PENDAHULUAN
1 1
kecerdasan dan saling bekerjasama, dapat membangun sebuah kedamaian dan
keindahan di muka bumi ini.
Penerapan humanisme tanpa didasari oleh ajaran agama hanya akan
menimbulkan pola pikir, sikap dan perbuatan yang menghancurkan harkat dan
martabat manusia.
Pluralisme Agama merupakan satu wilayah yang sering dijadikan isu
yang aktual hingga saat ini. Dan merupakan persoalan yang tidak habis
dibicarakan satu kali saja, hal ini terlihat dengan banyaknya tulisan yang
membahas mengenai persoalan serupa..
Dengan demikian spirit Pluralisme Agama dapat terbentuk melalui
realitas tersebut.Realitas tersebut dapat kita lihat dalam suatu negara dimana
semakin sulitnya menemukan sebuah negara yang memiliki masyarakat yang
seragam (uniform). Agama merupakan faktor penggerak yang memotivasi
manusia untuk melakukan berbagai perilaku dan pemikiran yang akan berbeda
antara satu dengan yang lain.Perbedaan tersebut terjadi karena pada fitrahnya
manusia memiliki perbedaan dalam sebuah pemikiran.Namun setidaknya, dalam
menganut sebuah agama, manusia yang beragama secara umum dibedakan
menjadi tiga hal, yakni eksklusif, inklusif dan pluralis. Dalam penafsirannya,
sikap eksklusif dan inklusif merupakan sikap-sikap yang dianggap kurang
mendukung terhadap kerukunanantar umat beragama, hal ini terjadi karena
adanya sikap sentimen terhadap eksistensi agama lain, dan juga rentan menjadi
bahan bakar yang akan memperparah keadaan.
Pluralisme sebagai sebuah sikap mengakui adanya perbedaan-perbedaan
harus diterapkan agar dapat bersikap inklusif di dalam keberagaman.
Ideologi mempunyai peranan penting dalam menentukan pandangan
hidup suatu negara. Setiap negara di dunia mempunyai pandangan hidup
masingmasing yang telah disesuaikan dengan budaya dan karakter warganya.
Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia mengandung nilai-nilai kebangsaan,
yaitu cara berfikir dan cara kerja perjuangan bangsa.
2
Diterimanya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar
Negara, membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu
dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi pengaturan serta
penyelengggaraan negara. Pengakuan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
mengharuskan kita sebagai bangsa untuk mentransformasikan nilai-nilai
Pancasilai itu ke dalam sikap dan perilaku nyata baik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Derasnya arus globalisasi menyebabkan semakin lunturnya nilai-nilai
karakter bangsa di masyarakat khususnya pada anak-anak. Dengan adanya
pertukaran budaya bangsa, banyak budaya asing yang masuk yang akhirnya
merusak nilai-nilai karakter bangsa. Anak-anak lebih menyukai budaya asing
daripada budaya asli bangsa ini. Hal ini dibuktikan dengan perasaan yang bangga
menggunakan produk luar negeri. Selain itu lunturnya nilai-nilai kebangsaan bisa
dibuktikan dengan semakin banyaknya fenomena pembatasan bahkan
penghapusan upaya penanaman nilai kebangsaan di sekolah.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
manfaat). Karena keabsahan dan keakuratan dari disiplin ilmu teologi tersebut,
maka epistemologi teologi telah menjadi pola, patokan, rujukan dalam berteologi
dari semua agama tanpa menyadari bahwa terminologi teologi setiap agama
tidak persis sama (Donder, 2006:15).
5
Ada lima macam pendekatan teologis dalam studi agama, yaitu:
1. Teologi agama-agama (theologies of religions), yaitu teologi tertentu yang
muncul dalam tradisi keagamaan tertentu. Jadi teologi agama-agama
adalah teologi yang mempelajari tentang teologi tertentu yang muncul dari
tradisi-tradisi keagamaan. Pada setiap agama merniliki tradisi-tradisi yang
sulit dicari sumbernya dalam kitab suci.
2. Teologi-teologi agama (theologies of religion) yaitu berbagai sikap
teologis dalam tradisi keagamaan partikular yang diadopsi dari luar
agama. Jadi teologi-teologi agama adalah teologi yang mempelajari
tentang sikap teologis suatu agama terhadap tradisi-tradisi keagamaan
yang diambilnya dan luar agamanya. Misalnya orang Kristen di Bali
menggunakan ‘banten’ ke gereja, menggunakan ‘penjor’ saat hari raya
Natal dan Tahun Baru, menggunakan pakaian adat Bali yang lazim
digunakan ke pura oleh umat Hindu namun digunakan oleh umat Kristen
Bali ke gereja.
3. Teologi agama (theology of religion) yaitu upaya membangun suatu
teologi agama yang lebih universal yang dalam hal ini
mengkonsentrasikan pada kategori-kategori transenden. Jadi
pendekatannya mempelajari tentang teologi yang universal yang
memfokuskan diri pada yang transenden (spiritual, kesucian).
4. Teologi agama-agama global (a global theology of religion) yaitu dimulai
dari situasi global dalam seluruh kompleksitas, moral manusia, natural,
dan dari sana kemudian mengkonseptualisasikan kembali kategori-
kategori teologis yang muncul dan tradisi keagamaan tertentu yang dapat
mengarahkan perkembangan situasi global, yang mempengaruhi setiap
orang. Jadi teologi agama-agama global adalah teologi yang mempelajari
kompleksitas agama termasuk di dalamnya; moral, manusia, natural, serta
mengkonstruksi atau mengkonseptualisasikan kembali kategori-kategori
teologis itu.
6
5. Teologi agama perbandingan (comparative theology of religion). Melalui
membaca teologi-teologi agama tertentu, kita akan mengeksplorasikan
beberapa titik temu dan perbandingan teologis. Jadi teologi agama
perbandingan adalah teologi yang mempelajari agama-agama melalui
memperbandingkan lewat uraian-uraian teologis setiap agama.
7
Konsep humanisme pada intinya adalah berpikir secara optimis untuk
mengembangkan sifat-sifat baik dalam diri manusia. Mahatma Gandhi sendiri
menganggap cinta terhadap semua makhluk adalah konsep humanisme.
Konsep humanisme ini sangat diperhatikan dalam Veda, sehingga dikatakan
bahwa sebelum membangun hal yang lain, manusialah yang harus dibangun
lebih dahulu. Karena itu selalu diingatkan hendaknya kita menjadi manusia yang
baik, selalu maju, dan tidak mengalami kemunduran. Manusia yang baik adalah
manusia yang mencintai semua makluk di dunia. entimen manusia sudah muncul
dari zaman dahulu. Pada waktu itu, jika manusia mengalami kesulitan maka
yang lain ikut merasakannya. Akan tetapi semakin lama, sentimen ini mulai
melemah dan akhirnya menghilang. Orang-orang yang berbicara agama, filsafat
dan yang merasa dirinya berbudaya (walaupun tidak semua), pada masa
sekarang sudah mulai menikmati hidupnya sendiri tanpa memperdulikan nasib
orang lain yang berada dalam kesulitan. Di samping itu sentimen kemanusiaan
hanya membahas tentang kesulitan manusia dan kesusahan mereka, akan tetapi
mengabaikan hak binatang dan makhluk lain seolah-olah Tuhan menciptakan
mereka untuk manusia.
Konsep Veda di sini sangat jelas bahwa manusia sesungguhnya harus
lepas dari sentimen-sentimen sempit yang dapat memecah belah persatuan dan
perlu menanamkan dalam pikiran bahwa dunia adalah satu keluarga besar.
Sebuah pernyataan terdapat di dalam Veda yaitu “Dvepade catuṣpade” yang
artinya “Lindungilah manusia dan makhluk lain”. Humanisme dalam arti luas
adalah menginginkan semua makhluk bisa hidup saling mencintai dan peduli,
baik dalam suka maupun duka. Dalam hal ini bukan hanya hak manusia yang
diperhatikan. Oleh karena itu Acarya Vinoba Bhave memperkenalkan
konsep Sarvodaya yang artinya kemakmuran untuk semua makhluk.
8
Wahai manusia, tiada yang besar dan tiada yang kecil di antara
kalian,Semua adalah saudara, majulah demi kemajuan. Para pemuda
melaksanakan karma utama yang menghancurkan kejahatan, Penyayang
seperti sifat orang tua mereka, Dan setiap hari berusaha mencapai
keinginannya,Dengan demikian semua manusia hidup dalam kesejahteraan
dan kebahagiaan
(Rgveda: V.60.5)
9
claim). Agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan
(other religions are false paths, that misled their followers). Karena klaim
kebenaran itulah, kemudian agama sering dituding sebagai pemicu konflik di
tengah kehidupan bermasyarakat. Namun, jika kita mau melihat dengan lebih
jernih, sebenarnya bukan agamalah sebagai penyebab utama terjadinya konflik
antar umat beragama, melainkan ‘ketersesatan’ pemahaman penganutnya
terhadap ajaran agamalah yang menyebabkan prakteknya menyimpang. Bahkan
ada juga faktor-faktor di luar agama, seperti ekonomi maupun politik juga ikut
ambil bagian.
Hinduisme yang dibangun di atas Sanathana Dharma sejak awal
keberadaannya telah meletakkan pluralisme sebagai suatu rta “kebenaran alam”
yaitu kebenaran kedua setelah kebenaran pertama yaitu Satya “Kebenaran
Tuhan”. Jika Tilak Sastri berpendapat bahwa Hinduisme sudah ada sejak 6000
SM, maka sejauh itulah pluralisme dalam Hindu telah ditanamkan. Tetapi jika
asumsi yang digunakan Donder (2004) bahwa Hinduisme atau Sanathana
Dharma yang bersumber dari Veda adalah brosur alam semesta maka pluralisme
telah ditanamkan dalam Veda sejak alam semesta diciptakan.
Pengakuan Hindu terhadap pluralitas kehidupan sebanding dengan
penghargaannya terhadap pluralisme itu sendiri. Pluralitas merupakan realitas
yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan
keragaman, dapat ditemukan dalam sloka-sloka berikut ini:
Janaṁ bibhratībahudhāvivacasaṁ nānādharmāṇaṁ pṛthivīyathaukasam,
sahasraṁ dhārādraviṇasya me duhāṁ dhruveva dhenuranapasphurantī
(Atharvaveda XII.1.45)
10
bagaikan curahan susu yang tanpa henti (dhruva) dihasilkan oleh sapi
(Sāyaṇācārya, 2005)
Ye yathāmāṁ prapadyante
tāṁs tathaiva bhajāmy aham
mama vartmānuvartante
manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ
(Bhagawad Gita IV.11).
Terjemahannya: Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku
terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan (Pudja,
1999).
11
Swami Vivekananda di World Parliament of Religions di Chicago pada
september 1893 yang lalu. Sikap toleransi begitu penting dalam konteks
pluralitas beragama, sebab hanya dengan cara itulah rasa hormat dan
penghargaan itu terwujud. Toleransi dalam konteks pluralisme berarti
menghormati dan menghargai keyakinan agama lainnya, serta menghindarkan
diri untuk bersikap merendahkan dan menistakannya.
Oleh karena itu diperlukan upaya atau sikap konkrit untuk mewujudkan
toleransi terwujud, yaitu: 1) Widya, yang dalam konteks pluralitas dan kerukunan
beragama dimaknai sebagai pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
penghayatan dalam melihat keragaman sebagai kenyataan dan bagian dari
kehidupan; 2) Maitri, yang dimaknai sebagai cinta kasih yang tulus kepada
makhluk (orang) lain. Dalam konteks ini, Maitri berarti sikap menghormati dan
menghargai keyakinan dan pilihan iman orang lain; 3) Ahimsa, berarti sirnanya
hasrat menyakiti atau membunuh terhadap makhluk (orang) lain. Dalam konteks
kerukunan beragama, Ahimsa tiada lain adalah lenyapnya hasrat untuk
melecehkan, menghina, dan menistakan keyaninan atau agama yang lain; dan 4)
Santi, yang diartinya kedamaian. Sehingga Pluralisme dalam Kebhinekaan di
Indonesia dapat terwujud.
12
bagimana masyarakat diatur dan diorganisasikan demi kesejahteraan bersama
(universal) tentunya dengan tujuan-tujuan yang ideal demi kemaslahatan umat
manusia. Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara
hidup kolektif masyarakat. Secara sederhana ada dua jenis ideologi: Ideologi
manusiawi dan ideologi kelas. Ideologi manusiawi adalah ideologi yang
didedikasikan untuk seluruh umat manusia, bukan untuk kelas, ras atau
masyarakat tertentu saja. Format ideologi seperti ini meliputi seluruh lapisan
masyarakat dan tidak hanya lapisan atau kelompok tertentu saja.
Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk dijalankan oleh
umat pemeluknya di muka bumi. Adapun tujuannya adalah, supaya manusia
dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama juga mengatur
bagaimana manusia berhubungan. Yaitu, hubungan dengan sesama dan dengan
Tuhannya. Tentu, setiap agama mempunyai ritualitas keagamaan yang berbeda-
beda.
Agama di era modernitas ini bisa dibilang telah kehilangan ruhnya.
Masyarakat modern lebih menonjolkan sisi rasionalitas dalam mencari
kebenaran ketimbang percaya begitu saja pada mitos. Namun sesungguhnya
mereka tetap beriman. Hal ini senada dengan pernyataan Paull Tillich yang
menyebutkan bahwa, setiap orang memiliki keimanan, karena setiap orang
memiliki suatu “urusan terdalam” (ultimate concern), walaupun mereka tidak
menyadarinya
Agama dan ideologi merupakan dua sisi mata uang yang saling berkait.
Ideologi bisa disebut agama karena bisa memberikan jalan menuju “yang-ideal”
bagi para penganutnya. Begitu juga sebaliknya, agama bukan saja sebagai proses
spiritual semata tetapi juga memberikan gambaran “yang-ideal” dan mengatur
kehidupan sosial, politik, maupun, budaya.
Konflik antar agama dan konflik ideologi dalam dasawarsa terakhir
dipengaruhi beberapa hal. Penulis sendiri berpendapat bahwa ada dua akar
penyebab dari terjadinya konflik di abad modernitas ini. Konflik ini berakar
pada: pertama, karena konflik ekonomi yakni penguasaan aset ekonomi yang
13
hanya dimiliki oleh segelintir orang yang memilki modal/ kapital. Kedua, karena
terancamnya eksistensi identitas kelompok, etnis, agama, Negara dan juga
ideologi. Konflik tersebut lebih disebabkan karena globalisasi yang
berkeinginan/memaksakan diri sebagai tatanan tunggal di muka bumi.
Globalisasi tidak memandang dan mengenal batas-batas Negara, agama, dan
ideology, globalisasi merupakan proyek besar neoliberal yang memaksakan
tatanannya atas tatanan dan sistem lainnya.
Tidak sedikit pemikir ilmu sosial yang menganggap bahwa ideologi
telah mati dan pertarungan ideologi dimenangkan oleh kapitalisme global.
Fukuyama misalnya, ia menyebutkan bahwa apa yang kita saksikan ini bukanlah
akhir perang dingin, atau sejarah pasca perang tetapi akhir dari sejarah, yakni
titik akhir dari evolusi ideologi umat manusia dan universalisasi demokrasi
liberal barat sebagi bentuk final pemerintahan umat manusia (Fukuyama, 2004).
Sementara itu Daniel Bell, sosiolog Amerika, pernah berusaha keras untuk
membunuh ideologi. Era saat ini adalah era akhir zaman ideologi dan memasuki
tahap akhir sejarah yang akan membebaskan manusia dari frustasi dan
mewujudkan aspirasi untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak
(Fukuyama, 2004).
Kematian ideologi ini dilatar belakangi dari asumsi bahwa kapitalisme
yang diwakili Amerika telah menang melawan USSR yang berideologi
komunisme. Kapitalisme telah menunjukkan hegemoninya atas ideologi lainnya,
terutama komunisme. Kehancuran komunisme sendiri ditandai dengan
dihancurkan tembok berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur
pada tahun 1990-an. USSR sendiri telah terpecah belah kedalam Negara-negara
bagian dan lebih condong terhadap Negara kapitalisme yang diwakili Amerika.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan
diantaranya sebagai berikut :
1. Hindu telah menunjukkan sikap bagaimana mewujudkan hidup rukun
dalam interaksinya dengan agama yang lain. Ketegasan Hindu dalam
mewujudkan kerukunan, tidak hanya termaktub secara tekstual-teoritik
saja, tetapi sinergi dalam praksisnya. Toleransi dalam konteks pluralisme
berarti menghormati dan menghargai keyakinan agama lainnya, serta
menghindarkan diri untuk bersikap merendahkan dan menistakannya.
2. Kosep humanisme dalam hindu sudah jelas tertian dalam Rgveda: V.60.5
Ajyeṣṭhāso akaniṣṭhāsa ete sambhrātaro vāvṛdhuh saubhagāya
Yuvā pitā svapā Rudra eṣām sudughā pṛśnih sudinā marudbhyah
Yang artinya : Wahai manusia, tiada yang besar dan tiada yang kecil di
antara kalian,Semua adalah saudara, majulah demi kemajuan. Para pemuda
melaksanakan karma utama yang menghancurkan kejahatan, Penyayang
seperti sifat orang tua mereka, Dan setiap hari berusaha mencapai
keinginannya,Dengan demikian semua manusia hidup dalam kesejahteraan
dan kebahagiaan
3. Agama dan ideologi merupakan dua sisi mata uang yang saling berkait.
Ideologi bisa disebut agama karena bisa memberikan jalan menuju “yang-
ideal” bagi para penganutnya. Begitu juga sebaliknya, agama bukan saja
sebagai proses spiritual semata tetapi juga memberikan gambaran “yang-
ideal” dan mengatur kehidupan sosial, politik, maupun, budaya.
3.1 Saran
Menanamkan pemahaman konsep teologi, pluralisme, humanisme dan
ideologi pancasila pada zaman modern ini guna menumbuhkan sikap wawasan
15 15
kebangsaan dan sikap yang mencegah munculnya krisis kepercayaan diri (self-
confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) serta terjadinya perpecahan dan
konflik yang menyebabkan hancurnya kesatuan Negara Republik Indonesia
16
DAFTAR PUSTAKA
17