Anda di halaman 1dari 9

DWI NURFIA CHRISDIANTO

NIM. 2224100713

SOAL UAS MATA KULIAH FILSAFAT ILMU ILMU KEISLAMAN


MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCASARJANA IAINNPONTIANAK

1. Dalam tradisi keilmuan dalam Islam dikenal istilah nalar bayani, buruan, dan irfani.
Jelaskan dan berikan analisis dan contoh bagi ketiganya !
Jawaban :
a. Nalar Bayani : Kata Baydn yang terdiri dari huruf-huruf ba - ya - nun, secara
lughawi mengandung lima pengertian; l) al-washl, 2) al-fashl, al-bu'du dan al-firaq,
3) al-zuhur dan al-wuduh, 4) al-fashahah dan al-qudrah dalam menyampaikan pesan
atau maksud, 5) manusia yang mempunyai kemampuan berbicara fashih dan
mengesankan. Dalam wacana tafsir, kata Baydn ini dipahami oleh para mufasir
dalam arti yang berbeda-beda, yaitu dalam mengartikan kata Baydn yang ada dalam
surat al-Rahman ayat 4. al-Alusi, misalnya dalam tafsir Riih al-Ma'dni, menafsirkan
Baydn adalah berbicara fashih dalam mengungkapkan isi hatinya. Selain itu, al-
Baydn juga berarti kebaikan dan kejelekan, atau jalan petunjuk dan jalan kesesatan,
atau ilmu dunia dan ilmu akhirat, atau nama-nama segala sesuatu, atau juga
berbicara dengan bahasa yang bermacam-macam.
b. Nalar Buruan : Dalam khazanah kosa-kata bahasa Arab, secara etimologis kata al-
Burhan berarti argumen yang tegas dan jelas . Kemudian kata ini disadur sebagai
salah satu terminologi yang dipakai dalam ilmu Mantik untuk menunjukkan arti
proses penalaran yang menetapkan benartidaknya suatu preposisi melalui cara
deduksi, yaitu melalui cara pengaitan antar preposisi yang kebenarannya bersifat
postulatif. Dalam hal ini, Burhan adalah satu jenis dari logika (qiyas). Kalau logika
itu bersifat umum, maka Burhan bersifat khusus, bagian dari logika itu sendiri, yaitu
suatu rasionalitas yang mengantarkan kepada ilmu yakin. Sebagai terma
epistemologis, seperti halnyaa/-Baydn dan al-'Irfan, al-Burhdn di sini adalah
sebutan bagi sistem epistemik dalam tradisi pemikiran Arab Islam yang dicirikan
oleh adanya metode pemikiran tertentu dan perspektif realitas tertentu pula, yang
secara geneologis berhubungan erat dengan tradisi pemikiran Aristotelian. Sistem
epistemik Burhani bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual
manusia, baik berupa indera, pengalaman, maupun rasio bagi upaya pemerolehan
pengetahuan tentang semesta dengan mendasarkannya pada keterkaitan antara
sebab dan akibat (kausalitas), bahkan juga bagi solidasi perspektif realitas yang
sistematis, valid, dan postulatif.
c. Nalar Irfani : Nalar 'Irfcini Al-'Irfan dalam bahasa Arab berasal dari kata 'arafa dan
ma'rifah, satu makna dengan 'Irfan. Kata 'Irfan muncul dari para sufi muslim yang
menunjuk pada suatu bentuk pengetahuan yang tinggi, terhunjam dalam hati dalam
bentuk kasyf atau ilham. Ilham di sini bukan dalam pengertian "ilham" kenabian,
