PSIKOLOGI AGAMA
Pengertian pertama bernuansa filosofis dengan penekanan pada konsep jiwa di dalam
merumuskan hake kat jiwa d gn pendekatan spekulatif. Kelebihannya dapat mencerminkan
hakekat psikologi yang sesungguhnya, sedang kelemahannya belum mampu membedakan
antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris.
Pengertian kedua memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi. Fokus
kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan,
dan ingatan.
Pada pengertian ketiga fokus kajian psikologi adalah gejala-gejala jiwa yang diketahui
melalui penelaahan perilaku organisme. psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-
fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa
tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.
Secara umum, psikologi mempelajari gejala-gejala jiwa manusia yang berkaitan
dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi). Dengan demikian
ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia.
2. Definisi agama
a. Definisi secara bahasa
- Agama berasal dari B. Senksekarta, a (tidak) dan gam (pergi).
a (tidak) dan gama (kacau).
Dalam B. Semit/B. Arab disebut al-Din, dan dalam B. Inggeris disebut Religion.
3. Unsur-Unsur/dimensi agama:
C.Y. Glock dan R. Stark dalam American Piety: The Nature of Religious
Commetment (1968) menyebutkan ada 5 (lima) dimensi keberagamaan, yaitu:
a. Dimensi Ideologis
b. Dimensi Ritual
c. Dimensi Konsekuensial
d. Dimensi Eksperiensial/Emosi/perasaan beragama
e. Dimensi Intelektual
Menurut Jamaluddin Ancok kelima dimensi itu tidak hanya dari dimensi ritual saja,
tapi juga dimensi lain. Rumusan itu dapat disejajarkan dengan dengan konsep Islam.
a. Ideologis/akidah/iman
b. Dimensi Ritual/Ibadah
c. Dimensi Konsekuensial/Akhlak
L. B. Brown dalam Psychology and Religion menyebut 5 (lima) dimensi agama secara
kejiwaan yaitu:
a. Tingkah laku/praktek keagamaan (behaviour).
b. Renungan suci dan iman (belief).
c. Perasaan/pengalaman/experience).
d. Keterikatan dengan jamaah (involvement).
e. Pandangan agama dalam tingkah laku yang non agama dan moral.
Menurut Willian James: Sikap dan perilaku keagamaan dapat dikelompokkan 2 tipe:
1. Jiwa yang sehat (healthy-mindedness), sikapnya positif, optimis, bahagia, spontan,
cirinya penuh gairah, terlibat bersemangat tinggi dan meluap dengan vitalitas. Secara
sadar terlibat di dalam kehidupan beragama.
2. Jiwa yang sakit (sick soul), ditemui pada org yg pernah mengalami latar belakang
keagamaan yg terganggu, mereka menyakini agama yg dia anut karena adanya
tekanan batin yang mungkin diakibatkan musiabah, konflik batin, dll. sikapnya
negatif, penyesalan, penyalahan diri, murung, tertekan, cirinya dingin, menyerah
pasrah tanpa emosi tak bersemangat dan plegmatis. Penghayatan agama secara formal
dan berdasar kebiasaan.
Pendekatan agama:
1. Pendekatan substansi agama adalah beragama seperti apa yang dipercaya orang dan
umat dari agamanya
2. Fungsional agama adalah tentang apa peran agama dalam kehidupan individu dan
masyarakat?
Definisi Psikologi Agama adalah cabang psikologi yang meneliti dan menelaah
kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh
keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada
umumnya. (Zakiah Daradjat).
Di samping itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan tersebut.
Tegasnya Psikologi Agama mempelajari dan meneliti fungsi2 jiwa yang memantul
dan memperlihatkan diri dalam perilakudan kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman
agama.
(Zakiah Daradjat).
Psikologi agama dihubungkan dengan dua bidang pengetahuan yang berlainan.
Sebagian tunduk kepada psikologi, sebagian lagi tunduk kepada agama.
