Anda di halaman 1dari 24

TUGAS RANGKUMAN

Diajukan untuk memenuhi tugas perbaikan nilai mata kuliah Psikologi Agama

Oleh :

Cempaka Karina Andini (1186000042)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021
Materi Pertemuan 1 : Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi Agama

a. Pengertian Psikologi Agama


Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua
kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab.
Sebenarnya kata psikologi secara harfiah berasal dari psyche: jiwa dan logos: ilmu.
Dalam mitologi Yunani, Psyche  adalah seorang gadis cantik bersayap seperti kupu-
kupu. Di sini  jiwa pun digambarkan seperti seorang gadis cantik dan kupu-kupu
sebagai simbol keabadian. Dengan demikian psikologi dapat diartikan dengan “ilmu
pengetahuan tentang jiwa” dan dapat disingkat dengan “ilmu jiwa”.
Secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah
laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala keejiwaan yang berada di
belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari
kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak yaitu
pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya. Sikap dan perilaku yang terlihat
adalah gambaran dari gejala jiwa seseorang. Sikap dan perilaku baik yang tampak
dalam perbuatan maupun mimik (air muka) umumnya tak jauh berbeda dari gejolak
batinnya, baik cipta, rasa dan karsanya.
Selanjutnya agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan batin
manusia. Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-
Din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-Din undang-undang atau hukum.
Kemudian dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan,
patuh, utang, balasan, kebiasaan
Hal ini bisa dilihat dalam QS. Gafir ayat 26.
Dan berkata Fir´aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku
membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena
sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan
kerusakan di muka bumi.
Dan juga bisa dilihat dalam QS Al Fatihah ayat 4
Yang menguasai di Hari Pembalasan
Dari kedua ayat tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa agama adalah
segala bentuk sistem hidup yang mengatur, menata dan mengikat kehidupan manusia.
Sedangkan dari kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca,
kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a= tidak, dan
gam= pergi, mengandung arti tidak pergi, tetap ditempat atau diwarisi turun temurun.
Menurut Robert H. Thouless,  fakta menunjukkan bahwa agama berpusat pada
Tuhan atau dewa-dewa sebagai ukuran yang menentukan yang tak boleh diabaikan.
Dalam istilahnya Robert H. Thouless menyebutkan sebagai keyakinan (tentang dunia
lain). Menurut Robert H. Thouless, dalam kaitan dengan psikologi agama, ia
menyarankan definisi agama adalah sikap (cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang
mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas dari pada lingkungan dunia
fisik yang terikat ruang dan waktu (dalam hal ini yang dimaksud adalah dunia
spiritual). Robert H. Thouless berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari
psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan
dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap
perilaku bukan keagamaan.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan menelaah
kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh
keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada
umumnya. Di samping itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan tersebut.
Psikologi agama dengan demikian merupakan cabang psikologi yang meneliti
dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan
terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia
masing-masing.

b. Ruang Lingkup Psikologi Agama


Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup
pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari
masalah agama yang lainnya. Sebagai contoh, dalam tujuannya psikologi agama dan
ilmu perbandingan agama memiliki tujuan yang tak jauh berbeda, yakni
mengembangkan pemahaman terhadap agama dengan mengaplikasikan metode-
metode penelitian yang bertipe bukan agama dan bukan teologis. Bedanya adalah, bila
ilmu perbandingan agama cenderung memusatkan perhatiannya kepada agama-agama
primitif dan eksotis tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman dengan
memperbandingkan satu agama dengan agama lainnya. Sebaliknya psikologi agama,
seperti pernyataan Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya pada agama yang
hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat
pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan tersebut dengan menggunakan
pendekatan psikologi.
Prof. Dr. Zakiah Daradjat menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi
agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan
pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan (terhadap
suatu agama, yang dianut). Oleh karena itu, menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, ruang
lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:
1. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai
kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tenteram sehabis
sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-
ayat suci, perasaan tenang, pasrah, dan menyerah setelah berzikir dan ingat kepada
Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan, rasa
gelisah yang menghantui ketika meninggalkan shalat, rasa ketakutan setelah
melakukan yang dilarang agama, rasa bersalah setelah melakukan dosa.
2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap
Tuhannya, misalnya rasa tenteram, damai, dan kelegaan batin.
3. Mempelajari, meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya
hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang. Pengaruhnya biasanya berupa
meningkatnya ketaatan seseorang terhadap kepercayaan yang dianutnya, karena
dia yakin akan adanya kehidupan setelah kematian, kehidupan akhirat yang kekal
dibandingkan dengan kehidupan duna yang fana, serta dia yakin akan adanya hari
pembalasan, dimana berupa tempat kembali yakni neraka dan surga.
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan
yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut
memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan. Dengan
seseorang yakin akan adanya surga dan neraka serta adanya dosa dan pahala,
maka manusia tersebut akan senantiasa berbuat baik dan tidak berbuat apa-apa
yang dilarang agama.
5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap
ayat-ayat suci kelegaan batinnya.

Tegasnya psikologi agama hanya mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang
memantul dan memperlihatkan diri dalam perilaku dalam kaitannya dengan kesadaran
dan pengalaman agama manusia. Kedalamnya juga tidak termasuk unsur-unsur
keyakinan yang bersifat abstrak (gaib) seperti tentang Tuhan, surga dan neraka,
kebenaran sesuatu agama, kebenaran kitab suci dan lainnya, yang tak mungkin teruji
secara empiris.
Dengan demikian, psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah
mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam
kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya. Persoalan pokok dalam
psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama dan tingkah laku agama,
kata Robert H. Thouless. Atau kajian terhadap tingkah laku agama dan kesadaran
agama.
Materi Pertemuan 2 : Konsep Manusia Menurut Mazdhab Psikoanalisis
dan Behaviorisme
a. Konsep Manusia Menurut Mazdhab Psikoanalisis
Ada poin poin penting yang menjadi inti dari teori ini, dan poin penting itu adalah:
kesadaran (consciousness) dan ketidaksadaran (unconsciousness), struktur
kepribadian, kecemasan (anxiety), mekanisme pertahanan diri (defence mechanism),
tahap perkembangan psikoseksual (psychosexual stage).
 Kesadaran (Consciousness) dan Ketidaksadaran (Unconsciousness)
Sigmund freud berpendapat bahwa kehidupan psikis terdiri dari: kesadaran
(consciousness) dan ketidaksadaran (unconsciousness). Kesadaran dapat di
ibaratkan sebagai permukaan gunung es yang nampak. Jadi, menurut teori
Sigmund Freud ini kesadaran hanyalah sebagian kecil dari kehidupan psikis
,sedangkan ketidaksadaran menjadi bagian yang besar dalam kehidupan psikis
manusia.
 Struktur Kepribadian
Sigmund freud mempunyai pandangan bahwa kepribadian terdiri dari Id, Ego
dan Superego.
 Id adalah berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan
semata. Id merupakan bagian primitif dari kepribadian, Id mengandung
insting seksual dan insting agresif. Id
membutuhkan satisfaction dengan segera tanpa memperhatikan realitas
yang ada, sehingga oleh Freud disebut prinsip kenikmatan (pleasure
principle).
 Ego adalah bagian id yang terorganisasi yang hadir untuk memajukan
tujuan-tujuan id dan bukan untuk mengecewakannya.Ego timbul
karena kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan transaksi-
transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan. Ego disebut juga
dengan prinsip realitas (reality principle).
 Superego adalah berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap
individu dari lingkungannya. Superego merupakan prinsip moral
(morality principle).
 Kecemasan (Anxiety)
Menurut Freud kecemasan dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
 Kecemasan objektif merupakan kecemasan yang timbul dari ketakutan
terhadap bahaya nyata.
 Kecemasan neurotik merupakan kecemasan atau merasa takut akan
mendapatkan hukuman atas keinginan yang impulsif.
 Kecemasan moral merupakan kecemasan yang berkaitan dengan
moral. Seseorang merasa cemas karena melanggar norma-norma
moral, inilah yang disebut kecemasan moral.
 Mekanisme pertahanan diri (Defence Mechanism)
Mekanisme pertahan diri ini bertujuan untuk menyalurkan dorongan-dorongan
primitif yang tidak dapat dibenarkan oleh superego dan ego. Mekanisme
pertahanan ini berfungsi untuk melindungi superego dan ego dari ancaman
dorongan primitif yang mendesak terus karena tidak di ijinkan muncul oleh
superego.
Sembilan mekanisme pertahanan yang dikemukakan oleh Freud adalah:
 Represi. Represi adalah mekanisme pertahanan diri dimana ada sebuah
peristiwa yang tidak menyenangkan atau mengganggu akan direpres ke
alam bawah sadar.
 Pembentukan reaksi (Reaction Formation ) , Pembentukan reaksi
adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan
kecemasan dengan melawannya kesadaran.
 Proyeksi (Projection) , Proyeksi adalah pelampiasan keluar dari
perasaan atau kebutuhan yang tidak disadari sebagai usaha
mempertahankan diri, karena ego yang tidak bisa menerima perasaan
tersebut.
 Penempatan yang keliru (Displacement) , Penempatan yang keliru
adalah pelampiasan kesalahan kepada pihak ketiga, karena hambatan
dari superego.
 Rasionalisasi (Rationalisation) , Rasionalisasi adalah dorongan-
dorongan yang sebenarnya dilarang oleh superego, dicarikan dasar
rationalnya sedemikian rupa sehingga seolah-olah dapat dibenarkan.
 Supresi (Supression ) , Supresi adalah upaya menekan sesuatu yang
dianggap membahayakan atau bertentangan dnegan superego kedalam
ketidaksadarannya.
 Sublimasi (Sublimation), Sublimasi adalah dorongan-dorongan yang
tidak dibenarkan oleh superego di alihkan ke dalam bentuk perilaku
yang lebih sesuai dengan norma-norma masyarakat. 
 Kompensasi (Compensation)
 Regresi (Regression) , Regresi adalah berbalik kembali kepada
perilaku yang dulu pernah mereka alami atau mengalami proses
kemunduran.
 Tahap perkembangan psikoseksual (Psychosexual Stage)
Menurut Freud, tingkatan perkembangan psikoseksual ada senbilan yaitu:
 Tahap oral, kenikmatan diperoleh dari mulut. Jika tidak dipenuhi akan
mengakibatkan kecemasan dan frustasi. Kegiatan bayi berpusat
disekitar mulut (menghisap, menggigit dan mengunyah) dan
merupakan pembentukan attachment dengan ibu.
 Tahap anal,kenikmatan berpusat didaerah anal. Toilet training dimulai
pada tahap ini. Jika prosesnya terlalu keras atau disiplin maka akan
menyebabkan kecemasan sehingga anak bisa konstipasi, jorok, tidak
bertanggungjawab dan jika sudah dewasa dapat termanifestasi menjadi
keras kepala, kikir, obsesif.
 Tahap phalic, usia 6-7 tahun kenikmatan terpusat didaerah genital.
 Tahap latent, usia 7 sampai menginjak masa remaja awal. Seolah-olah
tidak ada aktivitas seksual. Karena itu masa ini disebut
fase latent (tersembunyi).
 Tahap genital, dimulai sejak masa remaja. Segala kepuasan seks
terutama berpusat pada alat kelamin.

b. Konsep Manusia Berdasarkan Madzhab Behaviorisme


Manusia pada dasarnya dilahirkan netral, sepertihalnya dalam teori “tabula
rasa” atau kertas putih. Lingkunganlah yang akan menentukan arah perkembangan
tingkah laku manusia lewat proses belajar. Artinya, perkembangan manusia
dikendalikan bagaimana manusia itu sendiri menjalani hidupnya,menuju kearah
kebaikan ataupun sebaliknya menuju ke arah yg tidak baik.
Aliran ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus)  yang dapat
dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning). Sikap yang
diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkanmaladaptive behaviour atau
perilaku menyimpang.
Salah satu contoh adalah ketika Pavlov melakukan eksperimen terhadap
seekor anjing. Di depan anjing eksperimennya yang lapar, Pavlov menyalakan lampu.
Anjing tersebut tidak mengeluarkan air liurnya. Kemudian sepotong daging ditaruh
dihadapannya dan anjing tersebut mengeluarkan air liurnya. Selanjutnya begitu terus
setiap kali lampu dinyalakan maka daging disajikan. Begitu hingga beberapa kali
percobaan, sehingga setiap kali lampu dinyalakan maka anjing tersebut keluar air
liurnya meski daging tidak disajikan. Dalam hal ini air liur anjing
menjadi conditioned responsedan cahaya lampu menjadi conditioned stimulus.
Materi Pertemuan 3 : Konsep Manusia Menurut Humanisme dan Al
Quran
a. Konsep Manusia Menurut Humanisme
Manusia pada dasarnya dilahirkan baik. Tingkah laku manusia dengan sadar,
bebas dan bertanggung jawab dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari
dalam dirinya sendiri ke arah pemekaran seluruh potensi manusiawinya secara penuh.
Agar berkembang ke arah yang positif, manusia  pertama-tama tidak membutuhkan
pengarahan melainkan sekedar suasana dan pendampingan personal serba penuh
penerimaan dan penghargaan demi mekarnya potensi positif yang melekat dalam
dirinya.
Aliran ini muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis.
Kedua aliran ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau makhluk
yang rendah. Aliran ini biasa disebut mazhab ketiga setelah Psikoanalisa dan
Behaviorisme.
Abraham Maslow (1908-1970) dapat dipandang bapak dari psikologi
humanistik. Gerakan ini merasa tidak puas terhadap psikologi behavoristik dan
psikoanalisi. Maslow pun memfokuskan penelitiannya pada manusia dengan cirri-ciri
eksistensinya.
Psikologi humanistik mulai di Amerika Serikat pada tahun 1950 dan terus
berkembang. Tokoh-tokoh psikologi humanistik memandang behaviorime
mendehumanisasi manusia. Psikologi humanistik mengarahklan perhatiannya pada
humanisasi psikologi yang menekankan keunikan manusia. Menurut psikologi
humanistik manusia adalah makhluk yang kreatif, yang dikendalikan oleh nilai-nilai
dan pilihan-pilihannya sendiri bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran.
Salah satu bagian dari humanistik adalah logoterapi.Logoterapi adalah sebuah
corak pandangan psikologi yang sering di kelompokkan ke dalam psikologi
humanistik. Psikologi humanistik menemukan adanya dimensi raga (somatis) dan
dimensi kejiwaan (psikis) yaitu dimensineotic. Pandangan ini berprinsip:
  Hidup memiliki makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan
sekalipun.
  Tujuan hidup kita yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu
sendiri.
   Kita memiliki kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa
yang kita alami bahkan dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.

b. Konsep Manusia Menurut Al-Quran


Al-Quran menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga
macam istilah yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu al-insan, an-nas, al-
basyar, dan bani Adam.
Kata al-insan berasal dari kata nasiya yang artinya lupa, menunjukkan adanya
hubungan dengan kesadaran diri. Manusia disebut al-insan karena kecenderungannya
akan sifat pelupa sehingga memerlukan teguran dan peringatan. Kata al-insan
digunakan Al-Quran untuk menunjukkan kepada manusia secara keseluruhan dari
totalitas, jiwa, serta raganya. Kata al-insan untuk penyebutan manusia diambil dari
asal kata al-uns atau anisa yang artinya jinak dan harmonis, karena pada dasarnya
manusia dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungannya.
Sedangkan kata an-nas merupakan jamak dari kata al-insan, kata ini digunakan untuk
menunjukkan sekelompok manusia, baik dalam arti jenis manusia maupun
sekelompok tertentu dari manusia.
Kata al-basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk, baik laki-laki maupun
perempuan, baik satu maupun banyak. Kata al-basyar adalah jamak dari kata basyarah
yang artinya kulit. Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan satu kali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjukkan manusia dari
sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Ayat Al-Quran
yang lain mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar (manusia)
melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan, dimana tahapan
kedewasaan ini menjadikannya mampu memikul tanggung jawabnya sebagai khalifah
di bumi. Al-basyar dipakai untuk menunjukkan dimensi alamiahnya, yang menjadi
ciri pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum, dan mati sehingga
manusia disebut al-basyar karena manusia cenderung perasa dan emosional sehingga
perlu disabarkan dan didamaikan.
Manusia disebut sebagai bani Adam karena dia menunjukkan asal usul yang
bermula dari nabi Adam as sehingga dia tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya,
darimana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan kemana dia akan kembali. Penggunaan
istilah bani Adam menunjukkan bahwa manusia bukan hasil dari evolusi makhluk
anthropus (sejenis kera).
Manusia dalam pandangan Al-Quran bukan makhluk anthropomorfisme, yaitu
makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Quran
menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang
agung di dalam dirinya. Di samping itu manusia dianugerahi akal yang dapat
membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa ia pada kualitas tertinggi
sebagai makhluk yang bertakwa. Al-Quran memandang manusia sebagai makhluk
yang suci dan mulia, bukan sebagai makhluk yang kotor dan penuh dengan dosa,
sebagaimana pandangan mereka bahwa nabi Adam dan Hawa yang diturunkan dari
surga karena melanggar larangan Allah merupakan asal mula hakikat manusia sebagai
pembawa dosa bawaan (turunan).
Al-Quran memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi, yang sedang
dalaam perjalanan menuju kehidupan spiritual yang suci dan abadi di akhirat kelak,
meskipun ia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa ketika
melakukan kesalahan di dalam kehidupan dunia. Bahkan, dalam Al-Quran manusia
diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik
(hanif). Oleh karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, dan kesejatian manusia adalah baik,
benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kemuliaan seperti
yang dimiliki manusia. Sebaliknya, kualitas yang buruk, salah, dan jelek selalu
menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih predikat berkualitas tersebut.
Manusia dapat dikatakan berkualitas apabila ia memiliki kebebasan untuk
berbuat dan berkehendak. Kebebasan yang dimaksud adalah kesadaran untuk
mewujudkan kualitas dan nilai dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi secara
bertanggung jawab. Kualitas dan nilai manusia dapat diraih apabila manusia memiliki
kemampuan untuk mengarahkan naluri bebasnya berdasarkan pertimbangan aqliyah
yang dikaruniakan Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi
nuraninya yang paling murni.
Materi Pertemuan 4 : Manfaat dan Aplikasi Psikologi Agama dalam Proses
Belajar Mengajar

