaan, juga potensi kemanusiaan
tidak semata dibarengi paradigma.

BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. bayani merupakan nalar yang tumbuh dari dalam rahim kebudayaan Arab,
dan jika epistemologi irfani pada awalnya merupakan manifestasi dari
perlawanan politik terhadap otoritas sekelompok kaum yang disebut
dengan ahlussunnah waljamaah, burhani ke tengah peradaban Arab-Islam
dapat dikategorikan sebagai upaya untuk menyelaraskan antara
epistemologi burhani itu sendiri dengan epistemologi bayani.
2. Epistemologi mengkaji secara filosofis tentang asal, struktur, metode,
validitas dan tujuan ilmu pengetahuan. Epistemologi menjelaskan apa
yang disebut kebenaran serta kriterianya dan menjelaskan cara yang dapat
membantu diperolehnya kebenaran itu.
Epistemologi mempunyai tempat yang cukup sentral dalam bangunan
filsafat ilmu, sehingga epistemologi telah menarik perhatian para pemikir
baik di Barat maupun di bangunan pemikiran Islam modern.
3. Epistemologi mengkaji secara filosofis tentang asal, struktur, metode,
validitas dan tujuan ilmu pengetahuan. Epistemologi menjelaskan apa
yang disebut kebenaran serta kriterianya dan menjelaskan cara yang dapat
membantu diperolehnya kebenaran itu.
Epistemologi mempunyai tempat yang cukup sentral dalam bangunan
filsafat ilmu, sehingga epistemologi telah menarik perhatian para pemikir
baik di Barat maupun di bangunan pemikiran Islam modern.

B. Saran

9
Diharapkan dapat memahami materi yang telah di paparkan oleh pemateri,
dan bisa di terapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat mendapatkan
nilai yang baik. Jika ada kesalahan di dalam makalah dari
pemateri bisa di maklumi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiah),

Abed al-Jabiri, Bunyah.. Harun nasution, Pembaharuan dalam islam: sejarah Pemikiran dan aliran (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975)

Ibrahim M. Abu Rabi’. “Islam Liberalism in The Muslim Middle East Viable ?” dalam Hamdard Islamicus

(Baltimore: The John s Hopkins University Press, 1991) vol. XII, no. 4, hlm. 50. Taufiq Yusuf al-Wa’i, Al-Islam fi
al-‘Aqli al-‘Alami (Kairo: Dar al-Wafa li Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1990)

Harun nasution, Pembaharuan dalam islam: sejarah Pemikiran dan aliran (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), hlm. 12-14.

Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr sampai Nashr dan Qardhawi (Bandung: Hikmah,
2003), hlm. 163.

11

Anda mungkin juga menyukai