B. Ruang Lingkup
Psikologi dan agama secara bersama menemukan jawaban atas pertanyaan sederhana:
apa yang dipelajari bila orang menyelidiki agama?, Maka secara ringkas yang menjadi ruang
lingkup pembahasan yang disepakati adalah:
1. Kesadaran beragama ( religious counciousness) yaitu bagian/segi agama yang
hadir (terasa) dalam pikiran dan merupakan aspek mental dari aktifitas agama.
2. Pengalaman beragama (religious experience), yaitu unsur perasaan dlm kesadaran
beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan
tindakan.
Dari 2 hal di atas, ruang lingkup kajian psikologi agama meliputi:
a. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut
menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan
tentram sehabis shalat; rasa lepas dari ketegangan bathin sesudah berdoa
atau membaca ayat-ayat suci; perasaan tenang, pasrah dan menyerah
setelah berdzkir dan ingat kepada allah ketika mengalami kesedihan dan
kekecewaan.
b. Bagaimana pengalaman dan perasaan seseorang secara individual
terhadap tuhannya, misalnya rasa tentram dan kelegaan bathin.
c. Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan
adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
d. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap
kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka, serta dosa dan
pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya
dalam kehidupan.
e. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang
terhadap ayat-ayat suci untuk kelegaan bathinnya. (Zakiah Daradjat: Ilmu
Jiwa Agama, 1970, h. 3-6).
Psikologi Agama hanya meneliti fungsi2 jiwa yang memantul dan memperlihatkan
diri dalam perilaku dalam kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman agama. Tapi tidak
mencampuri segala bentuk permasalahan yang menyangkut pokok keyakinan suatu agama,
termasuk benar-salah, masuk akal-tidak, dll.
Sebagai ilmu terapan, Psikologi agama banyak memberikan sumbangan dalam
memecahkan persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya.
Memang manusia merupakan makhluk unik yang memiliki akal yang dengannya
dapat memahami mana yang benar dan mana yang salah dengan berfikir bagaimana
penciptaan alam, manusia dan mahluk-mahluknya. Ini baru bersyukur dari segi etimlogi.
Sedangkan dari sudut psikologi yaitu berpikir bagaimana Allah menggerakkan tangan kita.
Mengalirkan darah dari jantung yang tak pernah berhenti sampai hayat terangkat dari
jasadnya.
Psikologi itu sendiri memperkuat agama itu sendiri dengan berbagai penelitian dan
studi yang menyangkut hal tersebut. Dan psikologi tersebut tidak memperlakukan agama itu
dengan sesuatu yang saklar maupun transcendental. Dan agama adalah seperangkat atau alat
yang dijadikan sebagai pedoman hidup.
Sebenarnya agama itu sendiri sudah ada sejak kita dilahirkan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa agama adalah faktor bawaan. Dan kematangan jiwa beragama tidak
terlepas dari kematangan kepribadian, akan tetapi kematangan kepribadian belum tentu
diikuti kematangan agama. Mungkinsaja seseorang yang tidak mempunyai agama memiliki
kepribadian yang baik.
Psikologi agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari perilaku beragama, baik
sebagai individu (aspek individuo-psikologis) maupun secara berkelompok/anggota-anggota
dari suatu kelompok (aspek sosio-psikologis). Aspek psikologis dari perilaku beragama
berupa pengalaman religius yang menyangkut pengalaman dan kesadaran beragama.
Dalam metode ini dikaji aspek batin dari pengalaman agama individu maupun
kelompok. Di dalam metode ini dikaji interrelasi dan interaksi antara agama dengan jiwa
manusia. Kajian psikologis ini meliputi masalah penyataan (wahyu), iman, pertobatan, suara
hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah, pengakuan dosa, pengampunan, kekhawatiran,
kebimbangan, penyerahan diri, dan sebagainya.
