Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pengingkaran manusia terhadap agama dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu
baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungannya. Namun untuk
menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya
sulit dilakukan. Manusia memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya
untuk tundukkepada Dzat yang gaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari
faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self)
ataupun hati nurani (conscience of man) atau fitrah .Menurut pendapat Freud
(tokoh psikoanalisa), kesadaran beragama muncul karena rasa ketidakberdayaan
manusia menghadapi bencana atau berbagai kesulitan dalam hidup. Sedangkan
menurut behaviorisme, munculnya kesadaran beragama pada manusia karena
didorong oleh rangsangan hukuman (adanya siksa; neraka) dan hadiah (adanya
pahala; surga). Dan menurut Abaraham Maslow (tokoh humanistik), kesadaran
beragama terjadi karenaadanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang tersusun secara hirarkis dimana puncak dari kebutuhan tersebut adalah
aktualisasi diri yang menyebabkan manusia menyatu dengan kekuatan
transedental.

Munculnya kesadaran beragama pada umumnya didorong oleh adanya


keyakinan keagamaan yang merupakan keadaan yang ada pada diri seseorang.
Kesadaran beragama merupakan konsistensi antara pengetahuan dan kepercayaan
pada agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif
(perasaan ini bisa dilihat dari motivasi beragama seseorang), dan perilaku
keagamaan sebagai unsur psikomotor. Oleh karena itu, kesadaran beragama
merupakan interaksisecara kompleks antara pengetahuan agama, motivasi
beragama, dan perilaku keagamaan dalam diri seseorang. Dengan kesadaran itulah
akhirnya lahir tingkah laku keagamaan sesuai dengan kadar ketaatan seseorang
terhadap agama yang diyakininya .

1
B. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud pengertian Kesadaran Beragama?
b. Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan Kesadaran Beragama?
c. Bagaimana Pemahaman Kesadaran Beragama Motivasi Kesadaran
Beragama?
d. Bagaiman Pengamalan dan Kepuasan Kesadaran Beragama?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian Kesadaran Beragama
b. Untuk mengetahui pengetahuan Kesadaran Beragama
c. Untuk mengetahui Pemahaman Kesadaran Beragama Motivasi Kesadaran
Beragama
d. Untuk mengetahui Pengamalan dan Kepuasan Kesadaran Beragama

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesadaran Beragama

Secara bahasa, kesadaran beasal dari kata dasar “sadar” yang mempunyai arti;
insaf, yakin, merasa, tahu dan mengerti. Kesadaran berarti; keadaan
tahu,mengerti, dan merasa ataupun keinsafan1.Arti kesadaran yang diamksudkan
disni adalah keadaan tahu, ingat dan measa ataupun keinsafan atas dirinya sendiri
kepada keadaan yang sbenarnya. Sedangkan kata beragama berasal dari kata
dasar “agama”.Agama berarti kepercayaan kepada Tuhan (dewa dan sebagainya)
dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan itu, misalnya Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lain-lain, sedangkan
kata beragama berarti memeluk (menjalankan) agama; beribadah; taat kepada
agama di sepanjang hidupnya2.Menurut Harun Nasution sebagaimana yang
dikutip oleh Jalaludin bahwa pengertian agama berasal dari kata; al-diin, religi
(relegere, religare). Kata agama terdiri dari; a(tidak) dang am (pergi), agama
mengandung arti tidak pergi, tetap ditempat atau diwarisi turun temurun3.
Sedangkan Cicero, secara sederhana mendefinisikan agama sebagai “the pious
worship of god” (beribadah dengan tawakal kepada Tuhan). Formulasi yang lebih
komplek dikemukakan oleh Frederich Schleir Macher (seorang filusuf abad 18),
mendefinisikan agama adalah “feeling of total dependence” (perasaan tergantung/
pasrah secara keseluruhan). Teolog abad 20, Paul Tillich, mengemukakan bahwa
agama adalah “that wich involves man’s ultimate concern” (apa yang melibatkan
tujuan akhir manusia).Menurut Roberth H Thouless (1992), agama adalah sikap
atau cara penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup acuan menunjukkan
lingkungan lebih luas dari pada lingkungan dunia fisik yang terkait ruang dan
waktu. The spatio-temporal physical world (dalam hal ini, yang dimaksud adalah

