Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH PSIKOLOGI AGAMA

DAN APLIKASINYA DI BIDANG PENDIDIKAN

Makalah disusun untuk memenuhi tugas : Psikologi Agama

Disusun Oleh :

1. Alfia Nurcahyaningsih : 1806010085

2. Anita : 1806010083

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh


Alhamdulillahirobbil ‘alamiin. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih
dan maha penyayang yang telah melimpahkan nikmat dan hidayah-NYA kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang bejudul “Sejarah Psikologi
Agama dan Aplikasinya di Bidang Pendidikan” pada mata kuliah “Psikologi Agama”.
Terimakasih pula kami haturkan kepada dosen pembimbing kami bapak Dr. Ibnu
Hasan, M.S.I. Dan rekan-rekan semua yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi motivasi
kedepan untuk mendapatkan hasil makalah yang lebih baik lagi.
Semoga makalah ini bermanfaat, salah dan khilaf mohon dimaafkan karena
kesempurnaan hanya milik Allah semata.
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh
                                                                                  

                                                                                                    Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Psikologi agama merupakan cabang dari psikologi. Sebelum menjadi ilmu
yang otonom, psikologi agama memiliki latar belakang sejarah perkembangan yang
cukup lama. Karena itu psikologi agama dinilai sebagai cabang psikologi yang
relativ masih muda.
Perbedaan pendapat yang melatar belakangi perbedaan sudut pandang
antara agamawan dan para psikolog agama sempat menunda munculnya psikologi
agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Sehingga psikologi agama
sebagai cabang psikologi baru tumbuh sekitar penghujung abad ke-19, setelah
sejumlah tulisan dan buku-buku yang menjadi pendukungnya diterbitkan dan
beredar.
Dalam usianya yang menjelang seabad ini tampaknya psikologi agama kian
diterima oleh berbagai kalangan termasuk para agamawan yang semula menggugat
keabsahannya sebagai disiplin ilmu yang otonom. Sejalan dengan hal itu, maka
kemajuan dan pengembangan psikologi agama di lapangan dinilai banyak
membantu pemahaman terhadap permasalahan keagamaan dalam kaitannya dengan
tugas-tugas pendidikan.
Maka penulisan makalah ini membahas psikologi agama selain sebagai
tugas pendidikan juga untuk mempelajari sejarah perkembangan psikologi agama
lebih jauh.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas timbul beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1) Sejarah psikologi agama
2) Pengertian psikologi agama
3) Aplikasi psikologi dalam pendidikan
3. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut bertujuan untuk :
1) Mengetahui sejarah psikologi agama
2) Mengetahui pengertian psikologi agama
3) Manfaat psikologi agama
4) Mengetahui aplikasi psikologi dalam pendidikan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Psikologi Agama


