Anda di halaman 1dari 7

NAMA: NAZWA AULIA HAFID

NIM: A02122078

PRODI: MANAJEMEN

IDENTITAS DAN INTEGRASI NASIONAL

A. Pengertian Identitas dan Integrasi Nasional

Identitas nasional merupakan suatu penanda atau jati diri suatu bangsa yang
dapat membedakan ciri khasnya dengan bangsa lain, karena ciri khas suatu bangsa
terletak pada konsep bangsa itu sendiri. Secara etimologis, istilah identitas nasional
berasal dari kata “identitas” dan “nasional”. Identitas bersal dari kata identity yang
artinya memiliki tanda, ciri atau jati diri yang melekat pada suatu individu, kelompok
atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Sedangkan nasional berasal
dari kata nation yang artinya bangsa.

Integrasi nasional merupakan proses penyatuan berbagai perbedaan-perbedaan


yang ada pada masyarakat sehingga menjadi selaras dalam sebuah bangsa.
Perbedaan tersebut meliputi suku, budaya, bahasa, ras, agama, dan faktor
kebangsaan lain. Integrasi nasional sendiri menjadi hal yang penting bagi negara
heterogen seperti Indonesia. Menurut Saffroedin Bahar, integrasi nasional adalah
upaya menyatukan seluruh unsur suatu bangsa dengan pemerintah dan wilayahnya.
Sementara menurut Howard Wriggins, integrasi berarti penyatuan bangsa-bangsa
yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi sesuatu yang lebih utuh atau
memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak menjadi satu bangsa.

B. Analisis Isu
1. Pengertian radikalisme

Radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau
aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan
cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik.

Salah satu isu kontemporer yang relevan dihubungkan dengan aliran kalam ialah
fundamentalisme Islam atau radikalisme Islam. Istilah ‘fundamentalisme Islam’
menyeruak setelah meletusnya revolusi Iran yang dipimpin oleh imam Khomeini pada
tahun 1979, yang berhasil menjatuhkan rezim Pahlevi. Peristiwa ini menandai apa
yang diistilahkan media Barat sebagai ‘kebangkitan Islam’ (Islamic resurgence) atau
‘revivalisme Islam’ (Islamic revivalism). Istilah ini pun sampai sekarang menjadi umum
dipakai dalam kajian akademis. Meskipun artikulasi fundamentalisme itu tidak
monolitik, namun ia telah terlanjur dikonotasikan secara negatif oleh media Barat
dengan militansi, fanatisme, bahkan kekerasan dan terorisme. Persepsi mereka ini
semakin dikukuhkan dengan terjadinya tindak kekerasan dan serangan bom bunuh
diri dari beberapa kelompok Islam radikal baik di Timur Tengah maupun di Asia. Jika
kita menengok ke era Islam klasik, kita akan mendapati kenyataan bahwa radikalisme
Islam bukanlah fenomena baru (baca: modern). Aliran Khawarij adalah salah satu
contoh aliran kalam yang paling terkenal dengan fahamnya yang radikal, hitam-putih,
dan tidak kenal kompromi. Ini dibuktikan dengan tindakan kekerasan dalam
mewujudkan tujuannya, yaitu diantaranya melakukan pembunuhan terhadap
beberapa pemuka sahabat Nabi pasca tahkim (arbitrase) yang dianggap telah
menyeleweng dari ajaran Tuhan yang sebenarnya.

Dalam rangka mengisi kurangnya kajian teologi Islam kontemporer dalam


kaitannya dengan radikalisme, artikel ini berupaya melihat kesinambungan dan,
paling tidak, kesamaan karakteristik antara faham Khawarij dengan faham gerakan
Islam radikal kontemporer. Agar pembahasan lebih fokus, artikel ini akan mengambil
Hizbut Tahrir sebagai kasus perbandingan. Pemilihan gerakan ini hanyalah bersifat
arbitrer dari sekian banyak ‘gerakan Islam baru’ seperti salafi, Ikhwanul Muslimin,
Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pemuda Islam dan lain sebagainya. Pembahasan
seperti ini, menurut penulis, penting untuk melihat sejauh mana akar-akar radikalisme
dalam sejarah Islam klasik.

