Anda di halaman 1dari 10

MODERASI ISLAM DAN TOKOH-TOKOH ISLAM FUNDAMENTAL

Wahfiuddin Al Musyarrofi
Program Studi Pendidikan Agama Islam, UNKAFA Gresik
wahfiuddinalmusyarrofi@gmail.com

Abstract
Moderation is something that needs to be done to overcome
complicated religious problems. Religious moderation makes people
love and respect each other. In this research, the researcher examines
the problem of Islamic moderation and fundamental Islamic figures.
This research uses a literature study method by referring to previous
research. The aim of this research is to introduce how important
tolerance between religious communities is, which is covered by the
term religious moderation.
Keywords: Islamic Moderation, Fundamentalism, Islamic Figures

Pendahuluan
Setiap agama pada umumnya akan mengajarkan untuk mencintai
perdamaian dan saling mengasihi satu sama lain, baik sesama manusia maupun
sesame makhluk lainnya. Dalam fitrah agama tentu semua agama mengajarkan
kebaikan dan panduan keselamatan untuk menjalani kehidupan yang tentram,
tidak terkecuali agama islam. Agama islam merupakan salah satu agama yang
banyak mengajarkan tentang keselamatan yang juga termasuk agama rahmatan lil
alamin, tidak ada agama apapun yang akan membenarkan tentang adanya
kekerasan, karena kekerasan sendiri hanya akan menimbulkan banyak kerugian
dalam berbagai aspek.1
Agama islam secara tegas membantah adanya kekerasan yang dijadikan
acuan untuk menjalakan sesuatu kegiatan tertentu. Secara harfiah kekerasan
merupakan suatu prilaku ketidakbermolan pada diri sesorang yang didalamnya
terdapat unsur paksaan dimana seseorang akan memaksakan kehendaknya dan
mengharuskan serta mendesak agar orang lain dapat mengikutinya, tetapi dalam
realitanya yang terjadi dalam kehidupan kehidupan beragama dan menjalankan
ajarannya justru sebaliknya. Agama terkesan lebih mudah memicu konflik
kekerasan.2
Akibat atau efek yang dirasakan oleh umat islam adalah karena ulah
beberapa kelompok yang mengatasnakan islam dengan menggunakan serangkaian
aksi kekerasan yang dilakukannya. Mereka menggunakan kekerasan untuk
menyelesaikan permasalahan yang menurut mereka tidak bisa diselesaikan dengan
1
Nur, A. Fundamentalisme, Radikalisme dan Gerakan Islam di Indonesia: Kajian Kritis
Pemikiran Islam. Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam , 2 (1), 28-36. 2021
2
Shofan, M. Fundamentalisme Islam: Gejala Ketidakmampuan Dalam Merespon Makna
Zaman. SIASAT, Vol. 4, no. 3, Jan. 2019,

