Anda di halaman 1dari 19

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA

ANAK-ANAK DAN REMAJA

MATA KULIAH
Psikologi Agama
DOSEN PENGAMPU
Dra. Hj. Siti Faridah, M.Ag Disusun Oleh:

Abdul Fattah (170104040168)


Diah Nur Hajjah (180103040263)
Fajar Risky Julianto (180103040265)
Hadenah (180103040250)
Lisda (180103040083)
Nur A’isyata Wahyuni (180103040273)
Siti Fauziah (180103040085)
Raudhatul Jannah (180103040267)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN
HUMANIORA PSIKOLOGI ISLAM
BANJARMASIN
2020
PENDAHULUAN
Remaja adalah masa peralihan antara masa anak-anak menuju dewasa,
biasanya di tandai dengan pubertas. Istilah remaja sering disebut-sebut dengan
semangat jiwa yang menggebu-gebu. Tidak banyak juga remaja yang mengarah
ke stigma negatif dan positif di masyarakat pada umumnya. Perihal remaja dan
masa remaja memang hal yang menarik untuk di bahas. Seakan tidak ada habisnya
beraneka ragam hal-hal yang menarik untuk terus di amati mengenai remaja
dewasa ini.
Perilaku remaja tentunya tak luput dari tumbuh dan kembang jiwa
keagamaan pada diri mereka yang memengaruhi karakteristik kepribadian para
remaja. Tentunya, proses pertumbuhan dan perkembangan keagamaan tak luput
dari proses mulai dari masa anak-anak hingga remaja. Hal itu menjadi sebuah
pengalaman, dimana sangat berpengaruh terhadap jiwa keberagamaan remaja.
Sejalan dengan terjadinya banyak perubahan yang tentunya di alami oleh para
remaja ini mempengaruhi jasmani dan rohani mereka.
Maka dari itu, dalam makalah ini kami memuat beberapa poin yang kami
rasa penting dan berpengaruh dalam tumbuh kembang jiwa keagamaan pada
remaja, diantaranya proses awal perkembangan yaitu tahap perkembangan anak,
pertumbuhan agama pada masa anak-anak, faktor-faktor yang ikut mempengaruhi
perkembangan agama pada masa anak anak, sifat-sifat agama pada anak dan
pembinaan agama pada anak. Kemudian, pembahasan terkait masa remaja itu
sendiri, pola perubahan minat beragama pada remaja, pendidikan agama pada
remaja dan faktor yang mempengaruhi perkembangan sikap keagamaan pada
remaja. Kami selaku pemakalah memohon maaf apabila terdapat kesalahan,
kekurangan dalam makalah ini.

