Anda di halaman 1dari 26

II

PSIKOLOGI AGAMA

A. PENGERTIAN PSIKOLOGI AGAMA


1. Pengertian Psikologi
a. Pengertian psikologi secara etimologi:
- Psikologi berasal dari B. Inggeris, psyche ( ji wa) dan logos (ilmu).
- Dalam B. Arab dikenal dengan Ilmu al-Nafs (Ilmu Jiwa).
a. Pengertian psikologi secara terminologi
1). Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), (Plato, 427-347 SM.)
Kesadaran & proses mental yg berkaitan dgn jiwa (Aristoteles, 384-322 SM.).
2). Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran,
perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. (Wilhelm Wundt).
3). Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku
kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya.
(John Watson).
Psikologi adalah ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. (Robert
H. Thouless. Psikologi Agama, 1992, h. 13).

Pengertian pertama bernuansa filosofis dengan penekanan pada konsep jiwa di dalam
merumuskan hake kat jiwa d gn pendekatan spekulatif. Kelebihannya dapat mencerminkan
hakekat psikologi yang sesungguhnya, sedang kelemahannya belum mampu membedakan
antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris.
Pengertian kedua memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi. Fokus
kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan,
dan ingatan.
Pada pengertian ketiga fokus kajian psikologi adalah gejala-gejala jiwa yang diketahui
melalui penelaahan perilaku organisme. psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-
fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa
tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.
Secara umum, psikologi mempelajari gejala-gejala jiwa manusia yang berkaitan
dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi). Dengan demikian
ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia.

2. Definisi agama
a. Definisi secara bahasa
- Agama berasal dari B. Senksekarta, a (tidak) dan gam (pergi).
a (tidak) dan gama (kacau).
Dalam B. Semit/B. Arab disebut al-Din, dan dalam B. Inggeris disebut Religion.

b. Definisi secara istilah


Harun Nasution mengumpulkan definisi agama:
1). Pengakuan terhdp adanya hub. manusia dgn kekuatan gaib yg harus dipatuhi.
2). Pengakuan terhadap adanya yang menguasai manusia.
3). Pengakuan terhadap adanya sumber yang berada di luar manusia yang mem-
pengaruhi perbuatan manusia.
4). Kepercayaan terhdp suatu kekuatan gaib yg menimbulkan cara hidup tertentu.
5). Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
6). Pengakuan terhdp adanya kewajiban yg diyakini berasal dari kekuatan gaib.
7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan takut terhadap
kekuatan misterius yang ada di alam sekitar manusia.
8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.

Kesulitan mendefinisikan AGAMA karena,


a. Etnosentrisme (beragama diterima secara mendalam dan dialami secara subyektif)
b. Kompleksitas (hanya menangkap sebagian realitas),
c. Keragamaman (ada ribuan agama). J. H. Leuba dlm A. Psykhological Study of
Relegion: mengumpulkan 48 definisi.

3. Unsur-Unsur/dimensi agama:
C.Y. Glock dan R. Stark dalam American Piety: The Nature of Religious
Commetment (1968) menyebutkan ada 5 (lima) dimensi keberagamaan, yaitu:
a. Dimensi Ideologis
b. Dimensi Ritual
c. Dimensi Konsekuensial
d. Dimensi Eksperiensial/Emosi/perasaan beragama
e. Dimensi Intelektual

Menurut Jamaluddin Ancok kelima dimensi itu tidak hanya dari dimensi ritual saja,
tapi juga dimensi lain. Rumusan itu dapat disejajarkan dengan dengan konsep Islam.
a. Ideologis/akidah/iman
b. Dimensi Ritual/Ibadah
c. Dimensi Konsekuensial/Akhlak

L. B. Brown dalam Psychology and Religion menyebut 5 (lima) dimensi agama secara
kejiwaan yaitu:
a. Tingkah laku/praktek keagamaan (behaviour).
b. Renungan suci dan iman (belief).
c. Perasaan/pengalaman/experience).
d. Keterikatan dengan jamaah (involvement).
e. Pandangan agama dalam tingkah laku yang non agama dan moral.

Ada dua tingkat pengalaman beragama, yaitu:


1. Agama pd tingkat personal berkaitan dengan apa yang diimani secara pribadi,
bagaimana fungsinya, pengaruhnya, apa yang dipikirkan, yang dirasakan dan yang
dilakukan, misalnya seorang pejabat yang menangis di depan ka’bah menyesali
“perbuatan”nya.
2. Agama pd tingkat sosial berkaitan dgn kegiatan kelompok sosial keagamaan, contoh
pada acara asyura, haji, natal dll.

Menurut Willian James: Sikap dan perilaku keagamaan dapat dikelompokkan 2 tipe:
1. Jiwa yang sehat (healthy-mindedness), sikapnya positif, optimis, bahagia, spontan,
cirinya penuh gairah, terlibat bersemangat tinggi dan meluap dengan vitalitas. Secara
sadar terlibat di dalam kehidupan beragama.
2. Jiwa yang sakit (sick soul), ditemui pada org yg pernah mengalami latar belakang
keagamaan yg terganggu, mereka menyakini agama yg dia anut karena adanya
tekanan batin yang mungkin diakibatkan musiabah, konflik batin, dll. sikapnya
negatif, penyesalan, penyalahan diri, murung, tertekan, cirinya dingin, menyerah
pasrah tanpa emosi tak bersemangat dan plegmatis. Penghayatan agama secara formal
dan berdasar kebiasaan.

Menurut Gordon W. Allport, hubungan agama dengan prasangka:


1. Agama Intrinsik (tdk berprasangka) memandang agama sbg seluruh hidup
seseorang, sebagi faktor pemadu. Agama dihayati. Sehingga tercipta lingkungan yg
penuh kasih sayang.
2. Agama Ekstrinsik (berprasangka), memandang agama sbg sesuatu yang
dimanfaatkan, bukan utk kehidupan. Ia hanya melaksanakan bentuk luar agama,
walaupun ia salat, puasa, dll. tapi karena motif2 tertentu. Cara beragama ini erat
kaitannya dengan penyakit mental. Tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh
kasih sayang, tapi kebencian dll.
Contoh: dimensi penting ajaran agama: Sialturrahim ajaran yg kedua setelah bertakwa
(QS. 4:11). Ketika Allah menciptakan kasih sayang, Dia berfirman: Aku al-Rahman,
Aku berikan kepadamu nama-ku. Siapa yang menyambungkan, Akupun akan
menyambungkan dir-Ku denganmu. Siapa yg memutuskan, Akupun akan memutuskan
diri-Ku denganmu.
Suatu hari disampaikan kpd Nabi ttg seseorang yg selalu salat di malam hari dan
berpuasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Nabi
Muhammad menjawab singkat: Ia di neraka. (Ini secara ektrinsik beragama, tetapi
secara intrinsik tidak beragama.

Pendekatan agama:
1. Pendekatan substansi agama adalah beragama seperti apa yang dipercaya orang dan
umat dari agamanya
2. Fungsional agama adalah tentang apa peran agama dalam kehidupan individu dan
masyarakat?

Psikografi Agama adalah peta keagamaan yang terdiri dari 5 dimensi.


1. Ideologis: a) Keperc. terhdp esensi agama, b). Keperc. yg berkaitan dengan tujuan
Ilahi mencipt. manusia, c). Keperc. terhdp cara terbaik utk mencapai tujuan dimaksud.
2. Ritualistik: prilaku khusus dalam agama seperti tata cara ibadah
3. Eksperiensial: perasaan keagamaan yg dialami penganut agama (pengalaman beragama)
4. Intelektual: informasi khusus, Fikih yg berisi fatwa ulama tentang ritus2 keagamaan.
5. Konsiekuensial: akibat dari pelaksanaan ajaran agama.

Hubungan iman dan pengetahuan:


1. Iman berpengatahuan
2. Iman buta
3. Penolakan berpengatahuan
4. Penolakan buta.

Hubungan iman dan pelaksanaan ajaran agama:


1. Mukmin konsisten (ada iman dan amal)
2. Munafik ( tdk ada iman tapi beramal),
3. Agnostik moral (tidak beriman tapi beramal baik)
4. Non-mukmin konsekwen (tidak beriman dan tidak beramal).

Definisi Psikologi Agama adalah cabang psikologi yang meneliti dan menelaah
kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh
keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada
umumnya. (Zakiah Daradjat).
Di samping itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan tersebut.
Tegasnya Psikologi Agama mempelajari dan meneliti fungsi2 jiwa yang memantul
dan memperlihatkan diri dalam perilakudan kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman
agama.
(Zakiah Daradjat).
Psikologi agama dihubungkan dengan dua bidang pengetahuan yang berlainan.
Sebagian tunduk kepada psikologi, sebagian lagi tunduk kepada agama.

B. Ruang Lingkup
Psikologi dan agama secara bersama menemukan jawaban atas pertanyaan sederhana:
apa yang dipelajari bila orang menyelidiki agama?, Maka secara ringkas yang menjadi ruang
lingkup pembahasan yang disepakati adalah:
1. Kesadaran beragama ( religious counciousness) yaitu bagian/segi agama yang
hadir (terasa) dalam pikiran dan merupakan aspek mental dari aktifitas agama.
2. Pengalaman beragama (religious experience), yaitu unsur perasaan dlm kesadaran
beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan
tindakan.
Dari 2 hal di atas, ruang lingkup kajian psikologi agama meliputi:
a. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut
menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan
tentram sehabis shalat; rasa lepas dari ketegangan bathin sesudah berdoa
atau membaca ayat-ayat suci; perasaan tenang, pasrah dan menyerah
setelah berdzkir dan ingat kepada allah ketika mengalami kesedihan dan
kekecewaan.
b.  Bagaimana pengalaman dan perasaan seseorang secara individual
terhadap tuhannya, misalnya rasa tentram dan kelegaan bathin.
c.  Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan
adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
d.  Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap
kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka, serta dosa dan
pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya
dalam kehidupan.
e.  Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang
terhadap ayat-ayat suci untuk kelegaan bathinnya. (Zakiah Daradjat: Ilmu
Jiwa Agama, 1970, h. 3-6).
Psikologi Agama hanya meneliti fungsi2 jiwa yang memantul dan memperlihatkan
diri dalam perilaku dalam kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman agama. Tapi tidak
mencampuri segala bentuk permasalahan yang menyangkut pokok keyakinan suatu agama,
termasuk benar-salah, masuk akal-tidak, dll.
Sebagai ilmu terapan, Psikologi agama banyak memberikan sumbangan dalam
memecahkan persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya.