1
cara baik-baik, oleh karena itu sering kali sekelompok orang tersebut biasa disebut
sebagai islam radikat atau islam garis keras. Agama islam tetaplah agama islam
tidak mengenal dengan sebutan-sebutan yang telah disebutkan, tetapi sebutan itu
muncul karena agama islam telah membuka berbagai kelompok yang menafsiri al-
qur’an dan hadist secara berbeda-beda sehingga bentuk pengamalan dan prilaku
umat muslim sendiri menjadi berbeda-beda sesuai dengan latar budayanya
masing-masing. Islam radikal atau islam garis keras merupakan fenomena baru
yang memberikan pemahan dan pengamalan dalam agama islam yang berbeda
dari kelompok lainnya.
Kaum fundamental muncul dari pemahaman-pemahaman kaum radikal.
Pemahaman tersebut berubah menjadi sebuah ideologi yang juga disebabkan
beberapa faktor, antara lain kecenderungan memahami nash secara literal, terlalu
memfokuskan masalah furu’iyah, terbatasnya pemahaman tentang islam, dan
kurangnya wawasan pemahaman sejarah islam dalam kehidupan sosial. Secara
eksternal, fundamentalisme muncul dalam islam juga disebabkan oleh beberapa
faktor lain, yaitu imperialism, westernisasi, kristenisasi, sistem pemerintahan,
kesenjangan sosial dan ekonomi, sekularisme, liberalisme, dan tentunya sikap
bangsa barat yang tidak adil terhadap bngsa timur tengah, terutama antara palesina
dan Israel.3
Pembahasan
Moderasi Islam
Islam moderat atau bisa juga disebut islam wasathiyah, berasal dari kata
islam dan wasathiyah. Seperti yang telah diketahui banyak orang agama islam
merupakan agama yang penuh keberkahan, agama yang memudahkan, dan agama
yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Pemeluk agama terbanyak saat ini baik di
Indonesia maupun di dunia islam merupakan agama yang paling banyak dianut
oleh manusia.
Kata moderasi dalam bahasa arab biasa disebut dengan al-wasathiyah yang
berasal dari suku kata “wasath”4. Menurut al-asfahaniy wasathan yang berarti
ditengah-tengah antara dua batas, atau pendapat, yang standard dan biasa-biasa
saja. Wasathan memiliki arti lain yaitu menjaga dan berprilaku dengan baik tanpa
meninggalkan ajaran agama. Kata al-wasathiyah merujuk pada kata al-wasth
(dengan huruf sin yang disukun-kan) dan al-wast (dengan huruf sin yang di fathah
kan) yang keduanya merupakan mashdar (infintife) dari kata kerja (verb) wasatha.
Kata wasathiyah biasa disamankan atau dihubungkan dengan kata al-iqtishad yang
subjeknya al-muqtashid. Tetapi secara penggunaan kata wasathiyah sendiri lebih
sering digunakan untuk menunjukkan sebuah pola pemahaman yang berkaitan
dengan sikap beragama dalam ajaran islam.
3
Ibid, hal 2
4
Faiqah. Pransiska. Radikalisme Islam vs Moderasi Islam: Upaya Membangun Wajah Islam
Indonesia yang Damai. Al-Fikra, 17(1), 33–60, 2018

2
Sementara dalam bahasa arab, kata moderasi biasa di istilahkan dengan
kata wasath atau wasathiyah yang orang biasa disebut wasith. Kata wasith jika
diartikan dalam bahasa bahasa Indonesia memiliki tiga pengertian, yaitu 1)
sebagai penengah, pengantara contohnya dalam hal bisnis, perdagnagan, dan lain
sebagainya, 2) sebagai pelerai, pemisah, pendamai ketika terjadi masalah, 3)
sebagai pemimpin di pertandingan. Dalam maqolah arab, sebaik-baiknya segala
sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah. Contohnya sikap dermawan yaitu
sikap yang berada ditengah antara kikir dengan boros, pemberani yang berda
diantara sikap pemberani dengan nekat, dan masih banyak lain sebagainya.5
Dalam konteks keislaman di Indonesia, konsep moderasi islam memiliki
minimal lima karakteristik berikut ini.
1) Tidak adanya kekerasan dalam ideologi (cara) ketika berdakwah.
2) Mengadopsi pola kehidupan modern, seperti menggunakan teknologi, dan
informasi, dan ilmu-ilmu yang sedang berkembang lainnya.
3) Menggunakan pemikiran yang rasional dalam mendekati dan memahami
agama islam.
4) Menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami sumber ajaran islam
5) Menggunakan ijtihad dalam menetapkan hokum islam.
Lima karakteristik tersebut diperkuat dengan beberapa karakteristik lain
seperti adanya toleransi, hubungan yang damai, kerjasama antar umat Beragama,
dan lain sebagainya.
Sejarah Fundamentalisme
Istilah fundamentalis digunakan pertama kali oleh kaum kreisten di
amerika pada abad ke sembilan belas, mereka memaksakan pemahaman injil dan
menerapkan bible secara murni serta menolak keras teori Darwin yang sangat
popular pada saat itu. Bertambahnya waktu istilah fundamentalisme melekat pada
para agmawan protestan yang konservatif. Istilah ini kemudian dipublikasikan
atau diumumkan dalam pamphlet yang berjudul “The Fundamentals of the faith”
yang terbit pada 1920-an di amerika. Dalam pamphlet tersebut para kaum
protestan konservatif berpendapat bahwa kepercayaannya tidak akan hilang dan
juga sesuai dengan kehidupan sosial yang ada. Kepercayaan ini juga sebagai
bentuk pemberontakan mereka terhadap zaman yang liberal. Oleh karena itu
kemunculan adanya fundamentalisme adalah untuk memerangi usaha penafsiran
bible dan teologi menggunakan pemahaman modern.
Karen Armstrong juga mengemukakan yang hamper sama dengan uraian
diatas, istilah “fundamentalisme” digunakan pertama kali oleh kaum Protestan
Amerika pada awal abad ke-20, sebagian dari mereka menyebut diri
mereka sendiri fundamentalis. Hal itu dilakukan untuk membedakan mereka