1
1. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
PADA ANAK
A. Perkembangan Agama pada Anak-anak
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah
ada sejak manusia dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi
kepada sang pencipta. Dorongan ini bisa disebut dengan hidayat al-
Diniyyat, di dalam terminologi Islam, yang berupa benih-beniih
keberagamaan yang di anugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan adanya
potensi bawaan pada hakikatnya manusia merupakan makhluk beragama.
Dorongan untuk mengabdi yanag ada didalam diri manusia pada
hakikatnya merupakan sumber keberagamaan yang fitri. Untuk menjaga dan
memlihara kemurnian potensi fitrah, maka Tuhan pun mengutus para Nabi
dan Rasul, yang tugas utama mereka untuk mengarhakan dan
mengembangkan potensi bawaan itu kejalan yang sebenarnya, seperti yang
dinginkan sang pencipta, jika tidak diarahkan oleh utusan Tuhan, yang di
khawatirkan akan terjadi penyimpangan.
Tuhan mengutus Rasul-Nya sebagai pemberi pengajaran, contoh,
dan teladan. Dalam estafet selanjutnya, rislahak kerasulan ini diwariskan
kepada ulama, tetapi tanggung jawab utamanya di peruntukkan kepada
kedua orang tua. Bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, yang merupakan
dorongan untuk mengabdi kepada penciptanya, tetapi benar atau tidaknya
cara pengabdian yang dilakukan tergantung dari kedua orang tua masing-
masing. Apakah nantinya setelah dewasa seseorang akan menjadi sosok
penganut agama yang taat, sepenuhnya tergantung dari pembinaan nilai-
nilai agama oleh kedua orang tua. Keluarga merupakan pendidikan dasar
bagi anak-anak, sedangkan lembaga pendidikan hanyalah sebagai pelanjut
dari pendidikan rumah tangga.
Sigmund Frued pun menempatkan “ayah” sebagai sosok yang
mempunyai peran penting didalam perkembangan pada nak. Melewati
konsep Father image (citra kebapaan), ia merintis teorinya tentang asal
mula agama pada manusia. Menurutnya, keberagaman anak bisa ditentukan
oleh sang ayah, tokoh ayah ikut menentukan dalam menumbuhkan rasa dan
sikap keberagaman seorang anak. Didalam pandangan seorang anak
memang ayah menjadi tokoh panutan yang diidolakan. Kebanggaan anak
terhadap ayah cukup kuat dan berpengaruh, sehingga bisa menumbuhkan
citra dalam dirinya.
Manusia memang merupakan makhluk yang beragama. Tetapi,
keberagamaan tersebut memerlukan bimbingan agar dapat tumbuh dan
berkembang secara benar. Untuk itu anak-anak memerlukan tuntunan dan
bimbingan, sejalan dengan tahap perkembangan yang mereka alami. Sosok
yang paling menentukan dalam menumbuhkan rasa keberagamaan itu
merupakan kedua orang tua.
B. Pertumbuhan Agama pada Masa Anak-Anak
Sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan, anak-
anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal,
yaitu keluarga, makanya tak mengherankan jika kebiasaan yang dimiliki
anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari
bangun tidur. hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima
pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga.1
Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman
hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat
lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai
dengan ajaran agama) dan semakin banyak unsur agama maka sikap,
tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan
ajaran agama.2
Semula, Tuhan bagi anak merupakan hal yang asing yang diragukan
kebaikan niatnya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman kesenangan atau
kesusahan belum dirasakan oleh seorang anak. Namun setelah ia
menyaksikan orang dewasa yang disertai emosi atau perasaan tertentu dalam
memandang tuhan, perlahanlahan perhatiannya terhadap tuhan mulai

1
Andreetiono Kurniawan, “Perkembangan Jiwa Pada Anak”, Elementary, Vol. 1, Edisi 1,
Januari 2015, 72.
2
Zakiah Daradjat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta, Bulan Bintang, 2010), 66.
tumbuh. Bahkan pada tahap awal, pengalaman tentang tuhan merupakan hal
yang tidak disenangi karena merupakan ancaman bagi integritas
kepribadiannya. Itulah sebabnya, menurut Zakiah, seorang anak sering
menanyakan tentang dzat, tempat dan perbuatan tuhan untuk mengurangi
kegelisahannya.3
Dalam pembinaan agama pada diri pribadi anak sangat diperlukan
pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan yang sesuai dengan
perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan-latihan tersebut
akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan
bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah
masuk menjadi bagian dari pribadinya.
Untuk membina agar anak-anak mempunyai sifat terpuji tidaklah
mungkin dengan penjelasan saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk
melakukan yang baik yang diharapkan nanti dia akan mempunyai sifat-sifat
itu, dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan dan latihan itulah yang
membuat anak cenderung melakukan perbuatan yang baik dan
meninggalkan yang kurang baik. Demikian pula dengan pendidikan agama,
semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihan dan
pembiasaan agama yang dilakukan pada anak, dan semakin bertambah umur
anak, hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang
agama itu sesuai dengan perkembangan yang dijelaskannya. Pembentukan
sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumnya, terjadi melalui
pengalaman sejak kecil. Pendidik atau pembina yang pertama adalah orang
tua, kemudian guru. Sikap anak terhadap agama dibentuk pertama kali di
rumah melalui pengalaman yang didapat dari orang tuanya, kemudian
disempurnakan dan diperbaiki oleh guru di sekolah maupun di tempat
pengajian seperti masjid, mushola, TPQ, dan Madrasah Diniyyah.
Latihan- latihan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, do’a,
membaca al-Qur’an, sopan santun, dan lain sebagainya, semua itu harus