C. PERANAN AGAMA DALAM KEHDUPAN


1. Fungsi agama bagi manusia
a. Agama sebagai petunjuk bagi manusia
Kebutuhan manusia terhadap hukum yang bernilai absolut hanya dapat dipenuhi bila
ia datang dari yang absolut juga, yaitu hukum yang datang dari tuhan yang maha esa.
Yang kemudian disebut agama. Jadi tampak jelas bahwa agama merupakan
kebutuhan yang primer bagi manusia itu sendiri dan demi terselenggaranya
ketertertiban dan peradapan manusia sebagai suatu kelompok ummat. Maka agama
dapat dilihat sebagai hidayah yang diterima manusia dari tuhan, sebab dengan jalan
hidayah itulah manusia dapat menemukan nilai-nilai yang dibutuhkan secara fitrawi
sebagai sarana dan petunjuk dalam mewujudkan ketertiban dan mengembangkan
peradapan di bumi ini.
b. Agama sebagai motivasi perbuatan moral
Iman adalah landasan dan motivasi bagi manusia, ia tidak sekedar mempercayai
hukum-hukum tuhan semata, tetapi juga mengamalkan dalam kehidupan yang nyata,
kedudukan iman sebagai motivasi perbuatan moral yakni perbuatan yang sesuai
dengan tuntunan hukum tuhan adalah dengan melihat kedudukan iman yang berada
dilubuk hati manusia.1[10]
d. Agama dan kesehatan mental
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik
yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun
untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan
kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin
yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini
merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian
dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).2[11]

2.  Fungsi Agama Dalam Kehidupan Individu


a. Agama sebagai sumber nilai dalam menjaga kesusilaan
Dalam ajaran agama terdapat nilai-nilai bagi kehidupan manusia nilai ini dijadikan
acuan dan sekaligus sebagai petunjuk. Firman Allah dalam al-Quran: “Kitab (al-
Quran) tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yg bertakwa”. (Q.S. al-
Baqarah).
Sebagai petunjuk agama menjadi kerangka acuan dalam berfikir, bersikap dan
berperilaku individu dan masyarakat sejalan dengan keyakinan yang dianutnya.
Elizabeth K. Notingham menyatakan bahwa setiap individu (dalam pengembangan
kepribadiannya) tumbuh menjadi dewasa melalui sistem nilai sebagai tautan umum
untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat.
b. Agama sebagai sarana untuk mengatasi frustasi
Manusia memerlukan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Secara fisik seperti
makan, pakaian, istirahat dan seks. Juga kebutuhan psikis seperti keamanan,
ketenteraman, persahabatan, penghargaan dan kasih sayang. Tapi bila kebutuhan itu
tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kekecewaan, bahkan frustasi.
c. Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya agama ada dua macam, yaitu:
1). Ketakutan yang ada objek. Ketakutan ini lebih mudah diatasi.
2). Ketakutan yang tidak ada objek. Ketakutan yang sulit diatasi. Ketiadaan objek ini
sulit diteliti, namun bisa dilihat dari gejala-gejalanya, umpama gejala malu, rasa
bersalah, takut kecelakaan, rasa bingung dan takut mati. Untuk mengatasi
ketakutan tersebut orang biasanya menbutuhkan tempat perlindungan dari rasa
1
2
takut, misalkan di saat terjadi gempa atau tsunami, sebagian orang pergi rumah
ibadah untuk minta pertolongan dan perlindungan kepada YMK.
d. Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan
Agama mampu memberikan jawaban eksistensial dan psikologis, yaitu keinginan
dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan yaitu dari mana manusia
datang dan apa tujuan manusia hidup, dan mengapa manusia ada dan ke mana
manusia kembali setelah mati.

3. Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat


Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Dalam
prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:
a. Berfungsi Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut
memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Secara yuridis ajaran agama
berfungsi menyuruh dan melarang, mengarahkan, membimbing pribadi penganutnya
menjadi baik menurut ajaran agama masing-masing.
b. Berfungsi penyelamat
Keselamatan yang diberikan agama meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat, yang
diberikan oleh sesuatu yang disebut supernatural/Tuhan.
c. Berfungsi sebagai perdamaian
Para penganut agama yang berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui
tuntunan agama. Rasa bersalah/berdosa dapat hilang dari batin apabila seseorang
yang bersalah telah menebus dosanya dengan bertaubat.
d. Berfungsi sebagai sosial kontrol
Ajaran agama dianggap penganutnya sebagai norma-norma dalam kehidupan,
sehingga agama berfungsi sebagai pengawas baik secara individu maupun
kelompok.
1). Secara instansi agama merupakan norma yang harus dipatuhi oleh penganut.
2). Secara dogmatis/ajaran mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis
(kenabian).
e. Berfungsi sebagai pemupuk solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan memiliki kesamaan dalam
satu kesatuan iman. Rasa kesatuan iman ini dapat menimbulkan solidaritas dalam
kelompok maupun perorangan , yang kadang dapat membina persaudaraan yang
kokoh. Pada beberapa agama dapat diwujudkan dalam bentuk harga menghargai
dalam agama.
f. Berfungsi tranformatif
Ajaran agama dapat merubah kehidupan seseorang atau kelompok menjadi
kehidupan baru sesuai ajaran agama yang dianutnya Kadang mampu
mengubahkesetiaannya kepada adat dan norma yang dianutnya sebelumnya.
g. Fungsi kreatif
Ajaran agama mendukung segalah usaha/ibadah manusia yang bersifat ukhrawi dan
bersifat duniawi, yang bercorak ritual seperti shalat, puasa dan sebagainya dan yang
bercorak non ritual seperti gotong royong, menyantuni fakir miskin, membangun
rumah sakit dan lain sebagainya, asal tidak bertentangan dengan norma-norma
agama dan dilakukan dengan ikhlas.

4. Fungsi agama dalam menghadapi krisis modernisasi


Secara historis, modernisasi merupakan perubahan-perubahan masyarakat yang
bergerak dari keadaan yang tradisional/pra modern. proses perubahan itu didorong oleh
berbagai usaha masyarakat dalam memperjuangankan harapan dan cita citanya, yaitu
perubahan hidup lebih baik karekteristik yang umum dari modernisasi adalah
menyangkut berbagai bidang tradisi sosial kemasyarakatan, IPTEK, kependudukan dan,
mobilitas sosial. berbagai bidang tersebut berproses sehingga mencapai pola-pola
perilaku baru yang berwujud pada kehidupan masyarakat modern.
Gerakan modernisasi pada dasarnya merupakan gerakan sosio-kultural yang mengarah
pada upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi (economic welfare) namun pada
perkembangan realitas berikutnya, tidak semata perubahan ekonomi, tetapi juga
perubahan aspek sosio-kultural termasuk aspek politik dan keagamaan.
Nilai tradisional dan nilai religius kehilangan daya legitimasinya dan terpinggirkan.
Akibatnya masyarakat modern mengalami berbagai krisis. Untuk itulah agama sangat
berperan penting.
a. Agama berfungsi untuk mengatasi krisis spiritual
Dalam berapa dekade terakhir ini banyak orang tertarik kembali melihat ajaran
agama. Ketertarikan orang pada ajaran agama berdasarkan asumsi:
1). Agama dapat dijadikan dasar untuk mendesain peradaban modern dengan
hubungan manusia dengan tuhannya melalui istrumen/media salat, puasa zakat,
haji, doa, dll.
2). Ajaran agama sebagai alat pengendali/pengontrol terhadap kehidupan manusia.
Agama dapat menjaga dimensi kemanusian dari sekularisasi dan westernisasi
yang ikut bergabung dengan proses modernisasi.
b. Agama berfungsi untuk menanggulangi materialistik
Implikasi lain dari modernitas adalah pemujaan terhadap IPTEK.
Kebanyakan manusia menjadikan alat ukur kesuksesan di bidang material. Manusia
bekerja keras melakukan penyesuaian diri dengan trend modern hingga ia
diperbudak oleh materi. Semua ini membuat ketegangan perasan (tension),
kegelisahan tidak jelas pangkalnya sehingga manusia merasa jauh kegembiraan dan
kebahagiaan.

5. Fungsi agama dalam membangun


Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:
a. Sebagai Ethos
Agama mampu memberikan tatanan nilai dan norma sebagai pedoman tingkah laku,
sehingga segala bentuk perbuatan individu maupun masyarakat berada dalam suatu
garis yang serasi dengan ajaran agama dan akhirnya akan terbina suatu kebiasaan
dan perilaku yang agamis, yang dapat dijadikan acuan untuk pembangunan.
b. Sebagai motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang
atau kelompok untuk mengejar tingkat hidup yang lebih baik. pengamalan agama
tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam meningkatkan mutu kehidupan
tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan.

 Secara psikologis, agama bisa menenteramkan, menenangkan, dan membahagiakan


kehidupan jiwa seseorang. Dan secara moral, agama menunjukkan tata nilai dan
norma yang baik dan buruk, dan mendorong manusia berperilaku baik.

D. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam


Tidak seorang pun bisa mengingkari peranan agama dalam perjalanan sejarah
kehidupan manusia. Karen Amstrong ketika melakukan studi ekstensif  menjelaskan dalam
bukunya “The History of God” menyatakan bahwa lika-liku kehidupan manusia selama 4
melenium mencari tuhan, secara sengaja ataupun tidak sengaja, tidak mampu menghancurkan
anggapan bahwa agama adalah salah satu sumber kekuatan yang paling dahsyat dalam
kehidupan manusia. Sosialisasi pengalaman iman dalam kehidupan sehari-hari didapatkan
sesuai dengan pengalaman iman masing-masing. Agama memiliki keunikan masing-masing
yang tampak dengan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam berhubungan dengan yang
Ilahi.
Tak dapat dielakkan bahwa manusia sebagai homo relegius yang memiliki fitrah
beragama menatap agama sebagai hal terdekat yang melekat kuat di dalam dirinya. Di
sekelilingnya sulit ditemukan orang yang tak beragama walaupun ada juga hal tersebut
(Atheis). Kita juga dapat memahami agama yang kompleks sekalipun. Melalui berbagai
bentuk pendekatan diantaranya pendekatan teologi, namun perlu diketahui bahwa pendekatan
yang paling efektif dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lainnya adalah
pendekatan psikologi. ”Man ‘arofa nafsahuu faqat’ arafa Rabbahu”  barang siapa
mengetahui siapa dirinya maka ia akan tahu siapa tuhannya. Dalam kalimat arofaa nafsahuu
mencerminan tentang ilmu psikologi itu sendiri, sadangkan  arafa Rabbahu memberi
gambaran tentang hakikat tuhannya.

