Oleh: Ahmad1
Abstrak
1
Mahasiswa Strata 1 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Darul Ulum Kota Baru
A. Pendahuluan
2
Ramadan Lubis, Psikologi Agama, (Medan: Perdana Publishing, 2019), h.4.
3
Redmon Windu Gumati dan Juharah, Psikologi Agama, (Bandung: Widina Bhakti Persada
Bandung, 2020), h.4.
Berikutnya kata agama juga menyangkut masalah yang berhubungan
dengan kehidupan batiniah manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang
sulit diukur secara tepat dan terperinci. Hal ini pula yang menyulitkan para ahli
untuk mendefinisikan yang tepat tentang agama. J.H. Leube dalam bukunya
APsychological Study of Religion telah memasukkan lampiran yang berisi 48
definisi agama, tampaknya juga belum memuaskan. Max Muller berpendapat
bahwa definisi agama secara lengkap belum tercapai kerena penelitian terhadap
agama terus dilakukan dan para ahli masih menyelidiki asal-usul agama. Edward
Burnett Tylor berpendapat bahwa definisi minimal agama adalah "Kepercayaan
kepada wujud spiritual" (the belief in spiritual beings).
Psikologi Agama menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat ialah meneliti
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang
bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi,
dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan
masuk ke dalam kontribusi kepribadiannya. Dr. Nico Syukur Dister berpendapat
psikologi agama adalah ilmu yang menyelidiki pendorong tindakan-tindakan
manusia, baik yang sadar maupun yang tidak sadar, yang berhubungan dengan
kepercayaan terhadap ajaran/wahyu "Nan Illahi" (segala sesuatu yang bersifat
Dewa-Dewa) yang juga tidak terlepas dari pembahasan hubungan manusia
dengan lingkungannya. Dari pendapat para ahli tersebut tentang psikologi agama
dapat diambil pengertian secara umum, psikologi agama yaitu ilmu pengetahuan
yang membahas pengaruh agama dalam diri (kognitif atau pengetahuan, afektif
atau perasaan/sikap, behavior atau perilaku atau tindakan) seseorang dalam
kehidupannya yaitu dalam berinteraksi dengan Tuhan/Pencipta, sesama manusia
dan lingkungannya.4
Dalam Islam, Nabi dan Rasul juga selalu mengalami perjalanan spiritual.
Salah satu perjalanan spiritual tersebut adalah yg dilakukan Nabi Ibrahim As
dalam mencari Tuhan. Selain itu ada perjalan spiritual Nabi Muhammad Saw.
Ketika berkhalwat atau menyepi dan ketika isra’ mi’raj. Dengan demikian pada
dasarnya objek kajian psikologi agama sudah ada jauh sebelum kajian psikologi
agama itu lahir. Hanya saja, saat itu ilmu pengetahuan belum berkembang
dikarenakan berbagai faktor sehingga fenomena-fenomena keagamaan yang
dialami oleh Siddharta Gautama serta para Nabi dan Rasul tidak dipelajari secara
detail dan sistematis. Dalam tradisi Islam sendiri, sejatinya tema tentang
psikologi agama sudah lebih dahulu ditulis sebelum kajian objektif psikologi
4
Sudirman, Perkembangan Psikologi Agama, jurnalstitnualhikmah, Vol. 1 No. 1, 2018, hal.1.
agama lahir dan menemukan identitasnya pada akhir abad ke-19. Islam
melahirkan banyak tokoh filsafat dan tasawuf yang kemudian menuliskan
pengalaman spiritualnya menjadi kitab. Hanya saja, pengalaman spiritual
tersebut tidak ditindaklanjuti dengan penelitian. Misalkan, kitab Ibnu Arabi yang
berjudul Fushush al-Hikam yang menurut pengakuannya didiktekan langsung
oleh Nabi Muhammad Saw dalam mimpi (al Fayyadi, 2012), kitab Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani yang berjudul Ghuyat al-Thalibin, Str al-Asrar, dan Futük al-
Ghayb (al-Jilanı, 2006), kitab Imam Abu Hamid al-Ghazali yang berjudul
Kimiya' al-Sa'adat yang ber isi cara menggapai kebahagiaan spiritual dengan
mengelola kejiwaan, kitab Bidayatul Hidayah yang berisi etika melakukan
berbagai aktivitas keseharian dan ritual keagamaan, dan kitab al-Munqidz min
al-Dialal yang berisi berbagai hal yang menjadi penyelamat diri dari kesesatan.
Tidak ada waktu secara pasti yang menandai kelahiran pakologi agama.
