Anda di halaman 1dari 11

PRAKATA

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu

Segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT. yang Mahapengasih dan
Mahapenyayang, berkatNya segala makhluk diberi rahmat bisa beraktifitas sesuai kapabilitas
masing-masing. Salawat serta salam semoga tumpah ruah kepada sang pembawa Islam,
Muhammad ibn Abdullah. Karenanya, saat ini kita sudah bisa mengenyam manisnya ilmu
pengetahuan dan peradaban yang beradab tanpa ada halangan sedikit pun.

Dalam rangka menyelesaikan sebagian syarat guna memperoleh predikat lulus pada
materi Psikologi Agama, kami berusaha semaksimal mungkin membuat makalah ini demi
tercapainya tujuan yang kami maksud.

Namun disamping itu, kami teringat pada adagium masyhur “tak ada gading yang tak
retak,” hal yang sama kami rasakan dalam penulisan makalah ini. Oleh sebab itu, kami
mengharap dan menerima segala bentuk kritikan dan saran yang sifatnya mendidik untuk
perbaikan selanjutnya.

Selamat membaca!

Annuqayah, 17 Maret 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu berkah kemajuan yang diamini masyarakat luas adalah modernisasi dan
globalisasi. Ilmu pengetahuan dengan mudah dan gamblangnya menyebar tanpa rintangan.
Ditambah pesatnya teknologi yang semakin hari, semakin terbarukan. Perlahan tanpa kita
sadari laku kita mengalami “penyegaran.”
Perubahan laku tidak hanya dalam person, juga dalam ranah sosial menjadi
imbasnya. Sehingga yang terjadi, pengasingan secara sendiri menjamur seiring waktu.
Contoh riil dalam masyarakat kita, ketika ada hajatan atau sebagainya, semua menjadi asing
seketika. Mereka lebih memilih dunia maya dari pada dunia nyata.
Masalah kemudian muncul, harakat kemanusiaan dipertaruhkan. Para ahli lalu saling
tuduh dan mereka sepakat masalah ini ada pada ranah psikologi. Hipotesis awal ada
keterkaitannya dengan agama. Oleh sebab itu, ilmuan psikologi agama mencoba menelusuri
akar permasalahan pada ranah Agama.
Sebelum penelusuran terjadi pada tingkat terdalam, psikologi agama mengkapling
dimensi-dimensi religius atau psikografi agama yang bagi mereka (ahli psikologi agama)
menentukan laku masyarakat modern. Maka dari itu, penulisan makalah ini hendak
menampilkan sekilas tentang dimensi-dimensi religiusitas dalam psikologi agama yang
nantinya diharapkan bermanfaat tidak hanya bagi penulis, juga bagi lainnya secara umum.
Untuk mempermudah pembahasan akan dibuat semacam rumusan kasar dengan
tujuannya pula. Harapannya walau tidak sesistematis karya profesor, minimal semi-sistematis
yang juga dapat dipahami bersama.

B. Rumusan Masalah
Setelah mengetahui latar belakang di atas, penulisan makalah ini dirumuskan pada
dua pertanyaan mendasar:
1. Apa yang disebut dengan religiusitas?
2. Ada berapa psikografi agama dalam psikologi agama?