Kembali ke integrasi
Pada paruh kedua abad ke-20 Amerika mengalami kemakmuran material yang
mencapai puncaknya, namun haus secara spiritual. Tahun 1950-an, para terapis menemukan
pasien baru yg merasa hidup terasa kosong, semuanya tdk begitu berarti, aku merasa hampa.
Sindrum ini disebut “eksistensial neurosis”: ketidakbahagiaan yang bersumber pada
pertanyaan tentang makna.
* Psikologi Humanistik lahir di AS pada tahun 1960-an ketika kelas menengah AS
menikmati kemakmuran material dan menderita kekosongan spiritual membentuk
angkatan III bersama Psikologi Eksistensialis. (Angkatan I Psikoanalisis, lahir di Jerman
ketika sains sedang dipuja sebagai juru selamat umat manusia, Angkatan II Psikologi
Behavioristik yg lahir di Amerika ketika metode ilmiah dipercaya sebagai satu-satunya
cara mengetahui yg dpt diandalkan).
Kekosongan nilai (valuelessness) tidak mungkin didapatkan pada sains modern,
dalam pandangan Maslow sains menjadi busuk ketika mencampakkan nilai. Psikoanalisis dan
Behaviorisme menjadi sains yg berbahaya.
* Psikologi Eksistensialis, Victor Frankl pendukung fenomenologi yg sangat
menekankan pengalaman (pengalamannya bersama para tahanan di kamp konsentrasi). Ia
menekankan dimensi manusia yang paling unik:
1) keinginan utk mencari makna (man’s search for meaning)
2) agama: pencarian makna akhir (search for Ultimate meaning)
3) Eksistensi religious sense yang tertanam dalam cuncious depths.
Teknik memberikan makna ini dikenal dgn LOGOTERAPI, agama sebagai sumber makna
yang tidak pernah kering.
Menurut Kierkegaard (bapak Psikologi Eksistensialis dan Bapak Psikologi Kristen): diri
sejati (true self) bila hubungan personal dengan Tuhan gagal menjadi diri sejati disebut
keputusasaan. Di sisi lain, Eksistensialisme sekuler yang tidak mempercayai adanya Tuhan.
* Psikologi Transpersonal lahir di tengah perubahan politik, budaya dan agama
di AS pd th 1960-1970-an. (persamaan hak, pembebasan perempuan, hak kaum homo seks, di
sinilah mengalir arus spiritual yang kuat. Pernah digunakan obat terlarang untuk memperoleh
pengalaman spiritual, tapi akhirnya dilarang pemerintah. Pesona agama Timur mulai dilirik.
Graf mengambil teknik pernapasan, Beatles mempopolerkan agama Hindu, Maharishi
Mahish Yogi mengajarkan trancendental meditation.
- Psikologi Ateisme:
Nietzsche dengan teori kekafiran/theory of unbelief: menolak Tuhan dan agama
Kristen: Tuhan sudah mati. Penolakan ini didasari terhadap kelemahan ayahnya, ini karena
naluri. Teori ini ini diambil dari teori Psikoanalisis S. Freud tentang Oedipus Complex.
Membunuh ayah disublimasikan dgn membunuh Tuhan,
- Penyebab Psikologi memusuhi agama:
1. Persaingan perhatian, dalam perjalanan sejarah , keduanya telah menjadi pesaing
satu sama lain.dahulu, menurut kehidupan.
2. Pandangan psikologi yang negatif terhdp agama, Agama yang dogmatis, ortodoks,
dan taat atau yang mungkin yang kita sebut sebagai kesalehan berkolerasi sangat
signifikan dengan gangguan emosinal.
3. Pandangan agama yg negatif terhadap psikologi, Arogansi psikolog seperti Ellis
mengundang reaksi yang keras dari pihak agama. William Kilpatrick menyesal para
agamawan yang mencampurkan atara psikologi dengan agama.