Memang manusia merupakan makhluk unik yang memiliki akal yang dengannya
dapat memahami mana yang benar dan mana yang salah dengan berfikir bagaimana
penciptaan alam, manusia dan mahluk-mahluknya. Ini baru bersyukur dari segi etimlogi.
Sedangkan dari sudut psikologi yaitu berpikir bagaimana Allah menggerakkan tangan kita.
Mengalirkan darah dari jantung yang tak pernah berhenti sampai hayat terangkat dari
jasadnya.

Psikologi itu sendiri memperkuat agama itu sendiri dengan berbagai penelitian dan
studi yang menyangkut hal tersebut. Dan psikologi tersebut tidak memperlakukan agama itu
dengan sesuatu yang saklar maupun transcendental. Dan agama adalah seperangkat atau alat
yang dijadikan sebagai pedoman hidup.

Sebenarnya agama itu sendiri sudah ada sejak kita dilahirkan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa agama adalah faktor bawaan. Dan kematangan jiwa beragama tidak
terlepas dari kematangan kepribadian, akan tetapi kematangan kepribadian belum tentu
diikuti kematangan agama. Mungkinsaja seseorang yang tidak mempunyai agama memiliki
kepribadian yang baik.

Psikologi agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari perilaku beragama, baik
sebagai individu (aspek individuo-psikologis) maupun secara berkelompok/anggota-anggota
dari suatu kelompok (aspek sosio-psikologis). Aspek psikologis dari perilaku beragama
berupa pengalaman religius yang menyangkut pengalaman dan kesadaran beragama.
Dalam metode ini dikaji aspek batin dari pengalaman agama individu maupun
kelompok.  Di dalam metode ini dikaji interrelasi dan interaksi antara agama dengan jiwa
manusia. Kajian psikologis ini meliputi masalah penyataan (wahyu), iman, pertobatan, suara
hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah, pengakuan dosa, pengampunan, kekhawatiran,
kebimbangan, penyerahan diri, dan sebagainya.  

E. Hubungan Psikologi Agama dengan Perbandingan Agama


Ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang mempelajari tentang agama, sistem
keyakinan, pribadatan, dan kelembagaan agama secara ilmiah dengan pendekatan holistik
(secara menyeluruh, beragam). Mukti Ali  berpendapat bahwa ilmu perbandingan agama
adalah  salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala
keagamaan dari suatu kepercayaan (agama) dalam hubungan dengan agama lain. Pemahaman
ini mencakup persamaan dan perbedaannya. Selanjutnya dengan pembahasan tersebut,
struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan manusia dan pentingnya bagi hidup dan
kehidupan di pelajari dan dinilai.
Perbandingan Agama yang dimaksud disini yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan
yang beusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan dalam
hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan, juga perbedaan. Dari
pemahaman yang sedemikian itu struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan dan
pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang itu akan dipelajari dan dinilai..
Ilmu Perbandingan Agama akan menguraikan tentang berbagai cara yang
dipergunakan orang untuk mencukupi keperluannya akan agama itu dan berbagai cara yang
digunakan untuk menunaikan keharusan-keharusan sesuai dengan kodratnya manusia.
Perbandingan agama itu sendiri tidak akan menilai akan cara-cara yang dipergunakan itu
betul atau salah.
Sehingga dapat dipahami bahwa Ilmu Perbandingan Agama tidak hanya
membanding-bandingkan agama saja, tetapi juga melakukan kajian historis, fenomenologis,
atau secara umum melakukan kajian yang bersifat ilmiah atau scientific. Hal itu akan semakin
jelas setelah dibahas mengenai metode-metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan
Agama.
Psikologi agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari perilaku beragama, baik
sebagai individu (aspek individu-psikologis) maupun secara berkelompok/anggota-anggota
dari suatu kelompok (aspek sosio-psikologis). Aspek psikologis dari perilaku beragama
berupa pengalaman religius, seperti:
1. Ketika seseorang berada dalam puncak spiritual, seperti Mi’rajnya Nabi menghadap sang
Kholiq, atau ketika seseorang Muslim khusyu’ dalam sholatnya, atau orang kristiani dalam
doa dan nyanyian.
2.  Ketika seseorang menerima wahyu/ ilham/ mendengarkan suara hati, ketika
berkomunikasi dengan sang  Kholiq, yang ilahi dan supranatural.
Dalam metode ini dikaji aspek batin dari pengalaman agama individu maupun
kelompok.  Di dalam metode ini dikaji interrelasi dan interaksi antara agama dengan jiwa
manusia. Kajian psikologis ini meliputi masalah penyataan (wahyu), iman, pertobatan, suara
hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah, pengakuan dosa, pengampunan, kekhawatiran,
kebimbangan, penyerahan diri, dan sebagainya.  
Beberapa contoh dari penggunaan metode psikologis misalnya: kajian agama yang dilakukan
Sigmund Freud menyimpulkan bahwa agama harus dipandang sebagai suatu gejala dari
tahun-tahun masa kecil yang hidup terus dalam kedewasaan.
HUBUNGAN PSIKOLOGI DAN AGAMA

Sigmund Freud dan Oscar Ffister


Sigmund Freud adalah bapak psikoterapi dan tokoh ateisme terbesar abad ke-20.
Freud sangat yakin psikoanalisis adalah alat untuk membasmi agama dan takhayul.
Sedangkan Ffister mengembangkan psikoanalisis spiritual (psikoanalisis melengkapi
Alkitab). Dalam kontradiksi antara keduanya, Freud menulis manifesto anti agama, “The
Future of an Illusion”. Ffister membaca buku itu dengan gembira, lalu membalasnya dengan
artikel kecil “The Illusion of a Future”, ia menyebut tidak ada orang Kristen yang lebih baik
dari Freud. Dalam surat Freud kepada Jung: Psikoanalisis sebenarnya adalah ‘penyembuhan
melalui cinta’ (Freud: cinta: pelepasan libido).
Freud mewakili psikologi yang memusuhi agama, sains menjadi agama bagi Freud. Ia
memperluas jangkauan sains sampai ke jiwa yang paling dalam. Bagi Freud, posisi agama
adalah: Agama hanyalah ilusi, delusi, universal obsessional neourosis, proyeksi dari
keinginan masa kanak2. Karena itu katanya, agar peradaban berkembang, ia harus
meninggalkan agama dan memuja Tuhan baru, yaitu logos.
Di sisi lain, tahun 1983, The American Psychiatric Assosiation mulai memberikan
hadiah Oscar Ffister Award kepada orang yang menberikan kontribusi kepada psikiatri dalam
kemanusiaan dan spiritual. Di sini psikologi dan agama tidak lagi bertanding, tapi bersanding.
Menurut Deborah Van Deusen Hunsinger tanpa bantuan Psikologi, para tokoh agama
akan salah dalam melakukan diagnosis, karenanya tidak dapat membantu umat.
Usaha integrasi ini adalah upaya memasukkan sumbangan agama kepada psikologi dan
sumbangan psikologi kepada agama. Dalam psikoterapi, agama dan psikologi bertemu dalam
penderitaan.

Dari integrasi ke konflik


Pengaruh teori Darwin tentang evolusi mendorong Freud dan pemuka teori behavioral
berteori bahwa manusia dari segi tabiatnya sangat sama dengan keluarga hewan lainnya,
bersifat hedonistik/mencari keuntungan, menolak moral transenden dan etika universal untuk
memperbaiki prilaku manusia dan hubungan sosial. Mereka juga menerima realisme klasik
positivisme, empirisisme, dan universalisme, Hal ini dikarenakan mereka mengikuti contoh
Biologi dan Fisika. Namun hanya Psikologi dengan landasan filosofis modern yg
bertentangan dengan agama.

Kembali ke integrasi
Pada paruh kedua abad ke-20 Amerika mengalami kemakmuran material yang
mencapai puncaknya, namun haus secara spiritual. Tahun 1950-an, para terapis menemukan
pasien baru yg merasa hidup terasa kosong, semuanya tdk begitu berarti, aku merasa hampa.
Sindrum ini disebut “eksistensial neurosis”: ketidakbahagiaan yang bersumber pada
pertanyaan tentang makna.
* Psikologi Humanistik lahir di AS pada tahun 1960-an ketika kelas menengah AS
menikmati kemakmuran material dan menderita kekosongan spiritual membentuk
angkatan III bersama Psikologi Eksistensialis. (Angkatan I Psikoanalisis, lahir di Jerman
ketika sains sedang dipuja sebagai juru selamat umat manusia, Angkatan II Psikologi
Behavioristik yg lahir di Amerika ketika metode ilmiah dipercaya sebagai satu-satunya
cara mengetahui yg dpt diandalkan).
Kekosongan nilai (valuelessness) tidak mungkin didapatkan pada sains modern,
dalam pandangan Maslow sains menjadi busuk ketika mencampakkan nilai. Psikoanalisis dan
Behaviorisme menjadi sains yg berbahaya.
* Psikologi Eksistensialis, Victor Frankl pendukung fenomenologi yg sangat
menekankan pengalaman (pengalamannya bersama para tahanan di kamp konsentrasi). Ia
menekankan dimensi manusia yang paling unik:
1) keinginan utk mencari makna (man’s search for meaning)
2) agama: pencarian makna akhir (search for Ultimate meaning)
3) Eksistensi religious sense yang tertanam dalam cuncious depths.
Teknik memberikan makna ini dikenal dgn LOGOTERAPI, agama sebagai sumber makna
yang tidak pernah kering.
Menurut Kierkegaard (bapak Psikologi Eksistensialis dan Bapak Psikologi Kristen): diri
sejati (true self) bila hubungan personal dengan Tuhan gagal menjadi diri sejati disebut
keputusasaan. Di sisi lain, Eksistensialisme sekuler yang tidak mempercayai adanya Tuhan.
* Psikologi Transpersonal lahir di tengah perubahan politik, budaya dan agama
di AS pd th 1960-1970-an. (persamaan hak, pembebasan perempuan, hak kaum homo seks, di
sinilah mengalir arus spiritual yang kuat. Pernah digunakan obat terlarang untuk memperoleh
pengalaman spiritual, tapi akhirnya dilarang pemerintah. Pesona agama Timur mulai dilirik.
Graf mengambil teknik pernapasan, Beatles mempopolerkan agama Hindu, Maharishi
Mahish Yogi mengajarkan trancendental meditation.