1Anton M. Moeliono, dkk, Kamus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1

1990) Cet. III h.7652

Ibid, h.93
2

3
Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1998). Cet III, h.12

3
dunia spiritual). Definisi ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan kata agama
sebagaisesuatu yang mencakup semua jenis sikap terhadap dunia yang berhak
mendapatkan penghormatan istimewa.Alfred North Whithead (seorang filosof)
melihat agama sebagai apa yang dibuat manusia dalam kesendirian dan
keheningannya. Nicholas Berdeae berpendapat bahwa agama merupakan usaha
untuk mengatasi keheningan guna melepaskan ego dari ketertutupannya, untuk
mencapai kebersamaan dan keterakhiran. Sementara itu Erich Form mengatakan,
agama adalah setiap sistem pemikiran dan tindakan yang dimiliki bersama oleh
sekelompok orang yang memberi pada orang-orang yang menjadi anggota
kelompok itu secara pribadi kerangka pengarahan (hidup) dan objek untuk
dipuja.Talcott Parsons mengemukakan bahwa agama sebagai perangkat simbol
yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir (ultimate
conditions)daripada keberadaannya. Dia juga berpendapat agama adalah titik
artikulasi antara sistem kultural dan sosial, dimana nilai-nilai dari sistem budaya
terjalin dalam sistem sosial dan diwariskan serta diinternalisasikan dari generasi
dahulu ke generasi selanjutnya dengan kata lain agama juga merupakan sarana
internalisasi nilai budaya yang terdapat di masyarakat kepada sistem kepribadian
individu.Selanjutnya Roberth H Thouless mengemukakan bahwa dalam
masyarakat industri moderen, agama diartikan sebagai: (1) seperangkat idea (nilai
dan kepercayaan). (2) suatu lembaga (seperangkat hubungan sosial).Berdasarkan
pada beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa agama adalah seperangkat
pedoman hidup yang diyakini bersifat sakral danberasal dari Dzat Yang Maha
Tinggi dengan perantaraan seorang manusia yang dipilih-Nya. Dimana pedoman
hidup tersebut berisi tentang tata aturan tentang perbuatan yang seharusnya
dilakukan maupun perbuatan yang seharusnya ditinggalkan oleh para pemeluknya,
dan barang siapa yang mentaati tata aturan pedoman hidup tersebut maka dia
akan mendapatkan balasan kenikmatan dan kebahagiaan hidup baik di dunia
maupun di akhirat. Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa agama mengandung
arti ikatan atau pedoman hidupyang kekal dan harus dipegang dan dipatuhi
manusia. Ikatan yang dimaksudkan berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi
dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindera,
namun mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia
sehari-hari.Pengertian kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman
keTuhanan, keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan yang terorganisasi

4
dalam system mental dan kepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi
jiwa dan raga manusia, maka kesadaran beragamapun mencakup aspek-aspek:
afektif, konatif, kognitif, dan motorik. Aspek afektif dan konatif terlihat di dalam
pengalaman keTuhanan, rasa keagamaan, dan kerinduan kepada Tuhan. Aspek
kognitif terlihat pada keimanan dan kepercayaan, sedangkan aspek motorik
terlihat pada perbuatan dan gerakan tingkah laku keagamaan4.

B. Pengalaman dan pengetahuan

Menururt Robert W. Crapps, bahwa kebenaran harus ditemukan, bukan


hanya melalui argument logis dan teoritis, tetapi melalui pengamatan atas
pengalaman, maka jalan lapang menuju ke kesadaran keagamaan adalah melalui
pengalaman yang diungkapkan orang. kesadaran dapat terjadi setelah seseorang
memang benar-benar memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama
yang didapat dari pengalaman, sehingga proses kesadaran seperti ini adalah
adanya perpindahan pengalaman atau pengetahuan keagamaan dari seseorang
yang dilaksanakan dengan secara konsisten dan konsekuen5.

