Anda di halaman 1dari 4

Adapun definisi atau pengertian moderasi beragama menurut para ahli dijelaskan berikut ini:

Prof. M. Quraish Shihab (Guru Besar Bidang Tafsir Al-Qur’an)

Menurut Quraish Shihab, moderasi beragama dalam konteks Islam sebenarnya sulit
didefinisikan. Hal itu karena istilah moderasi baru muncul setelah maraknya aksi radikalism
dan ekstremisme. Pengertian moderasi beragama yang paling mendekati dalam istilah Al-
Qur’an yakni “wasathiyah”.

Wasath  berarti pertengahan dari segala sesuatu. Kata ini juga berarti adil, baik, terbaik, paling
utama. Hal ini diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 143 (wa kadzalika ja’alanakum
ummatan wasathan) yang dijadikan sebagai titik tolak moderasi beragama.

Ada tiga kunci pokok dalam penerapan wasathiyyah ini, yaitu pengetahuan yang benar, emosi
yang terkendali dan kewaspadaan. Tanpa ketiga hal ini, wasathiyyah akan sangat susah
bahkan mustahil untuk diwujudkan.

Prof. Komaruddin Hidayat (Guru Besar Bidang Filsafat Islam)

Menurut Komaruddin Hidayat, pengertian moderasi beragama muncul karena ada dua kutub
ekstrem, yakni ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ekstrem kanan terlalu terpaku pada teks dan
cenderung mengabaikan konteks, sedangkan ekstrem kiri cenderung mengabaikan teks.
Maka, moderasi beragama berada di tengah-tengah dari dua kutub ekstrem tersebut, yakni
menghargai teks tetapi mendialogkannya dengan realitas kekinian.

Dalam konteks Pendidikan Islam, moderasi ini berarti mengajarkan agama bukan hanya
untuk membentuk individu yang saleh secara personal, tetapi juga mampu menjadikan paham
agamanya sebagai instrumen untuk menghargai umat agama lain.

Prof. Azyumardi Azra (Guru Besar Sejarah Islam)

Menurut Azyumardi Azra, moderasi beragama di Indonesia yang sangat terlihat adalah umat
Islam. Pengertian Moderasi beragama dalam konteks umat Islam kemudian disebut Islam
Wasathiyah.  Kondisi moderasi beragama di Indonesia saat ini sudah mapan dengan adanya
Islam Wasathiyah. Artinya, dalam memahami agama tidak banyak masyarakat Indonesia
yang ekstrem kanan ataupun yang ekstrem kiri.

Keunikan dari Moderasi Islam Indonesia adalah umat Islam sebagai mayoritas, tapi para
pemimpin dan ulamanya menerima empat pilar kebangsaan; Pancasila, Bhineka Tunggal Ika,
NKRI dan Undang-Undang 1945. Hal ini yang kemudian membuat peneliti Eropa terheran-
heran mengapa umat Islam Indonesia tidak menjadi Islam, padahal Islam mayoritas.

Moderasi Islam Indonesia senantiasa dijunjung dan dikembang oleh Nahdlatul Ulama (NU)


dan Muhammadiyah. NU dengan gagasan Islam Nusantara-nya sejalan dengan Islam
Wasathiyah. Begitu pula dengan Muhammadiyah dengan gagasan “Islam berkemajuan”-nya
juga merupakan Islam Wasathiyah.
Drs. Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama tahun 2014-2019)
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, dalam istilah moderasi beragama harus dipahami bahwa
yang dimoderasi bukan agamanya, melainkan cara kita beragama. Hal ini karena agama
sudah pasti moderat.

Hanya saja ketika agama membumi, lalu hakikatnya menjadi sesuatu yang dipahami oleh
manusia yang terbatas dan relatif. Agama kemudian melahirkan aneka ragam pemahaman
dan penafsiran. Oleh karena itu, moderasi beragama merupakan keniscayaan untuk
menghindari penafsiran yang berlebihan dan paham keagamaan yang ekstrem, baik ekstrem
kanan maupun kiri.

Moderasi beragama seperti istilah moderasi Islam. Agama Islam tak perlu dimoderasikan
lagi, namun cara seseorang berislam, memahami Islam, dan mengamalkan Islam yang
senantiasa harus dijaga pada koridornya yang moderat.

