Anda di halaman 1dari 17

BERFIKIR FILSAFATI DENGAN BENAR DALAM KONTEKS

AGAMA DAN ILMIAH

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : Muhammad Ichsan M.Pd

Disusun Oleh :

1. Azdkya Nur Rahma Yanti (H.2210215)


2. Endang Handayani (H.2210180)
3. Wafa Khilda Dalilah (H.2210205)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS AGAMA ISLAM DAN PENDIDIKAN GURU

UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR

2023
KATA PENGANTAR

Alhamduliah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemampuan,
kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Berfikir Filsafat Dengan Benar Dalam Konteks Agama
Dan Ilmiah.”

Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Muhammad Ichsan M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah filsafat ilmu atas bimbingan,
pengarahan, dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis dalam pengerjaan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka
dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca sekalian.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Bogor,

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakangMasalah

Ilmu pengetahuan, agama dan filfasat merupakan tiga aspek yang dapat menuntun manusia
mencari kebenaran, meskipun ketiga aspek tersebut tidak dapat dikategorikan sesuatu hal yang
sama. Secara umum, filsafat merupakan salah satu kegiatan atau hasil kegiatanyang menyangkut
aktivitas dan olah budi manusia.1 Agama merupakan hal yang berkaitan dengan dengan masalah
hubungan manusia dan dunianya dengan Allah. 2 Segala sesuatu yang berasal dari Tuhan, dalam
perspektif agama adalah sebuah kebenaran yang tidak dapat ditolak. Sedangkan ilmu adalah
deskripsi total dan konsisten dari fakta – fakta empiris yang merumuskan secara bertanggung
jawab dalam istilah – istilah yang sesederhana mungkin. 3 Ketiga aspek memberikan kontribusi
kepada manusia dalam proses penyelesaian masalah. Ilmu pengetahuan pada saat ini berkembang
dengan pesat seiring dengan perkembangan pemikiran manusia. (Kurniawan, 2017)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa hubungan antara filsafat, agama, ilmiah?


2. Apa yang dimaksud dengan berfikir filsafat dalam konteks agama, ilmiah?
3. Bagaimana cara berfikir filsafat ?
4. Bagaimana cara berfikir filsafat dengan benar dalam konteks agama, ilmiah?

1.3 Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Apa Hubungan Antara Filsafat, Agama, Ilmiah

A. Hubungan filsafat dan agama

Pada dasarnya hubungan antara filsafat dan agama tidak mungkin bertentangan. Karena
kedua hal ini merupakan hal yang saling berhubungan. Filsafat adalah ilmu yang lebih
mengutamakan akal, sedangkan agama adalah hal yang berkaitan dengan sang pencipta dimana
kita juga memerlukan akal dalam memahaminya. Agama dan filsafat pada dasarnya memiliki
persamaan yaitu mengungkap kebenaran. Akan tetapi ada beberapa pendapat mengenai hal
hubungan antara filsafat dan agama. Sama halnya dengan Ibnu Rusyd, ia adalah seorang filosof
besar yang berusaha mencari titik temu atau hubungan antara filsafat dan agama. Ibnu Rusyd
menjelaskan bahwa antara filsafat dan syariat seperti dua sisi mata uang yang sama, hanya pada
ungkapannya saja yang membuat filsafat dan syariat menjadi terlihat berbeda sedangkan
esensinya tetap sama, yaitu mencari suatu kebenaran. Kebenaran sendiri menurut Ibnu Rusyd
tidak ada yang ganda, hanya ada satu kebenaran saja.

Ibnu Rusyd sendiri menegaskan bahwa antara filsafat dan agama sangat berhubungan dan tidak
ada dasar yang membuat keduanya bertentangan. Pernyataan Ibnu Rusyd sendiri diperkuat
dengan dalil Alquran yaitu Qs. Al-hasyr: 2 dan QS. Al-isra: 84. Kedua ayat tersebut menjelaskan
bahwa manusia dianjurkan untuk berfilsafat atau berpikir secara mendalam. Fungsi agama
sebenarnya adalah mencari kebenaran dan disinilah peran filsafat dibutuhkan. Dapat disimpulkan
berdasarkan Alquran umat muslim diwajibkan untuk berfilsafat dan tidak apabila ada dalil yang
berisi mengenai larangan berfilsafat, maka dalil tersebut harus ditafsirkan secara jelas terlebih
dahulu. Dalam pemikirannya mengenai hubungan antara filsafat dan agama, ada tiga asumsi
yang mendasari pemikiran tersebut:

1. Ad-Din Yujibu at-Tafalsuf (Agama mengandalkan dan mendorong untuk berfilsafat).


Pandangan tersebut senada dengan yang dinyatakan Muhammad Yusuf Musa bahwa
Thabi'ah al-Qur'an Tad'u li at-Tafalsuf (Karakter Alquran mengajak untuk berfilsafat).
Terbukti banyaknya ayat yang menganjurkan untuk melakukanta dabbur, perenungan,
pemikiran tentang alam, manusia dan juga Tuhan.
2. Anna as-Syar'a fihi Dhzahirun wa Batinun, yaitu bahwa Syariat itu terdiri dari dua
dimensi, yaitu lahir dan batin. Dimensi lahir itu untuk konsumsi para fuqaha', sedang
dimensi batin itu untuk konsumsi para filusuf.
3. Anna at-Ta'wil Dharuriyyun li al-Khairi as-Syari'ah wal Hikmah aw ad-Din wal Falsafah.
Artinya, ta'wil merupakan suatu keharusan untuk kebaikan bagi syariat dan filsafat.

Adapun pendekatan yang dilakukan Ibnu Rusyd ada dua, yaitu pendekatan rasional dan
pendekatan syar’i. Upaya-upaya yang dilakukan Ibnu Rusyd dalam menyelaraskan antara agama
dan filsafat merupakan suatu pemikiran yang sangat ia yakini. Ketika banyak filosof yang
berusaha menjaga eksistensi fisafat dari tokoh-tokoh Islam, maka upaya terbaik yang dilakukan
adalah penyesuaian antara agama dan filsafat. Upaya yang dilakukan adalah menempatkan
filsafat pada posisi yang tidak bertentangan dengan agama. Adapun upaya yang dilakukan Ibnu
Rusyd dalam menyesuaikan filsafat dan agama didasari pada 4 empat prinsip: Keharusan
berfilsafat menurut syara, pengertian lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wi, Aturan-
aturan dan kaidah ta’wil, dan Pertalian akal dengan wahyu.14 Ibnu Rusyd memandang bahwa
hubungan akal dan wahyu dalam membahas suatu masalah saling mendukung satu sama lain.
Dimana ada sesuatu yang harus dibahas oleh wahyu dan ada juga yang harus dibahas oleh wahyu
dan juga akal. Dalam prosesnya, akal harus juga bertumpu kepada wahyu, seperti sesuatu yang
bersifat prinsipil. Jika wahyu dan akal saling bertentangan tawil dapat dilakukan guna mencari
kebenaran. Metode yang dilakukan Ibnu Rusyd dalam menghubungkan antara filsafat dan agama
menggunakan metode qiyas dan ta'wil. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa filsafat dan agama tidak
saling bertentangan, dengan kata lain filsafat adalah saudara kembar agama, sehingga antara
keduanya saling mencari hakikat dari suatu kebenaran. Penggunaan tawil atau qiyas sendiri juga
harus disesuaikan. Ibnu Rusyd juga mengklasifikasi manusia atas 3 golongan. Pengklasifikasian
ini dilakukan berdasarkan sudut pandang manusia yang berbeda-beda dalam menilai atau
mengungkap suatu kebenaran:

1. Burhaniyyat (kalangan filosof): golongan yang hanya berpegang pada argumen


demonstratif (burhani), artinya argumen yang ditopang oleh proposisi yang bersifat
aksiomatis.
2. Jadaliyyat (kalangan pemikir/teolog): golongan yang berpegang pada argumen yang
bersifat dialektik, artinya argumen yang dibangun atas dasar yang bersifat dhzanni.
3. Khitabiyyat (kaum awam): golongan yang berpegang pada argumen yang bersifat
tekstualis retorik, artinya argumen yang lebih banyak berdasarkan emosi (‘atifah)
dibanding akal. (Muhaimin, 2020)

B. Hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan

Filsafat dan ilmu pengetahuan memiliki hubungan satu sama lain, bila melihat realitas hubungan
filsafat dan ilmu pengetahuan bahwa semuanya merupakan dari kegiatan manusia. Kegiatan
manusia diartikan dalam sebuah prosesnya dan juga dalam hasilnya. Bila dilihat dari hasilnya,
keduanya merupakan hasil daripada berpikir manusia secara sadar. Bila dilihat dari segi
prosesnya, menunjukkan suatu kegiatan yang berusaha untuk memecahkan masalah-masalah
dalam kehidupan manusia (untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan), dengan
menggunakan metode-metode atau prosedur-prosedur tertentu secara sistematis dan kritis.
Filsafat dan ilmu pengetahuan adalah satu kesatuan dan memiliki hubungan yang saling
melengkapi antara satu dengan lainnya. Perbedaan yang terdapat dari keduanya bukan untuk
dipertentangkan, melainkan untuk saling melengkapi, dan saling mengisi. Pada hakikatnya,
perbedaan itu terjadi disebabkan cara pendekatan yang berbeda. Maka dalam hal ini perlu
membandingkan antar filsafat dan ilmu pengetahuan, yang menyangkut perbedaan-perbedaan
maupun titik temu di antaranya. Semua keilmuan sudah dibicarakan di dalam filsafat, bahkan
beberapa ilmu pengetahuan lahir dari filsafat, berarti ilmu yang memisahkan diri dari filsafat.
Misalnya matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, psikologi, dan sosiologi. Ilmu juga
bersifat analitis, ilmu pengetahuan hanya menggarap salah satu lapangan pengetahuan sebagai
objek formalnya (Varpio & Macleod, 2020). Sedangkan filsafat belajar dari ilmu pengetahuan
dengan menekankan keseluruhan dari sesuatu (sinoptis), karena keseluruhan mempunyai sifat
sendiri yang tidak ada pada bagianbagiannya. Ilmu bersifat deskriptif tentang objeknya agar
dapat menemukan fakta-fakta, teknik-teknik, dan alat-alat (Zaprulkhan, 2016: 76).

Filsafat tidak hanya melukiskan sesuatu, melainkan membantu manusia untuk mengambil
keputusan tentang tujuan, nilai dan tentang apa-apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat tidak
netral, karena faktor-faktor subjektif memegang peranan yang penting dalam berfilsafat, ilmu
mulai dengan asumsi-asumsi. Filsafat juga mempunyai asumsi-asumsi dan menyelidiknya atau
merenungkannya karena ia meragukan terhadap asumsi tersebut. Ilmu pengetahuan
menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verifikasi terhadap teori
dilakukan dengan jalan mengujinya dalam praktik berdasarkan penginderaan. Sedangkan filsafat
dengan melalui akal pikiran yang didasarkan kepada semua pengalaman insani, sehingga dengan
demikian filsafat dapat menelaah masalah-masalah yang tidak dapat dicarikan penyelesaiannya
oleh ilmu.

Hubungan Ilmu dengan Filsafat pada mulanya ilmu yang pertama kali muncul ialah filsafat dan
ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat. Sedangkan filsafat merupakan induk dari segala
ilmu karena menjelaskan tentang abstraksi/sebuah yang ideal. Filsafat tidak terbatas, sedangkan
ilmu terbatas sehingga ilmu menarik bagian filsafat agar bisa dimengerti oleh manusia. Filsafat
dan ilmu saling terkait satu sama lain, keduanya tumbuh dari sikap refleksi, ingin tahu, dan
dilandasi kecintaan pada kebenaran. Filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan
keabsahan dan kebenaran ilmu, sedangkan ilmu tidak mampu mempertanyakan asumsi,
kebenaran, metode, dan keabsahannya sendiri. Ilmu merupakan masalah yang hidup bagi filsafat
dan membekali filsafat dengan bahan-bahan deskriptif dan faktual yang sangat perlu untuk
membangun filsafat. Filsafat dapat memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang dibutuhkan.
Filsafat adalah meta ilmu, refleksinya mendorong peninjauan kembali ideide dan interpretasi
baik dari ilmu maupun bidang-bidang lain. Ilmu merupakan konkretisasi dari filsafat. Filsafat
dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu ilmu, yaitu ilmu filsafat. Sebagai ilmu, filsafat memiliki
objek dan metode yang khas dan bahkan dapat dirumuskan secara sistematis. Filsafat dan ilmu
pengetahuan mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksi, integral,
radikal, logis, sistematis, dan universal (kesemestaan) guna mencapai tujuan yang
diinginkannya(Fadli, 2021)

2.2 Apa yang dimaksud dengan berfikir filsafat dalam konteks agama, ilmiah

A. berfikir filsafat daam konteks agama

Filsafat dan Agama merupakan sesuatu yang berbeda. Walaupun agama dan filsafat pada
dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengungkap kebenaran akan tetapi filsafat dan agama
berasal dari landasan yang berbeda. Agama berasal dari sebuah keyakinan, sementara filsafat
berasal dari kebertanyaan. Perbedaan inilah yang membuat para filosof saling bertentangan dan
saling berbeda pendapat. Adapula salah satu yang ikut berkonstribusi dalam memikirkan hal ini,
yaitu Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd merupakan salah satu tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam
bidang filsafat. Ibnu Rusyd melalui tulisannya Tahafut At-Tahafut berusaha kembali
menggembangkan pemikiran-pemikiran filsafat yang sebelumnya tenggelam. Ibnu Rusyd berjasa
besar terhadap perkembangan pemikiran filsafat. Ibnu Rusyd juga berjasa mempertemukan
antara filsafat dengan agama berdasarkan aspek yang berbeda dengan filusuf” yang sebelumnya.

Ibnu Rusyd atau Averoes adalah seorang filsuf dan juga pemikir dari alAndalus. Ibnu Rusyd
lahir di Cordova pada tahun 520 H atau 1126 M. Beliau merupakan filsuf muslim terkemuka
pada abad pertengahan. Sebagai seorang filosof Ibnu Rusyd telah memberikan kontribusi dalam
dunia filsafat. Dalam pemikirannya, Ibnu Rusyd sangat tertarik terhadap pemikiran Aristoteles
dan ia juga sering memberikan komentar dan ulasan terhadap pemikiran Aristoteles. Hal inilah
yang membuat Ibnu Rusyd dijuluki komentator Aristoteles.

Ibnu Rusyd dalam pemikirannya berusaha mempertemukan argumentasiargumentasi agama-


agama dengan filsafat. Dalam peradaban sejarah Islam klasik telah terjadi perdebatan yang
didasari oleh perbedaan sudut pandang. Di satu sisi para filosof mendasari argumen
pemikirannya berdasarkan akal, sedangkan para ulama argumen pemikirannya lebih berdararkan
wahyu. Sudah banyak upaya yang dilakukan guna menghubungkan kedua pemikiran tersebut,
terutama filosof muslim. Mereka berusaha untuk mencari jalan keluar guna menyelesaikannya
hingga muncul beberapa konsep pemikiran yang berusaha mempertemukan kebenaran filsafat
dan agama. Usaha-usaha yang telah dilakukan filosof muslim guna menjembatani filsafat dan
agama belum sepenuhnya mampu menjembatani agama dan filsafat, hingga Ibnu Rusyd berusaha
mencari titik penyesuaian antara argumen akal (filsafat) dan juga argumen syariat (agama).
Pemikiran Ibnu Rusyd lebih condong ke dalam spiritual secara mendalam, hingga akhirnya
muncul stagnasi intelektual dalam dunia Islam. Tulisan ini berisikan uraian mengenai riwayat
hidup Ibnu Rusyd, konsep filsafat dan agama dalam pandangan Ibnu Rusyd, dan pemikiran Ibnu
Rusyd mengenai hubungan agama dan filsafat.

B. berfikir filsafat dalam konteks ilmiah

Filsafat merupakan pijakan atau landasan berpikir manusia dalam dunia akademik sebagai
penalaran akal dalam mencari dan mendalami sebuah ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu
pengetahuan secara terus menerus selalu mengalami transformasi guna untuk menuntaskan
problematik yang dihadapi seiringan perkembangan zaman. Sejak lahir dan berkembangnya
filsafat dan ilmu pengetahuan memiliki peranan/pengaruh yang besar terhadap dunia akademik.
Secara historis keberadaan filsafat dan ilmu pengetahuan terus mengalami dinamika setiap
periodisasi guna adanya tuntutan zaman. Secara mendasar telah mengalami perubahan dari
pemikiran terdahulu, sehingga diadakannya eksplorasi mendalam untuk menyelesaikan
problematikaproblematika yang ada.

2.3 Bagaimana cara berfikir filsafat

Filsafat, sesuai ciri dasarnya sebagai, prinsip dan landasan berpikir bagi setiap usaha manusia di
dalam mengenal dan mengembangkan eksistensinya, melakukan tugasnya dengan bertitik tolah
pada beberapa ciri pemikiran, yaitu:

1. Berpikir Rasional, Sebagaimana diketahui, berfilsafat adalah berpikir. Meskipun demikian,


tidak semua kegiatan berpikir dan hasil berpikir dimaksud dapat dikategorikan sebagai
berfilsafat. Ciri pemikiran filsafat pertama-tama harus bersifat rasional, bukan perasaan
subyektif, khayalan, atau imajinasi belakah. Ciri pemikiran rasional menunjukkan bahwa
baik kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran filsafat itu sendiri harus dapat diterima
secara akal sehat, bukan sekedar mengikuti sebuah common sense (pikiran umum). Ciri
pemikiran filsafat yang rasional itu membuat filsafat disebut sebagai pemikiran kritis atau
“ilmu kritis”.
2. Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis atau crycis. Menurut Jurgen
Habermas, krisis atau crysis adalah ciri pemikiran yang tidak ingin terbelenggu dalam
sangkar rasio tetapi bergulat dengan realitas kemanusiaannya yang penuh krisis, anomali,
determinasi, dan pembusukan budaya. Pemikiran crysis berada pada tataran sosial untuk
melakukan penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai fenomena patologis
(penyakit sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, dan represi yang cenderung
mendistorsi akal sehat manusia.
 
3. Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin menggali dan
menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk menemukan dan
mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke permukaan. Melalui cara pemikiran
yang demikian itu, diperoleh suatu hasil berpikir yang mendasar dan mendalam, serta
sebuah pertanggunganjawaban yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat
dan pikiran keilmuan itu sendiri. Ciri pemikiran dimaksud, mengisyaratkan bahwa orang
tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran sebelum menemukan hakikat
kebenarannya secara fundamental, dan dengan demikian, ia tidak muda terjebak ke dalam
pemikiran yang sesat dan keliru atau kejahatan. Berpikir radikal menunjukkan bahwa
filsafat sebagai sebuah proses dan hasil pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar dan
strategi bagi pemikiran itu sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau
tantangan (ujian) zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.
4. kreatif-inovatif. Artinya, pemikiran filsafat bukanlah pemikiran yang melanggengkan
atau memandegkan dirinya di dalam berbagai keterkungkungan dogma atau ideologi
yang beku dan statis. Justru, ia selalu berusaha membangun kejataman budi untuk mampu
mengeluarkan diri kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki,
menyempurnakan, dan mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat
melahirkan penemuan-penemuan (invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih
brilian, terbuka, dan kompetitif dalam merespons tuntutan zaman serta kemajuan-
kemajuan yang penuh kejutan dan pergolakan, baik pada tataran ide maupun moral. Ciri
pikiran filsafat tersebut mengandaikan sebuah kekuatan transformasi dan seni “mengolah
budi” (kecerdasan) guna mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi
permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual.
5. Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir filsafat selalu berpikir logis
(terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang benar). Pemikiran filsafat tidak
hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide, penalaran, dan kreatifitas budi secara
serampangan (sporadis). Justru, pemikiran filsafat selalu berusaha mengklasifikasi atau
menggolong-golongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta
menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai dan menyusunnya dengan kata
(pengertian), kalimat (keputusan), dan pembuktian (konklusi) melalui sistim-sistim
penalaran yang tepat dan benar. Pemikiran filsafat selalu bergerak selangkah demi
selangkah, dengan penuh kesadaran (pengujian diri), berusaha untuk mendudukan
kejelasan isi dan makna secara terstruktur dengan penuh kematangan dalam urutan
prosedur atau langkah berpikir yang tertib, tertanggung jawab, dan saling berhubungan
secara teratur.
6. Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-gagasan pemikiran
yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua tempat. Pemikiran filsafat tidak
pernah akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang terbatas, ia akan menerobos mencari
dan menemukan gagasan-gagasan yang bersifat global dan menjadi rujukan pemikiran
umum. Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan kontekstual (bagian-bagian yang
terpisah menurut konteks ruang dan waktu) diangkat dan ditempatkan (disintesakan)
dalam sebuah bagian yang utuh dan universal, sebagai sebuah kenyataan eksistensisal
yang khas manusiawi.
7. Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat menyeluruh dan
utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih bermakna daripada bagian-
perbagian. Holistik artinya, berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul
egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat yang demikian perlu
dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan
kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim
kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh.
Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia sebab hanya manusia lah yang
dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta pertanggungjawaban terhadap
pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran
merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan
roh) yang kompleks serta beranekaragam. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari
dalam pikiran itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia
lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak memiliki
arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau rasio yang
sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang
utuh.
8. Berpikir Abstrak. Berpikir abstrak adalah berpikir pada tataran ide, konsep atau gagasan.
Maksudnya, pemikiran filsafat selalu berusaha meningkatkan taraf berpikir dari sekedar
pernyataan-pernyataan faktual tentang fakta-fakta fisik yang terbatas pada keterbatasan
jangkuan indera manusia untuk menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman
yang utuh, integral (terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abstrak melalui
bentuk –bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran. Baginya, sebuah fakta fisik
selalu terbatas pada apa adanya karena sifatnya terbatas menurut sebuah penampakan
inderawi yang sejauh dapat dilihat, didengar, atau diraba. Justru, pikiran tersebut harus
lebih ditingkatkan pada taraf-taraf berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-
gagasan, dengan menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang
mampu memberi arti, memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya aneka
pencerapan inderawi tersebut dalam sebuah pemikiran yang tersusun secara sistematis.
Pemikiran abstraktif, berusaha membebaskan orang dari cara berpikir terbatas dengan
hanya “menunjukkan” untuk makin mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan
“memahami dan “menjelaskan”. Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada
tataran kemampuan berimajinasi, membangun kohenrensi, dan korelasi secara utuh dan
terstruktur guna menunjukkan peta keutuhannya, dengan segala fenomenanya secara
detail sehingga dapat dijelaskan secara lengkap dan sempurna.
9. Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan kelanjutan dari ciri berpikir abstrak
yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi ketaraf pemahaman
dan panalaran. Melalui itu, orang tidak hanya berhenti pada informasi sekedar
menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi lebih meningkat pada taraf membangun
pemikiran dan pemahaman tentang mengapa dan bagaimananya hal itu dalam berbagai
dimensi bentuk pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif memungkinkan
adanya transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif yang luas tentang aneka
kenyataan. Tegasnya, melalui ciri pemikiran filsafat yang spekulatif dimaksud, orang
tidak sekedar hanya menerima sebuah kenyataan (kebenaran) secara informatif, sempit,
dan dangkal, tetapi dengan sikap kritis, dan penuh imajinasi untuk memahami
(verstending) dan mengembangkannya secara luas dalam berbagai khasana pemikiran
yang beraneka. Berfilsafat adalah berfikir dengan sadar, yang mengandung pengertian
secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum yang ada. Berpikir secar filsafat
harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta secara utuh
sehingga orang dimungkinkan untuk mengembangkannyadalam berbagai aspek
pemikiran dan bidang keilmuan yang khas.
10. Berpikir secara reflektif. Maksudnya, filsafat selalu berpikir dengan penuh pertimbangan
dan  penafsiran guna penemuan makna kebenaran secara utuh dan mendalam. Ciri
pemikiran filsafat yang reflektif ini, hendak ditunjukkan bahwa pemikiran filsafat tidak
cenderung membenarkan diri, tetapi selalu terbuka membiarkan diri dikritik dan
direnungkan secara berulang-ulang dan makin mendalam, untuk sambil mencari inti
terdalam dari pemikiran dimaksud, juga menemukan titik-titik pertautannya secara utuh
dengan inti kehidupan manusia yang luas dan problematis. Berpikir reflektif
memungkinkan proses internalisasi (pembathinan) setiap pemikiran filosofis, sehingga
pikiran itu sendiri bukan hanya mampu mencerminkan isi otak, tetapi isi kehidupan
secara utuh menjadi sebuah gaya kehidupan yang khas.
11. Berpikir humanistik. Ciri pemikiran filsafat ini hendak letakkan hakikat pemikiran itu
pada nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan sebagai titik orientasi,
pengembangan, dan pengendalian  pemikiran itu sendiri. Maksudnya, pemikiran dan
segala anak pinaknya, baik dalam bentuk pengetahuan, ilmu, atau teknologi harus dapat
menunjukkan sebuah pertanggungjawaban pada sebuah tugas kemanusiaan yang nyata.
Bagi filsafat, pikiran atau pengetahuan itu adalah pikiran yang khas manusia, bahkan
pikiran seorang anak manusia untuk sebuah tugas kemanusiaan. Ciri pemikiran filsafat,
karenanya memiliki dasar, sumber dan tanggungjawab kemanusiaan yang diemban.
Berpikir humanistik bukan saja berpusat pada manusia, tetapi sesungguhnya menyentuh
sebuah tanggungjawab manusiawi. Inti kemanusiaan itulah yang menjadi dasar dan
sumber aktual bagi proses berpikir maupun penerapan hasil pikiran itu sendiri.

12. Berpikir kontekstual. Ciri pemikiran ini hendak menunjukkan bahwa pikiran bukan
sekedar sebuah ide, tetapi sebuah realitas eksistensi dengan konteksnya yang nyata dan
jelas. Maksudnya, setiap  pemikiran filsafat, selalu bertumbuh dan berkembang dalam
konteks hidup manusia secara nyata. Pikiran filsafat karenanya, merupakan bagian dari
cara berpikir dan cara bertindak manusia atau masyarakat dalam menyiasati dan
memecahkan masalah-masalah kehidupannya secara nyata. Pemikiran kontekstual
mengandaikan kejeniusan lokal (local genius) dalam membangun sebuah struktur
keberadaan. Pemikiran filsafat juga mencirikan sebuah pemikiran yang fungsional dalam
menyiasati serta membangun tanggungjawab budaya maupun sosial kemasyarakatannya.
 
13. Berpikir eksistensial. Ciri pemikiran filsafat ini bermaksud menunjukkan bahwa pikiran
itu adalah pikiran manusia, karenanya, setiap pemikiran selalu mengandaikan harapan,
kecemasan, kerinduan, keprihatinan dan aneka kepentingan manusia sebagai sebuah
manifestasi eksistensial. Pikiran itu sendiri adalah sebuah tanda keberadaan atau
fenomena eksistensi, dengan pikirannya, manusia membudayakan diri dan memenuhi
kodrat eksistensialnya sebagai eksistensi yang bermartabat. Berpikir eksistensial,
mengandaikan sebuah ciri pemikiran yang khas, yang bukan saja berpikir dalam kerangka
keilmuan, tetapi justru pemikiran dalam rangka pengembangan eksistensi jati diri dan
kehidupan secara utuh.

14. Berpikir kontemplatif. Ciri pemikiran filsafat ini diarahkan untuk menajamkan kepekaan
diri, ketajaman bathin, serta kemampuan mengenal kekuatan dan kelemahan, dan
kesadaran otodidik dalam diri. Melalui pemikiran kontemplatif dimaksud, setiap pemikir,
filsuf, atau ilmuwan mampu menasihati dan membimbing diri (menangani diri) dengan
penuh kerendahan hati, kesabaran, dan kesetiaan. Ciri berpikir kontemplatif mampu
membimbing para subyek (pemikir) sedemikian rupa, sehingga mampu melalukan
koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas segala cara berpikir maupun hasil pemikiran
itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam keangkuhan, sikap ideologis, dan pembenaran
diri menjadi “kekuatan serba oke”, yang secara buta mentukangi aneka kebohongan dan
kejahatan. Berpikir kontemplatif membimbing orang untuk makin memiliki sebuah
jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal),
maupun sebagai bangsa dan masyarakat yang beradab dan bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA
Fadli, M. R. (2021). Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan dan Relevansinya Di Era
Revolusi Industri 4.0 (Society 5.0). Jurnal Filsafat, 31(1), 130.
https://doi.org/10.22146/jf.42521
Kurniawan, C. (2017). Filsafat Ilmu dalam Lingkup Agama dan Kebudayaan, Peran Ilmu dalam
Pengembangan Agama, Peran Agama dalam Pengembangan Ilmu. 25(2), 1–7.
https://osf.io/preprints/inarxiv/zmbw3/
Muhaimin, A. W. A. (2020). Hubungan Filsafat dan Agama Dalam Perspektif Ibnu Rusyd.
SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 7(1), 65–75.

Anda mungkin juga menyukai