C. Tujuan Masalah
Dengan dua pertanyaan di atas, maka maksud penulisan untuk mengetahui:
1. Definisi religiusitas dan sekelumit permasalahan; dan
2. Psikografi agama dalam psikologi agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sebuah Sketsa Pendefinisian Agama, Religiusitas Dan Psikologi
Religiusitas merupakan urat nadi utama dalam kajian agama. Pendefinisiannya pun
hingga saat ini banyak digandrungi masyarakat (para pengkaji agama) lantaran bila salah
mendefinisikan, agama menjadi korbannya. Para ahli psikologi agama mencoba peruntunan
mendefinisikan religiusitas, namun yang terjadi, sampai detik ini tidak ada konsensus
mengenai definisi tersebut.
Makalah ini memfokuskan pada sisi religiusitas. Namun, alangkah baiknya
membicarakan pula sekilas hal-hal yang berhubungan dengannya. Pertama, agama berasal
dari dua kata; A, yang berarti tidak, dan GAMA, yang berarti rusak. Bila disatukan, Agama
merupakan sesuatu yang tidak akan rusak.1 Agama sendiri dalam buku bahasa kita (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya.2
Dari pengertian di atas, bisa kita pahami agama tidak hanya penyerahan total
kepada Tuhan sang Mahakuasa, melainkan ikut berkecimpung ataupun ada rasa empati
sesama makhluk Tuhan; manusia, tumbuhan, hewan, dan alam raya (alam semesta, terlebih
bumi pertiwi kita). Maka seperti kata William James, atau jamak kita kenal sebagai bapak
psikologi, bahwa agama memiliki nilai penting dalam keseharian manusia, termasuk tingkah
lakunya.3
Banyak pendapat yang senada di atas, antara lain oleh Emmons dan Polutzian
bahwa dalam sosial kemasyarakatan, agama cukup memberi pengaruh dominasi yang kuat.
Sehingga bila tanpa agama, manusia hidup tanpa merasakan manisnya hidup. Lebih dari itu,
bukankan ada adaqium masyhur, entah Hadits atau lainnya, orang yang paling baik adalah
orang yang saling membantu terhadap sesamanya (baca: sesama makhluk).
Kedua, Psikologi berasal dari psyche dan logos, yang pertama artinya jiwa, sedang
kedua artinya pengetahuan. Sekilas psikologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang jiwa.
1
Pada penjelasan pengantar kuliah materi Psikologi Agama, oleh Mohammad Takdir, S.Th.I., M.Hum. 04 Maret
2023, penjelasan terkait ada pada recorder penulis.
2
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kelima (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2018), hal. 19.
3
Roni Ismail, Konsep Toleransi Dalam Psikologi Agama, Jurnal Religi Januari 2012, Vol. 8, No. 1, hal 5.
Seiring berjalannya waktu, psikologi dalam cakupannya meluas, menjadi ilmu tentang
kepribadian, perilaku, dan sikap.4
Pemerintah melalui Kemendikbudristek, yang lebih menjurus lagi oleh Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mendefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan
proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, atau definisi
kedua, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa.5
Dari dua pendefinisian tadi−¿definisi Agama dan Psikologi−¿ada titik temu yang
sama, bila kita cermati keduanya sama berpengaruh dalam tingkah laku atau perbuatan.
Sehingga, idealnya orang beragama, tingkah laku atau moralnya sebagaimana ajaran agama
anutannya. Maka perilaku yang menyimpang dari ajaran agama, ia sedang dalam keadaan
sakit, baik secara pemahaman agamanya maupun psikisnya.
