Radikalisme
Term radikal merupakan istilah yang kerap dimaknai secara ambigu. Dalam dunia filsafat,
radikal bermakna positif. Berpikir radikal (radix = akar) atau berpikir sampai ke akar-
akarnya, merupakan kemestian dari cara berpikir filsafat, sehingga semua filosof pasti
membawa ide-ide atau pemikiran yang radikal. Namun, makna positif dari term radikal
tersebut mengalami peyorasi makna ketika dibawa dalam dunia sosial-politik dan keagamaan.
Kata radikal, menurut Cambridge Advanced Learners Dictionary (2008), adalah percaya atau
mengekspresikan keyakinan, bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau
secara ekstrem. Sedangkan radikalisme, berarti tindakan atau gerakan, yang ditandai oleh aksi
ekstrem yang harus dilakukan untuk mengubah keadaan sesuai diinginkan. Dalam kajian
ideologi, radikalisme adalah ideologi non-kompromistis, atau lawan dari kata moderat
(Jainuri, 2016).
Dalam tinjauan internal agama, fenomena sikap ekstrem dan kekerasan atas nama agama
adalah sebagai respons atas fakta, yang menurut mereka, merupakan penyimpangan dari
sekelompok orang tertentu atas ajaran dan prinsip agama. Basis kognisi dari radikalisme
agama, adalah cara pandang literer dalam menafsirkan nas keagamaan, tafsir tunggal,
menolak perbedaan, sikap anti tradisi, dan berpandangan zaman awal dari agama (salafus
salih) sebagai prototipe ideal yang harus diduplikasi secara utuh pada zaman ini.
Mereka memberi “cetak biru” kepada generasi awal sebagai zaman dan komunitas dengan
praktik keagamaan terbaik. “Cetak biru” atas idealitas generasi awal inilah, yang menjadikan
dasar bagi mereka untuk berjuang mengembalikan masyarakat kembali, sebagaimana
generasi awal tersebut.
Cita-cita dan perjuangan tersebutlah yang membuat mereka juga disebut kaum revivalis, yaitu
kelompok yang memperjuangkan cita-cita kembalinya zaman keemaasan atau golden
age dalam konteks zaman kini, sebagaimana “cetak biru” dari zaman golden age di masa
lalu tersebut.
Radikalisme agama secara sederhana dapat dilihat pada lima ciri, yaitu simbolisme agama,
menolak paham kebangsaan (nasionalisme, demokrasi, dan paham kebangsaan lain yang
dipandang sebagai produk sekuler Barat), tindak kekerasan atas nama agama, intoleran
terhadap perbedaan (intern maupun dengan penganut agama lain), serta sikap reaktif yang
puritanis terhadap upaya integrasi agama dan kebudayaan lokal.
Fakta
Sebagai sebuah fakta, radikalisme tentu tak bisa dinafikan. Fakta radikalisme agama
bukanlah hal baru, melainkan tumbuh beriring dengan sejarah sebuah komunitas agama.
Pada era kontemporer, radikalisme agama kerap diidentikkan dengan Islam, sebuah asumsi
yang tentu tak sepenuhnya benar. Sebab, fakta radikalisme, pada dasarnya terdapat pada
semua komunitas agama. Namun, penyematan radikalisme pada kelompok Islam tertentu,
juga tak bisa disangkal. Mulai dari konteks global, regional, nasional, hingga lokal, kelompok
radikal Islam tampak nyata dalam gerakan dan aksi, meski bukan sebagai sebuah kelompok
tunggal.
Fazlur Rahman (2000), menggunakan istilah revivalis untuk menunjuk kelompok keagamaan
muslim, yang secara radikal ingin mengembalikan tatanan masyarakat muslim kembali pada
tatanan generasi awal. Sementara Bassam Tibi (2000), menggunakan istilah fundamentalis,
yaitu ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio-politik
dan ekonomi, dalam rangka menegakkan sebuah tatanan yang diridhai Tuhan.
Selanjutnya, ideologi fundamentalisme tersebut bersifat eksklusif. Dalam arti, menolak opsi-
opsi yang dipandang oleh mereka bertentangan dengan agama, terutama terhadap pandangan-
pandangan sekuler, yang menolak hubungan antara agama dan politik.