C. Pemahaman Beragama

Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.


Pengingkaran manusia terhadap agama dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu
baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungannya. Namun untuk
menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya
sulit dilakukan. Manusia memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya
untuk tundukkepada Dzat yang gaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari
faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self)
ataupun hati nurani (conscience of man) atau fitrah .Menurut pendapat Freud
(tokoh psikoanalisa), kesadaran beragama muncul karena rasa ketidakberdayaan
manusia menghadapi bencana atau berbagai kesulitan dalam hidup. Sedangkan
menurut behaviorisme, munculnya kesadaran beragama pada manusia karena
4
Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2001) Cet. III, h.37.

Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm.
5

147

5
didorong oleh rangsangan hukuman (adanya siksa; neraka) dan hadiah (adanya
pahala; surga). Dan menurut Abaraham Maslow (tokoh humanistik), kesadaran
beragama terjadi karenaadanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang tersusun secara hirarkis dimana puncak dari kebutuhan tersebut adalah
aktualisasi diri yang menyebabkan manusia menyatu dengan kekuatan
transedental.

Munculnya kesadaran beragama pada umumnya didorong oleh adanya


keyakinan keagamaan yang merupakan keadaan yang ada pada diri seseorang.
Kesadaran beragama merupakan konsistensi antara pengetahuan dan kepercayaan
pada agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur
afektif (perasaan ini bisa dilihat dari motivasi beragama seseorang), dan perilaku
keagamaan sebagai unsur psikomotor. Oleh karena itu, kesadaran beragama
merupakan interaksisecara kompleks antara pengetahuan agama, motivasi
beragama, dan perilaku keagamaan dalam diri seseorang. Dengan kesadaran
itulah akhirnya lahir tingkah laku keagamaan sesuai dengan kadar ketaatan
seseorang terhadap agama yang diyakininya .

Kesadaran beragama yang mantap merupakan suatu disposisi dinamis dari


sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadian
untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup,
penyesuaian diri dan bertingkah laku. Orang yang memiliki kesadaran beragama
yang baik, akan lebih mudah dalam membangun motivasi hidup, melakukan
penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya, dan mampu menunjukkan sikap
yang baik kepada orang lain . Kesadaran beragama yang dilandasi oleh kehidupan
agama akan menunjukkan kematangan sikap dalam menghadapi berbagai
masalah, mampu menyesuaikan diri terhadap norma dan nilai-nilai yang ada di
masyarakat, terbuka terhadap semua realitas atau fakta empiris, realitas filosofis
dan realitas ruhaniah, serta mempunyai arah yang jelas dalam cakrawala hidup.

Kesadaran akan norma-norma agama berarti individu menghayati,


menginternalisasi dan mengintegrasikan norma tersebut kedalam diri pribadinya
sehingga akan menjadi bagian dari hati dan kepribadiannya yang akan
mempengaruhi pada sikap dan perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat.
Penghayatan norma-norma agama mencakup norma-norma hubungan manusia

6
dengan Tuhan, hubungan dengan masyarakat dan lingkungannya. Hidup yang
dilandasi nilai-nilai agama akan menumbuhkan kepribadian yang sehat yang
didalamnya terkandung unsur-unsur keagamaan dan keimanan yang cukup teguh.
Dan sebaliknya orang yang jiwanya guncang dan jauh dari agama maka individu
tersebut akan mudah marah, putus asa, kecewa, dan tidak mampu beradaptasi
dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya sehingga akan cenderung menjadi
masalah bagi orang lain.

D. Motivasi Kehidupan Beragam

Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.