Ketiga, religiusitas. Telah disinggung sebelumnya−¿ pada paragraf pertama−¿
pendefinisian religiusitas, masyarakat (para ahli bidang ilmu atau para pengkaji) saling seret-
menyeret. Bahkan dengan munculnya spiritualitas semakin memperparah keadaan. Ada unsur
marginalisasi, privatisasi, hingga perampasan ruang lingkup.
Pelbagai hal menyoroti pendefinisian religiusitas, adanya definisi berangkat dari
disiplin ilmu masing-masing, seperti religiusitas dalam kajian teologi bertitik tolak pada
keyakinan, sedang dalam kajian sosiologi, mempertimbangkan afiliasi jamaah atau keaktifan
mengikuti rentetan kegiatan sosial. Lain lagi bila dilihat dari sudut pandang psikologi, yang
dalam internal psikologi sendiri terdapat perpecahan pendapat, antara lain, religiusitas lebih
kepada komitmen dalam beragama.6 Sehingga, yang terjadi sampai saat ini tidak ada
konsensus akan definisi religiusitas.
Adanya definisi religiusitas dalam karya tulis ilmiah, tak lain sekadar rancangan
kasar yang dibalut subjektivitas pembuat yang didasari latar belakang keilmuannya.
Walaupun begitu, pemerintah Indonesia mencoba mendefinisikan religiusitas yang nantinya
−¿menurut penulis−¿sesuai dengan standard dan bisa dipahami masyarakat Indonesia.
Dalam KBBI termaktub religiusitas adalah pengabdian terhadap agama; kesalehan dan dari
akar katanya, religi, adalah kepercayaan kepada Tuhan akan adanya kekuatan adikodrati di
atas manusia.7
4
Pada penjelasan pengantar kuliah materi Psikologi Agama, oleh Mohammad Takdir, S.Th.I., M.Hum. 04 Maret
2023, penjelasan terkait ada pada recorder penulis.
5
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kelima (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2018), hal. 1330.
6
Firdayanti, Religiusitas, Spiritualitas dalam Kajian Psikologi dan Urgensi Perumusan Religiusitas Islam, Jurnal
Ilmiah Psikologi Juni 2015, Vol. 2, No. 2, hal 200.
7
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kelima (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2018), hal. 1388.
Salah satu penyebab kaburnya definisi religiusitas ialah sebuah keniscayaan bahwa
Agama merupakan sesuatu yang kompleks dan personal.8 Kemudian penyempitan terjadi,
sejak maraknya penggunaan spiritualitas sebagai sandingan agama. Religiusitas bersifat
institusional, sedang spiritualitas tidak. Bahkan distingsi paling menyakitkan adalah
spiritualitas sebagai suatu yang personal juga berkonotasi positif, sedangkan religiusitas
diklaim sebagai penghambat potensi kemanusiaan.9
Dari kaburnya definisi religiusitas, penulis hendak menampilkan beberapa definisi
yang seperti dalam berita (sering diberitakan menunjukkan pentingnya sebuah berita), maka
definisi-definisi berikut sebagai perwakilan dari definisi paten dikemudian hari. Pendapat
pertama dari Chaplin, bahwa religiusitas adalah sistem yang kompleks mencakup
kepercayaan, keyakinan yang memanifestasi dalam tingkah laku dan melaksanakan ritual
keagamaan dengan tujuan berhubungan dengan Tuhan.10
Kedua, religiusitas adalah kualitas penghayatan seseorang dalam beragama atau
dalam memeluk agama yang diyakininya. Pendapat ini digagas oleh Japar.11 Ketika
penghayatan semakin mendalam, semakin tinggi pula sisi religiusitasnya, begitu pula
sebaliknya, semakin sempit atau dangkal memahami agama, semakin pendek atau picik
dalam menghayati agamanya.