Bentuk-bentuk Interaksi Psikologi dan Agama menurut Jones adalah:


1. Studi agama yang dilakukan para psikolog yang disebut Psikologi Agama.
2. Pengetahuan psikologis digunakan untuk membimbing pekerjaan para pastor dalam
mengayomi jamaatnya.
3. Penemuan psikologis untuk merevisi tradisi agama yang sudah ada.

Bentuk interaksi lain:


1. Interaksi Kritis-evaluatif: Peneliti menguji teori2 psikologi apakah bertentangan dengan
keyakinan agama,
2. Interaksikonstruktif: keyakinan dan pandangan keagamaan memberikan kontribusi yang
positif untuk kemajuan sains,
3. Interaksi dialogis dan dialektis:saling bantu untuk melihat kehidupan yang berbasis
pengalaman empiris.

- Psikologi Ateisme:
Nietzsche dengan teori kekafiran/theory of unbelief: menolak Tuhan dan agama
Kristen: Tuhan sudah mati. Penolakan ini didasari terhadap kelemahan ayahnya, ini karena
naluri. Teori ini ini diambil dari teori Psikoanalisis S. Freud tentang Oedipus Complex.
Membunuh ayah disublimasikan dgn membunuh Tuhan,
- Penyebab Psikologi memusuhi agama:
1. Persaingan perhatian, dalam perjalanan sejarah , keduanya telah menjadi pesaing
satu sama lain.dahulu, menurut kehidupan.
2. Pandangan psikologi yang negatif terhdp agama, Agama yang dogmatis, ortodoks,
dan taat atau yang mungkin yang kita sebut sebagai kesalehan berkolerasi sangat
signifikan dengan gangguan emosinal.
3. Pandangan agama yg negatif terhadap psikologi, Arogansi psikolog seperti Ellis
mengundang reaksi yang keras dari pihak agama. William Kilpatrick menyesal para
agamawan yang mencampurkan atara psikologi dengan agama.
4. Keyakinan agama para psikolog, Sejalan dengan sains dan teknologi, sekularisasi
perlahan lahan menyeret agama kepinggiran kehidupan dibarat, eropa lebih cepat
sekuler ketimbang Amerika
Di Eropa, frekuensi pergi ke gereja dan terlibat dalam kegiatan Agama menurun sekali pada
setengah abad terakhir ini dan paling rendah. Sekarang ini gereja-gereja Kristen hampir
kosong di Eropa Utara,”kata Hoge (1997: 23). Begitupun di Amerika.

PSIKOLOGI VERSUS AGAMA

- Agama menurut para Psikolog sekuler


1. JAMES LEUBA: Agama sebagai irrasional dan patologi, Leubaia memusuhi agama.
Menurutnya, pengalaman keagamaaan kaum mistikus bersifat naif dan hayal,
penjelasannya tentang agama seperti pada proses patologis, termasuk epilepsi, histeria,
neurastenia dan intoksikasi narkoba. Menurutnya, banyak ajaran agama yang bermutu
rendah dan tidak masuk akal. Pada pandangan agama yang konservatif dapat
menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
2. B. F. SKINNER: Agama sebagai perilaku yang diperteguh. Skinner menambahkan
jenis pelaziman yang disebutnya operant conditioning. Subjeknya burung merpati.
Skinner menyimpannya pada sebuah kotak untuk dapat diamati. Merpati dibiarkan
bergerak sekehendaknya. Suatu saat kakinya menyentuh tombol kecil pada dinding
kotak. Makanan keluar dan merpati bahagia. Mula-mula merpati itu tidak tahu
hubungan antara tombol kecil pada dinding dan datangnya makanan. Kemudian,
merpati tidak sengaja menyentuh tombol dan makanan turun lagi. Sekarang, bila
merpati ingin makan, ia mendekati dinding dan menyentuh tombol. Sikap manusia
seperti itu pula. Jika setiap anak menyebut kata yang sopan, kita segera memujinya,
anak-anak itu kelak akan mencintai kata-kata sopan dalam komunikasinya. Jika pada
waktu mahasiswa membuat prestasi yang baik kita menghargainya dengan sebuah buku
yang bagus, mahasiswa akan meningkatkan prestasinya. Proses memperteguh respon
yang baru dengan mengasosiasi-kannya pada stimuli tertentu berkali-kali itu disebut
peneguhan (reinforcement). Pujian dan buku dalam contoh tadi di sebut peneguh
(reinforce).
3. GEORGE VETTER: Agama Sebagai respon pada situasi tak terduga. Menurut Vetter,
agama tidak punya nilai untuk memberikan keselamatan. Ia menulis secara khusus
sebuah buku untuk menganalisis agama secara behavioral dengan semangat yang lebih
mengebu-gebu ketimbang Leuba dan Skinner. Vetter menjabarkan berbagai alasan
untuk penilaiannya yang negatif terhadap agama; konsepsi naïf tentang Tuhan yang
bersifat antromorpis; peperangan dan kebiadapan lainnya yang dilakukan atas nama
agama sepanjang sejarah; keterbelakangan pengetahuan para tokoh agama berkenaan
dengan masalah-masalah sosial; kegagalan iman keagamaan dalam menunjukkan
hubungan empiris yang konsisten dengan perilaku moral (kadang-kadang keimanan
secara positif mendorong orang untuk berbuat baik dan memberikan pertolongan, tetapi
juga secara negatif mendorong orang untuk melakukan penghianatan dan kejahatan);
korelasi institusi agama dalam bidang sosial politik dan penghamburan kekayaan
sumber daya termasuk uang, waktu, dan tenaga manusia yang dilakukan oleh institusi
agama.
4. SIGMUND FREUD: Agama Sebagai Pemuasan Keinginan Kekanak-Kanakan.
Menurut Freud, agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol: kepercayaan yang kuat
pada Tuhan dengan sosok Bapa dengan ritus2 wajib yang menjelimet. Freud
memperhatikan adanya sifat-sifat ritual yang tampaknya kompulsif, aura kesucian yang
meliputi ide-ide agama, dan kecenderungan orang yang beragama untuk merasa
berdosa dan takut akan hukuman Tuhan. Dari situlah Freud membandingkan unsur-
unsur ini dengan gejala obsesif neurosis, yang ia pandang sebagai mekanisme
pertahanan dalam menhadapi implus yang tidak dapat diterima.
Saripati teori Freud tentang agama (Fuller, 1968: 35-70)
a. Doktrin Agama sebagai Ilusi. Freud menegaskan agama sebagai ilusi. Kepercayaan
disebut ilusi bila pemuasan keinginan menjadi “faktor penting dalam motivasinya”.
Ilusi muncul dari imajinasi, bila seseorang menginginkan sesuatu, orang akan
membayangkan objek yang dulu pernah memuaskan kebutuhannya. Bermimpi minum
air adalah contoh berpikir primer, sedangkan mengambil segelas air adalah contoh
berpikir proses sekunder. Bermimpi tentang surga, kita ingat hari-hari bahagia. Semua
gagasan agama itu ilusi, produk imajinasi yg memberikan rasa lega dari ketegangan.
Freud mengambarkan: Hidup sulit. Teror kehidupan dan alam semesta mengancam
kita, manusia dewasa menderita karena kelemahan dan ketidakberdayaan, waktu kecil
kita pernah lemah dan tidak berdaya,walaupun takut Bapak, tetap saja bersandar pada
perlindungan dan pemeliharaannya, sikap gamang terhadap bapak itu sangat penting
dengan psikologi agamanya Freud. Keperluan seorang anak akan perlindungan bapak
dibangkitkan kembali karena perasaan tak berdaya. Masa kanak-kanak dan dewasa,
kelemahan dan ketakberdayaanya, berkaitan secara fundamental. Situasi tak berdaya
ketika dewasa hanyalah kelanjutan dari prototipe kekanak-kanakan yang ditakdirkan
sepanjang hidup kita.
b. Hakikat Keinginan. Menurut Freud, sebagian anak belajar membangun hubungan
personal dengan seorang. Ketika dewasa kita mempersonifikasikan daya-daya alam
yang mengancam, yang dinisbatkan kepada watak bapak yang kita ubah menjadi
Tuhan, meneladani bapak. Kekuatan alam yang perkasa dan bapak yang bersifat Tuhan
digabungkan. Mereka mengambil citra Tuhan yang asli seperti bapak. Manusia
diciptakan tidak dalam citra Tuhan seperti disebutkan dalam kitab kejadian, tetapi
sebaliknya. Kita tidak pernah meninggalkan bapak, sosok ilahi yang memberikan
kepuasan dan perlindungan. Sekarang, kita dapat menghubungkan diri dengan
kekuatan alam sebagai person Tuhan dan melalui ritual yang dilakukan dengan
kepasrahan.
c. Doktrin Agama. Doktrin agama lahir dari kebutuhan untuk meringankan rasa
ketakberdayaan orang dewasa. Doktrin agama seperti kehidupan sesudah mati, hukum-
hukum moral yang mengatur alam semesta, pemberian pahala terhadap perbuatan baik
dan hukuman terhadap perbuatan buruk. Apapun yang hilang dari kita di dunia ini
akan diganti ribuan kali di surga. Seperti masalah kejahatan dan makna eksistensinya.
Kematian dianggap hanya sebagai perpindahan kepada kehidupan baru yang agung.
Kebijakan, kebaikan, dan keadilan ilahi yang dinisbatkan kepada Tuhan yang
menciptakan kita. Kepercayaan seperti ini meringankan masa sulit dari ketakutan,
kekerasan, dan derita kehidupan serta menimbulkan rasa lega yang luar biasa.
d. Kegagalan Agama. Freud berkata, ajaran seperti “kamu dilarang mrmbunuh” telah
berjasa besar bagi peradaban, namun belum berhasil menciptakan kebahagian manusia.
Freud juga tidak punya alasan untuk berpendapat bahwa orang akan lebih bahagia
kalau hidupnya diatur agama; mereka juga tidak dengan sendirinya lebih bermoral.
Dalam perkembangan sejarah, agama lebih banyak mendukung tindakan tak bermoral
ketimbang tindakan bermoral.secara keseluruhan, mengikuti freud, agama sudah gagal.
e. Harga yang Harus dibayar untuk Ilusi Agama. Bagi Freud, hidup denga ilusi agama
melumpuhkan kekuatan manusia. Ia menemukan kontras yang sangat menyedihkan
antara “kecerdasan cemerlang anak yang sehat” dan “kelumpuhan intelektual dari rata-
rata orang dewasa” ini kepada pendidikan agama. Ia tidak heran menyaksikan
kelemahan intelektual pada mereka yang mengambil doktrin agam secara tidak kritis,
dengan segala kejanggalan dan kontradiksinya. Ia menemukan bahaya yang lebih besar
tidak dalam melepaskan agama, tetapi dalam berpegang teguh kepadanya.
f. Perkembangan Sikap Dewasa. Freud yakin bahwa infantilisme terbukti dapat diatasi
dalam kepercayaan agama. Orang mampu menghadapi apapun apa adanya, ketimbang
membahayakan seperti apa seharusnya. Freud menegaskan “Tuhan kita, logos akan
mencapai tujuan, akal (sains) dapat menaklukkan imajinasi/ilusi. Sejarah menunjukkan
bahwa makin banyak pengetahuan diperoleh, makin sedikit kepercayaan agama
mengendalikan seseorang. Hanya sains yang sanggup memberikan pengetahuan
tentang realitas ekternal. Hanya akal (logos) yang dapat menjadi pembimbing.
g. Doktrin Agama sebagai Delusi. Freud menganggap fenomena agama sebagai sisa-sisa
kehidupan (survival) dan kehidupan kembali (revival) masa lalu; kembalinya yang
terlupakan setelah gejala-gejala neorotis. Fenomena agama adalah sebagai gejala
psikopatologis, yang merupakan “kembalinya refresi”, asal usul kwalitas konpulsif
dalam doktri ritus dan moralitas agama. Doktrin agama, menurut Freud, adalah delusi.
Sebuah adalah gagasan yang bertentangan dengan realitas, kepercayaan yang tetap
dipegang walaupun bertentangan dengan semua bukti yang ada. Delusi, selalu
menampilkan sebagian dari kebenaran sejarah yang terlupakan. Gagasan monoteistik
tentang “Tuhan Yang Maha Esa” misalnya, adalah kembalinya masa lalu yang
direpresi, memori yang didistorsi yang untuk itu orang tidak punya pilihan kecuali
mempercayainya pada saat ia kembali. Kepercayaan kepada satu Tuhan adalah
kebenaran historis (bukan kebenaran material). Sebagai distoris kebenaran masa lalu,
kepercayaan ini adalah psikotis. Freud memandang agama tidak hanya sebagai “mass
compulsive neurotis”, tetapi juga “mass delusional psychosis”.
h. Masa Depan Agama Freud berharap bahwa akal/logos yang sudah tercerahkan akan
menggantikan agama. Akal ditakdirkan harus menggantikan rasa. Freud melihat agama
sebagai masa transisi antara masa kanak-kanak dan fase perkembangan manusia yang
dewasa. Yang menunjukkan bahwa neurosis konpulsif masa kanak-kanak, yang
disamakan dengan agama, cenderung menghilang secara serentak dalam proses
perkembangannya. Fenomena agama, kata freud, adalah “peninggalan agama”.

PSIKOLOGI PRO AGAMA

Psikologi mendekati agama:


Adanya penelitian hubungan agama dan kesehatan mental
Adanya perubahan paradigma sains
Adanya penelitian mengenai neurologi dan kesadaran

1. Thomas Agosin, Namanya Thomas Agosin. Ia tidak terkenal,tetapi ketika ia meninggal


pada 1991, pada usia 43 tahun, upacara penguburan di selenggarakan di PBB. Berpuluh
bus mengangkut orang dari berbagai kalangan, dari para pejabat kota hingga
gelandangan pecandu narkoba.
Mengapa Psikologi Mendekati Agama Penelitian Agama Dan Kesehatan Mental.
Belakangan ini, Bergin (1983) melakukan metalisis pada hasil-hasil penelitian tentang
agama dan kesehatan mental.ia menyimpulkan bahwa “jika religiusitas di korelasikan
dengan ukuran keehatan mental, dari 30 efek yang di temukan, hanya 7 orang atau 23%
menunjukan hubungan negatif antara agama dan kesehatan mental,seperti dinyatakan
oleh Elis dan lain-lain. Sebanyak 47% menunjukan hubungan positif, dan 30%
hubungan zero. Jadi, 77% dari hasil penelitian bertentangan dengan teori efek negatif
agama”. Secara singkat, Koenig (1999) melaporkan dalam bukunya, The Healing
Power Of Faith, bahwa keluarga yang religius umumnya:
a. Punya keluarga yang lebih bahagia
b. Punya gaya hidup yang lebih sehat
c. Dapat mengatasi stres
d. Hidup lebih lama dan lebih sehat
e. Terlindungi dari penyakit kardiovaskular
6. Punya sistem imun yang lebih kuat
7. Lebih sedikit menggunakan jasa rumah sakit Selain itu, khusus untuk kesehatan
mental yang menjadi perhatian para psikolog dan psikoterapis.

Agama perlu dipelajari karena 5 alasan yang dikemukakan Koenig (1998):


a. Dengan mengetahui latar belakang dan pengalaman keagamaan pasien, terapis akan
lebih memahami konflik yang terjadi pada diri pasien. Misalnya, pasien yang sedang
bergulat menghadapi perasaan bersalah tidak akan berhasil disembuhkan dengan
psikoterapi tradisional. Dengan meneliti latar belakang agama pasien, psikolog
mengetahui bahwa pasien dibesarkan dalam keluarga fundamentalis yang exstrime.
Pasien menderita karena ketakutan akan akibat dosanya.
b. Dengan mengetahui latar belakang keagamaan pasien dan peranan yang dimainkan-
nya sekarang, terapis akan dapat melakukan intervensi kognitif dan bihavioral
dengan cara-cara yang dapat diterima oleh sistem kepercayaan pasien.
c. Pengetahuan tentang komitmen, prilaku, dan kepercayaan agama pasien akan
membantu terapis untuk mengidentifikasi sumber daya agama yang sehat, yang bisa
di percaya untuk melengkapi terapi tradisional.
d. Pengalaman agama yang negatif sebelumnya, dapat merintangi pasien untuk
menggunakan sumber daya imanya dalam mengatasi persoalan hidupnya yang
sekarang. Mempelajari dan membantu pasien mengelola pengalaman negatifnya itu
dapat membebaskan dia untuk sekali lagi menggunakan sumber daya agamanya.
e. Menyentuh masalah keagamaan akan membuat pasien terkesan bahwa terapis tidak
hanya lengkap dalam penilaian diagnostiknya, tetapi juga peka pada wilayah
kehidupan pasien yang sangat bermakna. Perubahan Paradigma Sains Pada akhir
abad ke-19, pandangan dunia Newtonian digantikan oleh pandangan Dunia
Einsteinian. Asumsi ontologis bahwa ada realitas tunggal di luar kita, yang bisa kita
amati secara objektif, ditumbangkan dengan penemuan-penemuan baru dalam
mekanika kuantum. Realitas dapat dilihat sebagai fungsi gelombang yang tidak
dapat direalisasikan. Penelitian Neurologi dan Kesadaran menunjukkan bahwa
Tuhan bukanlah produk proses deduktif kognitif, melainkan “ditemukan” dalam
pertemuan mistikal atau spiritual yang diketahui oleh kesadaran manusia melalui
mekanisme pikiran yang transenden.
2. WILLIAM JAMES, Agama sebagai Jalan Menuju Keunggulan Manusia
William James boleh disebut sebagai bapak Psikologi Agama. Bukunya, The
Varieties of Religious Experience, merupakan pembahasan agama pertama yang
paling mendalam dan komperehensif. James berpendapat bahwa agama mempunyai
peranan sentral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan beragama pada
manusia, kata James, paling tidak sama menariknya dengan dorongan-dorongan
lainnya. Bahkan, sekalipun peneliti tidak aktif menjalankan agamanya, menurut
James, ia patut memberikan perhatian kepada agama sebagai suatu fenomena
penting di dalam suatu kehidupan.
3. C. G. Jung, Agama sebagai jalan menuju keutuhan,
Efek agama pada kesehatan fisik dan mental, Agama Sebagai Jalan Menuju
Keutuhan Jung terkenal karena kesimpulannya dari pengalaman merawat ratusan
pasiennya yang kebanyakan Protestan, untuk periode ke tiga puluh tahun. Jung
menyimpulkan: Diantara semua pasienku pada paruh hidupnya yang ke dua-yakni di
atas 35 tahun-tidak ada seorangpun yang masalahnya akhirnya tidak berkaitan
dengan pencarian pandangan kehidupan yang religius. Tidak salah satu di katakan
bahwa semuanya jatuh sakit karena mererka telah kehilangan apa yang di berikan
agama kepada penganutnya pada setiap abad, dan tidak seorangpun dapat betul-betul
disembuhkan kalau tidak memperoleh kempali pandangan keagamaan.