5
Almu’tasim, A. Berkaca NU dan Muhammadiyah dalam Mewujudkan Nilai- Nilai Moderasi
Islam di Indonesia. TARBIYA ISLAMIA: Jurnal Pendidikan Dan Keislaman, 8(2), 199–212, 2019

3
dari kaum Protestan yang lebih “liberal”, yang mereka sinyalir telah merusak
keimanan Kristen. Disini para kaum fundamentalis tersebut ingin kembali ke
dasar dan menekankan kembali aspek fundamental dari tradisi Kristen, yakni
suatu tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan penafsiran
harfiah terhadap kitab suci serta penerimaan terhadap doktrin-doktrin inti
tertentu. Sementara menurut Bassam Tibi fundamentalisme merupakan
fenomena global baru yang muncul dalam kancah perpolitikan dunia, dimana
isu-isu yang diusung merupakan isu dalam wilayah ideologi politik dan
bukan wilayah ideologi agama.
Wajah fundamentalisme dapat dikatakan skriptualisme, yaitu adalah
keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan
dianggap tanpa kesalahan. Sikap fundamental yang menimbulkan menolak
pluralisme dan relitivisme, pluralisme disini beranggapan bahwa produk yang
keliru dari pemahaman terhadap teks suci, sehingga sikap dan pemahaman yang
tidak mulus dalam pandangan kaum fundamentalis yang merupakan bentuk
gerakan dari adanya relativisme keagamaan.6
Fundamentalisme selalu dikaitkan atau diidentikkan dengan agama. Baik
di barat maupun islam, gerakan fundamentalisme sangat menyatu pada isu-isu
agama seperti purifikasi, kebangkitan, reinterpretasi. Menurut Graudy
fundamentalis adalah sebuah fenomena yang tidak hanya terpaku pada agama saja
tetapi terdapat beberapa bagian juga, diantaranya fundamentalis wilayah politik,
sosial, dan budaya. Menurutnya fundamentalis adalah sebuah pandangan yang
harus dipelihara atas kepercayaanya, baik bersifat agama, politik atau budaya
yang dianut leluhurnya yang menanamkan ajaran pada sejarah masa lalu. 7
Menurut analisis yang dilakukan oleh Akbar S. Ahmad bahwa fundamentalis
sebagai sesuatu yang identik dengan kaum radikal, serta menambah satu cirri
sebagai kaum fundamentalis, yaitu vulgaritas, mereka cenderung mengunakan
kata-lata kasar dan kotor untuk membuat orang lain merasa tersudut dengannya,
bahkan meraka sering sekali tidak sadar dengan kenyataannya kalau
menggunakan kata kasar dan kotor untuk membela kebenarannya sendiri dengan
cara yang menjijikan.8
Aliran Fundamentalisme Dalam Islam
Istilah fundamentalis menurut Ali Syuaibi, yang dalam bahasa arabnya
fundamentalisme disebut dengan istilah ushuliyah yang artinya kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah, hal ini dapat di klasifikasikan bahwa mayoritas umat

6
Mukhlisin, Muhammad Ray Fauzan, and Muhammad Arsyam. "Genealogi gerakan
fundamentalisme Islam di Indonesia." Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 3.2
(2022): 1-10.
7
R. Graudy dalam Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, sebagaimana dikutip oleh
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-
Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 108.
8
Nasution, Z. TERORISME DAN ISLAM FUNDAMENTALISME. Jurnal Ilmiah Sosiologi
Agama (JISA), 1(2), 80-102. 2018

4
islam yang beriman dapat di golongkan sebagai fundamentalis (ushuliyah).
Golongan beriman yang sifat fundamentalis ini tidak mengamini kekerasan dan
mengimani terorisme karena keduanya bertentangan dengan al-Qur’an dan
Sunnah. Oleh sebab itu, ketika istilah fundamentalisme disematkan kepada
gerakan islam politik yang seringkali di warnai dengan aksi kekerasan dan teror,
maka dapat dikatakan tidak bisa secara mutlak dikatakan sebagai gerakan islam,
melainkan lebih dekat kepada gerakan politik biasa.9
Fundamentalis dalam islam, menurut E. Marty paling tidak memiliki
empat prinsip penting.10 Prisnsip pertama, bahwa fundamentalisme merupakan
suatu paham perlawanan (oppsitionalism). Dalam agama apapun, fundamentalis
memliki arah yang lebih perlawanan tetapi juga bukan bersifat radikal yang lebih
ganas lagi serta membahayakan eksistensi agama, bisa dalam bentuk modernitas
atau modernism, sekularisasi, dan tata nilai barat pada umumnya.
Prinsip kedua, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan
interprestasinya. Teks al-qur’an harusnya dipahami secara harfiah sebagaimana
semestinya, menurutnya logika tidak sampai mampu untuk memahami interpretasi
secara benar terhadap teks. Oleh karena itu kaum fundamentalis lebih bersifat
skripturalis dalam memahami ajaran-ajaran agama.
Prinsip ketiga, yaitu menolak pluralism dan relativisme. Kaum
fundammentalis benpendapat bahwa pluralism adalah hasil pemahaman yang
salah terhadap teks al-quran dan hadist. Salah satu jenis relativisme keagamaan
adalah pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan kaum
fundamentalis. Hal ini terutama disebabkan oleh intervensi nalar terhadap teks
kitab suci dan perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah meninggalkan
ajaran agama.
Prinsip keempat, Penolakan terhadap perkembangan sosiologis dan
historis. Kaum fundamentalis percaya bahwa doktrin literal kitab suci telah
menyimpang dari manusia karena evolusi sejarah dan sosial. Dalam kerangka ini,
masyarakat—bahkan dengan kekerasan—harus menyesuaikan diri dengan kitab
suci, dan bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti
perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, kaum fundamentalis bersifat ahistoris
dan asosiologis, dan mereka tidak pernah berusaha untuk kembali ke masyarakat
“ideal”, yang dianggap oleh kaum fundamentalis Islam seperti zaman kaum salaf,
yang dianggap mengamalkan kitab suci secara menyeluruh.
Dalam agama islam, fundamentalisme tidak bisa lepas dari sejarah dua
Negara yaitu Arab Saudi dan Mesir. Negara-negara ini membangun ideology
tersebut dengan menggunakan ajaran al-qur’an dan hadist. Mereka berusaha untuk
mengobarkan untuk kembali pada ajaran-ajaran agama pada masa lalu, tidak

9
Mubarak, Z. (2018). FUNDAMENTALISME ISLAM: Kajian Fenomena Sosio-Religius. In ULUL
ALBAB Jurnal Studi Islam (Vol. 4, Issue 2, pp. 89–111). Maulana Malik Ibrahim State Islamic
University. https://doi.org/10.18860/ua.v4i2.6128
10
Ibid, hal, 109-110

