Anda di halaman 1dari 18

TUGAS STRUKTURAL DOSEN PENGAMPU

Filsafat Ilmu Dr. M. Zainal Abidin, M.Ag

Dr. Ahmad Muradi, S.Ag, M.Ag

KONTRUKSI KEILMUAN DALAM ISLAM

(BAYANI, IRFANI DAN BURHANI)

DISUSUN OLEH :

Noralvifah : 200211060128

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

PROGRAM PASCA SARJANA

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

BANJARMASIN

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “KONTRUKSI
KEILMUAN DALAM ISLAM (EPISTINOLOGI ISLAM) BAYANI, IRFANI DAN
BURHANI” dapat terselesaikan. Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan
kepada baginda nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
alam kegelapan menuju jalan yang penuh cahaya iman islam dan ihsan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan banyak
kekurangan dikarenakan keterbatasan penulis dalam hal keilmuan yang masih
sangat dangkal. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
konstruktif demi penyempurnaan makalah ini. Akhir nya kepada Allah penulis
berserah diri atas segala kekurangan dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca serta menjadi amal saleh bagi penulis, amin.

2
BAB 1

A. PENDAHULUAN

Pada awal era modern para pemikir modern dan pemimpin muslim mulai
menyadari betapa pentingnya pendidikan sebagai upaya memajukan umat,
terutama untuk menghadapi hegemoni sosial, ekonomi dan kebudayaan Barat.
Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang
menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat, ekonomi dan budaya
tersebut. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan usaha melestrarikan dan
mengalihkan serta mentranspormasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala
aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Pendidikan sebagai cara paling
efektif untuk menghadapi persoalaan kejumudan dan kemunduran umat
selama ini. Pendidikan Islam diharapkan bisa mengakomodasikan
perkembanganperkembangan baru di Barat.

Meskipun demikian Pendidikan Islam sebagai ilmu, sampai saat ini masih
kurang mendapatkan perhatian yang serius di kalangan pemikir-pemikir muda,
khususnya dalam kajian filosofinya. Padahal kajian filosofi suatu ilmu
merupakan kajian inti yang menjadi landasan pengembangan ilmu tersebut.
Karena itu sangat urgen sekarang untuk kembali menelusuri kajian-kajian Ilmu
Pendidikan Islam dari sudut pandang filosofinya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Epistemologi dalam Ilmu Filsafat
2. Apa Pengertian Epistimologi Bayani
3. Apa Pengertian Epistimologi Irfani
4. Apa Pengertian Epistimologi Burhani

3
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Epistemologi dalam Ilmu Filsafat
2. Untuk Mengetahui Pengertian Epistemologi Bayani
3. Untuk Mengetahui Pengertian Epistemologi Irfani
4. Untuk Mengetahui Pengertian Epistemologi Burhani

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Epestemologi dalam Ilmu Filsafat


1. Pengertian Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan (theory of knowledge),
secara etimologis, berasal dari kata Yunani epistemologi yang berarti
pengetahuan (knowledge), dan logos yang berarti teori tentang studi.
Jadi secara terminologis, epistemologi merupakan cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan
validitas (keabsahan) pengetahuan. Dengan cara mengetahui unsur-
unsur itulah kemudian suatu pengetahuan dapat diiafirmasi
validitasnya sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Lawan katanya
adalah doxa yang berarti percaya, yakni percaya begitu saja tanpa
menggunakan bukti (taken for granted)1.
Beberapa persoalan pokok yang terkandung dalam epistemologi
adalah hakekat (esensi) eksistensi dan ruang lingkup pengetahuan,
sumber-sumber pengetahuan, metodologi ilmu tentang cara
mengetahui suatu pengetahuan, sarana yang digunakan dalam
rangka kerja metodologis tersebut dan uji validitas pengetahuan2.
Mashlahah adalah setiap sesuatu yang menjadi dasar
pemeliharaan tujuan syara didunia dan akhirat. Mashlahah
menekankan pada pertimbangan bagi agenda kemanusiaan dalam
hukum, yakni pemeliharaan terhadap agam, jiwa, akal, keturunan,
dan harta.

1
Wiliam James Earle, Introduction to Philosophy, (New York-Toronto : Mc. Grawhill, Inc, 1992), h.21.
2
Paul Edward (ed), The Encylopedia of Philosophy, New York-London : Macmilan Publishing Co., Inc, dan the
Free Press, 1990), h.9.