tetapi merupakan intuisi seketika yang biasanya ditimbulkan oleh praktik-praktik
ruhani. Ilham ini datang dari pusat wujud manusia yang berada di luar batas waktu
atau dari "malaikat". Dengan kata lain, ilham itu berasal dari pancaran akal
universal yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Istilah 'Irfan itu sendiri
belum tersebar pemakaiannya dalam literatur-literatur sufistik kecuali pada periode
belakangan. Sejak awal para sufi membedakan antara pengetahuan yang diperoleh
melalui indera atau akal, atau melalui keduanya dengan pengetahuan yang
didapatkan melalui kasyf. Dzinun al-Mishri (w. 245 H) misalnya, membagi
pengetahuan menjadi tiga. Pertama, pengetahuan (ma'rifah) tauhid yang berlaku
untuk kalangan umum, mukmin dan mukhlishin. Kedua, pengetahuan argumentatif
dan Bayan, yaitu khusus bagi para hukama', bulagha', dan ulama'. Ketiga,
pengetahuan sifat-sifat wihdaniyah, yaitu khusus bagi ahli wilayatullah yang
menyaksikan Allah melalui hatinya sehingga nampak suatu kebenaran yang belum
pernah terlihat oleh orang lain. Sementara itu, al-Qusyairi memetakan manusia
menjadi tiga kelompok. Pertama, ahl al-naql wa al-atsar. Kedua, ahl al-aql wa al-
fikr, dan ketiga, ahl al- wishal wa al-qalb. Para sufi juga membedakan tiga tingkat
pengetahuan manusia, yakni Burhani, Bayani, dan 'Irfani dengan merujuk pada
pemakaian kata "yaqin" dalam al-Qur'an yang didahului dengan kata-kata haq, 'Urn,
dan 'am seperti dalam ayat m hadza lahuwa haq al-yaqin (al-Waqiah: 95). Ayat ini
menunjuk kepada pengetahuan Irfani. Kemudian dalam surat al-Takatsur ayat 5
disebutkan kalla lau talamuna 'Urn al-yaqin. Ayat ini menjustifikasi pengetahuan
Burhani. Selanjutnya dalam ayat yang ke-7 dijelaskan tsumma lataraunaha 'ain al-
yaqin, yang mana ayat ini menjadi dasar pengetahuan Bayani. Dengan kata lain,
‘ilm al-yaqin untuk ahl al-'uqul (Burhani), 'ain al-yaqin bagi ahl al-'ulum (Bayani),
dan lam al-yaqin untuk ahl al-ma'rifah ('Irfani), demikian menurut al-Qusyairi.
Ketiga nalar, baik itu Bayani, 'Irfani, maupun Burhani, dalam perjalanan awalnya saling
mempengaruhi dan saling berbenturan dalam peradaban Arab Islam yaitu semenjak
masa tadwin (kodifikasi). Dan pada gilirannya menjadi konflik politik sepanjang
sejarah Islam antara golongan Syi'ah yang mendasarkan nalar 'Irfani sebagai dasar
ideologi politik dan agamanya dan golongan AM al-Sunnah baik dari Mu'tazilah,
Asy'ariyah, dan lainnya yang menjadikan nalar Bayani sebagai dasar pemikiran agama
dan politiknya, yang kadang-kadang juga memasukkan unsur-unsur sistem pemikiran
Burhdni, sehingga menghasilkan sintesis antara kekuatan aql dan naql, antara filsafat
dan agama. Namun pada akhirnya, konflik ini dimenangkan oleh nalar 'Irfani, bukan
sebagai sistem pemikiran yang mendasari ideologi politik dan agama tertentu, tetapi
sebagai alternatif bagi setiap sistem pemikiran lainnya.

2. Tradisi keilmuan dalam Islam berbeda secara ontologis, epistomologis, dan aksiologis
dengan tradisi keilmuan di dunia Barat modern. Berikan perbedaan dan persamaan
antara keduanya!
Jawaban :
Perbedaan tradisi keilmuan dalam islam dan tradisi keilmuan didunia barat
Yang dibahas dalam epistemologi ilmu biasanya soal apa saja saluran ilmu (the
channel of knowledge), metode-metode ilmu, pembagian dan pembagian
ilmu (hiearchy of knowledge), dsb. Dalam pandangan ilmuwan Barat, saluran atau
sumber ilmu hanya dua yaitu panca indra (senses) dan akal (ratio). Sementara dalam
Islam, selain panca indra dan ratio, ditambah sumber dari wahyu, pandangan
otoritas (orang yang pakar di bidangnya) dan juga intuisi (ilham). Itulah sumber
ilmu dalam Islam. Perbedaan itu membuat ilmu dalam peradaban Barat menafikan
kehadiran wahyu dalam ilmu. Inilah perbedaan yang menyolok antara konsep ilmu
di dalam Islam dan dalam peradaban Barat.
Ontologi membahas tentang objek ilmu. Dalam pandangan ontologi Barat, objek
ilmu hanya terbatas pada unsur-unsur yang bersifat fisik (materi) semata. Di luar
unsur fisik tidak menjadi objek ilmu.
Menurut Mulyadhi, setelah melalui proses yang cukup panjang (terutama
pasca Renaisans), epistemologi Barat akhirnya cenderung menolak status ontologi
objek-objek metafisika, dan lebih memusatkan perhatiannya pada objek-objek fisik,
atau yang disebut oleh August Comte dengan “positivistik”. Sementara itu
epistemologi Islam masih (dan akan terus) mempertahankan status ontologis tidak
hanya objek-objek fisik, tetapi juga objek-objek metafisika. Perbedaan cara
pandang serta keyakinan terhadap status ontologis ini telah menimbulkan
perbedaan yang cukup signifikan antara kedua sistem epistemologi tersebut dalam
masalah-masalah yang menyangkut soal klasifikasi ilmu dan metode ilmiah yang
akan dibahas kemudian.
Oleh karena itu, ontologi Barat biasanya hanya membagi objek-objek ilmu ke dalam
masalah-masalah fisik, yaitu segala sesuatu yang bisa di-indra. Endang Saifuddin
Anshori mengutip Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosuf Jerman,
menyebutkan bahwa objek ilmu ada dua yaitu manusia dan alam. Dilthey membagi
ilmu pengetahuan atas dua bagian objek penelitian, yaitu natur-
wissenschaft dan geistes-wissenschaft.
Poedjawijatna menambahkan bahwa objek ilmu bisa dilihat dari materinya dan bisa
juga dari sudut pandangnya. Maka ilmu pengetahuan bisa dibagi menjadi
objek materia dan objek forma. Objek materia (obiectum materiale, material object)
adalah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penelitian suatu ilmu.
Objek forma (obiectum formale, formal object) adalah objek materi yang disoroti
oleh suatu ilmu sehingga membedakan ilmu yang satu dari ilmu yang lain, jika
berobjek materi sama. Misalkan manusia sebagai objek materia bisa menjadi
cabang berbagai ilmu pengetahuan berdasarkan objek formanya, seperti dilihat dari
sudut pandang fisik-benda alam merupakan ilmu biologi, dari sudut pandang
perasaaan yang berkembang dari dalam dirinya merupakan ilmu psikologi, jika
menyangkut hubungan dengan kelompok masyarakat menjadi ilmu sosiologi, jika
ditinjau asal usul kelompok manusia tersebut menjadi ilmu antropologi, dan
sebagainya. Namun pada prinsipnya, objek ilmu pengetahuan menurut ilmuwan
Barat adalah berupa objek fisik (manusia dan alam semesta yang dapat diindra).
Sementara itu, ilmuwan Islam masa lampau telah menunjukkan objek ilmu tidak
hanya hal-hal yang bersifat fisik atau indrawi saja. Bahkan hal-hal metafisika
menurut mereka lebih “riil” dibanding objek fisik. Bahkan mereka telah menyusun
hirarki wujud (martabah al-maujuudat) justru dimulai dari unsur-unsur yang
metafisik menuju unsur fisik.
Salah satu sarjana muslim terkenal yang membahas objek atau wujud materi
berdasarkan hirarkinya adalah al-Farabi. Menurut Osman Bakar, al-Farabi
membahas hirarki wujud (maujud) dalam karya besarnya, yaitu as-Siyasat al-
Madiniyah dan al-Madinat al-Fadhillah. Al-Farabi menyusun skema wujud secara
hirarkis dengan derajat kesempurnaan yang menurun sebagai berikut :

1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan wujud yang lain;


2. Para malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali imaterial;
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial); dan
4. Benda-benda bumi (terrestrial).
Dalam pandangan Islam, objek metafisika dipandang lebih penting dengan urutan
mulai dari nomor 1 ke nomor 4. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pandangan
ilmiah modern. Epistemologi Islam menganggap status ontologi objek fisik yang
biasa disebut dengan elementary particles menduduki peringkat paling rendah.
Sedangkan bagi pandangan ilmiah modern status ontologi objek fisik menempati
posisi yang sangat tinggi, bahkan prinsipil. Sementara segala hal yang bersifat
imateriil (metafisika) dianggap tidak bernilai bahkan sering dianggap hanya sebagai
ilusi atau halusinasi.
Sebuah buku best seller di Amerika Serikat terbit tahun 2013 berjudul God
Delusion (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama)
karangan Richard Dawkins –Sang Juru Bicara madzab Darwinisme, menyebutkan
bahwa hampir pasti tidak ada tuhan. Dia mengutip perkataan Thomas Jefferson,
“Para pendeta dari sekte-sekte keagamaan yang berbeda-beda….takut pada
kemajuan sains sebagaimana para tukang sihir takut pada hari yang menjelang, dan
marah pada pertanda kematian yang mengumumkan pemilahan orang-orang bebal
yang menjadi sandaran hidup mereka.” Menurutnya, argumen ketidakmungkinan
adanya tuhan tersebut merupakan suatu argumen yang besar sehingga jika
dijabarkan dengan tepat, nyaris membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Jelaslah bahwa objek ilmu di dalam pandangan Islam dan Barat berbeda secara
tajam. Islam memprioritaskan unsur spiritualitas sedangkan Barat dengan sains
modernnya memberikan prioritas pada unsur materi/fisik. Islam mendasarkan
segala sesuatu kepada Tuhan dan wahyu yang diturunkan-Nya, sedangkan Barat
yang cenderung atheis membuang jauh-jauh nilai ketuhanan bahkan sekedar
spiritual.
Dari status ontologis objek ilmu kemudian kita menentukan klasifikasi ilmu.
Mengingat objeknya sudah berbeda, klasifikasi ilmu dalam pandangan Islam dan
pandangan Barat pun berbeda. Sains Barat yang meragukan status ontologis objek
nonfisik (metafisika) hanya memasukkan bidang-bidang ilmu yang empiris saja.
Oleh karena itu kita akan sering mendapati klasifikasi ilmu dengan objek fisik saja,
seperti pembagian ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social
sciences) –ada juga yang menambahkan dengan humaniora (bahasa, budaya, dan
seni), ilmu murni (pure science, zuivere wetenschap) dan ilmu terapan (applied
science, toegespaste of practische wetenschap, angewandte,
wissenschaft), arts dan science, dan seterusnya.
Dalam pandangan Islam, klasifikasi ilmu sesuai dengan ontologi objeknya, yaitu
tidak hanya fisik tapi juga metafisik. Dalam klasifikasi ilmu Islam, wujud-wujud
disusun secara hierarkis sesuai dengan sifat-sifat dasar mereka. Ibn Sina, telah
mengelompokkan wujud-wujud ini ke dalam tiga kategori, yaitu (1) wujud-wujud
yang secara niscaya tidak berhubungan dengan materi dan gerak; (2) wujud-wujud
yang meskipun pada dirinya bersifat imateriil, terkadang mengadakan kontak
dengan materi dan gerak; dan (3) wujud-wujud yang secara niscaya terkait dengan
materi dan gerak.
Klasifikasi ilmu menurut Ibn Sina ini diberikan penjelasan oleh Mulyadhi bahwa
wujud-wujud yang termasuk ke dalam kategori pertama adalah yang kita sebut
dengan wujud-wujud metafisika dan Ibn Sina mencontohkan Tuhan dan jiwa untuk
itu. Adapun wujud-wujud dalam kategori kedua dapat disebut sebagai wujud-wujud
matematika, dan wujud-wujud dalam kategori ketiga jatuh pada wilayah fisik.
Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa dalam teori pengetahuan Islam, ilmu
dibagi dalam tiga klasifikasi besar, yaitu ilmu-ilmu metafisika, ilmu-ilmu
matematika, dan terakhir ilmu-ilmu alam atau fisik. Dari ketiga cabang utama
tersebut diuraikan cabang atau klasifikasi masing-masing ilmu.
Berdasarkan basis ontologi Islam, Wan Daud menyatakan bahwa pembagian ilmu
pengetahuan ke dalam beberapa kategori umum bergantung pada pelbagai
pertimbangan. Berdasarkan metode mempelajarinya, kita memiliki ilmu
pengetahuan iluminatif atau gnostik dan pengetahuan ilmiah. Kategori pertama di
atas adalah yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu yang diterima oleh
Nabi saw, kemudian diikuti oleh orang-orang bijak, para wali dan ulama.
Kategori kedua berdasarkan pengalaman empiris dan akal. Ilmuwan menamakan
dua kategori ini sebagai ilmu naqliyyah dan ilmu ‘aqliyyah (rasional)
ataupun tajribiyyah (empiris).
Jika dilihat dari kegunaannya bagi manusia, ilmu pengetahuan dibagi menjadi ilmu
yang baik (Al-Mahmudah) dan yang tidak baik (Al-Madzmumah). Jika dilihat lebih
dalam lagi dari aspek-aspek kewajiban manusia terhadapnya, pengetahuan dibagi
menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Sedangkan jika dilihat dari asal-usul sosial
dan kulturalnya, pengetahuan dibagi menjadi syariat dan non-syariat atau ilmu-ilmu
asing.
Mengikuti Al-Ghazali, Al-Attas mengkategorikan ilmu menjadi dua bagian yaitu
ilmu-ilmu yang bersifat fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu yang bersifat fardhu
kifayah. Beliau menguraikan bahwa ilmu fardhu ‘ain berhubungan dengan
ruh, nafs, qalb dan aql. Sedangkan fardhu kifayah berhubungan dengan
pengetahuan mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal. Kandungan umum yang
terperinci dari dua kategori tersebut adalah :

1. Fardhu ‘Ain (The Religious Scinces/Ilmu-Ilmu Agama), terdiri dari Al-Quran


(tafsir dan ta’wilnya), Sunnah (kehidupan Nabi saw, sejarah dan risalah nabi-
nabi terdahulu, hadits dan periwayatannya), Syariah (fiqih dan hukum, prinsip-
prinsip dalam Islam), Teologi (Tuhan, Dzat-Nya, Sifat, Nama dan Perbuatan-
Nya), Metafisika Islam (At-Tasawwuf, psikologi, kosmologi dan ontologi), Ilmu
bahasa (bahasa Arab, tata bahasanya, leksikografi dan sastra).
2. Fardhu Kifayah (The Rational, Intellectual and Philoshopical Sciences), terdiri
dari ilmu kemanusiaa, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu teknologi, perbandingan
agama, kebudayaan Barat, ilmu linguistik, dan sejarah.
Pengertian fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, termasuk yang sering diajarkan di
sekolah-sekolah dasar saat ini pada dasarnya berlaku secara umum. Sedangkan
secara khusus atau individu bisa jadi berlainan satu sama lain. Seperti di atas
dikemukakan bahwa sains alam termasuk kategori fardhu kifayah. Namun bagi
individu-individu tertentu bisa jadi sains alam tertentu termasuk fardhu ‘ain
baginya. Seorang nelayan yang pergi ke laut wajib mengetahui ilmu falak agar
mengerti arah tujuan. Jika ia tidak menguasai ilmu tersebut maka ia akan tersasar
dan membahayakan hidupnya. Mengapa menjadi wajib, karena sebagai pemimpin
keluarga ia wajib mencari nafkah bagi anak dan istrinya (laki-laki dalam bahasa
Arab disebut dengan ar-Rijal yang berasal dari kata ar-Rijlun yang artinya kaki.
Artinya laki-laki harus keluar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya).
Demikian juga dengan profesi-profesi lain.
Klasifikasi ilmu dalam Islam seperti di atas, hanya dipelajari dalam pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) tapi tidak dipraktekkan. Kita, di dunia pendidikan
lebih mengedepankan klasifikasi yang dipakai oleh pendidikan Barat modern
seperti ilmu sosial dan ilmu alam (IPS dan IPA), atau ilmu murni (MIPA) dan ilmu
terapan. Kesemua ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu fardhu kifayah. Bukan tidak
boleh, namun fardhu kifayah dipelajari setelah ilmu fardhu ain selesai. Dengan
kekacauan sistem seperti sekarang, seorang profesor muslim bisa memiliki keahlian
ilmu fardhu kifayah yang luar biasa, namun giliran disuruh shalat atau membaca al-
Quran tidak mampu atau terbata-bata. Kalah dengan anak SD. Jadi ilmu fardhu
kifayah-nya level profesor, ilmu fardhu ain-nya level TK. Ini harus menjadi bahan
renungan bersama, karena telah terjadi ketidakadilan dalam menuntut ilmu. Sistem
dan kurikulumnya memang seperti itu, di mana anak-anak SD yang belum perlu
mempelajari hukum-hukum fisika, kimia, biologi, dan matematika, sudah diajarkan
sementara hukum-hukum agama sangat minim diajarkannya.
Sama seperti landasan ontologi objek dan klasifikasi ilmu, metode ilmiah dalam
Islam pun berdasarkan unsur atau entitas fisik maupun metafisika. Dalam metode
ilmiah sains modern biasanya hanya dikenal satu metode saja yaitu metode
observasi atau eksperimen. Metode tersebut adalah metode untuk meneliti masalah-
masalah yang bersifat fisik dan empiris. Sedangkan ilmuwan Islam selain
mengunakan metode observasi (tajribi), mereka juga menggunakan metode logis
(burhani) untuk objek-objek non fisik, dan metode intuitif (irfani) untuk juga objek-
objek non fisik dengan cara yang lebih langsung. Dengan demikian, perbedaan
konsep ilmu di dalam Islam dengan sains Barat modern makin terlihat jelas.
Persamaan keilmuan dalam islam dan keilmuan di dunia barat modern
Baik Islam maupun Barat, keduanya sama-sama menempatkan ilmu sebagai
sesuatu yang amat sangat penting. Dalam pandangan Islam, tidak terhitung betapa
banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis Rasulullah s.a.w. yang berbicara tentang
pentingnya ilmu.
Kedudukan para penuntut ilmu pun dinilai sama dengan mujahid yang sedang
berjuang di jalan Allah s.w.t. Di samping itu, orang yang memiliki ilmu dipandang
sebagai pewaris tahta kenabian setelah diutusnya nabi terakhir, Nabi Muhammad
s.a.w.
Dalam peradaban Barat pun demikian pula. Peran Barat tidak bisa dilepaskan
dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Semenjak dari masa keemasan
Yunani dengan Filsafat-nya, mencapai puncaknya ketika revolusi industri, sampai
sekarang pun Barat masih menjadi ujung tombak bagi peradaban ilmu.
Akan tetapi walaupun demikian, baik Islam maupun Barat, keduanya memiliki
pandangan yang berbeda terkait dengan hakikat ilmu. Islam mengakui bahwa ilmu
itu adalah milik Allah s.w.t. Sekuat apa pun manusia berusaha untuk
menggapainya, jika tanpa kuasa dari Sang Pemilik ilmu, maka manusia tidak akan
mampu untuk meraih dan menggapainya.
Sekalipun semuanya bergantung kepada kehendak Allah s.w.t., lalu manusia
berlepas tangan sajakah? Maka ini pun adalah kesalahan. Manusia tetap beredar di
jalannya, berusaha mencari ilmu, karena biasanya proses tidak akan pernah
mengkhianati hasil. Jadi, dalam pandangan Islam, ilmu pada hakikatnya adalah
milik Allah s.w.t.
Berbeda dengan konsep ilmu yang berkembang pada peradaban Barat. Bagi
mereka, ilmu hanya akan bisa diusahakan melalui akal dan panca indra semata.
Selagi manusia mau berusaha menggunakan akalnya, maka mereka akan
mendapatkan ilmu.

3. Proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan bangunan keilmuan yang


dikembangkan. Berikan analisis tentang perkembangan dalam pendidikan Islam
ditinjau dari segi keilmuan yang dikembangkannya?
Jawaban :
Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek dari seluruh ajaran Islam, sebab
tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan kehidupan manusia, yaitu
menciptakan pribadi yang selalu bertakwa kepada Allah SWT, dan dapat
mencapai kehidupan bahagia dunia dan akhirat. Dalam konteks sosial
kemasyarakatan, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertakwa ini menjadi
rahmatan lil alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia
dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan
Islam.
Tujuan tersebut lebih praktis, sehingga konsep pendidikan Islam tidak sekedar
idealisasi beberapa ajaran Islam semata. Dengan kerangka tujuan yang lebih
praktis tersebut dapat dirumuskan beberapa harapan tertentu dalam tahapan
proses pendidikan, sekaligus nilai dari hasil yang telah tercapai. Tujuan khusus
tersebut bertahap pada penguasaan anak didik kepada bimbingan yang diberikan
dalam berbagai aspek, yaitu pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, keterampilan, atau
dengan istilah lain kognitif, efektif, dan motorik. Dari berbagai tahapan inilah
kemudian muncul tujuan yang lebih terperinci dan lengkap dengan berbagai
materi, metode, dan sistem evaluasi yang disebut dengan kurikulum dan diperinci
lagi menjadi silabus dari berbagai materi bimbingan yang akan diberikan
kepada anak didik.
Perkembang zaman menjadikan pendidikan Islam pasang surut baik mulai dari
masa kejayaan hingga masa ruhtuhnya pendidikan islam itu sendiri. Masa
kejayaan pendidikan islam diwarnai oleh pemahaman dalam bidang, matematika
yang dikembangkan menjadi teori bilangan, aljabar, geometri analitis dan
trigonometri. Kemudian dibidang fisika dan dikembangkan menjadi ilmu
mekanika dan optika, lalu dalam bidang geologi dan dikembangkan menjadi
geodesi, mineralogi dan meteorolgi. Sedangkan pada masa kemudurannya
pendidikan islam bermula pada setelah pola pemikiran rasional diambil alih oleh
pengembangan barat dan dunia Islam meninggalkan poleh pemikiran tersebut
dan beralih terhadap kehidupan kebatinan, sehingga mengabaikan
perkembangan dunia material, dan dampaknya ialah pola pendidikan islam yang
dikembangkan tidak lagi menghasilkan pendidikan dan budaya material, hingga
dari aspek inilah pendidikan islam dan kebudayaannya mengalami kemunduran.

4. Perkembangan pendidikan Islam kontemporer terutama dalam ilmu-ilmu Keislaman


mengalami tantangannya sendiri. Berikan analisis berbagai tantangan yang ada dan
tawaran jalan keluar atas tantangan tersebut
Jawaban :
Menghadapi tantangan globalisasi seperti yang dikemukakan di atas, pendidikan Islam
perlu melakukan langkah-langkah strategis dengan membenahi beberapa persoalan
internal.
Persoalan internal yang dimaksud adalah: (1) persoalan dikotomi pendidikan; (2) tujuan
dan fungsi lembaga pendidikan Islam; (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga
persoalan tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain.
1. Menyelesaikan persoalan dikotomi
Persoalan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum melahirkan dualisme
pendidikan, yaitu pendidikan Islam dan pendidikan umum. Dikotomi dan dualisme
merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang.
Seiring dengan itu berbagai istilah pun muncul untuk membenarkan pandangan
dikotomis tersebut. Misalnya, adanya fakultas umum dan fakultas agama, sekolah
umum dan sekolah agama. Dikotomi itu menghasilkan kesan bahwa pendidikan
agama berjalan tanpa dukungan ipteks, dan sebaliknya pendidikan umum hadir tanpa
sentuhan agama.
Pendidikan Islam harus menuju pada integrasi antara ilmu agama dan ilmu
umum. Fazlur Rahman (1985: 160) menawarkan satu pendekatan untuk
menyelesaikan persoalan dikotomi pendidikan yaitu dengan menerima pendidikan
sekuler modern sebagaimana yang berkembang di dunia Barat dan mencoba untuk
mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam.
Ahmad Syafi'i Ma'arif (1991:150) mengatakan bila konsep dualisme dikotomik
berhasil diselesaikan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam akan
berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi.
Pendidikan Islam melebur secara integratif dengan pendidikan umum. Peleburan
bukan hanya dalam bentuk satu departemen saja, tetapi lebur berdasarkan kesamaan
rumusan filosofis dan pijakan epistemologisnya.
Upaya intergrasi keilmuan di Indonesia dapat dilihat dengan perubahan
kelembagaan perguruan tinggi Islam dari insitut menjadi universitas. Pada level
madrasah dan pondok pesantren upaya ini diwujudkan dengan memasukkan mata
pelajaran umum dalam kurikulum.
2. Revitalisasi tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang tujuan dan
fungsinya. Menurut Azyumardi Azra (1999: 71-72) terdapat beberapa model
pendidikan Islam di Indonesia:
a. Pendidikan Islam mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk
mempersiapkan dan melahirkan ulama-mujtahid yang mampu menjawab
persoalan- persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman.
b. Pendidikan Islam yang mengintegrasikan kurikulum dan materi-materi
pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang
berpikir secara komprehensif, contohnya madrasah.
c. Pendidikan Islam meniru model pendidikan sekuler modern dan mengisinya
dengan konsep- konsep Islam, contohnya sekolah Islam.
d. Pendidikan Islam menolak produk pendidikan Barat. Hal ini berarti harus
mendisain model pendidikan yang betul-betul orisinil dari konsep dasar Islam
dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia.
e. Pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di
luar sekolah. Artinya, pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan
keluarga dan lingkungan masyarakat.
Model tersebut dapat dipilih untuk diterapkan yang penting sejalan dengan
kebutuhan masyarakat muslim. Pada intinya, menurut Nata (2003: 78), pendidikan
Islam harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang dapat berpikir kritis
dengan fokus dan tidak hanya sebagai penerima informasi global, tetapi juga harus
memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan
mengembangkan segala hal yang diterima melalui arus informasi tersebut, yakni
manusia yang kreatif dan produktif.
3. Reformasi kurikulum atau materi
Materi pendidikan Islam terlalu didominasi masalah-maslah yang bersifat
normatif, ritual dan eskatologis. Malik Fajar (1998: 5) menjelaskan, materi
pendidikan Islam disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan, tanpa ada
peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional
dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal yang
bersifat ritual.
Berdasarkan pengembangan keilmuan, dari berbagai problem yang muncul di
atas, jelas tidak bisa direspon hanya dengan ilmu-ilmu yang selama ini ada di
lembaga pendidikan Islam, seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, aqidah akhlak, dan
tarikh. Ilmu-ilmu tersebut perlu kembangkan sehingga mampu menjawab persoalan
aktual, misalnya masalah lingkungan hidup, global warming, pencemaran limbah
beracun, penggundulan hutan, gedung pencakar langit, polusi udara, dan problem
sosial, antara lain: banyaknya pengangguran, penegakan hukum, hak asasi manusia,
korupsi, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, materi pendidikan Islam secara garis besar diarahkan pada
dua dimensi, yakni: (1) dimensi vertikal berupa ajaran ketaatan kepada Allah swt.
dengan segala bentuk artikulasinya; (2) dimensi horizontal berupa pengembangan
pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau
lingkungan sosialnya. Dimensi yang kedua ini dilakukan dengan mengembangkan
materi pendidikan yang berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam
yang perlu diupayakan untuk membangun pendidikan Islam yang bermutu di tengah
kehidupan global yang kompetitif. Ketiga hal tersebut masih membutuhkan unsur
lain sebagai pendukung, seperti sumber daya kependidikan yang berkualitas,
pendanaan yang memadai, dan lingkungan sosial yang kondusif.

Anda mungkin juga menyukai