Sejarah munculnya psikologi agama sebagai disiplin pernah tercatat kurang
harmonis. Psikologi menuduh agama sebagai obsesi, kadang-kadang sebagai
pemenuhan keinginan kanak-kanak atau sebagai ilusi seperti yang diungkapkan
Freud. Sebagian psikolog menyatakan sebelum orang mendalami agama lebih
dalam ia harus sakit jiwa dulu.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa psikologi agama merupakan
cabang dari psikologi. Sebelum menjadi ilmu otonom( menetap) psikologi
memiliki latar belakang sejarah perkembangan yang cukup lama, karena psikologi
agama dinilai sebagai cabang psikologi relatif masih muda.
Dan untuk metapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai dipelajari
terasa agak sulit, karena baik dalam kitab suci maupun sejarah tentang agama-
agama tidak terungkap jelas mengenai hal itu tetapi dalam kitab-kitab disetiap
agama banyak menerangkan tentang psoses jiwa atau keadaan jiwa seseorang
karena pengaruh agama.
Contohnya seperti kisah Nabi Ibrahim yang ingin mencari jiwa Tuhan atau
sosok seorang Tuhan dimulai kekaguman Nabi Ibrahim terhadap benda-benda yang
diciptakan Allah dan mengganggapnya sebagai Tuhan, kemudian kisah Nabi Musa
yang ingin melihat Tuhan sebagai tanda cinta nya terhadap Tuhan.
Dalam kitab lain juga dijelaskan tentang perjalan hidup Sidharta Gautama
dari seorang putra Raja Kapila Wastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan
kemewahan hidup untuk menjadi seorang petapa menunjukkan bagaimana
kehidupan batin yang dialaminya terahadap keyakinan agama yang dianutnya.dan
proses itu kemudian dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama.
Sidharta Gautama yang sejak kecil sudah hidup dalam lingkupan istana
yang mewah, tetapi ketika dia remaja, saat melihat kehidupan masyarakat, dia
menyimpulakan bahwa kehidupan masyarakat penuh dengan penderitaan,
mengalami usia lanjut, sakit dan akhirnya akan mati.
Segala yang di saksikan oleh Sidharta Gautama kemudian membatin
sehingga pada suatu malam ia keluar dari istana dan meninggalkan segala
kemewahan yang dimilikinya dan ia pun mengasingkan diri menjadi petapa dan
Sidharta Gautama mengalami konversi agama pemeluk agama hindu menjadi
pendakwah agama baru yaitu agama Budha. Dan Sidharta Gautama kemudian
dikenal sebagai Budha Gautama.
Terlalu banyak contoh-contoh yang dapat dikemukan tentang hubungan
antara kesadaran dan pengalaman agama dengan sikap tingkah laku para penganut
agama, yang kemudian di jadikan sebagai objek kajian psikologi agama, Namun
kasus-kasus seperti itu belum dipelajari secara ilmiah, sehingga dianggap sebagai
pristiwa-pristiwa keagamaan biasa.
Dalam kurun waktu dua darsawarsa terakhir ini terlihat adanya fenomena
peningkatan kehidupan beragama yang hampir merata di seluruh dunia. Dinegara-
negara timur dimana kehidupan beragama sudah mentradisi, timbul semangat baru
dalam kehidupan beragama dikalangan generasi muda, seperti dimasjid, gereja,
vihara dan tempat ibadah lainnya. Di Indonesia gejala ini juga ditunjukkan dengan
semakin maraknya kegiatan-kegiatan keagamaan dikampus- kampus. Selain itu
dinegara- negara Barat kehidupan beragama mereka juga berkembang secara pesat.
Peningkatan kehidupan beragama di kalangan masyarakat juga di iringi dengan
peningkatan minat para ilmuwan sosial untuk mempelajari masalah-masalah
keagamaan, seperti G. Stanley Hall (1881) ,James H Leuba (1912) , Fluornoy
(1901) dan lain-lain.

B. Pengertian Psikologi Agama

Definisi dan Pengertian Psikologi Agama

a. Psikologi

Selama ini, kita mengenal psikologi dengan “ilmu jiwa”. Istilah psikologi
berasal dari bahasa inggris “psychology”. Kata psychology merupakan dua akar
kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu “psyche” artinya jiwa dan
“logos” artinya ilmu. Jadi, secara harfiah psikologi artinya “ilmu jiwa”. Istilah ilmu
jiwa sering menimbulkan konotasi lain, seperti adanya anggapan bahwa ilmu jiwa
adalah ilmu yang langsung menyelidiki jiwa. Oleh karena sering menimbulkan
konotasi lain, istilah “ilmu jiwa” untuk arti kata psikologi, sekarang jarang dipakai
oleh kalangan profesional baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan
maupun dalam dunia profesi lain. Sebaiknya istilah psychology jangan diganti
dengan istilah ilmu jiwa melainkan psikologi saja, sebab sebutan itu lebih pas
untuk disiplin ilmu ini.