4. Keyakinan agama para psikolog, Sejalan dengan sains dan teknologi, sekularisasi
perlahan lahan menyeret agama kepinggiran kehidupan dibarat, eropa lebih cepat
sekuler ketimbang Amerika
Di Eropa, frekuensi pergi ke gereja dan terlibat dalam kegiatan Agama menurun sekali pada
setengah abad terakhir ini dan paling rendah. Sekarang ini gereja-gereja Kristen hampir
kosong di Eropa Utara,”kata Hoge (1997: 23). Begitupun di Amerika.
Sumber: https://makalahbambangriyadi.blogspot.com/2015/11/psikologi-agama.html
Sejarah Perkembangan dan Sumber Psikologi Agama
Untuk menetapkan secara pasti kapan Psikologi Agama mulai dipelajari
memang agak sulit. Baik dalam kitab suci maupun sejarah tentang agama-agama
tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak
secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi
agama banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci maupun sejarah agama.
Zakiah Daradjat (1970:12-13) menyatakan bahwa yang pertama
mengemukakan hasil penelitiannya secara ilmiah tentang agama ialah Flazer dan
Taylor. Mereka mengungkap berbagai macam agama primitif dan menemukan
persamaan yang sangat jelas antara berbagai bentuk peribadatan pada orang-orang
Primitif, seperti pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit dan
sebagainya. Hasil penelitian Frezer dan taylor tersebut telah membangkitkan
perhatian ahli-ahli untuk memandang agama sebagai suatu aspek yang dapat diteliti
dan dipelajari sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia.
Jalaluddin (2004:29) yang mengutip pernyataan Robert H Thouless (1992:29)
mengemukakan bahwa, menurut sumber Barat, para ahli Psikologi Agama menilai
bahwa kajian Psikologi Agama mulai popular sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa
itu, psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagi alat untuk kajian agama.
Menurut Robert H. Thouless, yang dikutip Jalaluddin (2004:29-31),sejak
terbitnya buku “The Varieties of Religious Experience” (1903), sebagai kumpulan
dari materi kuliah William James di Universitas di Skotlandia, langkah awal dari
kajian psikologi agama mulai diakui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga
puluh tahun berikutnya,banyak buku lain diterbitkan sejalan dengan konsep-konsep
yang serupa. Di antara buku-buku tersebut adalah “The Psychology of religion”
(1899) karangan E.D Starbuck, yang mendahului karangan Williams James.
Kemudian disusul sejumlah buku yang lainnya seperti “The Spiritual Life” (1900) leh
george Albert Coe, kemudian “The Belief in God and Immortality” (1921) oleh J.H
Leuba. Selanjutnya Robert H Thouless, dengan judul “An Introduction to
Psychology of Religion” tahun 1923 serta R.A. Nicholson yang khusus mempelajari
aliran sufisme dalam Islam dengan bukunya Studies in Islamic Mysticism (1921).
Sejalan dengan perkembangan itu, para penulis non-Baratpun mulai
menerbitkan buku-buku mereka. Tahun 1947 terbit buku “The song of God
Baghavad Gita”, terjemahan Isherwood dan Prabhavananda, kemudian tahun 1952
Swami Madhavananda menulis buku “Viveka Chumadami of Sancaracharya” yang
disusul oleh penulis India lainnya, Thera Nyanoponika dengan judul “The Life of
Sariptta” 1966. Demikian pula, Swami Ghananada menulis tentang Sri Rama dengan
judul “Sri Ramakrisna”, His Unique Massage” 1946.
Di tanah air sendiri tulisan mengenai Psikologi Agama ini baru dikenal sekitar
tahun 1970-an, yaitu oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang beliau
tulis untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Diluar
itu, kuliah mengenai Psikologi Agama juga sudah diberikan, khususnya di Fakultas
Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sendiri. Kedua
orang ini dikenal sebagai pelopor pengembangan Psikologi Agama di IAIN di
Indonesia.