3
Andreetiono Kurniawan, “Perkembangan Jiwa Pada Anak”, Elementary, Vol. 1, Edisi 1,
Januari 2015, 73.
dibiasakan sejak kecil, sehingga lama-kelamaan akan tumbuh rasa senang
dan terbiasa dengan aktifitas tersebut tanpa ada rasa terbebani sedikitpun.
Pembinaan yang baik pada anak adalah membiasakan untuk melakukan
kegiatan keagamaaan atau dibiasakan dalam suasana keagamaan, yang
sudah barang tentu kesemuanya diiringi dengan contoh atau teladan yang
baik. Kemudian pada tingkat berikutnya anak baru diberikan pengertian
tentang ajaran atau norma-norma keagamaan untuk dapat dipatuhi secara
baik.4
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak yang tumbuh
dewasa, menurut Jalaluddin, memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip
yang dimilikinya, yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip biologis. Secara fisik,anak yang baru dilahirkan berada dalam
keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak-tanduknya, ia selalu
memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan
kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah
mahkluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna
untuk difungsikan secara maksimal.
2. Prinsip tanpa daya. Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan
fisik dan psikisnya, anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia
dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya.
3. Prinsip eksplorasi. Kematapan dan kesempurnaan perkembangan potensi
manusia yang dibawa sejak lahir, baik jasmani maupun rohani,
memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan
dilatihan.5