SARIPATI PANDANGAN JUNG TENTANG AGAMA (FULLER, 1994: 71-111


a. Agama. Jung mendefinisikan agama sebagai keterkaitan antara kesadaran dan proses
psikis tak sadar yang punya kehidupan tersendiri. Agama, menurut Jung, adalah
“kebergantungan dan kepasrahan kepada fakta pengalaman yang irrasional”. Agama
adalah “pertimbangan dan pengamatan yang cermat” pada “faktor dinamis”, yang
adalah “kekuasaan”; pada tenaga-tenagatak sadar-arketip; dan pada simbol-simbol
yang mengungkapkan kehidupan tenaga-tenaga ini; pada yang batiniah, yakni
“gerakan dinamis”di luar kendali kesadaran. Agama menghubungkan kita dengan
mitos abadi yang dalam proses menciptakan keserasian antara ego dan non-ego.
Agama lebih lanjut ditandai dengan cara bagaimana kesadaran diubah karena
berhubungan dengan yang batiniah. Cara untuk mencapai Tuhan, dan karena itu
mencapai keutuhan, dikatakan harus dilalui penjelajahan setiap hari dan mengikuti
kehendak Tuhan.inilah apa yang membentuk sikap agama, menurut Jung, hakikat
agama sebenarnya. Jung berpendapat bahwa kita menemukan individualitas kita yang
sejati tidak melalui praktik-praktik keagamaan kolektif, tetap melalui individuasi
(aktualisasi diri). Dengan mengembang-kan agama,”Yang memiliki karakter
individual”, menurut Jung, tidak ada pengalaman agama yang berbeda. Pengalaman
agama mendatangkan makna, vitalitas, dan kepuasan kehidupan, yang menyebabkan
segala sesuatu tampak dalam keindahan baru. Kesadaran satu sisi-rasionalisme Barat
misalnya-dapat menimbulkan perkembangan perlawanan yang berbahaya pada yang
tak sadar. Jung berkata bahwa penyerbuan dri yang tak sadar sebagai balasan tindakan
kekerasan yang dilakukan kesadaran (akal) akan menimbulkan penderitaan spiritual
yang sangat parah, intense spiritual suffering. Ketika kesadaran dikuasai, ia
berhadapan dengan bahaya dihilangkan atau dikuasai oleh yang tak sadar. Menurut
Jung, agama dan magic dibuat untuk memenuhi kemungkinan ini dan memperbaiki
kerusakan yang ditimbulkan. Agama adalah “sistem penyembuhan penyakit psikis”.
b. Simbol Agama. Sejak Pencerahan, ujarJung, agama telah dikontruksi secara rasional
sebagai sistem filsafat, yang “dicetak” dalam otak. Jung menantang pandangan ini
dengan berdalih bahwa yang menciptakan simbol-simbol agama adalah hati, daerah
tak sadar psyche-karena itulah mengapa simbol-simbol ini, datang kepada kita sebagai
“wahyu” atau revelation. Simbol-simbol agama adalah manifestasi psikis yang
“alamiah” dengan kehidupan organis dan perkembangannya sendiri selama berabad-
abad. Ia menunjukkan bahwa bahkan sekarangpun kita menemukan simbol-simbol
agama yang autentik tumbuh seperti bunga, dari alam tak sadar. Simbol-simbol ini
menampakkan dirinya baik dalam bentuk maupun isi, seakan-akan muncul dari
psyche tak sadar yang sama pada permulaan agama-agama besar dunia.
Keuniversalan dan keefektifan simbol-simbol agama di sebabkan “mengekpresikan
secara tepat” alam tak sadar yang menjadi asalnya. Kebenaran agama termasuk bagian
dari konstitusi psikologi yang esensial. Ide-ide agama yang dikodifikasikan (dogma)
berasal dari pertimbangan cermat. Makna dan pentingnya harus diserap dengan
intuisi. Melalui simbol-simbol ini, alam tak sadar kolektif membebaskan kesadaran
yang terluka karena perjuangan hidup.
c. Doktrin Agama Khutbah teologis, kata Jung, adalah mitologi, serangkaian citra
arketipal yang memberikan “gambaran yang agak tepat tentang transendensi yang tak
terbayangkan”. Jung berkata bahwa setiap ajaran agama muncul pada satu sisi atas
dasar pengalaman yang batiniah, dan pada sisi yang lain atas dasar kepercayaan pada
pengalaman itu dan perubahan yang ditimbulkannya dalam kesadaran.
d. Ritual Keagamaan. Jika doktrin adalah pernyataan simbolis, ritual adalah tindakan
simbolis. Jung melihat ritual sebagai sesuatu yang secara spontan muncul dan
mengungkapkan sumber tak sadar. Dalam ritual, kata Jung, orang meletakkan dirinya
di bawah perintah agen yang abadi dan otonom di luar kesadaran dan kategorinya.
Banyak ritual, menurut catatan Jung, mempunyai maksud untuk menimbulkan efek
batiniah. Ritual, sebagai perantara simbolis antara tak sadar dan sadar, adalah cara
yang aman untuk menghadapi tak sadar. Ritual membawa jiwa tak sadar kepada jiwa
sadar sehingga melindungi jiwa sadar dari bahaya jiwa tak sadar. Tetapi, ritual
melakukannya dengan tepat sehingga tak sadar tidak menguasai kesadaran.
e. Individuasi. Jung mendefinisikan individu sebagai proses yang membawa individu
kepada tujuan. Dari kepompong menjadi kupu-kupu, dari berudu menjadi katak, dari
anak ke dewasa. Individuasi adalah proses mengelarkan diri seperti manusia lainnya,
tetapi dengan caranya sendiri yang unik. Tugas kita dalam kehidupan, kata Jung,
adalah pada satu sisi mengaktualisasikan kemanusiaan kita secara ekstensif dan pada
sisi yang lain membedakan diri kita dari orang lain dan berdiri di atas kaki sendiri.
Individuasi mencapai tujuan akhirnya dalam mengalami apa yang di sebut jung
sebagai “pribadi”, self. Pribadi adalah keseluruhan kesadaran dan ketaksadaran,
kepribadian dalam keseluruhannya. Mencapai diri berate menggerakkan titik pusat
kepribadian dari ego yang terpecah dan terbatas kepada “titik hipotetis” antara
kesadaran dan tak sadar. Untuk mencapai diri, pusat dari kepribadian seluruhnya, ego
harus berputar di sekitarnya sebagaimana bumi berputar mengelilingi matahari.
Realitas diri lebih luas dari ego sampai tingkat yang tak terhingga sehingga ego kecil
dan sempit, “seperti lingkaran kecil di dalam lingkaran besar”. Individuasi-dalam
istilah Jung, merupakan padanan dari realisasi atau aktualisasi-diri merupakan tujuan
perkembangan biologis dan psikologis kita. Setiap kehidupan ditakdirkan sejak awal
untuk mewujudkan keseluruhan, yakni pribadi. Dengan aktualisasi pribadi,
kecenderungan awal menuju keseluruhan menjadi peristiwa psikis. Individuasi adalah
menghasilkan dan menggelarkan keutuhan yang semula bersifat potensional. Ego
bukan saja berangkat dari pribadi sebagai asal-usulnya, bukan hanya “aku” tetapi pada
“pribadi”, melainkan ego juga bergerak menuju pribadi sebagai tujuan tertingginya.
Mewujudkan diri adalah dorongan terkuat dan hukum alam yang sejati. Jung
berpendapat bahwa arketip pribadi tanpak di mana-mana dalam mitologi, dan juga
dalam fantasi individu pada abad ke-20. Pengalaman pribadi sering membawa kita
kepada pengalaman keabadian, perasaan kekekalan atau imortalitas. Pribadi berarti
kesadaran lebih tinggi. Menurut dugaan Jung, timbulnya kepribadian lebih tinggi ini
membawa orang kepada kesadaran untuk melepaskan diri dari dunia sebagai
persiapan alamiah menghadapi kematian. Proses ini terjadi pada pertengahan
kehidupan kira-kira pada usia 35 tahun. Kehidupan menjadi “hidup menuju mati”;
mati dimulai sebelum kematian itu sendiri dan mati adalah pemenuhan makna hidup.
Jung berkata bahwa agama pernah menjadi sekolah untuk orang yang berusia 40
tahun-an tetapi, sekarang ini agama tidak lagi menjalankan tugasnya. Akibatnya,
orang-orang harus memilih caranya sendiri. Paruh kedua kehidupan sama
bermaknanya dengan paruh poertama, menurut pandangan Jung, harus maknanya
berbeda. Kedua paruh ini harus di jalanio sesuai dengan maknanya masing-masing.
Akna kehidupan bagi kita terletak dalam memahami dunia ekternal, membangun
keluarga dan sebagainya. Anak muda kehilangan paruh hidupnya yang pertama jika ia
tidak bersedia menghadapi di dunia ini dan berjuan untuk kehidupannya dengan
seluruh kemampuannya. Tetapi, berkutat pada program pagi hingga kehidupan petang
kita akan menimbulkan kerusakan batiniah di dalam diri kita. Seorang tua kehilangan
paruh hidupnya yang kedua jika ia tidak mampu mendengarkan “rahasia gemercik
sungai” yang mngalir dari bukit kelembah. Dari pertengan hidup, selanjutnya
seseorang di katakana betul-betul hidup, menurut Jung, hanya jika ia bersedia “die
with life”. Untuk memandang kehidupan sebagai pemenuhan makna hidup, sebagi
tujuan yang sebenarnya dan bukan hanya akhir kehidupan, sejalan dengan “psike
kolektif” umat manusia. Jika tak sadar tidak mempersoalkan kematian, tetapi ia
berkepentingan dengan cara bagaimana kita amati, dengan cara bagaimana kita
menyelesaikan urusan kita dengan orang lain.