Di luar itu, ada sejumlah tulisan yang berkaitan dengan Psikologi Agama ini.
Tulisan tersebut dikembangan di lingkungan bidang kedokteran seperti yang
dilakukan oleh Prof. Dr. Aulia maupun K.H. SS. Djam’an yang melakukan
pendekatan dengan menggunakan ajaran agama Islam. Sedangkan, di bidang
akademik tulisan-tulisan mengenai Psikologi Agama banyak dihasilkan oleh
karangan gereja katolik.
Seperti dimaklumi, bawha psikologi agama tergolong cabang psikologi yang
berusia muda, ilmu yang berdiri sendiri memiliki latar belakang sejarah yang cukup
panjang. Selain itu, pada tahap-tahap awalnya Psikologi Agama di dukung oleh para
ahli dari berbagai displin ilmu.
Sebagai disiplin ilmu boleh dikatakan, Psikologi Agama dapat dirujuk dari
karya penulis Barat, antara lain karya Jonathan Edward, Emile Durcheim, Edward B.
Taylor maupaun stanley Hall yang memuat kajian mengenai agama dan suku-suku
primitif dan mengenai konversi agama. Sebaliknya, di dunia timur, khususnya di
wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal
serupa belum sempat dimasukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar di
abad ke 7 Masehi berjudul “Al-Syi’ar wa al-Maghazi” memuat berbagai fragmen
dari biografi Nabi Muhammad saw. (Ensiklopedi Islam, 1992:361) ataupun
“Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Ashrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat” yang ditulis oleh
Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malin Ibn Tufail (1106-1185 M).
Demikian pula karya besar Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M)
berjudul “Ihya’ ‘Ulum al-Din”, dan juga bukunya “Al-Munqidz min al-Dhalal”
(penyelamat dari kesesatan) sebenarnya, kaya akan akan muatan permasalahan yang
berkaitan dengan materi kajian Psikologi Agama.
Diperkirakan masih banyak tulisan-tulisan ilmuan muslim yang berisi kajian
mengenai permasalahan serupa, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak
sempat dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu Psikologi Agama
seperti halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuan Barat. Ada beberapa alasan yang
dapat dijadikan penyebab, yaitu:
1. Sejak kemunduran Negara-negara Islam, perhatian ilmuan terhadap kepenting-
an perkembangan ilmu pengetahuan mulai menurun, karena pengembangan
ini memerlukan biaya yang besar.
2. Sejak penyerangan bangsa mongol ke pusat peradaban Islam (Baghdad) dan
kekalahan Islam di Andalusia, terjadi pemusnahan karya para ilmuan muslim.
3. Sikap kurang terpuji dari para ilmuan Barat (terutama setelah zaman
kemunduran Islam) yang umumnya kurang menghargai karya-karya ilmuan
muslim. Seperti tulisan Nurcholish Madjid, ummat Islam yang telah dikalahkan
oleh bangsa-bangsa Eropa (barat) adalah umat yang dikagumi, ditakuti dan
dibenci (Nurcholish Madjid, 1984:55).
4. Karya-karya ilmuan muslim di zaman klasik umumnya, ditulis oleh para ilmuan
yang di zamannya dikenal dengan sebutan yang berkonotasi keagamaan seperti
mufassirin (ahli tafsir), muhaddisin (ahli hadis), fuqhaha (ahli fiqih), ataupun
ahl al-hikmat (filosof). Dengan demikian, karya-karya mereka diidentikkan
dengan ilmu-imu yang murni agama (islam) atau filsafat.
Lebih jauh, Marshall G.S Hodgson melihat hal itu disebabkan oleh faktor
intern umat Islam sendiri. Menurutnya, masyarakat Islam gagal memelopori
kemodernan karena tiga hal, yaitu:
1. Konsentrasi yang kelewat besar pada penanaman modal harta dan manusia
pada bidang-bidang tertentu.