5
Namun Demikian dalam implementasi Istinbath hukum,
mashlahah sering dipahami secara paradoks, sebagian golongan
memperketat mashlahah, sebagian lagi memahaminya secara
moderat dan eksklusif. Perbedaan penggunaan mashlahah tersebut
terkait dengan penekanan pada salah satu dari tiga teknik atau
metode penalaahannya, yaitu metode bayani, burhani dan irfani.
B. Epistimologi Bayani
Secara etimologis, term bayani mengandung beragam arti yaitu:
kesinambungan (al-waslu): keterpilahan ( al-fashlu): jelas dan terang
(al-zhuhur wa al-wudlhuh): dan kemampuan membuat terang dan
generik. Sebagai sebuah episteme, keterpilahan dan kejelasan tadi
mewujud dalam al-bayan al-ibarat “ perpektif” dan “ metode” yang
sangat menentukan pola pemikiran tidak hanya dalam lingkup “
estetik-susastra”, melainkan juga dalam lingkup “ logic-diskursif”.
Dengan kata lain bayan berubah menjadi sebuah terminologi yang
disamping mecakup arti segala sesuatu yang melengkapi tindakan
mamahami3.
Epistemologi bayani muncul bukan sebagai hal yang sui generis,
akan tetapi ia memiliki akar historisnya dalam sejarah budaya dan
tradisi pemikiran Arab. Sebagimana dimaklumi, bahasa Arab diyakini
sebagai bahasa wahyu Tuhan. Oleh karena itu, cukup berdasar bila
dikatakan bahwa determinan historis awal-mula paradaban Islam
adalah sinergi bahasa dan agama4.

3
Mahmud Arif, “ Pertautan Epistemologi Bayani dan pendidikan Islam”, Al-Jami‟ah , Vol.40, No.1, ( January-
June 2002), h.13.
4
M.Abid al-Jabiri, Takwin (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al- Arabi, 1991), h.75

6
Awal mula aktivitas ilmiah yang mewarnai budaya Arab Islam
berupa penghimpunan bahasa Arab dan peletakan dasar-dasar tata
kebahasaannya seiring dengan upaya mamahami ajaran agama dan
memproduksi wacana keagamaan yang membangun “ Rasionalitas –
keagamaaan Arab” dengan produk intelektualnya, yaitu ilmu
kebahasaan dan ilmu agama.
Nuansa iklim intelektual-kultural semacam itu melahirkan
komunitas agamawan-intelektual yang menempati posisi otoritatif
dalam ranah keagamaan dan keilmuan. Mereka adalah kalangan
ulama bayani, meminjam istilah al-Jabiri yang secara kolegial
berperan dalam menetapkan ilmu-ilmu Arab Islam yaitu nahwu,
balagah, fikih dan kalam.
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan
otoritas teks (nas), secara langsung atau tidak langsung, dan
dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali melalui inferensi
(istidlal). Secara langsung artinya mamahami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu
pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski
demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa babas menentukan
makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada teks. Dalam
bayani, rasio diangggap tidak mampu memberikan penegtahuan
kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran
bidik bayani adalah aspek esoterik (syari‟at)5.

5
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al- Arabi, 1991), h. 38

7
Aktifitas Intelektual yang bercirikan hawla al nash( seputar teks
semacam itu menghasilkan pola pemikiran yang berorientasi pada
reproduksi teks dengan alquran sebagai teks intinya, dan
mendudukkan rasio dalam posisi al-musharra‟ulah( penentu hukum
yang terbatas). Dalam kerangka inilah, sangat bisa dipahami
sekiranya peradaban Arab Islam sampai disinyalir sebagai peradaban
teks, karena begitu besar dan berpengaruhnya teks dalam
membentuk proses dan produk intelektual kultural yang
berkembang. Bahkan lebih jauh, asumsi dasar yang malandasi
segenap aktifitas-intelektual pun adalah al-ashlu fi an-nash la fi al-
waqi‟ (acuan pokok ada pada teks bukan ada pada kenyataan
riil).Oleh karena itu, problematika utama yang mendominasi dan
menjadi salah satu episteme bayani adalah relasi kata dan makna6.
C. Epistemologi Irfani
Secara etimologi Irfani dari kata dasar bahasa arab arafa semakna
dengan makrifat, yang berarti pengetahuan7. Tetapi ia berbeda dengan
ilmu (`ilm). Irfani atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang
diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu
menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql)
atau rasionalitas (aql).
Sedangkan secara terminologis, irfani bisa diartikan sebagai
pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran
hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah
ruhani (riyâdlah) yang dilakukan atas dasar cinta
.