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala kejiwaan manusia yang berkaitan
dengan pikiran, perasaan dan kehendak. Jadi definisi psikologi secara umum yaitu ilmu
yang meneliti dan mempelajari kejiwaan yang ada dibelakangnya, karena jiwa itu sendiri
bersifat abstrak. 

b. Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti “tradisi”. Sedangkan kata
lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang
terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai
umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita
melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
Secara definitive menurut harun nasution agama adalah :   
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus
dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
3. Mengikat dari ada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber
yang berada diluar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu system tingkah laku yang berasal dari sesuatu kekuatan ghaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu
kekuatan ghaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius  yang terdapat pada alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Jadi, agama adalah masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia.
Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit untuk diukur secara tepat dan rinci.
Agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia.
c. Psikologi Agama
Dari pengertian psikologi dan pengertian agama, bahwa pengertian psikologi
agama adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan
dengan pikiran, perasaan dan kehendak yang bersifat abstrak yang menyangkut dengan
masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia, yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia dan menimbulkan cara hidup manusia atau ajaran-ajaran
yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama adalah cabang dari psikologi
yang meneliti dan menela’ah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari
seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan
hidup pada umumnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa psikologi agama adalah ilmu yang  mempelajari
tingkah laku makhluk hidup mengenai kehidupan beragama pada seseorang dan
mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan beragama serta keadaan hidup pada
umumnya.

C. Beberapa Metode Dalam Psikologi Agama dan Psikologi umum


a. Beberapa Metode dalam Psikologi Agama
Sebagai sebuah disiplin ilmu, Psikologi Agama mengumpulkan data-data dan
konsep-konsep beragama melalui berbagai penelitian dengan menggunakan dengan
menggunakan metode penelitian. Di antara metode-metode penelitian yang
digunakan dalam mengkaji Psikologi Agama adalah :
1) Dokumen Psikologi

Metode ini digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan


kehidupan batin seseorang dalam hubunganya dengan agama. Untuk mengetahui
informasi tentang hal ini maka dikumpulkan dokumen pribadi seseorang. Dokumen
tersebut dapat berupa autobiorafi, biografi atau catatan-catatan yang dibuatkan
mengenai kehidupan beragama sesorang.

Metode dokumentasi tersebut dalam penerapannya dapat menggunakan


beberapa teknik, antara lain :
a. Teknik Nomotatik
Pendekatan ini antara lain digunakan untuk mempelajari perbedaan-perbedaan
individu. Sementara Dalam psikologi Agama, teknik nomotik ini antara lain untuk
melihat antara lain untuk melihat sejauh mana hubungan sifat dasar manusia
dengan sikap keagamaan.
b. Teknik Analisis Nilai (Value Analysis)
Teknik ini digunakan dalam kaitannya dengan statistik. Data-data yang telah
dikumpul diklasifikasikan menurut teknik statistik dan dianalisis untuk dijadikan
penilaian dalam penilaian berbagai individu yang diteliti.
c. Teknik Ideography
Tekni hampir sama dengan teknik nomotatik, yaitu pendekatan guna
memahami sifat dasar manusia. Bedanya , teknik ini lebih menekankan antara sifat-
sifat dasara manusia dengan keadaan tertentu dan aspek-aspek kpribadian yang
menjadikan ciri khas masing-masing individu dalam rangka memahami seseorang.
d. Teknik penilaian sikap (Evaluation attitudes technique)
Teknik ini digunakan dalamm penelitian biografi, tulisan atau dokumen yang
ada hubunganya dengan individu yang akan di teliti.

2) Angket
Metode angket digunakan untuk meneliti proses jiwa beragama pada orang
yang masih hidup dengan menggunakan angket sebagai instrumen pengumpulan
data. Metode ini digunakan untuk mengetahui prosentase keyakinan seseorang
pada umumnya tentang sikap beragama,ketekunan agama, dan sebagiannya.
Metode ini digunakan teknik.
a. Pengumpulan pendapat masyarakat.
Cara yang digunakan melalui pengumpulan pendapat khalayak ramai. Teknik
ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang masalah-masalah yang berkaitan
dengan kesadaran dan pengalaman beragama khalayak ramai.
b. Skala penilaian.
Metode ini antara lain digunakan untuk memperoleh data tentang faktor-faktor
yang menyebabkan perbedaan khas dalam diri seseorang berdasarkan pengaruh
tempat dan kelompok.
3) Wawancara
Metode wawancara digunakan untuk meneliti prses jiwa beragama melalui
orang yang masih hidup dengan wawancara langsung dan tidak langsung. Metode
ini, dapat digunakan untuk mengetahui kesadaran dan pengalaman beragama
seseorang yang beranggap memiliki ciri khas beragama.
4) Tes
Metode tes digunakan untuk mempelajari tingkah laku keagamaan sesorang
dalam tertentu, misalnya tentang pengetahuan agama kerukunan antara umaat
beragama, konfersi agama,dll.
5) Eksperimen
Digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang
melalui prilaku khusus yang sengaja di buat. Misalnya eksperimen tentang
pengaruh pendidikan sholaat yang khusu’ terhadap perilaku jujur remaja.
6) Observasi melalui pendekatan sosiologi dan antropologi.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sosiologi, yaitu dengan
mempelajari sifat-sifat manusia orang perorangan atau perelompok. Misalnya
penelitian tentang pengalaman beragama pantai dengan masyrakat beragama di
kota.
7) Pendekata terhadap perkembangan.
Pendekatan ini guna meneliti asal usul perkembangan aspek psikologi
manusia dalam hubungan nya dengan agama yang di anut. Misalnya penelitian
keagamaan terhadapa usia lanjut.
8) Metode klinis dan proyektivitas
Metode ini memanfatkan cara kerja klinis. Penyembuhan dilakukan dengan
cara menyelarasakan hubungan antara jiwa dan agama. Misalnya menggunakan
agama sebagai terapi bagi orang-orang yang mengalami tekanan jiwa atau orang
yang mengalami neorosis.
9) Studi kasus.
Dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen , catatan, hasil wawancar
atau lainnya untuk kasus-kasus tertentu. Misalnya kasus konfresi agama
dikabupaten karo.
10) Survei
Metode ini biasanya digunakan untuk penelitian sosial yang bertujuan untuk
penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi dalam
masyarakat. Misalnya penelitian tentang konsep Tuhan menurut Remaja di
Sumatera Utara.
D. Manfaat Psikologi Agama dalam Belajar Mengajar
Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali manfaat yang diambil dari psikologi
agama, khususnya dalam proses belajar mengajar. Berikut ini beberapa manfaat psikologi
agama dalam proses belajar mengajar, diantaranya :
1. Menanamkan Cara Berpikir Positif terhadap Anak
Berpikir positif merupakan salah satu cara berpikir yang lebih menekankan pada
hal-hal yang positif, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun situasi yang
dihadapi. Setiap orang yang mempunyai pikiran positif akan melihat segala kesulitan
dengan cara yang polos serta tidak mudah terpengaruh, sehingga menjadi tidak mudah
putus asa oleh berbagai tantangan ataupun hambatan yang dihadapi. Individu yang
berpikir positif selalu mempunyai keyakinan bahwa setiap masalah pasti ada solusi
yang tepat dan melalui proses intelektual yang sehat (Peale, 1996).
2. Menanamkan Kecerdasan Kreatif pada Anak
Dilihat dari perspektif psikologis, definisi kreativitas bisa ditinjau dari berbagai
sudut pandang. Menurut Triantoro Safaria, kreativitas merupakan kemampuan berpikir
secara berbeda dalam berbagai macam sudut pandang yang fleksibel dan bervariasi.
Secara garis besar, kreativitas dapat dilihat dari empat macam dimensi atau yang
sering disebut sebagai 4 P, yaitu process, person, press and product. Kreativitas juga
dapat dilihat dari karakteristik pribadi, dari proses yang dilalui oleh individu tersebut,
dari dorongan internal maupun eksternal, dan terakhir dapat dilihat dari produk yang
dihasilkan oleh individu tersebut. Namun, pada umumnya, orang lebih bisa melihat
sebuah kreativitas dari produknya, dengan asumsi seseorang bisa dikatakan kreatif jika
telah menghasilkan sesuatu yang dinilai inovatif, lebih aktual, dan lebih berbeda dari
yang lain.
3. Menanamkan Kecerdasan Emosional pada Anak
Secara garis besar, emotional intelligence berisikan kualitas-kualitas dan potensi-
potensi positif sebuah pribadi yang bersifat interpersonal dan ekstra personal. Kualitas-
kualitas tersebut adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,
mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai,
kemampuan memecahkan masalah pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan
dan adanya sikap hormat terhadap orang lain.
4. Membangun Kecerdasan Spiritual pada Anak
Sebenarnya kemampuan kecerdasan spiritual individu dapat dilihat dari bagaimana
praktik dan aplikasi keagamaan individu terinternalisasi atau menyatu dalam
kehidupannya, namun bukan hanya sebatas pemahaman agama saja. Dalam hal ini
psikologi agama juga berperan penting untuk menanamkan kecerdasan spiritual pada
jiwa individu. Hal ini juga didukung oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Dekan Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Gunungjati dalam sebuah seminar tentang “Kecerdasan Spiritual
dalam Perspektif Islam” yang menyatakan bahwa memang benar jika kecerdasan
spiritual tidak bisa dilihat dari pemahaman keberagamaan seseorang, karena berapa
banyak pula orang yang pemahaman keagamaannya bagus, namun tindakan korupsi
masih dilakukan juga, artinya yang dimaksud di sini adalah bukan hanya sekadar dan
sebatas pemahaman, tetapi juga aplikasi dalam kehidupannya.
E. Aplikasi Psikologi Agama dalam Belajar Mengajar
Aplikasi psikologi agama dalam proses belajar mengajar berkaitan erat dengan
teori kepribadian Sigmund Freud, beberapa teorinya dapat diaplikasikan dalam
bimbingan, yaitu: Pertama, konsep kunci bahwa “manusia adalah makhluk yang
memiliki kebutuhan dan keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses
bimbingan, dengan melihat hakekatnya, manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan
dan keinginan-keinginan dasar. Dengan demikian, konselor dalam memberikan
bimbingan harus selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan
oleh yang diberikan konseling, sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar
efektif. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan itu sendiri. Mortensen membagi fungsi
bimbingan kepada tiga yaitu: (1) memahami individu, (2) preventif dan pengembangan
individual, dan (3) membantu individu untuk menyempurnakannya.
1. Memahami Individu
Seorang guru dan pembimbing dapat memberikan bantuan yang efektif jika
mereka dapat memahami dan mengerti persoalan, sifat, kebutuhan, minat, dan
kemampuan anak didiknya. Karena itu, bimbingan yang efektif menuntut secara
mutlak pemahaman diri anak secara keseluruhan. Karena tujuan bimbingan dan
pendidikan dapat dicapai jika programnya didasarkan atas pemahaman diri anak
didiknya. Sebaliknya bimbingan tidak dapat berfungsi efektif jika konselor kurang
pengetahuan dan pengertian mengenai motif dan tingkah laku konseli (yang
dikonseling), sehingga usaha preventif dan perawatan tidak dapat berhasil baik.
2. Preventif dan Pengembangan Individual
Preventif dan pengembangan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Preventif
berusaha mencegah kemrosotan perkembangan seseorang dan minimal dapat
memelihara apa yang telah dicapai dalam perkembangannya melalui pemberian
pengaruh-pengaruh yang positif, memberikan bantuan untuk mengembangkan sikap
dan pola perilaku yang dapat membantu setiap individu untuk mengembangkan dirinya
secara optimal.
Membantu individu untuk menyempurnakan. Setiap manusia pada saat tertentu
membutuhkan pertolongan dalam menghadapi situasi lingkungannya. Pertolongan
setiap individu tidak sama. Perbedaan umumnya lebih pada tingkatannya dari pada
macamnya, jadi sangat tergantung apa yang menjadi kebutuhan dan potensi yang ia
miliki. Bimbingan dapat memberikan pertolongan pada anak untuk mengadakan
pilihan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Jadi, dalam konsep yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa teori Freud bisa
dijadikan pertimbangan dalam melakukan proses bantuan pada konseli, sehingga
metode dan materi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan individu.
Kedua, konsep kunci tentang “kecemasan” yang dimiliki manusia dapat digunakan
sebagai wahana pencapaian tujuan bimbingan, yakni membantu individu supaya
mengerti diri dan lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan merencanakan
hidup secara bijaksana; mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan,
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya; mampu mengelola
aktifitasnya sehari-hari dengan baik dan bijaksana; mampu memahami dan bertindak
sesuai dengan norma agama, sosial dalam masyarakatnya.
Dengan demikian, kecemasan yang dirasakan akibat ketidakmampuan dapat
diatasi dengan baik dan bijaksana. Karena menurut Freud setiap manusia akan selalu
hidup dalam kecemasan, kecemasan karena manusia akan punah, kecemasan karena
tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan dan banyak lagi kecemasan-kecemasan
lain yang dialami manusia. Jadi, untuk itu bimbingan dapat menjadi wadah dalam
rangka mengatasi kecemasan.
Ketiga, konsep psikoanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil)
terhadap perjalanan manusia. walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun
dalam beberapa hal, konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi anak-anak
dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem pembinaan akhlak individual,
islam menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya agar
dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama dan sosial. Norma-norma ini
tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang panjang dari dalam
lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan yang baik, maka
kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik.
Keempat, teori Freud tentang “tahapan perkembangan kepribadian individu” dapat
digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep
ini memberi arti bahwa materi, metode dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan
tahapan perkembangan kepribadian individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki
karakter dan sifat yang berbeda. Oleh karena itu konselor yang melakukan bimbingan
haruslah selalu melihat tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya
menjadi efektif.
Kelima, konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses
bimbingan yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-
impuls dorongan Id yang bersifat irasional sehingga berubah menjadi rasional.
Dari beberapa pendapat yang dilontarkan oleh Sigmund Freud dalam kelima konsep
tersebut yang dapat diaplikasikan dalam bimbingan, maka kaitannya dengan
pengaplikasian psikologi agama dalam proses belajar mengajar.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pengertian psikologi dan pengertian agama, bahwa pengertian psikologi
agama adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan
dengan pikiran, perasaan dan kehendak yang bersifat abstrak yang menyangkut dengan
masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia, yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia dan menimbulkan cara hidup manusia atau ajaran-ajaran
yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama adalah cabang dari psikologi
yang meneliti dan menela’ah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari
seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan
hidup pada umumnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa psikologi agama adalah ilmu yang  mempelajari
tingkah laku makhluk hidup mengenai kehidupan beragama pada seseorang dan
mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan beragama serta keadaan hidup pada
umumnya.
Aplikasi psikologi agama dalam proses belajar mengajar berkaitan erat dengan
teori kepribadian Sigmund Freud, beberapa teorinya dapat diaplikasikan dalam bimbingan,
yaitu: Pertama, konsep kunci bahwa “manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan
dan keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan melihat
hakekatnya, manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan dasar.
Dengan demikian, konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman
kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh yang diberikan konseling, sehingga
bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan itu
sendiri. Mortensen membagi fungsi bimbingan kepada tiga yaitu: (1) memahami individu,
(2) preventif dan pengembangan individual, dan (3) membantu individu untuk
menyempurnakannya.
Daftar Pustaka

Tohirin. 2008. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.

Muallifah. 2009. Psycho Islamic Smart Parenting. Jogjakarta: DIVA Press.


Zaviera, Ferdinand. 2007. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Jogjakarta: Prismasophie.

Anda mungkin juga menyukai