4
Ratnawati, “Memahami Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Anak dan Remaja”,
Fokus: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol.1, No. 01, 2016, 29.
5
Fatrica Syafri, “Memahami Psikologi Keagamaan Anak Usia Dini”, Al-Fitrah Jurnal of
Early Childhood Islamic Education, Vol. 2 No. 1 Juli 2018, 243-244.
C. Faktor yang berpengaruh dalam perkembangan agama pada masa
anak-anak
Menurut penelitian Ernest Hermar, yang dikemukakan oleh
Ramayulis, bahwa perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa
fase atau tingkatan, yang antara lain adalah:
1. The fairy tale Stage (tingkatan dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada
tingkatan ini, konsep mengenai tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi
dan emosi, hinga dalam menanggapi agama pun, anak menggunakan konsep
fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yamg kurang masuk akal.
Pada tingkat ini, anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya.
2. The realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingakatan ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga
keusia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah
mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada kenyataan (realitas).
3. The Individual Stage (Tingkat individu)
Pada tingkat ini, anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling
tinggi sejalan ddengan perkembangan usianya. Perubahan ini setiap tingktan
dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan ekstern berupa
pengaruh luar yang dialaminya. Sebagai makhluk ciptaan tuhan, sebenarnya
potensi agama sudah ada pada setiap manusias sejak dia dilahirkan . potensi
ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada sang pencipta. Dalam
terminologi islam, dorongan ini dikenal dengan hidayat aldiniyyat, yang
berupa benih-benih keberagamaan yang dianugerahkan tuhan kepada
manusia. Dengan adanya potensi bawaan ini manusia pada hakekatnya
adalah makhluk beragama.
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata-kata
orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara
acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan tidak adanya perhatian terhadap
Tuhan, ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan
membawanya ke sana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang
menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang di
sekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin
lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu
tumbuh. Jadi, dapat disimpulkan bahwa jiwa agama adalah tingkah laku
yang berhubungan dengan kehidupan beragama pada seseorang dan
seberapa besar pengaruh keyakinan beragama terhadap dirinya serta
keadaan hidupnya pada umumnya. Sesuai dengan fase perkembangannya
maka sifat atau ciri-ciri keagamaan pada anak dan remaja akan memiliki ciri
yang berbeda, baik itu dipengaruhi oleh faktor intern maupun faktor ekstren.
Pada usia anak-anak sikap keberagamaan mereka lebih bersifat authority
atau pengaruh dari luar. Sebagaimana dipaparkan oleh Jalaluddin, bahwa
”Ide keagamaan anak hampir sepenuhnya authoritarius, konsep keagamaan
pada diri anak dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka”. Ini dapat
dimengerti bahwa anak-anak telah melihat dan mempelajari hal-hal
yang berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan dari luar diri mereka.
Mereka melihat dan mengikuti apa yang dikerjakan dan diajarkan
orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan
dengan kemaslahatan agama. Di samping itu juga dipengaruhi pula oleh
perkembangan berbagai aspek kejiwaannnya seperti perkembangan berpikir.
Ini juga berarti bahwa orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai
dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki, dengan demikian ketaatan
kepada ajaran agama merupakan kebisaan yang menjadi milik mereka yang
mereka pelajari dari para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka
sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa, walaupun belum
mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
D. Sifat-Sifat Agama Pada Anak
Konsep keagamaan pada diri anak dipengaruhi oleh beberapa factor
dari luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang
dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang
sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Berdasarkan hal itu,
maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi menjadi:
1. Unreflective (tidak mendalam)
Mereka mempunyai anggapan atau menerima terhadap ajaran
agama tanpa kritik. Yaitu kebenaran yang mereka terima tidak begitu
mendalam sehingga cukup sekedarnya saja, dan mereka cukup puas
dengan keterangan yang terkadang kurang masuk akal.
2. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan dirinya sendiri mulai tahun
pertama sejak usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan
dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu
mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh rasa keraguan pada rasa
egonya, semakin bertumbuh semakin meningkat pula rasa egoisnya.
3. Anthromorphis
Konsep ketuhanan pada diri anak menggambarkan aspek-aspek
kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka
menganggap bahwa keadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan
Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang
itu berada dalam tempat gelap.
4. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula
secara verbal (ucapan). Mereka secara verbal kalimat-kalimat keagamaan
dan selain itu pula dari alamiah yang mereka laksanakan berdasarkan
pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepeda mereka.
Perkembangan pada anak sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan
agama anak itu diusia dewasa.
5. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya
diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya, mereka laksanakan
karena hasil melihat realitas dilingkungan, baik berupa pembiasaan
maupun pengajaran yang insetif. Dalam segala hal anak merupakan
peniru yang ulung, dan sifat peniru ini merupakan modal yang positif
dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6. Rasa kagum dan Heran
Rasa kagum dan heran merupakan tanda dan sifat keagamaan
yang terakhir pada anak. Rasa kagum pada anak sangat berbeda pada rasa
kagum orang dewasa.rasa kagum pada anak-anak ini belum bersifat kritis
dan kreatif, sehingga merekahanya kagum terhadap keindahan lahiriyah
saja.
E. Pembinaan Agama pada Anak
Secara rinci, pembinaan agama pada anak yang sesuai dengan sifat
keberagamaaan anak dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara
lain:
1. Pembinaan agama lebih banyak bersifat pengalaman langsung seperti
sholat berjama’ah, bersedekah, zakat, berkurban, meramaikan hari raya
dengan bersama-sama membaca takbir dan sebagainya.
2. Kegiatan agama disesuaikan dengan kesenangan anak-anak, mengingat
sifat agama anak masih egosentris. Sehingga model pembinaan agama
bukan mengikuti kemauan orang tua maupun guru saja, melainkan harus
benyak variasi agar anak tidak cepat bosan.
3. Pengalaman agama anak selain didapat dari orang tua, guru dan teman-
teman sebaya, baik mengenai ucapan maupun perilaku sehari-hari,
mereka juga belajar dari orang-orang disekitarnya yang tidak
mengajarinya secara langsung.
4. Pembinaan agama pada anak juga perlu dilakukan secara berulang-ulang
melalui ucapan yang jelas serta tindakan secara langsung.
5. Perlunya melakukan kunjungan ke tempat-tempat atau pusat-pusat agama
yang lebih besar kapasitasnya.
6. Menyajikan ide-ide keagamaan lewat cerita-cerita yang menarik melalui
tayangan di layar kaca atau lainnya, baik tentang cerita para Nabi,
berbagai peristiwa yang menakjubkan di alam ini dan lain sebagainya.6
2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
PADA REMAJA
A. Pengertian Masa Remaja
Remaja sering disebut dengan masa peralihan dari masa anak-anak
ke masa dewasa, istilah ini menunjukkan masa dari awal pubertas sampai
tercapainya kematangan, biasanya di mulai dari usia 14 tahun pada pria dan
usia 12 tahun pada wanita. Batasan remaja terkait hal ini adalah usia 10
tahun sampai dengan 19 tahun menurut klasifikasi World Health
Organization (WHO). Seorang pakar psikologi perkembangan Hurlock
(2002) menyatakan bahwa masa remaja ini dimulai pada saat anak mulai
matang secara seksual dan berakhir pada saat mencapai usia dewasa secara
hukum. Masa remaja terbagi menjadi dua, yaitu masa remaja awal dan masa
remaja akhir. Masa remaja awal di mulai pada saat anak-anak mulai matang
secara seksual yaitu pada usia 13 sampai dengan 17 tahun, sedangkan masa
remaja akhir meliputi periode setelahnya sampai dengan 18 tahun, yakni
usia seseorang dinyatakan dewasa secara hukum. Masa ini bertepatan
dengan masa remaja yang merupakan masa yang banyak menarik perhatian
karena sifat-sifat khasnya dan peranannya yang menentukan dalam
kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa.7
Menurut Hurlock masa remaja dapat dibagi sebagai berikut:
1. Masa Remaja Awal
Masa remaja awal usia sekitar 13 tahun atau 14 tahun sampai 17
tahun. Di tandai dengan adanya perubahan fisik yang sangat cepat dan
mencapai puncaknya. Juga ketidak seimbangan emosional dan