a. Manfaat Psikologi Agama dalam Proses Belajar Mengajar


Pendekatan psiklogi agama dalam dunia pendidikan telah dilakukan periode
awal perkembangan Islam. Fungsi dan peran kedua orang tua sebagai teladan
terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan Islam.Bahkan agama dan
keyakinan seseorang dinilai sangat bergantung dari keteladanan orang tua mereka.
Tak mengherankan bila Sigmund Freud menyatakan bahwa keberagamaan anak
terpola dari tingkah laku bapaknya (father image).
Adapun manfaat psikologi agama dalam belajar mengajar dan kaitannya
untuk menumbuhkan motivasi belajar adalah sebagai berikut :
1. Memahami individu, dalam hal ini peserta didik yang telah memiliki potensi
yang perlu untuk dikembangkan dan diarahkan oleh pendidik berdasarkan
pemahaman agama yang dianutnya.
2. Dapat membimbing dan mengarahkan peserta didik sesuai dengan kaidah dan
norma-norma dalam agama yang dianutnya.
3. Psikologi agama digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pelaksanaan
pendidikan Islam.

b. Aplikasi Psikologi Agama dalam Proses Belajar Mengajar


Aplikasi psikologi agama dalam proses belajar mengajar berkaitan erat
dengan teori kepribadian Sigmund Freud, beberapa teorinya dapat
diaplikasikan dalam bimbingan, yaitu: Pertama, konsep kunci bahwa “manusia
adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan”. Konsep ini dapat
dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan melihat hakekatnya, manusia
itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan dasar. Dengan
demikian, konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman
kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh yang diberikan
konseling, sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif. Hal ini
sesuai dengan fungsi bimbingan itu sendiri. Mortensen membagi fungsi
bimbingan kepada tiga yaitu: (1) memahami individu, (2) preventif dan
pengembangan individual, dan (3) membantu individu untuk
menyempurnakannya.
Materi Pertemuan 5 : Perkembangan Keberagamaan Individu pada usia 5-
12 tahun

Pada fase ini karakter dasar atau kepribadian seseorang terbentuk, yang akan
bertambah kuat dengan dukungan ilmu pengetahuan yang diperoleh pada fase berikutnya.
Kondisi-kondisi tersebut di atas merupakan faktor-faktor yang mengantar pada
urgensi penanaman kesadaran beragama sejak dini dengan metode-metode tertentu untuk
mencetak anak menjadi agamis (being religious), bukan sekedar memiliki agama (having
religion).Dalam hal ini, peran pendidik (guru atau orang tua/keluarga sebagai komunitas
pertama dan terdekat dengan anak) adalah sesuatu yang tidak bisa di tawar.
Sebab kepercayaan seorang anak sangat tergantung kepada apa yang dilihat, didengar,
dirasakan dan diajarkan oleh orang tua, guru, kakak, teman bermain, apa saja yang
memberikan dan menyuguhkan informasi ke dalam jiwa dan fikirannya. Sebab dalam usia
seperti itu, anak-anak masih belum mampu berpikir secara logis dan mandiri.
Kecenderungan yang paling menonjol adalan merekam untuk selanjutnya meniru apa
saja yang mereka saksikan.Persoalan ini telah banyak menyita perhatian para psikolog dan
agamawan. Hanya saja, jarang disadari bahwa Islam dengan al-Qur’an dan Hadits telah
banyak memberikan contoh dalam hal ini. Nabi Muhammad saw. di samping sebagai nabi,
kepala negara, panglima perang, juga seorang pendidik yang sangat besar perhatiannya
terhadap anak-anak. Maka perlu kiranya kita melihat dan menelaah metode yang ditawarkan
Islam terutaman yang tercermin dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Materi Pertemuan 6 : 13-25 tahun

Kehidupan beragama pada masa remaja memang banyak diwarnai oleh timbulnya
konversi keagamaan (religious conversion).
Secara umum gejala ini diartikan sebagai perpindahannya afiliasi keagamaan
seseorang.

 Zakiah Daradjat
Masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak
menuju dewasa. Atau dapat dikatakan masa remaja adalah perpanjangan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa.
 Robert W. Crepps
Masa remaja merupakan periode dimana individualisme semakin menampakkan
wujudnya, pada masa tersebut memungkinkan mereka untuk menerima tanggung
jawab atas perilaku mereka sendiri dan menjadi sadar terlibat pada perkara hal,
keinginan, cita-cita yang mereka pillih.
 Pertumbuhan pikiran dan mental
 Perkembangan perasaan
 Pertimbangan sosial
 Perkembangn moral
 Sikap dan minat
 Ibadah
Menurut W. Starbuck, perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor
perkembangan rohani dan jasmaninya.
 Masa awal remaja
 Sikap negatif
 Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau
mendengar berbagai konsep dan pemikiran
 Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic
 Masa remaja akhir
 Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan
intelektual.
 Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut
dan dipilihnya.
 Penghayatan rohaniahnya kembali tenang
 Sebagian besar dari mereka masih merasa bahwa pengalaman beragama yang murni
merupakan hal yang asing. (Idrus)
 Remaja ternyata tidak konsisten dengan komitmen terhadap agama. Mereka sangat
religious tetapi sekaligus tidak religious. (Paloutzian)
 Remaja kurang memiliki tendensi untuk percaya pada ajaran agama, bahkan
menunjukan peningkatan tendensi untuk mempertanyakan beberapa ajaran agama.
 Adanya keraguan-keraguan (religious doubt) dan konflik beragama adalah
karakteristik paling umum sebagai ciri kehidupan beragama pada remaja yang sangat
menonjol.
 Pengrtian Masa Remaja
 Perkembangan Fisik dan Psikis pada Masa Remaja
 Perkembangan Keberagamaan pada Remaja
 D. Kesadaran Beragama pada Masa Remaja
Perkembangan Fisik dan Psikis pada Remaja
Sikap Remaja Terhadap Agama
 Percaya ikut-ikutan
 Percaya dengan kesadaran
 Kebimbangan beragama
 Tidak percaya (cenderung Atheis)
Perkembangan fisik pada remaja mengalami perkembangan dengan cepat lebih cepat
dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa. Perkembangan fisik mereka terlihat
jelas pada tungkai kaki dan tangan, otot-otot tubuh bekembang pesat sehingga kelihatan
bertubuh tinggi tetapi kepalanya masih mirip anak-anak.
KESADARAN BERAGAMA PADA MASA REMAJA
 Pengalaman ketuhanannya makin bersifat individual
 Konflik dan keraguan
 Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama
Motivasi Beragama Pada Remaja
 Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam
kehidupan.
 Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata
tertib masyarakat.
 Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu
manusia .
 Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi
ketakutan.
Materi Pertemuan 7 : Perkembangan Keberagamaan Individu pada usia
30-50 tahun & 50 Tahun Keatas