2. Konsep Radikalisme islam

Fenomena radikalisme Islam diyakini oleh banyak pihak sebagai ciptaan abad ke-
20 di dunia Muslim, terutama di Timur Tengah, sebagai produk dari krisis identitas
yang berujung pada reaksi dan resistensi terhadap Barat yang melebarkan
kolonialisasi di dunia Muslim. Terpecahnya dunia Muslim ke dalam berbagai negara
bangsa (nation-state) dan proyek modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintah
baru berhaluan Barat mengakibatkan umat Islam merasakan mengikisnya ikatan
agama dan moral yang selama ini mereka perpegangi secara kuat. Hal ini
menyebabkan munculnya gerakan-gerakan Islam radikal yang menyerukan kembali
ke ajaran Islam yang murni sebagai jalan keluar. Tidak sampai disitu, gerakan ini
melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap sekuler dan menyimpang dari
agama.

Selain fundamentalisme Islam, ada berbagai istilah yang dipakai para pengamat
dan sarjana untuk mengidentifikasi dan menjelaskan fenomena kebangkitan Islam di
dunia Muslim, antara lain: revivalisme, radikalisme, militansi, Islamisme, Islam politik
(political Islam), skripturalisme, dan extrimisme. Dari berbagai istilah ini,
fundamentalisme nampaknya lebih umum dipakai oleh media dan akademisi. Akan
tetapi, tidak semua sarjana sepakat dengan istilah ini, karena mengandung makna
pejoratif terhadap Islam. Esposito, misalnya, mengelaborasi bahwa istilah
‘funtamentalisme’ diasosiasikan dengan tiga hal sebagai berikut: pertama, mereka
yang menyerukan panggilan untuk kembali ke ajaran agama yang mendasar atau
pondasi agama bisa disebut sebagai kaum fundamentalis; kedua, pemahaman dan
persepsi tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh kelompok Protestan
Amerika, yaitu sebuah gerakan Protestan abad ke-20 yang menekankan penafsiran
Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen;
ketiga, istilah fundamentalisme seringkali disamakan dengan aktivisme politik,
extrimisme, terorisme, dan anti-Amerika.

Oleh karena itu, Esposito menganggap istilah tersebut terlalu bermuatan


presuposisi Kristen dan stereotype Barat, serta mengisyaratkan ancaman monolitik
yang tidak eksis. Karena itu, ia lebih cenderung memakai istilah ‘revivalisme Islam’
atau ‘aktivisme Islam’, yang menurutnya tidak berat sebelah dan memiliki akar dalam
tradisi Islam. Selain itu, ia berargumen, “Islam mempunyai tradisi panjang dari
kebangkitan (tajdid) dan reformasi (islah) yang mencakup gagasan tentang aktivisme
politik dan sosial, yang dimulai pada abad-abad awal Islam sampai saat ini”. Sejalan
dengan Esposito, al-Asymawi juga menemukan adanya masalah penggunaan
fundamentalisme untuk menjelaskan extrimisme religius dalam Islam. Ia menyatakan
dirinya sebagai fundamentalis dalam artian bahwa ia dan setiap Muslim lainnya
menerima dan menghormati pondasi-pondasi agama, seperti rukun Islam serta al-
Qur’an dan Hadis. Dalam pengertian beliau, nampaknya makna fundamentalis tidak
setara dengan extrimis, radikal atau militan, tetapi seseorang yang memegangi
pondasi agama Islam. Oleh karena itu, al-Asymawi lebih suka memakai istilah
“extrimisme agama” ketimbang fundamentalisme.

Meskipun istilah fundamentalisme Islam ini cukup kompleks, namun Sidahmed


memandang istilah tersebut berguna sebagai “konstruk komparatif yang meliputi
gerakan dari berbagai tradisi agama”. Menurut Martin E. Marty dan R. Scott Appleby,
kata ini lebih cocok dipandang sebagai ‘family resemblances’ (keluarga kemiripan
kata). Dalam buku pertama dari enam volume proyek fundamentalis mereka, mereka
berargumen bahwa kaum fundamentalis semuanya mengikuti pola tertentu yang bisa
digambarkan dalam kata ‘fight’ (melawan/berjuang). Pertama, kaum fundamentalis
melawan kembali (fight back), yaitu berjuang secara reaktif melawan masa kini atas
nama masa lalu. Kedua, kaum fundamentalis berjuang untuk (fight for) konsepsi
religius mereka tentang dunia, yang menantang sekularisme dan relativisme. Ketiga,
mereka berjuang dengan (fight with) senjata apa saja, kadangkala dipinjam dari
musuh, yang secara hati-hati dipilih untuk mengamankan identitas mereka. Keempat,
mereka berjuang melawan (fight against) kelompok lain yang dianggap sebagai agen
korupsi dan penyimpangan dari agama. Kelima, mereka berjuang atas nama Tuhan
(fight under).

Istilah lain yang populer dan penulis gunakan dalam artikel ini sebagai alat
identifikasi ialah ‘Islam radikal’ atau ‘radikalisme Islam’. Istilah ini bagi penulis tampak
lebih netral dan kurang pejoratif, serta secara umum dipakai dalam disiplin ilmu politik
dan sosiologi untuk menjelaskan fenomena sosial tertentu. Mengikuti definisi yang
dibuat oleh Jamhari dan Jahroni, Islam radikal mengacu kepada “kelompok yang
mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk
menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Dari perspektif ini,
ada tiga kecenderungan umum radikalisme. Pertama, radikalisme merupakan respon
terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons tersebut muncul dalam
bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Kedua, radikalisme tidak
berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan
tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain. Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis
akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang
sama dibarengi dengan penafian kebenaran sistem lain yang akan diganti.

KESIMPULAN

identitas nasional dan integrasi nasional merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan keutuhan suatu negara. Identitas nasional mencakup nilai-
nilai, budaya, dan sejarah yang membedakan suatu negara dari negara lain,
sementara integrasi nasional adalah proses mempersatukan kelompok-kelompok
sosial yang berbeda dalam satu identitas nasional yang kuat.

Pentingnya identitas nasional dan integrasi nasional terlihat dalam berbagai


macam isu dan tantangan yang dihadapi oleh suatu negara, seperti konflik antara
kelompok-kelompok etnis atau agama, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, dan
perkembangan teknologi dan media sosial yang memengaruhi persepsi masyarakat
terhadap identitas nasional.

Oleh karena itu, suatu negara harus memiliki kebijakan publik dan strategi yang
tepat untuk mempromosikan identitas nasional yang kuat dan memfasilitasi integrasi
nasional. Hal ini bisa meliputi program-program pendidikan yang memperkenalkan
sejarah dan budaya nasional, kebijakan ekonomi yang merata, serta regulasi media
yang mendukung integrasi nasional dan penghargaan terhadap keragaman budaya
masyarakat. Dengan mempertahankan dan memperkuat identitas dan integrasi
nasional, suatu negara dapat mencapai stabilitas politik, sosial, dan ekonomi yang
lebih baik.

SARAN

Dalam rangka memperkuat identitas dan integrasi nasional suatu negara, perlu
dilakukan beberapa tindakan yang dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat dan
meningkatkan kesadaran akan pentingnya integrasi nasional. Beberapa saran yang
dapat diambil antara lain:

1) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial dan politik, seperti


konsultasi publik dan kelompok kerja.
2) Mendorong penghargaan terhadap keragaman budaya masyarakat, dan
membangun keterbukaan dan toleransi antar kelompok sosial.
3) Membuat kebijakan ekonomi yang merata dan adil, serta mendorong partisipasi
dan pemilikian usaha oleh masyarakat lokal.
4) Mengatur media dan informasi dengan bijak, dan menetapkan aturan dan regulasi
yang tepat untuk media dan informasi.
5) Meningkatkan kerja sama antar kelompok masyarakat melalui program-program
yang memperkuat kerja sama antar kelompok sosial.
DAFTAR PUSTAKA

https://nasional.kompas.com/read/2022/07/20/02000051/integrasi-nasional--
pengertian-syarat-dan-faktor-penentu.

Lubis, Maulana Arafat. 2018. Pembelajaran PPKn (Teori Pengajaran

Abad 21 di SD/MI). Yogyakart: Samudra Biru.

https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45881/2/Radikalisme_Isla
m_Klasik_and_Kontemporer.pdf.

Anda mungkin juga menyukai