B. Psikografi Agama
Psikografi agama atau dimensi religiusitas dianggap salah satu penentu “penyegar”
laku masyarakat modern, di samping faktor lingkungan. C.Y. Glock mengklasifikasi
psikografi agama dalam tulisannya, On the Study of Religiois Commitment Review of Recent
Research Bearing on Religious Formation, pada tahun 1962, menjadi lima bagian; ideologis,
ritualistik, eksperiensial, intelektual, dan konsekuensial. Kelimanya, penulis akan gambarkan
sekilas beserta kemelut yang menyertainya.12
1. Dimensi Ideologis
Kata ideologi dalam KBBI diartikan sebagai kumpulan konsep bersistem yang
dijadikan asas pendapat atau kejadian yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan

8
Firdayanti, Religiusitas, Spiritualitas dalam Kajian Psikologi dan Urgensi Perumusan Religiusitas Islam, Jurnal
Ilmiah Psikologi Juni 2015, Vol. 2, No. 2, hal 200.
9
Ibid. hal. 201.
10
Ros Mayasari, Religiusitas Islam dan Kebahagiaan, Jurnal Al-Munzir November 2014, Vol. 7, No. 2, hal 84.
11
Dalam Spiritual Management: From Personal Enlightenment Towards God Corporate Governance, karya
Sanerya Hendrawan, Bandung: Mizan, 2009, hal 18.
12
Roni Ismail, Keberagamaan Koruptor Menurut Psikologi, Jurnal Esensia Juni 2012, Vol. 13, No. 2, hal 295-296.
hidup.13 Sehingga bila ideologi dikaitkan dengan agama, maka sekumpulan konsep sistem
yang ada pada agama itu sendiri. Kemudian para ahli psikologi mencoba memahami ranah ini
untuk keperluan jiwa-jiwa para pemeluk agama.
Seiring perkembangan waktu, permasalahan-permasalahan muncul, terlebih arus
deras modernisasi dan globalisasi, maka pada saat bersamaan dimensi ideologis dicurigai
menjadi akar permasalahan.
Dimensi ideologis merupakan sarana pertama atas tuduhan penyebab pelbagai
permasahan. Dimensi ini ada pada ranah keyakinan atau keimanan. Orang beragama pada
dimensi ini mengamini doktrin-doktrin agamanya. Sehingga, ranah ini pula yang nantinya
menampakkan distingsi antara agama A dan B. Bahkan peliknya lagi, muncul dari friksi
internal sendiri (seperti, agama A).
Setiap orang beragama pasti memiliki dimensi ini, walau laku mereka paradoks
dengan ajaran agamanya. Misalnya, kasus 212 monas. Orang dengan mudah menghipnotis
masyarakat untuk bertindak agresif menggunakan alat ideologis. Masyarakat tergerak, sebab
mereka dicekoki doktrin legalitas agama. Sehingga, yang terjadi agama menjadi semacam
permainan belaka. Siapa yang pandai bermain, dia pemenangnya.
2. Dimensi Ritualistik
Ritualistik adalah bentuk turunan dari kata ritual yang berarti berkenaan dengan
ritus. Ritus sendiri diartikan sebagai tata cara dalam upacara keagamaan.14 Kajian psikologi
agama memasukkan ritual sebagai salah satu kajian penting yang menyangkut tingkah laku
pemeluk agama. Seperti dimensi ideologi, dimensi ritual dicurigai penyebab laku masyarakat
hambar dan agresif membabi buta. Maka, pengkajian mendalam tentang dimensi ritualistik,
dilakukan oleh para ahli psikologi agama.
Ritual berhubungan dengan perilaku dan perbuatan beragama. Dalam Islam disebut
ibadah. Dimensi ritualistik menjadi kewajiban pemeluk agama, sebab agama telah mengatur
ritual-ritual khusus bagi pemeluknya. Seperti shalat lima waktu, zakat, haji ke Makkah, puasa
bulan Ramadhan dalam Islam, baptis dalam Kristen dan lain sebagainya.
Dimensi ritualistik terkadang kabur dengan dimensi ideologis. Sebab, pemeluk
agama tertentu, terkadang melakukan ritual khusus yang sampai pada pembedaan dirinya dari
lainnya. Maka, ritual atau dimensi ritualistik menjadi semacam distingsi-distingsi kontradiktif

13
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kelima (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2018), hal. 620.
14
Ibid., hal 1410.
antara satu dan lainnya. Saya insider, dia outsider. Saya kawan, dia lawan. Ana ana, anta
anata. Dan lain sebagainya.
Walau begitu, dimensi ritualistik terkadang paradoks dengan semangat ajaran
agamanya. Seperti yang terjadi belakangan ini, kelompok keagamaan tertentu meneriakkan
Allahu Akbar (kalimat suci dalam Islam) untuk menyerang kelompok atau pihak lain.
Bahkan, hal itu dilakukan setelah melakukan ritual secara besar-besaran, yakni salat jum’at.
3. Dimensi Intelektual
Daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan,
daya akal budi, dan kecerdasan berpikir merupakan definisi turunan dari kata intelektual,
yakni intelek. Definisi ini diberikan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan,
atau sekarang lebih luas lagi, Kemendikbudristek dalam pengembangan dan pembinaan
bahasa.15
Seseorang yang lihai dalam bidang ini, sering memutarbalikkan fakta. Yang terjadi
akan fatal bila bidang ini menyerembet pada agama. Sebagai alat memahami agama, intelek
juga besar dampaknya bila salah dipergunakan.
Agama memiliki pengetahuan tersendiri bagi para pemeluknya. Seperti dalam
Kristen, ada perjanjian baru sebagai informasi tentang Kristus dan para rasulnya untuk para
pengikutnya. Dalam Islam ada syariat yang berisi hukum-hukum atau ketetapan, dan juga
Tarikh atau sejarah yang memuat perjalanan sang Rasul agung Islam, Muhammad Saw.
semua itu merupakan cakupan dimensi intelektual.
Para penganut agama, seyokyanya mengetahui dengan paham akan pengetahuan
atau informasi dalam agamanya. Orang yang tidak sampai pada keidealan pengetahuan
agama, biasanya tingkat pengamalan dan pengalamannya terjadi insinkronisasi tindakan.
4. Dimensi Eksperiensial
Eksperiensial seakar dengan kata eksperimen. Kata ini sering dimaknai dengan
percobaan. Namun, eksperimen tidak sembarang percobaan, para ahli sains mengatakan,
percobaan yang dimaksud adalah percobaan-percobaan yang dilandasi dengan ilmu
pengetahuan. Dalam KBBI, eksperimen berarti percobaan yang bersistem dan berencana,
digunakan untuk menunjukkan kebenaran suatu teori atau sebagainya.16
Eksperimen penting dilakukan dalam pelbagai hal, tak terkecuali pada agama.
Seseorang yang menginginkan kematangan dalam beragama, sering melakukan eksperimen-
eksperimen walau dalam ranah kecil-kecilan, dan tanpa ada pengetahuan khusus yang

15
Ibid., hal 649.
16
Ibid., hal 426.
dimilikinya. Walau demikian, eksperimen seperti itu jauh lebih baik dari pada tidak sama
sekali.
Dalam psikologi eksperimen disebut religious experience. Pengamalan dari sesuatu
yang dia pahami atau ketahui. Eksperimen kemudian merembet pada agama. Tindakan-
tindakan agresif disoroti sebab agama melegalkan. Kajian mendalam dilakukan demi
mengetahui kebenaran amalan atau tindakan.
Dalam pendapat psikologi agama, dimensi eksperiensial merupakan dimensi
perasaan keagamaan oleh penganut agama. Pengalaman keagamaan terkadang diseret pada
ranah moderat, kadang radikal, bahkan liberal. Seperti dalam Islam ada istilah kekhusuan
dalam menjalani ibadah. Kadang kekhusuan ini menjadikan seseorang intens hingga lupa
pada kewajiban-kewajiban lain yang menyangkut sosial-kemasyarakatan.
Banyak pendapat mengatakan, dari dimensi-dimensi sebelumnya, dimensi
eksperiensial ini memiliki pengaruh yang besar pada perilaku keseharian seseorang. Sebab,
orang akan berpikir sebelum bertindak manakala ia menghayati betul ajaran-ajaran
agamanya.
5. Dimensi Konsekuensial
Konsekuensi merupakan turunan kata konsekuen yang dalam KBBI diartikan
sebagai akibat dari suatu perbuatan, pendirian, dan sebagainya.17 Sehingga konsekuensial
adalah hal-hal yang disebabkan oleh sesuatu sebelumnya.
Para ahli psikologi mencoba menelisik akar permasalahan yang ada, apakah ada
keterkaitannya dengan kejadian atau perbuatan sebelumnya? Mereka memahami betul
kejadian-kejadian masa lalu. Berangkat dari titik tolak tersebut, didapati ada faktor lain yang
mengiringi perbuatan-perbuatan ”senonoh” dalam laku masyarakat.
Semula ada tuduhan agama mencampuri kebebasan tingkah laku masyarakat. Agama
diintrogasi. Akar permasalahan ”kekerasan” dicari dalam ajaran agama. Dari penelusuran
yang ada bukan pada agama itu sendiri, melainkan pada pemeluk agamanya.
Psikologi agama menemukan semacam titik terang. Bahwa akar permasalahan ada
pada jiwa-jiwa pemeluk agama, dan ini merupakan konsekuensi dari ajaran yang tidak paham
betul akan substansi ajaran agamanya. Maka, dimensi konsekuensial adalah akibat ajaran
agama dalam perilaku orang beragama.18

17
Ibid., hal 867.
18
Roni Ismail, Keberagamaan Koruptor Menurut Psikologi, Jurnal Esensia Juni 2012, Vol. 13, No. 2, hal 299.
Akibat agama tidak semua negatif dan juga positif, terkadang sewaktu-waktu orang
beragama bertingkah “positif” dan kadang diwaktu yang lain “negatif.” Ini menandakan
dimensi konsekuensial bersifat tentatif, artinya dapat berubah sewaktu-waktu.
Jalaluddin Rakhmat mencontohkan dengan kasus yang terjadi di Bandung. Seorang
aparatur Negara rela melepaskan posisinya, sebab bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw.
(anjuran ajaran Islam yang baru dianutnya). Ada juga yang “menghipnotis” membabi buta
puluhan orang untuk bunuh diri dengan cara minum racun.19
Dimensi konsekuensial dianggap sebagai paling tertinggi dibandingkan dimensi-
dimensi lainnya. Sebab, dimensi ini banyak terjadi paradoksial dengan ajaran agama
anutannya. Seperti dalam agama Islam ada ajaran berperilaku baik dan sopan kepada
sesamanya, terlebih kepada yang lebih tua, seperti kedua orang tua. Namun kenyataannya,
banyak penganut Islam tidak mengindahkan ajaran tersebut.

19
Ibid., hal 299.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permasalahan pendefinisian religiusitas tak kunjung tuntas. Dengan datangnya
spriritualitas, pemaknaannya pun kabur tak terbatas. Hingga saat ini, tidak ada konsensus
mengenai definisi religiusitas itu sendiri. Namun, kekaburan yang terjadi, ada segelintir orang
mencoba mendefinisikan religiusitas, dan hal itu juga yang dilakukan pemerintah kita,
Indonesia, melalui Kemendikbudristek yang lebih spesifik lagi oleh badan pengembangan
dan pembinaan bahasa melakukan pendefinisian yang dikira nantinya tidak akan jauh berbeda
dari definisinya.
Kemudian, religiusitas−¿menggunakan definisi yang ada−¿ada keterkaitan dengan
keyakinan, yang bila ditarik lebih dalam, juga ada sangkut pautnya dengan agama. Dalam
agama, religiusitas terbagi menjadi lima bagian; dimensi ideologis, ritualistik, intelektual,
eksperiensial dan terakhir konsekuensial.
Akhir-akhir ini permasalahan muncul, sebab pesatnya modernisasi dan globalisasi.
Tidak menutup kemungkinan, penjajahan kepribadian atau harkat kemanusian terjadi
beransur-ansur tanpa rintangan. Para ahli psikologi agama kemudian hendak menjawab dan
memberi solusi permasalahan dengan pendekatan kelima dimensi religiusitas di atas. Dan
kesemuanya ada peran dan posisi masing-masing yang saling ketergantungan, sehingga
dalam kacamata psikologi agama, kita mulai dijajah dari kelima dimensi tadi.
Oleh karena itu, perlulah dan pastikan kita semua mengontrol betul kelima dimensi
religiusitas agar tidak diperbudak modernitas dan globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kelima, PT. Balai Pustaka (Persero), 2018.
Firdayanti, Religiusitas, Spiritualitas dalam Kajian Psikologi dan Urgensi
Perumusan Religiusitas Islam, Jurnal Ilmiah Psikologi Juni 2015, Vol. 2, No. 2.
Hendrawan, Sanerya, Spiritual Management: From Personal Enlightenment
Towards God Corporate Governance, Bandung: Mizan, 2009.
Ismail, Roni, Konsep Toleransi Dalam Psikologi Agama, Jurnal Religi Januari 2012,
Vol. 8, No. 1.
Ismail, Roni, Keberagamaan Koruptor Menurut Psikologi, Jurnal Esensia Juni 2012,
Vol. 13, No. 2.
Mayasari, Ros, Religiusitas Islam dan Kebahagiaan, Jurnal Al-Munzir November
2014, Vol. 7, No. 2.
Penjelasan Pengantar Kuliah, Psikologi Agama, Mohammad Takdir, S.Th.I.,
M.Hum., 04 Maret 2023, Penjelasan terkait ada pada recorder penulis.

Anda mungkin juga menyukai