Pengingkaran manusia terhadap agama dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu
baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungannya. Namun untuk
menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya
sulit dilakukan. Manusia memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya
untuk tundukkepada Dzat yang gaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari
faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self)
ataupun hati nurani (conscience of man) atau fitrah .Menurut pendapat Freud
(tokoh psikoanalisa), kesadaran beragama muncul karena rasa ketidakberdayaan
manusia menghadapi bencana atau berbagai kesulitan dalam hidup. Sedangkan
menurut behaviorisme, munculnya kesadaran beragama pada manusia karena
didorong oleh rangsangan hukuman (adanya siksa; neraka) dan hadiah (adanya
pahala; surga). Dan menurut Abaraham Maslow (tokoh humanistik), kesadaran
beragama terjadi karenaadanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang tersusun secara hirarkis dimana puncak dari kebutuhan tersebut adalah
aktualisasi diri yang menyebabkan manusia menyatu dengan kekuatan
transedental.

Munculnya kesadaran beragama pada umumnya didorong oleh adanya


keyakinan keagamaan yang merupakan keadaan yang ada pada diri seseorang.
Kesadaran beragama merupakan konsistensi antara pengetahuan dan kepercayaan
pada agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur
afektif (perasaan ini bisa dilihat dari motivasi beragama seseorang), dan perilaku
keagamaan sebagai unsur psikomotor. Oleh karena itu, kesadaran beragama
merupakan interaksisecara kompleks antara pengetahuan agama, motivasi

7
beragama, dan perilaku keagamaan dalam diri seseorang. Dengan kesadaran
itulah akhirnya lahir tingkah laku keagamaan sesuai dengan kadar ketaatan
seseorang terhadap agama yang diyakininya .

Kesadaran beragama yang mantap merupakan suatu disposisi dinamis dari


sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadian
untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup,
penyesuaian diri dan bertingkah laku. Orang yang memiliki kesadaran beragama
yang baik, akan lebih mudah dalam membangun motivasi hidup, melakukan
penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya, dan mampu menunjukkan sikap
yang baik kepada orang lain . Kesadaran beragama yang dilandasi oleh kehidupan
agama akan menunjukkan kematangan sikap dalam menghadapi berbagai
masalah, mampu menyesuaikan diri terhadap norma dan nilai-nilai yang ada di
masyarakat, terbuka terhadap semua realitas atau fakta empiris, realitas filosofis
dan realitas ruhaniah, serta mempunyai arah yang jelas dalam cakrawala hidup.

Kesadaran akan norma-norma agama berarti individu menghayati,


menginternalisasi dan mengintegrasikan norma tersebut kedalam diri pribadinya
sehingga akan menjadi bagian dari hati dan kepribadiannya yang akan
mempengaruhi pada sikap dan perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat.
Penghayatan norma-norma agama mencakup norma-norma hubungan manusia
dengan Tuhan, hubungan dengan masyarakat dan lingkungannya. Hidup yang
dilandasi nilai-nilai agama akan menumbuhkan kepribadian yang sehat yang
didalamnya terkandung unsur-unsur keagamaan dan keimanan yang cukup teguh.
Dan sebaliknya orang yang jiwanya guncang dan jauh dari agama maka individu
tersebut akan mudah marah, putus asa, kecewa, dan tidak mampu beradaptasi
dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya sehingga akan cenderung menjadi
masalah bagi orang lain.

Tanda kedua kesadaran beragama yang matang ialah adanya motif kehidupan
beragama yang otonom. Bayi yang baru lahir telah memiliki potensi motif-motif
kejiwaan dan rohaniah yang akan timbul apabila mencapai fase perkembangan
tertentu melalui pengaruh lingkungan. Motif beragama akan timbul sebagai
realisasi dari potensi manusia yang merupakan makhluk rohaniah serta berusaha
mencari dan membarikan makna pada hidupnya. Serta potensial manusia akan

8
selalu mengadakan kegiatan-kegiatan yang melewati atau melampaui segala
sesuatu yang terberi secara langsung berupa kontak manusia dengan nilai-nilai
transenden dan absolut.