Fakta gerakan Islam radikal yang menggunakan cara-cara kekerasan dan teror dalam
menjalankan misinya pada konteks global, dapat kita lihat pada organisasi Jamaah Islamiyah
(JI), Al-Qaeda, Islamic State Irak and Suriah (ISIS), dan beberapa kelompok keagamaan
radikal lainnya.
Radikalisme keagamaan yang menolak paham kebangsaan, pro terhadap tindakan kekerasan,
intoleran, dan menentang akomodasi agama terhadap kebudayaan lokal, tampak nyata pada
beberapa kelompok keagamaan di Indonesia.
Gerakan yang dilakukan adalah mulai penggiringan opini hingga tindakan persekusi. Bahkan,
teror yang mengusung misi simbolisme agama.
Aksi kekerasan jamak dilakukan sebagai modus perjuangan. Mulai dari negasi atas
keragaman keyakinan hingga penentangan terhadap praktik kebudayaan lokal, yang
dipandang bertentangan dengan nilai, prinsip, dan ajaran agama yang murni.
Berbagai temuan riset menemukan, paham keagamaan radikal telah merasuk pada berbagai
segmen dan lapisan masyarakat, mulai kalangan akademisi hingga dunia birokrasi.
Opini yang terbangun, bahwa radikalisme identik dengan kelompok marginal yang lemah
secara pengetahuan dan ekonomi, terbantahkan dengan fakta, bahwa yang cenderung
berpaham keagamaan radikal banyak berasal dari kalangan terdidik dan mereka secara
ekonomi cukup mapan.
Cara pandang keagamaan, adalah faktor, meski bukan satu-satunya pemicu seseorang secara
keagamaan menjadi radikal. Pemahaman agama yang monolitik, eksklusif, puritanis, dan
formalis merupakan pemicu radikalisme agama dari faktor cara pandang keagamaan.
Aksi-aksi radikal dapat dilihat dari maraknya penolakan pembangunan hingga perusakan
rumah ibadat, pembubaran paksa kegiatan tertentu yang dipandang bertentangan dengan
prinsip agama mereka, hingga aksi-aksi persekusi terhadap penganut keyakinan agama atau
kelompok agama yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan, radikalisme agama, adalah fakta
yang sangat nyata.
Mitos
Apakah radikalisme agama mengundung unsur mitos? Jawabnya, iya. Sebagai sebuah
ideologi, radikalisme agama tentu saja mengalami proses, yang disebut Thompson (1994)
sebagai mitifikasi. Mitifikasi inilah yang menjadi penggerak solidaritas kelompok untuk
berjuang bersama. Mitifikasi yang tampak pada mitos tentang tatanan sosial nan ideal yang
diridhai Allah dan angan-angan tentang bidadari yang akan menjemput seorang yang mati
syahid, saat menjalankan tugas teror. Hingga mitos sebagai orang atau kelompok “pilihan”
yang “terpilih” untuk menjalankan misi perjuangan suci memberantas semua bentuk
penyimpangan di masyarakat, yang tak sesuai dengan prinsip agama yang mereka pahami.
Radikalisme juga mengalami proses mitifikasi secara eksternal akibat oversimplifiaksi dan
overgeneralisasi dalam memahami radikalisme. Mitifikasi tersebut melahirkan mitos, bahwa
radikalisme agama hanya identik dengan agama tertentu (misalnya, Islam). Padahal,
radikalisme dengan beragam bentuk dan intensitasnya, ada pada semua kelompok agama.
Mitos lain yang kerap terbangun akibat oversimplifikasi memahami radikalisme, adalah
identifikasi radikalisme agama pada bentuk-bentuk ekspresi keagamaan tertentu. Semisal
jilbab besar, cadar, janggut, dan bentuk ekspresi keagamaan lainnya, yang dipandang sebagai
penciri, bahwa seseorang berhaluan keagamaan yang radikal.
Proyek
Dalam konteks global dan regional, radikalisme agama digunakan sebagai alat untuk
memuluskan bisnis penjualan senjata, penguasaan sumber-sumber ekonomi, seperti minyak,
hingga agenda hegemoni politik atas kawasan regional maupun global. Gerakan radikalisme
di tingkat nasional, bahkan lokal, kerap dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu
terkait proyek ekonomi-politik.