6
Noer Rahmah, “Pengantar Psikologi Agama”, cet. 1, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2013),
116-118.
7
Shilphy A. Octavia, “Motivasi Belajar Dalam Perkembangan Remaja”, (Yogyakarta:
CV Budi Utama, 2020), 1.
ketidakstabilan dalam banyak hal. Mencari identitas diri dan hubungan
sosial yang berubah.
2. Masa Remaja Akhir
Masa remaja akhir kisaran usia 17 tahun sampai 20 tahun. Di
tandai dengan keinginan selalu menjadi pusat perhatian, ingin
menonjolkan diri, idealis, mempunyai cita-cita tinggi, bersemangat dan
mempunyai energi yang besar, ingin memantapkan identitas diri dan
ingin mencapai ketidaktergantungan emosional. Biasanya berlangsung
dalam waktu yang relatif singkat. Masa ini ditandai oleh sifat-sifat
negatif pada remaja sehingga seringkali masa ini disebut masa negatif
dengan gejalanya seperti tidak tenang, kurang suka bekerja, pesimistik
dan sebagainya.
Setelah remaja dapat menentukan pendirian hidupnya, pada
dasarnya tercapailah masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas
perkembangan masa remaja, yaitu menemukan pendirian hidup dan
masuklah individu ke dalam masa dewasa.8
B. Pola Perubahan Minat Beragama Pada Remaja
Menurut Hurlock, pola perubahan beragama pada remaja terbagi menjadi
beberapa periode, yaitu:
1. Periode Kesadaran Religius
Periode dimana remaja mempersiapkan diri untuk menjadi
anggota kelompok jamaah agama yang dianut orang tuanya, minat
religius yang tinggi. Dampaknya remaja akan berusaha mendalami ajaran
agamanya, tetapi dalam usaha mendalami ajaran agamanya remaja
mungkin menentukan hal-hal yang tidak sesuai dengan logikanya. Pada
saat itu mungkin ia akan membandingkan agamanya dengan keyakinan
agama teman-temannya.
2. Periode Keraguan Religius
Periode dimana remaja berdasarkan penelitian secara kritis
terhadap keyakinan agama pada masa anak-anak, remaja selalu bersikap

8
Shilphy A. Octavia, “Motivasi Belajar Dalam Perkembangan Remaja”, 2.
skeptik pada berbagai bentuk ritual, seperti do’a, upacara-upacara agama
yang bersifat formal lainnya. Mungkin juga pada saat yang bersamaan
mereka meragukan agamanya.
3. Periode Rekonstruksi Religius
Periode dimana cepat atau lambat remaja akan membutuhkan
keyakinan agama meskipun keyakinan agama pada masa anak-anak tidak
dapat lagi memuaskan keingintahuannya terhadap agama. Bila remaja
merasa keyakinan agama yang dianutnya pada orang tuanya kurang
memuaskan keingintahuannya terhadap agama atau Tuhan, mungkin dia
akan mencari kepercayaan baru pada teman-temannya atau orang lain
yang dipercayainya.9
Adapun pola sikap remaja dalam beragama, sebagai berikut:
a. Percaya dan ikut-ikutan
b. Kebanyakan remaja percaya pada Tuhan dan menjalankan agama
karena terdidik dalam lingkungan beragama, karena orang tuanya
beragama, teman-teman dan masyarakat disekelilingnya beribadah,
maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran
agama sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana mereka hidup.
Mereka seolah-olah apatis, tidak ada perhatian untuk meningkatkan
agama dan tidak mau aktif dalam kegiatan-kegaitan agama.
c. Percaya dengan kesadaran yang diikuti semangat agama pada remaja,
yaitu semangat dalam bentuk positif dan semangat dalam bentuk
negatif. Semangat dalam bentuk positif yaitu berusaha untuk melihat
agama dalam pandangan kritis, tidak menerima hal-hal yang tidak
masuk akal, misalnya mereka ingin memurnikan agama dari bid’ah
dan khurafat dari kekakuan dan kekolotan. Dan semangat dalam
bentuk negatif yaitu akan menjadi bentuk kegaiatan yang berbentuk
khurafi yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari
luar ke dalam masalah-masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat
dan kepercayaan-kepercayaan lainnya.