Dari sudut Psikologi Perkembangan, motivasi kehidupan beragama pada


mulanya berasal dari dorongan biologis serta rasa lapar, rasa haus dan kebutuhan
jasmaniah lainnya. Dapat pula berasal dari kebutuhan psikologis seperti
kebutuhan akan kasih sayang, pengembangan diri, kekuasan, rasa ingin tahu,
harga diri, dan bermacam-macam ambisi pribadi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
jika mendapat pemuasan dalam kehidupan beragama dapat menimbulkan dan
memperkuat motivasi keagaman yang lama-kelamaan akan menjadi otonom.
Derajat kekuatan motif beragama itu sedikit banyak dipengaruhi oleh pemuasan
yang diberikan oleh kehidupan beragama. Makin besar derajat kepuasan yang
diberikan oleh agama, makin kokoh dan makin otonom motif tersebut. Akhirnya
merupakan motif yang berdiri sendiri dan secara konsisten serta dinamis
mendorong manusia untuk bertingkah laku keagamaan. Salah satu perbedaan
penting antara orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang dengan
orang belum matang terletak pada drajat otonomi motivasi keagamaannya. Makin
matang kesadaran beragama seseorang akan semakin kuat energi motivasi
keagamaan yang otonom itu. Orang yang memiliki kesadaran beragama yang
belum matang, motivasi keagamaannya masih berhubungan erat dengan
dorongan-dorongan jasmaniah atau kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan
dengan ambisi pribadinya. Misalnya, adanya pemikiran dan perbuatan magis
yang digunakan untuk mencapai kenikmatan atau pemuasan kebutuhan biologis,
antara lain guna-guna, tenung, santet, ngepet, nyupang, dan ilmu kebatinan
lainnya. Mereka memperalat agama untuk memenuhi kebutuhan biologis dan
ambisi pribadinya. Tingkah laku keagamaannya seolah-olah dikendalikan oleh
dorongan biologis, hawa nafsu dan kebutuhan ekonomi. Sedangkan orang yang
memiliki kesadaran beragama yang matang justru mampu mengendalikan dan
mengarahkan hawa nafsu, dorongan materi, ambisi pribadi, dan motif-motif
rendah lainnya, kearah tujuan yang sesuai dengan motivasi keagamaan yang
tinggi.

Perkembangan motivasi keagamaan itu makin lama makin banyak cabangnya.


Tiap fase perkembangan merupakan kelanjutan dari fase sebelumnya dan setiap

9
fase terjadi pemahaman, pemaknaan dan motif baru. Motif beragama yang
terlepas dari motiv asal dan secara fungsional bersifat otonom tidak lagi
dipengaruhi atau dikendalikan oleh dorongan biologis ataupun ambisi pribadi.
Kesadaran baragama dengan motif beragama yang otonom merupakan energi dan
semangat hidup yang mampu mematangkan dan memperkarya kepribadian,
menfsirkan dan mengolah berbagai permasalahan hidup dan kehidupan.

Bila kesadaran beragama telah menjadi pusat sistem mental kepribadian yang
mantap, maka ia akan mendorong, mempengaruhi, mengarahkan, mengolah serta
mewarnai semua sikap dan tingkah laku seseorang. Peranan kesadaran beragama
itu merasuk kedalam aspek mental lainnya. Tanggapan, pengamatan, pemikiran,
perasaan, dan sikap akan diwarnai oleh rasa keagamaan. Keindahan alam, kicau
burung, proses pemekaran bunga-bunga, tumbuhan buji-bijian, kehebatan larinya
kuda, kejadian unta, keperkasaan gunung-gunung, perputaran bumi, bintang dan
matahari, kecepatan aliran listrik, proses terjadinya susu, bekerjanya otak,
kematian seseorang, kehidupan kejiwaan, nilai-nilai kemasyarakatan, sejarah
bangsa-bangsa dan semua fakta akan diamati, dipelahari, diselidiki, dihayati,
dipahami, dan dinikmati melalu warna keagamaan.