Sumber: https://makalahbambangriyadi.blogspot.com/2015/11/psikologi-agama.html
Sejarah Perkembangan dan Sumber Psikologi Agama
Untuk menetapkan secara pasti kapan Psikologi Agama mulai dipelajari
memang agak sulit. Baik dalam kitab suci maupun sejarah tentang agama-agama
tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak
secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi
agama banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci maupun sejarah agama.
Zakiah Daradjat (1970:12-13) menyatakan bahwa yang pertama
mengemukakan hasil penelitiannya secara ilmiah tentang agama ialah Flazer dan
Taylor. Mereka mengungkap berbagai macam agama primitif dan menemukan
persamaan yang sangat jelas antara berbagai bentuk peribadatan pada orang-orang
Primitif, seperti pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit dan
sebagainya. Hasil penelitian Frezer dan taylor tersebut telah membangkitkan
perhatian ahli-ahli untuk memandang agama sebagai suatu aspek yang dapat diteliti
dan dipelajari sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia.
Jalaluddin (2004:29) yang mengutip pernyataan Robert H Thouless (1992:29)
mengemukakan bahwa, menurut sumber Barat, para ahli Psikologi Agama menilai
bahwa kajian Psikologi Agama mulai popular sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa
itu, psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagi alat untuk kajian agama.
Menurut Robert H. Thouless, yang dikutip Jalaluddin  (2004:29-31),sejak
terbitnya buku “The Varieties of Religious Experience” (1903), sebagai kumpulan
dari materi kuliah William James di Universitas di Skotlandia, langkah awal dari
kajian psikologi agama mulai diakui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga
puluh tahun berikutnya,banyak buku lain diterbitkan sejalan dengan konsep-konsep
yang serupa. Di antara buku-buku tersebut adalah “The Psychology of religion”
(1899) karangan E.D Starbuck, yang mendahului karangan Williams James.
Kemudian disusul sejumlah buku yang lainnya seperti “The Spiritual Life” (1900) leh
george Albert Coe, kemudian “The Belief in God and Immortality” (1921) oleh J.H
Leuba. Selanjutnya Robert H Thouless, dengan judul “An Introduction to
Psychology of Religion” tahun 1923 serta R.A. Nicholson yang khusus mempelajari
aliran sufisme dalam Islam dengan bukunya Studies in Islamic Mysticism (1921).
Sejalan dengan perkembangan itu, para penulis non-Baratpun mulai
menerbitkan buku-buku mereka. Tahun 1947 terbit buku “The song of God
Baghavad Gita”, terjemahan Isherwood dan Prabhavananda, kemudian tahun 1952
Swami  Madhavananda menulis buku “Viveka Chumadami of Sancaracharya” yang
disusul oleh penulis India lainnya, Thera Nyanoponika dengan judul “The Life of
Sariptta” 1966. Demikian pula, Swami Ghananada menulis tentang Sri Rama dengan
judul “Sri Ramakrisna”, His Unique Massage” 1946.
Di tanah air sendiri tulisan mengenai Psikologi Agama ini baru dikenal sekitar
tahun 1970-an, yaitu oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang beliau
tulis untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Diluar
itu, kuliah mengenai Psikologi Agama juga sudah diberikan, khususnya di Fakultas
Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sendiri. Kedua
orang ini dikenal sebagai pelopor  pengembangan Psikologi Agama di IAIN di
Indonesia.
Di luar itu, ada sejumlah tulisan yang berkaitan dengan Psikologi Agama ini.
Tulisan tersebut dikembangan di lingkungan bidang kedokteran seperti yang
dilakukan oleh Prof. Dr. Aulia maupun K.H. SS. Djam’an yang melakukan
pendekatan dengan menggunakan ajaran agama Islam. Sedangkan, di bidang
akademik tulisan-tulisan mengenai Psikologi Agama banyak dihasilkan oleh
karangan gereja katolik.
Seperti dimaklumi, bawha psikologi agama tergolong cabang psikologi yang
berusia muda, ilmu yang berdiri sendiri memiliki latar belakang sejarah yang cukup
panjang. Selain itu, pada tahap-tahap awalnya Psikologi Agama di dukung oleh para
ahli dari berbagai displin ilmu.
Sebagai disiplin ilmu boleh dikatakan, Psikologi Agama dapat dirujuk dari
karya penulis Barat, antara lain karya Jonathan Edward, Emile Durcheim, Edward B.
Taylor maupaun stanley Hall yang memuat kajian mengenai agama dan suku-suku
primitif dan mengenai konversi agama. Sebaliknya, di dunia timur, khususnya di
wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal
serupa belum sempat dimasukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar di
abad ke 7 Masehi berjudul “Al-Syi’ar wa al-Maghazi” memuat berbagai fragmen
dari biografi Nabi Muhammad saw. (Ensiklopedi Islam, 1992:361) ataupun
“Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Ashrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat” yang ditulis oleh
Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malin Ibn Tufail (1106-1185 M).
Demikian pula karya besar Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M)
berjudul “Ihya’ ‘Ulum al-Din”, dan juga bukunya “Al-Munqidz min al-Dhalal”
(penyelamat dari kesesatan) sebenarnya, kaya akan akan muatan permasalahan yang
berkaitan dengan materi kajian Psikologi Agama.
Diperkirakan masih banyak tulisan-tulisan ilmuan muslim yang berisi kajian
mengenai permasalahan serupa, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak
sempat dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu Psikologi Agama
seperti halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuan Barat. Ada beberapa alasan yang
dapat dijadikan penyebab, yaitu:
1. Sejak kemunduran Negara-negara Islam, perhatian ilmuan terhadap kepenting-
an perkembangan ilmu pengetahuan mulai menurun, karena pengembangan
ini memerlukan biaya yang besar.
2. Sejak penyerangan bangsa mongol ke pusat peradaban Islam (Baghdad) dan
kekalahan Islam di Andalusia, terjadi pemusnahan karya para ilmuan muslim.
3. Sikap kurang terpuji dari para ilmuan Barat (terutama setelah zaman
kemunduran Islam) yang umumnya kurang menghargai karya-karya ilmuan
muslim. Seperti tulisan Nurcholish Madjid, ummat Islam yang telah dikalahkan
oleh bangsa-bangsa Eropa (barat) adalah umat yang dikagumi, ditakuti dan
dibenci (Nurcholish Madjid, 1984:55).
4. Karya-karya ilmuan muslim di zaman klasik umumnya, ditulis oleh para ilmuan
yang di zamannya dikenal dengan sebutan yang berkonotasi keagamaan seperti
mufassirin (ahli tafsir), muhaddisin (ahli hadis), fuqhaha (ahli fiqih), ataupun
ahl al-hikmat (filosof). Dengan demikian, karya-karya mereka diidentikkan
dengan ilmu-imu yang murni agama (islam) atau filsafat.

Lebih jauh, Marshall G.S Hodgson melihat hal itu disebabkan oleh faktor
intern umat Islam sendiri. Menurutnya, masyarakat Islam gagal memelopori
kemodernan karena tiga hal, yaitu:
1. Konsentrasi yang kelewat besar pada penanaman modal harta dan manusia
pada bidang-bidang tertentu.
2. Kerusakan hebat baik material maupun mental psikologis, akibat serbuan
biadab bangsa Mongol.
3. Kecemerlangan peradaban Islam sebagai suatu bentuk pemuncakan abad
agrarian membuat kaum muslim tidak pernah secara mendesak merasa perlu
kepada peningkatan yang lebih tinggi.

Setelah zaman kemunduran umat Islam secara politis, kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi dipelopori oleh barat. Dengan demikian, tidak
mengherankan jika ilmu-ilmu modern, termasuk Psikologi Agama tumbuh dan
berkembang sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, yang diakui
terinformasikan sebagai produk ilmuan barat. Dan baru Negara-negara Islam
terbebas dari kungkungan penjajah barat, secara bertahap muncul karya-karya
ilmuan muslim.
Karya penulis Muslim di zaman modern, seperti buku Al-Maghary yang
berjudul “Tatawwur al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tifl wa al-Murahiq” (perkembangan
Rasa Keagamaan pada Anak dan Remaja), bagaimana pun dapat disejajarkan 
dengan karya-karya yang dihasilkan oleh ahli-ahli Psikologi Agama lainnya. Selain
itu juga, bukunya yang mulai mengkhusus  kepada disiplin ilmu tertentu, seperti “Al-
Nummuwu al-Nafsy” (perkembangan kejiwaan). Kedua karya itu masing- masing
diterbitkan tahun 1955-1957.
Karya lain yang lebih khusus mengenai Psikologi Agama adalah “Ruh al-Din
al-Islamy” (jiwa agama islami) karangan Alif Abd Al-Fatah, tahun 1956. Demikian
pula pada tahun 1963 terbit buku “Al-Shihab al-Nafsiyah” karangan Mustafa Fahmi.
(Jalaluddin dan Ramayulis, 1994:10). Dan banyak lagi karya-karya ilmuan muslim
tentang Psikologi Agama. Tetapi berdasarkan konteks kejiwaan, barangkali buku
“Tatawwur al-Syu’ur al-Diny ‘Inda Tifl wa al-Murahiq” karya Abd Mun’im Abd
Al-‘Aziz Al-Maghary, dapat dianggap sebagai awal dari munculnya kajian Psikologi
Agama di kalangan ilmuan muslim modern.
Sejak menjadi disiplin ilmu sendiri, perkembangan Psikologi Agama dinilai
cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Hal ini anara lain
disebabkan bidang kajian Psikologi Agama mencakup pemasalahan yang
menyangkut perkembangan usia manusia, dan ternyata Psikologi Agama termasuk
ilmu terapan yang banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Tampaknya,
para ilmuan dan agamawan yang semula berselisih pendapat mengenai Psikologi
Agama, kini seakan menyatu dalam kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam
kehidupan modern ini, peran agama sangat penting. Dan pendekatan Psikologi
Agama dapat digunakan dalam memecahkan berbagai problema kehidupan yang
dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai peradaban dan nilai
moral.
 
1. Sumber dari kitab suci agama, seperti:
- Perjalanan hidup Sidharta Budha Gautama
- Cara Ibrahim memimpin kaumnya untuk bertauhid (QS. 6:76-78).
2. Sumber dari Barat pada akhir abad ke -19
- Charles Darwin: Origin of Species, th. 1859.
- Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium dengan memanfaatkan metode eksperi-
mental untuk studi perilaku manusia, th.1879. (kelahiran Psikologi ilmiah).
- Edwin D. Starbuck: The Psychology of Religion, th. 1899
- William James: The Varieaties of Religious Experiences, th. 1902. (kumpulan 20
materi kuliah ttg perkemb. & pengalaman beragama di 4 Univ. di Skotlandia.
(Awal kelahiran Psikologi Agama).
- R.A. Nicholson: Studies in Islamis Mysticism, th. 1921, (aliran2 sufi Islam).
- Robert H. Tholless: An Introduction to The Psychologyof Religion, th.1923
3. Sumber dari Timur
Klasik: - Muhammad Ishaq ibn Yassar: Al-Syiar wa al-Maghazi, abad 7
- Abu Bakr Muhammad ibn Abd al-Malin ibn Tufail (1106-1185 M):
Risalah Hay ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah.
- Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1059-1111 M): Ihya Ulum al-Din
dan Al-Munqiz Min al-Dhalal
Modern: - Abd Mun’im abd ‘Aziz al-Maghari: Tatawwur al-Syu’ur al-Diny
‘Inda al-Tifl wa al-Murahiq, th 1955.
4. Sumber dari Indonesia
- Zakiah Daradjat: Ilmu Jiwa Agama, Agama dan Kesehatan Mental, th .1970.
- Hasan Langgulung: Teori2 Kesehatan Mental, 1986.
Tidak masuk bahasan
METODE DALAM PSIKOLOGI AGAMA

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh sekedar
menjadi lambang kesalahan atau terhenti sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan
secara konseptual menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama
yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan
pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual
dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.

Seiring dengan berkembangnya ilmu agama muncullah ilmu perbandingan agama


yang bertujuan untuk memahami agama-agama yang diteliti secara ilmiah menggunakan
berbagai pendekatan, salah satunya yaitu pendekatan psikologi. Ilmu perbandingan agama
adalah ilmu yang mempelajari tentang agama, sistem keyakinan, peribadatan, dan
kelembagaan agama secara ilmiah dengan pendekatan holistik (secara menyeluruh, beragam).
Secara ilmiah berarti ilmu perbandingan agama kajiannya terhadap agama yang bersifat
induktif karena kajian terhadap agama dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-
ilmu lain, dan standar yang di gunakan secara ilmiah artinya melihat gejala agama secara
objektif

Pendekatan Psikologi merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-
aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar
ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui. Akan tetapi, usaha
untuk menemukan esensi dan menentukannya sebagai suatu pemahaman sering kali sia-sia.
Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya, harus pula diteliti dan
inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.