2. Kerusakan hebat baik material maupun mental psikologis, akibat serbuan
biadab bangsa Mongol.
3. Kecemerlangan peradaban Islam sebagai suatu bentuk pemuncakan abad
agrarian membuat kaum muslim tidak pernah secara mendesak merasa perlu
kepada peningkatan yang lebih tinggi.
Setelah zaman kemunduran umat Islam secara politis, kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi dipelopori oleh barat. Dengan demikian, tidak
mengherankan jika ilmu-ilmu modern, termasuk Psikologi Agama tumbuh dan
berkembang sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, yang diakui
terinformasikan sebagai produk ilmuan barat. Dan baru Negara-negara Islam
terbebas dari kungkungan penjajah barat, secara bertahap muncul karya-karya
ilmuan muslim.
Karya penulis Muslim di zaman modern, seperti buku Al-Maghary yang
berjudul “Tatawwur al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tifl wa al-Murahiq” (perkembangan
Rasa Keagamaan pada Anak dan Remaja), bagaimana pun dapat disejajarkan
dengan karya-karya yang dihasilkan oleh ahli-ahli Psikologi Agama lainnya. Selain
itu juga, bukunya yang mulai mengkhusus kepada disiplin ilmu tertentu, seperti “Al-
Nummuwu al-Nafsy” (perkembangan kejiwaan). Kedua karya itu masing- masing
diterbitkan tahun 1955-1957.
Karya lain yang lebih khusus mengenai Psikologi Agama adalah “Ruh al-Din
al-Islamy” (jiwa agama islami) karangan Alif Abd Al-Fatah, tahun 1956. Demikian
pula pada tahun 1963 terbit buku “Al-Shihab al-Nafsiyah” karangan Mustafa Fahmi.
(Jalaluddin dan Ramayulis, 1994:10). Dan banyak lagi karya-karya ilmuan muslim
tentang Psikologi Agama. Tetapi berdasarkan konteks kejiwaan, barangkali buku
“Tatawwur al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tifl wa al-Murahiq” karya Abd Mun’im Abd
Al-‘Aziz Al-Maghary, dapat dianggap sebagai awal dari munculnya kajian Psikologi
Agama di kalangan ilmuan muslim modern.
Sejak menjadi disiplin ilmu sendiri, perkembangan Psikologi Agama dinilai
cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Hal ini anara lain
disebabkan bidang kajian Psikologi Agama mencakup pemasalahan yang
menyangkut perkembangan usia manusia, dan ternyata Psikologi Agama termasuk
ilmu terapan yang banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Tampaknya,
para ilmuan dan agamawan yang semula berselisih pendapat mengenai Psikologi
Agama, kini seakan menyatu dalam kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam
kehidupan modern ini, peran agama sangat penting. Dan pendekatan Psikologi
Agama dapat digunakan dalam memecahkan berbagai problema kehidupan yang
dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai peradaban dan nilai
moral.
1. Sumber dari kitab suci agama, seperti:
- Perjalanan hidup Sidharta Budha Gautama
- Cara Ibrahim memimpin kaumnya untuk bertauhid (QS. 6:76-78).
2. Sumber dari Barat pada akhir abad ke -19
- Charles Darwin: Origin of Species, th. 1859.
- Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium dengan memanfaatkan metode eksperi-
mental untuk studi perilaku manusia, th.1879. (kelahiran Psikologi ilmiah).
- Edwin D. Starbuck: The Psychology of Religion, th. 1899
- William James: The Varieaties of Religious Experiences, th. 1902. (kumpulan 20
materi kuliah ttg perkemb. & pengalaman beragama di 4 Univ. di Skotlandia.
(Awal kelahiran Psikologi Agama).
- R.A. Nicholson: Studies in Islamis Mysticism, th. 1921, (aliran2 sufi Islam).