9
Agus Sujanto, “Psikologi Perkembangan”, (Surabaya: Aksara Baru 1984), 285.

12
d. Percaya tapi ragu-ragu
e. Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya, dapat dibagi dua
yaitu: Keraguan disebabkan kegoncagan jiwa dan terjadi proses
perubahan dalam pribadinya dan keraguan disebabkan adanya
kontradisi atas kenyataan yang dilihatnya denggan apa yang
diyakininya atau denggan pengetahuan yang dimilikinya.
f. Tidak percaya atau cenderung pada atheis.10
C. Pendidikan Agama Pada Remaja
Pendidikan agama pada remaja merupakan hal yang sangat penting
dalam mengatasi masalah-masalah psikologis yang mendua yang dihadapi
remaja. Pendidikan agama yang paling penting pada remaja antara
penanaman akidah, pembiasaan ibadah, pendidikan seks, dan pembinaan
akhlak.
1. Penanaman Akidah
Penanaman akidah adalah upaya menanamkan keimanan yang
diberikan kepada remaja. Di dalam al-Qur’an diceritakan bagaimana
Ya’kub mengajarkan keimanan kepada anakanaknya. Allah berfirman
dalam Q.S al-Baqarah ayat 133: “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub
kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:
“Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami
akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim,
Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya.”
2. Pembiasaan ibadah
Pembiasan melakukan ibadah sudah diajarkan sejak masa
anakanak kemudian dilanjutkan pada masa remaja. Jika pada masa
anakanak orangtua hanya mengajarkan shalat, tetapi setelah remaja
orangtua dianjurkan memukul anak remaja yang tidak shalat setelah
diajarkan shalat pada waktu kanak-kanak. Hadis Rasulullah tentang

10
Haris Budiman, “Kesadaran Beragama Pada Remaja Islam”, Al-Tadzkiyah. Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. 6, 2015, 24
perintah mengajarkan shalat sebagai berikut: “Biasakanlah anak-anak
untuk shalat ketika usianya mencapai tujuh tahun. Jika sampai usia
sembilan tahun si anak masih meninggalkan shalat, pukullah. (HR. Abu
daud)
3. Pendidikan Seks
Remaja menghadapi dua problem besar. Problem pertama adalah
problem intern ini secara alami akan terjadi pada diri remaja. Hasrat
seksual yang berasal dari naluri seksualnya, mulai mendorong untuk di
penuhi. Hal ini sangat fitrah karena fisiknya secara primer maupun
sekunder sudah mulai berkembang. Problem yang kedua adalah problem
eksternal. Inilah yang Terkatagori dalam pembentukan lingkungan
tempat remaja berkiprah. Faktor penting yang membuat remaja “selamat’
dalam pergaulannya adalah faktor pemikiran dan faktor rangsangan.
Pemikiran adalah sekumpulan ide tentang kehidupan yang diambil dan
dipenetrasikan oleh remaja itu ke dalam benaknya sehingga menjadi
sebuah pemahaman yang mendorong setiap perilakunya. Pemikiran
penting yang membentuk remaja adalah: makna kehidupan, standar
kebahagiaan hidup, dan standar perilaku.
4. Pembinaan Akhlak
Akhlak akan menjaga seseorang terbebas dalam melakukan
berbagai kejahatan yang dapat merugikan kehidupan orang lain.
Perbuatanperbuatan yang merugikan orang lain, seperti pemukulan,
pencurian, pembunuhan, dan perkelahian selalu terjadi pada remaja.
Allah SWT berfirman tentang pentingnya persaudaraan untuk menjaga
kerukunan hidup.
D. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sikap Keagamaan pada
Remaja
Perkembangan agama pada masa remaja ditandai ada beberapa
faktor perkembangan jasmani dan rohani.
1. Perkembangan dengan Perasaan
Perasaan sudah berkembang pada remaja. Perasaan sosial untuk
mendorong seorang remaja untuk menghaya kehidupan biasa didalam
lingkungannya, kehidupan ini lebih patuh atau mendorong diri untuk
lebih dekat kearah yang dipatuhi dan begitupun juga sebaliknya.
2. Pertumbuhan dengan Pikiran dan Mental
Ide adalah mendasari keyakinan beragama yang diterima oleh
seorang remaja dari masa anak-anak sehingga remaja itu tidak mudah
untuk memperyakinkan remaja untuk meyakinkan keagamaan. Remaja
sekarang sangat kritis menghadapi ajaran agama yang mulai ada, selain
juga masalah agama, mereka juga tertarik dengan kebudayaan dan
ekonomi kehidupan.
Hasil ini menyatakan bahwa agama ini mengajarkan untuk meraih
sifat kebiasaan yang terpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat
kepada agamanya.
3. Perkembangan Moral
Perkembangan moral ini seorang remaja bertolak dari rasa yang
nama nya berdosa dan usaha untuk mencari perlindungan, ada pun tipe
moral itu terlihat pada remaja yang mencakupi.
a. Self directive, taat terhadap agama
b. Adaptive, mengikuti lingkungan tanpa adanya komentar dari orang
lain
c. Submissive, adanya sifat keraguan terhadap agama
d. Unadjusted, tidak terlalu yakin akan kebenarannya
e. Menyimpang atau menolak belakangi hukum agama
4. Pertimbangan sosial
Keagamaan itu ditandai remaja dengan adanya
mempertimbangkan sosial, kehidupan keagamaan mereka, dengan
adanya konflik atau pertimbangan moral dan material sehingga bingung
untuk memilih suatu pilihan. Kehidupan yang ada didunia mempengaruhi
pentingnya materi.11