Menurut Zakiah Darajat perilaku seseorang yang tampak lahiriyah terjadi karena
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-
istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME., sebagai orang yang shaleh, orang yang berbuat baik, orang yang shidiq
(jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan
agama. Dalam ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan seseorang
juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan nilai-nilai agama ke dalam jiwa
seseorang sesuai dengan tingkatan usianya.

Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis ini memang berkembang dan


dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek ilmu ini adalah
manusia, dalam pengertian tingkah laku manusia yang beragama, gejala-gejala empiris dari
keagamaannya. Karena ilmu ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama,
metodenya pun tidak berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahyukan
Tuhan atau tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris
lainnya.

Menurut Zakiat Darajat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama
meliputi kajian mengenai:
1. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan
beragama orang umum. Misalnya; rasa lega dan tentram sehabis sembahyang.
2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya,
seperti, rasa tentram dan kelegaan hati.
3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah
mati (sesudah akhirat) pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran serta perasaan orang terhadap kepercayaan yang
berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh
terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.

Pendekatan psikologi tidak untuk membuktikan benar tidaknya suatu agama tetapi
hakikat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana perilaku dan
kepribadiannya mencerminkan kepercayaannya. Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan
dan ada yang tidak, apakah kepercayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar
naluri akibat terjangan cobaan hidup dan pengalaman hidupnya.

Sebagai salah satu cabang dari psikologi metode Psikologi agama berusaha untuk
menjelaskan pekerjaan pikiran dan perasaan seseorang terhadap agama serta pengaruh agama
tersebut terhadap perilaku seseorang.

Metode psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu agama karena ilmu
pengetahuan tidak memiliki teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik
sekarang maupun waktu yang akan datang. Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah
empirical science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan
menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati dengan pola
indra manusia pada umumnya, atau dapat di alami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat
Tuhan, wahyu, Setan dan faktor gaib lainnya tidak dapat diamati orang umum dan tidak
semua orang mampu mengalaminya.

Sumber-sumber pokok untuk pengumpulan data ilmiah melalui pendekatan psikologi


ini dapat diambil dari:

1. Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup


2. Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri
3. Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli
agama.

Studi psikologi terhadap agama sebenarnya meliputi dua macam kegiatan yaitu : kegiatan
pengumpulan dan klasifikasi data, kegiatan menyusun dan menguji berbagai keterangan.
Penelitian psikologik dapat dianggap sebagai suatu sistem yang diarahkan kepada
pemahaman terhadap apa yang diperbuat, dipikirkan, dan dirasakan oleh manusia. Metode –
metode ini mencakup penggunaan metode statistik (seperti analisis faktor), penggunaan tes
psikologi , berbagai penelitian dengan berbagai kuesioner yang dialamatkan kepada berbagai
kelompok masyarakat, kajian sejarah kasus terhadap orang-orang tertentu dan sebagainya.
Kadang-kadang data untuk penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi dalam bentuk
cetakan, misalnya biografi atau otobiografi.

Seorang peneliti Psikologi Agama harus bersikap obyektif, tidak memihak/subyektif.


Untuk itu perlu diperhatikan syarat2 yang harus dipatuhi oleh seorang peneliti:
1. Mampu meneliti kehidupan dan kesadaran batin seseorang.
2. Yakin bahwa segala bentuk pengalaman dapat dibuktikan secara impiris.
3. Bersifat filosofis spiritualis.
4. Tidak mencampurkan antara fakta dengan angan2.
5. Mengenal masalah2 psikologi dan metodenya.
6. Mengenal konsep agama dan metodologinya.
7. Mengenal perbedaan ilmu dan agama.
8. Mampu menggunakan alat2 penelitian ilmiah.

Metode2 itu antara lain:


1. Dokomen Pribadi ( Personal Docoment)
Metode ini digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan kehidupan
batin seseorang dalam hubungannya dengan agama. Dokumen itu berupa outobiografi,
biografi, tulisan, catatan yang dibuatnya. Dapat pula digunakan daftar pertanyaan kepada
orang yang akan diteliti dengan jawaban dan kesan batin sesuai agamanya. William James
dlm The Varities of Religius Experience menggunakn metode ini pada penelitiannya terhadap
ahli2 agama. Teknik2nya adalah:
a. Teknik Nomotatik
Teknik nomotatik digunakan untuk memahami tabiat/sifat2 dasar manusia dengan
cara menetapkan ketentuan umum, Bagaimana hubungan antara sikap dengan kondisi sebagai
penyebab sikap tersebut. Teknil ini digunakan untuk melihat perbedaan individu. Asumsinya:
dalam lapisan dasar struktur kepribadian manusia terdapat sifat yang merupakan ciri umum
kepribadian. Perbedaan individu hanya dalam derajat/tingkatannya saja yang sangat
tergantung pada situasi yang ada. Contohnya untuk mengukur perangkat sifat kejujuran,
ketekunan, kepasrahan sejumlah individu dalam kelompok. Harshotne dan Mark A. May
thn. 1924 dan 1925 menggunakan metode ini. Dalam penelitian Psikologi Agama berguna
untuk melihat sejauh mana hubungan sifat dasar manusia dengan sifat keagamaannya.
b. Teknik Analisis Nilai (Value Analysis)
Data yang terkumpul diklasifikasikan menurut teknik statistik dan dianalisis.
Pengalaman beragama dapat dibahas dengan bantuan ilmu eksakta. Carlson dalam
penelitiannya menemukan hubungan antara kepercayaan dengan tingkat kecerdasan.
korelasinya (-0-19): anak kurang cerdas cenderung berpegang erat pada kepercayaan, sedang
anak yang cerdas kecenderungannya lebih kecil.
c.Teknik Ideography
Untuk memahami sifat dasar manusia yang dipusatkan pada hubungan antara sifat
dimaksud dengan keadaan tertentu. Gordon Allport mempelajari sifat dasar kepribadian
yang menjadi ciri khas terlihat hubungan dengan persfektif dirinya. Menurutnya ada 13 ciri2
sikap manusia.
d. Teknik Penilaian Terhdp Sikap (Evaluation Attitudes Teknique)
Bagaimana pendirian seseorang terhadap persoalan2 yang dihadapinya dalam
hubungannya dangan pengalaman dan kesadaran agama.
2. Kuesioner dan Wawancara
Untuk mengumpulkan data dan informasi yang banyak dan mendalam secara
langsung kepada responden.
Kelebihannya:
- Memperoleh jawaban segera dan cepat.
- Hasilnya dapat dijadikan dokumen pribadi tentang seseorang dan data nomotatik.
Kelemahannya:
- Jawaban terikat/tidak bebas.
- Sulit menysun pertanyaan yg mengandung relevansi tinggi.
- Salah penapsiran terhadap pertanyaan, tidak semua pertanyaan cocok untuk semua
orang.
- Perlu pendekatan yang baik unttk mendapatkan jawaban yang tepat.
Teknik2nya adalah:
a. Pengumpulan Pendapat Masyarakat (Public Opinion Polis)
E. B. Taylor menggunakan teknik ini gabungan antara kuesioner dan wawancara
yang dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi berdasarkan kepentingan penelitian.
b. Skala Penilaian (Rating Scale)
Meneliti faktor2 yang menyebabkan perbedaan khas dalam diri seseorang berdasarkan
pengaruh tempat dan kelompok hingga diketahui latar belakang timbulnya perbedaan antar
penganut keyakinan agama. Misalnya: liberal banyak ditemui pada penganut protestan,
konservatif banyak terdapat pada penganut Katolik.
c. Tes (Test)
Mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu melalui tes
yang disusun secara sistematis.
d. Eksperimen
Mempelajari sikap dan tingkah laku melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.
Digunakan oleh J. B. Cock.
e. Observasi melalui pendekatan Sosiologi dan Antropologi (Sosiological and
Anthopological Observation)
Mempelajari sifat2 manusiawi orang perorang atau kelompok. Dan menjadikan
unsur2 budaya materi (benda budaya) & yang bersifat spiritual (mantera, ritus) yang
berhubungan dengan agama.
f. Studi Agama Berdasarkan Pendekatan Antropologi Budaya
Membandingkan antara tindak keagamaan (upacara, ritus) dengan pendekatan
psikologis melalui pengukuran statistik. Misalnya: -Adanya persaudaraan antara sesama
orang yang bertuhan. –Masalah ketuhanan dan agama. –Adanya kebenaran keyakinan yang
terlihat dalam bentuk formalitas. –Bentuk2 praktek keagamaan.
g. Pendekatan terhadap Perkembangan (Devalopment Approach)
Meneliti asal-usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungan
dengan agama yang dianutnya. Cara ini digunakan oleh Sigmund Freud, E. B. Taylor dan
Frans Boas.
h. Metode Klinis dan Proyektivitas (Clinical Method dan Projectivity Technique)
Penyembuhan dilakukan dangan cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dan
agama untuk kesembuhan penderita. Untuk penelitian digunakan proyektivitas melalui riset
dan pengumpulan data (pengmatan dan wawancara) mengenai penderita sebagai bahan
diagnosa.
i. Metode Umum Proyektivitas
Penelitian terhdp sejumlah masalah yang mengandung makna tertentu berdasarkan
reaksi tak sengaja dari responden.
j. Apersepsi Nomotatik ( Nomothatic Apperception)
Menggunakan gambar2 yang sama untuk mengenal dirinya. Atau boneka untuk
mngenal anggota keluarganya. Tujuannya untuk membantu seseorang menemukan ide baru
sebagai bahan penelitian.
k. Studi Kasus (Case Study).
Mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus2
tertentu. Metode ini dapat digunakan untuk penyembuhan, menanamkan pengertian,
menggambarkan masalah yang ada hubungannya dengan psikologi, hingga didapatkan
kesimpulan dan penggolongan kasus tersebut.
l. Survei
Pengamatan, contohnya: penggolongan manusia dalam hubungannya dengan
pembentukan organisasi dalam masyarakat.
Tujuan Kuesioner dan Wawancara untuk mengetahui:
- Latar belakang keyakinan seseorang.
- Bentuk hubungan manusia dengan Tuhan.
- Dampak dan perubahan yang terjadi.
- Hub. penyakit mental dengan keyakinan seseorang.
- Membentuk kerjasama antara ahli psikologi dan ahli agama.
- Mempelajari kejiwaan tokoh agama, termasuk pembawa ajaran, seperti Nabi.

Kita dpt menggunakan metode beragam tergantung kepentingan dan jenis data yang
diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai