Anda di halaman 1dari 8

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan kenikmatan serta dengan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah falsafah kesatuan
ilmu dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad, sang manajer sejati Islam yang selalu bercahaya
dalam sejarah hingga saat ini.
Dalam pembuatan makalah ini, tentu tak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dosen Pengampu yang telah membimbing penulis selama ini. Tentunya
makalah ini, masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis senantiasa
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua Aamiiinnn Yaa Robbal alaminn..

1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara
berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal,
sedangkan agama bertolak dari wahyu. Filsafat banyak kaitan dengan berfikir sementara
agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat membahas sesuatu dalam rangka
melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau tidak logis. Agama tidak
selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu
memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang yang
cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, pada hal filsafat dan
agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama
secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama
dan filsafat itu.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Filsafat dan Agama ?
2. Apa perbedaan Filsafat dan Agama?
3. Bagaimana hubungan antara Filsafat dan Agama?
4. Bagaimana dorongan Al-Qur’an terhadap Akal dan Pemikiran Filsafat?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian Filasafat dan Agama
2. Mengetahui perbedaan Filsafat dan Agama
3. Mengetahui hubungan antara Filsafat dan Agama
4. Mengetahui dorongan Al-Qur’an terhadap Akal dan Pemikiran Filsafat

2
PEMBAHASAN

1. Pengertian Filsafat dan Agama


Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta,
mencintai, philos pecinta, sophia kebijaksanaanatau hikmat. Jadi filsafat artinya "cinta
akan kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang
sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang
sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati.
Filsafat yang dalam bahasa Arab digunakan dua kata, falsafah, dan, al-hikmah, secara
terminologis diartikan sebagai satu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, cara
berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.
Definisi lain, filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang
dipersoalkan sebagai hasil dari berpikir secara radikal, sistematis dan universal. Filsafat
adalah satu ilmu, yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh
kebenaran. Hal yang membawa usahanya itu kepada satu kesimpulan universal dari
kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks.
Filsafat mencakup pertanyaan tentang makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara
ide-ide dasar (keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan
dengan ilmu empiris
Dari definisi tersebut itu pula dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya
berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik
objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di
balik yang bersifat lahiriyah. Sedangkan dalam islam, istilah filsafat biasanya
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai falsafah dan hikmah.
Berbeda dengan filsafat, agama (religion) didefinisikan secara terminologis
sebagai satu sistem kepercayaan dan prilaku praktis yang didasarkan atas penafsiran dan
tanggapan orang atas sesuatu yang sakral dan supernatural. Agama secara fungsional,
menurut Komaruddin Hidayat, dapat dirumuskan sebagai: sistem kepercayaan, sistem
ibadah, dan sistem kemasyarakatan. Sementara bagi Mohammad Iqbal, dalam melihat
kehidupan keagamaaan manusia kita bisa memilahnya ke dalam tiga dimensi: keimanan
(faith), pemikiran (thought), dan petualangan diri (discovery).
Sebagai sistem kepercayaan, agama akan memberikan pegangan yang lebih
kokoh tentang satu masa depan yang pasti bagi manusia. Sebab, ketika agama ini
diyakini kebenarannya dan dihayati secara mendalam maka akan menjadikan manusia
sebagai individu yang memiliki ketakwaan, yang akan menjadi motivator dan pengendali
setiap aktivitasnya sehingga tidak akan terjerumus kepada perbuatan hina dan merusak.
Sementara sebagai sistem ibadah, agama akan memberikan pedoman kepada manusia
tentang cara berkomunikasi dengan Tuhan sesuai cara yang dikehendaki oleh Tuhan itu
sendiri, bukan menurut persepsi manusia yang beribadah. Dalam konteks sistem ini,
agama tidak diragukan lagi akan berfungsi menjadi penetralisasi jiwa manusia yang
tengah mengalami situasi kepenatan dan kepanikan akibat urusan keduniawiyahan
(profanitas) untuk menghadirkan suasana optimisme baru dalam kehidupan mereka.

3
2. Perebedaan Falsafat dan Agama
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara
berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, karena itu
banyak kaitan dengan berfikir, sedangkan agama bertolak dari wahyu, maka agama
banyak terkait dengan pengamalan. Filsafat membahas sesuatu dalam rangka melihat
kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau tidak. Agama tidak selalu
mengukur kebenaran dari segi logisnya, karena dalam agama ada yang ma’qulil ma’na
dan ghoeru ma’qulil ma’na
Menurut Prof. Dr. H. Rasyidi, mengatakan bahwa perbedaan antara filsafat dan
agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara-cara menyelidiki bidang-
bidang itu sendiri, yaitu :
1) Filsafat adalah berfikir, sedangkan agama adalah mengabdikan diri.
2) Agama banyak berhubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak berhubungan
dengan pemikiran.
3) Filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut
pengetahuan untuk beribadah atau mengabdi.
4) Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah
hubungan manusia dengan Tuhan.
5) C.S. Lewis membedakan enjoyment dan contemplation, misalnya laki-laki mencintai
perempuan. Rasa cinta disebut enjoyment, sedangkan memikirkan rasa cintanya
disebut contemplation, yaitu memikirkan pikiran si pecinta tentang rasa cintanya itu.
Sedangkan agama dapat dikiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang, rasa
pengabdian (dedication) atau contentment.
6) Agama mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan dengan mencari
argumentasi untuk memperkuat keyakinan itu, sedangkan filsafat berawal dari
mencari-cari argumen dan bukti-bukti yang kuat dan timbullah keyakinan.
7) Agama dapat diidentikan dengan air terjun dari bendungan dengan gemuruhnya,
sedangkan filsafat diumpamakan dengan air telaga yang jernih, tenang dan kelihatan
dasarnya.
8) Seorang penganut agama biasanya selalu mempertahankan agamanya habis-habisan
karena dia sudah mengikatkan diri kepada agamanya itu, sebaliknya seorang ahli
filsafat bersifat lunak dan sanggup meninggalkan pendiriannya jika ternyata
pendapatnya keliru.
Sementara menurut Dr. Amsal Bakhtiar, dalam bukunya “Filsafat Agama”
menyampaikan perbedaan antara filsafat dan teologi (agama) sebagai berikut :
1) Filsafat meletakkan Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajian,
sedangkan teologi memandang Tuhan sebagai titik awal pembahasannya.
2) Filsafat memahami Tuhan sebagai Penyebab Pertama dalam semesta, sedangkan
teologi mencoba menjelaskan Tuhan dengan seluruh misterinya berdasarkan wahyu.
3) Filsafat mendasari premisnya atas induksi/akal, sedangkan teologi langsung dari
wahyu.
4) Filsafat menjelaskan Tuhan sebagai zat yang impersonal, sedangkan teologi melihat
Tuhan sebagai zat yang personal.

4
5) Dalil filsafat tidak untuk mempertahankan keyakinan agama tertentu, sedangkan
teologi menerima ajaran agama tertentu sebagai suatu kebenaran dan bertujuan
untuk mempertahankan keyakinan agama tersebut
3. Hubungan antara Filsafat dan Agama
Pada dasarnya hubungan antara filsafat dan agama tidak mungkin bertentangan.
Karena kedua hal ini merupakan hal yang saling berhubungan. Filsafat adalah ilmu yang
lebih mengutamakan akal, sedangkan agama adalah hal yang berkaitan dengan sang
pencipta dimana kita juga memerlukan akal dalam memahaminya. Agama dan filsafat
pada dasarnya memiliki persamaan yaitu mengungkap kebenaran. Akan tetapi ada
beberapa pendapat mengenai hal hubungan antara filsafat dan agama. Sama halnya
dengan Ibnu Rusyd, ia adalah seorang filosof besar yang berusaha mencari titik temu
atau hubungan antara filsafat dan agama. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa antara filsafat
dan syariat seperti dua sisi mata uang yang sama, hanya pada ungkapannya saja yang
membuat filsafat dan syariat menjadi terlihat berbeda sedangkan esensinya tetap sama,
yaitu mencari suatu kebenaran. Kebenaran sendiri menurut Ibnu Rusyd tidak ada yang
ganda, hanya ada satu kebenaran saja.
Ibnu Rusyd sendiri menegaskan bahwa antara filsafat dan agama sangat
berhubungan dan tidak ada dasar yang membuat keduanya bertentangan. Pernyataan
Ibnu Rusyd sendiri diperkuat dengan dalil Alquran yaitu Qs. Al-hasyr: 2 dan QS. Al-
isra’: 84. Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia dianjurkan untuk berfilsafat
atau berpikir secara mendalam. Fungsi agama sebenarnya adalah mencari kebenaran dan
disinilah peran filsafat dibutuhkan. Dapat disimpulkan berdasarkan Alquran umat
muslim diwajibkan untuk berfilsafat dan tidak apabila ada dalil yang berisi mengenai
larangan berfilsafat, maka dalil tersebut harus ditafsirkan secara jelas terlebih dahulu.
Dalam pemikirannya mengenai hubungan antara filsafat dan agama, ada tiga
asumsi yang mendasari pemikiran tersebut:
1. Ad-Din Yujibu at-Tafalsuf (Agama mengandalkan dan mendorong untuk
berfilsafat). Pandangan tersebut senada dengan yang dinyatakan Muhammad Yusuf
Musa bahwa Thabi'ah al-Qur'an Tad'u li at-Tafalsuf (Karakter Alquran mengajak untuk
berfilsafat). Terbukti banyaknya ayat yang menganjurkan untuk melakukan tadabbur,
perenungan, pemikiran tentang alam, manusia dan juga Tuhan.
2. Anna as-Syar'a fihi Dhzahirun wa Batinun, yaitu bahwa Syariat itu terdiri dari dua
dimensi, yaitu lahir dan batin. Dimensi lahir itu untuk konsumsi para fuqaha', sedang
dimensi batin itu untuk konsumsi para filusuf.
3. Anna at-Ta'wil Dharuriyyun li al-Khairi as-Syari'ah wal Hikmah aw ad-Din wal
Falsafah. Artinya, ta'wil merupakan suatu keharusan untuk kebaikan bagi syariat dan
filsafat.
Adapun pendekatan yang dilakukan Ibnu Rusyd ada dua, yaitu pendekatan
rasional dan pendekatan syar’i. Upaya-upaya yang dilakukan Ibnu Rusyd dalam
menyelaraskan antara agama dan filsafat merupakan suatu pemikiran yang sangat ia
yakini. Ketika banyak filosof yang berusaha menjaga eksistensi fisafat dari tokoh-tokoh
Islam, maka upaya terbaik yang dilakukan adalah penyesuaian antara agama dan filsafat.

5
Upaya yang dilakukan adalah menempatkan filsafat pada posisi yang tidak bertentangan
dengan agama.
Adapun upaya yang dilakukan Ibnu Rusyd dalam menyesuaikan filsafat dan
agama didasari pada 4 empat prinsip: Keharusan berfilsafat menurut syara’, pengertian
lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wil, Aturan-aturan dan kaidah ta’wil, dan
Pertalian akal dengan wahyu. Ibnu Rusyd memandang bahwa hubungan akal dan wahyu
dalam membahas suatu masalah saling mendukung satu sama lain. Dimana ada sesuatu
yang harus dibahas oleh wahyu dan ada juga yang harus dibahas oleh wahyu dan juga
akal. Dalam prosesnya, akal harus juga bertumpu kepada wahyu, seperti sesuatu yang
bersifat prinsipil. Jika wahyu dan akal saling bertentangan tawil dapat dilakukan guna
mencari kebenaran. Metode yang dilakukan Ibnu Rusyd dalam menghubungkan antara
filsafat dan agama menggunakan metode qiyas dan ta'wil. Ibnu Rusyd berpendapat
bahwa filsafat dan agama tidak saling bertentangan, dengan kata lain filsafat adalah
saudara kembar agama, sehingga antara keduanya saling mencari hakikat dari suatu
kebenaran. Penggunaan tawil atau qiyas sendiri juga harus disesuaikan.
Ibnu Rusyd juga mengklasifikasi manusia atas 3 golongan. Pengklasifikasian ini
dilakukan berdasarkan sudut pandang manusia yang berbeda-beda dalam menilai atau
mengungkap suatu kebenaran:
1. Burhaniyyat (kalangan filosof): golongan yang hanya berpegang pada argumen
demonstratif (burhani), artinya argumen yang ditopang oleh proposisi yang bersifat
aksiomatis.
2. Jadaliyyat (kalangan pemikir/teolog): golongan yang berpegang pada argumen yang
bersifat dialektik, artinya argumen yang dibangun atas dasar yang bersifat dhzanni.
3. Khitabiyyat (kaum awam): golongan yang berpegang pada argumen yang bersifat
tekstualis retorik, artinya argumen yang lebih banyak berdasarkan emosi (‘atifah)
dibanding akal.

4. Dorongan Al-Qur’an terhadap Akal dan Pemikiran Filsafat


Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama dalam ajaran Islam. Sebagai ajaran
utama dan pertama, Al-Qur’an banyak mengajak manusia untuk berpikir menggunakan
akal. Karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Al-Qur’an sesungguhnya
inspirator bagi munculnya filsafat.
Hal ini sebagaimana banyak ditemukan anjuran Al-Qur’an kepada manusia untuk
menggunakan akal dan pikirannya. Diantara ayat Al-Qur’an yang dimaksud antara lain:
a) Al-Qur’an Menuntun Manusia Untuk Berfilsafat
Di dalam Al-Qur’an sendiri memang tidak diketemukan kata filsafat karena Al-
Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sedang filsafat berasal dari Yunani. Al-Qur’an
hanya banyak menyebut kata hikmah (ilmu tentang hakikat sesuatu).
Al-Qur’an adalah wahyu yang diberikan kepada Nabi dan Rasul, sedangkan
hikmah diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya (lihat Q.S. al-Baqarah: 269).
Hikmah dapat diperoleh manusia biasa dengan akalnya. Sebagai contoh, hikmah yang
terdapat dalam Al-Qur’an, ia akan diperoleh seorang manusia biasa jika ia mau
menggunakan akalnya dengan cara membaca dan memahaminya. Al-Qur’an sendiri
adalah kitab suci yang diwahyukan kepada NabiMuhamamd sebagai pedoman hidup. Ia

6
hanya memberikan garis besarnya saja; artinya, pedoman yang diberikannya tidak serinci
yang dikehendaki manusia. Di sini, seseorang harus menggunakan akalnya untuk
memahami isinya. Salah satu contohnya adalah tentang bagaimana memahami ayat- ayat
muhkamat dan ayat-ayat mutashabihat (QS. Ali Imran: 7). Tentang ayat-ayat muhkamat
(ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya) mungkin tidak terlalu sulit dipahami.
Sedangkan ayat-ayat mutashabihat menuntut pembacanya melakukan interpretasi atau
penafsiran. Penafsiran atau mungkin takwil terhadap ayat-ayat Al-Qur’an (terutama ayat-
ayat mutashabihat), pada awal perkembangan Islam memang belum ada atau lebih
tepatnya, belum dibutuhkan. Sebab, pada masa itu belum dibutuhkan pemahaman yang
mendalam (filosofis) terhadap Al-Qur’an. Karena Rasul sendiri masih hidup dan setiap
muncul permasalahan seputar pemaknaan Al-Qur’an akan ditanyakan langsung
kepadanya.
Di samping itu, pemeluk Islam juga masih terbatas di sekitar Jazirah Arab yang
secara geografis dan sosio-kultural masih relatif sama, sehingga interpretasi terhadap
satu masalah juga sama. Lebih dari itu, pada masa pertumbuhan Islam, umat banyak
disibukkan melawan musuh Islam (kaum kafir) yang sangat menentukan hidup dan
matinya Islam.
Seiring berjalannya waktu, Islam pun dipeluk oleh umat dari berbagai bangsa
yang berbeda latar belakang, budaya, tingkat ekonomiyang berbeda- beda. Maka,
keberadaan ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang berpotensi memiliki ragam makna)
menjadi salah satu pendorong bagi umat Islam untuk berpikir lebih jauh dan mendalam;
ini artinya adalah berpikir secara filosofis. Yakni berpikir secara kritis dan mendalam.
Terkait dengan penafsiran, yang perlu dipegangi dalam rangka menafsirkan dan
menakwilkan Al-Qur’an adalah keharusan untuk berangkat dari dasar ilmu yang dapat
dipertanggung jawabkan. Hal ini bukan berarti menurut kemauan nafsu dan pikiran
penafsirnya sendiri, apalagi demi melayani kepentingan pribadi atau memperkuat
pendapat golongan atau pribadi. pribadi. Konsepsi di atas menunjukkan bahwa tidak
semua orang Islam diberi wewenang untuk menafsirkan atau menakwilkan Al-Qur’an.
Tugas itu hanya diberikan kepada orang tertentu saja yang memang memiliki dasar
keilmuan yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan,
Perkembangan pemikiran Islam tumbuh dan berkembang, salah satunya, dari
penafsiran terhadap ayat-ayat mutashabihat, ayat-ayat yang telah memicu munculnya
aliran-aliran separti: Syi'ah, Khawarij, Murji'ah, Qadariyah, Mu'tazilah, Jabariyah, dan
sampai pada gilirannya telah memunculkan filsuf-filsuf muslim seperti al-Razi, Ibnu
Rusyd, al-Ghazali, dan lain-lain.
Bagi kita sekarang, yang perlu dilihat bukan perbedaan interpretasi dan tafsir
mereka, melainkan potensi besar yang dimunculkan oleh ayat-ayat mutashabihat tersebut
dalam rangka merangsang nalar sehingga pikiran umat muslim menjadi dinamis dan
berkembang sehingga dapat memperkaya khazanah pemikiran yang patut dihargai oleh
generasi sekarang dan mendatang.
b) Al-Qur’an Mengajak Manusia Berdialog, Baik Dengan Alam Maupun Dirinya Sendiri
Di dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang bersifat dialogis, seperti terekam
dalam surat al-Kafirun, al-Lahab, Abasa, al-A'la, dan ayat- ayat kawniyah lainnya. Di

7
dalam surat-surat tersebut ada stimulasi agar sang pembaca berdialog dengan cara
mengajukan argumen-argumen yang bisa memperkuat pendapatnya. Tentunya, pembaca
harus terlebih dahulu mengoptimalkan penggunaan akal budinya dalam memahami hal
tersebut.
c) Al-Qur’an Menghargai Penggunaan Akal
Rasyidi sebagaimana dikutip oleh Sulisyanto menjelaskan bahwa banyak ayat
dalam Al-Qur’an mengajak manusia menggunakan akalnya; artinya, Al-Qur’an sangat
memperhatikan potensi akal manusia di dalam memahami sesuatu. Di dalam Al-Qur’an
sendiri kata "akal" disebut beberapa kali dengan penampilan yang berbeda seperti
tampak pada perkataan ya'qilun (50 kali), yatafakkarun (26 kali), yash'urun (25 kali), ulil
albab (16kali), dan ulinnuḥā (2 kali).32 Semua itu adalah ayat-ayat yang secara langsung
mengajak manusia menggunakan akalnya. Di samping itu, ada ayat-ayat lain yang secara
tidak langsung mengajak manusia menggunakan akalnya seperti wahyu pertama
(al-'Alaq. 1-5), dan lain-lain.
Kata akal berasal dari bahasa Arab (aqala-ya'qilu-'aqlun) yang berarti mengikat,
menekan, mengerti, dan membedakan. Dari pengertian ini kita bisa menarik definisi
bahwa akal adalah daya yang terdapat dalam diri setiap manusia. Adapun kata akal
dalam bahasa Indonesia, diartikan dengan pikiran, namun sebenarnya antara akal dan
pikir sangatlah berbeda; akal merupakan potensi (daya), sedang pikir adalah cara kerja
dari akal. Akal merupakan potensi batin setiap manusia yang memiliki bagian-bagian,
yakni rasio (pikir dan rasa).33 Maka, dapat dikatakan bahwa akal merupakan paduan dari
rasio dan rasa yang merupakan potensi batin manusia untuk memahami sesuatu,
sekaligus sebagai sarana untuk berlaku atau berbuat, dalam Islam, akal merupakan dasar
tayḍif.
Dalam filsafat Islam, (juga filsafat dakwah) antara Al-Qur’an dan akal tidak
mungkin dipisahkan karena akal telah memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas
kefilsafatan, sementara Al-Qur’an menjadi ciri keislamannya (dakwah). Di sini, akal
memiliki peranan penuh. Sehingga, dalam hal ini, hubungan keduanya bukan hubungan
atas-bawah (struktural). Sebab, jika Al-Qur’an mengatasi akal maka dia kehilangan peran
sebagai subjek filsafat yang menuntut otonomi penuh; sebaliknya, jika akal mengatasi
Al-Qur’an. Maka aktivitas kefilsafatan Islam (dakwah) akan menjadi sempit karena
objeknya hanya Al-Qur’an saja.

Anda mungkin juga menyukai