- Robert H. Tholless: An Introduction to The Psychologyof Religion, th.1923
3. Sumber dari Timur
Klasik: - Muhammad Ishaq ibn Yassar: Al-Syiar wa al-Maghazi, abad 7
- Abu Bakr Muhammad ibn Abd al-Malin ibn Tufail (1106-1185 M):
Risalah Hay ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah.
- Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1059-1111 M): Ihya Ulum al-Din
dan Al-Munqiz Min al-Dhalal
Modern: - Abd Mun’im abd ‘Aziz al-Maghari: Tatawwur al-Syu’ur al-Diny
‘Inda al-Tifl wa al-Murahiq, th 1955.
4. Sumber dari Indonesia
- Zakiah Daradjat: Ilmu Jiwa Agama, Agama dan Kesehatan Mental, th .1970.
- Hasan Langgulung: Teori2 Kesehatan Mental, 1986.
Tidak masuk bahasan
METODE DALAM PSIKOLOGI AGAMA
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh sekedar
menjadi lambang kesalahan atau terhenti sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan
secara konseptual menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama
yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan
pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual
dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Pendekatan Psikologi merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-
aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar
ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui. Akan tetapi, usaha
untuk menemukan esensi dan menentukannya sebagai suatu pemahaman sering kali sia-sia.
Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya, harus pula diteliti dan
inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Menurut Zakiah Darajat perilaku seseorang yang tampak lahiriyah terjadi karena
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-
istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME., sebagai orang yang shaleh, orang yang berbuat baik, orang yang shidiq
(jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan
agama. Dalam ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan seseorang
juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan nilai-nilai agama ke dalam jiwa
seseorang sesuai dengan tingkatan usianya.
Menurut Zakiat Darajat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama
meliputi kajian mengenai:
1. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan
beragama orang umum. Misalnya; rasa lega dan tentram sehabis sembahyang.
2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya,
seperti, rasa tentram dan kelegaan hati.
3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah
mati (sesudah akhirat) pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran serta perasaan orang terhadap kepercayaan yang
berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh
terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
Pendekatan psikologi tidak untuk membuktikan benar tidaknya suatu agama tetapi
hakikat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana perilaku dan
kepribadiannya mencerminkan kepercayaannya. Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan
dan ada yang tidak, apakah kepercayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar
naluri akibat terjangan cobaan hidup dan pengalaman hidupnya.
Sebagai salah satu cabang dari psikologi metode Psikologi agama berusaha untuk
menjelaskan pekerjaan pikiran dan perasaan seseorang terhadap agama serta pengaruh agama
tersebut terhadap perilaku seseorang.
Metode psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu agama karena ilmu
pengetahuan tidak memiliki teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik
sekarang maupun waktu yang akan datang. Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah
empirical science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan
menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati dengan pola
indra manusia pada umumnya, atau dapat di alami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat
Tuhan, wahyu, Setan dan faktor gaib lainnya tidak dapat diamati orang umum dan tidak
semua orang mampu mengalaminya.
Studi psikologi terhadap agama sebenarnya meliputi dua macam kegiatan yaitu : kegiatan
pengumpulan dan klasifikasi data, kegiatan menyusun dan menguji berbagai keterangan.
Penelitian psikologik dapat dianggap sebagai suatu sistem yang diarahkan kepada
pemahaman terhadap apa yang diperbuat, dipikirkan, dan dirasakan oleh manusia. Metode –
metode ini mencakup penggunaan metode statistik (seperti analisis faktor), penggunaan tes
psikologi , berbagai penelitian dengan berbagai kuesioner yang dialamatkan kepada berbagai
kelompok masyarakat, kajian sejarah kasus terhadap orang-orang tertentu dan sebagainya.
Kadang-kadang data untuk penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi dalam bentuk
cetakan, misalnya biografi atau otobiografi.
Kita dpt menggunakan metode beragam tergantung kepentingan dan jenis data yang
diperlukan.