Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MANFAAT DAN APLIKASI PSIKOLOGI AGAMA


DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

Oleh :
KOSRA HELMINSWITA
NIM 2001 202 018
PRODI PAI
SEMESTER VII
DOSEN PENGAMPU : H. AFRIZEN, S.Ag, M. Pd

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


SOLOK NAN INDAH
2021/ 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas ke hadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Agama ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
Psikologi Agama ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
Psikologi Agama ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Cupak, 23 November 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam dunia pendidikan, termasuk proses pembelajaran pendidikan agama islam,
memahami atau membaca hal-hal yang tampak (fisik atau jasmaniyyah) dan tidak tampak
(psikis atau ruhaniyyah) sangat penting, karena tidak semua hal-hal yang tampak
mencerminkan kepribadian individu secara utuh. Dalam proses pembelajaran pendidikan
agama islam, banyak sekali perilaku-perilaku psikologis yang harus dipahami oleh guru.
Untuk dapat memahami berbagai aspek psikologis perilaku belajar peserta didik,
seorang guru, termasuk guru pendidikan agama islam, harus memahami prinsip-prinsip
keilmuan psikologi, khususnya psikologi pembelajaran pendidikan agama islam. Makalah ini
menyajikan prinsip-prinsip umum “Psikologi Agama” yang bisa diimplementasikan untuk
pembelajaran pendidikan agama islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan pengertian psikologi agama?
2. Apa saja manfaat dari psikologi agama dalam proses belajar mengajar?
3. Apa saja aplikasi dari psikologi agama dalam proses belajar mengajar?
4. Bagaimana aplikasi psikologi agama terhadap proses belajar mengajar?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui arti/makna psikologi agama.
2. Untuk mengetahui beberapa manfaat psikologi agama dalam proses belajar mengajar.
3. Untuk mengetahui beberapa aplikasi yang berkaitan dengan psikologi agama terhadap
proses belajar mengajar.
4. Untuk mengaplikasikan psikologi agama dalam proses belajar mengajar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Pengertian Psikologi Agama


1. Psikologi
Selama ini, kita mengenal psikologi dengan “ilmu jiwa”. Istilah psikologi berasal dari
bahasa inggris “psychology”. Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari
bahasa Greek (Yunani), yaitu “psyche” artinya jiwa dan “logos” artinya ilmu. Jadi, secara
harfiah psikologi artinya “ilmu jiwa”. Istilah ilmu jiwa sering menimbulkan konotasi lain,
seperti adanya anggapan bahwa ilmu jiwa adalah ilmu yang langsung menyelidiki jiwa. Oleh
karena sering menimbulkan konotasi lain, istilah “ilmu jiwa” untuk arti kata psikologi,
sekarang jarang dipakai oleh kalangan profesional baik yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan maupun dalam dunia profesi lain. Sebaiknya istilah psychology jangan diganti
dengan istilah ilmu jiwa melainkan psikologi saja, sebab sebutan itu lebih pas untuk disiplin
ilmu ini.

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan
pikiran, perasaan dan kehendak. Jadi definisi psikologi secara umum yaitu ilmu yang meneliti
dan mempelajari kejiwaan yang ada dibelakangnya, karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak.

2. Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata “agama”
berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti “tradisi”. Sedangkan kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada
kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang
terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat
beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui
rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
Secara definitive menurut harun nasution agama adalah :
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus
dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
3. Mengikat dari ada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber
yang berada diluar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu system tingkah laku yang berasal dari sesuatu kekuatan ghaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu
kekuatan ghaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat pada alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Jadi, agama adalah masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia.
Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit untuk diukur secara tepat dan rinci.
Agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia.

3. Psikologi Agama
Dari pengertian psikologi dan pengertian agama, bahwa pengertian psikologi agama
adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran,
perasaan dan kehendak yang bersifat abstrak yang menyangkut dengan masalah yang
berhubungan dengan kehidupan batin manusia, yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan
manusia dan menimbulkan cara hidup manusia atau ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan
kepada manusia melalui seorang rasul.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang
meneliti dan menela’ah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar
pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada
umumnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa psikologi agama adalah ilmu yang mempelajari tingkah
laku makhluk hidup mengenai kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa
besar pengaruh keyakinan beragama serta keadaan hidup pada umumnya.
B. Manfaat Psikologi Agama dalam Belajar Mengajar
Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali manfaat yang diambil dari psikologi agama,
khususnya dalam proses belajar mengajar. Berikut ini beberapa manfaat psikologi agama
dalam proses belajar mengajar, diantaranya:
a) Menanamkan Cara Berpikir Positif terhadap Anak
Berpikir positif merupakan salah satu cara berpikir yang lebih menekankan pada hal-hal
yang positif, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun situasi yang dihadapi. Setiap orang
yang mempunyai pikiran positif akan melihat segala kesulitan dengan cara yang polos serta
tidak mudah terpengaruh, sehingga menjadi tidak mudah putus asa oleh berbagai tantangan
ataupun hambatan yang dihadapi. Individu yang berpikir positif selalu mempunyai keyakinan
bahwa setiap masalah pasti ada solusi yang tepat dan melalui proses intelektual yang sehat
(Peale, 1996).
b) Menanamkan Kecerdasan Kreatif pada Anak
Dilihat dari perspektif psikologis, definisi kreativitas bisa ditinjau dari berbagai sudut
pandang. Menurut Triantoro Safaria, kreativitas merupakan kemampuan berpikir secara
berbeda dalam berbagai macam sudut pandang yang fleksibel dan bervariasi. Secara garis
besar, kreativitas dapat dilihat dari empat macam dimensi atau yang sering disebut sebagai 4
P, yaitu process, person, press and product. Kreativitas juga dapat dilihat dari karakteristik
pribadi, dari proses yang dilalui oleh individu tersebut, dari dorongan internal maupun
eksternal, dan terakhir dapat dilihat dari produk yang dihasilkan oleh individu tersebut. Namun,
pada umumnya, orang lebih bisa melihat sebuah kreativitas dari produknya, dengan asumsi
seseorang bisa dikatakan kreatif jika telah menghasilkan sesuatu yang dinilai inovatif, lebih
aktual, dan lebih berbeda dari yang lain.
c) Menanamkan Kecerdasan Emosional pada Anak
Secara garis besar, emotional intelligence berisikan kualitas-kualitas dan potensi-potensi
positif sebuah pribadi yang bersifat interpersonal dan ekstra personal. Kualitas-kualitas
tersebut adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,
kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah
pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan adanya sikap hormat terhadap orang lain.
d) Membangun Kecerdasan Spiritual pada Anak
Sebenarnya kemampuan kecerdasan spiritual individu dapat dilihat dari bagaimana
praktik dan aplikasi keagamaan individu terinternalisasi atau menyatu dalam kehidupannya,
namun bukan hanya sebatas pemahaman agama saja. Dalam hal ini psikologi agama juga
berperan penting untuk menanamkan kecerdasan spiritual pada jiwa individu. Hal ini juga
didukung oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunungjati
dalam sebuah seminar tentang “Kecerdasan Spiritual dalam Perspektif Islam” yang
menyatakan bahwa memang benar jika kecerdasan spiritual tidak bisa dilihat dari pemahaman
keberagamaan seseorang, karena berapa banyak pula orang yang pemahaman keagamaannya
bagus, namun tindakan korupsi masih dilakukan juga, artinya yang dimaksud di sini adalah
bukan hanya sekadar dan sebatas pemahaman, tetapi juga aplikasi dalam kehidupannya.

C. Aplikasi Psikologi Agama dalam Belajar Mengajar


Aplikasi psikologi agama dalam proses belajar mengajar berkaitan erat dengan teori
kepribadian Sigmund Freud, beberapa teorinya dapat diaplikasikan dalam bimbingan, yaitu:
Pertama, konsep kunci bahwa “manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan
keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan melihat
hakekatnya, manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan dasar.
Dengan demikian, konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman kepada
apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh yang diberikan konseling, sehingga bimbingan
yang dilakukan benar-benar efektif. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan itu sendiri.
Mortensen membagi fungsi bimbingan kepada tiga yaitu:
1) memahami individu,
2) preventif dan pengembangan individual, dan
3) membantu individu untuk menyempurnakannya.

1. Memahami Individu
Seorang guru dan pembimbing dapat memberikan bantuan yang efektif jika mereka dapat
memahami dan mengerti persoalan, sifat, kebutuhan, minat, dan kemampuan anak didiknya.
Karena itu, bimbingan yang efektif menuntut secara mutlak pemahaman diri anak secara
keseluruhan. Karena tujuan bimbingan dan pendidikan dapat dicapai jika programnya
didasarkan atas pemahaman diri anak didiknya. Sebaliknya bimbingan tidak dapat berfungsi
efektif jika konselor kurang pengetahuan dan pengertian mengenai motif dan tingkah laku
konseli (yang dikonseling), sehingga usaha preventif dan perawatan tidak dapat berhasil baik.

2. Preventif dan Pengembangan Individual


Preventif dan pengembangan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Preventif berusaha
mencegah kemrosotan perkembangan seseorang dan minimal dapat memelihara apa yang telah
dicapai dalam perkembangannya melalui pemberian pengaruh-pengaruh yang positif,
memberikan bantuan untuk mengembangkan sikap dan pola perilaku yang dapat membantu
setiap individu untuk mengembangkan dirinya secara optimal.
Membantu individu untuk menyempurnakan. Setiap manusia pada saat tertentu
membutuhkan pertolongan dalam menghadapi situasi lingkungannya. Pertolongan setiap
individu tidak sama. Perbedaan umumnya lebih pada tingkatannya dari pada macamnya, jadi
sangat tergantung apa yang menjadi kebutuhan dan potensi yang ia miliki. Bimbingan dapat
memberikan pertolongan pada anak untuk mengadakan pilihan yang sesuai dengan potensi dan
kemampuan yang dimilikinya.
Pertama, dalam konsep yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa teori Freud bisa dijadikan
pertimbangan dalam melakukan proses bantuan pada konseli, sehingga metode dan materi yang
digunakan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan individu.
Kedua, konsep kunci tentang “kecemasan” yang dimiliki manusia dapat digunakan sebagai
wahana pencapaian tujuan bimbingan, yakni membantu individu supaya mengerti diri dan
lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan merencanakan hidup secara bijaksana;
mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, memecahkan masalah yang dihadapi
dalam kehidupannya; mampu mengelola aktifitasnya sehari-hari dengan baik dan bijaksana;
mampu memahami dan bertindak sesuai dengan norma agama, sosial dalam masyarakatnya.
Dengan demikian, kecemasan yang dirasakan akibat ketidakmampuan dapat diatasi
dengan baik dan bijaksana. Karena menurut Freud setiap manusia akan selalu hidup dalam
kecemasan, kecemasan karena manusia akan punah, kecemasan karena tidak dapat
bersosialisasi dengan lingkungan dan banyak lagi kecemasan-kecemasan lain yang dialami
manusia. Jadi, untuk itu bimbingan dapat menjadi wadah dalam rangka mengatasi kecemasan.
Ketiga, konsep psikoanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap
perjalanan manusia. walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun dalam beberapa hal,
konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi anak-anak dalam pembentukan moral
individual. Dalam sistem pembinaan akhlak individual, islam menganjurkan agar keluarga
dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan
norma agama dan sosial.
Norma-norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang
panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan yang
baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik.
Keempat, teori Freud tentang “tahapan perkembangan kepribadian individu” dapat
digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep ini
memberi arti bahwa materi, metode dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan tahapan
perkembangan kepribadian individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki karakter dan sifat
yang berbeda. Oleh karena itu konselor yang melakukan bimbingan haruslah selalu melihat
tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya menjadi efektif.
Kelima, konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses bimbingan
yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-impuls dorongan Id
yang bersifat irasional sehingga berubah menjadi rasional.
Dari beberapa pendapat yang dilontarkan oleh Sigmund Freud dalam kelima konsep
tersebut yang dapat diaplikasikan dalam bimbingan, maka kaitannya dengan pengaplikasian
psikologi agama dalam proses belajar mengajar
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa pengertian psikologi agama adalah
ilmu yang mempelajari tingkah laku makhluk hidup mengenai kehidupan beragama pada
seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan beragama serta keadaan hidup
pada umumnya.
Manfaat-manfaat psikologi agama banyak sekali, khususnya dalam proses belajar
mengajar. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya :
1) Menanamkan Cara Berpikir Positif terhadap Anak,
2) Menanamkan Kecerdasan Kreatif pada Anak,
3) Menanamkan Kecerdasan Emosional pada Anak,
4) Membangun Kecerdasan Spiritual pada Anak dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Muallifah. 2009. Psycho Islamic Smart Parenting. Jogjakarta: DIVA Press.


Tohirin. 2008. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Zaviera, Ferdinand. 2007. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Jogjakarta: Prismasophie.

Anda mungkin juga menyukai