5
terpaku pada perkembangan zaman atau istilah ini biasa dikenal dengan sebutan
gerakan “pemurnian”.
Keterkaitan hubungan antara arab Saudi modern dengan ajaran yang
dipelopori oleh ahmad bin hanbal sekitar tahun 78—855 dan ibn taimiyah sekitar
1263-1328 yang sama-sama mengajarkan agar kembali pada al-qur’an dan hadist
dengan menjauhi hal-hal yang berbau bid’ah dan khurafat. Sebelum adanya kaum
fundamental muncul pada tahun 1920an, kaum radikal lebih dulu berkembang
pesat dengan menjadikan institusi Negara sebagai basis perjuangannya. Secara
umum ada tiga faktor yang menjadi dasar kemunculan kaum fundamentalis di
arab Saudi:
Pertama, kritik terhadap rezim yang berkuasa yang selalu menyebut agama
meskipun praktiknya sendiri sudah menyimpang dari agama. Hak otoritatif
terhadap kelompok agama “Wahhabi” menimbulkan absolutisme di masyarakat.
Selain itu, keluarga pimpinan juga dikritik, yang membingungkan masyarakat
bahwa Saudi tidak bisa maju tanpa mereka. Oposisi mengatakan, "Wahabi saat ini
tidak punya otoritatif mengatasnamakan agama. Kita harus mengikuti Islam yang
benar sebagaimana Islam yang dibawa oleh Nabi dan para sahabat, bukan
mengikuti apa yang dikatakan oleh ulama yang korup." Para aktivis aktivis
menuntut perbedaan antara urusan pribadi, publik, politik, dan bisnis. Inilah
alasan mengapa korupsi terjadi di kerajaan . Aktivis menuntut redefinisi aturan
nasional, keseimbangan urusan pribadi dan publik, dan kejelasan aturan hukum
dan sistem kekerabatan yang tidak jelas.
Kedua, perspektif kritis terkait dengan tindakan yang berlebihan terhadap
gerakan sosial di Arab Saudi. Karena kekayaan minyaknya yang berlimpah,
kerajaan membiayai operasi intelijen yang signifikan untuk menghancurkan
organisasi anti-pemerintah. Meskipun akhirnya gagal, jaringan keluarga kerajaan
juga membantu menghambat gerakan kelompok radikal. "Masyarakat (Arab)
paling tahu tentang gurun" adalah ungkapan yang sering digunakan oleh aktivis
Saudi untuk melawan pemimpin yang mendukung kepentingan Amerika. Mereka
dapat bertahan karena keluarga biasanya menghabiskan tiga bulan di kamp gurun.
Orang Amerika membutuhkan air mineral untuk hidup, sedangkan orang Saudi
hanya minum lumpur untuk hidup.
Ketiga, sikap kritis dilancarkan kepada dominant narrative kerajaan. Sikap
kritis pada konstruk sejarah Saudi Arabia yang penuh tipu muslihat dengan
menggunakan dasar agama untuk memobilisasi dan menghipnotis masyarakat
dengan segala dalih dan tipu daya. Sikap kritis ditujukan pada Abdul Aziz dan
keluarga kerajaan yang selalu menganggap dirinya sebagai pemersatu antar suku,
menikahi sekian istri demi menjaga kesatuan masyarakat Arab, penjaga agama,
dan segala bentuk agitasi untuk melemahkan posisi tawar masyarakat.11
Selain itu, pendudukan Napoleon Banoparte membawa modernisasi ke
fundamentalisme Mesir. Muhammad Ali Pasya (1769-1849) melanjutkan
11
Ibid, 6-8

6
modernisasi tak lama setelah pendudukan Napoleon dengan mengirimkan sarjana
ke Eropa untuk mempelajari strategi perang, memerkenalkan model irigasi
modern, membuka percetakan, dan modernisasi pemerintahan. Muhammad Ali
mengkritik apa yang dia sebut sebagai "westernisasi". Masyarakat Mesir
menyambutnya dengan baik, tetapi banyak yang menyerap efek negatif
modernisasi. Muhammad Abduh (1845-1905) dan Jamal al-Din al-Afghani (1839-
1897) adalah contoh orang yang hati-hati dan kadang-kadang reaktif. Al-Afghani
menekankan bahaya dalam beberapa kesempatan, terutama ketika dia mengajar
dan menulis dalam al-Urwah al-Wuthqa (tali yang kokoh), al-Afghani
menegaskan bahwa bangsa barat akan menimbulkan bahaya bagi kaum muslim
dan juga pengaruhnya yang nanti pasti akan berimbas pada dunia islam sehingga
al-afghani menyerukan agar kaum muslim bersatu secara utuh.12
Baik al-Afghani maupun Abduh mendorong umat Islam untuk kembali ke
ajaran agama yang benar dengan mendengungkan purifikasi dan meninggalkan
bid'ah. Keduanya tidak menentang modernisasi, namun bagaimana menangani
permasalahan kontemporer dengan bijak dalam konteks Islam. Muhammad
Rashid Rida (1865-1935), seorang murid Abduh dan penggerak kebangkitan
Islam, menekankan bahwa institusi khilâfah harus dipercaya sebagai alternatif
untuk nasionalisme yang ia kritik. Premis yang digunakan adalah bahwa
pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berasal dari wahyu, dan bahwa
kehidupan yang normal dan bahagia hanya dapat terjadi di bawah pemerintahan
seperti itu. Pandangan Rida yang kritis menghancurkan sistem pemerintahan yang
dibuat oleh pemerintah Mesir saat itu.
Pada saat itu mesir memiliki beberapa aliran politik antara lain. Pertama
gerakan barat yang sekaligus menjiplak semua gaya- gaya barat dalam berbagai
aspek. Kedua aliran religious anti-barat yang mengusahakan untuk memperbaiki
kejayaan islam dengan kembali pada sumber-sumber asal agama. Ketiga aliran
nasionalis local yang tidak prioritas nasionalisme universal dan pan-islamisme..
Keempat nasionalisme pan-arab yang lahir pada tahun-tahun akhir 1800 dan
menjadi lebih banyak pada abad ke 20 dimana banyak juga kelompok-kelompok
Kristen terlibat didalamnya.13
Gerakan fundamentalisme merupakan respons atas modernitas yang
berkembang di Mesir pada waktu itu. Secara umum Islam modernis dapat
dikatagorikan dengan tiga hal. Pertama, kecenderungan untuk membatasi muatan
tradisi otoritatif sebagaimana yang dikembangkan oleh pemahaman terhadap
sumber-sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an-Hadîst). Hal ini bukan berarti
menolak tradisi, tetapi berkecenderungan untuk melakukan seleksi yang ketat.
Kedua, mereinterpretasi terhadap sumber-sumber otoritatif, khususnya terhadap
beberapa sumber yang membawa implikasi luas munculnya pertentangan di
12
Ibid., 13. dan Crecelius, “Nonideological Responses of The Egyptian Ulama to Modernization”,
dalam Nikki R. Keddie, Scholars Saints and Sufis (California: University of California Press,
1978), 166-209.
13
Sagiv, Islam Otentisitas, 24-5.

7
kalangan Muslim seperti poligami, hukuman, jihad, perlakuan terhadap orang
murtad/kafir, pandangan terhadap isu-isu modern, kesaksian wanita, hak-hak
suami istri. Beberapa reinterpreasi yang dikembangkan adalah memerbolehkan
poligami dengan pertimbangan yang sangat ketat, memahami jihad sebagai
defensive war, dan mengkaji ulang pandangan Muslim terhadap non Muslim.
Ketiga, sikap apologetik mengatakan bahwa Barat pada dasarnya
mengambil tradisi Islam, menghubungkan beberapa tradisi Islam dengan tradisi
Barat. Shepard mengumumkan sebagai pemberitahuan sederhana karena dia
menulis tentang Nasser yang mengatakan bahwa demokrasi Yugoslavia meniru
demokrasi Mesir langsung, "Konsep demokrasi belakangan ini tidak asli lagi.
Demokrasi yang asli dapat ditemukan dalam demokrasi awal Islam” 14. Para
apologis percaya bahwa praktik-praktik di Barat berasal dari tradisi Islam, seperti
konsep "shûrâ" dalam terminologi politik modern. Meskipun Islam tidak
mendefinisikan jenis, jenis, dan tingkatan demokrasi, dia membiarkan demokrasi
dimaklumi dalam pikiran orang Muslim berdasarkan waktu dan tempat..15
Gerakan fundamentalisme di arab Saudi dan mesir tidak terjadi begitu
saja, tetapi memiliki kesinambungan rantai dengan tokoh-tokoh sebelumnya.
Secara ideology keagamaan, gerakan Negara ini mengikuti gerakan ahmad bin
hanbal yang hidup pada abad 8-9M, kemudian gerakan ini secara sitematis ditiru
oleh ibntaimiyah dengan mengajarkan kembali pada ajaran al-qur’an dan hadist
secara autentik. Setelah masa ibn taimiyah habis kemudian muncul Muhammad
abd al-wahhab, pendiri gerakan wahabi. Pada masa ini pergerakan kaum
fundamentalis lebih terorganisir dan memiliki raung lingkup yang luas, sehingga
kaum fundamentalis tersebut dapat berkembang secara cepat dan pesat di kawasan
arab Saudi.16
Semantara itu pergerakan kaum fundamentalis di mesir khususnya yang
dilakukan oleh al-ikhwan al-muslimin adalah sebagai bentuk respon terhadap
modernisasi dengan menggunakan argument teologis untuk melawannya. Sama
halnya arab Saudi, pergerakan kaum fundamentalis mesir juga mengadopsi dari
ibn hanbal dan ibn taimiyah sebagai acuannya, dengan melalui pemurnian ajaran
islam. Sebaliknya, sikap wahabi justru lebih melakukan perlawan dikarenakan
perbedaan sudut pandang.
Fundamentalis di Indonesia
Kelompok fundamentalis di indonesia bisa dilihat dan bisa dibedakan dari
kehidupan sosialnya. Mereka memiliki ciri khas tersendiri, diantaranya
penggunaan pakaian jubah panjang (jalabiyah, menggunakan surban (imamah),
menggunakan celana yang sampai batas mata kaki (isbal), memanjangkan jenggot,
dll. Ciri-ciri tersebut biasa terjadi pada laki-laki. Sedangkan bagi perempuannya
biasa memakai pakaian panjang hitam yang menutupi seluruh tubuh (niqab).