a. Perkembangan Keberagamaan Individu pada usia 30-50 tahun


Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekadar
ikut-ikutan. Kestabilan dalam pandangan hidup beragama dan tingkah laku
keagamaan seseorang, bukanlah bukan lagi pada kesetabilan yang statis, melainkan
kestabilan yang dinamis, di mana pada suatu ketika ia mengenal juga adanya
perubahan-perubahan. Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan
pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Sejalan
dengan tingkat perkembangan usiannya, maka sikap keberagamaan pada orang
dewasa memiliki ciri-ciri :
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang,
bukan sekedar ikut-ikutan. Dapat kita katakan bahwa pada orang yang dewasa
telah memiliki pemikiran yang jauh lebih luas dan dimana ciri-ciri kematangan
dalam keberagamaanya telah tampak seperti : bersikap dan bertingkah sesuai
dengan nilai agama yang di anutnya.
2. Cenderung bersifat realis (nyata), sehingga norma-norma agama lebih banyak
diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku. Apa bila kita kaitkan dengan ciri-ciri
umum pada orang dewasa, bahwa sikap realis cenderung membawa perasaan
optimis pada seseorang tersebut, karena berpandangan bahwa usaha atas jerih
payahnya adalah pemberian dari tuhan.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk
mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan. Jika dikaitkan dengan
ciri-ciri umum pada orang yang dewasa ia memiliki sikap positif bahwa
kebutuhan akan agama.
4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri
hingga sikap keberagamaan merupakan realis (nyata) dari sikap hidup. Jika kita
kaitkan dengan ciri-ciri umumnya pada orang yang dewasa memiliki pemikiran
bahwa dia telah memiliki pengetahuan yang lebih luas dan mempunyai tanggung
jawab lebih dan Dapat menentukan jalan hidupnya.
5. Bersikap lebih terbuka dan berwawasan luas. Maksudnya bahwa pada orang yang
dewasa telah memiliki kematangan dalam berpikir dan menunjukan sikap
keberagamaanya terhadap lingkungan maupun masyarakat.
6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan
beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas
pertimbangan hati nurani. Dapat kita ketahui bahwa dia lebih memiliki wawasan
dan pengetahuan yang kuat. “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,”
menggambarkan bahwa di usia dewasa ini mereka sudah memiliki tanggung
jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata lain, berusaha untuk
mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-
masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima,
memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya. Jika kita kaitkan
dengan ciri-ciri umum bahwa sikap keberagamaan cenderung lebih mengarah
kepada psikis dan disalurkan melalui fisik.
8. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan social,
sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah
berkembang. Jika kita kaitkan dengan ciri umum bahwa pada orang dewasa lebih
dominan mengarahkan tingkah laku dan sikap nya yang terarah dengan
keagamaanya.

b. Perkembangan Keberagamaan Individu pada usia 50 tahun keatas


Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan
fisik berkurang, aktivitas menurun, seringg menggalami gangguan kesehatan yang
menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari penurunan kemampuan
fisik ini menyebabkan mereka yang berada pada usia lanjut merasa dirinya sudah
tidak berharga dan kurang diihargai.Jalaluddin (1997:101) Ciri – ciri keberagamaan
usia lanjut :
1. Kehidupan keagamaan pada manusia lanjut usia sudah mencapai tingkat
pemanfaatan.
2. Meningkatnya kecenderungan menerima pendapat keagamaan
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat
secara lebih sungguh – sungguh
4. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta
antar sesama manusia serta sifat- sifat luhur
5. Timbul rasa takut pada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya
6. Perasaan takut pada kematian berdampak pada peningkatan pembentukan
sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap kehidupan abadi (akhirat)
Materi Pertemuan 9 : Indikator Kematangan Beragama dan
Manifestasinya dalam Prilaku Keberagamaan.