Gerakan dan aksi radikalisme dimanfaatkan sebagai strategi pengalihan isu, penguasaan
sumber daya ekonomi, hingga dimanfaatkan sebagai proxy politik dalam suksesi dari
pemilihan presiden, hingga pemilihan kepala daerah. Sebagai sebuah proyek, akhirnya
radikalisme agama tidak lagi murni sebagai gerakan perjuangan agama. Melainkan telah
menjelma sebagai gerakan politik untuk tujuan-tujuan yang lebih bersifat profan. (*)
Din Syamsudin: Kata radikalisme mengandung dimensi positif dan negatif
Radikalisme sekuler itu antiagama
Din Syamsudin, mengatakan bahwa kata radikalisme mengandung dua pengertian, yaitu yang
berdimensi positif dan negatif.
"Kata radikalisme merupakan sebuah istilah yang kemudian berubah menjadi paham, isme,
dan pada dasarnya mengandung dua dimensi, yaitu dimensi yang positif dan negatif."
Radikalisme mengandung arti positif karena sesuai dengan akar kata radikal, yaitu radik atau
akar, yang berarti seseorang atau sekelompok orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai
secara mendasar. "Mengakar, berpegang pada akar keyakinannya. Itu positif. Agama-agama
mengajarkan demikian."
Seseorang yang mengatakan NKRI harga mati dan negara Pancasila final adalah contoh sikap
radikal yang mengandung pengertian positif karena itu kesepakatan kebangsaan. Namun, kata
radikalisme bisa mengandung arti negatif jika seseorang merasa dirinya paling benar sendiri,
sementara orang lain atau kelompok lain di luar kelompoknya dianggap salah. "Menyalahkan,
mengkafirkan orang itu sikap radikal yang bersifat negatif.
Radikalisme tidak hanya bermotif agama, tetapi bisa juga ada motif-motif nonagama, seperti
sekulerisme liberalisme. "Itu ada di dunia ini. Radikalisme sekuler itu antiagama, karena
sekulerisme itu hidup manusia kini dan di sini. Tidak ada nanti dan di sana. Itu bertentangan
dengan agama," Jika radikalisme sekuler berdampingan dengan paham liberal, menurutnya,
itu lebih berbahaya lagi karena paham tersebut antiagama. Sah-sah saja jika ada seseorang
yang ingin menjalankan ajaran agama ataupun tidak, asalkan orang tersebut tidak
menyimpang dari nilai-nilai dasar yang disepakati, yaitu Pancasila.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ( Menko PMK) Muhadjir
Effendy menyatakan, sikap radikal sedianya bermakna positif jika dimaknai sebagai sikap
seseorang yang berusaha keras mencari kebenaran hingga ke akarnya dan memperjuangkan-
nya. Kendati demikian, radikal sering kali dimaknai negatif, terutama ketika dikaitkan dengan
politik. Ketika sudah menjadi radikalisme golongan, kata dia, tindakan tersebut menjadi negatif
dan harus dilawan.
"Sikap radikal ini sebetulnya positif, tapi ketika dilabeli -isme sering dimaknai tidak baik apalagi
jika dikaitkan dengan politik dan faktanya radikalisme di kampus itu ada sehingga itu jadi
tanggung jawab kita semua untuk membentengi dengan jiwa bela negara," Untuk itu, ia meminta
kampus menggencarkan program bela negara demi memberantas benih radikalisme. Ia menilai,
mahasiswa merupakan ujung tombak dalam upaya membela negara. Oleh sebab itu, ia
mengatakan, pendidikan bela negara di lingkungan kampus harus diperkuat untuk membentengi
mahasiswa agar tidak mudah terpengaruh oleh radikalisme yang dapat mengancam keutuhan
NKRI. "Inilah pentingnya bela negara untuk mencegah radikalisme. Radikalisme apa saja.
Caranya dengan melatih kepemimpinan, baik mandiri maupun berkelompok," kata Muhadjir. Ia
mengingatkan bahwa menjadi seorang mahasiswa selain harus memiliki jiwa bela negara juga
harus memiliki keberanian. Muhadjir mengatakan, berani untuk keras terhadap diri sendiri
sehingga terbentuk mental dan jiwa kepemimpinan. "Bersikap keras pada diri sendiri adalah
prasyarat kalau kita ingin berhasil dalam kehidupan dan menjadi pemimpin," ucap Muhadjir.
"Saat kita bisa menghindarkan diri dari pengaruh negatif terutama yang mengarah pada sikap
radikal dan intoleran bahkan sampai ekstrim melakukan tindakan kekerasan, maka kita juga
akan bisa menyelamatkan Indonesia dari berbagai ancaman," kata dia.