6
Ibid, h.103
7
Ibid, h.215

8
Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek
esoterik, apa yang ada dibalik teks. Dalam istilah Amin Abdullah, bahwa
pada tradisi irfani arif lebih diutamakan dari pada “alim” Karena “alim”
lebih merujuk pada nalar bayani8.
Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani,
pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf,
yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi
dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan
akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Menurut Al-
Jabiri, pengalaman kasyf tidak dihasilkan melalui proses penalaran
intelektual manusia yang mana manusia dituntut aktif dan kritis, tetapi
dihasilakan melalui mujahadah dan riyadah (penempaan diri secara
moralspritual). Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam
pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis
pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan,
penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan9.
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan
pengetahuan (kasyf), seseorang yang biasanya disebut sâlik (penempuh
jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual.
Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah jenjang yang harus
dilalui10.

8
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. I, 2006), h.212
9
Soleh M. `Abed Al-Jabiri: Model Epistimologi Islam, h.214
10
Ibid,h.243

9
Namun, setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, yang
semua ini berangkat dari tingkatan yang paling dasar menuju pada
tingkatan puncak dimana saat itu qalbu (hati) telah menjadi netral dan
jernih sehingga siap menerima limpahan pengetahuan.Antara lain,
taubat, wara`, zuhud, faqir, sabar, tawakkal dan ridha.
Tahap kedua, Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam jenjang
spiritual, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung
dari Tuhan secara illuminatif atau noetic. Dalam kajian filsafat Mehdi
Yazdi, pada tahap ini, seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran
diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia
mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang
diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut,
karena bukan objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda
tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui
tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri. Sedemikian
rupa, sehingga dalam perspektif epistemologis, pengetahuan irfani ini
tidak diperoleh melalui representasi atau data-data indera apapun,
bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan
gagasan umum pengetahuan ini. Pengetahuan ini justru terbentuk
melalui univikasi eksistensial yang disebut ilmu huduri.
Tahap ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses
pencapaian pengetahuan irfani,dimana pengalaman mistik
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau
tulisan11.

11
Ibid, h.243

10
Namun demikian, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan
konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks
kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga
tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa
diungkapkan12.
D. Epistemologi Burhani
Burhan secara bahasa adalah argumentasi yang kuat dan jelas. Dalam
istilah logika, alburhan adalah aktifitas intelektual untuk membuktikan
kebenaran suatu proposisi melalui pendekatan deduksi dengan cara
menghubungkan proposisi yang satu yang telah terbukti secara
aksiomatik..Dengan demikian, burhan merupakan aktifitas intelektual
untuk menetapkan suatu proposisi tertentu13.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi burhani
menggunakan aturan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme
diterjemahkan dengan al-qiyas al-jam‟i yang mengacu pada makna
ashal, mengumpulkan.Secara istilah silogisme adalah suatu bentuk
argumen di mana dua proposisi yang disebut premis, dirujukkan
bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti
menyertai. Namun karena pengetahuan burhani tidak murni bersumber
pada rasio, tetapi didasarkan juga atas rasio objek-objek eksternal, maka
ia melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme yaitu tahap
pengertian (ma‟qulat) ; tahap penyertaan (ibarat), dan tahap penalaran
(tahlili). Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas objek-objek
eksternal yang masuk ke dalam pikiran14.

12
Ibid,h.243
13
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al- Arabi, 1991), h. 46
14
Achmad Khodori Soleh, Model Epistemologi Islam dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta :
Jendela, 2003), h.250

