Anda di halaman 1dari 21

Psikologi Agama: Sejarah Perkembangan Psikologi Agama

Oleh: Ahmad1
Abstrak

Bahasan ini berusaha mengungkap begaimana proses sejarah perkembangan


psikologi agama diberbagai wilayah termasuk didalamnya adalah bagaimana
perkembangan psikologi agama dibagian barat, timur dan indonesia.
Berdasarkan hasil analisa penulis dengan menggunakan metode daftar
pustaka ditemukan diantaranya 1. Perkembangan psikologi agama di Barat
mengalami pasang surut. Bersamaan dengan perkembangan psikologi modern,
pada tahun 1890-an, psikologi berkembang pesat. Tetapi pada tahun 1930-1950
psikologi agama mengalami penurunan. (2) Sebenarnya kalau dikaji secara
mendalam, bahwa di dunia Timur (Islam) telah lebih dulu muncul tulisan tentang
proses pertumbuhan dan perasaan kegamaan, sebagai contoh Ibnu Tufail menulis
buku berjudul “Hay Ibn Yagdzan, karyanya mengungkapkan proses pertumbuhan
dan perasaan keagamaan dari seorang anak yang dilahirkan di pulau terpencil. Al-
Ghazali, telah mengahsilkan karya tulis dalam bukunya Al-Munkiz Min al-Dzalal
(Penyelamat dari kesesatan). Tetapi Psikolog Barat tidak melihat tulisan mereka ini
sebagai karya yang berbungan dengan ilmu jiwa agama. (3) Kalau melihat
perkembangan pendidikan psikologi agama di Indonesia, maka boleh dikatakan
bahwa psikologi agama, pada dasarnya dikenal pada akhir abab ke-20. Untuk
mengetahui secara pasti kapan agama pertama kali diteliti secara psikologi memang
agak susah karena dalam agama itu sendiri telah terkandung di dalamnya pengaruh
agama terhadap jiwa.
Kata Kunci: Psikologi Agama, Sejarah, Perkembangan

1
Mahasiswa Strata 1 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Darul Ulum Kota Baru
A. Pendahuluan

Psikologi agama merupakan cabang ilmu psikologi yang meneliti dan


mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan
terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan pengaruh usia
masing-masing. Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut
dilakukan melalui pendekatan Psikologi. Tegasnya psikologi agama
mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang memantul dan
memperlihatkan diri dalam perilaku dan kaitannya dengan kesadaran dan
pengalaman agama manusia. 2Psikologi agama berbeda dari cabang-cabang
psikologi yang lainya, karena dihubungkan dengan dua bidang pengetahuan
yang berlainan. Sebagian harus tunduk kepada agama dan sebagian lainnya
tunduk kepada ilmu jiwa (psikologi). Sebagaimana telah diketahui bahwa
psikologi agama sebagai salah-satu cabang dari psikologi, merupakan ilmu
terapan.

Psikologi Agama menggunakan dua kata yaitu "psikologi" dan "agama".


Kedua kata tersebut memiliki pengertian dan penggunaan yang berbeda,
meskipun keduanya memiliki aspek kajian yang sama yaitu aspek batin manusia.
Kata Psikologi (ilmu jiwa) dipergunakan secara umum untuk ilmu yang
mempelajari tentang tingkah laku manusia. Psikologi secara umum diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan
beradab. Menurut Robert H. Thouless, mendefinisikan psikologi sebagai ilmu
tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. Menurut Plato dan Aristoteles
psikologi adalah ilmu yang mempelajari hakikat manusia. Secara umum
psikologi adalah sebuah ilmu yang meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah
laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di
belakangnya.3

2
Ramadan Lubis, Psikologi Agama, (Medan: Perdana Publishing, 2019), h.4.
3
Redmon Windu Gumati dan Juharah, Psikologi Agama, (Bandung: Widina Bhakti Persada
Bandung, 2020), h.4.
Berikutnya kata agama juga menyangkut masalah yang berhubungan
dengan kehidupan batiniah manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang
sulit diukur secara tepat dan terperinci. Hal ini pula yang menyulitkan para ahli
untuk mendefinisikan yang tepat tentang agama. J.H. Leube dalam bukunya
APsychological Study of Religion telah memasukkan lampiran yang berisi 48
definisi agama, tampaknya juga belum memuaskan. Max Muller berpendapat
bahwa definisi agama secara lengkap belum tercapai kerena penelitian terhadap
agama terus dilakukan dan para ahli masih menyelidiki asal-usul agama. Edward
Burnett Tylor berpendapat bahwa definisi minimal agama adalah "Kepercayaan
kepada wujud spiritual" (the belief in spiritual beings).

Agama berasal dari bahasa Sansekerta. Harun Nasution merunut pengertian


agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere, religare) dan agama.
Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa
Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan,
kebiasaan. Sedangkan dari kata religi atau relegere berarti mengumpulkan dan
membaca. Emile Durkheim berpendapat agama adalah alam gaib yang tidak
dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia sendiri. Menurut
Sutan Takdir Alisjahbana agama adalah suatu sistem kelakuan dan perhubungan
manusia yang berpokok pada perhubungan manusia dengan rahasia kekuatan
dan kegaiban yang tidak berhingga luas, mendalam dan mesranya, sehingga
memberi arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengelilinginya.
Agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Fungsi dasar
agama adalah memberikan orientasi, motivasi dan membantu manusia untuk
mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral.

Psikologi Agama menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat ialah meneliti
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang
bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi,
dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan
masuk ke dalam kontribusi kepribadiannya. Dr. Nico Syukur Dister berpendapat
psikologi agama adalah ilmu yang menyelidiki pendorong tindakan-tindakan
manusia, baik yang sadar maupun yang tidak sadar, yang berhubungan dengan
kepercayaan terhadap ajaran/wahyu "Nan Illahi" (segala sesuatu yang bersifat
Dewa-Dewa) yang juga tidak terlepas dari pembahasan hubungan manusia
dengan lingkungannya. Dari pendapat para ahli tersebut tentang psikologi agama
dapat diambil pengertian secara umum, psikologi agama yaitu ilmu pengetahuan
yang membahas pengaruh agama dalam diri (kognitif atau pengetahuan, afektif
atau perasaan/sikap, behavior atau perilaku atau tindakan) seseorang dalam
kehidupannya yaitu dalam berinteraksi dengan Tuhan/Pencipta, sesama manusia
dan lingkungannya.4

B. Sejarah Kemunculan Psikologi Agama

Fenomena terkait psikologi agama, sejatinya sudah terjadi sebelum study


psikologi agama itu sendiri lahir. Misalakan, perjalanan spiritual Shiddharta
Gautama sampai menjadi Buddha. Awalnya, Shiddhartha Gautama adalah
seorang anak raja kapilawastu penganut agama Hindu. Didalam istananya,
Shiddhartha Gautama melihat ketimpangan sosial dan rakyat yang sengsara.
Kondisi ini mendorongnya untuk keluar dari istana dan memulai perjalanan
spiritual untuk menemukan solusi dari berbagai permasalahan yang dilihatnya.
Sampai akhirnya Shiddhartha Gautama menemukan konsep ajaran Buddha.

Dalam Islam, Nabi dan Rasul juga selalu mengalami perjalanan spiritual.
Salah satu perjalanan spiritual tersebut adalah yg dilakukan Nabi Ibrahim As
dalam mencari Tuhan. Selain itu ada perjalan spiritual Nabi Muhammad Saw.
Ketika berkhalwat atau menyepi dan ketika isra’ mi’raj. Dengan demikian pada
dasarnya objek kajian psikologi agama sudah ada jauh sebelum kajian psikologi
agama itu lahir. Hanya saja, saat itu ilmu pengetahuan belum berkembang
dikarenakan berbagai faktor sehingga fenomena-fenomena keagamaan yang
dialami oleh Siddharta Gautama serta para Nabi dan Rasul tidak dipelajari secara
detail dan sistematis. Dalam tradisi Islam sendiri, sejatinya tema tentang
psikologi agama sudah lebih dahulu ditulis sebelum kajian objektif psikologi

4
Sudirman, Perkembangan Psikologi Agama, jurnalstitnualhikmah, Vol. 1 No. 1, 2018, hal.1.
agama lahir dan menemukan identitasnya pada akhir abad ke-19. Islam
melahirkan banyak tokoh filsafat dan tasawuf yang kemudian menuliskan
pengalaman spiritualnya menjadi kitab. Hanya saja, pengalaman spiritual
tersebut tidak ditindaklanjuti dengan penelitian. Misalkan, kitab Ibnu Arabi yang
berjudul Fushush al-Hikam yang menurut pengakuannya didiktekan langsung
oleh Nabi Muhammad Saw dalam mimpi (al Fayyadi, 2012), kitab Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani yang berjudul Ghuyat al-Thalibin, Str al-Asrar, dan Futük al-
Ghayb (al-Jilanı, 2006), kitab Imam Abu Hamid al-Ghazali yang berjudul
Kimiya' al-Sa'adat yang ber isi cara menggapai kebahagiaan spiritual dengan
mengelola kejiwaan, kitab Bidayatul Hidayah yang berisi etika melakukan
berbagai aktivitas keseharian dan ritual keagamaan, dan kitab al-Munqidz min
al-Dialal yang berisi berbagai hal yang menjadi penyelamat diri dari kesesatan.

Tidak ada waktu secara pasti yang menandai kelahiran pakologi agama.
Menurut para ahli psikologi, kajian mengenai psikologi agama mulai populer
sekitar akhir abad ke-19. Pada waktu itu, psikologi yang semakin berkembang
digunakan sebagai alat untuk mengkaji berbagai dinamika kejiwaan, termasuk
proses beragama. Kajian dan penelitian semacam itu dapat membantu
pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir, dan mengemukakan
perasaan keagamaan.

Ada beberapa peristiwa yang menjadi indikator semakin populernya


psikologi agama, yaitu ditulisnya berbagai tema dari psikologi agama. Misalkan,
Sir Francis Galton seorang saintis Inggris yang berminat pada psikologi
mengadakan kajian kritis dan objektif tentang efektivitas doa. Kemudian, di
Amerika G. Stanley Hall yang merupakan pimpinan Clark Universary
mengadakan kajian sistematis mengenai gejala religious conversion (Perubahan
kehidupan secara dramatis, termasuk pindah agama) di kalangan remaja tahun
1881. Hasilnya, terdapat kaitan dan hubungan antara perubahan biologis yang
terjadi pada kalangan remaja, terutama perkembangan seksual, dengan gejala
konversi agama Karena ditemukan sebagian besar pengalaman konversi agama
terjadi pada masa pubertas ketika perubahan-perubahan fisiologis dan
kematangan seksual terjadi. Dengan demikian, Hall mencoba memberikan
tafsiran materialistik terhadap fenomena keagamaan. Lebih jauh lagi Hall
menemukan adanya persamaan antara orang beragama dan orang yang jatuh
cinta. Hal ini ditandai dengan kesamaan sikap antara orang beragama dengan
orang yang jatuh cinta, yaitu perubahan orientasi perilaku dari egosentrisme
menjadi penuh dedikasi terhadap yang dipuja, sehingga orang beragama bersedia
dan rajin melakukan ritual keagamaan dan kewajiban-kewajiban beragama.
Puncak dari kontribusi Hall di bidang psikologi agama terungkap dalam bukunya
yang berjudul Je sus, the Christ, in the Light of Psychology. Dalam buku ini.
Hall mengkaju secara mendalam pribadi Jesus dalam kaitan dengan proses
evoluasi dan transformasi jiwa manusia. Edwin Diller Starbuck menulis buku
yang berjudul The Psychology of Religion. An Empirical Study of Growth of
Religion Counsciousness di terbitkan pada 1899 di New York. Buku ini berisi
hasil kajian dan penelitian Starbuck terhadap konversi agama dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif. Starbuck menerapkan pendekatan
kuantitatif dengan menggunakan metode kuesioner. Berdasarkan fakta yang
dikumpulkan dan dianalisis secara statistik. Starbuck melacak lebih lanjut
tentang gejala konversi agama dan proses perkembangan agama secara umum.
Starbuck berkesimpulan bahwa meskipun gejala konversi banyak terjadi di masa
remaja, saat di mana aspek seksual berkembang, tetapi bukan berarti kesadaran
agama itu terkait secara langsung dengan perkembangan seksual. Kehidupan
beragama berakar pada seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak hanya
disebabkan oleh faktor kemasakan seksual saja. Dalam bukunya tersebut, Coe
menjelaskan bahwa konflik dan kebimbingan beragama tidak hanya mengarah
kepada terjadinya konversi agama tetapi juga dapat menjadi pemicu untuk
perkembangan kehidupan beragama yang normal. Kemudian, pada 1501 Dame
Juhan mengkaji tentang wahyu dengan bukunya Revelari on of Devine Love.

Beberapa tahun kemudian, William James, seorang guru besar di


Universitas Harvard, diundang untuk memberikan kuliah tata prakarsa Yayasan
Gifford di Universitas Edinburgh, Kuliah-kuliah ini yang diberikannya di empat
universitas di Skotlandia, diprakarsai oleh Lord Gafford untuk menampilkan
kapan agama sebagai salah satu cabang Ilmu keagamaan. Gifford mengawali
kuliah-kuliahnya dengan menyatakan ketidak-percayaan bahwa agama dapat di
kaji. Akan tetapi, William James meyakini hal sebaliknya. Alurnya kuliah-kuliah
William James tersebut ditulis menjadi buku yang berjudul The Varieties of
Religious Experience pada tahun 1903. Buku ini segera menimbulkan kesan
positif lebih besar daripada buku Starbuck dan dalam jangka waktu yang cukup
lama, buku ini merupakan sedikir buku psikologi pada saat itu yang hingga kini
dibaca banyak orang. Hal yang membuat buku William James ini menarik adalah
William James meletakkan dasar untuk mendapatkan pemahaman yang benar
terha dap agama. Dasar dan landasan ini dapat dilukiskan sebagai "sejarah
alamiah agama. Pada waktu-waktu tersebut kapan agama berdasarkan perspektif
psikologi telah menemukan identitas nya dengan nama "Psikologi Agama”. Ada
dua sumbangan besar yang diberikan William James dalam perkembangan
psikologi agama. Pertama, dalam mengkaji fenomena kehidupan beragama
james menggunakan pendekatan yang bersifat subjektif fenomenologis. Ini
berbeda dengan tokoh-tokoh psikologi aga ma yang disebutkan sebelumnya,
yang pada umumnya mempunyai lan dasan pemikiran medical materialism, yang
mengkaitkan gejala-gejala keagamaan dengan faktor fisik dan menggunakan
metode pendekatan objektif. Daripada mencoba penjelasan ilmiah tentang suatu
fenomena, William James lebih suka terjun lebih ke dalam pengalaman
pengalam an subjektif Dari sini james dapat menjelaskan fenomena keagamaan
darı perspektif orang yang mengalami sendiri.

Selanjutnya, George Albert Coe menerbitkan buku yang berjudul The


Spiritual Life pada 1900. Buku ini berisi penelitian Coe. Dalam penelitian
tersebut, Coe menggunakan teknik hipnosis untuk melihat keterkaitan antara
reaksi religius seseorang dengan tempramennya. Kedua, berkaitan dengan
bahan bahan yang dapat dijadikan sebagai kapan datam pakalogi agama. Data-
data ilmiah tidak hanya dapat dikumpulkan dari enye baran angket atau
wawancara dengan sejumlah orang, tetapi ternyata dokumen-dokumen personal
seperti buku harian, catatan catatan pri badi, autobiografi dan sebagainya
merupakan bahan yang tak kalah pentingnya. Hal ini terlihat dalam buku The
Varieties of Religous Expe riences yang hanyak menampilkan kumpan kumpan
dari pengalaman langsung sebagai ilustrasi pembahasan.

Ketika para ilmuwan di Amerika banyak yang tertarik dengan ka nan


perilaku keagamaan berdasarkan perspektif psikologi, hal yang sama juga terjadi
di Jerman. Bedanya, jika kajian psikologi agama di Amerika banyak dilakukan
oleh para irouwan psikologi, di jerman kajian psikologi agama banyak dilakukan
oleh para filsuf dan teolog. Misalnya, pada 1895 Gustav Vorbrodt
memperkenalkan pentingnya studi psikologi deskriptif untuk kajian teologi yang
sistematis. Selain itu. Emile Koch menganggap perlunya kajian psikologi agama
terlepas dari masalah metafisika dan persoalan teologis. Pendapat ini didukung
oleh Hermann Faber yang menyatakan bahwa psikologi agama harus betul-betul
merupakan ilmu yang empiris. Beberapa Umuwan Jerman lain yang mengkaji
psikologi agama pada masa ini adalah: George Wob bermin yang
menerjemahkan tulisan William James yang berjudul The. Varieties of Religious
Experiences ke dalam bahasa Jerman, Wilhelm Wundt yang mendirikan
laboratorium psikologi pertama di Leipzeig Jerman, juga berpandangan bahwa
agama merupakan usaha manusia mencari makna dari pengalaman hidup sehari-
hari, serta Karl Girger sohn yang meneliti stimulus religius-seperti nyanyian,
puisi, atau ka limat pendek-dan menghasilkan bahwa pengalaman beragama
memi liki dua aspek penting, yaitu adanya pikiran intuitif tentang ketuhanan dan
keyakinan bahwa objek dari pikiran itu merupakan suatu realitas yang tidak perlu
dipertanyakan, tetapi perlu direspons.

Kajian psikologi agama tersebut juga menyebar di Perancis. Maine de Biran


menerapkan metode observasi untuk mengungkap penga laman-pengalaman
batiniahnya sendiri yang bersifat subjektif. Biran juga mencoba
mengembangkan teori "kehidupan ketiga" yaitu kehi dupan rohani yang
menurutnya di luar kesadaran pengindraan dan di luar pemikiran dari kehidupan
akal. Ilmuwan Perancis lain yang bernama Auguste Sabatier mengembangkan
teori simbolisme, kritis rentang agama. Menurutnya, agama pada mulanya
adalah masalah kesalehan subjektif sebagai hasil dari petunjuk Tuhan. Imajinası
ma nusia secara spontan mengubah kesalehan ini dalam bentuk imajinasi
mitologis dan dogma dogma. Ini merupakan cara untuk mengikat dan mendidik
pengikut orang saleh tersebut. Selain itu, dogma-dogma ini merupakan simbol
penting untuk mengembangkan kesalehan pada diri individu lain. Maka dari itu,
Sabatier berpendapat bahwa sebuah kerugian besar ketika ada orang yang
beranggapan bahwa dogma-dog ma dalam agama sebagai bentuk final. Dogma
tersebut hanya sebagai sarana bagi manusia untuk mencapai pengalaman
subjektif dengan Tu han. Di sisi lain, ilmuwan yang bernama Jean Martin
Charchot yang bekerja di rumah sakit Salpetriere Perancis banyak mengadakan
pene litian tentang gangguan jiwa dengan menggunakan metode hipnosis.
Charchot menyimpulkan bahwa orang kerasukan rob atau jin adalah orang yang
mengalami abnormalitas histeria. Charchet juga menya takan bahwa
penyembuhan secara keagamaan pada dasarnya adalah bentuk auto-sugesti.
Murid Charchot yang bernama Pierre janer meng ikuti jejak Charchot dengan
mengadakan kajian psikologi agama. Pier re Janet meneliti kondisi kejiwaan
yang menyumpang tetapi berkaitan dengan keagamaan. Janet menyumpulkan
bahwa di bawah kesadaran mistis, sebenarnya terletak suatu kondisi gangguan
awa yang disebut psychastenia atau kurang lebih seperti obsesif kompulsif.
Maka dari itu. tidak aneh jika kondisi orang mistikus atau beragama dan orang
gang guan jiwa memiliki kesamaan, meskipun pada intinya berbeda.

Pada 1904, terbit buku yang berjudul The Psychology of Religious


Experience karya Edward S. Ames. Ide pokok dari buku tersebut adalah bahwa
agama timbul dalam kehidupan manusia dalam rangka meme lihara nilai-nilai
sosial. Tahun 1911, George M. Stratton menerbitkan Psychology of the Religious
Life yang mengungkap kehidupan beragama berawal dari adanya konflik dalam
diri seseorang. Kemudian, pada 1920. J.B. Pratt mengkaji kesadaran beragama
lalu menerbitkannya menjadi buku yang berjudul The Religious Cons. Pada 1921
James Leuba menerbitkan hasil penelitian terhadap persentase orang-orang yang
menduduki jabatan akademik dalam berbagai bidang studi yang percaya
terhadap adanya Tuhan dan terhadap keabadian jiwa manusia dengan judul The
Belief in God and in Immortality Hasilnya, ahli fisika memiliki persentase lebih
hanyak daripada ahli ilmu jiwa, dengan jumlah 44 persen yang percaya terhadap
adanya Tuhan dan 51 persen yang percaya terhadap keabadi an jiwa. Di sisi lain,
hanya 24 persen ahli ilmu jiwa yang percaya ter hadap adanya Tulkan dan 20
persen yang percaya terhadap keabadian jiwa (Thouless, 1977) Hal ini terjadi
karena Tuhan dan keabadian jiwa lebih dapat dipelajari melalui fisika Suhandi
(2013) mengungkapkan salah satu peran Leuba adalah menjelaskan
pengalaman-pengalaman keagamaan secara ubjektif, terlepas dari hal-hal yang
bersifat tran sendental. Misalnya, Leuba berusaha menjelaskan pengalaman
mistis dari segi proses psiko-fisiologis. Leuba melihat adanya persamaan an tara
orang-orang yang mengalami pengalaman mistis dan pengalaman orang yang
berada dalam pengaruh obat-obatan. Selain menulis The Belief in God and in
Immortality. Leuba juga menerbitkan The Psycho logy of Beligious Mysticism
pada 1925 yang membahas psikologi agama Pada tahun yang sama, yaitu 1921.
Reynold A. Nicholson menulis buku khusus membahas sufisme dalam Islam
dengan judul Studies in Islamic Mystriciam.

Tahun 1927. Elmer T. Clark melaporkan hasil penelitiannya sera ra ekstensif


tentang konversi agama dalam bukunya yang berjudul The Psychology of
Religious Awakening. Tahun 1928 Ernest M. Ligon mener- hitkan buku berjudul
The Psychology of Christian Personality. Kemu dian Karl 1. Soltz seorang pastor
dan ahli agama menulis buku yang berjudul The Psychology of Religious Living
Demikian juga pada 1945, Paul E. Johnson menerbitkan buku berjudul
Psychology of Religion yang menjelaskan secara ringkas mengenai psikologi
agama.

Testimulasi oleh karya karya tersebut, terutama The Varieties, mi nar di


bidang psikologi agama tumbuh dengan pesat. Dua jurnal ilmiah mulai muncul,
yaitu The Journal of Religious Prychology dan The Ameri can Journal of
Religious Prychology and Education Di Jerman muncul Zettschrift fur
Religionspoychologie dan Archiv fur Religionspsychologie Toành trêch lain
banyak bermunculan dan buku-buku di bidang psikolgi agama semakin banyak
diterbitkan, tidak hanya di Amerika dan Inggria, tetapi juga di Jerman dan
Perancis. Pada periode ini, muncul ilmuwan psikologi Jerman yang menaruh
pertatian pada kajian agama berdasar perspektif psikologi. Misalkan Sigmund
Freud. Freud memiliki pendapat yang skeptif tentang agama. Menurutnya,
agama berakar dari ketakutan ketakuran dan harapan harapan pada masa kanak
kanak, khususnya berkaitan dengan Oedy pus Complex. Menurut Freud, Tuhan
merupakan penciptaan kemba li dari omniscient dan omnipotent figur ayah pada
masa kanak kanak (Subandi, 2013). Anak-anak memiliki perasaan kecewa
kepada ayahınya karena ayahnya dianggap sebagai penghalang kedekatannya
dengan ibu ketika anak mengalami Oedypus complex. Perasaan kecewa ini
memunculkan figur ayah ideal yang kemudian disebut Tuhan (Freud, 2009).
Freud menganggap agama adalah ilusi yang menghambar manu sia mencapai
kedewasaan. Pandangan Freud tentang agama tersebut ditulianya dalam
beberapa karya misalkan Obsessive Act and Religious Practice, Torem and
Taboo yang terbit pada 1913. The Future of Illusion (1927), dan Moses and
Monotheisme (1939). Freud menganggap agama sebagai bentuk neurosis
universal. Freud menemukan persamaan antara orang neurosis dengan orang
beragama. Orang neurosis diliputi kecemasan dan ketakutan serta ada gejala
pikiran dan perilaku yang diulang ulang (obsenf kompulsif) Be gitu juga orang
beragama, memiliki ketakutan akan ancaman agama dan kecemasan karena
melakukan represi terhadap insting (Subandi. 2013). Rizzuto (1981) menuliskan
bahwa Freud menganggap Tuhan sebagai solusi iluni ketika manusia tidak bisa
memenuhi keinginannys dan untuk bisa memenuhinya, maka manusia
menciptakan Tuhan sebagai perwujudan gambaran orangtua. Kajian Freud
terhadap agama ini kemudian dilanjutkan oleh Harald dan Kristian Schjelderup
yang mengkaji pengalaman beragama iga okah, yaitu Bhodidharma yang
membawa agama Buddha mank ke Gna, Ramakrishna yang merupakan sokih
muistik Hindu abad ke-19, Man Martin Lother seorang tokoh Protestan. Di sisi
lain, seorang pastor dan pengikut priksanalnis bersama Oskar Pfiner
menganggap kekscen denangan nearuik dalam againa memang ada baiknya pada
individu maupun kelompok5

Psikologi agama berbeda dari cabang-cabang psikologi lainnya karena


psikologi agama berhubungan dengan dua disiplin ilmu yang sangat berbeda
antara ilmu psikologi dan ilmu agama. Sebagian harus tunduk pada agama dan
sebagian yang lain harus merujuk pada ilmu jiwa.6

Pada awal kemunculan psikologi agama bisa dikatakan kurang diterima oleh
kalangan ilmuan ataupun agamawan.7 Antara psikolog dan ahli agama memiliki
ego masing-masing, sehingga hubungan keduanya tercatat kurang harmonis.
Psikolog menuduh agama sebagai obsesi buta, bahkan terkadang sebagai
pemenuhan keinginan kanak-kanak atau ilusi belaka, sebagaimana yang dikatan
Freud sebelum seseorang mendalami agama, ia harus sakit jiwa dulu. Seoalah-
olah Freud menuduh orang yang beragama adalah orang gila, tidak punya tujuan
hidup, terombang-ambing di tengah samudra kehidupan yang ganas. Apapun
yang dilihat oleh orang yang beragama bagaikan fatamorgana belaka.

Ahli agama juga tidak mau kalah, mereka melontarkan kalimat balasan
“tidak ada kompromi antara agama dengan kelompok psikolog. Budaya
kelompok psikolog tidak bertuhan (ateis). Budaya ini sekarang sedang bergerak
untuk memporak-porandakan struktur moral masyarakat melalui ajakan yang
kurang ikhlas untuk bersifat toleran, penuh kasih, dan menghargai keragaman.
Di lain tempat pada situs khusus meraka (agamawan) menyerang psikolog
dengan menyatakan, ”mungkinkah ada persahabatan antara kegelapan dengan
cahaya. Mungkinkah pohon yang tak bertuhan menghasilkan buah yang baik?

Titik pandang yang berbeda ini menimbulkan persepsi yang cukup sulit
untuk dipertemukan usaha untuk mempelajari agama melalui pendekatan
psikologi, bukaan usaha yang mudah. Baik para ilmuan yang berkecimpung di
bidang psikologi maupun bidang agama menolak usaha tersebut. Di kalangan

5
Ahmad Saifuddin, Psikologi Agama, (Jakarta Utara: Kencana, 2019), h. 31-35.
6
Muh. Mawagir, Psikologi Agama, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hal. 15
7
Op. Cit., Ahmad Saifuudin, h. 40.
psikolog menolak, karena menurut mereka mengkaji agama tidak mungkin
bersifat ilmiah (pengetahuan empiris). Agama yang menyangkut hal-hal ghaib
berada di luar jangkauan pengetahuan (akal manusia), yang menelaah persoalan
yang berhubungan dengan pengalaman manusia. Sebaliknya, ahli agama
berkeberatan bila agama dibahas secara ilmiah, juga berdasarkan alasan praktis.
Psikologi dikhawatirkan akan mempengaruhi norma-norma agama, bahkan
melecehkan agama dan agama dipandang rendah, bahkan yang lebih parah lagi
akan pengaruhi masalah keimanan seseorang yang beragama.

Terlepas sikap pro dan kontra, kenyataan menunjukkan, bahwa agama


mempengaruhi sikap dan tingkah laku para pemeluknya. Sikap dan tingkah laku
yang berhubungan dengan keyakinan tersebut dapat diamati secara empiris. Apa
yang ditampilkan seseorang penganut agama yang taat, bagaimanapun berbeda
dari sikap dan tingkah laku mereka yang kurang taat beragama. Di sini terlihat
bahwa dari sudut pandang psikologi, agama dapat berfungsi sebagai pendorong
atau pencegah bagi tindakan-tindakan tertentu, sesuai dengan keyakinan yang
dianut seseorang. Seperti terlihat bagaimana keyakinan agama mampu
mendorong untuk berkorban, hidup pasrah atau bersabar terhadap penderitaan.
Juga dapat dijumpai bagaimana seseorang mampu menahan diri dari melakukan
perbuatan tercela yang dilarang agama. Dari sudut pandang yang serupa itu
terungkap bahwa pemahaman mengenai keyakinan seseorang dalam kaitan
dengan agama yang dianutnya dapat dilakukan melalui pendekan psikologi.

Dari statemen panjang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
jalan lain untuk tidak menyatukan dua pandangan yang berseberangan ini,
ternyata dari pandangan yang berbeda ini memiliki persamaan yang dapat
menyatukan dua hal yang berbeda ini menjadi sebuah ilmu yang dapat berguna
untuk kehidupan manusia itu sendiri.

Dalam pembahasannya, psikologi tidak membahas mengenai benar


tidaknya suatu agama. Kajian psikologi agama hanya sebatas pada hubungan
sikap dan tingkah laku manusia yang timbul akibat dari pengamalan ajaran
agama yang dianutnya. Dengan kata lain psikologi agama hanya meneliti
kehidupan keagamaan seseorang yang tercermin dalam sikap dan tingkah
lakunya. Dapat disimpulkan bahwa psikologi agama berusaha meneliti secara
mendalam apa dan bagaimana manusia itu dikala ia berhadapan dengan sesuatu
yang dianggapnya sebagai Zat yang Maha Esa dan Maha Agung. Jadi tujuan
psikologi agama adalah untuk mencapai pengertian tentang manusia, hal-hal apa
saja yang dapat pengaruhi tingkah-lakunya serta bagaimana keyakinan terhadap
agama dapat mempengaruhi kepribadian dan akhlaknya. Maka psikologi agama
harus terlebih dahulu diperoleh suatu gambaran dalam pikiran manusia.
Gambaran dimaksud merupakan lukisan tentang manusia dalam memandang
perbuatan sebagai expresi atau gejala kejiawaannya dalam melakukan tindakan
keagamaan, mansuia yakin kepada Sang Pencipta dan berusaha mendapatkan
cinta-Nya. Kesidiaannya untuk berkorban di jalan Allah, manusia merasa
menyesal dan berdosa, mengalami perubahan jiwa dari tidak percaya menjadi
percaya kepada-Nya dan sebagainya.

C. Sejarah Perkembangan Psikologi Agama di Timur

Sebenarnya kalau dikaji secara mendalam, bahwa di dunia Timur (Islam)


telah lebih dulu muncul tulisan tentang proses pertumbuhan dan perasaan
kegamaan, sebagai contoh Ibnu Tufail menulis buku berjudul “Hay Ibn Yagdzan,
karyanya mengungkapkan proses pertumbuhan dan perasaan keagamaan dari
seorang anak yang dilahirkan di pulau terpencil. Al-Ghazali, telah mengahsilkan
karya tulis dalam bukunya Al-Munkiz Min al-Dzalal (Penyelamat dari
kesesatan). Tetapi Psikolog Barat tidak melihat tulisan mereka ini sebagai karya
yang berbungan dengan ilmu jiwa agama.

Perkembangan selanjutnya di dunia Timur ada Abdul Mun’in Abdul Aziz al


Malighy misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada anak-
anak dan remaja. Sementara di daratan anak benua Asia dan India juga terbit
buku-buku yang berkaitan dengan psikologi agama. Sejalan dengan
perkembangan itu, para penulis non-barat pun mulai menerbitkan buku-buku
mereka. Tahun 1947 terbit buku the song of God oleh Baghavad Gita, terjemahan
isherwood dan Prabhavananda, kemudian tahun 1952 Swami Madhavananda
menulis buku viveka chumadami of sancaracharya yang disusul oleh penulis
India lainnya, Thera Nyanoponika dengan judul The Life of Sariptta. Demikian
pula, Swami Ghananada menulis tentang Sri Rama dengan judul Sri Ramakrisna,
His Unique Massage 1946.

Sebagai displin ilmu yang baru boleh dikatakan, psikologi agama dapat
dirujuk dari karya penulis Barat, antara lain karya Jonathan Edward, Emile
Durcheim, Edward B. Taylor maupun Stanley Hall yang memuat kajian
mengenai agama dan suku-suku primitif dan mengenai konversi agama.
Sebaliknya, di dunia timur, khususnya di wilayah-wilayah kekuasaan Islam,
tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal serupa belum sempat
dimasukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar di abad ke 7 Masehi
berjudul Al-Syi’ar wa al-maghazi memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi
Muhammad SAW (ataupun Risalah Hayy Ibn yaqzan fi Ashrar al-Hikmat al-
masyriqiyyat yang di tulis oleh Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malin Ibn
Tufail (1110-1185 M) telah lebih muncul namun oleh ahli psikolog Barat tidak
mengakuinya.

Demikian pula karya besar Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059- 1111
M) berjudul Ihya’ ‘ulum al-Din, dan juga bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal
(penyelamat dari kesesatan) sebenarnya, kaya akan akan muatan permasalahan
yang berkaitan dengan materi kajian psikologi agama. Diperkirakan masih
banyak tulisan-tulisan ilmuan Muslim yang berisi kajian mengenai
permasalahan serupa, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak sempat
dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu psikologi agama seperti
halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuan barat.

Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan penyebab. Pertama Sejak masa
kemunduran negara-nagara Islam, perhatian para ilmuwan terhadap kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan mulai menurun, karena disibukkan dengan
permasalahan politik negara yang tidak stabil. Kedua Karena adanya
penyerangan bangsa Mongol ke pusat peradaban Islam di Baghdad, dan
kekalahan Islam di Andalusia yang berakhir dengan terjadinya pemusnahan
karya para ilmuwan muslim karena sebagian dibakar dan sebagian lagi ke Barat
kemudian kitab-kitab yang berbahasa Arab diganti dengan bahasa mereka
(Barat) yang pada akhirnya terjadi kehidupan fatalisme pada kaum muslimin.
Ketiga Sikap kurang terpuji dari para ilmuwan Barat sendiri (terutama setelah
zaman kemunduran Islam), mereka kurang menghargai karya-karya para
ilmuwan muslim. Keempat Karya-karya ilmuwan muslim pada zaman klasik
umumnya ditulis oleh para ilmuwan yang dizamannya dikenal dengan sebutan
yang berkonotasi keagamaan seperti mufassiri (ahli tafsir), muhaditsin (ahli
hadis), fuqaha (ahli fiqih), ataupun ahlul hikmat (filosof), sehingga kara-karya
mereka seakan-akan ilmu-ilmu yang murni agama (Islam).8

Setelah zaman kemunduran umat islam secara politis, kemajuan dan


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dipelopori oleh barat.9Setelah
negara-negara Islam banyak yang merdeka, baru kemudian diketahui bahwa
buku-buku (kitab-kitab) klasik yang ditulis para pemikir Islam telah berpindah
ke dunia Barat.10

D. Sejarah Perkembangan Psikologi Agama di Barat

Perkembangan psikologi agama di Barat mengalami pasang surut.


Bersamaan dengan perkembangan psikologi modern, pada tahun 1890-an,
psikologi berkembang pesat. Tetapi pada tahun 1930-1950 psikologi agama
mengalami penurunan. Setelah itu meningkat lagi, bahkan berkembang pesat
pada tahun 1970 sampai sekarang. Menurut Thouless, sejak terbitnya buku The
Varietes of Religion Experience tahun 1903, sebagai kumpulan kuliah William
James di empat Universitas di Skotlandia, maka langkah awal kajian psikologi
agama mulai diakui oleh para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga puluh

8
Abdul Khobir, Pengantar Dasar-Dasar Psikologi Agama, (Pekalongan: Rizquna, 2021), h. 27-28.
9
Ibid, h. 25.
10
Surawan dan Mazrur, Psikologi Perkembangan Agama: Sebuah Tahapan Perkembangan Agama
Manusia, (Yogyakarta: K-Media, 2020), h. 11-12.
tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan dengan konsep-konsep yang
serupa.11

Di antara buku-buku tersebut adalah The psychology of Religion karangan


E.D Starbuck, yang mendahului karangan William James. Buku E.D Starbuck
yang terbit tahun 1899 ini kemudian disusul oleh sejumlah buku lainnya seperti
The Spritual Life oleh George Albert Ceo, tahun 1900, kemudian The Belief in
God and Immortality oleh J.H Leuba tahun 1921, dan An Introduction to the
Psychology of Religion oleh Robert H. Thouless, tahun 1923, serta R.A.
Nicholson yang khusus mempelajari aliran sufisme dalam islam dengan bukunya
Studies in Islamic Mysticism, tahun 1921. Sejak itu, kajian-kajian tentang
psikologi agama tampaknya tak hanya terbatas pada masalah-masalah yang
menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga
masalahmasalah khusus. J.B. Pratt misalnya, dia mengkaji tentang kesadaran
beragama melalui bukunya The Religious Consciousness (1920) dan Dame
Julian yang mengkaji tentang wahyu dengan bukunya Revelations of Devine
Love tahun 1901.12 Jadi perkembangan psikologi Agama dibarat terjadi pada
abad ke 19.

E. Perkembangan psikologi agama di indonesia

Perkembangan psikologi agama di indonesia dipelopori oleh tokoh – tokoh


yang memiliki latar belakang profesi sebagai ilmuan, agamawan, dan bidang
kedokteran.13

Kalau melihat perkembangan pendidikan psikologi agama di Indonesia,


maka boleh dikatakan bahwa psikologi agama, pada dasarnya dikenal pada akhir
abab ke-20. Untuk mengetahui secara pasti kapan agama pertama kali diteliti
secara psikologi memang agak susah karena dalam agama itu sendiri telah
terkandung di dalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Dalam Al-Quran

11
Sudirman, Perkembangan Psikologi Agama, Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, Vol.1 No.1,
November 2018, h. 4.
12
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2015) h. 30- 31.
13
Yandi Hafizallah, Psikologi Islam, Jurnal of Psikologi, Religion, Humanity, Vol.1 No. 1, 2019, h. 6.
misalnya, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang-orang yang
beriman, sikap, tingkah laku dan doa-doa mereka dan begitu juga sebaliknya
dengan orang-orang kafir. Di samping itu juga, terdapat ayat-ayat yang berbicara
tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan dan sikap yang
terjadi karena goncangan kejiwaan sekaligus tentang pengobatan jiwa.14

Di indonesia sendiri psikologi agama baru dikenal sekitaran tahun 1970- an,
yaitu oleh Zakiah Daradjat, beliau banyak menulis dan mengajarkan Psikologi
Agama. Sejak itu beliau dikenal sebagai tokoh akademis tentang Psikologi
Agama. Prof. Dr. Zakiah Daradjat sebetulnya sudah banyak menghasilan karya-
karya tentang Psikologi Agama diantara: Ilmu Jiwa Agama, Peranan Agama
Dalam Kesehatan Mental, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan
Islam di Indonesia dan masih banyak tulisan tulisan beliau yang menyangkut
tentang kejiwaan dan agama yang di muat dalam jurnal-jurnal. Adapun
pengenalan Psikologi Agama di lingkungan perguruan tinggi dilakukan oleh H.
A Mukti Ali dan Zakiah Darajat. Buku-buku yang khusus mengenai Psikologi
Agama banyak dihasilkan oleh Zakiah Darajat, antara lain: Ilmu Jiwa Agama,
Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, dan Kesehatan Mental. Hasan
Langgulung juga menulis buku Teori-teori Kesehatan Mental yang juga ikut
memperkaya khazanah bagi perkembangan Psikologi Agama di Indonesia.15

F. Kesimpulan

Psikologi agama merupakan cabang ilmu psikologi yang meneliti dan


mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan
terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan pengaruh usia
masing-masing. Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut
dilakukan melalui pendekatan Psikologi.

14
Dahlia Lubis, Kerukunan Perspektif Psikologi Agama Pemikiran Zakiah Daradjat Tentang
Kerukunan Umat Beragama, (Medan: Perdana publishing, 2017), h. 26.
15
Op. Cit., Redmon Windu Gumanti dan Juhara, h. 19.
Fenomena terkait psikologi agama, sejatinya sudah terjadi sebelum study
psikologi agama itu sendiri lahir. Misalakan, perjalanan spiritual Shiddharta
Gautama sampai menjadi Buddha.

Sebenarnya kalau dikaji secara mendalam, bahwa di dunia Timur (Islam)


telah lebih dulu muncul tulisan tentang proses pertumbuhan dan perasaan
kegamaan, sebagai contoh Ibnu Tufail menulis buku berjudul “Hay Ibn Yagdzan,
karyanya mengungkapkan proses pertumbuhan dan perasaan keagamaan dari
seorang anak yang dilahirkan di pulau terpencil. Al-Ghazali, telah mengahsilkan
karya tulis dalam bukunya Al-Munkiz Min al-Dzalal (Penyelamat dari
kesesatan). Tetapi Psikolog Barat tidak melihat tulisan mereka ini sebagai karya
yang berbungan dengan ilmu jiwa agama.

Perkembangan selanjutnya di dunia Timur ada Abdul Mun’in Abdul Aziz al


Malighy misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada anak-
anak dan remaja. Sementara di daratan anak benua Asia dan India juga terbit
buku-buku yang berkaitan dengan psikologi agama.

Perkembangan psikologi agama di Barat mengalami pasang surut.


Bersamaan dengan perkembangan psikologi modern, pada tahun 1890-an,
psikologi berkembang pesat. Tetapi pada tahun 1930-1950 psikologi agama
mengalami penurunan. Setelah itu meningkat lagi, bahkan berkembang pesat
pada tahun 1970 sampai sekarang. Menurut Thouless, sejak terbitnya buku The
Varietes of Religion Experience tahun 1903, sebagai kumpulan kuliah William
James di empat Universitas di Skotlandia, maka langkah awal kajian psikologi
agama mulai diakui oleh para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga puluh
tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan dengan konsep-konsep yang
serupa.

Kalau melihat perkembangan pendidikan psikologi agama di Indonesia,


maka boleh dikatakan bahwa psikologi agama, pada dasarnya dikenal pada akhir
abab ke-20. Untuk mengetahui secara pasti kapan agama pertama kali diteliti
secara psikologi memang agak susah karena dalam agama itu sendiri telah
terkandung di dalamnya pengaruh agama terhadap jiwa.
Daftar Pustaka

Arifin, Bambang Syamsul, Psikologi Agama, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2015).

Gumanti, Redmon Windu dan Juharah, Psikologi Agama, (Bandung: Widina


Bhakti Persada Bandung, 2020).

Hafizallah, Yandi, Psikologi Islam, Jurnal of Psikologi, Religion, Humanity, Vol.1


No. 1, 2019.

Khobir, Abdul, Pengantar Dasar-Dasar Psikologi Agama, (Pekalongan: Rizquna,


2021).

Lubis, Dahlia, Kerukunan Perspektif Psikologi Agama Pemikiran Zakiah


Daradjat Tentang Kerukunan Umat Beragama, (Medan: Perdana
publishing, 2017).

Lubis, Ramadan, Psikologi Agama, (Medan: Perdana Publishing, 2019).

Muh Mawagir, Psikologi Agama, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016).

Saifuddin, Ahmad, Psikologi Agama, (Jakarta Utara: Kencana, 2019).

Sudirman, Perkembangan Psikologi Agama, jurnalstitnualhikmah, Vol. 1 No. 1,


2018.

Surawan dan Mazrur, Psikologi Perkembangan Agama: Sebuah Tahapan


Perkembangan Agama Manusia, (Yogyakarta: K-Media, 2020).

Anda mungkin juga menyukai