Dalam khazanah pemikiran Islam, contoh berpikir radikal yang menghasilkan produk positif
adalah konsep tauhid radikal (radical monotheism) yang dicetuskan Nurcholis Madjid. Ini
bermuara pada sikap hidup beragama yang percaya diri dan inklusif di tengah kemajemukan.
Namun, diakuinya, lambat laun makna positif tersebut bergeser menjadi negatif. Yaitu sikap
ektrem, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik
dengan cara kekerasan atau drastis. "Pada konteks beragama, maka radikalisme agama
bermakna sikap ekstrem dalam beragama. Sikap ekstrem ini wujud dari cara berpikir eksklusif
yang mengedepankan truth claim sehingga berujung pada sikap intoleran, dan bisa dipastikan
hampir di setiap agama ada kelompok kelompok radikal tersebut,"
Sikap radikalisme dalam agama bisa berupa merasa menjadi pribadi/kelompok paling benar,
merasa pendapatnya paling baik, merasa agama dan keyakinannya paling menyelamatkan.
Sedangkan yang lain sesat, tidak baik, dan merugi. Sikap ekstrem dalam beragama tersebut
ada di dalam semua agama sehingga tidak bisa disematkan hanya pada satu agama saja.
Logika radikalisme agama tersebut menjadi bermasalah jika merambah ke ruang publik yang
serba heterogen dengan beragam keyakinan, agama, ras dan warna kulit, suku bangsa, dan
bahasa, karena itu perlu ada ‘logika penyeimbang’ yang responsif, relevan, dan kokoh di
tengah kondisi radikalisme negatif semacam ini. Harapannya heterogenitas tidak memicu
munculnya konflik dan kekerasan yang bisa berujung pada runtuhnya NKRI.
Istilah ‘radikal’ tidak semata-mata selalu berkonotasi negatif sehingga membahayakan bangsa,
tetapi hanya radikalisme yang berujung pada sikap ekstrem yang mengancam terhadap
keutuhan bangsa.
Ali mengibaratkan terorisme sebagai penyakit yang sudah mengalami komplikasi, yang
penanganannya tidak bisa dilakukan menggunakan metode tunggal. "Ibarat penyakit yang
sudah komplikasi, perlu dokter spesialis dan kampanye pencegahan oleh mereka yang pernah
mengalami penyakit ini. Saya salah satunya," kata Ali, yang pernah terlibat dalam
pengeboman di Bali itu.
Sementara menurut Cahyo, mencegah masuknya paham radikal dan terorisme di tingkat
keluarga merupakan kunci utama membendung penyebaran cepatnya karena
"berkembangnya ideologi terorisme di masyarakat luas terjadi karena gerakan, gagasan atau
ide radikalisme seringkali terjadi melalui keluarga."
Ilmu psikologi dengan segala variannya bisa memberikan perspektif yang menarik dalam
mengkaji perilaku radikalisme, ada pendapat menarik dari Dr. Fidiansyah yang merupakan
Seksi Religi, Spiritualitas dan Psikiatri dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kejiwaan
Indonesia (PDSKJI), yaitu kelompok yang memang menghubungkan apa yang Einstein sejak
dahulu kala mengatakan, “ilmu tanpa agama adalah suatu hal yang bisa membutakan, tapi
agama tanpa ilmu bisa lumpuh”.
Dalam perkembangan ilmu psikiatri tidak dapat dipisahkan antara dua komponen, yaitu
agama dan ilmu. Yang selama ini terjadi adalah pendikotomian ilmu pengetahuan yang kita
dapat secara sepihak, lalu menghilangkan aspek spiritualitas. Padahal definisi kesehatan yang
kita pakai dalam undang-undang kesehatan itu jelas. Kesehatan terdiri dari fisik, mental,
spiritual, dan sosial. Jadi tidak dapat dipisahkan aspek spiritual (agama dan ideologi, red) dan
sosial dalam sebuah penentuan diagnosis dalam sebuah gangguan atau penyimpangan. Ketika
ada penyimpangan yang dialami, maka terapi yang dilakukan dalam bentuk konseling ada
banyak. Ibaratnya, jika seseorang dikonseling oleh maling maka akan jadi maling, jika
seseorang dikonseling oleh koruptor maka akan jadi koruptor, dan jika seseorang dikonseling
oleh orang yang memiliki pemahaman atau ideologi yang ngawur, jadinya bisa ngawur juga
seperti tindakan terorisme.
Dalam konseling ada prosesnya, ada empat pendekatan untuk mengobati penyimpangan
tindakan. Kalau ada aspek yang sakit organ-biologi akan diberikan obat, kalau ada aspek
psikologi kita rubah perilakunya, kalau ada cara berpikir yang keliru dirubah kognitifnya,
kalau ada perubahan lingkungan yang berpengaruh kita rubah modifikasi daripada
lingkungan sosialnya, kalau ada pemahaman yang keliru dari spiritualitasnya kita kembalikan
pada agamanya untuk mengatasinya (ideologi).
Psikologi agama sebagai salah satu cabang psikologi berperan penting dalam menjelaskan
motivasi kekerasan keagamaan yang dilakukan oleh individu-individu yang menggunakan
agama sebagai inspirasi, dan upaya pencegahannya, termasuk misalnya bagaimana mengubah
seorang yang radikal atau teroris sekalipun menjadi tidak lagi terlibat dalam radikalisme dan
perilaku teror.
Motivasi tindakan terorisme bisa bersifat patologi psikologis atau patologi social, tetapi
bisa juga bersifat politik, walaupun penelitian mutakhir yang dilakukan oleh sejumlah
psikiater dan psikolog menyimpulkan bahwa para terorisumumnya adalah kumpulan
orang-orang yang normal yang sama sekali jauhdari karakteristik abnormal atau
patologis. Bahkan, penelitian menegaskan bahwa mereka adalah kumpulan orang normal
yang menyadari sepenuhnya tindakan mereka karena aksi teror mereka didasarkan atas
ideologi dan keyakinan tertentu, serta digerakkan oleh tujuan tertentu.
Maka aspek belief yang merupakan hal tersulit untuk diubah kembali ke dalam pemikiran dan
sikap yang jauh lebih normal (yang nanti pemikiran atau kognisi yang benar juga akan
berpengaruh terhadap perilakunya) harus dicounter dan dikembalikan dengan pemahaman
agama (ideologi) yang benar, selain menggunakan lima pendekatan yang terdiri dari; hukum,
perilaku, ekonomi, sosial, dan deradikalisasi, juga dilakukan terapi dengan psikologi agama.
Dalam ranah Psikologi terdapat sebuah diskusi mendalam tentang term radikalisme dan
terorisme. Pertanyaan mendasarnya, apakah keduanya memiliki makna yang sama
ataukah keduanya memiliki makna yang berbeda namun saling berkaitan?
Terorisme jika ditinjau dari sudut pandang psikologi, bukanlah sebuah sindrom
psikologis yang menimpa seseorang sehingga ia memiliki kecendrungan untuk merusak
dan bertindak di luar kontrolnya. Lebih tepatnya, terorisme adalah sebuah alat berbentuk
tindakan kekerasan (tool/instrumental violence) yang digunakan kelompok radikal
tertentu untuk mencapai tujuannya dan bukan sebuah tidakan ekspresif yang dipicu
karena adanya gangguan psikologis yang diderita oleh pelakunya.
Beberapa langkah ini terinspirasi dari apa yang pernah disampaikan oleh Hamdi Muluk
saat mengisi kajian ekstrimisme dan psikologi kekerasan dalam acara workshop yang
diadakan oleh lembaga Qureta di Yogyakarta. Dalam kesempatan itu beliau justru
memberikan soft measures (langkah-langkah lembut) guna menangkal persebaran
pemahaman radikal di masyarakat.
Dalam hemat saya, apa yang ditawarkan oleh Hamdi Muluk adalah sebuah bentuk upaya
yang secara psikologis dapat dikatakan sangat fundamental. Beliau nampak ingin
membangun kembali dan mempertahankan moderatisme serta prasangka baik yang telah
terbangun di tengah-tengah masyarakat.
Adapun dalam rumusan soft measures yang ditawarkan, terdapat tiga poin penting yang
digunakan untuk men-counter radikalisme dan terorisme.
Poin pertama ialah melalui respons pendidikan. Dalam hal ini ialah mengubah atau
mentransformasi pola pendidikan yang biasanya sangat dogmatis—yang menyebabkan
adanya stagnasi pemikiran dan tentunya hal ini sangat mungkin menjadi sebab lahirnya
pemikiran us-versus-them thinking atau meyakini kebenaran sepihak—dan menggantinya
dengan pola pendidikan yang kritis, terbuka, pluralis dan toleran.
Saat ini kita bisa melihat banyaknya lembaga-lembaga yang bergerak di bidang sosial
keagamaan seperti misalnya Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Jakarta, Convey, Peace Generation (Peacegen), Ambon Reconciliation and Mediation
Centre (ARMC) dan lainnya yang mulai gencar mengadakan kegiatan-kegiatan yang
bertemakan interfaith baik dalam konsep workshop maupun youth camp. Tentunya
dengan adanya kegiatan-kegaiatan tersebut—yang biasanya difokuskan bagi pemuda—
diharapkan akan lahir generasi-generasi penerus bangsa yang lepas dari ideologi
konservatif, mampu menjadi agent of change dalam masyarakat, dan mampu
menggalakkan pentingnya sikap toleran dan keterbukaan demi menegakkan perdamaian
di bumi yang plural ini.
Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran metodologi pendidikan yang biasanya otoritatif
menjadi partisipatif. Namun tentunya peran pembimbing (guru ataupun mentor) tetaplah
sangat sentral dalam membimbing dan mengarahkan siswanya agar dapat merasakan
interaksi langsung—baik dalam bentuk dialog maupun share to care—dengan orang lain
yang berbeda dengan mereka baik dari sisi agama, budaya, suku dan lainnya.
Dengan begitu, sense of peace mereka akan terangsang dan kemungkinan mereka
terekrut oleh kelompok-kelompok radikal menjadi semakin kecil.
Poin yang kedua ialah melalui respons ideologi. Kita sering mendengar sebuah kutipan
perkataan bijak yang memiliki redaksi seperti ini, “seseorang itu seperti apa yang dia
baca.”
Kutipan tersebut dapat dimaknai bahwa cara berpikir atau ideologi seseorang itu
berdasarkan informasi yang ia dapatkan. Jadi, buku bacaan ataupun sumber informasi
yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi epistemologi berpikirnya nantinya.
Salah satu upaya konkret yang dapat dilakukan untuk mencegah masuknya ideologi
radikalisme dalam diri seseorang adalah dengan memberikannya bacaan-bacaan maupun
propaganda-propaganda yang bertajuk pendidikan kewarganegaraan, pemahaman agama
yang benar, serta pendidikan moral dan perdamaian.
Secara langsung bacaan-bacaan tersebut akan membentuk pribadi yang memiliki
perasaan cinta tanah air, berbudi luhur, toleran dan terbuka, serta paham tentang esensi
dari agama yang menekankan pada perbaikan moral serta urgensi perdamaian. Sehingga,
upaya ini diharapkan dapat meningkatkan imunitas generasi bangsa dari propaganda-
propaganda ideologi radikal ke depannya.
Poin terakhir ialah melalui respons media sosial. Di zaman millenial ini, internet dan
media sosial telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
masyarakat. Secara psikologis mereka yang tidak memiliki gawai akan merasa
termarjinalkan karena dianggap tidak mengetahui kabar-kabar viral yang kerap
mengguncang dunia maya.
Dalam artikelnya yang berjudul Digital Qur’an And Its Translation, Understanding The
New Mushaf & Indonesian Muslims Religious Experience In New Media
World, Mohammad Sobirin Sahal mengemukakan sebuah tesis yang menarik untuk
direnungkan di mana beliau mengemukakan bahwa di era digital ini (abad 21) telah
muncul generasi baru yakni digitally literate muslims generation (generasi muslim yang
terpelajar secara digital). Generasi ini didominasi oleh kaula muda yang memiliki
semangat keagamaan yang tinggi serta akses dunia digital yang sangat intens.
Adanya generasi digital yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi sebagaimana
yang dikemukakan oleh Muhammad Sahal justru malah membuka lebar-lebar
kesempatan bagi kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan propaganda
ideologinya.
Semangat keagamaan yang tinggi tanpa didasari keinginan lelah dalam menuntut ilmu
secara langsung kepada ahli agama yang mampu memberikan pengajaran mengenai
esensi agama yang sesungguhnya, serta cenderung ingin praktis dan cukup melalui
pengajaran via digital tentunya sangat mungkin membuat seseorang tersesat di tengah
jalan dan terbujuk oleh propaganda kelompok radikal.