Ada dua poin penting dalam melihat Moderasi Islam. Pertama, senantiasa adil, yakni
memosisikan diri ke tengah tidak condong ke salah satu sisi. Dalam konteks beragama,
seseorang harus adil melihat berbagai sudut pandang berbeda asalkan masih dalam koridor
moderat. Jika mengarah ke sudut pandang ekstrem, maka itu tak bisa ditoleransi.
Kedua, keseimbangan. Banyak kalangan yang mencoba untuk menafsirkan ajaran agama
supaya bisa menjadi pedoman kehidupan manusia. Akan tetapi, keterbatasan manusia
menyebabkan upaya penafsiran tersebut tidak sempurna sehingga muncul sudut pandang
berbeda dalam menafsirkan agama.

Dalam konteks kehidupan berbangsa, moderasi dalam beragama sangat erat terkait dengan
menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap tenggang rasa. Hal itu agar paham agama yang
berkembang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, wasat}iyyah yang dapat disebut juga dengan at-
tawazun, yaitu upaya menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang berlawanan
atau bertolak-belakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegaskan yang
lain. Sebagai contoh dua sisi yang bertolak belakang; spritualisme dan materialisme,
individualisme, dan sosialisme, paham yang realistik dan idealis, dan lain sebagainya.
Bersikap seimbang dalam menyikapinya yaitu dengan memberi porsi yang adil dan
proporsional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa berlebihan, baik karena terlalu banyak
maupun terlalu sedikit.
Menurut Abu Fadl, Islam moderat adalah mereka yang meyakini Islam, menghormati
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan , dan meyakini bahwa Islam sangat pas untuk setiap saat
dan zaman, li kull zaman wa makan. Mereka tidak memperlakukan agama laksana monumen
yang baku, tetapi memperlakukannya dalam kerangka iman yang dinamis dan aktif.
Konsekuensinya, Islam moderat menghargai pencapaianpencapaian sesama Muslim di masa
silam, untuk direaktualisasikan konteks kekinian.
Menurut Hasyim Kamali, moderasi merupakan aspek penting dalam Islam, dimana
moderasi dalam Islam mengandung banyak ramifikasi dalam berbagai bidang yang menjadi
perhatian Islam. Kamali mengungkapkan bahwa moderasi menyangkut kebijakan moral yang
relevan, tidak hanya dengan kehidupan individual, tetapi juga integritas dan citra diri
komunitas dan bangsa.
keberagaman yang moderat sejatinya merupakan karakteristik model keberagamaan
mayoritas muslim indonesia,. Selama bertahun-tahun, model keberagamaan semacam ini
telah berlangsung dan berkontribusi merawat harmoni sosial masyarakat Indonesia yang
terkenal sangat majemuk. Hanya saja, akhir-akhir ini pola keberagamaan seperti ini
tampaknya menghadapi tantangan yang tidak ringan. Hadirnya paham- paham keagamaan
transnasional yang mengusung paham-paham ekstrem telah mengancam bukan hanya model
keberagamaan yang ramah, tetapi juga mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Disisi lain, pada kenyataan setiap agama juga memiliki keragaman di dalam
menafsirkan ajaran-ajarannya. Di dalam Islam sebagai misal, dalam bidang akidah, terdapat
banyak paham-paham yang berbeda satu dengan yang lain, seperti Mu’tazilah, Qodariyah,
Jabariyah, Ahlussunnah dan lainnya yang masing-masing memiliki pengikut sendiri-sendiri.
Dalam bidang fikh juga demikian adanya, dalam pengambilan hukum ada diantaranya yang
dengan berijtihad sendiri tanpa mengikuti madhab tertentu, ada pula yang mengikuti madhab
tertentu yang satu dengan yang lain berbeda. Demikian pula pada agamaagama lain, terdapat
pula aliran-aliran yang berbeda-beda pula.
Pandangan John L Esposito Masdar Hilmy menyebutkan bahwa terma ‚moderat‛ dan
‚moderatisme‛ merupakan nomenklatur konseptual yang sulit didefinisikan, Terma ini
diperebutkan oleh kelompok agama ataupun para ilmuwan, sehingga dimaknai secara
berbeda-beda, tergantung siapa dan dalam konteks apa ia dipahami. Kesulitan pemaknaan ini
disebabkan karena khazanah pemikiran Islam klasik tidak mengenal istilah ‚moderatisme‛.
Penggunaan dan pemahaman atasnya biasanya merujuk pada padanan sejumlah kata dalam
bahasa Arab, diantaranya al-tawassut atau al-wasat} (moderasi), al-qist (keadilan), al-
tawazun (kesimbangan), al-‘itidal (keselarasan/kerukunan), dan semacamnya. Namun
demikian, dalam konteks Indonesia, terdapat beberapa karakteristik moderatisme Islam.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Toto Suharto tentang ‚Indonesianisasi
Islam: Penguatan Islam Moderat dalam Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia‛.
Menurutnya moderasi Islam adalah bagian dari warisan para Walisongo dalam menyebarkan
ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alami>n. Menurutnya, umat Muslim Indonesia harus
mengedepankan nilai moderasi Islam dalam hidup berbangsa, beragama, dan bernegara.
Meskipun ada kelompok yang dianggap transnasional seperti; Ikhwanul Muslimin, Hizbut
Tahrir, dan Wahabi Salafi. Perlu penguatan dalam lembaga pendidikan diantaranya; 1)
penekanan Islam moderat dalam merumuskan tujuan pendidikan; 2) internalisasi nilai-nilai
moderat dalam merancang bangunan kurikulum; dan 3) memfilterisasi materi ajar dari
pemahaman radikal.
Berdasarkan penelusuran penulis dari berbagai referensi, bahwa istilah Islam Moderat
sebenarnya terbawa oleh konstalasi sosial politik. Dengan demikian pembagian Islam
menjadi moderat, liberal, fundamental, dan ekstrim itu juga tidak lepas dari penilaian yang
berbeda-beda. Sebenarnya dalam Islam sendiri, yang ada hanyalah ‚Islam Rahmatan Lil
‘Alamin>‛. Tetapi karena sudah terlanjur disebut menjadi istilah maka istilah moderat itu
harus kita beri batasan. Sesungguhnya Moderat itu adalah keseimbangan antara keyakinan
dan toleransi, seperti bagaimana kita mempunyai keyakinan tertentu tetapi tetap mempunyai
toleransi yang seimbang terhadap keyakinan yang lain. Islam yang modeart itu adalah yang
natural, ilmiah, dan siap untuk diaplikasikan dalam pergaulan hidup dan tentunya belum
dimasuki interest-interest non agama.
Dari beberapa pandangan mengenai Islam moderat di atas, penulis lebih setuju pada
hakikat atau substansi Islam moderat, yang oleh Al-Qurᾱn disebut sebagai rahmah li a-
‘a>lami>n (Q.S al-Anbiya: 107). Dengan pemaknaan ini, Islam moderat bagi Indonesia
adalah Islam yang bukan ekstrem atau radikal, yang senantiasa tidak menekankan pada
kekerasan atau tidak menempuh garis keras di dalam mengimplementasikan
keberIslamannya. Kelompok Islam yang bukan rahmah, maka itu bukan dikategorikan Islam
moderat. Islam moderat ini ditandai dengan beberapa karakteristik, yaitu berprilaku normal
(tawassut) di dalam mengimplementasikan ajaran agama, toleran terhadap perbedaan
pendapat, menghindari kekerasan, memprioritaskan dialog, mengakomodir konsep-konsep
modern yang secara substansial mengandung maslahat, berpikir rasional berdasarkan wahyu,
menafsirkan teks secara kontekstual, dan menggunakan ijtihad di dalam menafsirkan apa
yang tidak termaktub di dalam Al-Qurᾱn atau Sunnah. Dengan, karakter ini, Islam moderat
adalah mereka yang memiliki sikap toleran, rukun, dan kooperatif dengan kelompok-
kelompok agama yang berbeda. Inilah watak rahmah bagi Islam moderat Indonesia, yang
lebih bermakna teologis, daripada politis yang sering diwacanakan oleh Amerika Serikat
ketika memaknai Islam moderat.

Anda mungkin juga menyukai