Walaupun kesadaran beragama yang matang mewarnai cara hidup seseorang,


namun sikap dan prilakunya tidaklah menunjukan fanatisme, kaku, ekstrim, dan
radikal. Sikap dan tingkah laku fanatik, ekstrim, radikal, agresif, dan berani tanpa
perhitungan tersebut justru menunjukan kesadaran beragama seseorang yang
tidak matang. Prilakunya dilandasi oleh dorongan yang kurang terolah, kurang
disadari, tidak kritis dan tidak terdifferensiasi. Rasa keagamaannya sering kali
berasal dari pelarian atau mekanisme pertahan dari (defense mechanism) karena
adanya frutasi atau tekanan batin.

Apakah tidak adanya fanatisme pada kesadaran beragama yang matang


bukan menunjukan sikap yang lemah? Bukan kah tanpa fanatisme berarti
menunjukan sikap pasrah tanpa semangat hidup? Tidak ada fanatisme keagamaan
pada orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang, bukan berarti
mereka itu hidup tanpa dinamika atau hidup dalam angan-angan pemikiran
filosofis keagamaan dan pasrah pada nasib tanpa usaha dan kegiatan. Tidak ada
gairah hidup, menunjukan bahwa agama belum menjadi pusat sistem mental

10
seseorang, maka ia akan menunjukan semangat hidup yang membara, tekun,
tabah, dan selalu berusaha mencari dan menemukan tuhan. Hal ini akan dibahas
lebih lanjut pada ciri keenam dari kesadaran beragama yang matang. Dinamika
rasa keagamaan yangmatang bergantung pada seberapa jauh kesadran beragama
menjadi pusat sistem mental di antara berbagai sistem kejiwaan yang membentuk
kepribadian seseorang.6

Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), (Bandung:


6

Sinar Baru Algensindo, 2001) Cet. III, h.52.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Munculnya kesadaran beragama pada umumnya didorong oleh adanya


keyakinan keagamaan yang merupakan keadaan yang ada pada diri seseorang.
Kesadaran beragama merupakan konsistensi antara pengetahuan dan kepercayaan
pada agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur
afektif (perasaan ini bisa dilihat dari motivasi beragama seseorang), dan perilaku
keagamaan sebagai unsur psikomotor. Oleh karena itu, kesadaran beragama
merupakan interaksisecara kompleks antara pengetahuan agama, motivasi
beragama, dan perilaku keagamaan dalam diri seseorang.

Menururt Robert W. Crapps, bahwa kebenaran harus ditemukan, bukan


hanya melalui argument logis dan teoritis, tetapi melalui pengamatan atas
pengalaman, maka jalan lapang menuju ke kesadaran keagamaan adalah melalui
pengalaman yang diungkapkan orang. kesadaran dapat terjadi setelah seseorang
memang benar-benar memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama
yang didapat dari pengalaman, sehingga proses kesadaran seperti ini adalah
adanya perpindahan pengalaman atau pengetahuan keagamaan dari seseorang
yang dilaksanakan dengan secara konsisten dan konsekuen.

Dari sudut Psikologi Perkembangan, motivasi kehidupan beragama pada


mulanya berasal dari dorongan biologis serta rasa lapar, rasa haus dan kebutuhan
jasmaniah lainnya. Dapat pula berasal dari kebutuhan psikologis seperti
kebutuhan akan kasih sayang, pengembangan diri, kekuasan, rasa ingin tahu,
harga diri, dan bermacam-macam ambisi pribadi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
jika mendapat pemuasan dalam kehidupan beragama dapat menimbulkan dan
memperkuat motivasi keagaman yang lama-kelamaan akan menjadi otonom.
Derajat kekuatan motif beragama itu sedikit banyak dipengaruhi oleh pemuasan
yang diberikan oleh kehidupan beragama.

12
B. Saran

Dengan disusunnya makalah ini, diharapkan para pembaca mampu


memahami dan menangkap isi dan tujuan dari makalah yang kami susun.
Sehingga kita dapat memperkaya pengetahuan dengan materi-materi yang kami
rangkum dari beberapa sumber.

13

Anda mungkin juga menyukai