Najib Azka, peneliti sekaligus pakar terorisme UGM menyampaikan dalam presentasinya
tentang kampanye ISIS bahwa penggunaan media sosial dan media digital di kalangan
anak muda merupakan salah satu indikator yang akan semakin mempermudah mobilisasi
kelompok-kelompok radikal dalam melakukan pendekatan dan mengkampanyekan
ideologinya.
Dengan melihat hal tersebut, tentu salah satu upaya counter yang dapat dilakukan
terhadap propagasi ideologi radikal adalah dengan meningkatkan intensitas dalam
mengkampanyekan nilai-nilai perdamaian serta membongkar berbagai logical
fallacy (kesalahan logis) dalam ideologi radikal yang justru membawa pada
kesalahpahaman dalam beragama, baik melalui melalui media cetak maupun digital.
Maka dari itu para mahasiswa yang notabene dianggap sebagai generasi yang terpelajar
tentulah sangat diharapkan mampu memberikan inovasi-inovasi khususnya dalam upaya
kampanye via digital guna menunjukkan eksistensinya dan sumbangsihnya sebagai agent
of change.
Dalam setiap poin yang disampaikan di atas, tentunya peran elemen pemerintah
sangatlah diharapkan dan dibutuhkan guna meningkatkan prosentase keberhasilan. BNPT
dan Kepolisian misalnya yang gencar bekerjasama dalam memberikan penyuluhan anti-
radikalisme dan terorisme di sekolah-sekolah menengah.
Khusus pada dunia digital ini, peran Kemenkominfo sangatlah penting guna mengawasi
dan membersihkan media digital dari website-website yang memiliki konten-konten
bermuatan propaganda ideologi radikal. Sehingga secara tidak langsung, upaya tersebut
dapat mempersempit ruang mobilisasi kelompok radikal dalam menyebarkan propaganda
ideologinya.
Sebagai salah satu langkah untuk menemukan solusi terbaik dalam memberantas terorisme,
pada tanggal 1 Februari 2016, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menggelar dialog
interaktif Psikolog dan Media yang bertajuk, “Apakah Radikalisme = Terorisme?”. Dalam
diskusi tersebut dibahas bahwa selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa setiap orang
yang radikal sudah barang tentu seorang teroris, atau dengan kata lain menyamakan
pengertian mengenai radikalisme dengan terorisme itu sendiri.
Berkaitan dengan persepsi mengenai radikalisme dan terorisme ini, Prof. Dr. Hamdi Muluk,
M.Si yang menjadi pembicara pada acara tersebut meluruskan bahwa tidak setiap orang yang
memiliki paham radikal merupakan teroris, namun teroris sudah pasti memiliki paham
radikal.
Terorisme merupakan fenomena yang dikaji dengan berbagai disiplin ilmu, baik dilihat dari
perspektif politik, sosiologi, komunikasi, hukum, dan psikologi.
Terorisme merupakan hasil dari proses radikalisasi mulai dari level individu hingga
kelompok. Orang-orang yang terlibat sebagai pelaku terorisme umumnya merupakan orang-
orang yang merasa terancam dan depresif. Individu yang terlibat dalam proses terorisme itu
mengalami suatu proses yang dinamakan pra-radikalisasi. Dalam proses ini individu tersebut
mengalami internalisasi nilai-nilai keagamaan yang bersifat eksklusif, moral, perjuangan dan
kehormatan. Dalam proses ini pula individu yang bersangkutan mengalami proses “religious
seeking” yang akan mendorong lahirnya konflik dalam diri, seperti timbulnya rasa berdosa,
kemudian perasaan tersebut mendorongnya untuk memperbaiki diri dengan mengambil
referensi yang baru untuk standar prilaku manusia.
Contohnya tatkala individu tersebut mengambil referensi untuk jihad, dalam hal ini jihad
yang ada di dalam pikirannya wajib dan tidak mungkin untuk tidak menggunakan kekeraan,
di sinilah pemahaman yang salah yang terbentuk dalam proses berpikir para pelaku teroris.
Setelah melakukan aksi terornya, teroris akan merasa senang jika media secara gencar
mempublikasikan identitas mereka, bagi teroris mengklaim suatu aksi terror bukanlah suatu
hal yang berat, namun justru menguntungkan, karena bagi mereka hal tersebut menunjukan
eksistensi mereka.