11
Menurut al-Jabiri penarikan kesimpulan dengan silogisme harus
memenuhi beberapa syarat yaitu: mengetahui latar belakang dari
penyusunan premis; adanya konsistensi logis antara alasan dan
kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak
mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain15.
Nalar burhani berpegang pada kekuatan natural manusia yang berupa
indera dan otoritas akal dalam memperoleh pengetahuan.Dari
pengertian tersebut nalar burhani identik dengan filsafat, yang masuk
kedunia Islam dan Yunani.Namun demikian dalam konteks keilmuan
klasik, penyebutan nalar burhani hanya ditujukan pada pemikiran
Aristoteles.Kerangka teoritik pemikiran Aristoteles sesungguhnya adalah
logika. Istilah logika sendiri diberikan oleh Alexander Aphrodisias, salah
seorang komentator terbesar Aristoteles yang hidup abad 2-3 M.
Sementara Aristoteles menyebutnya analitika, yang maksudnya adalah
menganalisis ilmu sampa pada prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya yang
terdalam. Logika pada dasarnya bertujuan mencapai ilmu-ilmu burhani,
tetap untuk sampai kesana terlebih dahulu memahami silogisme (salah
satu cara mencapai dan salah satu macam ilmu burhani). Silogisme pada
dasarnya terdiri dari beberapa proposisi yang disebut dengan premis
mayor, premis minor dan konklusi.Ini berarti bahwa penyimpulan yang
bersifat konklusif tidak bisa terjadi apabila hanya terdiri dari satu
premis16.

15
Ibid, h.250
16
Muhammad Agus Najib, “Nalar Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, Hermenia
: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.2. No.2 (JuliDesember 2003), h.224

12
Di samping itu dua premis tersebut harus mengandung satu term yang
sama, yang disebut term tengah (middle term). Misalnya setiap manusia
mati (premis mayor). Socrates adalah manusia (premis minor), maka
dengan term tengah kata manusia, konklusinya adalah Socrates akan
mati. Dengan demikian, dalam silogisme harus terpenuhi tiga hal, yaitu
pertama, silogisme harus memiliki dua premis, dan premis kedua
merupakan bagian dan tidak mungkin keluar dari cakupan premis
pertama, serta konklusinya tidak mungkin melebihi cakupan yang ada
pada premis pertama tersebut. Kedua, silogisme terbentuk dari dua
premis yang mengandung tiga term, yaitu term tengah yang ada kedua
premis, term mayor yang ada pada premis mayor, dan term minor yang
ada pada premis minor. Ketiga, silogisme pasti mengandung term tengah
yang ada pada kedua premis, yang fungsinya enjadi sebab yang
melegitimasi predikat dapat bersandar pada subyeknya dalam
konklusi.Dari sini Aristoteles berkata bahwa ilmu adalah upaya
menemukan sebab.
Silogisme dapat menjadi ilmu burhani apabila berupa silogisme atau
analogi ilmiah, yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: pertama,
mengetahui term tengah yang menjadi „illah atau sebab adanya
konklusi. Kedua, hubungan yang konsisten antara sebab dan akibat
(antara term tengah dan konklusi), dan ketiga, konklusi harus bersifat
pasti, sehingga sesuatu yang lain tidak tercakup dalam konklusi
tersebut17.

17
Ibid, h.225

13
Untuk memenuhi syarat ketiga ini menurut Aristoteles premis-premis
yang dikemukakan dalam silogisme tersebut harus merupakan
aksiomaaksioma yang kebenarannya tidak bisa dibantah dan tidak
memerlukan pembuktian lagi. Aksioma-aksioma ini biasanya
mengandung prinsip-prinsip antara lain “sesuatu yang bertentangan
tidak mungkin untuk disatukan”, tidak ada jalan tengah bagi dua hal
yang bertentangan, dan tidak ada suatu peristiwa kecuali mempunyai
sebab18.
Prinsip-prinsip dan premis-premis di atas sebenarnya, menurut
Aristoteles, didapat dengan cara induktif dari realitas empiris yang ada,
melalui proses abstraksi. Benda-benda dan peristiwa-peristiwa parsial
dan empiris pada dasarnya masing-masing memiliki kandungan yang
universal, yang dapat disatukan antara satu dengan yang lainnya yang
sejenis. Proses abstraksi ini tidak lain merupakan hasil dari penalaran
akal. Dengan demikian ilmu hanya bisa didapat dengan jalan burhan, dan
burhan dibentuk oleh prinsip-prinsip, serta prinsip-prinsip hasil
penalaran akal. Karena kekuatan akal adalah prinsip ilmu pengetahuan
dan prinsip atau landasan bagi prinsip ilmu itu sendiri, hubungan ilmu
pengetahuan dan peristiwa yang ada di alam sama halnya dengn
hubungan akal dan prinsip ilmu pengetahuan19.
Menurut Amin Abdullah, sumber pengetahuan burhani adalah realitas
atau al-waqibaik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan
Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-ilm al-
hushuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan
melalui premis-premis logika, dan bukannya lewat otoritas teks, otoritas
18
Ibid, h.225
19
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al- Arabi, 1991), h.392