Secara garis besar kematangan beragama seseorang adalah kemampuan


seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai
luhurnya. Orang tersebut menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku.
Nilai-nilai tersebut menjadi ciri dari kematangan beragama, jadi kematangan
beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta
mewujudkan  nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tersebut menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama
tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik,
keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang
mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Dalam manifestasinya perilaku keberagamaan diukur dari aspek aqidah,
ibadah, dan akhlaknya. Tetapi, karena aqidah merupakan hal yang bersifat abstrak dan
penelusurannya sangat sulit melalui inderawi, maka pengukuran tingkat
keberagamaan seseorang dapat ditelusuri melalui rutinitas pelaksanaan ibadahnya dan
penampilannya melalui akhlaknya.
1.    Rutinitas pelaksanaan ibadah, tercakup di dalamnya ibadah wajib dan sunnat.
2.    Pada masalah akhlak tercakup di dalamnya akhlakal-mahmudah dan akhlak
mazmumah. Akhlak al-mahmudah misalnya kepatuhan terhadap kedua orangtua,
menghormati guru dan etika dalam berpakaian. Sedangkan akhlak mazmumah adalah
membantah kedua orangtua, tidak menghormati guru dan tidak beretika dalam
menggunakan pakaian.
Kebanyakan dalam pelaksanaannya walaupun tidak menjalankan ajaran agama
secara konsekuen, tetapi mereka tetap percaya akan adanya Tuhan, bahkan telah
bersaksi melaluisyahadat, maka minimal mereka menempati kategori Mukmin dalam
arti percaya terhadap Tuhan. Dengan kata lain, seorang Muslim yang mengakui
adanya ajaran agama, tetapi ia tidak melaksanakannya secara konsekuen, maka orang
tersebut tidak boleh dicap sebagai kafir dalam arti telah keluar dari Islam.
Materi Pertemuan 10 : Konversi Agama
Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan
perubahan agama ataupun masuk agama (Jalaluddin, 2010). Pengertian konversi menurut
etimologi, konversi berasal dari kata latin “conversion” yang berarti: taubat, pindah, dan
berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam bahasa Inggris conversioan yang
mengandung pengertian: berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain.
Berdasarkan arti kata-kata di atas, dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung
pengertian: bertaubat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk
kedalam agama lain (Jalaluddin, 2010).
Menurut Clark (dalam Darajat, 2009) konversi agama sebagai sutau macam
pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup
berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi,
konversi agama menunjukkan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba mendapat hidayah
Allah secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal.
Perubahan tersebut dapat juga terjadi secara berangsur- angsur.
Beberapa ahli mengemukakan pendapat sesuai dengan bidang ilmu yang mereka
tekuni (Jalaluddin, 2010) antara lain:
a. Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong
terjadinya konversi agama adalah petunjuk Illahi. Pengaruh supranatural
berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri
seseorang ataupun kelompok.
b. Para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadi konversi
agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya
konversi agama itu terdiri dari adanya beberapa faktor antara lain:
1) Pengaruh hubungan antar pribadi, baik pergaulan yang bersifat
keagaamaan maupun non agama (kesenian, ilmu pengetahuan, maupun
bidang yang lain)
2) Pengaruh kehidupan yang rutin. Pengaruh ini dapat mendorong
seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jika dilakukan
secara rutin hingga terbiasa, misalnya: menghadiri upacara keagamaan,
ataupun pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan baik dalam
lembaga formal maupun informal.
3) Pengaruh anjuran ataupun propaganda dari orang-orang terdekat,
misalnya: karib, keluarga, dan sebagainya.
4) Pengaruh pemimpin keagamaan.
5) Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi.
6) Pengaruh kekuasaan pemimpin.
7) Faktor sosial yang mempengaruhi terjadinya konversi agama selaras
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kesuma (2011) pada suku
Baduy di Banten. Dalam penelitiannya, ia menemukan yang menjadi
salah satu faktor yang melatar belakangi masyarakat suku Baduy
melakukan konversi agama ialah karena adanya faktor sosial. Dimana,
mereka memeluk islam karena tertarik dengan ajaran islam yang
disampaikan oleh para pendakwah didaerah mereka. Selain itu, faktor
lainnya yang mempengaruhi masyarakat Baduy memeluk islam ialah
karena adanya hubungan perniakahn antara suku Baduy yang
beragama non islam dan beragama islam.
c. Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang mendorong terjadinya konversi
agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktorfaktor intern
maupun faktor ektern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang
atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, makan
akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin.
Materi Pertemuan 11 : Hubungan Psikologi Agama dengan Tasawuf

Tasawuf dapat dijadikan pijakan jiwa alternative dalam menghadapi problem


kehidupan yang semakin kompleks. Setiap orang membutuhkan pijakan dalam hidupnya
untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang berimplikasi pada psikologi pada
orang tersebut. Tasawuf dijadikan pijakan karena tasawuf lebih dekat dengan disiplin ilmu
psikologi. Akan tetapi sering kedua kajian tersebut seakan terpisahkan, padahal objek kajian
tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental berurusan dengan soal yang sama, yakni soal
jiwa.
Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat
sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang
dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul
kategorikategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan jelek atau
perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang
berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai
orang yang berakhlak jelek.
Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya
adalah ketenangan. Perilakunya juga akan menampakkan perilaku dan akhlak-akhlak yang
terpuji.
Dalam setiap akhlak dibutuhkan suatu penghayatan apakah akhlak itu baik atau buruk
melalui kejiwaan kita sendiri dimana kita akan menilai seberapa kita mampu menjalankan
segala sesuatu yang telah menjadi hak dan kewajiban kita sebagai muslim. Mengingat adanya
hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa,
terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian tentang
kejiwaan manusia itu sendiri.
Seperti yang dikatan sebelumnya bahwa akhlak tasawuf ialah suatu mendekatkan diri
kepada Allah SWT sedekat mungkin melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah.
Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan akhlak dalam segi agama akhlak tasawuf lebih
mendalam lagi, karenanya dibutuhkan keyakinan dalam kejiwaan seseorang, dalam hal ini
ialah ilmu jiwa agama yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan
mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku
serta keadaan hidup pada umumnya.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan
yang dikendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah
terciptanya keserasian antar keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan
para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan prilaku yang diperaktekan manusia dengan
dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi, dari sini terlihatlah
perbuatan itu berakhlak baik atau sebaliknya.
Ditekankanya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti mengabaikan unsur
jasmani manusia. Unsur ini juga penting karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam
melaksanakan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah. Seorang tidak mungkin sampai
kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat.
Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik.
Pandangan mengenai jiwa berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental yang merupakan
bagian dari ilmu jiwa (psikologi). (Tebba, 2003).
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan
dalam hidup, dan pada mereka akan timbul perasaan tenang hatinya. Namun, bagi orang yang
kurang sehat mentalnya hatinya tidak tenang sehingga menjauh dari Tuhannya.
Ketidaktenangan itu menjelma menjadi prilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari
norma-norma yang ada. Harus diakui, jiwa manusia seringkali sakit, ia tidak akan sehat
sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah. Bagi orang yang dekat dengan
Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan prilakunya pun terpuji. Pola kedekatan
manusia dengan Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf, dari sinilah tampak
keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa.
Materi Pertemuan 12 : Kesehatan Mental Menurut Paradigma Psikologi

