Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan budaya dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. Banyak agama
memiliki mitologi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna
hidup dan asal-usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos
dan sifat manusia, orang-orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama, atau gaya hidup
yang disukai. Dan agama merupakan ajaran yang di dalamnya menguraikan tentang
keyakinan terhadap Tuhan dan usaha manusia untuk mengetahui serta menghubungkan diri
dengan Tuhan. Keyakinan manusia terhadap keberadaan mahluk adi kodrati (Tuhan) yang
menjadi sumber dan kembalinya seluruh tatanan kehidupan di alam semesta ini merupakan
dasar dari agama. Pencarian manusia pada Tuhan sebagai asal mula dan kembalinya
seluruh ciptaan adalah tujuan dari agama (Suadnyana, 2018).
Konsep ketuhanan dalam agama Hindu secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu
Acintyarupa (impersonal) dan Cintyarupa (personal) bersifat Nirguna (transcendent) dan
Saguna (immanenent). Tuhan dalam wujud Nirguna adalah Tuhan yang tidak dapat
digambarkan dengan kata-kata, tidak bersifat, serta tidak memiliki wujud apapun. Tuhan
dalam konsep Nirguna Brahman dalam Upanisad dinyatakan dengan istilah “netineti” atau
“bukan ini, bukan juga itu”, sedangkan dalam teks lontar Tattwa Jñāna dinyatakan dalam
wujud Parama Śiva (Anggraini, 2019) Tuhan dalam konsep Saguna adalah Tuhan yang telah
mengambil wujud- wujud tertentu, dan memiliki sifat-sifat tertentu pula. Kata-kata Teologi
Hindu sampai saat ini masih sangat asing di telinga umat Hindu termasuk di telinga para
intelektual Hindu. Padahal Teologi Hindu mutlak harus dipahami oleh setiap umat Hindu.
Pembicaraan tentang Brahmavidya atau ilmu ketuhanan (teologi) bukanlah hal baru dalam
khazanah pengetahuan Hindu.
Ilmu adalah pengetahuan, pengetahuan yang berasaskan kenyataan dan telah disusun
dengan baik. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkumi sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan
seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.

1
Pengertian secara ilmiah yang paling sering digunakan, ilmu adalah kumpulan
pengetahuan sistematis yang merupakan produk dari aktivitas penelitian dengan metode
ilmiah. Pengetahuan merupakan akuisisi terendah yang diperoleh dari rangkaian pengalaman
tanpa melalui kegiatan penelitian yang lebih intensif.
Namun, pada dasarnya ilmu dan pengetahuan itu berbeda. Perbedaan terlihat dari sifat
sistematisnya dan cara memperolehnya. Dalam perkembangannya, pengetahuan dengan ilmu
bersinonim arti, sedangkan dalam arti material keduanya mempunyai perbedaan. Segi-segi
ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Dengan kata lain “Ilmu” berbeda dengan “ilmu pengetahuan”. Demikian juga “pengetahuan”
yang berbeda dengan “ilmu pengetahuan”. Istilah “pengetahuan” sangat luas maknanya. Oleh
karena itu, tambahan kata “ilmu” dapat mempersempitnya.
Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi, dengan kata lain ilmu terbentuk dari
3 cabang filsafat yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi, jika ketiga cabang tersebut
terpenuhi berarti sah dan diakui sebagai sebuah ilmu. dimana suatu proses pembentukan
pengetahuan yang terus-menerus sampai menjelaskan fenomena yang bersumber dari wahyu,
hati dan semesta sehingga dapat diperiksa atau dikaji secara kritis dengan tujuan untuk
memahami hakikat, landasan dasar dan asal usulnya, sehingga dapat juga memperoleh hasil
yang logis.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini sangatlah pesat, dimana semua orang
dapat mengkases secara leluasa dan tanpa ada batasannya, sehingga dapat mempermudah
seseorang untuk mencari iformasi terkait apa yang sedang dicarinya.
Teologi Hindu dalam perspektif Ilmu Pengetahuan, saat ini, pemahaman khalayak ramai
tentang Tuhan masih belum bisa diterima secara rasional dan belum bisa dibuktikan dengan
ilmu Pengetahuan saat ini. Akan tetapi setiap agama memiliki cara untuk bisa mendekatkan
diri dengan Tuhan melalui ajaran yang sudah di diajarkan oleh setiap agamanya.
Berdasarkan paparan diatas penulis sangat tertarik untuk menggali lebih dalam terkait
Teologi Hindu dalam Perspektif Ilmu Pengetauhan

2
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Teologi Hindu?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Teologi Hindu?
3. Bagaimana Relasi Teologi Dengan Filsafat?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan Teologi Hindu.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Sejarah Perkembangan Teologi Hindu
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Relasi Teologi Dengan Filsafat

3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Teologi Hindu

Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya “Tuhan” dan “logos” artinya ilmu atau
pengetahuan. Jadi teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan. Ada banyak batasan atau
definisi teologi. Teologi secara harfiah berarti teori atau studi tentang “Tuhan”. Dalam
praktek, istilah dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau
pemikiran individu (Maulana,dkk.,2003: 500).
Donder (2010) Teologi Hindu (Brahmavidya) dibangun atas dua cabang utama, yaitu
Teologi Nirguna Brahman dan Teologi Saguna Brahman. Kedua cabang teologi tersebut
dikembangkan dalam berbagai derivasi (cabang, turunan) teologis berupaya memberikan
solusi terhadap konflik pemahamn teologis dari semua orang dalam semua tingkatan umur
dan semua tingkatan pengetahuan.
Secara garis besarnya membuat dua macam teologi. Pertama, teologi Nirguna Brahman,
yaitu teologi yang menjelaskan tentang Tuhan yang tidak dikaitkan dengan atribut apapun,
tidak bisa diasumsikan dengan sifat apapun dan tidak bisa dibayangkan seperti apapun.
Kedua teologi Saguna Brahman adalah teologi yang menjelaskan tentang Tuhan dengan
atribut dan bermanifestasi sebagai sinar-sinar suci (Dev). Dua macam teologi ini sesuai
dengan peta wilayah kognitif pemahaman teologis manusia yang selanjutnya dijabarkan ke
dalam sub-sub peta wilayah kognisia teologis berdasarkan level pemahaman teologi setiap
orang.
Aryabhatta (dalam Titib, 1996:7 dan 2003:7) menyatakan bahwa Bhagavadgῑtā
diwejangkan oleh Sri Krishna saat Bharatayuda yang jatuh pada tanggal 18 Februari 3102
SM, sehingga Teologi Hindu telah dibicarakan sejak 5117 tahun yang lalu. Sejak lima ribu
tahun lebih Teologi Hindu telah dibahas dengan cakupan teologi yang sangat luas meliputi
bidang pengetahuan dan kepercayaan yang sangat luas pula meliputi segala macam isme yang
dianut oleh manusia, karena itu pula Brahmavidya dapat disebut sebagai Teologi Kasih
Semesta (Donder, 2006; 2010).
Semua agama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, hanya nama-Nya, metode
memahami-Nya, dan cara menyembah- Nya berbeda-beda. Semua agama mengajarkan hal
transendental yang tidakmudah dipahami. Oleh sebab itu, untuk memahami secara baik dan
benar suatuagama membutuhkan panduan seorang guru yang memiliki pengetahuan yang
mapan tentang agama.

4
2. Sejarah Perkembangan Teologi Hindu
Teologi Hindu adalah teologi yang melakukan perjalanan panjang. Fase awalnya adalah
apa yang disebut dengan Zaman Brahmana, di mana Catur Veda merupakan otoritas
tertinggi. Pada umumnya, Catur Veda berpijak kepada pemujaan Dewa-dewa di mana Indra,
Agni, Soma, Asvin, Varuna dan Marut sebagai dewa-dewa utama. Reg Veda menyatakan
Ekam Sat Viprah Bahuda Vadhanti, yang artinya hanya ada satu Tuhan, orang bijaksana
menyebutkannya dengan banyak nama. Pada zaman Brahmana ini, ungkapan Aham
Brahmasmi (Aku adalah Tuhan), belum ada sehingga Teologi Catur Veda dapat
digolongkan sebagai Dvaita, di mana antara pemuja dan yang dipuja berbeda. Karena itu,
tujuan Moksha belum disebutkan secara sempurna dalam Catur Veda. Pemuja hanya berhak
mencapai kesenangan di Sorga bersama para dewa.
Pada fase kedua, muncul zaman Upanisad. Pada zaman ini, pemujaan terhadap dewa-
dewa mendapatkan kritik. Umat Hindu lebih banyak bertanya tentang siapakah diri kita?
Pertanyaan itu yang kemudian dijawab sebagai Atman yang berasal dari Brahman. Karena
itu, atman dan Brahman sesungguhnya adalah satu. Teologi ini yang disebut dengan
Advaita. Ungkapan Upanisad yang terkenal adalah Atman Brahman Aikyam. Pada fase
kedua ini, tujuan Moksha yaitu menyatu dengan Tuhan semakin jelas.
Pada fase ketiga muncul zaman pembaruan Dvaita dan Advaita. Kalangan Dvaita sibuk
menyusun purana-purana untuk mengisahkan pengalaman memuja dewa-dewa, sedangkan
kalangan Advaita sibuk menyusun buku-buku filsafat ketuhanan. Tujuan Moksha pada fase
ini ditafsirkan menjadi dua, yaitu bersatu dengan Tuhan dan hidup bersama Tuhan.
Kalangan Dvaita mengartikan Moksha sebagai hidup bersama Tuhan dan kalangan Advaita
mengartikan Moksha sebagai bersatu dengan Tuhan. Pada kalangan Dvaita, muncul era baru
yang disebut dengan Zaman Purana. Pemujaan terhadap Tuhan, dijelaskan melalui cerita-
cerita purana.
Pada kalangan pengikut Shiva muncul Shiva Purana, pada kalangan Vaisnawa muncul
Visnu Purana, dan pada kalangan pengikut Sakta muncul Mahabhagawata Purana. Zaman
Purana ini memunculkan dewa pemujaan baru yang disebut Shiva, yang dikaitkan dalam
Catur Veda sebagai Rudra. Pada kalangan Vaisnava, Itihasa Ramayana dan Mahabharata
memengaruhi munculnya dewa baru yaitu Rama dan Krishna. Pemujaan Rama dan Krishna
sangat umum di India mulai sekitar abad ke-14 Masehi setelah Ramayana diciptakan
kembali dalam bahasa Hindi yang disebut dengan Ramacaritmanas.
Jayadeva kemudian juga memasyarakatkan Mahabharata dengan Bahasa Hindi,
sehingga memunculkan pemujaan terhadap Krishna dalam puisinya Jaya Govinda.
5
Apakah pemujaan terhadap dewa-dewa baru itu masuk ke dalam Teologi Hindu?
Jawabannya adalah bahwa seluruh dewa-dewa baru itu dikaitkan dengan Catur Veda.
Pemujaan terhadap Rama dan Krishna dikaitkan dengan Visnu dalam Rig Veda. Jadi apa
yang terjadi di kalangan pemuja Shiva yang dikaitkan dengan Rudra dalam Rig Veda,
terjadi juga pada pengikut Vaisnava. Pada kalangan Sakta, pemujaan terhadap Durga
dikaitkan dengan Devi Suktam dalam Rig Veda. Karena itu, semua dewa yang muncul pada
zaman Purana ini mendapatkan pengesahan dari Catur Veda. Zaman Purana ini kemudian
menjadi zaman untuk mengaitkan semua dewa pujaan ke dalam Catur Veda, terutama Rig
Veda.
Karena itu, muncul juga kecenderungan untuk menyusun purana dewa-dewa lokal, yang
dikaitkan dengan Rig Veda. Penyusunan Purana ini merupakan cara orang-orang bijak
Hindu mengajarkan agama kepada masyarakat, sehingga mereka bisa menerima dharma. Di
India, banyak dewa lokal yang dibuatkan cerita sebagai penjelasan dari Visnu, Shiva atau
Sakti. Salah satu contohnya adalah Mariamma yang dikaitkan dengan Durga. Penyusunan
Purana dewa-dewa lokal untuk dikaitkan dengan Catur Veda terjadi juga sampai ke
Indonesia, sehingga dewa-dewa lokal seperti Ratu Niang Sakti, kemudian dikaitkan dengan
Durga. Perkembangan ini menjadikan Hindu memiliki banyak dewa pujaan, yang dianggap
Tuhan oleh masing-masing penyembahnya. Muncul kemudian istilah Kula Devata, Grama
Devata, dan Ista Devata.
Kula Devata adalah dewa yang dipuja keluarga, dalam konteks ini leluhur bisa
dianggap sebagai devata. Grama Devata adalah dewa yang dipuja pada suatu desa,
sedangkan Ista Devata adalah dewa umum yang dipuja dalam suatu pemujaan dengan
maksud khusus. Catatan perkembangan Teologi ini menunjukkan bahwa pemujaan terhadap
Krishna atau Rama juga masuk dalam Teologi Hindu, karena berbasis kepada Purana yang
dikaitkan dengan Catur Veda. Mahabharata dan Ramayana adalah Itihasa dalam Hindu.
Itihasa artinya adalah cerita sejarah, yang berisi cerita pengalaman para orang-orang bijak di
masa lalu. Pengalaman Kunti dan Drupadi dalam Mahabharata menunjukkan bahwa Krishna
adalah Tuhan, karena selalu melindunginya dari mara bahaya. Akan tetapi, dalam
penghayatan terhadap Tuhan, umat Hindu harus menjadi bijak. Umat Hindu harus bisa
menempatkan dirinya dalam masyarakat.

6
Dalam konteks pribadi, umat bisa mengekspresikan pengalamannya dalam memuja
bentuk dewa apa pun. Tetapi dalam konteks umum, umat Hindu harus bisa menyesuaikan
dirinya dengan umat Hindu pada umumnya. Karena dewa pribadi akan selalu berhubungan
dengan dewa umum. Misalnya leluhur selalu berhubungan dengan kepercayaan umum
bahwa leluhur umat manusia adalah Tuhan itu sendiri, tetapi melihat leluhur sebagai Tuhan
dan Tuhan sebagai leluhur adalah rasa yang terbangun dalam pemujaan. Tradisi pemujaan
terhadap dewa dengan bentuk yang berbeda ini memunculkan tradisi pada keluarga,
perguruan agama, desa, dan masyarakat luas.
Karena itu, Hindu memiliki banyak tradisi. Umat Hindu di India juga memiliki banyak
tradisi. Tradisi yang utama adalah tradisi India utara, India Barat, India Timur dan India
selatan, tetapi varian-varian dari tradisi tersebut sangat banyak. Demikian juga, Hindu di
Indonesia memiliki banyak tradisi, seperti tradisi Bali, Jawa, Kaharingan dan lain
sebagainya. Pada era global ini, tradisi-tradisi ini saling mempengaruhi.
Pada abad ke-19, setelah Svami Vivekananda berpidato ke Amerika maka Rsi-Rsi dari
India sangat aktif mengajarkan Dharma ke dunia barat. Penyebaran dharma nya dilakukan
melalui jalan yoga. Pada penyebaran ini, tradisi-tradisi mereka yang baik ikut terbawa ke
dunia barat. Tradisi ini kemudian menyebar lagi ke dunia timur. Bali, yang mengembangkan
pariwisata, tak luput dari pengaruh tradisi ini. Mulai tahun 1980-an, wisman dari Eropa dan
Amerika telah datang ke Bali dengan guru-guru yoga mereka. Wisman ini mempengaruhi
orang-orang lokal untuk mengikuti tradisi-tradisi keagamaan mereka.
Melalui pariwisata ini, Hare Krishna, Sai Baba, dan yang lainnya menyebar ke Bali.
Pada abad ke-21 ini, keadaannya terbalik, wisman justru mencari tradisi-tradisi lokal di Bali
sehingga berkembang yoga-yoga lokal seperti Markendya Yoga dan Tantra Yoga.
Bali sebagai daerah pariwisata tak akan bisa menutup pengaruh ini, tetapi sebaliknya
pengaruh Bali juga mempengaruhi wisman. Saling mempengaruhi akan terjadi dalam
pergaulan global ini. Karena itu, umat Hindu harus bijak dalam hal ini. Kebijakannya adalah
mampu menempatkan diri dan toleran terhadap umat Hindu lainnya.

7
3. Relasi Teologi/Hubungan dengan Filsafat
Teologi secara praktis telah dimula dari tokoh-tokoh Perjanjian Lama yang mem- bahas
tentang Tuhan. Selanjutnya, masuk ke dalam dunia Perjanjian Baru dan zaman bapak-bapak
Gereja; kemudian zaman reformasi; pencerahan, modern dan post-modern. Pada umumnya
teologi yang berkembang setiap jaman juga dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di
dalam dunia, mempengaruhi metode dan sistem penyelidikan (hermeneutik) Kitab Suci
sebagai Pedoman. Ada kalanya Kitab Suci menjadi satu-satunya kebenaran yang mutlak,
namun tidak jarang Kitab Suci hanya sekedar buku biasa dan di bawah dari rasional
manusia. Jadi, pemahaman akan Kitab Suci serta metode hermeneutik yang digunakan di
dalam memahaminya, akan selalu menjadi dasar dibangunnya sebuah teologi. Sehingga
perkembangan teologi di pengaruhi oleh sikap seorang teolog kepada Kitab Suci dan
bagaimana ia memahaminya.
Dari pemahaman-pemahaman di atas bisa disimpulkan semua hal yang membahas
tentang Tuhan dapat dikatakan teologi. Dan mereka yang melakukannya adalah seorang
Teolog. Sehingga ketika manusia berusaha untuk berpikir dan memahami tentang Tuhan
dan yang behubungan dengan Nya, maka pada saat itu mereka sedang berteologi. Oleh
sebab itu, teologi telah ada sejak manusia ada dan terus ada selama manusia berusaha
memahami tentang Tuhan. Dengan demikian tidak seharusnya mempermasalahkan tentang
istilah teologi, namun lebih kepada bagaimana seorang teolog berteologi.
Berdasarkan pemahaman akan filsafat dan teologi yang telah disampaikan di atas, maka
terdapat titik perbedaan dan titik temu di antara keduanya. Perbedaannya adalah masalah
penekanan. Meskipun filsafat dimulai dari studi tentang alam, dan teologi dimulai dari
mendengarkan wahyu (Kitab Suci), keduanya bergerak ke tujuan akhir yang sama, yang
merupakan kebijaksanaan universal tertinggi. Zaman modern memunculkan pemisahan di
antara mereka. Akibatnya, kami tiba di proyek filsafat alam murni di satu sisi, dan gagasan
teologi murni mengungkapkan di sisi lain. Yang cukup menarik, dalam kedua kasus itu,
teologi kehilangan: dalam kisah yang pertama, hal itu menjadi sia-sia, yang belakangan
tidak berarti.

8
Ada dua cara yang berbeda di mana seseorang dapat memulihkan hubungan antara
teologi dan filsafat. Pertama, filsafat dapat masuk ke dalam bidang teologi untuk
memberinya beberapa konsep dan prinsip dan upaya untuk membenarkan klaimnya; kedua,
teologi dapat mengintervensi dalam ranah filsafat, menyarankan kepadanya beberapa
masalah, kategori, dan klaim untuk diterapkan pada dunia alami. Proyek pertama kira-kira
bisa disebut teologi filosofis, sementara yang lain bisa disebut filsafat teologis (Rojek, 2016,
p. 149; Tety & Wiraatmadja, 2017, p. 57). Titik temunya yaitu pada saat keduanya sama-
sama berusaha untuk memahami tentang Kebenaran Tuhan yang sejati. Itulah relasi positif
keduanya. Sedangkan relasi negatif yang sama adalah ketika masing-masing tidak menuju
kepada Tuhan yang sejati. Pemahaman akan sisi negatif dan positif pun memiliki variasi,
sebab dari perspektif mana seseorang melihat. Dalam pembahasan ini, lebih melihat dari
sudut pandang Injili konservatif.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teologi merupakan ilmu tentang Tuhan yang dimana terdapat Nirguna Brahman yang
dimana Tuhan tidak bisa disamakan oleh apapun, teologi ini hanya untuk orang –orang yang
memiliki ilmu spiritual yang tinggi seperti para Rsi, Yogi dan Sufi. Dan Teologi saguna
teologi yang cocok untuk umat manusia pada umumnya. Teologi ini membolehkan manusia
untuk membayangkan Tuhan Yang Tak Terbayangkan. Berdasarkan konsep Teologi Saguna
Brahman inilah kemudian muncul konsep manifestasi Tuhan dan munculnya simbol-simbol
religius untuk membantu manusia dalam mengatasi kesulitan membayangkan Tuhan.
Sejarah Teologi Hindu adalah teologi yang melakukan perjalanan panjang. Fase awalnya
adalah apa yang disebut dengan Zaman Brahmana, di mana Catur Veda merupakan otoritas
tertinggi.
Kemudian dalam pemahamannya akan filsafat dan teologi terdapat titik perbedaan dan
titik temu di antara keduanya. Perbedaannya adalah masalah penekanan. Meskipun filsafat
dimulai dari studi tentang alam, dan teologi dimulai dari mendengarkan wahyu (Kitab Suci),
keduanya bergerak ke tujuan akhir yang sama, yang merupakan kebijaksanaan universal
tertinggi.
B. Saran
Hendaknya setiap penganut agama sangat penting memahami dan mengerti secara baik
dan benar tentang teologi sebagaimana diajarkan di dalam agama yang dianutnya. Tidak ada
iman yang kokoh tanpa dilandasi oleh pemahaman teologi sesuai dengan agama yang
dianutnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., 1975, Sejarah Filsafat Yunani, Penerbit Kanisius.

_________, 1989, Ringkasan Sejarah Filsafat, Penerbit Kanisius.

Lasiyo, dan Yuwono, 1984, Pengantar Ilmu Filsafat, Penerbit Liberty Yogyakarta.

Musna, I Wayan, 1986, Pengantar Filsafat Hindu Sad Dharsana, Penerbit CV. Kayumas

Denpasar.

Cudamani, 1989, Pengantar Agama Hindu, Penerbit Yayasan Dharma Sharati, Jakarta.

Bakker, Anton, 1994, Metode-Metode Filsafat, Penerbit BalaiAksara-Yudhistira dan

Pustaka Saadiyah.

Abdullah, M. Amin, 1997, Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Ilmu dan Budaya, dalam

Mukti Ali dkk., Agama dan Pergaulan Masyarakat Dunia, PT. Tiara Wacana,

Yogyakarta.

Abdullah, Maskuri, 2001, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keagamaan, Penerbit

Buku Kompas, Jakarta.

Titib I Made, 2001, Teologi dan Simbul-Simbul Dalam agama Hindu, Surabaya : Paramita.

Sudarto, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Suamba I.B. Putu 2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar : Program Magister Ilmu

Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.

11

Anda mungkin juga menyukai