14
salaf ataupun intusisi. Premis-premis logika keilmuwan tersebut disusun
melalui kerjasama antara proses abstraksi dan pengamatan inderawi
yang sahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu
dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses
penelitian lapangan dan penelitian literer yang mendalam. Peran akal
disini sangat menentukan, karena fungsinya selalu diarahkan mencari
sebab akibat. Sementara tolak ukur validitas keilmuannya ditekankan
pada korespondensi, yaitu kesesuaian antara rumusrumus yang
diciptakan oleh akal manusia dengan hukum alam. Selain itu ditekankan
pula aspek koherensi, yakni keruntutan dan keteraturan berfikir logis,
serta upaya yang terus menerus dilakukan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus dan teori-teori yang
telah dibangun dan disusun oleh akal manusia. Dengan demikian Agus
Najib mengatakan dalam burhan, akal memiliki peran dan fungsi yang
paling utama. Karena itu dengan menggunakan premis-premis logika
yang konsisten, akal berusaha menemukan pengetahuan dari realitas
yang ada (al-waqi), baik realitas alam, sosial, humanitas maupun
keagamaan.Nalar burhani tumbuh dan berkembang serta dipraktekkan
secara konsisten di wilayah Andalusia, khususnya di Cordova20.
Di Andalusia dasar-dasar burhani mulai menemukan eksistensi dan
karakteristiknya pada periode akhir kekuasaan Umayyah. Corak
pemikiran ini tetap eksis sampai dinasti al-Murabbitun, sebelum
akhirnya muncul kembali masa pemerintahan almuwahhidiyyah, yang
beberapa penguasa dari dinasti ini mengembangkan aliran pemikiran
tersebut serta merumuskannya sebagai ideologi resmi negara. Proyek ini

20
M. Amin Abdullah, “At-Ta‟wil al-„Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, AlJami‟ah
Journal of Islamic Studies. Vol. 39, No. 2, (Juli Desember, 2001), h. 378-380

15
belum menampakan wujud dan karakteristiknya kecuali setelah
berlalunya satu abad dan kemunculan Ibnu Hazm21.

21
Ibid, h.378-380

16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ada tiga cara memperoleh pengetahuan tentang mashlahah, yaitu
bayani, burhani dan irfani. Bayani adalah sebuah model metodologi
berpikir berdasarkan teks. Metode ini menurut Al-Jabiri lahir sejak
sebelum Islam datang. Teks sucilah yang mempunyai otoritas penuh
untuk memberikan arah dan arti kebenaran, sedangkan rasio hanya
berfungsi sebagai pengawal bagi ter amankannya otoritas teks
tersebut. Irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan
atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct experience) atas
realitas spiritual keagamaan. Burhani adalah model metodologi
berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman,
melainkan atas dasar keruntutan logika. Pada tahap tertentu
keberadaan teks suci dan pengalaman spiritual bahkan hanya dapat
diterima jika sesuai dengan aturan logis. Bagi al-Jabiri epistemologi
burhani harus menjadi epistemologi yang layak diterapkan dalam
masyarakat Arab, Maroko khususnya. Hal ini adalah wajar untuk
mengurangi kebiasaan romantisisme orang-orang Arab Maroko
mencari pengetahuan melalui illuminatif.

17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Amin, Pendekatan Integratif Interkonektif, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
Abdullah M. Amin , “At-Ta‟wil al-„Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma
Penafsiran Kitab Suci”, Al Jami‟ah Journal of Islamic Studies. Vol. 39,
No. 2, Juli Desember, (2001).
Abed Muhammad al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, Beirut: al-Markaz
al-Tsaqafi al- Arabi, 1991.
Arif Mahmud, “ Pertautan Epistemologi Bayani dan pendidikan
Islam”, Al-Jami‟ah , Vol.40, No.1, ( January-June 2002).
Earle Wiliam James, Introduction to Philosophy, New York-Toronto :
Mc. Grawhill, Inc, 1992.
Edward Paul (ed), The Encylopedia of Philosophy, New York-London :
Macmilan Publishing Co., Inc, dan the Free Press, 1990.
Najib Muhammad Agus, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah
Penelusuran Awal), Hermenia : Jurnal Kajian Islam Interdisipliner,
Vol.2. No.2 (JuliDesember 2003)
Soleh Achmad Khodori, Model Epistemologi Islam dalam Pemikiran
Islam Kontemporer, Yogyakarta : Jendela, 2003.

18

Anda mungkin juga menyukai