 Psikoanalisa
Dalam kaitannya dengan psikoanalisa, sudah dijelaskan bahwa konsep
kesehatan mental yang diyakini oleh freud adalah ketika ego dapat menjembatani
antara dorongan id dan tuntutan superego secara realistis dan tanpa melibatkan
kecemasan pada individu atau dikenal dengan istilah ego strength. Konsep
psikoanalisis mendasarkan perilaku manusia yang timbul atas dasar dorongan id yang
dalam Islam disebut nafsu. Ada istilah superego, namun lebih ditekankan pada nilai-
nilai yang dianut dari lingkungan dan bukan potensi yang asalnya dari Tuhan.
Psikoanalisis terlalu menekankan alam bawah sadar sehingga terkesan
mengesampingkan akal. Islam sebagai sebuah cara pandang di dalam kesehatan
mental mengakomodir kemampuan akal dan bahkan qalb dalam mengatasi dorongan-
dorongan nafs yang negative. Qalb ini merupakan potensi yang datangnya dari Ilahi,
dan bukan hasil bentukan lingkungan seperti superego. Psikoanalisis juga terlalu
memandang negative manusia. Berbeda dengan Islam yang menggambarkan manusia
sebagai khalifah fi lard sekaligus insan kamil yang penuh dengan potensi positif.
Meski Islam juga tidak mengesampingkan bahwa manusia memiliki potensi negative.
 Behavioristik
Orang yang sehat mental menurut konsep behavioristic adalah orang yang
perilakunya merupakan hasil belajar yang benar. Pada hakikatnya, manusia adalah
kertas kosong yang perilakunya akan sangat ditentukan oleh pewarnaan lingkungan.
Sehingga kesehatan mental itu datangnya dari lingkungan. Behavioristik terlalu
memandang mekanis manusia dan terkesan mengabaikan potensi-potensi manusia
seperti akal, dan hati nurani.
Islam sebagai sebuah cara pandang dalam kesehatan mental, menerapkan
beberapa hokum behavioristic dalam metode penyampaian ajarannya. Ada istilah
pahala dan dosa yang berlaku sebagai reward dan punishment. Namun islam tidak
lantas memandang manusia berbuat baik atau jahat hanya karena adanya kedua hal
tersebut. Islam tidak mengabaikan potensi yang ada pada diri manusia, perilaku
manusia tidak hanya ditentukan lingkungan, namun individu juga memiliki kehendak
untuk memilih perilaku apa yang akan ditampakkannya. Apaka individu akan
menuruti nafs jelek? Atau akan menuruti qalb-nya?
 Humanistik
Dalam konsep humanistik memandang seseorang yang memiliki mental yang
sehat adalah orang yang dapat berfungsi sepenuhnya (fully functioning person), yaitu
orang-orang yang dapat mencapai penyesuaian psikologis secara baik. Orang-orang
tersebut memiliki tanda-tanda diantaranya adalah terbuka terhadap pengalaman,
percaya kepada organismenya sendiri, dapat mengekspresikan perasan-perasaannya
secara bebas, bertindak secara mandiri, dan kreatif.
Materi Pertemuan 13 : Dzikir dan Doa sebagai Psikoterapi Religius

 Manfaat Dzikir
Banyak sekali rahasia dan manfaat dari amaliah dzikir yang dilakukan oleh
para hamba yang beriman da bertaqwa, di antaranya yaitu daat menimbulkan
ketenangan dan kedamaian dalam jiwa bagi yang mengamalkannya.
Orang yang melakukan aktivitas dzikir dalam kehidupa sehari-hari senantiasa
menyelaraskan tujuan hidup mereka berdasarkan Manhaj Ilahiyah, yaitu semata-mata
untuk beribadah pada Allah Azza wa Jalla. Orang-orang yang berdzikir akan
meyadari akan hakikat ibadah kepada-Nya. Mereka seantiasa mengingat kasih
sayang-Nya. Mereka senantiasa ingat akan tujuan hidupnya. Lalu ketika mereka
dikaruniai oleh Allah harta yang banyak, mereka tidak lupa diri. Karena mereka
meyakini, bahwa harta bukanlah tujuan utama hidup mereka. Dengan harta dan
pangkat yang mereka miliki membuat mereka justru semakin dekat dengan Allah.
Sebagai hasilnya, jiwa mereka menjadi tentram, tenang, dan damai. Mereka
senantiasa mengingat Allah.
Suatu hal yang sungguh mengagumkan dari pengalaman dzikir ini, yaitu
adanya suatu penyerapan energi ilahiyah bagi orang yang senantiasa
mengamalkannya. Orang yang rjain berdzikir mempuyai kedekatan hubungan dengan
Allah (taqarrub ilahiyah). Hal ini mempunyai pengaruh dan dampak yag sangat hebat,
baik dalam fisik maupun dalam jiwa para pengamal zikir. Nurrullah (cahaya Allah)
itu begitu dekatnya dengan orang-orang yang berdzikir, sehingga merasakan cahaya-
Nya masuk ke dalam hati, pikiran, badan, jiwa, darah, dan kulit mereka. Untuk itulah
tidak mengherankan Nabi Shallaullahu Alaihi wa Sallam serig berdoa agar jiwa dan
raganya menjadi cahaya yang berasal dari cahaya Rabb-nya.
Kalau seseorang telah mendapatkan cahaya Allah, maka kebahagiaan akan
terpancar dalam kehidupannya sepanjang masa, baik di dunia maupun di akhirat.
Cahaya tersebut akan terus mengikutinya hingga nyawa terlepas dari raga. Hingga
ketika para ahli dzikir berada di alam kubur, cahaya tersebut akan menerangi kuburya.
Dzikir dapat melapangkan kesempitan hidup. Orang yag rajin berdzikir, akan
dimudahkan segala urusanya, baik urusa rezeki, pekerjaan, kesejahteraan, maupun
kesehatan. Orang yang rajin berdzikir akan dimudahkan rezekinya, dimudahkan
urusan pekerjaannya, dilapangkan kesejahteraannya, dan dijaga kesehatannya.