11
Syaiful Hamali, “Karakteristik Keberagaman Remaja Dalam Perspektif Psikologi”, Vol.
XI, No. 1, 2016, 6-7.
PENUTUP
Pada dasarnya potensi keberagamaan manusia itu telah ada sejak ia
dilahirkan, merupakan anugerah dari Tuhan sebagai hakikat makhluk yang
beragama. Hal pertama yang mengenalkan seorang anak pada sebuah kepercayaan
dan religius adalah keluarganya. Pada masa tumbuh kembang anak keluarga
sangat berpengaruh dalam agama anak tersebut.
Sedangkan masa remaja ruang lingkup kehidupan mereka semakin meluas,
banyak role model yang akan mereka gunakan. Tidak lagi sebatas keluarga, orang
tua. Akan tetapi ada teman dan lingkungan sekitar mereka hidup yang akan ikut
andil dalam tumbuh kembang jiwa keagamaan pada remaja. Sudah menjadi hal
biasa, jika remaja melakukan perilaku-perilaku yang bermacam-macam dalam
beragama. Hal ini termasuk dalam hal remaja akan semakin kritis terhadap
agamanya, kadang juga hal ini dapat mempengaruhi keyakinan remaja dalam
beragama. Tak banyak remaja yang kecewa terhadap agamanya sendiri bahkan
sampai berpindah pada keyakinan yang ia anut selama ini.
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, Andreetiono, Perkembangan Jiwa Pada Anak, Elementary, Vol. 1, Edisi 1, Januari
2015.

Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 2010.

Ratnawati, Memahami Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Anak dan Remaja, Fokus: Jurnal
Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol.1, No. 01, 2016.

Syafri, Fatrica, Memahami Psikologi Keagamaan Anak Usia Dini, Al-Fitrah Jurnal of Early
Childhood Islamic Education, Vol. 2 No. 1 Juli 2018.

Rahmah, Noer, Pengantar Psikologi Agama, cet. 1, Yogyakarta: Sukses Offset, 2013.

Octavia, Shilphy A., Motivasi Belajar Dalam Perkembangan Remaja, Yogyakarta: CV Budi
Utama, 2020.

Sujanto, Agus, “Psikologi Perkembangan”, (Surabaya: Aksara Baru 1984), 285.

Budiman, Haris, “Kesadaran Beragama Pada Remaja Islam”, Al-Tadzkiyah. Jurnal Pendidikan
Islam, Vol. 6, 2015, 24

Hamali, Syaiful, Karakteristik Keberagaman Remaja Dalam Perspektif Psikologi, Vol. XI, No. 1,
2016.

Anda mungkin juga menyukai