Menurut para ahli psikologi, kajian mengenai psikologi agama mulai populer
sekitar akhir abad ke-19. Pada waktu itu, psikologi yang semakin berkembang
digunakan sebagai alat untuk mengkaji berbagai dinamika kejiwaan, termasuk
proses beragama. Kajian dan penelitian semacam itu dapat membantu
pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir, dan mengemukakan
perasaan keagamaan.
Pada awal kemunculan psikologi agama bisa dikatakan kurang diterima oleh
kalangan ilmuan ataupun agamawan.7 Antara psikolog dan ahli agama memiliki
ego masing-masing, sehingga hubungan keduanya tercatat kurang harmonis.
Psikolog menuduh agama sebagai obsesi buta, bahkan terkadang sebagai
pemenuhan keinginan kanak-kanak atau ilusi belaka, sebagaimana yang dikatan
Freud sebelum seseorang mendalami agama, ia harus sakit jiwa dulu. Seoalah-
olah Freud menuduh orang yang beragama adalah orang gila, tidak punya tujuan
hidup, terombang-ambing di tengah samudra kehidupan yang ganas. Apapun
yang dilihat oleh orang yang beragama bagaikan fatamorgana belaka.
Ahli agama juga tidak mau kalah, mereka melontarkan kalimat balasan
“tidak ada kompromi antara agama dengan kelompok psikolog. Budaya
kelompok psikolog tidak bertuhan (ateis). Budaya ini sekarang sedang bergerak
untuk memporak-porandakan struktur moral masyarakat melalui ajakan yang
kurang ikhlas untuk bersifat toleran, penuh kasih, dan menghargai keragaman.
Di lain tempat pada situs khusus meraka (agamawan) menyerang psikolog
dengan menyatakan, ”mungkinkah ada persahabatan antara kegelapan dengan
cahaya. Mungkinkah pohon yang tak bertuhan menghasilkan buah yang baik?
Titik pandang yang berbeda ini menimbulkan persepsi yang cukup sulit
untuk dipertemukan usaha untuk mempelajari agama melalui pendekatan
psikologi, bukaan usaha yang mudah. Baik para ilmuan yang berkecimpung di
bidang psikologi maupun bidang agama menolak usaha tersebut. Di kalangan
5
Ahmad Saifuddin, Psikologi Agama, (Jakarta Utara: Kencana, 2019), h. 31-35.
6
Muh. Mawagir, Psikologi Agama, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hal. 15
7
Op. Cit., Ahmad Saifuudin, h. 40.
psikolog menolak, karena menurut mereka mengkaji agama tidak mungkin
bersifat ilmiah (pengetahuan empiris). Agama yang menyangkut hal-hal ghaib
berada di luar jangkauan pengetahuan (akal manusia), yang menelaah persoalan
yang berhubungan dengan pengalaman manusia. Sebaliknya, ahli agama
berkeberatan bila agama dibahas secara ilmiah, juga berdasarkan alasan praktis.
Psikologi dikhawatirkan akan mempengaruhi norma-norma agama, bahkan
melecehkan agama dan agama dipandang rendah, bahkan yang lebih parah lagi
akan pengaruhi masalah keimanan seseorang yang beragama.
Dari statemen panjang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
jalan lain untuk tidak menyatukan dua pandangan yang berseberangan ini,
ternyata dari pandangan yang berbeda ini memiliki persamaan yang dapat
menyatukan dua hal yang berbeda ini menjadi sebuah ilmu yang dapat berguna
untuk kehidupan manusia itu sendiri.
Sebagai displin ilmu yang baru boleh dikatakan, psikologi agama dapat
dirujuk dari karya penulis Barat, antara lain karya Jonathan Edward, Emile
Durcheim, Edward B. Taylor maupun Stanley Hall yang memuat kajian
mengenai agama dan suku-suku primitif dan mengenai konversi agama.
Sebaliknya, di dunia timur, khususnya di wilayah-wilayah kekuasaan Islam,
tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal serupa belum sempat
dimasukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar di abad ke 7 Masehi
berjudul Al-Syi’ar wa al-maghazi memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi
Muhammad SAW (ataupun Risalah Hayy Ibn yaqzan fi Ashrar al-Hikmat al-
masyriqiyyat yang di tulis oleh Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malin Ibn
Tufail (1110-1185 M) telah lebih muncul namun oleh ahli psikolog Barat tidak
mengakuinya.
Demikian pula karya besar Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059- 1111
M) berjudul Ihya’ ‘ulum al-Din, dan juga bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal
(penyelamat dari kesesatan) sebenarnya, kaya akan akan muatan permasalahan
yang berkaitan dengan materi kajian psikologi agama. Diperkirakan masih
banyak tulisan-tulisan ilmuan Muslim yang berisi kajian mengenai
permasalahan serupa, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak sempat
dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu psikologi agama seperti
halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuan barat.
Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan penyebab. Pertama Sejak masa
kemunduran negara-nagara Islam, perhatian para ilmuwan terhadap kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan mulai menurun, karena disibukkan dengan
permasalahan politik negara yang tidak stabil. Kedua Karena adanya
penyerangan bangsa Mongol ke pusat peradaban Islam di Baghdad, dan
kekalahan Islam di Andalusia yang berakhir dengan terjadinya pemusnahan
karya para ilmuwan muslim karena sebagian dibakar dan sebagian lagi ke Barat
kemudian kitab-kitab yang berbahasa Arab diganti dengan bahasa mereka
(Barat) yang pada akhirnya terjadi kehidupan fatalisme pada kaum muslimin.
Ketiga Sikap kurang terpuji dari para ilmuwan Barat sendiri (terutama setelah
zaman kemunduran Islam), mereka kurang menghargai karya-karya para
ilmuwan muslim. Keempat Karya-karya ilmuwan muslim pada zaman klasik
umumnya ditulis oleh para ilmuwan yang dizamannya dikenal dengan sebutan
yang berkonotasi keagamaan seperti mufassiri (ahli tafsir), muhaditsin (ahli
hadis), fuqaha (ahli fiqih), ataupun ahlul hikmat (filosof), sehingga kara-karya
mereka seakan-akan ilmu-ilmu yang murni agama (Islam).8
8
Abdul Khobir, Pengantar Dasar-Dasar Psikologi Agama, (Pekalongan: Rizquna, 2021), h. 27-28.
9
Ibid, h. 25.
10
Surawan dan Mazrur, Psikologi Perkembangan Agama: Sebuah Tahapan Perkembangan Agama
Manusia, (Yogyakarta: K-Media, 2020), h. 11-12.
tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan dengan konsep-konsep yang
serupa.11
11
Sudirman, Perkembangan Psikologi Agama, Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, Vol.1 No.1,
November 2018, h. 4.
12
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2015) h. 30- 31.
13
Yandi Hafizallah, Psikologi Islam, Jurnal of Psikologi, Religion, Humanity, Vol.1 No. 1, 2019, h. 6.
misalnya, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang-orang yang
beriman, sikap, tingkah laku dan doa-doa mereka dan begitu juga sebaliknya
dengan orang-orang kafir. Di samping itu juga, terdapat ayat-ayat yang berbicara
tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan dan sikap yang
terjadi karena goncangan kejiwaan sekaligus tentang pengobatan jiwa.14
Di indonesia sendiri psikologi agama baru dikenal sekitaran tahun 1970- an,
yaitu oleh Zakiah Daradjat, beliau banyak menulis dan mengajarkan Psikologi
Agama. Sejak itu beliau dikenal sebagai tokoh akademis tentang Psikologi
Agama. Prof. Dr. Zakiah Daradjat sebetulnya sudah banyak menghasilan karya-
karya tentang Psikologi Agama diantara: Ilmu Jiwa Agama, Peranan Agama
Dalam Kesehatan Mental, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan
Islam di Indonesia dan masih banyak tulisan tulisan beliau yang menyangkut
tentang kejiwaan dan agama yang di muat dalam jurnal-jurnal. Adapun
pengenalan Psikologi Agama di lingkungan perguruan tinggi dilakukan oleh H.
A Mukti Ali dan Zakiah Darajat. Buku-buku yang khusus mengenai Psikologi
Agama banyak dihasilkan oleh Zakiah Darajat, antara lain: Ilmu Jiwa Agama,
Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, dan Kesehatan Mental. Hasan
Langgulung juga menulis buku Teori-teori Kesehatan Mental yang juga ikut
memperkaya khazanah bagi perkembangan Psikologi Agama di Indonesia.15
F. Kesimpulan
14
Dahlia Lubis, Kerukunan Perspektif Psikologi Agama Pemikiran Zakiah Daradjat Tentang
Kerukunan Umat Beragama, (Medan: Perdana publishing, 2017), h. 26.
15
Op. Cit., Redmon Windu Gumanti dan Juhara, h. 19.
Fenomena terkait psikologi agama, sejatinya sudah terjadi sebelum study
psikologi agama itu sendiri lahir. Misalakan, perjalanan spiritual Shiddharta
Gautama sampai menjadi Buddha.
Arifin, Bambang Syamsul, Psikologi Agama, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2015).