14
Ibid. 415
15
Ibid
16
Ibid, 73

8
Mereka hidup secara kelompok-kelompok kecil kemudian menjadi suatu
komunitas yang terlalin secara ketat dan ekslusif. Kata sebutan seperti anta, ana,
akhi, ukhti, dan lain-lain yang berbau kearaban biasa mereka gunakan dalam
percakapan sehari-hari. Kelompok-kelompok tersebut mendambakan kehidupan
yang sesuai dengan kehidupan seperti pada zaman nabi munhammad saw dan para
sahabat. Kehidupan yang menurut mereka ideal adalah kehidupan yang ada pada
zaman nabi sedangkan kehidupan yang sekarang ini bagi mereka terlalu jauh dan
sudah termasuk dari westernized (terkontaminasi barat).
Penutup
Islam tidak menganggap semua ajaran itu sama tetapi memperlakukan
semua agama itu sama, dan prinsip ini sesuai dengan konsep dasar islam yang
moderat yaitu dengan tidak mendiskriminasi agama lain. Konsep moderat sendiri
minimal adalah dengan tasamuh (toleransi) dengan kita menerapkan toleransi
tersebut maka kita bisa saling menghargai agama satu dengan agama yang
lainnya. Indonesia merupakan Negara dengan beragam agama dan saling
berdampingan, untuk menjaga kestabilan antar umat beragama serta menjaga
kerukunannya moderasi beragama harus dijaga dan dilakukan oleh semua
masyarakat.
Referensi
Almu’tasim, A. (2019). Berkaca NU dan Muhammadiyah dalam Mewujudkan
Nilai- Nilai Moderasi Islam di Indonesia. TARBIYA ISLAMIA: Jurnal
Pendidikan Dan Keislaman, 8(2), 199–212.
Chalik, A. 2014. Fundamentalisme dan Masa Depan Ideologi Politik
Islam. Islamica: Jurnal Studi Keislaman. 9, 1 (Sep. 2014), 54-80.
DOI:https://doi.org/10.15642/islamica.2014.9.1.54-80.
Mubarak, Z. (2018). FUNDAMENTALISME ISLAM: Kajian Fenomena Sosio-
Religius. In ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam (Vol. 4, Issue 2, pp. 89–
111). Maulana Malik Ibrahim State Islamic University.
https://doi.org/10.18860/ua.v4i2.6128
Mukhlisin, M. R. F., & Arsyam, M. (2022). Genealogi gerakan fundamentalisme
Islam di Indonesia. Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, 3(2),
1-10.
Nasution, Z. (2018). TERORISME DAN ISLAM
FUNDAMENTALISME. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama (JISA), 1(2), 80-
102.
Nur, A. (2021). Fundamentalisme, Radikalisme dan Gerakan Islam di Indonesia:
Kajian Kritis Pemikiran Islam. Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan dan Studi
Islam , 2 (1), 28-36.
Faiqah, N., & Pransiska, T. (2018). Radikalisme Islam vs Moderasi Islam: Upaya
Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai. Al-Fikra, 17(1), 33–60.

9
Shofan, M. “Fundamentalisme Islam: Gejala Ketidakmampuan Dalam Merespon
Makna Zaman”. SIASAT, Vol. 4, no. 3, Jan. 2019, pp. 47-58,
doi:10.33258/siasat.v4i3.45.
Zamimah, I. (2018). Moderatisme Islam dalam Konteks Keindonesiaan. Al-Fanar,
1(1), 75– 90

10

Anda mungkin juga menyukai