Pengertian Radikalisme
Kata radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix
yang artinya akar (pohon). Makna kata akar (pohon), dapat diperluas
kembali sehingga memiliki arti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta
perdamaian dan ketenteraman. Kemudian kata tersebut dapat
dikembangkan menjadi kata radikal, yang berarti lebih adjektif.
Sehingga dapat dipahami secara kilat, bahwa orang yang berpikir radikal
pasti memiliki pemahaman secara lebih detail dan mendalam, layaknya akar
tadi, serta keteguhan dalam mempertahankan kepercayaannya.
Memang terkesan tidak umum, namun hal inilah yang menimbulkan kesan
menyimpang di masyarakat. Setelah itu, penambahan sufiks –isme,
memberikan makna tentang pandangan hidup (paradigma), sebuah faham,
dan keyakinan atau ajaran. Penggunaannya juga sering disambungkan
dengan suatu aliran atau kepercayaan tertentu.
• Dawinsha
Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa kelompok
tersebut tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan
perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.Dengan membawa
bahasa dan simbol tertentu serta slogan-slogan agama, kaum radikalis
mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk
mencapai tujuan “mulia” dari politiknya.
Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya,
dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walaupun gerakan radikalisme
selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela
agama, jihad dan mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan
emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang
sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
Faktor Kultural
Faktor ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi
munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural,
sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari, bahwa di dalam masyarakat selalu
diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring
kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai.
Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa
atau pertentangan terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan
sumber sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan
dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat
dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim.
• Faktor Internal
Menurut gerakan radikalisme hal ini adalah sebagai pelopor bentuk tindak
kekerasan dengan dalih menjalankan syari’at, bentuk memerangi kepada
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan lain sebagainya. Tidak
sebatas itu, kelompok fundamentalis dengan bentuk radikal juga sering kali
menafsirkan teks-teks keislaman menurut “cita rasa” merka sendiri tanpa
memperhatikan kontekstualisasi dan aspek aspek historisitas dari teks itu,
akibatnya banyak fatwa yang bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan
yang Universal dan bertentangan dengan emansipatoris islam sebagai
agama pembebas manusia dari belenggu hegemoni. Teks-teks keislaman
yang sering kali ditafsirkan secara bias itu adalah tentang perbudakan,
status non muslim dan kedudukan perempuan.
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor
sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan
untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat
dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu
suci yang absolut). Hal ini terjadi pada peristiwa pembantaian yang
dilakukan oleh negara Israel terhadap palestina, kejadian ini memicu adanya
sikap radikal di kalangan umat islam terhadap Israel, yamni menginginkan
agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat beroperasi dalam hal ekspor
impor.
• Faktor Eksternal
Realita lain yang dikenal sebagai awal berkibarnya bendera perang terhadap
terorisme oleh AS, yaitu peristiwa 11 September yang merontokkan Gedung
WTC dan Pentagon merupakan tamparan berat buat AS. Maka, agar tidak
kehilangan muka di dunia internasional, rezim ini segera melancarkan “aksi
balasan” dengan menjadikan Afghanistan dan Irak sebagai sasarannya.
Jika benar “benturan peradaban” antara Barat dan Islam terjadi tentu aksi
koboi AS (dan Inggris) ke Afghanistan dan Irak disambut gembira oleh umat
Kristiani. Faktanya ribuan rakyat (entah Kristen atau bukan) di berbagai
belahan dunia Barat justru menggalang solidaritas sosial untuk menentang
aksi keji dan biadab ini. Begitu ketika WTC dan Pentagon diledakkan, ribuan
umat islam turut mengutuknya.
Padahal, jika nilai-nilai Pancasila ini diserap baik oleh bangsa Indonesia
maka tidak perlu takut terhadap paham-paham Radikalisme seperti ISIS,
sebab Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang bersifat fleksibel
terhadap perkembangan zaman namun tetap memiliki ciri khas tersendiri.
Pancasila di era globalisasi merupakansebuah pegangan sekaligus
pedoman hidup yang dapat menjadi jawaban atas tantangan baru yang
dihadapi bangsa ini. Arus informasi yang semakin cepat sehingga paham-
paham dunia barat sangat mudah diakses oleh masyarakat Indonesia.
Liberalisme yang dianut oleh dunia barat kini merambat ke tengah-tengah
masyarakat Indonesia sebagai dampak negatif globalisasi.
Ideologi Pancasila sebenarnya dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman, hanya saja nilai-nilai yang terkandung didalamnya
tidak terjiwai oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Sehingga paham
liberalis dan radikalis dapat dengan mudahnya menembus pemikiran
bangsa ini. Banyak yang berpandangan bahwa Pancasila identik dengan
Orde baru (Orba), maka setelah runtuhnya Orba nilai luhur Pancasila juga
ikut runtuh.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pemuda adalah aset bangsa yang sangat
berharga. Masa depan negeri ini bertumpu pada kualitas mereka. Namun
ironisnya, kini tidak sedikit para pemuda yang justru menjadi pelaku
terorisme dan radikalisme. Serangkaian aksiterorisme dan radikalisme mulai
dari bom Bali-1, bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-
Carlton, hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan bom di
Beji sertaTambora, melibatkan para pemuda. Sebut saja, Dani Dwi
Permana, salah satu pelaku bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang
saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus SMA.
Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa
dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober
2010-Januari 2011, LaKIP menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa
menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama
dan moral. Bahkan yang mengejutkan, belasan siswa menyetujui aksi
ekstrem bom bunuh diri tersebut.
Apapun faktor yang melatari, adalah tugas kita bersama untuk membentengi
mereka dari radikalisme dan terorisme. Untuk membentengi para pemuda
dan masyarakat umum dari radikalisme dan terorisme, Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan upaya pencegahan
melalui kontra-radikalisasi (penangkalan ideologi).
Menyaring informasi yang didapatkan juga merupakan salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan
terorisme. Hal ini dikarenakan informasi yang didapatkan tidak selamanya
benar dan harus diikuti, terlebih dengan adanya kemajuan teknologi seperti
sekarang ini, di mana informasi bisa datang dari mana saja.