 Manfaat Doa
Doa merupakan unsur yag paling esensial daral ibadah. Ditegaskan oleh
rasulullah SAW. “Tiada sesuatu yang paling mulia dalam pandangan Allah, selain
berdoa kepada-Nya, sedang kita dalam keadaan lapang.” (H.R. Al-Hakim).
Ada beberapa keutamaan yang akan kita peroleh dalam berdoa:
1. menunaikan kewwajiban taat dan menjauhi maksiat
2. memperoleh naungan rahmat Allah SWT
3. meringankan beban penderitaan
4. menolak bencana, dan menolak tipu daya musuh
5. menghilangkan kegundahan, serta memudahkan kesukaran dan terpenuhinya
hajat.
Materi Pertemuan 14 : Tinjauan Psikologis Mengenai Shalat

Dalam kajian integrasi agama dan ilmu pengetahuan, terdapat penyatuan dua dimensi:
teosentris (dimensi ketuhanan) dan antroposentris (dimensi kemanusiaan). 6 Integrasi sendiri
ialah istilah untuk penggabungan dan penyatuan antara materi, pendekatan, maupun
pemikiran. Pada konteks studi Islam, tahapan pertama realisasi integrasi diarahkan pada
penggabungan dan penyatuan studi Islam dengan pelbagai disiplin keilmuan dan yang kedua
adalah penggabungan dan penyatuan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Pada dasarnya, Islam dan psikologi adalah satu kesatuan. Artinya, tanpa
diintegrasikan pun sebenarnya antara Islam dan psikologi sudah terintegrasi dari asalnya.
Sehingga adanya dikotomi antara Islam dan psikologi yang terjadi, disebabkan oleh
pemahaman nilai-nilai ajaran Islam universal (kaffah) yang salah.
Dengan ilmu psikologi seseorang dapat mengukur tingkat keagamaan dan mampu
menanamkan ajaran agama dalam dirinya dengan tepat. Memahami agama dengan berbagai
pendekatan mampu mengantarkan seseorang pada kepuasan beragama karena ada peran
agama dari segala aspek kehidupan. Abuddin Nata mengemukakan bahwa Psikologi
merupakan ilmu yang memelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati.
Sikap iman kepada Allah, saling tolong-menolong, memiliki sikap jujur, dan lainnya
merupakan perilaku kejiwaan seseorang yang berkaitan dengan agama.
Pendekatan psikologi sangat dibutuhkan dalam menafsirkan Alquran. Hal ini
dikarenakan dengan ilmu jiwa memudahkan untuk memahami tujuantujuan Alquran dan
menjadi tawaran solusi atas perselisihan yang banyak terjadi di kalangan ahli tafsir.
Pendekatan psikologi juga dapat memperluas makna-makna Alquran dengan menguraikan
jalinan ayat dan formulasinya, serta memperkenalkan situasi ayat pada dunianya. Tanpa
pendekatan ini makna akan menjadi sempit dan sederhana yang nyaris menjadikan jiwa
kurang berkenan yang akhirnya bertolak belakang dari salah satu tujuan Alquran.
Materi Pertemuan 15 : Konsep Kepribadian dan Fitrah dalam Pandangan
Psikologi Agama

Secara umum, selain diartikan dengan penciptaan secara makna bahasanya, dalam
tafsir, fitrah diartikan sebagai suatu kealamian atau kesucian yang diberikan Allah pada
manusia sejak awal penciptaan. Kata fitrah dan semua akar katanya disebutkan dalam al-
Qur’an di beberapa tempat. Setidaknya menurut Muhammad Fuad ‘Abd alBaqi dalam
Mu’jam Mufahras disebutkan sebanyak 20 kali. Dalam bentuk tsulâtsi mujarrad mâdhî
(fathara) delapan kata, mudhâri’ mazîd dua kata (yanfathirna), fi’il mâdhî mazîd (infatharat)
satu kata, fâ’il (fâthir) tujuh kata, bentuk mashdar fi’lah (fithrah) satu kata, bentuk jama’
mashdar (futhûr) satu kata, dan fâ’il dari tsulâtsi mazîd (mufâthir) satu kata. Masing-masing
ayat memuat terma fitrah memiliki bentuk, kategori, subjek, objek, aspek, dan makna
tersendiri. Subjek fitrah adalah Allah, karena dia “Dzat al-Fâthir” (Zat Maha Pencipta dari
permulaan, yaitu sejak awal tanpa ada contohnya). Sedangkan objeknya ada tiga, yaitu: 1)
manusia, 2) langit, dan 2) langit-bumi. Adapun fitrah dalam arti “penanaman agama ke dalam
diri manusia” memiliki dua fase, sebelum kelahiran dan ketika manusia lahir. Fase sebelum
kelahiran terjadi pada saat manusia masih berbentuk roh.
Fitrah manusia bersifat umum dan menyeluruh. Ia merupakan sifat yang menyifati
segala yang ada. Eksistensinya menjadi dan mengetahui dengan sendirinya. Ia layaknya
kesadaran manusia tanpa perlu diusahakan dan dicari, dan menuntun manusia untuk hidup
dan menjalani kehidupan “bagaimana seharusnya”, bukan hanya sekadar membiarkan
manusia hidup “apa adanya”. Walaupun terlihat mirip, makna fitrah masih bisa dibedakan
dengan kata insting (gharîzah) ataupun alami (thabî’ah). Kata insting lebih condong
digunakan untuk hewan karena mereka bergerak dan berperilaku tanpa dasar akal, dan kata
alami lebih cocok digunakan untuk benda-benda alam seperti tumbuh-tumbuhan. Maka, fitrah
merasuk ke dalam segala segi kehidupan manusia termasuk etika, psikologis, dan bahkan
teologi. Jika dilihat dari substansinya, fitrah manusia dapat diklasifikasikan sebagai dua cara
untuk mengenal Tuhan, yaitu: 1) fitrah sebagai naluri, sifat, dan pembawaan asli manusia
untuk mengenal Tuhan dan 2) fitrah sebagai wahyu dari Tuhan yang diturunkan melalui para
nabiNya. Jadi, potensi fitrah manusia dan agama merupakan dua sisi mata koin yang tidak
bisa dipisahkan. Karena fitrah sudah dimasukkan dalam jiwa manusia dan kalimat tauhid
dalam arti pengakuan akan Allah SWT sebagai Pencipta, maka kedatangan para nabi tidak
lebih dari sekadar pengingat (mudzakkir) manusia kepada fitrahnya dan membimbing mereka
untuk menyelami dan memahami dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai